bab ii stabilo
DESCRIPTION
Manajemen hipertensi intrakranialTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Patofisiologi Hipertensi intrakanial
Otak ditutupi kranium sehingga rongga kranium merupakan suatu
ruangan yang kaku dengan volume yang tetap kira-kira 1500 cm3 pada
manusia dewasa. Isi intrakranial dapat dibagi atas tiga bagian: jaringan otak
(kira-kira 90% dari volume intrakranial), cairan serebrospinal dan darah
dengan jumlahnya kira-kira 10-20%. Jumlah cairan serebrospinal dan darah
bervariasi dapat menurun bergantung dari intervensi terapi. Secara umum,
volume darah otak berhubungan dengan aliran darah otak yang dipengaruhi
oleh kontrol mekanisme fisiologis.
Peningkatan tekanan intrakranial terlihat pada banyak proses patologis
yang menambah volume isi intrakranial. Hipertensi intrakranial dapat
berkembang dengan mekanisme sebagai berikut: 1) peningkatan volume
cairan serebrospinal sebagai akibat hambatan sirkulasi atau absorpsi cairan
serebrospinal, 2) peningkatan volume darah akibat vasodilatasi,dan 3)
space-occupying lesion misalnya tumor, hematoma, atau edema.
Edema otak diklasifikasikan kedalam sitotoksik atau vasogenik.
Sitotoksik disebabkan karena kerusakan neuron, yang akan menyebabkan
peningkatan sodium dan air dalam sel otak dan keadaan ini akan
meningkatkan volume intraseluler.
Hipoksia dan iskemia pada cedera kepala dan stroke dapat membawa
kearah terjadinya edema sitotoksik. Vasogenik edema disebabkan karena
rusaknya barier darah-otak dan pergerakan protein dari darah kedalam
ruangan ekstrakulikuler otak. Air berpindah berdasarkan tekanan osmotik
protein, meningkatan volume cairan dalam ruang ekstraseluler otak.
Vasogenik edema terlihat pada infeksi dan tumor otak.
Tekanan intrakranial pada manusia umumnya kurang dari 10 mmHg.
Dalam keadaan normal, sedikit peningkatan volume intracranial dan dengan
translokasi cairan serebropspinal dan darah vena kedalam ruangan cairan
serebrospinal spinal dan vena ekstrakranial. Setelah suatu titik tertentu,
kapasitas dari sistim yang mengatur peningkatan volume menjadi lelah dan
sedikit penambah volume akan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial (gambar 1)
Suatu peningkatan tekanan intrakranial akan menyebabkan dua
perubahan besar yaitu terjadinya iskemia serebral dan herniasi (gambar 2).
Tekanan perfusi otak ditentukan dengan rumus MAP (Tekanan Arteri
Rerata) tekanan intrakranial. Jika tekanan intrakranial meningkat lebih
besar dari tekanan arteri rerata, tekanan perfusi otak menurun. Pada kasus
berat, keadaan ini akan
membawa kearah iskemia, cedera neuron, dan kematian. Efek
buruk kedua dari peningkatan tekanan intracranial adalah kemungkinan
terjadinya herniasi otak. Herniasi ini dapat melalui meningen, masuk
kedalam kanalis spinalis atau melalui suatu kraniotomi. Herniasi dapat
dengan cepat membawa kearah memburuknya fungsi neurologis dan
kematian.
Gambar 2. Patofisiologihipertensi intrakranial. Dikutip dari :
Bendo AA, Luba K, International Anesthesiology Clinics;
2000.
Indikator klinik adanya kenaikan tekanan intrakranial adalah sakit
kepala (khas dengan adanya postural headache pada pasien yang bangun
pada malam hari), mual dan muntah, pandangan kabur, somnolen, edema
papil dan dengan lebih tingginya hipertensi intracranial, terjadi penurunan
kesadaran dan depresi nafas. Hipertensi intracranial yang tidak terkendali
sering digembar-gemborkan dengan terjadinya trias Cushing (hipertensi
intracranial, hipertensi arterial dan reflex bradikardi),
CT scan menunjukan adanya peningkatan tekanan intracranial
dengan adanya midline shift, obliterasi sistema basalis, hilangnya sulkus,
hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus, dan
ederma (adanya daerah hipodensitas)
2.2. Patofisiologi kerusakan Neuron sekunder terhadap IskemiaOtak adalah organ yang paling sensitif bila pasokan darah terbatas.
Efek sentral yang mempresipitasi kerusakan adalah pengurangan produksi
energi disebabkan karena blokade fosforilase oksidatif. Hal ini dapat
mengurangi produksi ATP per molekul glukosa sampai 95%, jatuhnya
konsentrasi ATP akan menyebabkan hilangnya energi untuk mekanisme
hemeostasis pompa ion yang kerjanya tergantung dari ATP akan rusak dan
Ca dan Na intraseluler akan meningkat, sedangkan K intraseluler akan
menurun. Perubahan ion ini akan menyebabkan depolariseluler neuron dan
melepaskan EAA seperti glutamat. Kadar glutamat yang tinggi akan
menyebabkan depolarisasi membran lebih lanjut dan lebih banyak Ca masuk
kedalam sel. Kadar Ca interseluler yang tinggi dipikirkan sebagai pemicu
sejumlah kejadian yang akan membawa kearah kerusakan anoksis atau
iskemik. Hal itu termasuk antara lain peningkatan aktivitas protease
phospholipase. Tingginya phopholipase akan meningkatkan level asam
lemak bebas (Free fatty Acids / FFA) dan radikal bebas. Radikal bebas akan
merusak protein dan lipid, sedangkan FFA mengpengharui fungsi membran.
Sebagai tambahan, ada peningkatan produksi laktat dan ion hidrogen.
Semua proses ini, bersama-sama dengan pengurangan kemampuan untuk
sintesa protein dan lipid mengakibatkan penurunan kadar ATP, yang akan
membawa kearah kerusakan ireversibel dengan iskemia. Sebagai tambahan,
aktivasi fosfolipase membawa kearah akses produksi asam arakhidonik,
yang mana, pada reoksigenasi dapat berbentuk eicosanoid (thromboksan,
postaglandin, dan leukotrin). Thomboksan menyebabkan vasokontriksi dan
mengurangi aliran darah pada periode post iskemik, sedangkan leukotrin
dapat meningkatkan ederma.
Trauma otak dapat secara langsung membawa kearah kerusakan
neuron secara fisik yang permanen. Kerusakan primer dapat juga
disebabkan oleh herniasi otak atau terputusnya pembuluh darah otak.
Kerusakan primer bersifat ireversibel, tetapi, kebanyakan cedera otak pada
pasien trauna bersifat cedera sekunder dan terjadi setelah kecelakaan
pertama influks Ca akibat adanya trauma telah jelas bekerja sebagai
pemicu dari kerusakan otak. Adalah penting untuk mencegah iskemia
sekunder yang mengikuti trauma otak dan mungkin disebabkan pelepasan
substansi vasokontriksi selama reperfusi. Sebagai tambahan, pendarahan
mungkin meningkatkan tekanan intrakranial, mengurangi tekanan perfusi
otak. Darah intracranial dapat merusak melalui efeknya merangsang
pembentukan radikal bebas secara langsung dengan menggunakan Fe
dalam hemoglobin. Kerusakan sekunder dapat dikurangi dengan
monitoring dan pengobatan yang tepat. Pengobatan termasuk pengurangan
tekanan intrakranial, mempertahankan aliran darah, mengurangi
vasospasme, membuang darah dari ruangan subarachnoid, dan
menggunakan obat-obatan yang memutuskan kaskade yang menimbulkan
kerusakan neuron.
Tumor otak secara nyata meningkatkan tekanan intrakranial dan
membawa kearah penurunan tekanan perfusi otak dan herniasi otak.
Sering, pembuluh darah yang memasok tumor mengalami kebocoran
sawar darah otak yang dapat menimbulkan edema vasogenik.
Jadi, untuk beberapa kejadian patofisiologi pada otak,
ketidakseimbangan ion (terutama CA intraseluler yang tinggi) mempunyai
implikasi sebagai suatu kemungkinan penyebab kerusakan otak.
2.2.1. Pemantauan
Sebagai tambahan terhadap pemantauan hemodinamik sistemik,
pemantauan otak termasuk tekanan intrakranial dan oksigenasi atau
metabolisme serebral menjadi penting dalam pengelolaan hipertensi
intrakranial.
Pemantauan tekanan intrakranial: untuk panduan pengobatan
peningkatan tekanan intrakranial menjadi standard pengobatan
peningkatan tekanan intrakranial menjadi standar pada pasien yang koma
dan resiko tinggi untuk kenaikan tekanan intrakranial. Kebanyakan centre
di USA menggunakan ambang tekanan intrakranial 20 mmHg sebagai
batas tertinggi sebelum mulai terapi.
Brain tissue oxygenation/ Metabolism monitor: suatu sensor
multiparameter dipakai untuk mengukur brain tissue PO2, CO2, pH dan
temperature.
SJO2: dapat dilakukan secara kontinu atau intermittent untuk
mengukur keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen otak. Bila
nilai SJO2 < 50% menunjukan peningkatan ekstraksi oksigen dan
menunjukan suatu resiko cedera iskemik.
Transcranial oxymetry: Near Infrared spectroscopy (NIRSS) adalah
suatu noninvasiif optical method untuk memantau regioanal serebral
oksigeniasasi
2.2.2. Pengelolaan Hipertensi Intraknial
Telah dibicarakan bahwa perbedaan penyebab kenaikan ICP akan
mengakibatkan perbedaan terapinya. Tetapi tidak mungkin dalam keadaan
emergensi di UGD kita dapat menentukan dengan tepat apa penyebab
kenaikan ICP. Adanya kenaikan ICP ditentukan hanya dari gejala klinis.
Pada pasien dengan GCS < 7, mutlak harus dipasang monitor ICP, sebab
pemeriksaan fisik tidak akan mampu memberikan nilai actual pada pasien-
pasien yang koma. ICP sampai 20 mmHg cukup baik, walaupun klinisi
yang lain memberikan terapi yang lebih agresif untuk mencapai ICP 15
mmHg.
Berbagai maneuver dan obat digunakan untuk menurunkan tekanan
intracranial. Sebagai contoh, pemberian diuretic atau steroid,
hiperventilasi, pengendalian tekanan darah sistemik telah digunakan untuk
mengurangi edema selebral dan brain bulk, dengan demikian akan
menurunkan tekanan inrakranial.
Diuretik:
Penurunan tekanan intracranial yang cepat dapat dicapai dengan
pemberian diuretic. Dua macam diuretik yang umum digunakan yaitu
ostomik diuretic mannitol dan loop diuretic furosemid. Mannitol diberikan
secara bolus intravena dengan dosis 0,25-1 gr/kg BB. Bekerja dalam
waktu 10-15 menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Mannitol tidak
menembus sawar darah otak yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas
darah relative terhadap otak, mannitol menarik air dari otak dari otak
kedalam darah. Bila sawar darah otak rusak, mannitol dapat memasuki
otak dan menyebabkan rebound kenaikan tekanan intracranial sebab ada
suatu reversal dari perbedaan osmotic. Akumulasi mannitol dalam otak
terjadi pada dosis bedak dan pengulangan pemberian.
Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang bergantung dari
besarnya dosis dan kecepatan pemberiannya. Vasodilatasi akibat mannitol
dapat menyebabkan peningkatan volume darah otak dan tekanan
intracranial secara selintas yang simultan dengan penurunan tekanan darah
sistemik. Disebabkan karena mannitol pertama-tama dapat meningkatkan
tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara perlahan (infus ≥ 10
menit) dan dilakukan bersama dengan maneuver yang menurunkan
volume intracranial (misalnya hiperventilasi).
1. Obat hipertonik misalnya harus diberikan secara hati-hati pada pasien
dengan penyakit kardiovaskuler. Pada pasien ini, peningkatan selintas
volume intravaskuler. Pada pasien ini, penggunaan manntol jangka
panjang dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit,
hiperosmolalitas, dan gangguan fungsi ginjal. Hal ini terutama bila serum
osmolitas meningkat diatas 320 mOsm/kg.
Furosemid mengurangi tekanan intracranial dengan menimbulkan
diuresis, menurunkan produksi cairan serebrospianal, dan memperbaiki
transport air seluler. Furosemid menurunkan tekanan intracranial tanpa
meningkatkan volume darah otak atau osmolitas darah, tetapi tidak
seefektif mannitol dalam menurunkan tekanan intracranial. Furosemid
dapat diberikan tersendiri dengan dosis 0,5-1 mg/kg atau dengan mannitol,
dengan dosis yang lebih rendah (0,15-0,3 mg/kg). Suatu kombinansi
mannitol dengan furosemid lebih efektif daripada mannitol saja dalam
mengurangi brain bulk dan tekanan intrakranial tapi lebih menimbulkan
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit. Bila dilakukan
kombiinasi terapi, diperlukan pemantauan serum elektrolit osmolalitas dan
mengganti kalium bila ada indikasi.
NaCI hipertronik, lebih berguna pada pasien tertentu misal
refraktori hipertensi intrakranial atau memerlukan restorasi cepat dari
volume intravaskuler dan penurunan tekanan intrakranial. Kerugian utama
dari NaCI hipertonik adalah intracranial. Kerugian utama dari NaCI
hipertonik adalah terjadinya hipernatremia. Pada suatu penelitian pasien
saraf selama operasi elektif tumor supratentorial, volume yang sama
mannitol 20% dan NaCI 7,5% dapat mengurangi brain bulk dan tekanan
cairan serebrospinal, tapi serum Na meningkat selama pemberian NaCI
hipertronik dan menapai puncak 150 meq/lt.
Diuretik merupakan jalan kedua dalam terapi kenaikan ICP dengan
memberikan mannitol dan atau furisemid. Lasix adalah suatu loop diuretic
yang bekerja ditubulus distal ginjal Untuk menghambat reabsorpsi sodium
(Na). Juga menghambat karbonik anhydrase, maka akan menurunkan
kecepatan produksi CSF. Dosis 0.5-0.1 mg/kg intravena, dan diberikan
sebelum mannitol untuk mencegah rebound peningkatan ICP dan CBV.
Posisi
Penggunaan posisi head up untuk menurunkan ICP harus hati-hati
karena MAP lebih menurun daripada ICP saat posisi head up sehingga
akan menurunkan CPP. Tetapi head up 10-20 % akan menguntungkan.
Steroid
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak.
Kortikosteroid memerlukan beberapa jam atau hari sebelum mengurangi
tekanan intrakranial. Pemberian kortikosteroid sebelum reseksi tumor
sering menimbulkan perbaikan neurologis mendahului pengurangan
tekanan intrakranial. Steroid dapat pengurangi kerusakan barrier darah-
otak. Postulat mekanisme steroid dapat mengurangi edema otak adalah
dehidrasi otak, perbaikan barier darah otak, pencegahan aktivitas lisoso,
mempertinggi transport elektrolit serebral, merangsang eksresi air dan
elektrolit , da menghambat aktivitas fosfolipase A2. Komplikasi yang
potensial dari pemberian steroid yang lama adalah hiperglikemia, ulkus
peptikum akut, peningkatan kejadian infeksi. Walaupun pada tahun 70-an
dan permulaan tahun 80-an digunakan secara ekstensif , untuk terapi
edema serebral pada cedera kepala akut, sekarang steroid jarang digunakan
pada protokol pengelolaan cedera kepala.
2.2.3. PENGELOLAAN VENTILASI
Hipokapnea yang bisa dicapai dengan hiperventilasi merupakan
standar terapi. Dengan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah cerebral,
maka volume darah intrakranial akan menurun dan ICP akan menurun.
CBF berubah kira-kira 4% (0,95-1,75 ml/100g/menit) setiap mmHg
perubahan PAco2 antara 25-80 MMhG Level optimal dari hipokapni
adalah25-30 mmHg. Bila < 25 mmHg kemungkina terjadi cerebral
iskemia.
Teknik hipokapnia adalah jalan tercepat untuk menurunkan ICp.
Efeknya transient, terapi, pH CSF kembali normal dalam 24jam (maka
teknik hipokapni untuk menurunkan CBF hanya sampai , setelah itu pasien
di normokapni.
Hiperventilasi telah dipakai untuk pengelolaan hipertensi
intracranial acut dan subakut CO2 adalah serebrovasodilator kuat dan
penurunan CO2 serebrovaskular kuat dan penurunan CO2 serebrovaskular
menurunkan volume otak dengan menurunkan aliran darah otak melalui
vasokontriksi serebral yang cepat. Setiap perubahan 1 mmHg PaCO2,
aliran darah otak berubah 1-2 ml/100gr/menit. Hiperventilasi efektif dalam
menurunkan tekanan intrakranial hanya 4-6 jam, bergantung dari pH
cairan serebrospinal dan utuhnya reaktivitas terhadap CO2 pada pembuluh
darah otak. Gangguan reaksi dihungkan dengan penyakit intracranial luas
seperti iskemia, trauma, tumor, dan infeksi.
Hiperventilasi dapat berbahaya. Ada bukti bahwa agresif
hiperventilasi dan vasokontriksi dapat menimbulkan iskemia terutama bila
aliran darah otak rendah. Telah ditunjukkan bahwa aliran darah otak
setelah cedera kepala paling rendah pada hari pertama dan secara perlahan
meningkat pada 3-6 hari kemudian. Telah diperlihatkan adanya korelasi
langsung dari hiperventilasi agresif (PaCO2 ≤ 25 mmHg) dan outcome
yang lebih buruk setelah cedar kepala berat.
Bila hiperventilasi dimulai untuk pengendalian hippertensi
intracranial, PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang 30-35 mmHg
untuk mencapai pengendalian tekanan intracranial seraya mengurangi
risiko iskemia. Hiperventilasi dipertimbangkan hanya bila diperlukan
terapi sekuner untuk hipertensi intracranial yang refrakter.
2. Pengukuran SJO2 kontinu digunakan dalam praktek klinik untuk
menentukan mendapatkan hasil yang menguntungkan atau merugikan
akibat hiperventilasi. Pada situasi emergensi, harus dikontinu melakukan
hiperventilasi bila ada pertimbangan pasien dalam keadaan hipettensi
intracranial. Tetapi, bila situasi klini tidak memerlukan hiperventilasi lebih
lama atau ada bukti adanya iskemia serebral, maka harus dilakukan
normoventilasi.
2.2.4. Pengelolaan cairan dan tekanan arteri
Penelitian yang dilakukan pada hewan percobaan dan survei klinik
menyokong konsep bahwa otak yang cedera sangat rentan terhadap
perubahan kecil hipoksia atau hipotensi. Keterangannya adalah setelah
cedera kepala , pada beberapa pasien menunjukkan adanya daerah otak
yang sangat rendah aliran darahnya, dengan gangguan otoregulasi. Bila
otoregulasi hilang, aliran darah otak menjadi tergantung dari tekanan
darah. Karena itu pasien cedera kepala dengan aliran darah otak rendah
sangat rentan terhadap hipotensi sitemik. Observasi ini mempunyai akibat
dalam lebih besarnya dukungan pada support tekanan darah yang agresif
pada pasien cedera kepala. Penelitian dengan SJO2 dan TCD menunjukkan
bahwa tekanan perfusi otak yang adekuat mulai memburuk pada tekanan
fungsi otak rerata < 50mmHg. The Brain Trauma Foundation dan
American Associaton of neurologic Surgeon menganjurkan target tekanan
perfusi otak adalah 50-70 mmHg pada pasien cedera kepala.
Retriksi intake cairan merupakan cara tradisional untuk terapi
dekompresi intrakranial tetapi sekarang jarang digunakan untuk terapi
menurunkan tekanan intrakranial. Retriksi cairan yang berat dalam
beberapa hari dapatmenimbulkan hipovolemia dan menyebabkan
hipotensi, penurunan aliran darah otak dan hipoksia. Kekurangan volume
intravaskular harus diperbaiki sebelum induksi anestesi untuk mencegah
hipotensi. Resusitasi dan rumatan cairan untuk pasien bedah saraf adalah
larutan kristaloid iso-osmolar yang bebas glukosa. Larutan hiposmolar
misalnya NaCl 0,45% dan RL lebih meningkatkan air otak daripada
larutan isoosmolar NaCl 0,9%. Larutan yang mengandung glukosa
dihindari pada semua pasien bedah saraf dengan metabolisme glukosa
yang normal, sebab larutan ini dapat mengekseserbasi kerusakan iskemik.
Hiperglikemia memperberat kerusakan iskemik dengan mempromosi
produksi laktat neuron, yang memperberat cedera seluler. Cairan intravena
yang mengandung glukosa dan air (dekstrosa 5% dalam air atau dekstrosa
5% dalam 0,45 NaCl) juga memperberat edema otak Sebab glokusa
dometobolisme dan air akan tetap tinggal ruangan cairan intracranial.
Studi klinis menunjukkan suatu hubungan yang kuat kadar glukosa plasma
dan utcome neurologis setelah stroke dan cedera otak. Karena itu, glukosa
darah harus dipantau dan dipertahankan pada rentang bawa dan nilai
normal.
Selama resusitasi cairan pasien cedera kepala, sasarannya adalah
untuk mempertahankan osmolalitas serum normal, menghindari penurunan
tekanan koloid osmotik yang besar, dan mengembalikan sirkulasi darah
yang normal. Terapi yang segera adalah langsung pada mencegah
hipotensi dan mempertahankan tekanan perfusi otak 50-70 mmHg. Bila
ada indikasi, pasang monitor tekanan intracranial untuk panduan resusitasi
cairan dan mencegah kenaikan tekanan intracranial. Kristaloid iso-
osmolar, koloid sirkukasi. Pendarahan yang banyak memerlukan transfuse
darah. Hemattokrit minimal antara 30-33% dianjurkan untuk
memaksimalkan transportasi oksigen.
Larutan NaCI hipertonik mungkin sangat berguna untuk resusitasi volume
pada pasien cedar kepala karena mempertahankan volume intravaskuler
seraya menurunkan ICP dan memperbaiki aliran darah otak regional. NaCI
hipertonik menimbulkan suatu efek osmotic diuretic sama seperti mannitol
kompliasi dari peningkatan Na serum, penurunan kesadaran dan kejang.
2.2.5. Posisi
Untuk kebanyakan pasien bedah saraf, posis netral, head up
15-300 dianjurkan untuk mengurangi tekanan intracranial dengan
jalan memperbaiki drainase vena serebral. Kepala fleksi atau rotasi
dapat menimbulkan obstruksi drainase vena serebral, menyebabkan
gangguan drainase vena serebral, yang secara cepat meningkatkan
brain bulk dan tekanan intracranial.
2.2.6. Obat yang menimbulkan vasokontriksi serebral.
Pemberian obat yang meningkatkan resisitensi pembuluh
darah serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan intracranial.
Barbiturat, yaitu Pentotal dan pentobarbital adalah obat yang
paling banyak digunakan untuk tujuan ini. Barbiturat menurunkan
metabolism daru akurab darah otak. Masalah utama dengan
barbiurat adalah menyebabkan penurunan tekanan arteri rerata,
yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan tekanan
perfusi otak. Pada tinggi (10-55 mg/kg) pentotal dapat
menimbulkan EEG isoelektrik dan menurunkan metabolism otak
sampai 50% Metabolik efek pentotal yang langsung adalah
menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang menurun
aliran darah otak dank arena itu menurunkan peningkatan tekanan
intrakranial
Pentobarbital digunakan untuk mengatur tekanan itrakranial
apabila cara terapi gagal. Dosisi bolus mg/kg selama lebih dari 30
menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan
koma. Level dalam darah secara periodic diukur untuk mencegah
overdosisi dan adjusted kira-kira 3 mg/dl. Pasien memerlukan
ventilasi mekanin, hidrasi, pemantauan tekanan intracranial, dan
pemantauan tekanan arteri invasive dan mungkin vasopresor. EEG
digunakan untuk memantau pola burst supresi sebagai bukti
penekanan adekuat dari aktifitas serebral.
Sasaran dari barbiturat koma adalah pengendalian tekanan
intracranial jangka panjang sampai factor yang memperburuk
tekanan intracranial dapat dihilangkan.
Barbiturat mungkin juga memberikan proteksi otak dengan
menurunkan metabolisme otak. Bebarapa dari proximate
mekanisme yang mana barbiturate menurunkan metabolism otak
termasuk penurunan Ca Influks, blockade terowongan Na
menghambat pembentukan radikak bebas, memperbesar aktifitas,
GABA, dan menghambat transfer glukosa menembus barier darah-
otak. Semua dari mekanisme ini konsisten dengan laporan
Goodman dkk bahwa pentobarbital koma mengurangi laktat,
glutamate dan aspartat pada ruangan ekstraseluler pada pasien
cedera kepala dengan peningkatan tekanan intracranial yang hebat.
Pada penellitian invitro menyokong bahwa thiopental
memperlambat hilangnya perbedaan elektrik transmembran yang
disebabkan karena aplikasi NMDA dan AMPA, sayangnya hanya
trial klinis yang memberikan bukti dari proteksi barbiturat.
Penelitian binatang dan laporan pendahuluan penggunaan
indomethasin dalam pengelolaan hipertensi intrakranial.
Indomethasine menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
penurunan aliran darah otak dengan tanpa mengpengharui
CMRO2. Mungkin menurunkan tekanan intrakranial dengan
menurunkan edema serebral, menghambat produksi cairan
serebrospinal dan mengendalikan hipertermia.
Mekanisme penurunan aliran darh otak oleh indomethasine
tidak dimengerti dengan jelas. Penelitian binatang menyokong
bahwa sintesa prostaglandin diperlukan untuk aliran darah otak-
PaCO2 coupling. Pembuluh darah otak dipengharui efek vasolidasi
dan vasokonstriksi protaglandin. Indomethasin, menghambat
COX/silooksigenase, mencega pembentukan protaglandin dari
asam arachidonik dan dapat merubah keseimbangan protaglandin
dalam pembuluh darah otak dan menjadi dominan adalah efek
vasokonstriksinya.
Iskemia otak meningkatkan produksi asam arachidonik dan
COX, implicating prostaglandin dalam pembentukan edema
sitotoksis. Pretreatment dengan indomethasin telah ditemukan
ameliarate edema sitotoksis dan vasogenik setelah cidera otak pada
binatang percobaan.
Indromethasin potentiates efek inhibisi dari endotelin pada
produksi cairan serebrospinal oleh fleksus choroideus.
Indomethasin juga menurunkan tekanan intakranial dengan
menurunkan temperatur dan mungkin berefek proteksi otak melalui
efeknya mencega hipertermia. Dua penelitian oleh jesen dan
biestro dan satu laporan kasus mendukung bahwa indomethasin
dapat mengurangi tekanan intrakrani8al pada pasien cedera kepala.
Semua penelitian menggunakan obat setelah metode konvesional
(hiperventalisi-barbiturat-diuretik gaggal mengendalikan)
2.2.7. Pengendalian temperatur
Hipotermia ringan telah ditunjukan untuk mengurangi tekanan
intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan
metabolisme otak, aliran darah otak, volume darah otak dan produksi
cairan serebrospinalis. Obat yang menekan menggigil secara sentral,
pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan tekhnik
hipotermi.
Drainase cairan serebrospinal :
Drainase cairan serebrospinal 10-2- ml dengan tusukan langsung
pada ventrikel lateral atau dari kateter spinal lumbal dapat mengurangi
brain tension secara cepat. Drainase cairan serebrospinal lumbal harus
dilakukan secara hati-hati hanya bila dura terbuka dan pasien dilakukan
hiperventilasi ringan untuk mencegah hernia otak akut.
Pengendalian tekanan Intrakranial
Telah kita ketehaui ada 3 komponen isi ruangan intracranial yaitu
otak, darah dan CSF. Pada cedera kepala sering terjadi penambahan lesi
massa misalnya darah (EDH, SDH) atau benda asing.
Otak :
Edema sering berkembang dengan cepat setelah cedera kepala.
Untuk secara rutin diberikan. Mannitol 20% dengan dosis 0,25-1 gram/kg.
Keterangan klasik dari mekanisme nya adalah osmotic dehidrasi
(osmolalitas mannitol 20% adalah 1098, sedangkan osmolitas normal
serum 290). Tetapi efek dehidrasi ini lambat, sedangkan mannitol bekerja
cepat. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa mannitol bekerja pada
ketiga komponen isi intracranial, yaitu otak, darah, dan CSF.
Mannitol menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan serebral
sehingga terjadi hipotensi selintas dan kemudian diikuti hipertensi akibat
penambahan volume intravaskuler. Pasien dengan fungsi jantung yang
jelek bisa terjadi gagal jantung dan edema paru. Penggunaan mannitol
tekanan intrakranial yang meningkat adalah bila tekanan intrakranial > 15
mmHg.
Loop diuretic seperti sering digunakan untuk operasi efektif bedah
saraf dan juga cedera kepala. Terdapat efek hemodinamik yang nyata.
Penggunaan osmotik diuretik dan loop diuretik dapat menyebabkan
electrolit imbalance dan pemberiaan cairan harus dituntun oleh
pemeriksaan osmolalitu dan elektrolit. Bila pasein resisten terhadap
mannitol dapat diberikan NaCI hipertonis.
Volume darah :
Hipoksia dan hiperkapnia otak dapat menyebabkan serebral
vasodilatasi dan meningkatkan volume darah otak. Hiperventilasi adalah
salah satu mekanisme paling efektif untuk mengendalikan volume darah
serebral (CBV). Perubahan 1 mmHG PaCO2 akan menurunkan 1% CBV
dan 3% CBF,
tetapi harus diingat bahwa walaupun penurunan CBV terjadi
sebagai akibat peningkatan CVR, penurunan simultan dari CBF harus
diperhatian sebagai suatu efek samping yang tidak bisa dicegah, lebih dari
pada sebagai suatu sasaran tetapi primer. Ini penting karena iskemia
merupakan faktor yang berperan pada jeleknya outcome pada pasien cedar
kepala.
Disamping bisa menyebabkan serebral iskemia, kerugian lain dari
hiperventilasi adalah :
--kurfe disosiase Oxy-HB bergeser kekiri, jadi ada penurunan pengeluaran
oksigen ke jaringan.
--CBF dan CBV kembali normali setelah hiperventilasi yang lama.
Tetapi hiperventilasi adalah tindakan cepat untuk mengurangi
CBV, meruapakan life saving pada hipertensi intrakranial akut. Suatu
pendekatan rasional adalah hiperventilasi hanya untuk sementara, tidak
definitif.
Bila tidak ada tekanan intrakranial monitor, PaCo2 jangan ,
25mmHg. Monitoring saturasi oksigen dari v.jugularis dapat menolong
untuk mengurangi kejadian iskemia global akibat hiperventilasi. Baru-baru
ini,tromethamine (THAM) diketahui dapat melawan asiodosis jaringan,
dilaporkan mempunyai keuntungan efek pada tekanan intrakranil,
walaupun outcome keselurahan tidak berubah.
CBV dapat dikurangi secara farmakologis dengan mannitol.
Muizelar mengatakan bahwa autoregulasi diatur oleh viskositass, maka
pengurangan viskositas akan meningkatkan CBF, akhirnya terjadi
vasokontriksi untuk mempertahankan CBF konstan. Disebabkan mannitoal
akan mengurangi viskositas dan meningkatkan CBF, menyebabkan
viskositas mediated maka akan mengurangi CBV.
Penelitian lain, menunjukkan bahwa pemberian mannitol
menyebabkan peningkatan blood flow dan blood volume secara selintas
dan dapat menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Paradoksnya, pada
pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi, tekanan intrakranial tidak
meningkat setelah pemberian mannitol.
Obat vasokontriksi serebral termasuk obat anestesi intravena
seperti barbiturate (Pentotal) dan profonol semuanya menurunkan CBF
dan metabolism, hal ini karena metabolism turun maka CBF akan turun
CBV akan turun. Tetapi karena Terjadi penurunan tekanan darah, maka
penurunan CBF lebih besar dari metabolism. Lidokain juga mengurangi
CBF.
Ada bukti bahwa pasien yang kehilangan reaktifitas terhadap CO2
juga tidak berespon terhadap terapi barbiturate. Hal yang sama, disebabkan
Vasokontriksi serebral sekunder terhadap penurunan metabolisme. Pasien
dengan EEG negative, tidak berespon terhadap terapi barbiturate. Karena
itu terapi barbiturate koma jarang digunakan lagi untuk terapi cidera
kepala, alasan lain adalah meningkatnya resiko infeksi nasochomial dan
pneumonia, keuntungannya sedikit dalam memperbaiki outcome dan biaya
perawatan di ICU mahal.
Hipotermia mengurangi CMRO2 menurunkan CBF dan CBP
karaena itu akan menurunkan ICF. Tidak dianjurkan hipotermia dalam,
tetapi cukup hipotermia ringan sampai sedang (35o) dimana pengaturan
suhu cukup dgn AC ruangan, secara nyata mengurangi injuri neuron pada
cidera kepala eksperimental, mungkin karena mengurangi pelepasan
glutamate.
Kebanyakan maneuver klinis digunakan untuk mengurangi CBV
adalah melalui compartment volume darah arteri dan kapiler dengan
mengubah CVR. Walaupun volume darah pena serebral merupakan
volume yang dominan (75%), tetapi bertendensi mengikuti komponen
arteri secara pasif. Kegagalan menjamin drainase vena serebral yang ada
kuat, akan menyebabkan pembengkakkan pena dan kenaikan tekanan
intrakranial yang tidak terkendalikan. Jadi, betul-betul sangat penting
untuk mempertahankan posisi headup untuk memperbaiki drainase pena,
untuk menjamin bahwa posisi leher tidak menyebabkan kindking atau
kompresi penajugularis interna, dan periksa semua hal yg menyabbkan
penekanan vena ( collar, tracheal ties, tracheostomi ties).
Volume CSF :
Walau beberapa obat anastesi inhalasi seperti halothane dan
enflurane meninggikan volume CSF dengan jalan meningkatkan produksi
dan mengurangi absorpsi, hal ini tidak perlu dipikirkan karena sekarang
untuk anatesi beda saraf dipakai isoflurane atau sevoflurane yang tidak
menambah volume CSF malahan mengurangi volume CSF, Pemberian
NaCI hipertonik dan mannitol akan mengurangi produksi CSF.
Pada gambar di bawah ini terlihat patofisiologi dan ICP
Gambar patofisiologi hipertensi intrakranial
Dikutip dari Edwards N. Principles and practice of Neuroanesthesia, 1991
Terapi Adjuvan
1. Setelah intubasi dan vertilasi kendali, berikan fentanil 50-100 ug atau
benzodiazepin, minsalnya midazolam 0,01-0,05 mg/kg untuk
menghilangkan sakit yang menyebabkan hiperkatekholamime, juga untuk
sedasi
Kejang sering terjadi setelah cedera kepala, terutama akibat peluru,
dimana insidensinya dapat mencapai 40-60%. Adanya pada minggu
pertama setelah trauma dapat berarti timbulnya pendarahan intrakranial,
manifestasi dari cedera cerebral, hipoksia atau gangguan elektrolit. Kejang
sendiri dapat menguba dinamika intrakranial dan berakibat kerusakan
lebih lanjut, pendarahan atau bermiasi otak kejang dapat Menyebabkan
laktik asidosis. Penyebab utama dari kematian penderita yang masih dapat
berbiaca pada saat dating adalah penanganan kejang yang tidak betul, dan
pencegahannya adalah tujuan utama dari resusitasi otak. Disebabkan
karena kejang dihubungkan dengan meningkatnya serebral metabolism
dan ICF, jadi rutin diberikan profilaksis phenytoin
-dosisi penitoin 10-15 mg/kg disuntikkan perlahan-lahan dgn kecepatan 50
mg/menit sebagai dosis tungal, dan dosis selanjutnya tergantung
dari kadarnya dalam darah.
Phenytoin mempunyai keuntungan tambahan dengan mengurangi CBV
dan CMR. Bila terjadi seizure ketika sedang diberi profilaksis,
maka diberikan. midazolam 0,01-0,05 mg/kg atau pentotal 1-3
mg/kg. Succinylcholin 1 mg/kg akan memblok ventilasi, tetapi
tidak mempengeruhi aktifitas serebral.
-Bukti keefektifan steroid pada cedera kepala sangat lemah. Pada
kebanyakan center, Steroid sudah tidak diberikan lagi. Pada
beberapa center lain, anak-anak dengan GCS< 6 dan dewasa
dengan GCS < 8 diberikan dosis tinggi dexamethasone (1-1,5
mg/kg) yang kemudian diturunkan secara bertahap. Tetapi pada
penelitian –penelitan menunjukkan bahwa pemberian steroid ini
tak ada keuntungannya, malahan ada komplikasi hiperglikemia ,
sehingga sekarang steroid tidak dipakai lagi untuk cedera kepala.
Barbiturat (tiopental) untuk menurunkan ICP telah digunakan dengan dosis 1-3
mg/kgBB. Pentotal berefek cerebral vasokonstriksor, menurunkan CBF, CBV,
dan ICP.