bab ii revisi

63
BAB II HUBUNGAN DURASI TIDUR YANG PENDEK TERHADAP RISIKO HIPERTENSI PADA ORANG BERUSIA 18 SAMPAI 45 TAHUN DILIHAT DARI SEGI KEDOKTERAN DAN ISLAM II.1. Hipertensi II.1.1 Definisi hipertensi Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5- 10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008). 1

Upload: ismail-gunawan

Post on 29-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB II Revisi

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Revisi

BAB II

HUBUNGAN DURASI TIDUR YANG PENDEK TERHADAP RISIKO

HIPERTENSI PADA ORANG BERUSIA 18 SAMPAI 45 TAHUN DILIHAT

DARI SEGI KEDOKTERAN DAN ISLAM

II.1. Hipertensi

II.1.1 Definisi hipertensi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi

diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder

(5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari

peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh

penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma

Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat

obat (Bakri, 2008).

II.1.2 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi

renal.

1

Page 2: BAB II Revisi

1) Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,

disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang

mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis,

sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca

intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol,

merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50

tahun (Schrier, 2000).

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus. Penyebab

spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular

renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio

aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain – lain (Schrier, 2000).

II.1.3 KLASIFIKASI

Beberapa klasifikasi hipertensi:

a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7

Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education

Program merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm

sukarelawan, dan agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC

(Joint Committe on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

2

Page 3: BAB II Revisi

High Blood Pressure) pada tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi

nasional Amerika Serikat (Sani, 2008).

Tabel 1

Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention,

Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)

Kategori

Tekanan Darah

menurut JNC 7

Tekanan

Darah Sistol

(mmHg)

dan/

atau

Tekanan

Darah Diastol

(mmHg)

Normal < 120 dan < 80

Pre-Hipertensi 120-139 atau 80-89

- < 130 dan < 85

- 130-139 atau 85-89

Hipertensi :

Tahap 1 140-159 atau 90-99

Tahap 2 ≥ 160 atau ≥ 100

- 160-179 atau 100-109

≥ 180 atau ≥ 110

(Sumber: Sani, 2008)

Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang

sebelumnya dipertimbangkan normal ternyata menyebabkan peningkatan

3

Page 4: BAB II Revisi

resiko komplikasi kardiovaskuler. Data ini mendorong pembuatan

klasifikasi baru yang disebut pra hipertensi (Sani, 2008).

b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)

WHO dan International Society of Hipertensi Working Group

(ISHWG) telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal,

normal, normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi

berat (Sani, 2008).

Tabel 2

Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO

Kategori Tekanan Darah

Sistol (mmHg)

Tekanan Darah

Diatol (mmHg)

Optimal

Normal

Normal-Tinggi

< 120

< 130

130-139

< 80

< 85

85-89

Tingkat 1 (Hipertensi Ringan)

Sub-group: perbatasan

140-159

140-149

90-99

90-94

Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109

Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110

Hipertensi sistol terisolasi

(Isolated systolic hipertensi)

Sub-group: perbatasan

≥ 140 < 90

4

Page 5: BAB II Revisi

140-149 <90

(Sumber: Sani, 2008)

c. Klasifikasi Menurut Chinese Hipertensi Society

Menurut Chinese Hipertensi Society (CHS) pembacaan tekanan darah

<120/80 mmHg termasuk normal dan kisaran 120/80 hingga 139/89

mmHg termasuk normal tinggi (Shimamoto, 2006).

Tabel 3

Klasifikasi Hipertensi Menurut CHS

Tekanan Darah Sistol

(mmHg)

Tekanan Darah

Diastol (mmHg)

CHS-2005

< 120 < 80 Normal

120-129 80-84 Normal-Tinggi

130-139 85-89

Tekanan Darah Tinggi

140-159 90-99 Tingkat 1

160-179 100-109 Tingkat 2

≥ 180 ≥ 110 Tingkat 3

≥ 140 ≤ 90 Hypertensi Sistol Terisolasi

(Sumber: Shimamoto, 2006)

d. Klasifikasi menurut European Society of Hipertensi (ESH)

Klasifikasi yang dibuat oleh ESH adalah:

5

Page 6: BAB II Revisi

1. Jika tekanan darah sistol dan distol pasien berada pada kategori yang

berbeda, maka resiko kardiovaskuler, keputusan pengobatan, dan

perkiraan afektivitas pengobatan difokuskan pada kategori dengan

nilai lebih.

2. Hipertensi sistol terisolasi harus dikategorikan berdasarkan pada

hipertensi sistol-distol (tingkat 1, 2 dan 3). Namun tekanan diastol

yang rendah (60-70 mmHg) harus dipertimbangkan sebagai resiko

tambahan.

3. Nilai batas untuk tekanan darah tinggi dan kebutuhan untuk memulai

pengobatan adalah fleksibel tergantung pada resiko kardiovaskuler

total.

Tabel 4

Klasifikasi menurut ESH

Kategori Tekanan Darah Sistol

(mmHg)

Tekanan

Darah Diastol

(mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal 120-129 dan/atau 80-84

Normal-Tinggi 130-139 dan/atau 85-89

Hipertensi tahap 1 140-159 dan/atau 90-99

Hipertensi tahap 2 160-179 dan/atau 100-109

Hipertensi tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110

6

Page 7: BAB II Revisi

Hipertensi sistol

terisolasi

≥ 140 Dan < 90

(Sumber: Mancia G, 2007)

e. Klasifikasi menurut International Society on Hipertensi in Blcks (ISHIB)

(Douglas JG, 2003)

Klasifikasi yang dibuat oleh ISHIB adalah:

1) Jika tekanan darah sistol dan diastole pasien termasuk ke dalam dua

kategori yang berbeda, maka klasifikasi yang dipilih adalah

berdasarkan kategori yang lebih tinggi.

2) Diagnosa hipertensi pada dasarnya adalah rata-rata dari dua kali atau

lebih pengukuran yang diambil pada setiap kunjunga.

3) Hipertensi sistol terisolasi dikelompokkan pada hipertensi tingkat 1

sampai 3 berdasarkan tekanan darah sistol (≥ 140 mmHg) dan diastole

( < 90 mmHg).

4) Peningkatan tekanan darah yang melebihi target bersifat kritis karena

setiap peningkatan tekanan darah menyebabkan resiko kejadian

kardiovaskuler.

7

Page 8: BAB II Revisi

Tabel 5

Klasifikasi Hipertensi Menurut ISHIB

Kategori Tekanan

Darah Sistol

(mmHg)

Tekanan

Darah Diastol

(mmHg)

Optimal < 120 dan < 80

Normal < 130 dan/atau < 85

Normal-Tinggi 130-139 dan/atau 85-89

Hipertensi Tahap 1 140-159 dan/atau 90-99

Hipertensi Tahap 2 160-179 dan/atau 100-109

Hipertensi Tahap 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110

Hipertensi Sistol terisolasi ≥ 140 dan < 90

(Sumber: Douglas JG, 2003)

f. Klasifikasi berdasarkan hasil konsesus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

(Sani, 2008).

Pada pertemuan ilmiah Nasional pertama perhimpunan hipertensi

Indonesia 13-14 Januari 2007 di Jakarta, telah diluncurkan suatu

konsensus mengenai pedoman penanganan hipertensi di Indonesia yang

ditujukan bagi mereka yang melayani masyarakat umum:

1) Pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur standar dan

ditujukan untuk meningkatkan hasil penanggulangan ini kebanyakan

8

Page 9: BAB II Revisi

diambil dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga, dikarenakan

data penelitian hipertensi di Indonesia yang berskala Nasional dan

meliputi jumlah penderita yang banyak masih jarang.

2) Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah

sistolik dan diastolik dengan merujuk hasil JNC dan WHO.

3) Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan

tingginya tekanan darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ

target dan penyakit penyerta tertentu.

Tabel 6

Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Kategori Tekanan Darah

Sistol (mmHg)

dan/atau Tekanan

Darah Diastol

(mmHg)

Normal <120 Dan <80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi Tahap 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Tahap 2 ≥160-179 Atau ≥100

Hipertensi Sistol

terisolasi

≥140 Dan <90

(Sumber: Sani, 2008)

Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi

sistolik dan hipertensi diastolik (Smith, Tom, 1986:7). Pertama yaitu

9

Page 10: BAB II Revisi

hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu kuat sehingga dapat

meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya

tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah

tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil

pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.

Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil

menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap

aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.

Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung

berada dalam keadaan relaksasi diantara dua denyutan. Sedangkan menurut

Arjatmo T dan Hendra U (2001) faktor yang mempengaruhi prevalensi

hipertensi antara lain ras, umur, obesitas, asupan garam yang tinggi, adanya

riwayat hipertensi dalam keluarga.

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu

sekunder dan primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab

spesifiknya dapat diketahui (Lanny Ssustrani, dkk, 2004).

Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu hipertensi

Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah keadaan

hipertensi yang tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan pada

saat penderita dicek up. Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang

membahayakan biasanya disertai dengan keadaan kegawatan yang merupakan

10

Page 11: BAB II Revisi

akibat komplikasi organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal (Mahalul

Azam,2005).

II.1.4 GEJALA KLINIS

Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala pada

hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala yang

timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial berjalan tanpa gejala,

dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada

ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008).

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai

bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan

manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah

bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia

(peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah

(BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke

atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada

satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma,2000 ).

Crowin (2000: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul

setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa :Nyeri kepala saat terjaga,

kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah

intrakranial,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,Ayunan

11

Page 12: BAB II Revisi

langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia karena

peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus,Edema dependen dan

pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi

pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari

hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002).

II.1.5 PATOFISIOLOGI

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian

tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:

Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).

Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi esensial

antara lain :

1) Curah jantung dan tahanan perifer

Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap

kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah

jantung biasanya normal tetapi tahanan pembuluh darah perifer meningkat (Gray, et

al. 2005).

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di

pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf

simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula

spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke

12

Page 13: BAB II Revisi

ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan

merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan

dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon

pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat

sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal

tersebut bisa terjadi (Corwin,2001)

2) Angiotensin II

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh

darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi

epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan

steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.

Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan

pelepasan renin (Dekker, 1996). Renin disekresi oleh juxtaglomerulus aparantus

ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam,

ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al. 2005).

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II

dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang

peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung

angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh

ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE

13

Page 14: BAB II Revisi

yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida

yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah

karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi

di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas

dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan

ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.

Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara

menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat

sehingga meningkatkan tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan

hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan

ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara

mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan

kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya

akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).

3) Sistem Saraf Otonom

Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan

dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam

pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem

14

Page 15: BAB II Revisi

saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor lain

termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005).

4) Disfungsi Endotelium

Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam

pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal

yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak

terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi

menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).

5) Substansi vasoaktif

Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam

mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan

vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan

sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin

lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium

jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan

ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan

dan hipertensi (Gray, et al. 2005).

6) Hiperkoagulasi

Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding

pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),

ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi

dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan

15

Page 16: BAB II Revisi

semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan

pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).

7) Disfungsi diastolik

Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika

terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input

ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri

melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).

II.1.6 FAKTOR RISIKO

Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui

dengan jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi

antara lain :

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Keturunan

Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua

atau salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut mempunyai risiko lebih

besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang kedua orang tuanya normal (tidak

menderita hipertensi). Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi dan penyakit

jantung secara signifikan akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada

perempuan dibawah 65 tahun dan laki – laki dibawah 55 tahun (Julius, 2008).

16

Page 17: BAB II Revisi

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.

Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin.

Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada

perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang

mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008).

c. Umur

Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi

umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini disebabkan elastisitas

dinding pembuluh darah semakin menurun dengan bertambahnya umur. Sebagian

besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum umur 55 tahun

tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah umur 65

tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan demikian,

risiko hipertensi bertambah dengan semakin bertambahnya umur (Gray, et al. 2005) .

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Merokok

Merokok dapat meningkatkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam

rokok sangat membahayakan kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan

17

Page 18: BAB II Revisi

penggumpalan darah dalam pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran

pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang

menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, denyut

jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2 bertambah,

aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer

(Gray, et al. 2005)

b. Obesitas

Obesitas adalah keadaan dimana terjadi penumpukan lemak yang berkelebihan di

dalam tubuh dan dapat diekspresikan dengan perbandingan berat badan serta tinggi

badan yang meningkat. Obesitas atau kegemukan merupakan faktor risiko yang

sering dikaitkan dengan hipertensi. Risiko terjadinya hipertensi pada individu yang

semula normotensi bertambah dengan meningkatnya berat badan. Individu dengan

kelebihan berat badan 20% memiliki risiko hipertensi 3-8 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan individu dengan berat badan normal (Suarthana dkk, 2005).

Penelitian The Second National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES II) penderita berat badan lebih (overweight) yang berumur 20-75 tahun

dengan BMI > 27 akan mengalami kemungkinan hipertensi 3 kali lipat dibandingkan

dengan tidak berat badan lebih. Mekanisme terjadinya hal tersebut belum sepenuhnya

dipahami, tetapi pada obesitas didapatkan adanya peningkatan volume plasma dan

curah jantung yang akan meningkatkan tekanan darah (Suarthana dkk, 2005).

c. Stres

18

Page 19: BAB II Revisi

Menurut Rippetoe-Kilgore, Stress adalah kondisi yang dihasilkan ketika

seseorang berinteraksi dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu

pertentangan, apakah itu riil ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber daya

sistem biologis, psikologis dan social. Dalam terminologi medis, stress akan

mengganggu sistem homeostasis tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan

psikologis.

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang

dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama

dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada binatang

percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan binatang tersebut

menjadi hipertensi (Pickering, 1999).

d. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik membantu dengan mengontrol berat badan. Aerobik yang

cukup seperti 30 – 45 menit berjalan cepat setiap hari membantu menurunkan tekanan

darah secara langsung. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah pada

semua kelompok, baik hipertensi maupun normotensi (Simons-Morton, 1999).

e. Asupan

1) Asupan Natrium

Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum

normal adalah 136 sampai 145 mEg / L, Natrium berfungsi menjaga keseimbangan

19

Page 20: BAB II Revisi

cairan dalam kompartemen tersebut dan keseimbangan asam basa tubuh serta

berperan dalam transfusi saraf dan kontraksi otot (Kaplan, 1999).

Perpindahan air diantara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh

kekuatan osmotik. Osmosis adalah perpindahan air menembus membran

semipermiabel ke arah yang mempunyai konsentrasi partikel tak berdifusinya lebih

tinggi. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler dan kalium dengan zat – zat organik

pada cairan intraseluler, adalah zat – zat terlarut yang tidak dapat menembus dan

sangat berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran (Kaplan,

1999).

Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi terutama di

usus halus. Mekanisme penngaturan keseimbangan volume pertama – tama tergantung pada

perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi efektif adalah bagian dari volume

cairan ekstraseluler pada ruang vaskular yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada

orang sehat volume cairan ekstraseluler umumnya berubah – ubah sesuai dengan sirkulasi

efektifnya dan berbanding secara proporsional dengan natrium tubuh total. Natrium

diabsorpsi secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke ginjal, disini natrium disaring

dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan taraf

natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang jumlahnya mencapai 90-99 % dari yang

dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormon aldosteron

yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar Na darah menurun. Aldosteron merangsang

ginjal untuk mengasorpsi Na kembali. Jumlah Na dalam urin tinggi bila konsumsi tinggi dan

rendah bila konsumsi rendah (Kaplan, 1999).

20

Page 21: BAB II Revisi

Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang secara genetik sensitif

terhadap natrium, misalnya seperti: orang Afrika-Amerika, lansia, dan orang

hipertensi atau diabetes. Asosiasi jantung Amerika menganjurkan setiap orang untuk

membatasi asupan garam tidak lebih dari 6 gram per hari. Pada populasi dengan

asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih cepat

dengan meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan

(Kaplan, 1999).

Hubungan antara retriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum jelas. Namun

berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan tekanan darah ketika

asupan garam ditambah (Kaplan, 1999).

2) Asupan Kalium

Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler, cara kerja kalium

adalah kebalikan dari Na. konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan

konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari

bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah (Appel, 1999).

Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron. Peningkatan

sekresi aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium dan air juga ekskresi kalium.

Sebaliknya penurunan sekresi aldosteron menyebabkan ekskresi natrium dan air juga

penyimpanan kalium. Rangsangan utama bagi sekresi aldosteron adalah penurunan

volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi kalium juga

21

Page 22: BAB II Revisi

dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di tubulus distal (Appel,

1999).

Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan

mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling yang

mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal. Pada populasi

dengan asupan tinggi kalium tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih rendah

dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi rendah kalium (Appel, 1999).

3) Asupan Magnesium

Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler otot

halus dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan darah. The

Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of

High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara

magnesium dan tekanan darah (Appel, 1999).

Sebagian besar penelitian klinis menyebutkan, suplementasi magnesium tidak efektif

untuk mengubah tekanan darah. Hal ini dimungkinkan karena adanya efek

pengganggu dari obat anti hipertensi. Meskipun demikian, suplementasi magnesium

direkomendasikan untuk mencegah kejadian hipertensi (Appel, 1999).

II.2 TIDUR

II.2.1 Definisi

Tidur adalah suatu keadaan yang berulang – ulang, perubahan status

kesadaran yang terjadi selama periode tertentu. Beberapa ahli berpendapat bahwa

22

Page 23: BAB II Revisi

tidur diyakini dapat memulihkan tenaga karena tidur memberikan waktu untuk

perbaikan dan penyembuhan system tubuh untuk periode keterjagaan berikutnya

(Potter, 2005)

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang bersifat fisiologis atau

kebutuhan paling bawah dari piramida kebutuhan dasar. Tidur adalah suatu kegiatan

relative tanpa sadar yang penuh, ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan kegiatan

urutan siklus yang berulang – ulang dan masing – masing menyatakan fase kegiatan

otak dan jasmaniah yang berbeda (Tarwoto & Wartonah, 2004)

Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang

masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang

lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang

terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). tidur

merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara

tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang

bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas

di siang hari (Chopra , 2003).

II.2.2 Fisiologi Tidur

Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi

bola dunia yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24

jam antara lain diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan

segarnya tanam-tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan

bintang pada siang hari dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).

23

Page 24: BAB II Revisi

Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang

sedang tidur bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan

sedang bekerja (Harsono, 1996). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam

tidur adalah reticular activating system (RAS) dan bulbar synchronizing regional

(BSR) yang terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2005)

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan

saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan

bagian atas pons. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran,

nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk

rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan

melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, BSR

menyebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons

dan batang otak tengah (Potter & Perry, 2005).

II.2.3 Tahapan Tidur

Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid

Eye Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye

Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat

stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur

stadium empat; lalu diikuti oleh fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM

terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam (Potter & Perry, 2005).

II.2.3.1. Tidur stadium satu

24

Page 25: BAB II Revisi

Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat

terbangun dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap

pertama tidur, mata akan bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat

(Patlak, 2005).

II.2.3.2. Tidur stadium dua

Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan

suhu tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata

berhenti (Patlak, 2005).

II.2.3.3. Tidur stadium tiga

Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini

individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat

segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit (Smith

& Segal, 2010).

II.2.3.4. Tidur stadium empat

Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat

lambat. Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan

energi fisik (Smith & Segal, 2010).

Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat

restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan

energik di siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung

25

Page 26: BAB II Revisi

antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu

REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan

panjang saat menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata

tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut

jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).

Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi

dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi

memori jangka panjang (Potter & Perry, 2005).

II.2.4 Fungsi Tidur

Salah satu teori menyatakan bahwa tidur adalah saat memulihkan dan

mempersiapkan energi untuk periode bangun berikutnya, denyut nadi saat tidur juga

menurun yang dapat memelihara jantung (McCante & Hueter, 2002 dalam Potter &

Perry, 2003).

Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin. Selama

tidur tubuh melepaskan hormon pertumbuhan, memperbaiki dan memperbaharui sel

epitel dan sel otak (Home, 1983; Mandleson, 1987; Born, Muth, dan Fehm, 1988

dalam Potter & Perry, 2003).

Tidur REM terlihat penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM

dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas

26

Page 27: BAB II Revisi

kortikal, peningkatan konsumsi oksigen dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat

membantu penyimpanan memori dan pembelajaran (Potter & Perry, 2003).

Secara umum, ada dua efek fisiologis dari tidur yaitu efek pada sistem saraf

yang dapat memulihkan kepekaan dan keseimbangan diantara berbagai susunan saraf

dan efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi organ tubuh

(Hidayat, 2006).

II.2.5 Siklus Tidur terhadap hipertensi

Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM

terjadi berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami

REM, maka esok harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi

hiperaktif, kurang dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah.

Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono,

2008).

Siklus tidur merupakan salah satu dari irama sirkadian yang merupakan siklus

dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama sirkadian ini juga merupakan

keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu, maka fungsi fisiologis dan psikologis

dapat terganggu (Potter & Perry, 2005).

II. 2.5.1 Hubungan durasi tidur dengan siklus tidur

27

Page 28: BAB II Revisi

Persentasi waktu dalam REM meningkat selama waktu tidur (Dement &

Kleitman, 1957). Hal ini sangat memungkinkan, karena itu, episode tidur yang

panjang lebih sering mengalami REM dibandingkan dengan tidur yang pendek.

II.2.6 Mekanisme Tidur

Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter fisiologis.

NREM ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan

lambat serta tekanan darah yang rendah. NREM adalah tahapan tidur yang tenang.

REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan tiba-tiba, peningkatan saraf

otonom dan mimpi. Pada tidur REM terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah,

28

Page 29: BAB II Revisi

denyut nadi dan frekuensi nafas. Keadaan ini disertai dengan penurunan tonus otot

dan peningkata aktivitas otot involunter. REM disebut juga aktivitas otak yang tinggi

dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998).

Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-rata

timbul setiap 90 menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang

tertidur. Tidur REM menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I

dengan gelombang beta, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi

jantung dan nafas tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan bola mata yang

cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit dibangunkan daripada tidur

gelombang lambat atau NREM.

Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang

disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini

meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity

System menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular

Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti

sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).

II.2.6.1 Hubungan siklus tidur dengan Gangguan Endokrin dan Fungsi Metabolik

Penelitian oleh fang et al, hubungan durasi tidur yang pendek dan hipertensi

mungkin berkaitan dengan kurang tidur, yang telah dilaporkan bahwa mengganggu

endokrin dan fungsi metabolik dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan

karena itu yang menjadi penyebab hipertensi yang terus menerus.

II.2.6.1.1 Sistem serotoninergik

29

Page 30: BAB II Revisi

Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino

triptofan. Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang

terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila

serotonin dalam triptofan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak

bisa tidur/ jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem

serotoninergik ini terletak pada nucleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana

terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis dengan tidur REM.

II.2.6.1.2 Sistem adrenergik

Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan sel

nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat

mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang

mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan

penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.

II.2.6.1.3 Sistem kolinergik

Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002) membuktikan dengan

pemberian prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi

jalur kolinergik ini, mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam kedaan

jaga. Gangguan aktivitas kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan

tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM.

Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kolinergik

dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

II.2.6.1.4 Sistem histaminergik

30

Page 31: BAB II Revisi

Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

II.2.6.1.5 Sistem hormon

Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin

Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH),

Lituenizing Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara

teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara

teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefirn, dopamine,

serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

Tabel 7

Neurotransmitter Pada Sistem Saraf Pusat (Mary C Towsend, 1996)

Neurotransmiter Lokasi/Fungsi Implikasinya pada penyakit Jiwa

Kolinergik: Asetil kolin

Sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis, terminal saraf presinapsis parasimpatik, terminal postsinapsis

Sistem saraf pusat : korteks serebral hipokampus, struktur limbik, basal ganglia

Fungsi : tidur, bangun persepsi nyeri , pergerakan memori

Meningkatkan derajat depresi

Menurunkan derajat penyakit alzeimer, korea hutington, penyakit parkinson.

31

Page 32: BAB II Revisi

Monoamin

Norepinefrin

Dopamin

Serotonin

Histamin

Asam amino

GABA (gamma

Sistem syaraf otonom terminal saraf post sinapsis simpatis

Sistem saraf pusat: talamus, sistem limbik, hipokampus, serebelum, korteks serebri

Fungsi pernafasan, pikiran, persepsi, daya penggerak, fungsi kardiovaskuler, tidur dan bangun

Frontal korteks, sistem limbik, basal ganglia, talamus, hipofisis posterior, medula spinalis

Fungsi: pergerakan dan koordinasi, emosional, penilaian, pelepasan prolaktin

Hipotalamus, talamus, sistem limbik, korteks serebral, serebelum, medula spinalis

Fungsi : tidur, bangun, libido, nafsu makan, perasaan, agresi persepsi nyeri, koordinasi dan penilaian

Hipotalamus

Hipotalamus, hipocampus, korteks, serebelum, basal ganglia, medula spinalis, retina

Menurunkan derajat depresi

Meningkatkan derajat mania, keadaan kecemasan, skizofrenia.

Menurunkan derajat penyakit parkinson dan depresi

Meningkatkan derajat mania dan skizofrenia

Menurunkan derajat depresi

Meningkatkan derajat kecemasan

Menurunkan derajat depresi

Menurunkan derajat korea huntington,

32

Page 33: BAB II Revisi

Amino butyric acid

Glisin

Glutamat dan aspartat

Neuropeptida

Endorfin dan

enkefalin

Substansi P

Fungsi kemunduran aktivitas tubuh

Medula spinalis, batang otak

Fungsi: menghambat motor neuron berulang

Sel-sel piramid/kerucut dari korteks, serebelum dan sistem sensori aferen primer, hipocampus, talamus, hipotalamus, medula spinalis

Fungsi: menilai informasi sensori, mengatur berbagai motor dan reflek spinal

Hipotalamus , talamus, struktur limbik dan batang otak, enkedalin juga ditemukan pada traktus gastrointestinal

Fungsi modulasi (mengatur) nyeri dan mengurangi peristaltik (enkefalin)

Hipotalamus struktur limbik otak tengah, batang otak, talamus, basal ganglia, dan medula spinalis, juga ditemukan pada traktus gastrointestinal dan kelenjar saliva

Fungsi: pengaturan nyeri

Korteks serebral, hipokampus, talamus, basal ganglia, batang otak, medula spinalis

gangguan ansietas, skizofrenia, dan berbagai jenis epilepsi

Derajat toksik/keracunan “glycine encephalopaty”

Menurunkan tingkat derajat yang berhubungan dengan gerakan motor spastik

Modulasi aktivitas dopamin oleh opiod peptida dapat menumpukkan berbagai ikatan terhadap gejala skizofrenia

Menurunkan derajat korea hutington

33

Page 34: BAB II Revisi

Somatostatin

Fungsi: menghambat pelepasan norepinefrin, merangsang pelepasan serotonin, dopamin dan asetil kolin

Menurunkan derajat penyakit alzeimer

Meningkatkan derajat korea hutington

II.2.6.2 Hubungan Stress dengan Saraf Otonom

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang

dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung lama

dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada binatang

percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan binatang tersebut

menjadi hipertensi (Pickering, 1999).

II.2.6.3 Hubungan Saraf Simpatis dengan Peningkatan Tahanan Perifer

Pembuluh Darah dan Hipertensi

Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan

dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam

pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem

saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor lain

termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005).

34

Page 35: BAB II Revisi

Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap

kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah

jantung biasanya normal tetapi tahanan pembuluh darah perifer meningkat (Gray, et

al. 2005).

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di

pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf

simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula

spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke

ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan

merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan

dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

II.2.7 Peran durasi tidur terhadap hipertensi

Pola tidur normal berdasarkan usia adalah bayi baru lahir membutuhkan tidur

14 – 18 jam/ hari, pernafasan teratur dan 50 % tidur REM, infant membutuhkan tidur

12 – 14 jam/ hari dan 20 – 30% tidur REM, toodler membutuhkan tidur 11 – 12 jam/

hari dan 25% tidur REM, preschooler membutuhkan tidur 11 jam dan 20% tidur

REM, usia sekolah tidur 10 jam/ hari dan 18,5% tidur REM, adolescent

membutuhkan tidur 8,5 jam/ hari dan 20% tidur REM, usia dewasa muda

membutuhkan tidur 7 – 8 jam/ hari dan 20 – 25% tidur REM, usia dewasa tengah

membutuhkan tidur 7 jam/ hari dan 20% tidur REM, usia lanjut membutuhkan tidur 6

jam/ hari dan 20 – 25% tidur REM (Kozier, 2004; Hidayat, 2006).

35

Page 36: BAB II Revisi

Berdasarkan National Sleep Foundation, paling banyak orang dewasa

membutuhkan 7 – 9 jam dalam sehari untuk kesehatan optimal. Dengan diketahuinya

durasi tidur yang optimal maka durasi tidur <7 jam merupakan durasi tidur yang

pendek dan >10 merupakan durasi tidur yang panjang.

Penelitian oleh fang et al, hubungan durasi tidur yang pendek dan hipertensi

mungkin berkaitan dengan kurang tidur, yang telah dilaporkan bahwa mengganggu

endokrin dan fungsi metabolik dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan

karena itu yang menjadi penyebab hipertensi yang terus menerus. Studi hubungan

kurang tidur dan tekanan darah menunjukkan bahwa baik normotensif dan studi mata

hipertensif, ada peningkatan yang signifikan dalam aktivitas sistem saraf simpatis,

mengakibatkan peningkatan tekanan darah setelah malam ketika tidur dibatasi 3,6-4,5

jam. Eksposur yang relative panjang tentang durasi tidur yang pendek bisa

berhubungan dengan pengembangan hipertensi.

Kemungkinan meningkatnya hipertensi antara mereka dengan lebih dari 9 jam

tidur per hari juga dilaporkan sebelumnya , meskipun mekanisme biologis yang

mendasari hubungan jam tidur panjang dan hipertensi tidak dipahami dengan baik.

Faktor risiko lain yang mungkin mempengaruhi hubungannya. Sebagai contoh, dalam

Nurses ' Health Study , wanita yang dilaporkan tidur 9 jam atau lebih per hari

memiliki aktivitas kurang dari 15 % per minggu dibandingkan perempuan yang tidur

7-8 jam /per hari dan aktivitas berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi.

Hubungan tidur pendek dan hipertensi ditemukan pada pria dan wanita muda ,

pada pria setengah baya , serta seperti pada wanita lansia . Temuan di kalangan

36

Page 37: BAB II Revisi

peserta usia muda dan middleaged ditemukan sebelumnya dari NHANES, studi yang

di follow up pada bebrapa warga Korea dalam beberapa tahun dan studi kami

sebagian bear responden NHIS memberikan kesempatan untuk melakukan analisis

stratified berdasarkan usia dan jenis kelamin sementara disesuaikan untuk kovariat

penting untuk mengeksplorasi dan ini masalah penting serta mendalam . Keterbatasan

penelitian ini meliputi penggunaan variable dilaporkan sendiri oleh para peserta

bukan tujuan pengukuran durasi tidur dan tekanan darah . Namun, studi sebelumnya

telah menunjukkan kesepakatan yang baik antara selfreported jangka waktu tidur dan

yang diperoleh melalui actigraphic monitoring, serta validitas yang dilaporkan

sendiri hipertensi. kekhawatiran lain adalah bahwa penilaian hipertensi tidak

memiliki referensi pada waktunya. Untuk mengatasi hal ini , kami melakukan analisis

lebih lanjut menggunakan 2.008 NHIS data, yang termasuk informasi ketika tekanan

darah terakhir diperiksa . antara 21.757 peserta , 88 % memiliki tekanan darah

mereka diperiksa dalam waktu 1 tahun . Menambahkan variabel " tekanan darah

terakhir kali diperiksa "untuk model regresi logistik tidak mengubah hasil dari model

tanpa variabel ini . Hal ini menunjukkan bahwa interval waktu sejak tekanan darah

terakhir diperiksa tidak mempengaruhi hasil. Karena desain cross- sectional dari

NHIS , kita tidak bisa menentukan hubungan kausal atau mengesampingkan

bidirectional hubungan . Sebagai contoh, hipertensi atau kondisi kronis lainnya dapat

menyebabkan individu untuk menerima kurang atau lebih banyak tidur daripada

mereka yang tidak kondisi ini . faktor-faktor lain seperti kualitas tidur atau tidur tidak

teratur dalam bernapas dapat mempengaruhi hubungan antara durasi tidur dan

37

Page 38: BAB II Revisi

hipertensi . Namun, informasi ini tidak dikumpulkan di NHIS . akhirnya , meskipun

penelitian menunjukkan perbedaan dalam asosiasi jam tidur dan risiko hipertensi di

kalangan penduduk AS berdasarkan usia dan jenis kelamin , desain cross-sectional

studi melakukan tidak mengizinkan kita untuk mengeksplorasi mekanisme untuk

menjelaskan temuan . Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi

mekanisme biologis di balik hubungan antara jam tidur dan risiko hipertensi pada

penduduk menurut umur dan jenis kelamin . Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa

jangka waktu tidur < 7 jam dan ≥ 10 jam per hari bisa memainkan peran dalam risiko

hipertensi antara orang dewasa , tergantung pada usia dan jenis kelamin. hubungan

dari durasi tidur dengan hipertensi antara peserta AS di NHIS mendukung

rekomendasi umum bahwa tidur 7-9 h / malam optimal untuk kesehatan yang baik .

38

Page 39: BAB II Revisi

Gambar 1

Kerangka konsep hubungan antara tidur dengan hipertensi

39

Tidur < 7 jam

Mengganggu Endokrin dan Fungsi Metabolik

Peningkatan Aktivitas Saraf Simpatis

Tahanan Pembuluh Darah Perifer Meningkat

Hipertensi

Persentase Frekuensi REM Berkurang

StressStressor :

-Beban pekerjaan

-Masalah Rumah Tangga

-Masalah lingkungan Sosial

Gangguan pada Otak

Obesitas

Keturunan

Jenis Kelamin

Umur

Merokok Obesitas

Aktivitas Fisik

Asupan Na, K, Mg