bab ii pkpa puskes
DESCRIPTION
PKPA puskesTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PUSKESMAS
A. Aspek Umum
1. Aspek Legal Puskesmas
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (4). Secara nasional standar
wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila di satu kecamatan
terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar
Puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah yaitu desa/kelurahan
atau RW. Masing-masing Puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab
langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupatan atau Kota (5).
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk
mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat, dengan menyelenggarakan fungsi sebagai
penyelenggara upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan tingkat
pertama di wilayah kerjanya (4). Menurut PMK nomor 75 tahun 2014 Puskesmas
berfungsi sebagai:
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, yaitu berupaya
menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor
termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, dan aktif
memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap
program pembangunan di wilayah kerjanya.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat, yaitu berupaya agar perorangan terutama
pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki
kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat
untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan
termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan
memantau pelaksanaan program kesehatan.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama, yaitu bertanggungjawab
menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan.
Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab puskesmas
meliputi:
1) Pelayanan kesehatan perorangan, berupa pelayanan yang bersifat pribadi dengan
tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan,
tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan
perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah
dengan rawat inap.
2) Pelayanan kesehatan masyarakat, berupa pelayanan yang bersifat publik dengan
tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit
tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan
kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan
penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan
keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan
masyarakat lainnya (5).
Secara kedudukan, Puskesmas dibedakan menurut keterkaitannya dengan
Sistem Kesehatan Nasional, Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota dan Sistem
Pemerintah Daerah. Kedudukan puskesmas dalam Sistem Kesehatan Nasional adalah
sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggungjawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat di
wilayah kerjanya. Kedudukan puskesmas dalam Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota
adalah sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
bertanggungjawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan kesehatan
kabupaten/kota di wilayah kerjanya. Kedudukan puskesmas dalam Sistem Pemerintah
Daerah adalah sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
merupakan unit struktural Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bidang kesehatan di
tingkat kecamatan. Sementara itu, kedudukan Puskesmas di antara berbagai sarana
pelayanan kesehatan strata pertama ini adalah sebagai mitra. Di wilayah kerja
puskesmas terdapat berbagai organisasi pelayanan kesehatan strata pertama yang
dikelola oleh lembaga masyarakat dan swasta seperti praktik dokter, praktik dokter
gigi, praktik bidan, poliklinik dan balai kesehatan masyarakat. Di wilayah kerja
puskesmas terdapat pula berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis dan bersumber
daya masyarakat seperti posyandu, polindes, pos obat desa dan pos UKK. Kedudukan
puskesmas diantara berbagai sarana pelayanan kesehatan berbasis dan bersumberdaya
masyarakat adalah sebagai pembina (5).
2. Struktur Organisasi dan SDM (Sumber Daya Manusia) di Puskesmas
Struktur organisasi puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas
masing-masing puskesmas. Penyusunan struktur organisasi puskesmas di satu
kabupaten/kota dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan
penetapannya dilakukan dengan Peraturan Daerah (5). Organisasi Puskesmas paling
sedikit terdiri atas:
a. Kepala Puskesmas;
b. Kepala sub bagian tata usaha, yang bertanggungjawab membantu Kepala
Puskesmas dalam pengelolaan data dan informasi, perencanaan dan penilaian,
keuangan, umum dan kepegawaian;
c. Penanggungjawab UKM dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat;
d. Penanggungjawab UKP, kefarmasian dan Laboratorium; dan
e. Penanggungjawab jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan
kesehatan, jaringan pelayanan puskesmas terdiri dari unit puskesmas pembantu,
unit puskesmas keliling dan unit bidan di desa atau komunitas (4, 5).
Kriteria personalia yang mengisi struktur organisasi Puskesmas disesuaikan
dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing unit Puskesmas. Khusus untuk
Kepala Puskesmas kriteria tersebut dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang
kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat (5).
Menurut Permenkes Nomor 75 Tahun 2014, Kepala Puskesmas merupakan seorang
tenaga kesehatan dengan tingkat pendidikan paling rendah sarjana dan memiliki
kompetensi manajemen kesehatan masyarakat, masa kerja di Puskesmas minimal 2
tahun dan telah mengikuti pelatihan manajemen Puskesmas. Apabila di Puskesmas
kawasan terpencil dan sangat terpencil tidak tersedia seorang tenaga kesehatan yang
memenuhi kriteria tersebut, maka Kepala Puskesmas merupakan tenaga kesehatan
dengan tingkat pendidikan paling rendah diploma tiga (4).
Kepala Puskesmas adalah penanggungjawab pembangunan kesehatan di
tingkat kecamatan. Sesuai dengan tanggungjawab tersebut dan besarnya peran Kepala
Puskesmas dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di tingkat kecamatan,
maka jabatan Kepala Puskesmas setingkat dengan eselon III-B. Dalam keadaan tidak
tersedia tenaga yang memenuhi syarat untuk menjabat jabatan eselon III-B, ditunjuk
pejabat sementara yang sesuai dengan kriteria Kepala Puskesmas yakni seorang
sarjana di bidang kesehatan kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup
bidang kesehatan masyarakat, dengan kewenangan yang setara dengan pejabat tetap (5).
Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas tenaga kesehatan dan tenaga non
kesehatan. Tenaga kesehatan di Puskesmas paling sedikit terdiri atas dokter atau
dokter layanan primer, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat,
tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi dan
tenaga kefarmasian. Tenaga non kesehatan dapat mendukung kegiatan ketatausahaan,
administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas.
Tenaga kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan
keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja. Setiap tenaga kesehatan yang
bekerja di Puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan (4).
3. Peran dan Fungsi Apoteker di Puskesmas
Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas
adalah Apoteker, dimana kompetensi Apoteker di Puskesmas sebagai berikut:
a. Sebagai Penanggung Jawab
1) Mempunyai kemampuan untuk memimpin;
2) Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk mengelola dan mengembangkan
Pelayanan Kefarmasian;
3) Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri;
4) Mempunyai kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak lain; dan
5) Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi, mencegah, menganalisis dan
memecahkan masalah.
b. Sebagai Tenaga Fungsional
1) Mampu memberikan pelayanan kefarmasian;
2) Mampu melakukan akuntabilitas praktik kefarmasian;
3) Mampu mengelola manajemen praktis farmasi;
4) Mampu berkomunikasi tentang kefarmasian;
5) Mampu melaksanakan pendidikan dan pelatihan; dan
6) Mampu melaksanakan penelitian dan pengembangan (1).
Peran dan fungsi Apoteker di Puskesmas dalam pelayanan kefarmasian yang
meliputi 2 kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial dan kegiatan pelayanan
farmasi klinik. Kegiatan manejerial berupa pengelolaan obat dan bahan medis habis
pakai. Sementara pelayanan farmasi klinik meliputi:
a. Pengkajian resep, penyerahan obat, dan pemberian informasi obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. Konseling;
d. Visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Evaluasi penggunaan obat (1).
4. Kebijakan Pengelolaan Obat di Puskesmas
Sistem Kesehatan Nasional tahun 2009 menetapkan bahwa tujuan dari pelayanan
kefarmasian adalah tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang bermutu,
bermanfaat, terjangkau untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya. Hal tersebut diwujudkan oleh Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan dalam sebuah misi yaitu terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan
keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan(6).
Obat merupakan komponen yang esensial dari suatu pelayanan kesehatan,
karena itu diperlukan pengelolaan yang baik dan benar serta efektif dan efisien secara
berkesinambungan. Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan meliputi
kegiatan perencanaan dan permintaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi,
pencatatan dan pelaporan, serta supervisi dan evaluasi pengelolaan obat. Obat dan
perbekalan kesehatan hendaknya dikelola secara optimal untuk menjamin tercapainya
tepat jumlah, tepat jenis, tepat penyimpanan, tepat waktu pendistribusian, tepat
penggunaan dan tepat mutunya di tiap unit pelayanan kesehatan (6).
Kebijakan Pemerintah terhadap peningkatan akses obat diselenggarakan
melalui beberapa strata kebijakan yaitu Undang-Undang No. 36 tentang Kesehatan,
Peraturan Pemerintah No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Indonesia Sehat 2010,
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Kebijakan Obat Nasional (KONAS). SKN
2009 memberikan landasan, arahan dan pedoman penyelenggaraan pembangunan
kesehatan bagi seluruh penyelenggara kesehatan, baik Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota, maupun masyarakat dan dunia usaha, serta pihak lain yang terkait.
Salah satu subsistem SKN 2009 adalah obat dan perbekalan kesehatan. Subsistem
tersebut memuat penekanan mengenai ketersediaan obat, pemerataan termasuk
keterjangkauan dan jaminan keamanan, khasiat dan mutu obat (7).
Untuk mencapai tujuan KONAS yakni menjamin ketersediaan pemerataan,
dan keterjangkauan obat esensial, keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang
beredar serta penggunaan obat yang rasional, dan masyarakat terlindung dari salah
penggunaan dan penyalahgunaan obat, maka perlu pengelolaan obat yang baik dan
benar. Oleh kerena itu ditetapkan landasan kebijakan sebagai berikut :
a. Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat,
sedangkan pelaku usaha di bidang obat bertanggung jawab atas mutu obat sesuai
dengan fungsi usahanya. Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi
tanggungjawab pemerintah dilakukan secara profesional, bertanggung jawab,
independen dan transparan.
b. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan
obat esensial yang dibutuhkan masyarakat.
c. Pemerintah dan pelayan kesehatan bertanggungjawab untuk menjamin agar pasien
mendapat pengobatan yang rasional
d. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang benar. Pemerintah
memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
pengobatan.
e. Pemerintah mendorong terlaksananya penelitian dan pengembangan obat yang
mencakup aspek sistem (manajamen obat, manajemen SDM, penggunaan obat
rasional, dan lain-lain), komoditi obat, proses (pengembangan obat baru), kajian
regulasi dan kebijakan.
f. Pemerintah dan semua pihak terkait bertanggungjawab atas ketersediaan SDM
yang dapat menunjang pencapaian sasaran (7).
Pengelolaan obat merupakan salah satu ruang lingkup dari manajemen
kefarmasian di Puskesmas. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan tersebut
meliputi:
a. Perencanaan dan permintaan obat.
b. Penerimaan, penyimpanan dan distribusi obat.
c. Pencatatan dan pelaporan obat.
d. Supervisi dan evaluasi pengelolaan obat (8).
B. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas
1. Perencanaan dan Permintaan
1.1. Perencanaan
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan
Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan:
1) Perkiraan jenis dan jumlah Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang mendekati
kebutuhan;
2) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional; dan
3) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat(1).
Proses seleksi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan dengan
mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi obat periode sebelumnya, dan
rencana pengembangan. Proses seleksi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai juga harus
mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dan Formularium Nasional.
Proses seleksi ini harus melibatkan tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas seperti
dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat, serta pengelola program yang berkaitan
dengan pengobatan. Proses perencanaan kebutuhan obat per tahun dilakukan secara
berjenjang (bottom-up). Puskesmas diminta menyediakan data pemakaian obat
dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO).
Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten atau Kota akan melakukan kompilasi dan
analisa terhadap kebutuhan Obat Puskesmas di wilayah kerjanya, menyesuaikan pada
anggaran yang tersedia dan memperhitungkan waktu kekosongan Obat, buffer stock,
serta menghindari stok berlebih(1).
1.2 Permintaan
Tujuan permintaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah memenuhi
kebutuhan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai di Puskesmas, sesuai dengan
perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan pemerintah daerah setempat(1).
Obat yang diperkenankan untuk disediakan di Puskesmas adalah obat esensial
yang jenis dan itemnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk
pada Daftar Obat Esensial Nasional. Selain itu, sesuai dengan Permenkes RI No.
HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajban Menggunakan Obat Generik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang
diperkenankan tersedia di Puskesmas(9). Adapun beberapa dasar pertimbangan dari
Kepmenkes tersebut adalah:
a. Obat generik sudah menjadi kesepakatan global untuk digunakan di seluruh
dunia bagi pelayanan kesehatan publik.
b. Obat generik mempunyai mutu dan efikasi yang memenuhi standar pengobatan.
c. Meningkatkan cakupan dan kesinambungan pelayanan kesehatan publik.
d. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi alokasi dana obat di pelayanan kesehatan
publik(8).
Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing
Puskesmas diajukan oleh Kepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari
sub unit ke kepala Puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO sub
unit. Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan obat
kepada Puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun
petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan penyerahan obat secara
langsung dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota ke Puskesmas sesuai dengan pola
penyakit yang ada di wilayah kerjanya(8).
1) Menentukan jenis permintaan obat
1) Permintaan Rutin. Dilakukan sesuai dengan jadwal yang disusun oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untukmasing-masing Puskesmas.
2) Permintaan Khusus. Dilakukan di luar jadwal distribusi rutin apabila
Kebutuhan meningkat, terjadi kekosongan. dan ada Kejadian Luar Biasa
(KLB / Bencana).
b. Menentukan jumlah permintaan obat
Data yang diperlukan antara lain :
1) Data pemakaian obat periode sebelumnya.
2) Jumlah kunjungan resep.
3) Jadwal distribusi obat dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
4) Sisa Stok.
c. Menghitung kebutuhan obat
Jumlah untuk periode yang akan datang diperkirakan sama dengan
pemakaian pada periode sebelumnya.
SO = SK + SWK + SWT + SP
Sedangkan untuk menghitung permintaan obat dapat dilakukan dengan
rumus(8):
Permintaan = SO – SS
Keterangan:
SO = Stok optimum (adalah stok ideal yang harus tersedia dalam waktu periode
tertentu)
SK = Stok Kerja (Stok pada periode berjalan, pemakaian rata–rata per periode
distribusi.)
SWK = Jumlah yang dibutuhkan pada waktu kekosongan obat
SWT = Jumlah yang dibutuhkan pada waktu tunggu ( Lead Time ), waktu tunggu
dihitung mulai dari permintaan obat oleh Puskesmas sampai dengan
penerimaan obat di Puskesmas
SP= Stok penyangga (persediaan obat untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan
kunjungan, keterlambatan kedatangan obat. Besarnya ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara Puskesmas dan Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
SS = Sisa Stok (Adalah sisa obat yang masih tersedia di puskesmas pada akhir
periode distribusi.
2. Penerimaan, Penyimpanan, dan Distribusi
2.1 Penerimaan
Penerimaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu kegiatan dalam
menerima Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar Obat yang
diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh
Puskesmas(1).
Petugas penerimaan wajib melakukan pengecekan terhadap Obat dan Bahan
Medis Habis Pakai yang diserahkan, mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan
jumlah Obat, bentuk Obat sesuai dengan isi dokumen (LPLPO), ditandatangani oleh
petugas penerima, dan diketahui oleh Kepala Puskesmas. Bila tidak memenuhi syarat,
maka petugas penerima dapat mengajukan keberatan. Masa kedaluwarsa minimal dari
Obat yang diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah
satu bulan.Setiap penyerahan obat oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota kepada
Puskesmas dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota atau pejabat yang diberi wewenang untuk itu(1).
Pelaksanaan fungsi pengendalian distribusi obat kepada Puskesmas
Pembantu dan sub unit pelayanan kesehatan lainnya merupakan tanggung jawab
Kepala Puskesmas. Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap
obat yang diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis dan jumlah obat, bentuk
sediaan obat sesuai faktur (dokumen bukti mutasi barang), dan ditanda tangani oleh
petugas penerima serta diketahui oleh Kepala Puskesmas. Petugas penerima dapat
menolak apabila terdapat kekurangan dan kerusakan obat. Setiap penambahan obat,
dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok(1).
2.2. Penyimpanan
Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu kegiatan
pengaturan terhadap Obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari
kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di puskesmas dapat
dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bentuk dan jenis sediaan;
2) Stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban);
3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan
4) Narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus(1).
Persyaratan gudang yaitu sebagai berikut:
1) Luas minimal 3 x 4 m dan atau disesuaikan dengan jumlah obat yang disimpan.
2) Ruangan kering dan tidak lembab.
3) Memiliki ventilasi yang cukup.
4) Memiliki cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai pelindung
untuk menghindarkan adanya cahaya langsung dan berteralis.
5) Lantai dibuat dari semen/tegel/keramik/papan (bahan lain) yang tidak
memungkinkan bertumpuknya debu dan kotoran lain. Harus diberi alas papan
(palet).
6) Hindari pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam.
7) Gudang digunakan khusus untuk penyimpanan obat.
8) Mempunyai pintu yang dilengkapi kunci ganda.
9) Tersedia lemari/laci khusus untuk narkotika dan psikotropika yang selalu
terkunci dan terjamin keamanannya.
10) Harus ada pengukur suhu dan higrometer ruangan(8).
Pengaturan penyimpanan obat yaitu sebagai berikut(8):
1) Obat di susun secara alfabetis untuk setiap bentuk sediaan.
2) Obat dirotasi dengan sistem FEFO dan FIFO.
3) Obat disimpan pada rak.
4) Obat yang disimpan pada lantai harus di letakan diatas palet.
5) Tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk.
6) Sediaan obat cairan dipisahkan dari sediaan padatan.
7) Sera, vaksin dan supositoria disimpan dalam lemari pendingin.
8) Lisol dan desinfektan diletakkan terpisah dari obat lainnya.
Bila ruang penyimpanan kecil dapat digunakan sistem dua rak. Bagi obat
menjadi dua bagian. Obat yang siap dipakai diletakkan di bagian rak A
sedangkan sisanya di bagian rak B. Pada saat obat di rak A hampir habis maka
pesanan mulai dikirimkan ke gudang farmasi, sementara itu obat di rak B
digunakan. Pada saat obat di rak B hampir habis diharapkan obat yang dipesan
sudah datang. Jumlah obat yang disimpan di rak A atau rak B tergantung dari
berapa lama waktu yang diperlukan saat mulai memesan sampai obat diterima
(waktu tunggu)(8).
Tata Cara Penyusunan Obat yaitu(8):
1) Penerapan sistem FEFO dan FIFO. Penyusunan dilakukan dengan sistem First
Expired First Out (FEFO) untuk masing-masing obat, artinya obat yang
lebih awal kadaluwarsa harus dikeluarkan lebih dahulu dari obat yang
kadaluwarsa kemudian, dan First In First Out (FIFO) untuk masing-masing
obat, artinya obat yang datang pertama kali harus dikeluarkan lebih dahulu
dari obat yang datang kemudian.
2) Pemindahan harus hati-hati supaya obat tidak pecah/rusak.
3) Golongan antibiotik harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terhindar
dari cahaya matahari, disimpan di tempat kering.
4) Vaksin dan serum harus dalam wadah yang tertutup rapat, terlindung dari
cahaya dan disimpan dalam lemari pendingin.
5) Obat injeksi disimpan dalam tempat yang terhindar dari cahaya matahari
langsung.
6) Bentuk dragee (tablet salut) disimpan dalam wadah tertutup rapat dan
pengambilannya menggunakan sendok.
7) Untuk obat dengan waktu kadaluwarsa yang sudah dekat supaya diberi tanda
khusus, misalnya dengan menuliskan waktu kadaluarsa pada dus luar dengan
mengunakan spidol.
8) Penyimpanan obat dengan kondisi khusus, seperti lemari tertutup rapat,
lemari pendingin, kotak kedap udara dan lain sebagainya.
9) Cairan diletakkan di rak bagian bawah.
10) Kondisi penyimpanan beberapa obat.
2.3. Distribusi
Pendistribusian Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan kegiatan
pengeluaran dan penyerahan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai secara merata dan
teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan
jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan Obat sub unit pelayanan
kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan
waktu yang tepat(1).
Sub-sub unit di Puskesmas dan jaringannya antara lain:
1) Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
2) Puskesmas Pembantu;
3) Puskesmas Keliling;
4) Posyandu
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain) dilakukan
dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor stock), pemberian
Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau kombinasi, sedangkan
pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan dengan cara penyerahan Obat
sesuai dengan kebutuhan (floor stock)(1).
3. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan dalam
rangka penatalaksanaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai secara tertib, baik Obat
dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan
digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya. Tujuan pencatatan, pelaporan
dan pengarsipan adalah:
1. Bukti bahwa pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai telah dilakukan;
2. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
3. Sumber data untuk pembuatan laporan(1).
4. Evaluasi Pengelolaan Obat
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
a) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan Obat
dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun
pemerataan pelayanan;
b) memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai; dan
c) memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan(1).
C. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Puskesmas didukung dengan standar pelayanan yang harus dipenuhi agar dapat
menjalankan fungsinya. Salah satu standar dalam pelyanan di puskesmas yaitu
pelayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(1).
Dalam rangka pemenuhan Pelayanan Kesehatan yang didasarkan pada kebutuhan
dan kondisi masyarakat, Puskesmas dapat dikategorikan berdasarkan karakteristik
wilayah kerja dan kemampuan penyelenggaraan. Berdasarkan kemampuan
penyelenggaraan, Puskesmas dikategorikan menjadi Puskesmas non rawat inap dan
Puskesmas rawat inap (3).
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar pengelolaan
Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dan standar pelayanan farmasi klinik.
Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud meliputi
perencanaan kebutuhan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan dan pemantauan dan evaluasi
pengelolaan. Sedangkan Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud meliputi,
pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat, Pelayanan
Informasi Obat (PIO), konseling, ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap),
pemantauan dan pelaporan efek samping Obat, pemantauan terapi Obat dan evaluasi
penggunaan Obat(1).
1. Pelayanan Kefarmasian Rawat Jalan dan Rawat Inap
1.1 Pelayanan Kefarmasian Rawat Jalan
Rawat Jalan merupakan salah satu unit kerja di puskesmas yang melayani
pasien yang berobat jalan dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan, termasuk seluruh
prosedur diagnostik dan terapeutik. Pada waktu yang akan datang, rawat jalan
merupakan bagian terbesar dari pelayanan kesehatan di Puskesmas. Tujuan
pelayanan rawat jalan diantaranya untuk menentukan diagnosa penyakit dengan
tindakan pengobatan, untuk rawat inap atau untuk tindakan rujukan. Tenaga
pelayanan di rawat jalan adalah tenaga yang langsung berhubungan dengan pasien,
yaitu(11) :
a. Tenaga administrasi (non medis) yang memberikan pelayanan penerimaan
pendaftaran dan pembayaran;
b. Tenaga keperawatan (paramedis) sebagai mitra dokter dalam memberikan
pelayanan pemeriksaan/pengobatan;
c. Tenaga dokter (medis) pada masing-masing poliklinik yang ada.
Rawat Jalan hendaknya memiliki lingkungan yang nyaman dan
menyenangkan bagi pasien. Hal ini penting untuk diperhatikan karena dari rawat
jalanlah pasien mendapatkan kesan pertama mengenai puskesmas tersebut.
Lingkungan rawat jalan yang baik hendaknya cukup luas dan memiliki sirkulasi
udara yang lancar, tempat duduk yang nyaman perabotan yang menarik dan tidak
terdapat suara-suara yang mengganggu. Diharapkan petugas yang berada di rawat
jalan menunjukkan sikap yang sopan dan suka menolong(11).
1.2 Pelayanan Kefarmasian Rawat Inap
Puskesmas rawat inap adalah puskesmas yang diberi tambahan ruangan
dan fasilitas untuk menolong pasien gawat darurat, baik berupa tindakan operatif
terbatas maupun asuhan keperawatan sementara dengan kapasitas kurang lebih 10
tempat tidur. Rawat inap itu sendiri berfungsi sebagai rujukan antara yang melayani
pasien sebelum dirujuk ke institusi rujukan yang lebih mampu, atau dipulangkan
kembali ke rumah. Kemudian mendapat asuhan perawatan tindak lanjut oleh
petugas perawat kesehatan masyarakat dari puskesmas yang bersangkutan di rumah
pasien(1).
Standar ketenagaan yang dibutuhkan dalam pengembangan Puskesmas Rawat
Inap menurut Pedoman Kerja Puskesmas (11):
a. Dokter kedua di Puskesmas yang telah mendapatkan latihan klinis di Rumah
sakit selama 6 bulan dalam bidang bedah, obstetri-gynekologi, pediatri dan
interne.
b. Seorang perawat yang telah dilatih selama 6 bulan dalam bidang perawatan
bedah, kebidanan, pediatri dan penyakit dalam;
c. 3 orang perawat / bidan yang diberi tugas bergilir;
d. 1 orang pekarya kesehatan (SMA atau lebih)
Sedangkan standar sarana prasarana yang dibutuhkan dalam pengembangan
Puskesmas Rawat Inap yaitu (11):
a. Ruangan rawat tinggal yang memadai (nyaman, luas dan terpisah antara anak,
wanita dan pria untuk menjaga privasi);
b. Ruangan operasi dan ruang post operasi;
c. Ruangan persalinan (dan ruang menyusui sekaligus sebagai ruang recovery);
d. Kamar perawat jaga
e. Kamar linen dan cuci
2. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun
rawat jalan(1).
2.1 Persyaratan Administrasi
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien;
2) Nama, dan paraf dokter;
3) Tanggal resep;
4) Ruangan/unit asal resep (1).
2.2 Persyaratan Farmasetik
1) Bentuk dan kekuatan sediaan;
2) Dosis dan jumlah Obat;
3) Stabilitas dan ketersediaan;
4) Aturan dan cara penggunaan;
5) Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat) (1).
2.3 Persyaratan Klinis
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat;
2) Duplikasi pengobatan;
3) Alergi, interaksi dan efek samping Obat;
4) Kontra indikasi;
5) Efek adiktif.(1).
Kegiatan Penyerahan (Dispensing) dan Pemberian Informasi Obat merupakan
kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan atau meracik obat,
memberikan label atau etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang
memadai disertai pendokumentasian. Tujuan kegiatan tersebut adalah agar pasien
memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan dan memahami tujuan
pengobatan serta mematuhi intruksi pengobatan (1).
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini
kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien (3). Tujuan
PIO adalah (1):
1) Menyediakan informasi mengenai Obat kepada tenaga kesehatan lain di
lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.;
2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
Obat (contoh: kebijakan permintaan Obat oleh jaringan dengan
mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai);
3) Menunjang penggunaan Obat yang rasional.
Kegiatan PIO antara lain (1):
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan
pasif;
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon,
surat atau tatap muka;
3) Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-lain;
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
masyarakat;
5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai;
6) Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan Kefarmasian.
4. Pelayanan Konseling dan/atau Home Care
Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian
masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan
pemahaman yang benar mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain
tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek
samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan Obat. Kegiatan
konseling antara lain (1):
1) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien;
2) Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh dokter kepada
pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question), misalnya apa
yang dikatakan dokter mengenai Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek yang
diharapkan dari Obat tersebut, dan lain-lain.;
3) Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat;
4) Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan Obat untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat
risiko masalah terkait Obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial,
karateristik Obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat,
kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana
menggunakan Obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di
rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi
Obat(1).
5. Monitoring dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional
Monitoring antara lain dilakukan Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat
(ESO) dan Pemantauan Terapi Obat (PTO). Pelaporan efek samping obat merupakan
kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak
diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Adapun
tujuannya adalah(1) :
1) Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal dan frekuensinya jarang;
2) Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah sangat
dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Kegiatan:
1. Menganalisis laporan efek samping Obat.
2. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping Obat.
3. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
4. Melaporkan ke Pusat MonitoringEfek Samping Obat Nasional.
Selain pemantauan efek samping obat dilakukan juga Pemantauan Terapi Obat
(PTO). Pemantauan terapi obat merupakan proses yang memastikan bahwa seorang
pasien mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan
efikasi dan meminimalkan efek samping. Tujuannya adalah : mendeteksi masalah
yang terkait dengan Obat, memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang
terkait dengan Obat.
Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang
merugikan.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Membuat catatan awal.
3. Memperkenalkan diri pada pasien.
4. Memberikan penjelasan pada pasien.
5. Mengambil data yang dibutuhkan.
6. Melakukan evaluasi.
7. Memberikan rekomendasi.
Selain melakukan monitoring juga dilakukan evaluasi penggunaan obat. Evaluasi
penggunaan obat merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan sesuai
indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional). Tujuannya adalah: mendapatkan
gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu, melakukan evaluasi secara
berkala untuk penggunaan Obat tertentu(1).
D. Program Promosi Kesehatan Masyarakat
1. Pengertian Promosi Kesehatan
Promosi Kesehatan adalah proses pemberdayaan masyarakat untuk dapat
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya. Promosi kesehatan merupakan
proses komprehensif sosial dan politik, bukan hanya mencakup upaya peningkatan
kemampuan dan ketrampilan individual, tetapi juga upaya yang bertujuan mengubah
masyarakat, lingkungan, dan kondisi ekonomi, agar dampak negatif terhadap
kesehatan individu dan masyarakat dapat dikurangi(12).
Promosi kesehatan didasarkan pada manusia menawarkan konsep yang positif
dan inklusif terhadap kesehatan sebagai penentu kualitas hidup yang meliputi aspek
mental dan spiritual. Promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan individu
untuk meningkatkan kontrol atas kesehatan mereka dan faktor-faktor penentunya,
dengan demikian tercapai peningkatan kesehatan yang lebih baik. Promosi kesehatan
adalah fungsi inti kesehatan masyarakat dan berkontribusi terhadap penanggulangan
penyakit menular dan tidak menular dan ancaman lain terhadap kesehatan(13).
Sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1193/Menkes/SK/X/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan dan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1114/Menkes/SKNII/2005 tentang Pedoman
Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah, strategi dasar utama Promosi Kesehatan
adalah (1) Pemberdayaan, (2) Bina Suasana, dan (3) Advokasi, serta dijiwai semangat
(4) Kemitraan. Berdasarkan strategi dasar tersebut diatas, maka strategi Promosi
kesehatan puskesmas juga dapat mengacu strategi dasar tersebut dan dapat
dikembangkan sesuai sasaran, kondisi puskesmas dan tujuan dari promosi tersebut(14).
DAFTAR PUSTAKA
1) Departemen Kesehatan, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republika Indonesia No.30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Pemerintah Republik Indonesia Jakarta
2) Departemen Kesehatan, 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta
3) Anonim, 2011, Surat Keputusan Oengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia No.058/SK/PP.IAI/IV/2011 tentang Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Jakarta
4) Departemen Kesehatan, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
5) Departemen Kesehatan, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
6) APTFI, 2010, Keputusan Majelis Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia Nomor :13/APTFI/MA/2010 tentang Standar Praktik Keja Profesi Apoteker.
7) Departemen Kesehatan, 2005, Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
8) Departemen Kesehatan, 2010, Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Puskesmas, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
9) Departemen Kesehatan, 2010, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/068/1/2010, tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, Jakarta
10) Swandari, S., 2009, Penggunaan Obat Rasional (POR) melalui Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Balai Besar PelatihanKesehatan (BBPK) Makassar..
11) Departemen Kesehatan, 2002, Pedoman Kerja Puskesmas, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
12) Anonim, 2000, Health Promotion, available at : http://www.who.int/health-promotion.org , diakses tanggal 17 Juli 2013.
13) WHO, 2009, Milestones in Health Promotion Statements form global Conference: The Bangkok Charter for Health Promotion a Globalized World 7-11 August 2005, World Health Organization Press, Switzerland
14) Anonim, 2011, Promosi Kesehatan Di Daerah Bermasalah Kesehatan Panduan Bagi Petugas Kesehatan Di Puskesmas, Bakti Husada.
15) Anonim, 2012, Profil Puskesmas Srandakan Bantul, available at : http://puskesmas.bantulkab.go.id/srandakan/, diakses tanggal 9 Januari 2014.
16) Wilianti, N., 2009, Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008, Tesis, Semarang
17) Dipiro, J.T., Robert, L.T., Gary, R., Barbara G.W., 2008, Urinary Tract Infections and Prostatitis, Pharmacotherapy, A Pathophysiological Approach, McGraw-Hill.
18) Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, N.P., Lance, L.L., 2011-2012, Drug Information Handbook 20th edition, American Pharmacist Assosiation.
19) Johnson, W.M, Roger D., Philip, B., Evidence-based treatment of frequent heartburn:the benefits and limitation of over the counter medications,J Am Assoc Nurse Pract, 2014, Vol.26 (6)
20) Ismoedijanto, Demam pada Anak, Sari Pediatri, Vol. 2, No. 2, Agustus 2000: 103 - 108
21) Rezeki, S., Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid Anak, Sari Pediatri, 2001, 182-187
22) Choudhury, J., 2012, Antimicrobial Use in Office Practice, Pediatric Oncall Child Health Care, Vol. 9 (6)
23) Jhon P., C., 2015, Suprax Side Effect Center, Available at: www.rxlist.com/script/main/mobileart-rx.asp?drug=suprax&monotype=rx-desc&monopage=0