bab ii sejarah perkembangan psikologi agama a. …

39
17 BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. Psikologi Agama dalam Lintasan Sejarah Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung di dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab-kitab suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang karena pengaruh agama.1 Dalam al-Qur'an, misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang-orang yang beriman atau sebaliknya, orang-orang kafir, sikap, tingkah laku, doa-doa. Di samping itu juga terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan, serta kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan jiwa, sehingga tidak berlebihan jika Yahya Jaya 2 mengemukakan bahwa psikologi agama, dalam arti yang amat sederhana, telah ada jauh sebelum abad 20, yaitu sejak Nabi Adam, yang pernah merasa berdosa, yang menyebabkan jiwanya gelisah dan hatinya sedih. Untuk menghindari kesedihan dan kegelisahan tersebut, ia bertaubat kepada Allah dan taubatnya diterima, sehingga ia merasa lega kembali. Firman Allah: 1. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991), hal. 11 Keterangan lebih lanjut tentang awal kajian Psikologi Agama, baca: Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac Milan Company, cet. I, 1958), hal. 6 2. Yahya Jaya, Paranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992), hal. 12

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

17

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA

A. Psikologi Agama dalam Lintasan Sejarah

Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi

memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung di

dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Bahkan dalam kitab-kitab suci setiap

agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan jiwa seseorang

karena pengaruh agama.1

Dalam al-Qur'an, misalnya, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan

keadaan jiwa orang-orang yang beriman atau sebaliknya, orang-orang kafir,

sikap, tingkah laku, doa-doa. Di samping itu juga terdapat ayat-ayat yang

berbicara tentang kesehatan mental, penyakit dan gangguan kejiwaan, serta

kelainan sifat dan sikap yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus

tentang perawatan jiwa, sehingga tidak berlebihan jika Yahya Jaya2

mengemukakan bahwa psikologi agama, dalam arti yang amat sederhana, telah

ada jauh sebelum abad 20, yaitu sejak Nabi Adam, yang pernah merasa

berdosa, yang menyebabkan jiwanya gelisah dan hatinya sedih. Untuk

menghindari kesedihan dan kegelisahan tersebut, ia bertaubat kepada Allah dan

taubatnya diterima, sehingga ia merasa lega kembali. Firman Allah:

1. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII,

1991), hal. 11 Keterangan lebih lanjut tentang awal kajian Psikologi Agama, baca: Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac Milan Company, cet. I, 1958), hal. 6

2. Yahya Jaya, Paranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992), hal. 12

Page 2: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

18

فتلقى ادم من ربه كلمات فتاب عليه انه هو التواب الرحيم

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat (untuk

bertaubat) dari Tuhannya, maka Allah menerima

tau-batnya. Sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat

lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah (2): 37)

Contoh lain adalah proses pencarian Tuhan yang dialami oleh Nabi

Ibrahim. Dalam kisah tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi.3

Dalam kitab-kitab suci lain pun kita dapati proses dan peristiwa keagamaan,

seperti yang terjadi dalam diri tokoh agama Budha, Sidharta Gautama, atau

dalam agama Shinto yang memitoskan Kaisar Jepang sebagai keturunan mata-

hari yang membuat penganutnya sedemikian mendalam ketaatannya kepada

kaisar, sehingga mereka rela mengorbankan nyawanya dalam perang dunia II

demi kaisar, bahkan mereka melakukan harakiri.4

Pengertian psikologi agama sebelum abad 19 telah ada dalam

karya-karya ilmuwan muslim. Dapat disebut sebagai contoh adalah tulisan

Muhammad Ishaq ibn Yasar, pada abad 7 M, yang berjudul al-Sujar wa

al-Maghazi, memuat berbagai fragmen dari biografi Nabi Muhammad SAW,

atau risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Misyriqiyyat yang ditulis

oleh Ibn Thufail (1106 - 1185 M) yang membahas tentang proses keagamaan

seseorang. Karya agung yang dapat ditampilkan adalah Ihya' Ulum al-Din dan

al-Munqid min al-Dhalal yang ditulis oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali

3 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. I,

1996), hal. 27

4 Ibid.

Page 3: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

19

(1059 - 1111 M) yang memuat permasalahan-permasalahan yang berkaitan

dengan materi kajian psikologi agama. Meski demikian, penelitian secara

modern baru dilakukan pada abad ke 19.

Psikologi agama bukanlah ilmu yang pertama meneliti aspek-aspek

agama secara objektif. Sebelumnya telah ada ilmu perbandingan agama yang

dipelopori oleh Max Muller. Dalam kenyataannya setiap orang mempunyai tata

nilai yang tersusun secara sistematis. Tata nilai tersebut menyangkut nilai-nilai

keagamaan dan nilai iman yang mempengaruhi hidup, pribadi maupun struktur

serta budaya hidup kemasyarakatan. Dari sini kemudian muncul apa yang

dinamakan dengan sosiologi agama (The Sosiology of Religion) yang menbahas

tentang struktur dan kultur masyarakat dan sejauh mana dia tertumpu pada

penghayatan dan pengalaman hidup beragama. Di antara tokohnya adalah: Ibnu

Khaldun, Max Weber (1684 - 1920) dan sebagainya. Baru kemudian muncul

psikologi agama (The Psichology of Religion) yang mengkaji penga-

laman-pengalaman agama dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.

B. Pendekatan Ilmiah dalam Psikologi Agama

Menurut Abdul Mun'in al-Malighy,5 sebagaimana dikutip oleh Zakiah

Daradjat, orang yang pertama mengkaji psikologi agama secara ilmiah adalah

Frazae dan Taylor. Kedua tokoh ini membentangkan berbagai macam agama

primitif, dan menemukan persamaan yang sangat jelas antara berbagai bentuk

ibadah pada agama Kristen dan ibadah agama-agama primitif. Sebagai contoh

adalah pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit dan

sebagainya. Hasil dari penelitian ini telah membangkitkan para ahli untuk

5 Abdul Mun'in al-Malighy, Tatawwur li a-Syu'ur al-Din inda al-Thifl wa

al-Murahiq, (Mesir: Dar al-Ma'arif, tt), hal. 12

Page 4: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

20

mempelajari dan meneliti aspek-aspek kehidupan manusia, sehingga mulailah

psikologi agama mengumpulkan bahan-bahan yang dikemukakan oleh para ahli

tersebut, dipadu dengan meneliti riwayat hidup dan hasil karya ahli tasawuf dan

ulama-ulama terkenal. Maka terkumpullah bahan-bahan untuk penelitian

psikologi agama dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu, seperti sejarah agama,

hasil interaksi sosial mereka: ibadah, legenda (mitos), kepercayaan,

undang-undang dan sebagainya.

Awal mula pendekatan ilmiah dalam psikologi agama dimulai pada

tahun 1881, ketika G. Stanley Hall mempelajari konversi agama dan remaja.6

Penelitian berikutnya secara tegas dilakukan oleh Edwin Diller

Starbuck pada tahun 1899 yang menulis buku "The Psychology of Religion; an

Empirical Study of the Growth of Religius Consciouness". Buku ini membahas

pertumbuhan perasaan beragama pada seseorang. Tokoh yang hampir semasa

dengan Starbuck adalah George Alberth Coe, yang menerbitkan bukunya "The

Spiritual Life" pada tahun 1900 dan "The Psychology of Religion" pada tahun

1916. Dalam karya tersebut Coe agak menentang penekanan atas konversi dan

lebih menitikberatkan pada perkembangan agama pada remaja. Satu

pembahasan Coe yang perlu digaris bawahi adalah bahwa banyak peristiwa

konflik dan kegoncangan agama yang pada pekembangan agama yang normal

dan benar.7

Sementara, James H. Leuba mengumpulkan tidak kurang dari 48 teori

tentang agama. Dari definisi-difinisi tersebut, menurutnya, tidak ada gunanya,

karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah.8 Penelitian Leuba

6 W. Houston Clark, op.cit., hal. 6

7 Ibid. 8 Zakiah Daradjat, op.cit., hal. 14

Page 5: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

21

menjelaskan fenomena agama secara fisik (amaliah), seperti menyamakan

antara kefanaan seorang mistik dengan orang-orang yang terkena pengaruh

minuman keras. Teori tersebut dimuat dalam jurnal "The Monist Vo. XI" tahun

1901 dengan judul "The Introduction to a Psychological Study of Religion".

Kemudian pada tahun 1912 diterbitkan bukunya dengan judul "A Psychological

Study of Relegion".

Hampir sama dengan Leuba, Stanley Hall juga menggunakan tafsiran

matematika dalam menerangkan fakta-fakta agamis. Hasil penelitian yang

dilakukan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jiwa beragama pada remaja

sesuai dengan pertumbuhan emosi dan kecenderung-an terhadap lawan jenis.

Sehingga usia di mana jiwa mulai terbuka untuk cinta, maka pada usia itulah

timbulnya perasan-perasan beragama secara ekstrem. Di samping itu, juga

terdapat persamaan antara fakta-fakta konversi dan cinta pertama, karena kedua

fakta tersebut adalah terbukanya jiwa pada rasa kemanusiaan. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Stanley Hall adalah dengan mempelajari kepribadian Isa

al-Masih.9

Permasalahan tingkah laku beragama semakin menarik untuk diteliti,

sehingga usaha penelitian terus dikembangkan, bahkan ada yang berlebihan.

Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Medical Materialism yang

kontroversial. Mereka menerangkan fakta-fakta agamis secara fisik, dan

beranggapan bahwa keadaan jiwa atau pikiran sebagai ungkapan fungsi

organik. Keistimewaan orang-orang suci dan tenggelamnya mereka dalam

kehidupan rohani dianggapnya sebagai akibat dari penyakit-penyakit jasmani,

misalnya disebabkan oleh kegoncangan sebagian kelenjar-kelenjar atau

9 Ibid.

Page 6: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

22

terjadinya keracunan (outo intoxication). Dengan demikian pribadi-pribadi

orang sufi yang mempunyai kekuatan jiwa, menurut mereka, adalah karena

ketidaksehatan jiwa mereka. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa

Saint Paul adalah orang yang berkepribadian epileptoid, George Fox adalah

orang yang mengalami kerusakan keturunan (heredity degeneration), Carlyle

menderita keracunan (outo intoxicated), bahkan Isa al-Masih, menurut Binet

Sangle, dianggap sebagai orang yang mempunyai kepribadian

schizophrenic.10 Hasil penelitian tersebut mendapat sanggahan dari beberapa

ahli psikologi, antara lain dilontarkan oleh Flornoy.

Tokoh lain yang mengkaji beberapa tulisan dan biografi

pemuka-pemuka agama adalah William James, dengan karyanya yang

monumental "The Variaties of Religious Experience". Buku tersebut

merupakan hasil kuliah selama setahun (1901 - 1902). Menurut James, ahli

agama akan dapat meneliti dorongan-dorongan agama pada seseorang, seperti

mempelajari dorongan-dorongan jiwa lainnya dalam konstruksi pribadi orang

tersebut.11 James mendefinisikan agama dengan perasaan dan penga-laman

manusia secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan

dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah

kebenaran pertama yang menyebabkan manusia merasa terdorong untuk

mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh tanpa

menggerutu atau menolaknya. James juga menjelaskan bahwa agama dalam

kehidupan seseorang bukanlah suatu naluri yang berdiri sendiri atau emosi

tertentu. Agama adalah kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi

atau perasaan biasa. Cinta agama, misalnya, adalah cinta biasa dengan objek

10 William James, The Variates of Religion experience; a Study in

Human Nature, (New York: Collier Books, 1974), hal. 29

11 Ibid., hal. 42

Page 7: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

23

yang dicintainya adalah Tuhan; takut agama adalah takut biasa yang objeknya

hukum Tuhan. Gagasan James yang termuat dalam buku The Variaties of

Religius Experience telah mendorong para ahli psikologi untuk mengadakan

penelitian tetingkah laku beragama, sehingga bermunculan majalah-majalah

atau jurnal-jurnal yang membahas tentang psikologi agama. Sebagai contoh

adalah terbitnya majalah "The Journal of Religious Psychology" dan "The

American Journal of Religious Psychology and Education" pada tahun 1904.

Pada tahun 1911, George M. Straton menerbitkan buku "Psichology of

Religoius Life". Dalam buku tersebut diungkap bahwa sumber agama adalah

konflik jiwa dalam diri individu. Sementara Flornoy (1901) berusaha

mengumpulkan semua penelitian psikologis dan menyusun prinsip-prinsip

penelitian. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Menjauhkan penelitian dari transendence,

2. Prinsip mempelajari perkembangan

3. Prinsip dinamik,

4. Prinsip perbandingan.12

Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji

kehidupan secara umum, namun juga masalah-masalah khusus. Pembahasan

tentang kesadaran beragama, misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya

"The Religius Consciousness", sedangkan Rudolf Otto membahas sembahyang.

Perkembangan beragamapun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama.

Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas

tentang perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama anak-anak

12 Zakiah Daradjat, op.cit., hal. 20-21

Page 8: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

24

tidak beda dengan agama pada orang dewasa. Pada anak-anak, di mana

mungkin juga dialami oleh orang dewasa, seperti merasa kagum dalam

menyaksikan alam ini, adanya kebaikan yang tidak terlihat, kepercayaan akan

kesalahan dan sebagaian dari pengalam-an itu merupakan fakta-fakta asli yang

tidak dipengaruhi oleh lingkungan.

Tokoh berikutnya yang muncul adalah Robert H. Thouless (1923).

Thouless berusaha mempelajari agama dari segi psikologis. Sementara dari

beberapa tokoh psikologi juga mengungkap tentang tingkah laku beragama.

Sigmud Freud, tokoh psikoanalisa, mengemukakan pendapat bahwa compultion

dan obsession adalah agama tertentu yang rusak. Freud menganalisa agama

orang-orang primitif sebagai obyek kajiannya, dengan menggambarkan

sesembahan totem and tabbo, yang kemudian dibuat perbandingan antara

orang-orang yang terganggu jiwanya dengan orang-orang primitif. Di sinilah,

menurut Freud, ditemukan hubungan antara kompleks oudipus. Dari penelitian

ini diambil kesimpulan bahwa agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran

kembali kepada hidup yang berdasarkan kelezatan.13

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gordon W. Allport dengan

karyanya "The Individual and His Religion" (1950), W.H. Clark dengan

karyanya "The Psychology of Religion". Masing-masing buku tersebut

membahas perkembangan jiwa beragama sejak kecil hingga dewasa.

13 Ibid., hal. 27 - 29

Page 9: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

25

C. Kajian Psikologi Agama di Kawasan Timur

Dalam dunia Timur, tidak mau ketinggalan. Abdul Mun'in Abdul Aziz

al-Malighy, misalnya, juga menulis kajian perkembangan jiwa beragama pada

anak-anak dan remaja. Sementara di dataran anak benua Asia, India, juga terbit

buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama. Jalaluddin menyebut judul

buku berikut pengarangnya antara lain: "The Song of God: Baghawad Gita".

Sedang di Indonesia, sekitar tahun 1970-an tulisan tentang psikologi

agama baru muncul. Karya yang patut dikedepankan adalah "Ilmu JIwa

Agama" oleh Prof Dr Zakiah Daradjat, "Agama dan Kesehatan Jiwa" oleh Prof

Dr. Aulia (1961), "Islam dan Psikosomatik" oleh S.S. Djam'an, Pengalaman

dan Motivasi Beragama" oleh Nico Syukur Dister, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran

Jiwa dan Kesehatan Jiwa” oleh Dadang Hawari, dan sebagainya. Dalam buku

yang disebut terakhir, misalnya, meskipun yang menjadi pembahasan mengenai

kedokteran jiwa, akan tetapi terbahas pula aspek-aspek agama atau spiritual

dalam kaitannya dengan jiwa seseorang.14

Pada saat sekarang, dalam dua puluh tahun belakangan ini, arus

mempelajari dan mencangkokan psikologi Timur pada body of knowledge

psikologi Barat sangat kuat, bahkan arah baru ini disebutnya. Tokoh yang

pantas disebut dalam hal ini adalah Robert Ornstein dengan bukunya The

Psychology of Consciousness, Charles Tart dengan bukunya States

Consciousness dan Stuart B. Litvak yang menulis buku panduan psikologi How

to Study Psychology: A Basic Field Guide for Students and Enthusiasts.15

14. Baca: Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa

, (Yogyakarta: Dana Bjakti Prima Jasa, cet. I, 1996) 15. Budhy Munawar Rahman, Arah Baru dalam Psikologi, dalam jurnal Ulumul

Qur'an, No. 4, Vol. V, tahun 1994, hal. 3

Page 10: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

26

Pertanyaan

1. Jelaskan awal mula munculnya Psikologi Agama!

2. Bagaimanakah perkembangan Psikologi Agama di kawasan dunia Timur?

3. Pada Tahun berapakah Psikologi Agama mulai dikaji di Indonesia? Dan

siapakah tokoh-tokoh yang mengkaji Psikologi Agama tersebut?

4. Apakah yang menjadi kajian William James, khususnya yang tertuang

dalam bukunya ‘The Variates of Religion experience’?

Page 11: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

27

DAFTAR PUSTAKA

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991)

Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac

Milan Company, cet. I, 1958)

Yahya Jaya, Paranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta:

Ruhama, cet. II, 1992)

Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. I, 1996)

Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa ,

(Yogyakarta: Dana Bjakti Prima Jasa, cet. I, 1996)

Abdul Mun'in al-Malighy, Tatawwur li a-Syu'ur al-Din inda al-Thifl wa

al-Murahiq, (Mesir: Dar al-Ma'arif, tt)

William James, The Variates of Religion experience; a Study in Human

Nature, (New York: Collier Books, 1974)

Budhy Munawar Rahman, Arah Baru dalam Psikologi, dalam jurnal Ulumul

Qur'an, No. 4, Vol. V, tahun 1994

Page 12: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

146

BAB IX

KESEHATAN MENTAL

A. Pengertian Kesehatan Mental

Kesehatan mental, sebagai disiplin ilmu yang merupakan bagian dari

psikologi agama, terus berkembang dengan pesat. Hal ini tidak terlepas dari

kondisi masyarakat yang membutuhkan jawaban atas berbagai permasalahan

yang melingkupinya. Kemudahan yang di dapat dari kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta industri belum mampu memenuhi kebutuhan

rohani, malah memunculkan permasalahan-permasalahan baru, seperti

kecemasan akibat dari kemewahan hidup yang diraihnya. Dampak lain adalah

mereduksinya integritas kemanusiaan, yang akhirnya membawa manusia

terperangkap dalam jaringan sistem rasionalitas tehnologi yang tidak

manusiawi. Demikian ungkap Sayyid Husain Nasr1

Pada bagian lain, berbagai persoalan hidup yang melanda bangsa

Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan krisis yang menyusup dalam

berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial ekonomi, maupun budaya,

serta berbagai kerusuhan etnis di berbagai pelosok negeri, semakin

menambah persoalan dalam kesehatan mental. Adanya asumsi bahwa 2

% bangsa Indonesia terganggu jiwanya dapat dijadikan sebagai dasar

bahwa persoalan kesehatan mental semakin membutuhkan perhatian

yang serius.

1 Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, cet. I, 1994), hal.

02

Page 13: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

147

Di samping itu, adanya perhatian manusia yang besar terhadap

kesejahteraan hidupnya, serta adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya

dilakukan pembinaan kesejahteraan hidup bersama ikut mempercepat

perkembangan ilmu kesehatan mental.2

Apakah yang dimaksud dengan kesehatan mental?. Untuk menjawab

pertanyaan ini perlu dilacak dari beberapa pengertian yang telah

dikemukakan oleh beberapa pakar psikologi. Dalam perjalanan sejarahnya,

pengertian kesehatan mental mengalami perkembangan sebagai berikut :

a. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan

penyakit jiwa (neurosis dan psikosis).3

Pengertian ini masih terlihat sempit dan terbatas, karena yang

dimaksud dengan orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang

tidak terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian,

pengertian pertama ini banyak mendapat sambutan dari kalangan

psikiatri.

Kembali pada istilah neorosis, pada awalnya kata tersebut

berarti ketidakberesan dalam susunan syaraf. Namun, setelah para

ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa ketidakberesan

tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan

susunan syaraf, tapi juga dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap

dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka aspek mental

(psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.4

2 Siti Maechati, Kesehatan Mental, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Press, cet. I,

1983), hal. 6

3 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Mas Agung, cet. XVI,

1990), hal. 11

4Winarno Surahmad dan Murray Thomas, Perkembangan Pribadi dan

Keseimbangan mental, (Bandung: Jemmars, 1980), hal. 139

Page 14: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

148

b. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri,

dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia

hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah

dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan

kemampuan penyesuaian diri, diharapkan akan menimbulkan keten-

traman dan kebahagiaan hidup.

c. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara

fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk mengatasi

problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan

pertentangan batin (konflik).

d. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan

dan meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal

mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain,

seterhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.5

Dari pengertian di atas dapat diambil suatu batasan bahwa orang

yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari ganguan dan penyakit

jiwa, mampu menyesuaikan diri, sanggup mengahadapi masalah-masalah dan

kegoncangan-kegoncangan yang biasa , adanya keserasian fungsi jiwa, dan

merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan berbahagia serta dapat

menggunakan potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.

Batasan pengertian tersebut di atas belum termasuk di dalamnya

unsur agama, sehingga Zakiah Daradjat menambahkan: harus berlandaskan

keimanan dan ketaqwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna,

bahagia di dunia dan akhirat.6

5Zakiah Daradjat, op. cit., hal. 11 - 13. Pengertian yang hampir senada

diungkapkan oleh Marie Jahoda. Lebih lanjut lihat: Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992),, hal. 13; Jalaluddin dan Ramayulis, op.cit., hal. 76.

6 Ibid.

Page 15: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

149

Dari keterangan di atas, memunculkan empat pola wawasan dengan

orientasi masing-masing, demikian konklusi yang ambil oleh Hanna

Djumhana Bastaman menanggapi pengertian kesehatan mental di atas.7 Pola

wawasan tersebut adalah:

a. Pola wawasan berorientasi pada simtomatis

b. Pola wawasan berorientasi pada penyesuaian diri.

c. Pola wawasan berorientasi pada pengembangan potensi.

d. Pola wawasan berorientasi pada agama (keruhanian).

Masih dalam pembahasan yang sama, Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO) pada tahun 1959 memberikan batasan mental yang sehat

adalah sebagai berikut :

1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada

kenyataan meskipun kenyataan itu buruk baginya

2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payahn usahanya

3. Merasa lebih puas memberi dari pada menerima

4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas

5. Berhubungandengan orang lain secara tolong menolong

dan saling memuaskan

6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai

pelajaran di kemudian hari

7. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang

kreatif dan konstruktif

8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.

7 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, cet. I, 1995), hal. 133. Dalam hal ini Hanna tidak hanya mengambil

pengertian yang ditawarkan oleh Zakiah Daradjat, namun juga pendapat Saparinah Sadli

sebagai perbandingan

Page 16: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

150

Kriteria tentang batasan sehat yang dikemukakan WHO—

sebagaimana tersebut di atas—pada tahun 1984 disempurnakan dengan

menambahkan satu elemen spiritual (agama0. Oleh karena itu, yang

dimaksud dengansehat adalah bukan sehat dari segi fisik, psikologik, dan

sosial saja, akan tetapi juga sehat dalam arti spiritual/agama, atau dalam

istilah Dadang Hawari disebut dengan empat dimensi sehat : bio-psiko-

sosial-spiritual.8

B. Prinsip-prinsip Kesehatan Mental

Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip kesehatan mental adalah dasar

yang harus ditegakkan orang dalam dirinya untuk mendapatkan kesehatan

mental yang baik serta terhindar dari gangguan kejiwaan. Prinsip-prinsip

tersebut adalah:

1. Gambaran dan sikap yang baik terhadap diri sendiri.

Prinsip ini biasa diistilahkan dengan self image. Prinsip ini antara lain

dapat dicapai dengan penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan

pada diri sendiri. Self Image yang juga disebut denagn citra diri

merupakan salah satu unsure penting dalam pengembangan pribadi. Citra

diri positif akan mewarnai pola hidup, sikap, cara piker dan corak

penghayatan, serta ragam perbuatan yang positif pula. Carl Rogers

mengemukakan dua ragam citra diri:

8 Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,

(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hal. 12

Page 17: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

151

a. Citra diri actual (The Actualized self image)

Citra ini merupakan gambaran seseorang mengenai dirinya pada saat

sekarang.

b. Citra diri Ideal (The Idealized Self Image)

Gambaran seseorang mengenai dirinya seperti yang diidam-idamkan.9

Citra diri ini dapat dikatakan sebagai sumber motivasi dari seluruh

perbuatan manusia.

2. Keterpaduan antara Integrasi Diri

Yang dimaksud keterpaduan di sini adalah adanya keseimbangan antara

kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah) dalam

hidup dan kewsanggupan mengatasi stress. Dalam bahasa lain orang yang

memiliki kesatuan pandangan hidup adalah orang yang memperoleh

makna dan tujuan dalam hidupnya. Sedangkan orang yang mampu

mengatasi stress berarti orang yang sanggup memenuhi kebutuhannya,

dan apabila menemui hambatan ia dapat mengadakan suatu inovasi

dalam memenuhi kebutuhannya.

3. Perwujudan Diri (aktualisasi diri)

Merupakan proses pematangan diri. Menurut Reiff, orang yang sehat

mentalnya adalah orang yang mampu mengaktualisasikan diri atau

mampu mewujudkan potensi yang dimilikinya, serta memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang baik dan memuaskan.

9 Ibid, hal. 123-124

Page 18: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

152

4. Berkemampuan menerima orang lain, melakukan aktifitas social dan

menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal. Kecakapan dalam

hidupnya merupakan dasar bagi kesehatan mental yang baik. Untuk

mendapatkan penyesuaian diri yang sukses dalam kehidupan, minimal

orang harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan, mempunyai

hubungan yang erat dengan orang yang mempunyai otoritas dan

mempunyai hubungan yang erat dengan teman-teman.

5. Berminat dalam tugas dan pekerjaan

Orang yang menyukai terhadap pekerjaan walaupun berat maka akan

cepat selesai dari pada pekerjaan yang ringan tetapi tidak diminatinya.

6. Agama, cita-cita, dan falsafah hidup. Untuk pembinaan dan

pengembangan kesehatan mental orang membutuhkan agama,

seperangkat cita-cita yang konsisten dan pandangan hidup yang kokoh.

7. Pengawasan diri

Mengadakan pengawasan terhadap hawa nafsu atau dorongan dan

keinginan serta kebutuhan oleh akal pikiran mereupakan hal pokok dari

kehidupan ortang dewasa yang bermental sehat dan berkepribadian

normal, karena dengan pengawasan tersebut orang mampu membimbing

segala tingkah lakunya.

8. Rasa benar dan tanggung jawab

Rasa benar dan tanggung jawab penting bagi tingkah laku, karena setiap

individu ingin bebas dari rasa dosa, salah dan kecewa. Rasa benar,

Page 19: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

153

tangung jawab dan sukses adalah keinginan setiap orang yang sehat

mentalnya. Rasa benar yang ada dalam diri selalu mengajak orang kepada

kebaikan, tanggung jawab dan rasa sukses, serta membbaskannya dari

rasa dosa, salah dan kecewa.

C. Kedudukan dan Peran Kesehatan Mental

Para ahli kesehatan mental telah sepakat bahwa kedudukan kesehatan

mental dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan).

Kedudukan kesehatan mental sebagai kondisi (keadaan) mengacu kepada

pengertian kesehatan mental seperti tersebut di atas, seperti terhindar

gangguan kejiwaan (neuroses) dan penyakit kejiwaan (psychoses). Selain

itu juga mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan

dengan masyarakat di mana ia hidup, mampu mengendalikan diridalam

berbagai masalah serta terwujudnya keserasian dan keharmonisan antara

fungsi-fungsi kejiwaaan.

2. Kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan.

Sebagai cabang ilmu psikologi, kesehatan mental bertujuan untuk

mengembangkan semua potensi yang ada pada manusia seoptimal

mungkin, serta memanfaatkannya sebaik-baiknya agar terhindar dari

gangguan dan penyakit kejiwaan.

Page 20: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

154

3. Kesehatan mental sebagai terapi.

Kesehatan mental sebagai ilmu jiwa terapan, mengkaji dan

mengembangkan teknik-teknik konseling dan terapi kejiwaan.

Dalam dunia Islam kedudukan, fungsi dan peranan kesehatan

mental tampak lebih jelas lagi.

Maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi

adalah untuk beribadah dalam pengertian luas. Ibadah dalam pengertian,

kegiatannya mencakup seluruh aspek kegiatan manusia. Baik yang

bersifat I’tiqad, pikiran, amal social, jasmani, ruhani, akhlaq dan

keindahan.

Pengertian ibadah dalam Islam secara luas adalah pengembangan

sifat-sifat Allah yang ada pada manusia untuk menumbuhkembangkan

potensi diri yang telah diberikan Allah kepada manusia berupa potensi-

potensi yang terdapat dalam nama-nama Allah yang agung (al-asma al-

husna), seperti potensi ilmu, kuasa, sosial, kekayaan, pendengaran,

penglihatan dan pemikiran serta potensi-potensi lainnya.2

Dengan demikian maksud dan tujuan ibadah dalam Islam tidak

hanya menyangkut hubungan vertikal atau hablun min Allah akan tetapi

juga menyangkut hubungan horizontal yang meliputi hablun min al-

annas, hablun min al-nafs, dan hablun min al-alam. Menurut paham

kesehatan mental, tujuan dan maksud yang demikian itu dapat berarti

sebagai pembinaan perasaan dan hubungan baik antara manusia dengan

Allah, sesama manusia, diri sendiri, serta alam semesta sehingga manusia

mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Page 21: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

155

Dari uraian singkat di atas dapat dilihat bagaimana bagaimana

kedudukan kesehatan mental dalam Islam. Kesehatan mental dalam Islam

adalah ibadah dalam pengertian luas atau pengembangan potensi diri

yang dimiliki manusia dalam rangka pengabdian kepada Allah dan

agamanya, untuk mendapatkan al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang

dan bahagia). Firman Allah:

ياايتهاالنفس المطمئنة ارجعي الى ربك راضية مرضية

Hai jiwa dalam ketenangan ! Kembalilah kepada Tuhanmu

dengan hati yang senang dan diridhoi-Nya

Page 22: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

156

Pertanyaan

1. Apakah yang dimaksud dengan kesehatan mental ?

2. Sebutkan batasan mental sehat menurut badan Kesehatan Dunia (WHO) !

3. Uraikan hubungan antara kesehatan mental dengan psikologi agama !

4. Sebutkan prinsip-prinsip kesehatan mental

5. Para ahli kesehatan mental membagi kedudukan dan fungsi kesehatan

mental menjadi tiga macam : sebagai keadaan, sebagai ilmu pengetahuan

dan sebagai terapi. Jelaskan ketiga macam kedudukan dan fungsi

tersebut !

6. Bagaimanakah kedudukan kesehatan mental dalam ajaran agama Islam

Page 23: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

157

DAFTAR PUSTAKA

Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, cet. I, 1994)

Siti Maechati, Kesehatan Mental, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi Press, cet. I, 1983)

Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Mas Agung, cet. XVI, 1990)

Winarno Surahmad dan Murray Thomas, Perkembangan Pribadi dan Keseimbangan mental, (Bandung: Jemmars, 1980)

Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, cet. II, 1992)

Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1995)

Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,

(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995)

Page 24: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

187

BAB XI

PERANAN AGAMA ISLAM DALAM TERAPI NEUROSIS

A. Manusia dan Agama

Eksistensi agama merupakan sarana pemenuhan kebutuhan

esoteris manusia yang berfungsi untuk menetralisir seluruh tindakannya.

Tanpa bantuan agama manusia senantiasa bingung, resah, bimbang

gelisah dan sebagainya.1 Sebagai akibatnya manusia tidak mampu

memperoleh arti kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya.

Kondisi jiwa yang tidak tenang, seperti gelisah, resah, bingung,

dan sebagainya dapat dikategorikan dalam gangguan jiwa atau dalam

istilah psikopatologi disebut dengan neurosis. Dalam al-Qur’an (ajaran

agama Islam) disebutkan dengan jelas, bahwa dengan mengingat Allah

maka jiwa manusia akan menjadi tenang; bahwa al-Qur’an adalah

petunjuk dan sebagai obat, dan sebagainya

وا وتطمئن قلوبهم بذكرالله الا بذكر الله تطمئن الذين امن

القلوب

Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi

tentram denganmengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan

mengingat Allah-lah hati menjadi tentram. (QS al-Ra’d:

28)

1 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan

Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994), hal. 81

Page 25: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

188

من ربكم وشفاء لما فى يا ايها الناس قد جاء تكم موعظة

الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين

Hai manusia sesungguhnya telah dating kepadamu

pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-

penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta

rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus: 57)

قل هو للذين امنوا هدى وشفاء

Katakanlah: al-Qur;’an itu adalah petunjuk dan penawar

bagi orang-orang yang beriman. (QS. Fushilat: 44)

Akan tetapi perlu diperjelas bagaimanakah agama Islam mampu

membantu manusia untuk keluar dari lingkaran neurosis tersebut.

Dalam memahai Islam sebagai sebuah agama, terdapat tiga

paradigma yang bisa dikembangkan:

1. Agama dalam dimensi subyektif, yaitu kesadaran keimanan umat

(akidah).

2. agama dalam dimensi obyektif, yaitu berupa amaliah atau prilaku

pemeluk agama (akhlak)

Page 26: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

189

3. agama dalam dimensi simbolik, yaitu ajaran keagamaan atau biasa

disebut dengan syariat.2

Ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang integral.

Apabila prilaku umat islam tidak mampu mencerminkan ketiga dimensi

tersebut, maka ia tidak akan mampu menghayati dan menjadikan agama

Islam sebagai alternatif terapi dalam berbagai persoalan yang

dihadapinya.

Agar manusia mampu menghayati agamanya dengan baik, maka

manusia harus menjadikan Islam sebagai acuan kehidupannya secara

keseluruhan, sebagaimana firman Allah

ياايها الذين امنوا ادحلوا فى السلم كافة

Hai orang yang beriman, masuklah kamu pada agama

Islam secara sempurna. (QS al-baqarah: 208)

Ayat tersebut di atas memberikan gambaran bahwa agama Islam

merupakan suatu ajaran agama yang universal dan mengatur seluruh

kehidupan manusia. Oleh karena itu, persoalan manusia yang berkaitan

dengan keresahan jiwa akan terselesaikan dengan baik manakala

manusia menjadikan Islam sebagai way of life dalam kehidupannya.

Dengan demikian, dengan menjalankan ajaran agama Islam secara baik

dan benar akan dapat menjadi terapi bagi penderita neurosis.

2 masdar Farid Mas’udi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1993), hal. 151-152

Page 27: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

190

B. Macam-macam Terapi

Dadang Hawari3 membagi terapi dalam beberapa bentuk:

1. terapi holistic, yaitu terapi yang tidak hanya menggunakan obat

dan ditujukan kepada gangguan jiwanya saja, akan tetapi juga

aspek-aspek lainnya dari pasien, sehingga pasien diobati secara

menyeluruh, baik dari segi organobiologik, psikologik, psikososial,

maupun spiritualnya.

2. psikoterapi psikiatrik. Tujuan utama terapi ini adalah untuk

memulihkan kembali kepercayaan diri dan memperkuat fusi ego.

Terapi ini, misalnya, dengan menggunakan metode wawancara

dengan pasien, sehingga pasien dapat mengungkapkan secara

bebas permasalahan, konflik, dan uneg-uneg yang dihadapinya,

dengan jaminan kerahasiaan. Terapi ini membutuhkan banyak

waktu dan relatif mahal.

3. Psikoterapi keagamaan, yaitu terapi yang diberikan dengan

kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran Islam mengandung

tuntunan bagaimana kehidupan manusia bebas dari rasa cemas,

tegang, depresi dan sebagainya. Dalam doa-doa, misalnya, intinya

adalah memohon agar kehidupan manusia diberi ketenangan,

kesejahteraan, keselamatan baik di dunia dan di akherat. Perlu

digaris bawahi bahwa terapi ini dimaksudkan untuk memperkuat

3 Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan

Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995), hal. 66-

74

Page 28: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

191

iman seseorang bukan untuk mengubah kepercayaan atau agama

pasien.

4. Farmakoterapi (psikofarmaka), yaitu terapi dengan mengguankan

obat. Terapi ini biasanya diberikan oleh dokter dengan

memberikan resep obat pada pasien.

5. terapi somatic, yaitu terapi dengan memberikan obat-obatan yang

ditujukan pada keluhan atau kelainan fisik/organic pasien.

Berbagai keluhan/kelainan organ tubuh terutama yang dipersyarafi

oleh system syaraf otonom yang muncuk sebagai manifestasi

kecemasan atau depresiatau pada mereka yang menderita

gangguan panik ataupun phobia.

6. Terapi relaksasi, yaitu terapi yang diberikan kepada pasien yang

mudah disugesti. Terapi ini lazimnya digunakan oleh terapis yang

mengguankan hipnotis. Dengan terapi ini pasien dilatih untuk

melakukan relaksasi.

7. Terapi Prilaku. Terapi ini dimaksudkan agar pasien berubah, baik

sikap maupun prilakunya terhadap obyek atau situasai yang

menakutkan . Prinsip yang dilakukan adalah desentisisasi, agar

passien tidak lagi sensitive atau reaktif terhadap obyek ataui situasi

yang memnbuatnya menderita tersebut. Secara bertahap pasien

dibimbing dan dilatih untuk menghadapi berbagai obyek atau

situasi yang menimbulkan panik atau takut. Sebelum melakukan

terapi ini diberikan psikoterapi untuk memperkut kepercayaan

diri.

C. Psikoterapi

Dalam pengobatan terhadap penderita neurosis dilakukan

dengan menggunakan beberapa terapi, salah satunya di antaranya

Page 29: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

192

adalah psikoterapi. Yang dimaksud dengan psikoterapi adalah

pengobatan alam pikiran atau lebih tepat pengobatan psikis melalui

metode psikologi.4 Dari pengertian tersebut dapat diambil suatu

pemahaman bahwa psikoterapi dipandang sebagai upaya kuratif dalam

pengobatan orang yang sakit jiwa. Dari pengertian tersebut pula tidak

mencakup upaya preventif dan konstruktif.

Psikoterapi kadang-kadang diidentikkan dengan psikoanalisis

(al-tahlil al-nafsiy), yaitu suatu cara untuk menganalisa jiwa seseorang

dengan menggunakan tehnik-tehnik tertentu. Psikoterapi juga diartikan

dengan penerapan tehnik khusus pada penyembuhan penyakit mental

atau pada kesulitan-kesulitan penyesuaian diri.

Sebenarnya psikoterapi bukan saja untuk pengobatan (kuratif),

akan tetapi juga dapat digunakan untuk preventif—upaya pencegahan—

dan konstruktif, demikian pendapat Carl Gustav Jung.5

Sementara kegunaan psikoterapi itu sendiri, menurut Muhammad

Mahmud Mahmud, adalah:

1. membantu penderita dalam memahami diri sendiri, mengetahui

sumber patologi dan kesulitannya, serta memberikan perspektif masa

depannya.

2. membantu penderita dalam menentukan bentuk-bentuk patologinya

3. membantu pendreita dalam menentukan lanhkah-langkah dan

pelaksanaannya.6

4 Frieda Fordman, Pengantar Psikologii C.G. Jung, (Jakarta: Bhatara Karya

Aksara, 1988), hal. 69 5 Ibid., hal. 80

6 Muhammad Mahmud Mahmud, Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaui al-

Islam, (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984), hal. 402

Page 30: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

193

Muhammad Mahmud Mahmud membagi psikoterapi dalam dua

macam:

1. bersifat duniawi, yaitu terapi yang memberikan kerangka pendekatan

dan tehnik pengobatan serta pemahaman dasar-dasar penciptaan

manusia

2. bersifat ukhrawi, yaitu dengan memberikan kerangka asasi terhadap

nilai-nilai agama, moral dan spiritual.7

Pada umumnya psikolog kontemporer menggunakan pendekatan

empirik dalam menganalisis patologi pasiennya. Freud, misalnya,

mengguanakan otobiografi pasien untuk menentukan terapi yang tepat.

Sementara terapi yang digunakan dalam bentuk hipnotis, chatarsis,

asosiasi bebas, dan analisis mimpi. Bentuk tehnik ini dilakukan secara

bertahap dan berurutan.

1. Hipnotis.

Terapi ini biasanya digunakan oleh spikiater dengan cara

menghilangkan ingatan-ingatan pasien yang mengandung simtom-

simtom, kemudian membrikan ingatan baru yang dapat memulihkan

kesehatan pasien

2. Chatarsis

Yaitu pengobatan dengan cara berbicara (talking cure). Cara kerja

tehnik ini yaitu dengan menyuruh pasien untuk menceritakan

simtom yang dideritanya secara rinci yang terdapat dalam jiwanya.

Setelah simtom tersebut muncul, kemudian segera dihilangkan.

7 Ibid.

Page 31: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

194

3. asosiasi bebas

yaitu dengen membiarkan pasien menceritakan seluruh

pengalamannya, baik simtom maupun tidak. Cerita yang

dikemukakan tidak mesti harus logis, teratur atau penuh arti. Apapun

isi cerita tersebut harus dikeluarkan, tidak terkecuali cerita yang

memalukan yang selama ini mungkin terpendam.

4. analisis mimpi.

Mimpi merupakan bentuk, isi dan kegiatan primitif dari jiwa

seseorang. Oleh karena itu dengan mengguanakn metode ini,

diharapkan akan diketahui rahasia pasien yang paling dalam.8

Masih dalam bahasan yang sama, al-Syarqawi menjelaskan 17

macam cara yang dapat digunakan sebagai terapi guna menuju pada

mental yang sehat. Ketujuh belas metode tersebut adalah:

1. al-wasth

2. al-’adl

3. al-khair

4. al-fadhl

5. al-taubat

6. al-shafh al-jamil

7. al-‘amal al-shalih

8. al-ru’ya al-khasanah

9. shumt al-hakim

8 Lebih jelasnya baca: Calvin S. Hall dan Gardner lindzey, Teori-teori

Holistik: Organismik Fenomenologis), (Yogyakarta: kanisius, 1993), hal. 110

Page 32: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

195

10. dzikr Allah

11. al-‘amn

12. al-‘aml

13. al-mahabbah

14. huzn al-shadiqin

15. al-idhthirar wa al-iftiqar

16. muhasibat al-nafs, dan

17. ma’rifah al-nafs.9

Masih berkaitan dengan masalah terapi, Yahya Jaya

mengungkapkan tiga langkah yang dapat ditempuh guna menuju mental

yang sehat, yaitu: pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif), dan

pembinaan (konstruktif).

Yang dimaksud dengan metode kuratif adalah usaha-usaha yang

dilakukan untuk menyembuhkan dan merawat orang yang terganggu dan

sakit mentalnya, sehingga ia menjadi sehat dan wajar kembali.

Sementara langkah pencegahan adalah cara yang digunakan seseorang

dalam menghadapi dirinya sendiri dan orang lain untuk meniadakan

atau mengurangi gangguan kejiwaan, sehingga ia dapat menjaga dirinya

dan orang lain dari kemungkinan jatuh pada kegoncangan batin dan

ketidaktentraman jiwa. Usaha tersebut di samping sebagai uoaya tiap

individu juga termasuk usaha penguasa atau pemerintah untuk

memperbaiki dan mempertinggi kebudayaan dan peradaban. Sedangkana

langkah pembinaan, selain bertujuan untuk menjaga kondisi mental agar

sehat, juga meliputi cara yang ditempuh untuk meningkatkan rasa

9 Hasan Muhammad Syarqawi, Nahwa Il-Nafs Islami,

(Mesir: al-Hai’at al-Misriyah, 1976), hal. 129

Page 33: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

196

bahagia dan meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan dan

mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya seoptimal

mungkin. Sebagai contoh adalah usaha seseorang untuk memperkuat

ingatannya, kepribadiannya, dan sebagainya.

D. Beberapa aspek Ajaran Agama Islam sebagai Terapi

1. Keimanan

Hidup manusia tidak selamanya berjalan lurus, adakalanya

goncangan-goncangan hadir dalam langkah kehidupan manusia.

Kegoncangan-kegoncangan tersebut bisa jadi diakibatkan oleh

musibah, kegagalan, dan sebagainya. Kondisi tersebut biasanya

dihadapi dengan berbagai perasaan, seperti sedih, tegang, resah,

takut, marah, kecewa, atau sebaliknya, cobaan tersebut dihadapi

dengan hati yang lapang.

Di sini kepribadian sangat menentukan. Apabila kepribadiannya

utuh dan jiwanya sehat, maka ia akn menghadapi semua masalah

tersebut dengan tenang. Kepribadian yang di dalamnya terkandung

unsure-unsur keimanan yang teguh, berbagai masalah yang menimpa

dirinya dihadapi dengan hati yang tenang. Akan tetapi orang yang

jiwanya goncang dan jauh dari agama boleh jadi ia akan marah tanpa

sasaran yang jelas, atau ememarahi orang lain sebagai sasaran

kemarahan.

Unsur penting yang membantu pertumbuhan dan perkembangan

kejiwaan adalah iman yang direalisasikan dalambentuk ajaran agama.

Oleh sebab itu iman dijadikan sebagai prinsip pokok dalam ajaran

agama Islam, menjadi pengendali sikap, tindakan, ucapan an

perbuatan. Tanpa kendali iman, manusia akan mudah terdorong

melakukan hal-hal yang akan merugikan diirnya sendiri atau orang

Page 34: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

197

lain dan menimbulkan penyesalan dan kecemasan, yang akan

menyebabkan tergangunya kesehatan mental.

Keimanan itu sendiri merupakan proses kejiwaan yang tercakup di

dalamnya fungsi jiwa, perasaan dan pikiran sama-sama

meyakinkannya. Apabila iman tidak sempurna, maka manfaatnya

bagi kesehatan mental pun kurang sempurna.

Orang yang percaya adanya Tuhan, tidak akan merasa kesepian

di mana pun mereka berada. Kendatipun ia seorang diri, namun pada

hakekatnya ia tidak sendirian. Di mana Tuhan?, hatinya tahu, tidak

jauh, dekat sekali bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri..Di

antara penyebab kegelisahan dan kecemasan seseorang antara lain

merasa kesepian. Tidak sedikit orang yang putus asa dalam hidupnya

karena merasa kesepian dan ditinggalkan orang. Dan tidak sedikit

pula orang yang menjadi bingung karena ditinggal orang yang dulu

mencintainya. Bagi orang yang putus asa dan tidak percaya adanya

Tuhan amat sempitlah rasanya alam yang luas ini.

Dengan demikian, dengan keimanan akan mententramkan hati,

karena ada tempat mengeluh dan mengungkapkan segala perasaan

hatinya. Dengan percaya akan adanya Tuhan manusia akan tertolong

dalam melepaskan diri dari ikatan benda dan segala sesuatu yang

bersifat material.

1. Shalat

Hubungan antara shalat dengan kesehatan mental telah diketahui

dan dirasakan oleh banyak orang, hal ini juga didasarkan pada ayat al-

Qur’an surat al-Mu’minun ayat 1-2:

Page 35: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

198

قد افلح المؤمنون * الذين هم فى صلا تهم خشعون

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya (QS. Al-

Mu’minun: 1-2)

Di samping itu dalam Hadis juga disebutkan:

ان الصلاة تمسكن وتواضع

Sesungguhnya shalat itu adalah ketenangan dan kerendahan

hati.10

Shalat adalah ibadah yang di dalamnya terjadi hubungan rohani

antara mahluk dan Khaliq-nya. Shalat juga dipandang sebagai

munajat—berdoa dalam hati yang khusy’—kepada Allah. Orang

yang sedang mengerjakan shalat dengan khusyu’ tidak merasakan

sendiri. Seolah-olah ia berhadapan dan melakukan dialog dengan

Tuhan. Suasana psiritual seperti ini dapat menolong manusia untuk

mengungkapkan segala perasaan dan berbagai permasalahan yang

dihadapi. Dengan demikian ia mendapatkan tempat untuk

mencurahkan segala yang ada dalam pikiran dan pikirannya. Dengan

shalat yang khusyu orang akan mendapatkan ketenangan jiwa,

karena merasa diri dekat dengan Allah dan beroleh ampunan-Nya.11

10

Berkaitan dengan masalah ini, baca: Imam Ghazali, Hikamah dan

Rahasia Shalat, alih bahasa: A. Hunaf Ibriy (Surabaya: Tiga Dua, 1995), hal. 58. Baca

juga Rahmat Djatnika, Shalat sebagai Pengendali Mental (Surabaya: al-Ikhlas, 1983) 11

Yahya Jaya, op. Cit., hal. 94

Page 36: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

199

2. Puasa

Terdapat dua sikap hidup yang dapat dikembangan dengan

berpuasa, yaitu:

a. mengendalikan diri terhadap nafsu dan dorongan-dorongan jahat

yang ada dalam diri manusia

b. mengembangkan dan meningkatkan serta mengarahkan diri

terhadap hal-hal yang serba baik dan diridhai-Nya.

Hal ini tidak saja membawa manfaat bagi diri sendiri sebagai

pribadi dan sebagai anggota masyarakat, tetapi juga sebagai hamba

Allah yang baik dan berguna. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa berpuasa merupakan proses pengembangan dan aktualisasi diri

ke arah manusia bertaqwa.

Dengan berpuasa orang akan menjadi sadar, yakin dan sabar

melatih dirinya dalam menahan lapar dan haus, serta menahan segala

keinginan hawa nafsu dalam jangka waktu tertentu. Puasa yang

dilakukan dengan penuh kesadaran, keimanan dan ketakwaan kepada

Allah merupakan benteng yang kokoh bagi pertahanan diri terhadap

segala godaan hawa nafsu. Puasa yang demikian akan mendorong

manusia untuk bersikap ikhlas, jujur, benar, dan mengendalikan diri

dalam setiap amal yang dilakukannya. Puasa yang benar akan

memberikan ketenangan jiwa. Apabila orangsering melakukan puasa

berarti ia akan jauh dari sifat jahat, semakin terkendali dan kuatlah

benteng pertahanan dirinya. Dengan demikian orang yang berpuasa

dapat dijaga dari penyebab gangguan kejiwaan dan tercegah dari

penyakit jiwa.

Di samping aspek-aspek tersebut di atas, masih terdapat banyak

metode dalam mencegah dan menaggulangi terjadinya neurosis. Sementara

Page 37: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

200

itu, dalam dunia tasawuf dikenal tiga langkah yang dihubungkan dengan

usaha kesehatan mental, yaitu: takhalli, tahalli, dan tajalli.

Takhalli merupakan usaha mengosongkan diri dari segala

perbuatan yang tidak baik. Perbuatan tidak baik dapat dikategorikan sebagi

gangguan-gangguan jiwa pada diri seseorang. Oleh karena itu metode

takhalli memiliki hubungan dengan patologi. Apabila seseorang tidak mau

membuang keburukan yang ada dalam dirinya sehingga dapat mengganggu

jiwanya, maka sebagai akibatnya adalah adanya mental yang kurang sehat.

Tahalli yaitu dengan mengisi diri seseorang dengan perbuatan-

perbuatan atau tingkah laku yang baik. Tahalli tersebut boleh dikatakan

sebagai fungsi terapi. Sedangkan tajalli adalah kondisi di mana seseorang

benar-benar sempurna dan paripurna, yang berimplikasi pada kesehatan

mental.

Page 38: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

201

Pertanyaan

1. Sebutkan macam-macam terapi yang dapat dilakukan untuk mengobati

penderita neurosis!

2. Apakah yang disebut dengan psikoterapi!

3. Jelaskan kegunaan dari psikoterapi

4. Sebutkan bentuk-bentuk terapi yang dikemukakan oleh Sigmund Freud!

5. Uraikan peranan iman dalam fungsinya sebagai terapi neurosis!

Page 39: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA A. …

202

Daftar Pustaka

Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian

dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Ruhama, 1994)

Masdar Farid Mas’udi, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1993)

Dadang Hawari, Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,

(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Jasa, 1995)

Frieda Fordman, Pengantar Psikologii C.G. Jung, (Jakarta: Bhatara Karya

Aksara, 1988)

Muhammad Mahmud Mahmud, Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaui al-Islam,

(Jeddah: Dar al-Syuruq, 1984)

Calvin S. Hall dan Gardner lindzey, Teori-teori Holistik: Organismik

Fenomenologis), (Yogyakarta: kanisius, 1993)

Hasan Muhammad Syarqawi, Nahwa Il-Nafs Islami, (Mesir: al-Hai’at al-

Misriyah, 1976)

Imam Ghazali, Hikamah dan Rahasia Shalat, alih bahasa: A. Hunaf Ibriy

(Surabaya: Tiga Dua, 1995)

Rahmat Djatnika, Shalat sebagai Pengendali Mental (Surabaya: al-Ikhlas,

1983)