bab ii - sinta.unud.ac.id ii.pdf · teori, dan model penelitian 2.1 kajian pustaka berdasarkan...

47
1 ` BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ditemukan peneliti yang khusus mengkaji perlawanan orang Katobengke khususnya di Sulawesi Tenggara. Namun, beberapa studi yang dianggap relevan untuk dijadikan sebagai refrensi pembanding terhadap penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. Maunati (2006) dalam bukunya Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan membahas konstruksi pemerintahan orde baru terhadap identitas 1 orang Dayak, terutama tentang pencitraan mereka yang dilabelkannya sebagai etnik primitif. Maunati (2006: 18) melukiskan pogram relokasi yang bertujuan untuk membuat orang-orang Dayak tinggal secara menetap di tempat- tempat tertentu dengan cara memberikan rumah, lahan pertanian, dan menggambarkan cara hidup orang Dayak yang tak beradab, pakaian tidak sopan, kepercayaan animistik, tak berpendidikan dan dianggap penghambat 1 Gidden (1991:219--220), identitas diri tercipta dari kemampuan untuk mempertahankan narasi perihal diri dan dogma membangun perasaan yang konsisten perihal kesinambungan biografis. Identitas sebagai proyek yang merupakan ciptaan kita, sesuatu yang selalu berproses berdasarkan situasi masa lalu dan masa kini dan suatu gerak menuju masa depan yang kita inginkan. Barker mengutip Gidden (1984) menyebutkan identitas menjadi penting tidak hanya penggambaran diri, tetapi juga ciri-ciri sosial. Identitas sosial terkait dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan sanksi-sanksi normatif yang dalam masyarakat tertentu, menjadi penentuan peran.

Upload: phungdung

Post on 06-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

1

` BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,

TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak

ditemukan peneliti yang khusus mengkaji perlawanan orang Katobengke

khususnya di Sulawesi Tenggara. Namun, beberapa studi yang dianggap relevan

untuk dijadikan sebagai refrensi pembanding terhadap penelitian ini dipaparkan

sebagai berikut.

Maunati (2006) dalam bukunya Identitas Dayak: Komodifikasi dan

Politik Kebudayaan membahas konstruksi pemerintahan orde baru terhadap

identitas1 orang Dayak, terutama tentang pencitraan mereka yang dilabelkannya

sebagai etnik primitif. Maunati (2006: 18) melukiskan pogram relokasi yang

bertujuan untuk membuat orang-orang Dayak tinggal secara menetap di tempat-

tempat tertentu dengan cara memberikan rumah, lahan pertanian, dan

menggambarkan cara hidup orang Dayak yang tak beradab, pakaian tidak sopan,

kepercayaan animistik, tak berpendidikan dan dianggap penghambat

1 Gidden (1991:219--220), identitas diri tercipta dari kemampuan untuk mempertahankannarasi perihal diri dan dogma membangun perasaan yang konsisten perihal kesinambunganbiografis. Identitas sebagai proyek yang merupakan ciptaan kita, sesuatu yang selalu berprosesberdasarkan situasi masa lalu dan masa kini dan suatu gerak menuju masa depan yang kitainginkan. Barker mengutip Gidden (1984) menyebutkan identitas menjadi penting tidak hanyapenggambaran diri, tetapi juga ciri-ciri sosial. Identitas sosial terkait dengan hak-hak,kewajiban-kewajiban, dan sanksi-sanksi normatif yang dalam masyarakat tertentu, menjadipenentuan peran.

Page 2: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

2

pembangunan. Stigma sosial akan dijatuhkan kepada orang Banjar yang menikahi

orang Dayak karena orang Dayak itu kotor dan terkebelakang. Pada saat yang

bersamaan elite Dayak menolak citra negatif tentang diri mereka dengan berupaya

membangun sebuah identitas Dayak yang “modern” untuk mengalahkan citra-

citra yang dominan berlaku tentang Dayak sebagai masyarakat “terkebelakang“

yang telah menyebabkan suku Dayak terkucil dari kekuasaan dan kekuatan politik

serta menegaskan marginalisasi ekonomi mereka. Dengan demikian, sebuah label

ketidakadilan yang disematkan oleh elite birokrasi terhadap orang Dayak

merupakan modal dasar elite tersebut membangun masyarakat Dayak yang

mereka sebut primitif itu untuk diberdayakan.

Tulisan Maunati (2006) memiliki banyak persamaan dengan penelitian

yang peneliti lakukan saat ini, yaitu tentang proses perlawanan terhadap hegemoni

elite tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya, politik, ekonomi, dan etnik itu

sendiri. Relevansi yang menonjol dalam penelitian ini adalah citra negatif yang

dialamatkan kepada orang Dayak, seperti stigma sosial, terbelakang, terkucil dari

kekuasaan dan kekuatan politik. Di samping pencitraan negatif, sebagaimana

tulisan Tasrifin (2010) dan Ruslan (2005), orang Katobengke juga memiliki citra

positif yang disematkan oleh elite tradisional, seperti predikat inaa Laode dan

Maa Laode yang bermakna pengasuh bayi bangsawan. Selanjutnya organisasi

perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite belum tampak dilakukan

secara sistematis dan kemudian indikasi perlawanan mereka baru tampak pada era

reformasi ini. Sebaliknya, orang Dayak merupakan sebuah etnik besar yang

terdiri atas sejumlah subetniknya berdasarkan wilayah permukimannya dan

Page 3: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

3

perjuangan komunitas secara organisatoris tampak ditunjukkan berbagai LSM,

cendekiawan Dayak dalam upaya mempertahankan identitas dan budaya

kedayakan. Sementara itu, pemberdayaan yang dilakukan pemerintah hanya

berorientasi pada kepentingan ekonomi kepariwisataan.

Buku Anom Kumbara (2011) berjudul Pergulatan Elite Lokal

Representasi Relasi Kuasa dan Identitas merupakan rekonstruksi hasil penelitian

Antropologi dalam penulisan disertasi yang dilakukan di Pulau Lombok, Nusa

Tenggara Barat tahun 2005--2008 yang berjudul “Konstruksi Identitas Orang

Sasak di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat”. Kajiannya mengupas secara

holistik (1) bagaimana variasi identitas Sasak di Pulau Lombok, (2) strategi-

strategi yang dikembangkan oleh elite Sasak dalam melestarikan identitas mereka,

(3) bagaimana dinamika relasi antarelite Sasak dalam mengonstruksi identitas

Sasak baru yang bisa menyatukan varisi identitas yang ada di Pulau Lombok.

Eksplanasi penelitian Kumbara (2011) dimulai dengan teropong istilah

Sasak sebagai kolektivitas masyarakat asli Pulau Lombok yang dalam catatan

sejarah memiliki pengalaman sejarah yang sangat pahit selama berabad-abad

sampai pada era reformasi ini juga mengalami gejolak sosial atau konflik yang

berbasis suku dan agama. Adapun variasi identitas Sasak terbentuk sebagai cikal

bakalnya, mulai dari era Sasak pra-Islam, kekuasaan Majapahit, Makassar, dan

bagaimana hegemoni Bali atas Sasak, mulai proses penaklukan Karangasem Bali

terhadap Lombok yang dibuktikan beberapa daerah, seperti Pejanggik, Parwa, dan

Lengko yang harus membayar upeti. Semua itu menyebabkan Sasak terhegemoni

dan termarginalisasi selama dua abad. Secara budaya akhirnya berimplikasi pada

Page 4: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

4

masyarakat Lombok dengan karakteristik budaya yang sangat plural dan orang

Sasak kurang memiliki struktur identitas yang jelas. Selanjutnya masuknya Islam

dan munculnya pengelompokan Islam, seperti Islam tradisional, Islam tradisional

modern, sampai pada pembaruan Islam di Lombok. Terkait dengan pembaruan

Islam dikaji bagaimana penegasan identitas Sasak dan aneka peranan yang

dimainkan organisasi Islam modern dalam dinamika politik lokal dalam bidang

pendidikan, sosial, dakwah, sampai memasuki ranah politik.

Strategi kuasa tiga kekuatan elite, yaitu elite Sasak Islam, elite Sasak adat,

dan elite Sasak modern mengenai cita-cita pembentukan identitas orang Sasak.

Strategi elite Sasak Islam dengan mengemban misi dakwah melalui pendidikan

formal, informal, seperti pondok pesantren, perayaan-perayan Islam, dan lain-lain,

maka peran figur seorang “Tuan Guru” sebagai figur karismatik dan memiliki

pengetahuan luas di bidang keagamaan sangat penting. Peranan Tuan Guru

berhasil dengan baik menjembatani jurang antara dunia empirik dan dunia

spritual, menggiring ke arah terbentuknya aksi dan kesadaran praktis di antara

mereka untuk mencapai tujuan bersama. Strategi elite Sasak adat sumber

legitimasinya menggunakan adat, politik, kebudayaaan, dan institusi, sedangkan

strategi elite Sasak modern menggunakan budaya, adat, kesenian, agama, dan

etnisitas sebagai sumber legitimasinya dalam upaya pembentukan identitas orang

Sasak.

Relevansinya dalam penelitian ini terutama pada analisis kualitatif

interpretatif serta penggunaan teori yang sama, yaitu teori hegemoni Antonio

Gramsci dan teori Diskursus Kuasa Michael Foucault. Pada konteks kajian

Page 5: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

5

adanya relevansi terhadap penguatan identitas orang Sasak yang memiliki catatan

sama dengan orang Katobengke khususnya pengalaman sejarah yang sangat pahit

selama berabad-abad sampai pada era reformasi ini. Di samping itu, juga

mengalami gejolak sosial atau konflik yang berbasis subetnik, pembelajaran

bagaimana proses hegemoni Bali terhadap Sasak yang dikaji secara holistik, dan

kronologis pergulatan elite Sasak merupakan sebuah referensi utama. Hal itu

senada dengan pernyataan Rudyansyah (2010), yaitu bagaimana pergulatan elite

tradisional di Buton dengan menggunakan pendekatan keagamaan yang sangat

kental pada era Kesultanan Buton dan prospek elite dalam upaya memperebutkan

aset kekuasaan dan ekonomi pada era reformasi ini.

Tulisan James Scott (1993) berjudul Perlawanan Kaum Tani. Dalam

tulisan itu termuat kasus-kasus perlawanan kaum tani, yakni kasus revolusi hijau

di kawasan irigasi muda di Kedah, Malaysia. Protes dan pelanggaran

pemberontakan agraria dan tradisi kecil dan bentuk perlawanan sehari-hari buruh

tani dan perlawanan tanpa protes. Kasus revolusi hijau yang mengkaji secara

historis bagaimana ketidakadilan patron (petani kaya) terhadap klien (petani

miskin) yang menyebabkan kerugian buruh tani. Sebaliknya, tindakan buruh tani

dalam melakukan sebuah perlawanan merujuk ke dasar moral yang dilanggar oleh

petani kaya. Hal tersebut terjadi akibat longgarnya ikatan patron klien. Buruh

tani sebagai klien tidak mengenal cara lain selain melawan secara tak langsung,

mengarah kepada penekanan yang menjurus kepada tindakan boikot dan

pencurian padi yang baru dipanen, yang belum sempat diangkut ke rumah pemilik

sawah, mirip perilaku gerilya. Kasus tersebut dapat dijadikan sebagai bahan

Page 6: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

6

komparasi dengan pembangunan pedesaan di Indonesia yaitu adanya suatu

program bantuan perbaikan desa. Di dalam program ini dijumpai kasus prilaku

pemimpin setempat (elite pertanian) yang dinilai kurang adil dalam membagi

bantuan pada rumah tangga miskin.

Tulisan Scott (1993) memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti

lakukan saat ini, khususnya hegemoni kultur elite ekonomi dengan mata

pencaharian yang sama sebagai petani. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari

faktor budaya, politik, dan etnik itu sendiri. Perbedaannya adalah tindakan yang

dilakukan kaum tani adalah perlawanan dengan kekerasan yang berorientasi pada

hubungan patron klien, yang berkaitan dengan ketidakadilan penguasaan lahan

pertanian oleh kelompok kaya (patron) terhadap kelompok petani miskin (klien).

Bagi orang Katobengke hubungan patron klien dengan elite tradisional, hanya

terjadi pada masa kesultanan, sementara kini terjadi hubungan patron klien

sesama orang Katobengke, yaitu mereka menguasai sebagian besar lahan

perkebunan di Kota Bau-Bau. Sebaliknya, perlawanan yang dilakukan oleh orang

Katobengke terhadap elite berkaitan dengan pencitraan atau stigma sosial

sebagaimana hasil penelitian Tasrifin (2010) mengeni pencitraan negatif yang

dialamatkan atas diri mereka. Akan tetapi, dalam kajian ini pelabelan citra positif

yang disematkan elite tradisional terhadap orang Katobengke sebagai pengasuh

bayi bangsawan.

Sutherland (1983) dalam bukunya berjudul Terbentuknya Sebuah Elite

Birokrasi memfokuskan kajian pada elite birokrasi kerajaan pada masyarakat

Jawa. Bagian tulisannya menjelaskan arena perpolitikan Hindia Belanda

Page 7: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

7

khususnya masyarakat Jawa pada awal abad ke- 20. Selanjutnya juga dikaji

tentang bagaimana strategi adu domba kolonial Belanda berhadapan dengan kaum

nasionalis dengan cara memperkuat pemimpin-pemimpin “tradisional” para

priyayi yang setia untuk memperlemah gerakan nasionalis. Kesewenang-

wenangan penguasaan kolonial atas hak rakyat dan adanya kerja paksa atau rodi

merupakan indikator kuat atas diskriminasi tersebut. Birokrasi di bentuk untuk

melayani kepentingan kolonial dengan tujuan pokok membantu pemerintah

kolonial melakukan ekstraksi kekayaan Indonesia. Strategi yang dipilih oleh

pemerintah kolonial adalah menerapkan sistem indirect rule melalui kerja sama

dengan penguasa-penguasa lokal, yaitu para raja atau elite lokal yang kemudian

diangkat menjadi bupati. Hal ini dilakukan agar tetap terjaga kelangsungan

kepatuhan rakyat dalam membayar pajak, upeti, dan menyedikan tenaga kerja

secara gratis dengan memanfaatkan wibawa para bupati yang sering disebutnya

sebagai eigen hoofden. Dengan demikian, tradisi penguasa patrimonial yang tidak

mengenal pemisahan antara kepentingan pribadi dan jabatan. Di samping itu,

berdasarkan tradisi para pemimpin Jawa memperoleh sumbangan pesta dan

dianggap sukarela dan kebiasaan berangsur menjadi korupsi karena

penyalahgunaan kekuasaan.

Tulisan Sutherland (1983) memiliki relevansi dengan penelitian yang

peneliti lakukan saat ini khususnya bahwa hegemoni kultur elite tidak dapat

dipisahkan dari faktor budaya, politik, ekonomi, dan etnik itu sendiri.

Persamaan dengan elite Kesultanan Buton adalah perilaku budaya elite warisan

kolonialime seperti sistem pembayaran pajak dan tenaga kerja secara gratis.

Page 8: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

8

Lebih lanjut bahwa dalam silsilah raja-raja Buton secara geneologis berasal dari

keturunan Raja Jawa. Menurut Vonk (1937: 20) yang dikutip Zuhdi (2010: 73)

Raja Buton pertama bernama “Sibatara” yang merupakan cucu seorang Raja

Majapahit (silsilah terlampir). Relevansi penelitian ini terletak pada praktik

kepemimpinan yang dapat berpengaruh kuat khususnya segi karakater geneologis

Jawa dan warisan kolonialisme di dalam kesewenang-wenangan memperlakukan

rakyat. Perbedaannya, yaitu perlawanan yang terjadi di Jawa adalah perlawanan

antarelite kerajaan. Sutherland tidak mengkaji bagaimana perlawanan rakyat

terhadap hegemoni elite birokrasi. Kepatuhan rakyat Jawa terhadap rajanya

adalah kepatuhan secara otomatis. Artinya, rakyat menganggap perintah raja

adalah perintah dewa. Dengan kata lain ucapan raja merupakan sumber

kebenaran. Berbeda dengan Sultan Buton. Jika sultan melanggar aturan adat,

akan dihukum oleh dewan kerajaan dari kelompok siolimbona (walaka).

Peristiwa terjadi pada Sultan Buton VIII Mardan Ali (1647--1654) yang

ditenggelamkan di laut karena melanggar aturan adat yang ditetapkan “Syarana

Wolio” (perangkat kerajaan) (Dirman, 2007: 201).

Disertasi Tasrifin (2005) berjudul “Reproduksi Stereotip2 dan Resistensi

Orang Katobengke dalam Struktur Masyarakat Buton”. Tasrifin memformulasi

permasalahan penelitiannya tentang produksi dan reproduksi stereotip sebagai

2. Konsep stereotip sebagaimana dikutip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) stereotip adalahkonsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Sejalan denganitu, Sindunata (1996) mengatakan bahwa stereotip adalah penilaian tidak seimbang terhadap satukelompok masyarakat yang terjadi karena kecenderungan menggeneralisasi tanpa diferensiasi. Dyer(1977) menunjukkan perbedaan penting antara tipe dan stereotip. Tipe adalah klasifikasi yang bersifatumum dan penting terhadap orang dan peran menurut ketegori budaya setempat. Sterotip dianggapsebagai representasi gambling, tetapi sederhana yang mereduksi orang menjadi sekumpulan ciri yangberlebihan dan sering kali negatif (Barker, 2005: 274).

Page 9: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

9

warisan budaya birokrasi Kesultanan Buton bertahan dalam ruang struktur

sosialnya dan perlawanan orang Katobengke atas reproduksi stereotip tersebut.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perlawanan terhadap elite tradisional

(kaomu dan walaka) sebagai reaksi atas bertahannya pandangan stereotip negatif

yang dialamatkan kepada orang Katobengke. Persamaan kajian dengan yang

peneliti lakukan, yaitu sama-sama membahas masalah perlawanan dalam ruang

stratifikasi elite tradisional bahwa perlawanan orang Katobengke sebagai reaksi

penolakan terhadap pandangan stereotip negatif, seperti Katobengke budak,

bodoh, kaki lebar, kuat makan. Kemudian bentuk perlawanan melalui jalur

pendidikan sebagai strategi penolakan terhadap label yang dialamatkan atas diri

mereka, baik dalam ucapan maupun tindakan, dalam kehidupan sehari-hari dari

elite tradisional.

Perbedaannya adalah Tasrifin (2010) mengkaji elite kaomu dan walaka

hanya melihat sisi negatif atau stereotip negatif, sementara fokus kajian yang

penulis lakukan tidak saja pada aspek stereotip, tetapi lebih luas dan mendalam,

yaitu pada aspek hegemoni elite berorientasi pada konteks konsensus, persuasif

yang dilapisi kekerasan. Perbedaan pada disiplin ilmu dan penggunaan teori,

bahwa disertasi Tasrifin mengkaji perlawanan orang Katobengke secara ilmu

antropologis dengan pendekatan etnografi, sementara kajian yang penulis lakukan

secara culture studies dengan teori hegemoni Gramsci, Praktik Sosial Bourdieu

dan teori Diskursus Kuasa Foucault. Karena itu, persamaan faktor penyebab

khususnya stereotip, mengakibatkan implikasi dan temuan penelitian akan

menunjukan perbedaan signifikan. Fokus kajian yang penulis lakukan, tidak saja

Page 10: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

10

pada aspek pelabelan negatif tetapi juga aspek positif yang disematkan elite

tradisional. Dengan demikian, faktor stereotip dalam penelitian ini merupakan

salah satu aspek dari hegemoni elite. Fokus kajian Tasrifin mengarah kepada

kelompok elite kerajaan hingga kini yang memberikan label negativitas dalam

kehidupan sehari-hari, yang umumnya mengarah ke tindakan elite yang sifatnya

individual. Sementara arah kajian penelitian ini, di samping tindakan elite

tradisional secara individu dalam kehidupan sehari-hari juga menyangkut

kebijakan birokrasi yang masih di bawah kekuasaan elite tradisional. Kekuasaan

elite secara historis sudah dilapisi habitus elite tradisional sendiri bahwa orang

Katobengke sebagai kelompok termarginalkan. Kajian ini akan menggali secara

kronologis strategi hegemoni elite tradisional mulai era orde baru hingga

reformasi ini, baik secara persuasif maupun paksaan hingga kemudian pada era

reformasi ini orang Katobengke mulai melakukan perlawanan. Selanjutnya kajian

perlawanan orang Katobengke tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang

berimplikasi pada perubahan gaya hidup mereka, pengaruh perubahan teknologi,

serta media elektronik dan penguasaan sebagian besar areal pertanian oleh orang

Katobengke di Kota Bau-Bau.

Perlawanan orang Katobengke merupakan reaksi atas hegemoni elite yang

melakukan tindakan secara persuasif, tetapi dilapisi paksaan, diskriminasi

kekerasan simbolik dan fisik. Kajian tersebut adalah sebagai warisan kolonial

dengan memperalat elite kesultanan hingga mewarisi elite tradisional yang

menguasai panggung kepolitikan di Kota Baubau. Semua itu merupakan salah

satu fokus dan penajaman kajian penulis dalam disertasi ini.

Page 11: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

11

2.2 Konsep

Konsep merupakan jantung permasalahan yang diteliti. Komponen yang

berkaitan dengan masalah penelitian adalah masalah perlawanan, orang

Katobengke, hegemoni, dan elite tradisional. Semua hal tersebut dijelaskan

sebagai berikut.

2.2.1 Perlawanan

Perlawanan atau resisten adalah tindakan yang ditujukan untuk melawan

atau menguasai hubungan kekuasaan yang tidak setara, sebagai hal yang berbeda

dari konsep otonomi relatif, yaitu pihak yang tak berdaya biasanya menyingkir

atau menghindar dari realitas penindasan dan konsekuensinya. Resistensi

didefinisikan sebagai sebuah budaya penentangan terhadap dominasi budaya

resmi atau budaya elite. Strategi yang dipakai bersifat defensif dan subversif.

Kadang kala resistensi (pertentangan) sehari-hari berubah menjadi perlawanan

terbuka (Burke, 2001: 130). Menurut Horsby A.S (2000:1086) dalam “Oxford,

Advanced Leaner’s Dictionary”. Resist: to Refuse, to accep something and Try to

stop it from happening: to fligt back when attacked ; to use forse to stop

something happening. Resistensi bermakna menentukan sesuatu melawan balik

dan menghentikan sesuatu. Konsep ini berkaitan dengan unsur kemerdekaan,

kebebasan di dalam sebuah kelas terhadap kelas yang lain. Menurut Scott

(2005:305), perlawanan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu perlawanan sehari-

hari dan perlawanan sesungguhnya. Perlawanan sehari-hari (a) tidak terorganisasi,

tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan, pamrih, dan tidak

Page 12: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

12

berakibat revolusioner. Sebaliknya, perlawanan sesungguhnya (a) lebih

terorganisasi, sistematis, dan koperatif, (b) berprinsip tanpa pamrih, (c)

mempunyai akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang

meniadakan dasar organisasi.

Perlawanan rakyat terhadap kekuasaan bercikal bakal dari dominasi

kekuasaan negara Eropa Barat terhadap negeri dunia ketiga ketika keadaan negara

dunia ketiga masih merupakan kumpulan kelompok warga yang heterogen,

multietnik, multirasial, multireligius, dan multilingual. Eksplanasi Yacob (1992:

38) menyatakan bahwa akibat kolonialisme yang membagi-bagi Asia dan Afrika

sesuai dengan keinginan penjajah, maka banyak terjadi perang perbatasan yang

kadang-kadang berupa perang saudara karena suatu suku terpecah oleh batas-

batas yang artifisial. Perang saudara dapat bersifat rasial, etnik, bahasa, agama,

politik, dan ekonomi karena terdesak oleh suku yang dominan. Gidens (2010:

382) menyatakan bahwa negara pertanian memiliki asal usul dari perang,

rancangan irigasi, akumulasi produksi berlebih yang cepat, dan lain-lain. Bourdieu

( Mutahir,2011: 28) menyusun sebuah gerakan untuk melawan dominasi.

Dalam kariernya ia bergerak melawan ketidakadilan, membela kaum tunawisma,

pensiunan, kaum buruh, dan aktivis anti rasial serta kaum migran. Bourdieu

mendukung intelektual Brazil, yaitu negara bekas jajahan Perancis yang menjadi

korban sasaran kekerasan kaum militan.

Perlawanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sejauh mana

pernyataan-pernyataan perlawanan orang Katobengke terhadap dominasi budaya

elite tradisional, baik elite yang berpendidikan tinggi maupun tidak, kaya maupun

Page 13: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

13

miskin, yang semuanya menstigma identitas mereka sebagai terbelakang.

Kemudian, dalam internal Katobengke terdapat indikasi perlawanan terhadap elite

agama Islam murni yang masuk ke lingkungan Katobengke termasuk orang

Katobengke yang menjadi elite Islam murni, yang berpendidikan, dan

pengetahuan keagamaan yang tinggi. Bentuk perlawanan dengan tokoh

masyarakat Katobengke sendiri yang mempertahankan ideologi yang bersumber

dari sejarah mitos identitas yang dijadikan sebagai kitab suci. Para tokoh adat

yang mendoktrinkan kebenaran ritual berhadapan dengan elite agama yang

memiliki pendidikan tinggi, berpengetahuan kegamaaan secara murni, yang

menyatakan menolak ritual yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Dengan

demikian, penelitian ini dapat menjelaskan kronologis dan holistik, bentuk, faktor

penyebab, dan implikasinya orang Katobengke melakukan sebuah perlawanan,

baik terhadap elite tradisional maupun dari pihak sesama Katobengke sendiri.

2.2.2 Orang Katobengke

Orang Katobengke adalah salah satu subetnik Buton dengan kosentrasi

permukiman di pusat Kota Baubau. Asal usulnya menurut cerita yang tersimpan

di alam pikiran tokoh adat Buton, baik kalangan orang tua maupun pemuda yang

berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah, orang Katobengke berasal atau

migran dari kampung Laboora. Laboora adalah subetnik Muna atau Kabupaten

Muna yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Kota Baubau.

Sementara itu, orang Muna sendiri menyatakan bahwa orang Laboora merupakan

salah satu subetnik Muna yang tergolong strata paling bawah atau golongan

Page 14: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

14

budak. Bagi orang Katobengke sendiri, tokoh adat berpendidikan rendah, yang

berpendidikan tinggi, Islam murni menolak pernyataan elite tradisional tersebut

dan mereka menyatakan diri berasal dari Johor Malaysia (Ruslan, 2005; Tasrifin,

2010)

Ciri identitas budaya orang Katobengke adalah keunikan ritualnya, seperti

“upacara pingitan dan upacara maiana bara” (datangnya musim barat) yang

dipimpin oleh seorang tokoh adat yang disebut “parabela”3. Beberapa identitas

budaya lainnya berubah atau musnah khususnya teknologi pembuatan gerabah.

Gagalnya pewarisan keterampilan tersebut bersamaan hilangnya identitas

fisiknya, seperti kebiasaan memanjangkan daun telinga, makan siri. Khusus

pakaian khas orang Katobengke yang disebut bidha dan kabaleko yang bermotif

dasar warna krem yang dirajut dengan potongan kain warna warni berdiameter

sekitar 20 cm ” yang kemudian sejak orde baru pada tahun 1970 pemerintah

Kabupaten Buton mengeluarkan kebijakan melarang mengenakan pakaian

tersebut.

2.2.3 Hegemoni

Kamus Sage Dictionary of Culture Studies mendefinisikan hegemoni

sebagai Control by one country, organization, etc over other countries, etc

whithin a particular group; the country’s continuing desire for political and

military (Wehmeier, 2000: 604). Titik awal konsep Gramsci (2001) tentang

hegemoni bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap

3 Disertasi Ruslan Rahman (2005) berjudul “Parabela di Buton: Suatu Analisis Antropologi Politik”. Salahsatu kajiannya tentang Parabela Katobengke membicarakan bagaimana kedudukan dan perannya sebagaipemersatu, sebagai elite, model kepemimpinannya, dan sebab-sebab turunnya parabela.

Page 15: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

15

kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif. Gramsci

menjelaskan bahwa hegemoni sebuah kelas politik mengandung pengertian bahwa

kelas tersebut berhasil membujuk kelas lain dalam masyarakat untuk menerima,

baik nilai moral, politik, maupun kulturalnya. Hegemoni bukanlah hubungan

dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan

dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Lebih lanjut Gramsci

menyatakan kelompok-kelompok yang kalah dan terpinggirkan dalam kekuasaan

yang dalam bahasa menjadi subjek hegemoni kelas yang berkuasa, seperti petani,

buruh, dan kelompok-kelompok yang lain yang tidak memiliki akses kepada

kekuasaan “hegemonik”.

Konsep hegemoni Gramsci menentang determinisme ekonomi dan lebih

pada saling menguntungkan antara para pemimpin dan massa untuk tidak bersifat

kediktatoran. Hegemoni yang dikembangkan Gramsci (Bocock, 2007: 17) berarti

untuk sebagian, yaitu orang-orang dari kelas-kelas yang tidak mengeksploitasi

hendaknya memberikan persetujuan masyarakat. Berdasarkan konsep hegemoni

tersebut diketahui bahwa sejauh mana elite tradisional, baik yang bependidikan

maupun elite yang tidak berpendidikan, menjalankan kekuasaan hegemoniknya

menggiring orang Katobengke untuk menerima nilai-nilai, moral, dan politik elite

tradisional, baik secara persuasif maupun kekerasan fisik. Sebaliknya, bagi orang

Katobengke bagaimana strategi-strategi digunakan dalam melakukan perlawanan,

baik dalam kapasitasnya sebagai kelas bawah (ascribed status), dalam struktur

tradisional, maupun dalam hasil perjuangan (achieved status) mencermati atau

menolak nilai-nilai, moral, dan politik elite tradisional. Hal itu dimulai pada era

Page 16: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

16

orde baru hingga orde reformasi. Di samping itu, bagaimana bentuk-bentuk

persetujuan dan penerimaan atau perlawanan mereka terhadap praktik hegemoni

elite tradisional, baik secara persuasif maupun kekerasan fisik.

2.2.4 Elite “Tradisional”

Soekanto (1974) membatasi pengertian elite sebagai kelompok orang-orang

dalam situasi sosial tertentu memasuki posisi tertinggi, dianggap mempunyai

kekuasaan besar, dan hak-hak istimewa kadang-kadang diartikan sebagai

golongan aristokrat yang berkuasa karena faktor keturunan. Kajian tentang elite,

ada dua prespektif penting yang dapat dirujuk, yaitu prespektif pluralis dan

prespektif Marxian. Menurut Las Awell dan Dahl (1968), elite diidentifikasikan

sebagai kelompok kecil orang yang memiliki dan mendapatkan lebih dariapa yang

dimiliki dan didapatkan oleh kebanyakan orang. Mannheim (1946:215) dalam

bukunya “ Man and Society in an Age Reconstruction membedakan elite integratif

yang terdiri atas pemimpin politik dan organisasi serta elite sublimatif yang terdiri

atas pemimpin moral keagamaan, seni, dan intelektual.

Penelitian Kappi (Alfian, ed.,1988:70--89) pada masyarakat Aceh

mengklasifikasikan kedudukan kelompok elite, yaitu (1) elite pedesaan /kelurahan

adalah kelompok elite pada masa kerajaan, kelompok elite agama (karena

peranannya dalam bidang agama), dan kelompok elite karena jabatannya dalam

perangkat birokrasi kekuasaan; (2) elite bangsawan menggambarkan sekelompok

manusia yang memiliki posisi dan fungsi dalam masyarakat pada masa lampau,

status kebangsawanan diperoleh karena dibebankan (ascribed status) atau status

Page 17: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

17

natural (alamiah); (3) elite birokrasi adalah kelompok karena jabatannya

melaksanakan tugas-tugas admistrasi pemerintahan; (4) elite agama karena

pengaruh agama tampak dan segala aktivitas sosial kemasyarakatan yang

sebenarnya menjadi lapangan adat yang bukan bagian dari ajaran agama selalu

dihubungkan dengan aktivitas keagamaan; (5) elite agama dan politik

dimaksudkan di samping karisma4 di bidang keagamaan juga sebagai politisi; (6)

elite cendekiawan, yaitu bahwa pada masa lalu peranan cendekiawan dimainkan

oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang agama yang

disebut ulama. Mereka adalah pemikir-pemikir utama dalam masalah-masalah

agama, kebudayaan, dan tradisi; (7) elite ekonomi bahwa sektor ekonomi

tradisional masih sangat penting dalam kehidupan masyarakat mengingat sebagian

besar masyarakatnya terdiri atas petani dengan tingkat kemampuan petani masih

rendah.

Menurut OALD (2011) konsep tradisional, yaitu traditional is being part

like belief, customs or way of life of particular Group of people, that have not

changed for along time following order methods and edeas rather than modern of

different ones. Tradisional diartikan sebuah kepercayaan adat istiadat kelompok

tertentu yang tidak bisa berubah sepanjang waktu dengan mempertahankan cara-

cara lain yang berbeda dengan cara-cara modern.

4 Weber (Kartodirjo, 1984:19) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kepemimpinankarismatik adalah kepemimpinan yang terjadi karena seorang pemimpin tampak memilikikewibawaan (karisma) yang diketahui oleh kelompok pergaulannya.

Page 18: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

18

Konsep elite tradisional mengandung pengertian sekelompok orang yang

berada pada posisi tinggi karena faktor keturunan yang mempertahankan

kepercayaan, yang terkandung di dalam adat istiadat dan berbeda dengan cara-

cara modern. Untuk membedakan elite karena faktor keturunan dan elite yang

diperoleh dengan cara-cara modern, dapat diikuti konsep Weber (1978) yang

menggunakan konsep status. Status didefinisikan oleh Weber sebagai kelompok

yang anggotanya mempunyai gaya hidup tertentu dan mempunyai tingkat

penghargaan sosial tertentu yang dikelompokkannya menjadi dua bagian.

Pertama, ascribed status menunjuk pada satu komunitas, suatu kelompok

masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) dan perasaan identitas kelompok

yang sama dan bersifat berbeda dengan kelompok status yang lain. Kelompok

elite tradisional, kelompok agama, atau organisasi-organisasi sosial yang ada

dalam masyarakat merupakan wujud dari kelompok status tersebut. Kedua,

achieved status adalah sebuah asosiasi politik, yang anggotanya melakukan atau

mempunyai kekuatan sosial tertentu atau menunjuk pada perjuangan, baik dalam

bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Kedua klasifikasi elite tersebut bisa

status kebangsawanan sebagai elite tradisional, tetapi juga memiliki atau tidak

memiliki kekayaan, pendidikan, dan pekerjaan.

Elite tradisional yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah elite

bangsawan terdiri atas kaomu dan walaka yang memiliki posisi dan fungsi dalam

masyarakat pada masa Kesultanan Buton. Status kebangsawanan diperoleh

karena dibebankan (ascribed status) atau status natural (alamiah) dan biasanya

memiliki kemampuan di bidang adat keagamaan yang dalam bahasa Wolio

Page 19: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

19

disebut kamiya. Dalam konteks kajian hegemoni elite tradisional tidak

dipengaruhi oleh keelitan tradisional mereka ketika memasuki ruang, baik

sebagai elite agama, pendidikan, ekonomi, maupun kepolitikan. Dalam kaitan

penelitian ini, perbedaan antara elite tradisional yang tidak memiliki dan yang

memiliki kekayaan, pendidikan, dan kekusaan adalah soal strategi dan etika

tersembunyi.

Perbedaan secara ascribed status (kamiya) tampak menonjol pada

pelaksanaan adat perkawinan utamanya menyangkut jumlah mahar, yang tidak

mempertimbangkan tingkat pendidikan, ekonomi, dan politik. Sementara itu, elite

Katobengke modern berjuang untuk melawan status yang dibebankan kepada diri

mereka sebagai budak. Perjuangan (achieved status) itu dilakukan melalui peran

mitos asal usul identitas, kepahlawanan, dan kesaktian untuk menetralisasi

ketakutan mereka terhadap elite tradisional. Berdasarkan acribed status yang

dibebankan atas diri mereka, kemudian mereka berjuang menyejajarkan diri

melalui achieved status atau memasuki ruang strata modern dengan menggunakan

alat perlawanan sesuai kapasitas tingkat pendidikan, agamis, pemilik modal,

politik dan kekuasaan, baik secara kolektif terorganisasi maupun perorangan yang

tidak terorganisasi.

Konsep perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional,

yaitu sejauh mana perlawanan terhadap tindakan elite tradisional yang

menjalankan kekuasaan hegemoniknya terhadap orang Katobengke sebagai

kelompok subordinat. Keekuasaan hegemoni itu terjadi mulai era Kesultanan dan

kolonialisme, orde lama memasuki orde baru hingga orde reformasi ini.

Page 20: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

20

Kemudian dalam perkembangannya elite tradisional menghadapi perlawanan elite

Katobengke modern yang berada dalam ruang dominasi kepolitikan elite

tradisional di Kota Baubau yang berimplikasi pula terhadap identitas mereka

sendiri.

2.3 Landasan Teori

Ada tiga teori yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji

perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional, yakni (1) teori

hegemoni Gramsci, (2) teori praktik sosial Bourdieu, dan (3) teori diskursus kuasa

Foucault. Ketiga teori tersebut berkorelasi satu sama lain dan substansi ketiga

teori tersebut berangkat dari persoalan ideologi dan kekuasaan. Perbedaannya,

hegemoni Gramsci menekankan pada aspek kekuasaan hegemonik, teori diskursus

Foucault menekankan pada kekuasaan menormalisasi dan pendisiplinan

sedangkan Bourdieu menekankan kekuasaan pada aspek kekerasan simbolik dan

perlawanan terhadap dominasi. Teori hegemoni digunakan untuk mengkaji

bagaimana strategi perjuangan orang Katobengke atau kontra hegemoni melawan

kekuatan hegemoni elite. Teori diskursus Foucault mengetengahkan relasi

kekuasaan yang menormalisasi dan pengetahuan. Di pihak lain teori praktik sosial

Bourdieu mencanangkan praktik perlawanan simbolik melawan kekerasan

simbolik elite tradisional. Bourdieu menggunakan konsep habitus bahwa produk

historis dibentuk melalui sosialisasi dan bentuk-bentuk tersembunyi dalam

kehidupan sehari-hari. Pemahaman tentang ideologi, baik dilakukan oleh Foucault

maupun Bourdieu, menunjukan kemiripan antara pembentukan diskursus dan

Page 21: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

21

doxa sebagai istilah lain dari ideologi Ketiga teori besar tersebut digunakan

untuk menggali secara kronologis pernyataan-pernyataan tersembunyi orang

Katobengke, yang tidak disadari, tetapi membentuk perilakunya. Sebagaimana

pernyataan-pernyataan mereka atas kekuasaan hegemonik elite tradisional sejak

era kesultanan yang tereproduksi, tersosialisasi, dan terinternalisasi pada semua

level relasi sosial hingga kini di Kota Baubau.

Berbagai pernyataan dan tindakan orang Katobengke terhadap kebenaran

elite tradisional tentang hubungan sosial, ekonomi dalam keluarga dan

perkawinan, sekolah dan kelompok kerja, kesehatan, disiplin, dan lain lain.

Bagaimana sistem pengetahuan itu diwariskan dan terinternalisasi dalam praktik

kehidupan sehari-hari orang Katobengke. Potret aktivitas upacara lingkaran hidup

dan perkawinan yang memberikan gambaran relasi hubungan kekuasaan dan

pengetahuan. Makna atas simbol-simbol dominasi elite tradisional atau kontra

hegemoni yang dimainkan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional

di Kota Baubau. Untuk selanjutnya secara terperinci ketiga teori tersebut dapat

disajikan sebagai berikut.

2.3.1 Teori Hegemoni

Praktik hegemoni bercikal bakal dari persoalan “dunia Barat dan dunia

Timur”. “Barat” diterjemahkan oleh para ilmuwan sebagai orang Eropa Barat

berpartisipasi di “Timur”. Para ilmuwan “Barat” itu, antara lain para ahli bahasa,

penyiar agama Nasrani, ahli etnologi, dan pemerintah pegawai jajahan yang

melakukan ekspedisi di daerah jajahan. Kerja lapangan para ilmwuan tersebut

Page 22: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

22

dilandasi gaya berpikir dan menilai bahwa masyarakat yang berada di luar Eropa

khususnya daerah jajahan di Asia dan Afrika adalah primitif, savages.

(Koentjaraningrat 1980).

Teori hegemoni Gramsci (1971) menempatkan ide-ide Marx untuk

mengembangkan kerangka berpikirnya. Marxisme-Leninisme mempunyai

kecenderungan bahwa kekuasaan terpusat dalam negara dan strategi revolusioner

merebut kekuasaan, kemudian baru pembangunan dimulai. Gramsci dalam Roger

(2004: 30) menyatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah

hubungan, yaitu hubungan sosial dalam masyarakat sipil. Di samping itu, juga

merupakan hubungan kekuasaan bisa merata ke seluruh masyarakat sipil, bukan

hanya terwujud dalam aparat negara.

Menurut Gramsci (2001: 21), hegemoni adalah suatu organisasi

konsensus. Artinya, hegemoni terjadi bila cara berpikir kelompok tertindas

menerima cara berpikir kelompok dominan, yang dilakukan melalui wacana.

Hegemoni dimaknakan juga sebagai salah satu aspek kontrol sosial yang muncul

dari konflik sosial, yang dilakukan oleh kelompok sosial yang dominan melalui

kekuatan langsung atau ancaman kekuatan (pengendalian koersif) atau dengan

secara sengaja, sukarela (pengendalian konsensual), mengasimilasikan pandangan

atau hegemoni kelompok dominan yang memungkinkan kelompok itu untuk

bersikap hegemonik terhadap kelompok subordinat. Kelompok subordinat

menerima gagasan, nilai kepemimpinan bukan secara fisik atau mental, mereka

dibujuk, diindoktrinasi secara ideologis, perintah fungsional kapitalisme untuk

melakukannya. Akan tetapi, merupakan sekumpulan gagasan konsensual atas

Page 23: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

23

dasar konsesi yang dibuat kelompok dominan terhadap kelompok subordinat.

Gramsci lebih fokus pada penekanan konsensus daripada kekuatan dan dominasi

sebagai batu sendi tatanan sosial (Sugiono, 2006: 39). Pernyataan Gramsci

tentang konsep hegemoni bahwa suatu kelas5 penguasa menggunakan cara

kekerasan dan persuasif terhadap kelas di bawahnya.

Konsep kelas di atas mengikuti konsep Weber (1978) tentang "Class,

Status, dan Party". Konsep class, yakni adanya kelas pekerja di satu pihak dan

pemilik modal di pihak lain. Namun, bagi Weber, kelas tidak hanya dalam pasar

kerja, tetapi lebih luas daripada itu. Kelas juga berupa profesi dan pekerjaan yang

kemudian menciptakan kelompok-kelompok kepentingan ekonomi yang berbeda.

Kelas merupakan stratifikasi sosial sesuai dengan prinsip yang dianut masyarakat

yang bersangkutan dalam mengonsumsi harta benda sebagaimana yang

dicerminkan oleh gaya hidup khusus. Kelas dibedakan berdasarkan posisi dalam

tatanan ekonomi atau perbedaan posisi dalam penguasaan alat-alat produksi.

Weber (dalam Sanderson, 2011: 284) setuju dengan Marx bahwa konsep kelas

merupakan hal yang sentral dalam menganalisis stratifikasi masyarakat kapitalis

modern, kelas yang tidak punya harus bekerja pada para kapitalis untuk

mempertahankan hidup. Kapitalisme telah banyak berubah sejak zaman Marx,

yaitu berkembangnya kelas-kelas yang terletak di antara kelas borjuasi tradisional

dan kelas proletariat tradisional, suatu kelas yang sulit diidentifikasi dan

dikategorikan. Kelas-kelas saat ini tidak saja berhubungan langsung dengan

5 Istilah kelas menurut Dahrendorf ( 1986: 27) pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Romawi dalamkonteks penggolongan pembayar pajak. Masyarakat Romawi membagi dua golongan, yaitu gologan kaya(assidui) dan miskin (proletariat). Pada abad ke-18 istilah kelas digunakan oleh ilmuwan Eropa denganmemberikan pengertian yang sama antara status dan kedudukan. Pada abad ke-19 istilah kelas mulaidigunakan konteks kesenjangan sosial yang berakar pada kondisi ekonomi.

Page 24: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

24

pemilikan modal, tetapi juga berkaitan dalam hal dominasi dan kekuasaan. Oleh

karena itulah, seseorang mampu mengarahkan aktivitas dalam proses kerja

(Parkin, 1979).

Lebih lanjut menurut Weber (1978), ada duta tipe kelompok stratifikasi

lain, yaitu status dan party. Kelompok status, sebagai kelompok yang

anggotanya mempunyai gaya hidup tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan

sosial tertentu. Di pihak lain party, merupakan perkumpulan sosial yang

berorientasi pada penggunaan kekuasaan sosial yang berpengaruh kepada

masyarakat. Weber juga menggunakan konsep lain untuk menganalisis

stratifikasi sosial yang sama pentingnya dengan konsep kelas, status, partai, yaitu

konsep batas sosial. Konsep batas sosial untuk menunjukkan kecenderungan kuat

kelompok sosial tertentu mencapai kriteria sebagai tanda perbedaan, sebagai alat

memisahkan diri dengan kelompok lainnya. Yang termasuk kriteria ini adalah

jenis kelamin, ras, latar belakang kultural, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

Anggota kelompok ini mencoba memonopoli sumber daya sehingga mendapatkan

harga diri dan ekonomi yang mapan. Konsep batas sosial Weber merupakan

tambahan terhadap analisis Marx tentang stratifikasi sosial modern dan pemilikan

modal sebagai salah satu konsep batas sosial. Anggota kelas kapitalistik

menggunakan modal besar sebagai alat untuk menciptakan dan memelihara

prestise dan hak istimewa yang tinggi.

Konteks hegemoni ideologi elite mengacu pada ideologi dominan karya

Marx dan Angels (1963) dalam “The Germany ideology”. Marx dan Angel

menyatakan bahwa argumen yang paling mendasar di sebagian besar masyarakat

Page 25: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

25

berkelas terdapat seperangkat keyakinan yang mendarah daging dan secara luas

melayani kepentingan kelas dominan. Agama sering disebut sebagai salah satu

contoh ideologi dominan pada zaman feodal. Ada dua prinsip teori teokrasi,

yaitu, raja adalah tuan tanah seperti tuan tanah lainnya, raja mempunyai tanggung

jawab terhadap masyarakat dan tidak dapat dipersalahkan di hadapan

komunitasnya. Prinsip kedua berasal dari teori sakramental bahwa raja berada di

atas masyarakat dan bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada manusia.

Analisis Marx (1963) dikembangkan oleh Gramsci dalam teorinya tentang

“hegemoni ideologi” dalam masyarakat kapitalistik dalam kerangka pemahaman

tentang kekuasaan hegemoni. Gould menyatakan bahwa masyarakat bertipe

agraris besar kemungkinan mengembangkan stratifikasi sosial menyerupai

“sistem kasta6.” Hegemoni selalu berada dalam keadaan berubah. Hal ini berarti

perjuangan terus-menerus terhadap nilai-nilai atau ideologi-ideologi yang sudah

disepakati elite yang berkuasa, yaitu berupaya memenangkan hegemoni.

Sementara kelas yang dikuasai berusaha bertahan melalui kontra hegemoni.

Dengan menciptakan dan menyebarluaskan suatu cakrawala wacana dengan

menentukan standar apa yang benar, indah, bermoral, asli, mereka membangun

suatu iklim simbolik yang mencegah kelas-kelas bawah untuk berpendapat bahwa

jalan mereka bebas.

6 Istilah kasta berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi yang ditandai strata sosialendogenus dalam perkawinan. Hasan Sadely menyebut sistem kasta sebagai model strukturkelas tertutup ketat. Pada masyarakat berkasta yang struktur kelasnya bersifat tertutup hampirtidak ada gerak sosial yang vertikal karena kedudukan seseorang telah ditentukan sejak lahir.Di India terdapat lima kasta yang menentukan struktur masyarakat India, yakni brahmana ataurohaniwan; kesatria atau pemimpin politik, pemerintahan, dan pahlawan; waisya atau pekerjadan pedagang; Sudra, yaitu pelayan buruh dan petani; Haryana atau indvidu yang hina dannajis (Dwipayana, 2001:45--64).

Page 26: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

26

Bagi Gramsci, dalam kenyataannya kaum proleter (tani) itu lebih

diperbudak pada tingkat gagasan daripada tingkat perilaku. Oleh karena itu tugas

sejarah “partai” tidak memimpin sebuah revolusi akan tetapi menghancurkan

udara kotor simbolik yang telah menghalangi pemikiran revolusioner.

Sebuah penafsiran untuk menjelaskan sikap menerima kelas bawah,

terutama di pedesaan seperti di India suatu sistem kasta yang ketat yang amat

dihormati diperkuat pula oleh ajaran-ajaran agama. Kasta rendahan dikatakan

menerima nasib mereka dalam hierarkis agama Hindu itu dengan pengharapan

untuk memperoleh ganjaran dalam kehidupan berikutnya. Suatu penafsiran

alternatif tentang sikap menerima seperti itu mungkin dapat dijelaskan hubungan

kekuasaan di daerah pedesaan, bukan dengan nilai kepercayaan petani. Menurut

pandangan ini, perdamaian agraris lebih banyak berupa perdamaian penindasan,

bukan merupakan perdamaian atas dasar persetujuan atau kepatuhan. Daniel Bell

(Dwipayana, 2001: 41--46) menyatakan bahwa hegemoni budaya terbentuk

apabila terma budaya kelompok dominan telah menjadi acuan nilai-nilai

kebudayaan yang mapan dalam masyarakat secara keseluruhan. Mecher

memperlihatkan bagaimana kelas penguasa di India, tuan tanah didukung kaum

rohaniwan yang berkasta tinggi merugikan kelas buruh tani yang berkasta rendah,

terutama kasta Haryan yang tergolong hina menderita kerugian utama eksploitasi

ekonomi dan identitas yang hina. Walaupun ada sistem hukum yang melawan

semua praktik ini, kasta lebih tinggi menggunakan sanksi ekonomi kepada mereka

yang melanggar aturan tradisional kasta.

Page 27: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

27

Proses hegemoni (dan kontra hegemoni) menurut Gramsci, selalu

mengambil tempat dalam masyarakat melalui lembaga–lembaga sosial yang ada,

seperti sekolah, gereja, parpol, birokrasi dan melalui produksi-produksi simbolik,

seperti kebudayaan, nilai-nilai, sistem-sistem kepercayaan, dan sebagainya

(Hikam, 1996: 59). Teori hegemoni Gramsci menyatakan agar yang terhegemoni

patuh terhadap penghegemoni, maka yang terhegemoni hendaknya mampu

menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni di samping harus memberikan

persetujuan atas subordinasi mereka (Wibowo, 2007). Terkait dengan perubahan

sosial, Gramsci membenarkan gagasan Marx bahwa perubahan sosial tergantung

kaum proleter. Perbedaan pada aspek pendekatan tidak terjadi secara otomatis. Di

pihak lain perkembangan ekonomi dimantapkan secara saksama melalui

pendidikan dengan sosialisasi tandingan (Jones, 2009: 101).

Dominasi ideologis, politis, ekonomi, komunikasi dilakukan oleh

seseorang, kelompok, bahkan negara. Menurut Michael Van Langenberg,

hegemoni dimungkinkan terjadi lewat proses regimentasi yang meluas sampai ke

alam bawah sadar masyarakat (Gramsci, 1990: 11). Hegemoni dipandang

sebagai pendekatan teoretis penting (the key theoritical approach) dalam kajian

budaya (Cultural Studies). Analisisnya ditekankan pada hubungan power dan

practice, Menurut Gramsci, ideologilah yang memajukan perkembangan

kekuatan-kekuatan produktif. Sementara ideologi tampil sebagai a unifying force,

hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis atau lebih tinggi dari yang lainnya

(Gramsci, 1990:169).

Page 28: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

28

Melalui media massa yang semakin lama berkembang semakin cepat

menjadi salah satu kunci penting dalam kaitan penanaman ideologi gender yang

ada di masyarakat dan penyatuan pikiran (hegemoni) yang dilakukan pihak-pihak

tertentu yang bertujuan maximizing provit. Hegemonitas budaya yang dimaksud

di sini adalah bagaimana teks-teks yang muncul diolah sedemikian rupa, dari teks

yang seharusnya terkesan buruk menjadi suatu format yang umum digunakan

dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh media yang

selalu ‘menindas’ masyarakat, baik dengan berbagai macam isu maupun

informasi-informasi yang dianggap penting oleh suatu media. Oleh karena itu,

khalayak secara tidak sadar telah ‘tertindas’ oleh kaum-kaum penguasa itu sendiri.

Fenomena dampak perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita

dewasa ini yang sedang mengalami transisi simultan, yaitu budaya agraris-

tradisional menuju industri modern. Peran mitos diambil logos; etnis kedaerahan

menuju budaya nasional kebangsaaan; transisi budaya nasional kebangsaan

menuju budaya global mondial, seperti hak asasi, keadilan, kebebasan, juga

masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial menuju

kesadaran mondial. Implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks karena di

sisi lain masyarakat hidup dalam standar ganda. Di satu pihak beberapa orang

mempertahankan nilai budaya lama yang dimprovisasikan untuk melayani

perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan

(sub culture). Sebaliknya, sedang di pihak lain muncul tindakan-tindakan yang

bersifat melawan perubahan yang dirasakan sebagai penyebab nestapa dari

mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser, dan tergusur dari tempat ke tempat,

Page 29: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

29

dari waktu ke waktu. Mereka merasa tidak terlayani oleh masyarakatnya yang

disebut sebagai budaya tandingan (counter- culture) .

Beberapa realitas kontemporer di Indonesia yang diformulasi, baik oleh

para teoretisi maupun praktisi menyatakan bahwa hegemoni elite birokrasi

terhadap rakyat merupakan duplikasi kolonial, sebagaimana terbentuknya sebuah

elite birokrasi kerajaan di Jawa (Sutherland, 1983: 73). Thoha (2010: 2)

menyatakan bahwa birokrasi pemerintah sering kali diartikan sebagai officialdom

atau kerajaan pejabat, yaitu proses komunikasinya didasarkan pada dokumen

tertulis, itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat. Demikian pula,

Abdullah (2010: 66) menyatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum sejak

zaman orde baru bahwa etnis mayoritas mendapatkan privelese-privelese dalam

berbagai bentuk, sedangkan etnis yang tidak memiliki back–up mengalami

marginalisasi7. Hal itu senada dengan pernyataan Kumbara (2010: 23) bahwa

kebijakan represif pemerintahan orde baru atas nama pembangunan bangsa yang

membungkam berbagai gejolak sosial dan isu-isu sensitif yang disebut sebagai

SARA” telah menimbulkan dampak negatif bagi harmonisasi hubungan sosial

dalam masyarakat.

Penelitian I Gede Mudana (2005:426--431) terhadap pembangunan Bali

Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot, memfokuskan bagaimana proses

berlangsungnya hegemoni pemerintah orde baru dan perlawanan masyarakat

7 Marginalisasi mengacu kepada kelompok pelacur di Rio de Jeneiro. Pada tahun 1986 para pelacur di Riode Jeneiro membentuk suatu jaringan untuk menciptkan ruang di mana mereka bisa saling mengutarakanpengalamannya. Konferensi Pelacur Nasional pertama lahir di jaringan itu dan diselenggarakan tahun1987. Jaringan itu hanya salah satu aspek kerja; organisasi pendukungnya, ISER ( Instituto de Estudos daReligiao; Institut Kajian Agama) telah membangun sejumlah proyek lain, yang bertujuan mengkaji isukhusus pelacuran guna melihat kehidupan pelacur yang hidup “di luar” masyarakat utama, di bawahnaungan “harga diri kelompok yang “termarginalkan” (Cleves Mosse, 1996: 96).

Page 30: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

30

dalam pembangunan Bali Nirwana Resort sebagai persoalan kompleks antara

pemerintah, pengusaha, masyarakat, lingkungan, adat, dan agama di kawasan

tanah Lot. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi kekuasan negara

sangat besar, sementara pemerintah tidak mengindahkan peran masyarakatnya

yang memiliki kekuatan falsafah “trihita karana” yang mengakar dalam

ekosistem masyarakat adat dan agama di Bali sebagai komponen utama dalam

pembangunan tersebut. Dominasi kekuasaan pemerintah orde baru mengakibatkan

persoalan sosiologis, macetnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat

yang berimplikasi pada ketidakseimbangan pengembangan pariwisata.

Teori hegemoni digunakan untuk mengkaji proses dan bentuk perlawanan

atau kontra hegemoni orang Katobengke terhadap elite tradisional, baik

perlawanan pasif maupun perlawanan simbolik melalui mitos-mitos, ritual, dan

peran kepemimpinan tradisional orang Katobengke hingga perlawanan secara

manifes. Sejauh mana fungsi stratifikasi sosial dan kekuatan pengaruh globalisasi

atas kekuasaan hegemoni kaomu dan walaka yang tereproduksi terhadap strata

papara budak yang dilabelkan pada orang Katobengke. Bagaimana kekuatan

mitos, falsafah mampu menciptakan kepatuhan, melawan perasaan keterpinggiran

terhadap hegemoni elite, baik secara historis era Kesultanan Buton maupun

kekinian. Peristiwa–peristiwa sosial ekonomi yang terjadi dapat menyebabkan

berubah, pudarnya atau hilang, dan munculnya identitas baru orang Katobengke.

2.3.2. Teori Praktik Sosial

Page 31: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

31

Gagasan Bourdieu yang mengeksplanasi konteks reproduksi relasi sosial

dan kekuasaan dianalogikan sebagai permainan dalam perjuangan kepentingan,

status, dan kelas. Bourdieu merumuskan praktik sosial melalui (Habitus x

Modal) + ranah yang dijelaskan sebagai berikut.

Habitus merupakan struktur mental atau kognitif (Harker dkk., 2009:13)

yang digunakan aktor sosial untuk beradaptasi dalam menghadapi kehidupan

sosial. Habitus sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari

benda dalam realitas sosial. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki skema

yang terinternalisasi melalui skema untuk mempersepsikan, memahami dan

menghargai realitas sosial. Berbagai skema, baik buruk, sehat, maupun sakit,

bekerja, tidak bekerja. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang

memberikan kerangka acuan pada tindakan individu dalam aktivitas sehari-hari.

Skema sakit merupakan kondisi fisik yang yang tidak menyenangkan, sehingga

tindakan manusia diarahkan untuk menghindarinya. Habitus dikatakan sebagai

ketidaksadaran kultural karena habitus bukanlah ide bawaan, habitus adalah

produk sejarah, sebagai hasil pemberdayaan melalui pengasuhan anak. Habitus

merupakan produk historis menciptakan tindakan individu dan kolektif sebagai

pengalaman hidup dan mempunyai fungsi tertentu dalam kehidupan sosial di

mana kebiasaan itu terjadi.

Menurut Bourdieu dalam Chaney (1996:41), habitus dapat berubah (1) ia

bersifat normatif dan memberikan panduan berupa prinsip atau strategi sehingga

aktor dapat menggunakannya sesuai dengan kehidupan sosial yang umumnya

bekerja sebagai tata krama dan gesture (sikap tubuh); (2) habitus merupakan

Page 32: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

32

perjuangan atau strategi untuk merebut posisi atau “kelas” dalam kehidupan sosial

dan berkaitan dengan gaya hidup sebagai karakteristik kelompok dan sangat

tergantung dengan bentuk-bentuk kultural yang memberikan prinsip hidup

tersebut; (3) habitus menjadi praktik serta sikap yang masuk akal pada waktu dan

konteks tertentu; (4) habitus dibentuk melalui sosialisasi dan menanamkan

berbagai prinsip untuk mengatur kemunculan praktik sosial yang cenderung

mereproduksi dalam kondisi obyektif yang asli; (5) habitus senantiasa berubah ke

suatu arah yang mengupayakan kompromi dengan kondisi material dan berubah

mengikuti kecenderungan sosial dan gender. Habitus erat kaitannya dengan modal

karena habitus pengganda berbagai jenis modal, menciptakan modal simbolik,

seperti prestise, status, dan otoritas serta modal cultural, seperti seni, pendidikan,

dan bahasa.

Modal merupakan basis dominasi yang terdapat dalam setiap ranah, baik

bersifat material maupun modal yang berifat simbolik, seperti prestise, status, dan

otoritas (Haker dkk., 1990:16). Berbagai modal dapat dipertukarkan, yang pada

akhirnya memberikan legitimasi dan kekuasaan. Modal simbolik seperti prestise

yang memungkinkan seseorang hadir sebagai representase kelompok dan modal

ini sering melahirkan kekerasan simbolik bagi individu atau kelompok yang

lemah. Di pihak lain modal budaya lebih luas, meliputi seni, pendidikan, dan

bahasa yang menurut Bourdieu dalam Harker (1990) meliputi selera yang bernilai

budaya dan pola-pola konsumsi. Modal sosial Bourdieu (1970) sebagai sumber

daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang dari jaringan sosial yang

terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan

Page 33: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

33

perkenalan secara timbal balik, yang dalam kelompoknya memberikan dukungan

pada anggotanya secara kolektif. Fukuyuma (1995) yang mengkaji bidang

ekonomi menyebutkan bahwa modal sosial berintikan kepercayaan (trust)

merupakan dimensi budaya dari kehidupan ekonomi. Ia mendefinisikan modal

sosial sebagai rangkaian nilai yang memberikan teladan untuk digunakan bersama

di antara anggotanya. Sementara modal budaya Coleman (1988) merupakan

aspek struktur hubungan antara individu yang memungkinkan mereka

menciptakan nilai-nilai baru.

Ranah diartikan sebagai sesuatu yang dinamis yang dideifnisikan sebagai

sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi yang

berkorespondesi. Otonomi ranah diciptakan untuk para intelektual melalui

konstruksi ranah ekonomi yang dipertentangkan dengan ranah-ranah yang lain.

Ranah yang dimaksudkan adalah sebuah arena pertarungan, di mana sejumlah

modal, seperti ekonomi, sosial, budaya dan simbolik digunakan dan

didistribusikan. Ranah adalah sebuah kekuatan bersifat otonom yang menyangkut

perjuangan posisi-posisi, yang ditentukan oleh pembagian modal dari aktor yang

berada di dalamnya. Ruang sosial dibentuk melalui beragam ranah di mana setiap

individu memperjuangkan posisi dirinya melalui berbagai bentuk modal. Koalisi-

koalisi diciptakan melalui kedekatan relasi dalam ruang sosial dan ranah

mengidentifikasi wilayah-wilayah perjuangan.

Menurut Ritzel (2011: 525), pandangan Bourdieu bersifat relasional,

semacam pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal, sosial, ekonomi, budaya,

dan simbolik yang digunakan dan didistribusikan. Posisi berbagai agen, baik

Page 34: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

34

individu maupun kolektif yang berada dalam ruang ranah, ditentukan oleh jumlah

dan bobot modal yang dimiliki. Penguasaan modal kapital dapat menentukan

posisi atau nasib individu. Ranah juga menggambarkan kekuasaan politik,

hierarkis hubungan kekuasaan, dan kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe

posisi. Sebagai benteng strategis, diperebutkan dan dipertahankan dalam ranah

atau perjuangan ranah juga mengondisikan habitus. Praktik individu dan sosial

menurut Bourdieu dalam Harker (1990: 19) merupakan hasil interaksi ranah dan

habitus yang dipahami melalui strategi perjuangan posisi-posisi dalam ranah.

Ranah dikelilingi relasi kekuasaan yang berbasis modal dan jenis modal dalam

ranah digabung dalam habitus dan menjadi basis dominasi. Modal menjadi

sebuah relasi sosial yang terdapat dalam sistem pertukaran yang

mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang istimewa untuk kemudian dicari

sebuah formasi sosial.

Pierre Bourdieu meninjau permasalahan ideologi dari sisi budaya.

Pemikiran awalnya dipengaruhi Marx dan Althuser, yaitu pemikiran tentang

bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya disebarkan dan

berpengaruh dalam suatu masyarakat. Habitus adalah struktur kognitif yang

memperantarai individu dalam berurusan dengan realitas sosial. Manusia dibekali

sederetan skema yang terinternalisasi dan melalui skema itu, mereka

mempersepsikan, memahami, menghargai, dan mengevaluasi realitas sosial.

Habitus bisa berupa ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara

tak sadar dianggap alamiah (Eagleton, 1991). Habitus mendasari ranah yang oleh

Bourdieu (dalam Ritzel, 1996) diartikan sebagai jaringan relasi antara posisi-

Page 35: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

35

posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan

kehendak individual. Pengertian habitus dan ranah tampaknya sejalan dengan

pengertian ideologi sebagai sesuatu yang tak disadari.

Bourdieu dan Althuser (1994) sama-sama menekankan penting semacam

skema panduan tingkah laku (struktur atau aturan) yang terinternalisasi dalam diri

individu dan secara tak disadari mengatur tingkah laku individu. Perbedanya bagi

Bourdieu (1991), skema hanya membatasi pikiran dan pilihan tindakan, tidak

menentukan habitus menyarankan apa yang harus dipikirkan dan tidakan apa yang

harus dilakukan. Skema mengajukan penjelasan tentang doxa yang mirip dengan

pengertian ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang

stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya

terinternalisasi dan tidak dipertanyakan. Doxa tampil lewat pengetahuan-

pengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu

tanpa dipikirkan atau ditimbang terlebih dahulu. Dengan doxa, manusia

menerima banyak hal tanpa mengetahuinya dan itulah disebut dengan ideologi.

Dalam pandangan filsafat perubahan, pelaku tidak lagi menentukan tujuannya

secara sadar atau dibimbing oleh semacam kesadaran palsu. Para pelaku bisa saja

melakukan tindakan yang irasional pada satu waktu dan bertindak secara rasional

pada lain waktu.

Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap ranah. Aturan

yang bekerja sebagai modus dari apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan

simbolik (Eagleton, 1991). Konsep ini memperlihatkan bentuk yang tersembunyi

dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, yang

Page 36: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

36

dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, tetapi malah

mengudang konfrontasi sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya

yang sangat halus. Contoh dalam dunia pendidikan ketika seorang dosen secara

halus memaksakan pengetahuan yang dimiliki untuk diterima dan dianut

mahasiswa. Begitu pula ketika negara secara halus memaksakan kepercayaan-

kepercayaan kepada rakyat lewat berbagai indoktrinasi. Selain itu, juga

pemaksaan halus oleh produsen untuk menanamkan pengetahuan tentang produk

tertentu kepada konsumen lewat iklan. Pengetahuan yang diterima begitu saja

merupakan bentuk konkret dari doxa.

Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2010: 158), inti penggunaan kekerasan

simbolis adalah tindakan pedagogis. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya

yang di dalamnya terdapat tiga mode. Ketiga mode yang dimaksud adalah (1)

pendidikan yang tersebar luas yang terjadi dalam interaksi dengan anggota

bangunan sosial seperti kelompok umur informal; (2) pendidikan keluarga yang

berbicara untuk dirinya sendiri; dan (3) pendidikan institusional (misalnya ritual

inisiasi di satu sisi atau sekolah di sisi lain). Kapasitas kekuatan simbolis agen

pendidikan berhasil mendoktrinasi makna merupakan fungsi dari bahan-bahannya

yang ada di dalam struktur relasi kekuasaan. Tindakan pedagogis mencerminkan

kepentingan kelompok atau kelompok dominan yang cenderung mereproduksi

distribusi modal kultural secara tidak merata antara kelompok atau kelas yang

hidup dalam satu ruang sosial sehingga memproduksi struktur sosial. .

Perlawanan terhadap kekuatan dominasi elite birokrasi tidak saja

dilakukan oleh masyarakat secara fisik dan nonfisik, tetapi juga aksi perlawanan

Page 37: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

37

kaum intelektual atas pembelaannya terhadap kaum rakyat miskin. Mutahir

(2011: 28) dalam bukunya Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu menjelaskan

bagaimana Pierre Bourdieu melakukan sebuah gerakan intelektual untuk melawan

dominasi. Pada Maret 1996 Boudieu menandatangani petisi untuk melakukan

pembangkangan sipil melawan hukum Perancis yang memperkeras legislasi

imigrasi.

Teori praktik sosial ini digunakan untuk menyinergikan teori hegemoni

khususnya bentuk perlawanan simbolik sebagai modal seni dan ekonomi atas

kekerasan simbolik yang dipraktikkan elite tradisional yang menggunakan modal

budaya dan prestise. Peranan mitos orang Katobengke melawan pelabelan yang

disematkan elite tradisional, selanjutnya elite Katobengke modern juga

menciptakan kepatuhan terhadap warganya untuk kemudian mempertahankan

wacana identitas mereka dari pelabelan diskrimitatif tesebut. Kekerasan simbolik

elite dalam praktik kehidupan sehari-hari tampak dalam kegiatan ekonomi, social,

dan budaya. Selain itu, sejauh mana peran pemimpin Katobengke mendisiplinkan

dan menormalisasi warganya yang tidak sesuai dengan perilaku adat.

Kekuasaan elite tradisional sebagai konsekuensi produksi relasi hubungan

kekuasaan dan pengetahuan dapat tersebar pada semua level formasi sosial, baik

elite tradisional maupun orang Katobengke. Sampai sejauh mana gagasan

gagasan historikal orang Katobengke timbul sebagai akibat ketidakpuasan atau

perlakukan tidak adil atas hegemoni elite tersebut. Bagaimana mekanisme dan

strategi penerapan secara fungsional atas sistem norma, aturan adat yang

dipertahankan orang Katobengke untuk meng-counter kekuasaan elite serta

Page 38: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

38

menormalisasikan peristiwa konflik, utamanya konflik yang sifatnya manifes,

baik dari dalam maupun dari luar. Pernyataan-pernyataan simbolik orang

Katobengke berpengaruh terhadap superioritas elite kaomu dan walaka, pada

praktik kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari. Simbol pemaknaan atas

pengetahuan dan kebenaran menurut konteks pemikiran mereka dan berbagai

tindakan elite masa kini, seperti elite bangsawan, elite birokrasi, elite desa, elite

agama, elite cendekiawan, elite ekonomi, dan lain-lain.

2.3.3 Teori Diskursus8 Kuasa/ Pengetahuan

Menurut Foucault (2002: 9), diskursus adalah cara menghasilkan

pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subyektivitas yang

terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik

sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Foucault

(Gidens, 2009: 173) menggunakan istilah wacana untuk menjelaskan cara berpikir

dan bertindak yang berbasis pengetahuan. Wacana dalam hubungan dengan yang

kuasa, yang selalu berhubungan dengan “kesatuan”. Dalam hal ini kesatuan suatu

diskursus selalu mengacu pada kesatuan-kesatuan lain yang membentuk suatu

kumpulan pernyataan. Wacana menurut Foucault mengandung pengertian aturan,

praktik yang menghasilkan pernyataan bermakna pada suatu rentang historis

tertentu. Pernyataan-pernyataan dalam diskontinuitas yang membebaskannya dari

segala bentuk yang telah diterima orang begitu saja. Kumpulan pernyataan yang

8 Kata diskursus diterjemahkan dari kata discourse (Inggris) yang digunakan para linguis diIndonesia yang menunjuk pada suatu rangkaian sinambung bahasa (lisan) yang lebih besardaripada kalimat (Hoetomo, 1993: 3--4).

Page 39: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

39

siap pakai sebagai sarana untuk memperbincangkan suatu topik tertentu. Wacana

mengisolasi, mendefinisikan, dan memproduksi objek pengetahuan.

Foucault (2002: 402) menyatakan bahwa pertanyaan melalui subjek itu

sendiri sebagai objek pengetahuan, penegasan bagaimana pengetahuan tentang

“pengetahuan psikologi” diangkat dalam wacana sejarah. Akan tetapi, bagaimana

menemukan “beragam permainan kebenaran” yang sudah ditemukan dahulu, di

mana subjek menjadi objek pengetahuan. Foucault mengarahkan analisisnya

dengan cara; yang berhubungan dengan penampakan dan penyisipan pertanyaan

cara kerja ucapan kehidupan subjek, wilayah-wilayahnya sesuai dengan bentuk

sejenis pengetahuan ilmiah dan kemudian menganalisis bentuk subjeknya.

Menurut Foucault (2012: 234), dalam menyelidiki wacana, ada tiga konsep

digunakan yang berkaitan satu dengan lainya, yaitu (1) positivitas (contoh:

diskursus sejarah, ekonomi, dan lain-lain); (2) apriori historis, dimaksudkan

bahwa domain pernyataan-pernyataan diartikulasikan berdasarkan apriori historis

(apriori harus bersentuhan dengan pernyataan-pernyataan dan tidak menghindar

dari historitas); dan (3) arsip (semua sistem yang membangun munculnya

pernyataan: peristiwa atau benda); arsip satu masyarakat tidak bisa dideskripsikan

menyeluruh apalagi arsip segala masa.

Budiardjo (2001: 84) mengutip pendapat Harold Lawelll dan Abraham

Kaplan menyatakan bahwa konsep kekuasaan yang dikemukakan para ahli cukup

beragam. Namun, inti perumusan kekuasaan dianggap sebagai “kemampuan

pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga

tingkah laku pelaku berakhir menjadi sesuai dengan keinginan pelaku yang

Page 40: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

40

mempunyai kekuasaan”. Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan dan dapat

pula bersumber dari kepercayaan atau agama, misalnya alim ulama atau pendeta.

Upaya menyelenggarakan kekuasaan berbeda dan yang paling ampuh adalah

kekerasan (force) dan tidak ada alternatif lain selain korban menaatinya. Dalam

Negara yang masih banyak unsur tradisionalnya, hubungan kerabat dapat pula

merupakan sumber kekuasaan. Misalnya, seorang ibu melarang perkawinan di

luar suku, agama, atau golongannya.

Kunci pemikiran Foucault (1977) tentang kekuasaan bahwa kekuasaan

yang menormalisasi tidak hanya dijalankan di dalam penjara, tetapi juga

beroperasi melalui mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan,

pengetahuan, dan kesejahteraan. Dalam masyarakat modern pembentukan

individu yang berdisiplin tidak hanya dilakukan oleh lembaga represif (penjara,

polisi), tetapi terjadi dalam interaksi masyarakat dan semua bentuk kegiatan

sosial. Berlawanan dengan pandangan Marxis, Foucault menentang paham

kekuasaan yang disatukan dari atas oleh pusat kekuasaan negara. Kekuasaan

tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh satu kelompok terhadap

yang lain, tetapi beragamnya hubungan kekuasaan dan kekuasaan merasuki

seluruh bidang kehidupan masyarakat. Hubungan kekuasaan tidak bisa

dipisahkan dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan, dan hubungan

seksual. Kekuasaan merupakan akibat langsung dari pemisahan, ketidaksamaan,

dan ketidakseimbangan (diskriminasi). Kekuasaan merupakan situasi intern

adanya perbedaaan yang dibentuk dan berjalan di tempat kerja, keluarga, institusi,

dan berbagai pengelompokan. Perbedaan itu membentuk garis konfrontasi lokal

Page 41: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

41

dari berbagai perlawanan. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah hubungan subjektif

searah. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan

perlengkapan manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Kekuasaan bukanlah

hak istimewa yang dipertahankan kelas dominan, malainkan akibat dari

keseluruhan posisi strategis. Dengan demikian, ia tidak bisa dilokalisasi pada

tempat tertentu menjadi milik seseorang, tetapi menyebar di mana-mana dalam

hubungan masyarakat.

Terkait dengan kontrol sosial, posmodernisme Foucault dalam bukunya

Dicipline and Punish (1977) merevolusionerkan studi tentang kejahatan dan

hukuman, terutama dalam pendapatnya bahwa kriminologi adalah diskursus/

praktik yang menciptakan kategori kriminalitas dalam “masyarakat disiplin”.

Wacana ini kemudian dipaksakan tanpa ampun ke dalam perilaku dan sebelumnya

dinilai sah secara sosial atau hanya diabaikan karena aneh. Foucault memberikan

labeling satu dasar historis dan politis yang lebih kuat kepada teori. Ia membantu

sosiolog dalam melihat perilaku menyimpang (deviant) dalam hal pengalaman

dan makna mengonstruksinya. Teori posmodernisme Foucault tentang disiplin

menekankan pada resistensi inhern yang dilakukan orang dalam melawan

pelabelan dan pembedaan yang diterima. Foucault menyatakan bahwa manusia

mengkonstruksi penyimpan seperti kejahatan dan homoseksual untuk

menormalisasi perilaku tertentu dan mendisiplinkan perilaku lain (Agger, 2009:

349--350). Bertens (1996:320) menyimpulkan teori kuasa Foucault dalam empat

prespektif penting. Pertama, kuasa bukanlah milik, melainkan fungsi. Kuasa

tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana banyak

Page 42: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

42

posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami

pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi, tetapi terdapat di mana-mana.

Artinya, di mana saja terdapat susunan, aturan, sistem regulasi, di mana saja ada

manusia yang mempunyai hubungan tertentu, di situ pula kuasa bekerja. Kuasa

tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan aturan dan hubungan itu dari

dalam. Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi

terutama melalui normalisasi dan regulasi. Keempat, kuasa tidak bersifat

destruktif, tetapi bersifat produktif.

Foucault menolak pandangan Marxistis bahwa kuasa tidak bersifat

subjektif dan tidak dapat dilihat sebagai proses dialektika, yaitu si A menguasai si

B dan kemudian setelah beberapa syarat terpenuhi, maka si B menguasai si A.

Sebuah prespektif penting dari teori Foucault adalah relasi antara kekuasaan dan

pengetahuan. Hubungan timbal balik tersebut dimaksudkan bahwa kekuasaan

terartikulasi ke dalam pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan terartikulasi ke

dalam kekuasaan. Relasi antara pengetahuan dan kekuasaan diperoleh dari

analisisnya tentang pendisiplinan, penaklukan, dan pengawasan terhadap tubuh

individu. Hubungan antara pengetahuan dan pelaksanaan kuasa tidak hanya

membongkar anggapan lama yang memandang kuasa sebagai penghambat

tampilnya pengetahuan, tetapi juga dengan sendirinya membongkar kemapanan

status pengetahuan. Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai sesuatu

yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk

mengetahui terumuskan dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk

mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasan harus mengambil bentuk

Page 43: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

43

pengetahuan karena ilmu-ilmu terumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan.

Hal itu terjadi karena semua masyarakat berusaha menyalurkan wacana agar

sesuai dengan tuntutan ilmiah dan wacana-wacana tersebut dianggap mempunyai

otoritas.

Ideologi yang digunakan oleh Foucault merupakan hasil hubungan

kekuasaan di mana saja. Hubungan kuasa ini menghasilkan cerita yang oleh

Foucoult disebut discourse atau diskursus atau wacana (Eagleton, 1991).

Diskursus merupakan upaya melepaskan diri dari ketertindasan kaum elite karena

bermuatan sesuatu yang tidak menggambarkan realitas apa adanya dan itu pasti

terjadi dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, yang harus dilakukan adalah

menerima apa adanya berbagai diskursus dan menyadari pengaruh tiap-tiap

kesadaran manusia. Setiap diskursus adalah kebenaran masing-masing, tidak

dapat diklaim sebagai yang paling benar dan sebagai reaksi manusia terhadap

kekuasaan yang mengekangnya.

Hubungan kekuasaan dan ketertindasan melahirkan pemikiran sebagai

proses dinamika perkembangan peradaban manusia. Untuk itu, diperlukan

kesadaran the other atau kesadaran tentang hal-hal yang tersisihkan, seperti benda

peninggalan, tekonologi tradisional, identitas Katobengke, atau suku dan budaya

untuk membantu manusia memahami hidupnya. Kesadaran the other (Foucault,

1981) melahirkan kesadaran tentang keragaman manusia yang saling menghargai.

Pemikiran subjektivitas dihubungkan dengkan praktik pemilah, seperti baik buruk,

tinggi rendah, benar salah oleh pengetahuan dan kekuasaan. Jadi, pengetahuan

manusia ditentukan oleh kekuasaan kebenaran merujuk pada rezim kebenaran

Page 44: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

44

yang sedang bertakhta. Sehat dan sakit ditentukan oleh pihak yang berkuasa,

seperti dokter atau dukun, sebagai wacana yang dipaksakan oleh penguasa.

Foucault menempatkan pengetahuan sebagai dominasi satu pihak terhadap pihak

lainnya. Hal itu terjadi karena asal usul pengetahuan dan wacana lainnya

merupakan hasil hubungan kekuasaan.

Fancois Lyotard (1984, 1992) sejalan dengan Foucault, yaitu melihat

adanya pemaksaan pengetahuan termasuk hukum dan aturan. Contoh

pengetahuan ilmiah dilegitimasikan melalui apa yang disebut narasi besar (grand

narrative), seperti keabsahan, kemajuan; emansipasi kaum proletar, seperti mitos

dan pengetahuan yang terkandung dalam kesadaran palsu. Tidak ada lagi

dominasi satu ideologi. Artinya, setiap kepercayaan dan pikiran dapat hidup

bertanding dalam dunia keragaman. Segala pengetahuan memiliki kesempatan

untuk menjadi kebenaran kecil yang berguna pada waktu tertentu dan tempat

tertentu. Untuk itu, menurut Lyotard yang kini tersisa adalah intensifikasi

dinamika usaha yang tak habis-habisnya untuk mencari kebaruan, menghindari

klaim universal, dan berangkat dari persoalan-persoalan lokal. Kegiatan yang

sebaiknya dilakukan adalah mempersiapkan diri untuk dapat menerima berbagai

disensus, bukan konsensus.

Teori diskursus Foucault digunakan untuk mengkaji praktik kekuasaan

elite tradisional dan kekuasaan antara warga Katobengke sendiri di dalam

mendisiplinkan dan menormalisasi warganya dalam kehidupan sehari-hari,

keluarga, tetangga berkaitan dengan ekonomi, politik, dan komunikasi sosial, baik

antara warga maupun terhadap pihak luar. Tujuannya agar warga Katobengke

Page 45: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

45

memiliki kesadaran untuk saling menghargai antarsesama. Bagaimana kegiatan

ritual dan karisma kepemimpinan elite tradisional Katobengke melawan pelabelan

diskriminasi elite tradisional yang menggunakan ideologi harmoni yang

berimplikasi di dalam masyarakat Katobengke sendiri. Bagaimana elite

tradisional Katobengke menciptakan kepatuhan untuk mempertahankan nilai

identitas atas pelabelan stereotipe dan tabu adat yang direproduksi elite

tradisional.

Eksplanasi teoretis ketiga teori tersebut mengkaji secara culture studies

dan mengangkat budaya Katobengke yang terpinggirkan untuk mendudukannya

pada posisi yang wajar. Dengan demikian, kajian ini memfokuskan diri pada

sejauh mana perlawanan orang Katobengke memengaruhi kekuasaan elite

tradisional mulai orde baru hingga reformasi ini. Bagaimana strategi orang

Katobengke menciptakan posisi tawar secara persuasif atau kekerasan (Gramsci,

1971) terhadap elite sebagai pemilik ideologi kekuasaan dan pengetahuan

(Foucault, 2002) dalam arena pertarungan perebutan sumber daya oleh agen

dalam aneka strategi perlawanan simbolik orang Katobengke versus kekerasan

simbolik elite tradisional (Bourdieu, 1991).

Page 46: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

46

2.4 Model Penelitian

Gambar 2. 1 Model Penelitian

Keterangan:

Garis yang memberikan pengaruh tidak langsungGaris panah-panah alur penelitianGaris yang memberikan pengaruh hubungan timbal balik.

GlobalisasiOrangKatobengke

Elite TradisionalButon

Budak, bodoh, miskin,kotor, pekerja kasar,naa Laode dan maa

Laode, bukan kadie ’

Hegemoni elitetradisional

terhadap orangKatobengke

Kekuasaan- hegemoni,tabu, diskursif, binci-

binciki kuli,sarapataanguna

Proses perlawananorang Katobengketerhadap hegemoni

elite tradisional

Faktor melatarbelakangiperlawanan orang

Katobengke terhadaphegemoni elite

tradisional

Temuan penelitian:Identitas Katobengke Modern

Perlawanan orangKatobengke terhadap

hegemoni elite di KotaBau- Bau

Implikasi perlawananorang Katobengketerhadap hegemoni

elite tradisional

Page 47: BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ... historis bagaimana ketidakadilan

47

Model di atas (gambar 2.1) memperlihatkan bahwa elite tradisional

kaomu dan walaka, sejak era kesultanan hingga orde baru menghegemoni orang

Katobengke sebagai kelompok papara (rakyat). Strategi hegemoni elite tersebut

menggunakan falsafah kesultananan “bincibinciki kuli” terhadap orang

Katobengke sebagai simbol wilayah pinggiran. Sementara itu, hingga era

reformasi ini label reproduksi hegemonik dan stereotipe tetap disematkan elite

tradisional atas diri orang Katobengke sebagai budak, bodoh, miskin, kotor,

pekerja kasar, dan kemudian simultan dengan strategi persuasif elite yang

memberikan label sebagai Naa Laode dan Maa Laode.

Sejak awal reformasi ini orang Katobengke mulai melakukan perlawanan

tidak setara terhadap elite tradisional melalui diskursus mitos asal usul dan sejarah

karismatik kepemimpinan, ekonomi kepemilikan lahan, politik, pertunjukan ritual,

hingga perlawanan terbuka. Sebaliknya, elite tradisional berusaha

mempertahankan dan mereproduksi kekuasaan hegemoniknya dengan

menggunakan falsafah kesultananan Bincibinciki kuli dan praktik incest taboo

adat secara terselubung. Untuk mengkaji sejauh mana strategi perlawanan orang

Katobengke dalam rentang historisnya hingga kini adalah sebagai akibat pengaruh

globalisasi yang secara tidak langsung memasuksi ruang kedua kubu kekuatan

antara kekuasaan elite dan orang Katobengke sebagai kelompok yang dikuasai.

Dengan demikian, orang Katobengke melakukan perlawanan mulai dari proses

perlawanan, faktor yang melatarbelakangi perlawanan, hingga implikasinya yang

pada ahkirnya menghasilkan temuan penelitian identitas orang Katobengke

modern.