bab ii pemikiran-pemikiran tentang perlindungan … ii.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan...

41
50 BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN RUMAH SUSUN Dalam Bab II ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran yang terkait dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama yang dibebankan hak tanggungan. Keterkaitan antara kerangka teori pada Bab I dengan pemikiran-pemikiran pada Bab II ini adalah untuk menambah, dan memperjelas serta mempertajam teori dan konsep dalam penelitian ini. Fungsi pemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi atau pembenaran mengenai teori dan konsep untuk melengkapi kerangka teori dan kerangka konsep pada Bab I terkait dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama yang dibebankan hak tanggungan. Pembahasan dalam penulisan Bab II ini meliputi 2 (dua) sub bahasan. Adapun pemaparannya dalam bab ini yaitu: 1. Konsep Perlindungan Hukum; dan 2. Konsep Rumah Susun. 1.1. Konsep Perlindungan Hukum Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian negara menjamin hak-hak hukum warga negaranya dengan memberikan perlindungan hukum dan perlindungan hukum akan menjadi hak bagi setiap warga negara. Ada beberapa pengertian terkait perlindungan hukum menurut para ahli, antara lain:

Upload: dinhthien

Post on 19-May-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

50

BAB II

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN

RUMAH SUSUN

Dalam Bab II ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran yang terkait

dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama

yang dibebankan hak tanggungan. Keterkaitan antara kerangka teori pada Bab I

dengan pemikiran-pemikiran pada Bab II ini adalah untuk menambah, dan

memperjelas serta mempertajam teori dan konsep dalam penelitian ini. Fungsi

pemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam

penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi atau pembenaran mengenai

teori dan konsep untuk melengkapi kerangka teori dan kerangka konsep pada Bab

I terkait dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah

bersama yang dibebankan hak tanggungan. Pembahasan dalam penulisan Bab II

ini meliputi 2 (dua) sub bahasan. Adapun pemaparannya dalam bab ini yaitu:

1. Konsep Perlindungan Hukum; dan

2. Konsep Rumah Susun.

1.1. Konsep Perlindungan Hukum

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indonesia

adalah negara hukum. Dengan demikian negara menjamin hak-hak hukum warga

negaranya dengan memberikan perlindungan hukum dan perlindungan hukum

akan menjadi hak bagi setiap warga negara. Ada beberapa pengertian terkait

perlindungan hukum menurut para ahli, antara lain:

Page 2: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

51

1. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu

kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya

tersebut.1

2. Menurut CST Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum

yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa

aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai

ancaman dari pihak manapun.

3. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti

dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.

Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak

dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek

hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.

Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk

melakukan suatu tindakan hukum.2

Dari pemaparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum

adalah berbagai upaya hukum dalam melindungi hak asasi manusia serta hak dan

kewajiban yang timbul karena hubungan hukum antar sesama manusia sebagai

subyek hukum. Teori dan konsep mengenai perlindungan hukum adalah sangat

relevan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini yang membahas

perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama yang

dibebankan hak tanggungan.

Philipus M. Hadjon merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat

Indonesia dengan cara menggabungkan ideologi Pancasila dengan konsepsi

perlindungan hukum rakyat barat. Konsep perlindungan hukum bagi rakyat barat

bersumber pada konsep-konsep pengakuan, perlindungan terhadap hak-hak asasi

1Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia,

Kompas, Jakarta, hal. 121. 2Tesis Hukum, “Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli”

(Cited 2014 Dec 11), available from : URL : http://tesishukum.com/pengertian-

perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/

Page 3: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

52

manusia, konsep-konsep rechtsstaat3, dan the rule of law4. Ia menerapkan

konsepsi barat sebagai kerangka berpikir dengan Pancasila sebagai Ideologi dan

dasar falsafah. Sehingga prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia

adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara hukum yang

berdasarkan Pancasila.5 Pendapat tersebut menurut penulis layak dijadikan

sumber dalam penerapan perlindungan hukum di Indonesia, agar penerapan

perlindungan hukum di Indonesia tidak melenceng dari ground norm yakni

Pancasila yang merupakan dasar ideologi bangsa Indonesia.

1.1.1. Sarana Perlindungan Hukum

Sebagaimana yang sudah di paparkan pada halaman 25 penelitian ini,

Philipus M. Hadjon membedakan 2 (dua) sarana perlindungan hukum yakni

3Rechtsstaat dalam perjalan waktu, telah mengalami perkembangan

konsep dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan sifat dasarnya,

konsep klasik disebut klassiek liberale en democratische rechtsstaat yang sering

disingkat saja dengan democratische rechtsstaat. Konsep modern lazimnya

disebut (terutama di Belanda) sociale rechtsstaat atau juga disebut sociale-

democratische rechtsstaat. (Lihat Philipus M. Hadjon, op.cit., hal. 74.) 4The Rule of Law menurut A.V. Dicey ada tiga arti yaitu pertama,

supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh

dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau

discrecionary authority yang luas dari pemerintahan; kedua, persamaan

dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada

ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti

bahwa tidak orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara

biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang sama; tidak ada peradilan

administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the

land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi konsekwensi dari hak-hak

individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-

prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian

diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya. (Lihat

Philipus M. Hadjon, op.cit., hal. 80-81.) 5Philipus M. Hadjon, op.cit, hal. 20.

Page 4: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

53

perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Adapun yang

menjadi dasar adanya kedua perlidungan hukum tersebut, yakni:

1. Perlindungan Hukum Preventif

Berdasarkan penelitian sebuah tim dari Council of Europe tentang The

Protection of the individual in relation in Acts of Administrative Authorities yang

membahas the right to be heard sebagai sarana perlindungan hukum yang

preventif. Penelitian tersebut merumuskan dua arti penting dari the right to be

heard, yaitu:

a. Individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya

dan kepentingannya;

b. Cara demikian menunjang suatu pemerintahan yang baik (good

administration) dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya antara yang

memerintah dan yang diperintah.6

Dengan demikian tujuan dari the right to be heard (hak untuk didengar) adalah

menjamin keadilan dan menjamin suatu pemerintahan yang baik. Hak untuk

didengar ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan hak untuk banding

karena hak untuk banding tentunya muncul belakangan sehingga sulit untuk

mengumpulkan kembali bukti-bukti dan saksi-saksi yang relevan. Selain itu

kemungkinan terjadinya sengketa dapat dikurangi dengan adanya hak untuk

didengar yang dimiliki rakyat.

2. Perlindungan Hukum Represif

Sarana perlindungan hukum represif pada negara-negara yang menganut

civil law system ada dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum (di Indonesia

6Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 4.

Page 5: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

54

disebut Pengadilan Negeri) dan pengadilan administrasi (di Indonesia disebut

Pengadilan Tata Usaha Negara). Sedangkan pada negara-negara yang menganut

common law system hanya mengenal satu set pengadilan yaitu ordinary court.

Selain dari dua sistem hukum tersebut, negara-negara Skandivania telah

mengembangkan suatu lembaga perlindungan hukum yang disebut ombudsman.7

Dengan demikian perlindungan hukum represif di masing-masing negara

tergantung pada sistem hukum suatu negara apakah menganut civil law system,

common law system, atau negara tersebut tergabung dalam negara-negara

Skandivania. Sehingga sarana perlindungan hukum represif di masing-masing

negara menjadi berbeda.

Justice Ombudsman pada hakikatnya bukanlah badan peradilan, namun

badan tersebut mempunyai tugas utama menerima laporan/keluhan dari penduduk

mengenai tindak pemerintahan.8 Dengan demikian walaupun bukan badan

peradilan, ombudsman juga tergolong sebagai sarana perlindungan hukum yang

represif karena menerima laporan/keluhan dari masyarkat terkait tindak

pemerintahan yang notabene laporan/keluhan tersebut diterima setelah terjadi

permasalahan sehingga peran ombudsman sebagai sarana perlindungan hukum

yang represif.

Dari kedua sarana perlindungan hukum di atas, penulis berpendapat bahwa

perlindungan hukum preventif lebih relevan dengan permasalahan dalam

penelitian ini karena kekosongan norma yang dibahas terletak pada tata cara atau

prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi

7Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 5. 8Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 8.

Page 6: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

55

rumah susun yang notabene berada dalam tahap awal penyelenggaraan rumah

susun, sehingga dapat mencegah terjadinya ketidakadilan dengan sarana

perlindungan hukum preventif. Dalam hal ini penyelenggara rumah susun dan

calon pembeli sarusun harus menerapkan asas good administration dalam

melakukan transaksi. Penerapan asas tersebut dapat disarankan oleh seorang

notaris sebagai pejabat umum yang berwenang salah satunya untuk memberikan

penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta sesuai Pasal 15 ayat (1)

huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut

UUJN-P). Penyuluhan hukum yang dimaksud yakni terkait tata cara atau

prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi

rumah susun agar pihak penyelenggara rumah susun, calon pembeli sarusun, dan

kreditur sama-sama mendapatkan perlindungan hukum. Mengenai tata cara atau

prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi

rumah susun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

maka dalam hal ini dapat dilakukan penemuan hukum.

1.1.2. Penemuan Hukum (rechtvinding)

Perbuatan manusia sangat banyak hingga tidak terhitung jumlah dan

jenisnya, sehingga tidak semua perbuatan manusia tersebut tercakup dalam suatu

peraturan perundang-undangan. Maka tentunya tidak ada peraturan perundang-

undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh

karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka hukumnya harus dicari dan

diketemukan.

Page 7: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

56

Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses

konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan

mengingat akan peristiwa konkret tertentu.9 Sehingga dalam penemuan hukum,

hal yang paling penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan

hukumnya untuk peristiwa konkret. Relevansi dengan penelitian ini yakni

peristiwa konkret yang dibahas adalah prosedur membebankan hak atas tanah

bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun. Peraturan hukum terkait

peristiwa konkret tersebut sebelumnya sudah diatur secara jelas dalam Pasal 12

sampai dengan Pasal 17 UURS 16/1985, namun aturan tersebut dihapus dengan

terbitnya UURS 20/2011. Sehingga terjadi kekosongan norma, maka diperlukan

proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum

seperti pendapat Sudikno Mertokusumo di atas untuk diterapkan dalam peristiwa

konkret yang dibahas dalam penelitian ini.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengatakan bahwa setiap peraturan

bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena bersifat umum dan pasif karena tidak

akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret.10 Dengan

demikan peraturan hukum yang bersifat abstrak tersebut tidak akan berlaku

apabila tidak dikaitkan dengan peristiwa konkret. Permasalahan dihapusnya

UURS 16/1985 yang mengatur lebih detil mengenai prosedur membebankan hak

atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun sebetulnya

dapat dilakukan dengan penemuan hukum dari peraturan perundang-undangan

9Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,

Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 49. 10Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2013, Bab-Bab Tentang Penemuan

Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.

Page 8: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

57

lainnya, namun peraturan perundang-undangan lain tentu tidak akan diketemukan

suatu keharusan untuk mengikuti atau tidak prosedur pembebanan hak atas tanah

bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun.

Menurut Bambang Sutiyoso, hukum tertulis selalu ketinggalan dengan

peristiwanya.11 Pendapat tersebut memang betul karena pada hakekatnya

peraturan perundang-undangan tidak ada yang sempurna, di dalamnya selalu ada

kekurangan dan keterbatasan. Tidak ada aturan yang lengkap selengkap-

lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh perbuatan manusia

yang begitu luas.

Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu),

ilmuan/peneliti hukum, para penegak dan praktisi hukum (hakim, jaksa, polisi,

pengacara, dan notaris), bahkan direktur perusahaan swasta maupun

BUMN/BUMD sekalipun dapat melakukan penemuan hukum. Walaupun

penemuan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja, namun hasil dari penemuan

hukum tersebut berbeda-beda, ada yang menjadi sumber hukum sekaligus

menjadi hukum yang berlaku dan ada yang hanya berlaku sebagai sumber hukum

atau doktrin saja.

Hakim melakukan penemuan hukum dalam menangani peristiwa konkret

yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena

mempunyai kekuatan keberlakuan sebagai hukum yang dalam bentuk putusan.

11Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, Upaya

Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press Yogyakarta,

Yogyakarta, hal. 104.

Page 9: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

58

Jadi penemuan hukum oleh hakim bersifat konfliktif. Penemuan hukum oleh

hakim tersebut sekaligus merupakan sumber hukum juga.

Para pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum walau tanpa

menghadapi peristiwa konkret seperti hakim, namun bertujuan untuk

menyelesaikan peristiwa abstrak tertentu yang mungkin terjadi. Jadi sifat

penemuan hukum oleh pembentuk Undang-Undang adalah preventif. Hasil

penemuan hukum oleh pembentuk Undang-Undang merupakan hukum karena

dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan sekaligus juga

menjadi sumber hukum. Para ilmuan atau peneliti hukum melakukan penemuan

hukum yang bersifat teoritis, maka hasil penemuan hukumnya bukan merupakan

hukum, melainkan hanya sebagai sumber hukum atau doktrin saja.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hasil penemuan hukum oleh notaris adalah

hukum, karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai

kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum.12 Artinya Notaris

dapat melakukan penemuan hukum yang bernilai sebagai hukum bagi para pihak.

Notaris melakukan penemuan hukum dalam mengkonstatir13 akta yang

mempunyai kekuatan mengikat, namun kekuatan mengikat dalam akta notaris

hanya sebatas mengikat bagi para pihak. Kekuatan mengikat akta notaris masih

dapat dibantah oleh salah satu pihak dengan pembuktian di pengadilan karena

walaupun mengikat kekuatan akta notaris tidaklah final seperti putusan

12Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 51. 13Mengkonstatir adalah memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala;

mengambil kesimpulan setelah ada bukti-bukti nyata. (Lihat W.J.S.

Poerwadarminta, 2011, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

hal. 612.)

Page 10: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

59

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final and

binding (final dan mengikat). Notaris dihadapkan dengan masalah hukum yang

disampaikan oleh kliennya untuk dibuatkan akta. Dengan demikian Notaris

melakukan penemuan hukum dari peristiwa konkret yang diajukan oleh para

klien-nya agar akta yang dibuat dapat menjabarkan segala kehendak dan

melindungi hak dan kewajiban para klien.

Pada umumnya problematik yang berkaitan dengan penemuan hukum

dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang, namun dalam

realitanya problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan

hakim dan pembentuk undang-undang saja. Seperti pendapat Sudikno

Mertokusumo sebelumnya, Hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum

karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai

kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum. Notaris melakukan

penemuan hukum dalam mengkonstatir akta yang dibuatnya. Dalam

mengkonstatir suatu akta, notaris menentukan peristiwa hukum berdasarkan

peristiwa konkret yang dialami oleh para penghadap atau kliennya. Tentunya

perbuatan konkret atau perbuatan nyata yang dilakukan si klien tidak terbatas

perbuatan-perbuatan hukum yang sudah diatur saja, sehingga bisa saja perbuatan

konkret yang dimaksud tersebut tidak ada atau tidak jelas diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal tersebut notaris dapat melakukan

penemuan hukum terhadap akta yang akan dibuatnya, dengan tujuan agar para

penghadap yang hadir di hadapan notaris mendapatkan perlindungan hukum atas

hak dan kewajibannya.

Page 11: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

60

Hal penting dalam penemuan hukum oleh Notaris adalah bagaimana

mengkonstatir peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum. Setiap peristiwa

konkret harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan, atau

melengkapi peraturan perundang-undangannya agar hukumnya tidak kosong.

Dalam penemuan hukum diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan

hukum. Adapun metode penemuan hukum yang sudah ada yaitu interpretasi

(penafsiran), argumentasi (penalaran), dan eksposisi (konstruksi hukum). Metode

interpretasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas. Metode

argumentasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau

tidak ada. Metode eksposisi digunakan apabila peraturan perundang-undangan

tidak ada mengatur atau kekosongan hukum (rechts vacuum).

A. Metode Interpretasi (penafsiran)

Tidak semua kata, istilah, dan kalimat yang tertulis maupun lisan untuk

menyatakan suatu kaidah hukum itu sudah jelas dan mudah dipahami. Metode

interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan

yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap

peristiwa konkret. Dikenal beberapa macam metode interpretasi dalam ilmu

hukum dan praktek peradilan yaitu metode gramatikal, otentik, teoleologis,

sistematis, historis, komparatif, futuristis, restriktif, ekstensif, interdisipliner,

multidisipliner, dan kontrak.14 Dari macam-macam metode interpretasi tersebut

tidak ada yang dapat diterapkan dalam penemuan hukum dalam penelitian ini

karena metode interpretasi hanya dapat digunakan ketika terjadi norma kabur.

14Bambang Sutiyoso, op.cit., hal. 132-133.

Page 12: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

61

Walaupun demikian tetap perlu disebutkan secara singkat untuk mengetahui

keberadaan metode interpretasi dalam penemuan hukum.

Menurut Soedjono Dirdjosisworo penafsiran atau interpretasi hukum adalah

menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada

kaitannya.15 Dari pendapat tersebut penafsiran atau interpretasi hukum ialah

mencari serta menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam

peraturan perundang-undangan sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang

dimaksud oleh pembuat undang-undang. Menurut Ahmad Rifai, teknik

interpretasi memberikan penjelasan tentang teks yang dipakai dalam undang-

undang, agar ruang lingkup dari adanya undang-undang dapat diterapkan pada

suatu peristiwa hukum tertentu.16 Walaupun demikian isi undang-undang

terkadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang mempunyai lebih dari

satu arti. Oleh karena itu, penafsiran atau interpreatsi hukum terhadap undang-

undang itu sangat diperlukan.

B. Metode Argumentasi (penalaran)

Metode argumentasi sering juga disebut dengan metode penalaran hukum,

redenering atau reasoning. Metode ini digunakan apabila undang-undangnya

tidak lengkap. Menurut Bambang Sutiyoso, proses penemuan hukum dengan

menggunakan metode argumentasi atau penalaran hukum dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu:

1. Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam)

15Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 157. 16Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif

Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 61.

Page 13: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

62

Mengabstraksikan prisnsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan

dengan seolah-olah memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret

yang belum ada pengaturannya.

2. Metode A Contrario (Argumentum a Contrario)

Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan

secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum

ada pengaturannya.

3. Metode Penyempitan Hukum (Rechtsvervijning)

Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan

dengan seolah-olah mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret

yang belum ada pengaturannya. Biasanya, jika diterapkan sepenuhnya akan

memunculkan ketidakadilan.

4. Metode Fiksi Hukum

Sesuatu yang khayal yang digunakan di dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-

kata, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang

bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum.17

Penemuan hukum dengan metode argumentasi diterapkan apabila undang-

undangnya tidak lengkap sehingga tepat jika diterapkan ke permasalahan dalam

penelitian ini, yakni UURS 20/2011 tidak lengkap dalam hal tata cara atau

prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi

rumah susun. Dari keempat metode argumentasi di atas, yang paling tepat

diterapkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah metode

analogi (Argumentum Per Analogiam), karena metode tersebut memperluas

makna dari suatu peraturan.

C. Metode Eksposisi (konstruksi hukum)

Metode eksposisi akan digunakan apabila ada kekosongan hukum atau

kekosongan undang-undang. Metode ini adalah metode konstruksi hukum, yaitu

metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian hukum, bukan

untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud adalah konstruksi

hukum yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum

17Bambang Sutiyoso, op.cit., hal. 144-145.

Page 14: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

63

yang dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.

Pada metode eksposisi ini dibagi menjadi dua, yaitu metode eksposisi verbal dan

yang tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi menjadi lebih lanjut menjadi

verbal prinsipal dan verbal melengkapi. Sedangkan metode eksposisi yang tidak

verbal adalah metode representasi.

Metode eksposisi digunakan apabila ada kekosongan hukum. Dalam hal ini

terdapat perbedaan antara kekosongan hukum dengan peraturan perundang-

undangan tidak lengkap. Kekosongan hukum menggambarkan suatu kondisi tidak

ada satu peraturan perundangan-undangan pun baik di dalam maupun di luar

negeri yang mengatur sesuatu hal. Berbeda dengan peraturan perundang-

undangan tidak lengkap menggambarkan suatu undang-undang tidak lengkap

dalam mengatur suatu hal namun masih bisa diketemukan dengan mengkait-

kaitkan dengan peraturan perundang-undangan lain, misalnya UURS 20/2011

yang tidak lengkap karena tidak mengatur tata cara atau prosedur membebankan

hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun, namun

prosedurnya dapat dikaitkan dengan Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional

Nomor 600-1610-DIV Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial (sebagian)

(Selanjutnya disebut SE-BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial) yang terbit

berdasarkan penjelasan Pasal 16 UURS 16/1985.

Sehingga dari keseluruhan metode penemuan hukum di atas, maka yang

paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analogi karena

dapat diterapkan apabila undang-undangnya tidak lengkap. Begitu pula dengan

permasalahan dalam penelitian ini, yakni UURS 20/2011 tidak lengkap dalam hal

Page 15: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

64

tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan

kredit konstruksi rumah susun.

Kemudian metode argumentum per analogiam dapat mengartikan suatu

klausla dalam Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB) yang menyatakan bahwa

”penjual menjamin objek jual beli tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu

utang yang” dapat dikonkretkan menjadi penyelenggara rumah susun yang

membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi wajib

membebaskan sarusun yang akan dijual dari hak tanggungan sebelum menjual ke

calon pembeli.

Lalu timbul lagi pertanyaan bagaimana cara membebaskan hanya 1 unit

sarusun dari beban hak tanggungan padahal yang dibebankan adalah hak atas

tanah bersama, yang berarti keseluruhan rumah susun. Dikaitkan kembali ke SE-

BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial, maka penyelenggara rumah susun

wajib melakukan roya partial sebelum menjual sarusun. Dengan demmikian

penjual dapat menjamin bahwa objek jual beli tidak terikat sebagai jaminan untuk

suatu utang.

1.2. Konsep Rumah Susun

Ridwan Halim menyatakan bahwa dengan pembangunan rumah susun

sebidang tanah dapat digunakan secara optimal untuk menjadi tempat tinggal

bertingkat yang dapat menampung sekian dan sebanyak mungkin orang.18

Sehingga melalui pembangunan rumah susun yang dapat menampung

18Ridwan Halim, 1990, Hak Milik, Kondominium, dan Rumah Susun,

Puncak Karma, Jakarta, hal 299.

Page 16: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

65

menampung orang dalam kapasitas yang banyak, maka optimalisasi penggunaan

tanah secara vertikal sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada

optimalisasi penggunaan tanah secara horizontal.

Sejalan dengan pendapat Ridwan Halim, Siswono Judohusodo menyatakan

bahwa membangun rumah susun di kota besar adalah kecenderungan masa depan

yang tidak dapat dihindari, yang memang perlu di masyarakatkan, dan perlu ada

penyesuaian pada budaya-budaya yang ada pada masyarakat Indonesia.19 Yang

dimaksud “dimasyarakatkan” pada pendapat Siswono adalah dalam artian

peraturan-peraturan yang terkait pelaksaan rumah susun perlu disosialisasikan

lebih luas agar masyarakat mengerti dan memahami maksud dan tujuan

pelaksanaan rumah susun.

Sistem kepemilikan atas bangunan bertingkat sudah dikenal di Indonesia,

namun sistem kepemilikan atas gedung bertingkat tersebut berupa sistem

kepemilikan tunggal dimana pemilik seluruh gedung dan pemegang hak atas

tanahnya merupakan pihak yang sama. Jika ada pihak lain yang ingin

menggunakan bagian dari gedung tersebut, maka ia harus melakukan hubungan

sewa-menyewa dengan pemilik gedung. Sejak terbitnya UURS 16/1985,

penghuni dan pengguna bagian gedung tersebut menjadi dimungkinkan untuk

memiliki sebagian dari gedung tersebut dan juga sebagian atas tanah tempat

gedung tersebut berdiri secara proporsional.

Pemilikan bagian-bagian gedung secara individual dimungkinkan dalam

bentuk Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sedangkan bagian-bagian lainnya

19Siswono Judohusodo, 1991, Rumah Untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL

Unit Percetakan Bharakerta, Jakarta, hal 27.

Page 17: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

66

yang dimiliki secara bersama. Demikian juga dengan tanahnya, menjadi milik

bersama yang tidak terpisah dari semua pemilik sarusun yang masing-masing

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemilikan sarusun yang

bersangkutan.

Dari pengertian rumah susun yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 UURS

20/2011 menunjukkan unsur-unsur rumah susun adalah sebagai berikut:

1. Rumah susun dari segi fisiknya merupakan bangunan yang berlantai lebih

dari satu;

2. Dalam fungsinya rumah susun dapat digunakan secara vertikal ataupun

horizontal;

3. Pada rumah susun ada bagian yang dapat digunakan dan dimiliki secara

terpisah oleh pemiliknya yang disebut sarusun;

4. Pada rumah susun terdapat hak bersama dari seluruh pemilik sarusun yang

terdiri atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama;

5. Tujuan utama pembangunan rumah susun adalah diutamakan untuk tempat

hunian atau rumah tinggal.

Dilihat dari tujuan utama pembangunan rumah susun adalah untuk tempat hunian

atau rumah tinggal, maka Imam Kuswahyono memiliki pendapat yang lebih

spesifik terkait tempat hunian atau rumah tinggal sebagai tujuan utama

pembangunan rumah susun, yaitu:

1. Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak di suatu

lingkungan yang sehat;

2. Sebagai upaya untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras, dan

seimbang;

3. Sebagai upaya untuk meremajakan daerah-daerah kumuh (slums);

Page 18: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

67

4. Sebagai upaya untuk mengoptimalkan sumber daya yang berupa tanah di

perkotaan;

5. Sebagai upaya untuk mendorong pembangunan pemukiman yang

berkepadatan tinggi.20

Walaupun tujuan utama pembangunan rumah susun adalah untuk tempat

hunian atau tempat tinggal, dalam prakteknya konsep rumah susun ini banyak

digunakan untuk kondotel yang memiliki tujuan utama bukan sebagai tempat

hunian atau rumah tinggal, melainkan sebagai hotel yang tidak dapat dihuni oleh

pemilik SHMSRS. Kepemilikan unit kondotel dibuktikan dengan SHMSRS,

namun pemilik tidak dapat tinggal di kondotel tersebut. Ia hanya mendapatkan

keuntungan hasil pengelolaan dari pengurus hotel berupa uang. Jadi pembelian

unit kondotel mirip dengan membeli saham kepemilikan hotel yang sama-sama

mendapat keuntungan hasil pengelolaan dari pengurus hotel. Hanya saja pada

kondotel kepemilikannya dibuktikan dengan SHMSRS.

1.2.1. Pertelaan dalam Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

Sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah yang diakui oleh negara.

Sertifikat dalam terminologi atau bahasa resmi hukum-hukum keagrariaan ditulis

”sertipikat”, dengan huruf p bukan f.21 Walaupun demikian dalam penelitian ini

akan tetap menggunakan kata ”Sertifikat” dengan huruf ”f” karena di dalam

peraturan perundang-undangan menggunakan kata ”Sertifikat” bukan

”Sertipikat”.

20Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar

Pemahaman, Bayumedia, Malang, hal. 22. 21Herman Hermit, 2004, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik,

Tanah Negara dan Tanah Pemda, Mandar Maju, Bandung, hal. 29.

Page 19: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

68

Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (Selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah) menjelaskan

bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,

hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing

sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dengan demikan maka

sudah jelas pembuktian kepemilikan sarusun adalah dengan SHMSRS.

Dalam hal mengurus administrasi pertanahan, ditunjuk instansi pemerintah

yang diberikan kewenangan yaitu Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia (selanjutnya disebut BPN) sebagaimana ditentukan dalam Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional (selanjutnya disebut Perpres No. 10 Tahun 2006).22 BPN adalah

Lembaga pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung

jawab kepada Presiden, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Perpres No. 10

Tahun 2006. BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang

pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.

Tujuan dan fungsi dilakukannya pendaftaran peralihan hak atas tanah

menurut Adrian Sutedi adalah untuk memberikan kepastian hukum pemegang

hak atas suatu bidang tanah. Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan

dalam pendaftaran tanah ini meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian

subjek, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertipikat

22Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,

Kencana Predana Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso II),

hal. 213.

Page 20: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

69

sebagai tanda bukti haknya.23 Demikian pula dengan pendaftaran sarusun

menjadi SHMSRS bertujuan dan berfungsi untuk memberikan kepastian hukum

kepada pemilik sarusun.

Menurut Herman Hermit, hak milik atas satuan rumah susun bukanlah

macam hak atas tanah, melainkan hak milik atas fisik satuan rumah susun, namun

tetap merupakan obyek pendaftaran tanah yang wajib disertifikatkan.24 Pendapat

ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 PP Pendaftaran Tanah yang sudah

dijabarkan di atas. Pensertifikatan hak milik satuan rumah susun tersebut

diperlukan untuk pembuktian hak yang dimiliki pemegang SHMSRS, sehingga

pemilik sarusun mendapat perlindungan hukum. Pensertifikatan satuan rumah

susun tidak hanya untuk bangunan rumah susun saja, melainkan juga untuk

bangunan bertingkat lainnya seperti kondominium/flat, ataupun gedung-gedung

bertingkat untuk bukan hunian seperti pertokoan dan gedung perkantoran berlaku

aturan-aturan seperti pada rumah susun.25 Hal ini menjelaskan bahwa

pembahasan perlindungan hukum pemilik sarusun dalam penelitian ini bukan

hanya sarusun yang bertujuan sebagai tempat hunian atau tempat tinggal saja

seperti yang diatur dalam UURS 20/2011, melainkan juga gedung pertokoan,

gedung perkantoran, dan kodominium seperti yang dikatakan Herman Hermit.

Terdapat 2 bagian utama yang ada pada sertifikat tanah hak milik yaitu

Buku Tanah dan Surat Ukur. Sedangakan pada SHMSRS ada 4 bagian utama

yang harus tertera didalamnya sesuai Pasal 47 ayat (3) UURS 20/2011 yaitu

23Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya,

Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi III), hal. 278. 24Herman Hermit, op.cit., hal 30. 25Ibid., hal. 31.

Page 21: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

70

salinan buku tanah, salinan surat ukur atas hak tanah bersama, gambar denah

tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan satuan rumah susun

yang dimiliki, dan pertelaan/uraian mengenai besarnya hak pemilik atas bagian

bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang bersangkutan.

Hak milik satuan rumah susun adalah hak milik yang bersifat perseorangan

dan terpisah, yang termasuk juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan

tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan dengan gedung rumah susun. Menurut Imam Kuswahyono sistem

pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Pemilikan tunggal (single ownership);

Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat itu

berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik gedung.

2. Pemilikan bersama (joint ownership).

Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat ada atau

tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung

bertingkat itu, yaitu sebagai berikut:

a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih dahulu

antara pemilik. Dasar pengaturannya yaitu Permendagri No. 14 Tahun

1975.

b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada

hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik untuk

dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto PP No. 4

Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan bersama yang bebas

inilah yang dikenal sebagai condominium.26

Sejalan dengan pemikian Imam Kuswahyono, Eman Ramelan berpendapat

bahwa jika seseorang memiliki hak atas bagian dari bangunan bertingkat yang

dinamakan hak milik satuan rumah susun, maka ia memiliki dua jenis hak, yaitu:

1. Hak yang bersifat perorangan, yaitu hak milik atas bagian dari gedung itu

atau yang dinamakan sarusun; dan

26Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun, Bayumedia

Publishing, Malang, hal. 12.

Page 22: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

71

2. Hak yang bersifat kolektif, yaitu hak atas benda bersama, bagian bersama,

dan tanah bersama.27

Dengan adanya dua jenis hak sebagaimana pendapat dari Imam

Kuswahyono dan Eman Ramelan tersebut tentu ada bagian-bagian yang perlu

diperhitungkan atau diatur secara tegas, perhitungan tersebut disebut dengan

pertelaan. Menurut Eman Ramelan, dari pertelaan tersebut akan muncul satuan-

satuan rumah susun yang terpisah secara hukum dengan rumah susun dan hak

atas tanah bersamanya melalui proses pembuatan akta pemisahan.28 Dengan

demikian pertelaan sangat penting dalam sistem rumah susun karena disini titik

awal dimulainya proses terbitnya SHMSRS.

Baik UURS 16/1985, UURS 20/2011, maupun Peraturan Pemerintah

Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun tidak memberikan definisi dari

pertelaan secara jelas, namun ada beberapa pasal yang menyebut istilah pertelaan,

antara lain:

1. Pasal 9 ayat (2) huruf c UURS 16/1985 mengatur bahwa SHMSRS sebagai

tanda bukti hak milik atas sarusun terdiri atas pertelaan mengenai besarnya

bagian hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama yang

bersangkutan; kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

2. Pasal 30 UURS 20/2011 mengatur bahwa pelaku pembangunan setelah

mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3)

wajib meminta pengesahan dari pemerintah daerah tentang pertelaan yang

27Eman Ramelan, et. al., 2014, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

Pembeli Satuan Rumah Susun / Strata Title / Apartemen, LaksBang Mediatama,

Yogyakarta, hal 1-2. 28Ibid. hal 10.

Page 23: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

72

menunjukkan batas yang jelas dari setiap sarusun, bagian-bersama, benda-

bersama, dan tanah bersama beserta uraian NPP.

3. Pasal 31 ayat (4) UURS 20/2011 mengatur bahwa dalam hal pengubahan

rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mengakibatkan pengubahan NPP, pertelaannya harus mendapatkan

pengesahan kembali dari bupati/walikota.

4. Pasal 47 ayat (3) huruf c UURS 20/2011 mengatur bahwa SHMSRS sebagai

tanda bukti hak milik atas sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan yang terdiri atas pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas

bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.

(Pasal ini merupakan terusan dari Pasal 9 UURS 16/1985)

5. Pasal 48 ayat (2) huruf d UURS 20/2011 mengatur bahwa SKGB sarusun

sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik

negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan sewa terdiri atas

pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda

bersama yang bersangkutan.

6. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah

Susun menerangkan bahwa akta pemisahan adalah tanda bukti pemisahan

rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda

bersama, dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk

gambar, uraian batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang

mengandung nilai perbandingan proporsional.

Page 24: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

73

Dari pasal-pasal di atas maka dapat disimpukan bahwa pertelaan adalah

uraian dalam bentuk gambar terhadap besarnya hak bersama yang termasuk di

dalamnya batas-batas dalam arah vertikal dan horizontal masing-masing sarusun

yang diterbitkan dan disahkan oleh bupati/walikota. Maka pertelaan harus dibuat

dengan benar, jelas, dan tidak saling tumpang tindih hak-hak nya agar

mengurangi kemungkinan terjadinya masalah dikemudian hari.

2.2.2. Hak Tanggungan dalam Rumah Susun

Hak tanggungan merupakan lembaga jaminan yang dibentuk berdasarkan

Pasal 51 UUPA yang menyatakan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan

pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25,

33, dan 39 diatur dengan undang-undang. Maka diterbitkanlah UUHT pada tahun

1996 sehingga menghapus ketentuan pasal 57 UUPA yang menyatakan bahwa

selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum

terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek

tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan

Credietverband tersebut dalam Saatsblad 1908-542 sebagai yang telah diubah

dengan Staatsblad 1937-190. Dengan demikian maka Pasal 12 sampai dengan 17

UURS 16/1985 yang mengatur tentang pembebanan dengan hipotik dan fidusia

memang sudah layak untuk diganti mengikuti UUHT, namun UURS 20/2011

tidak mengganti, melainkan menghapus pasal-pasal tersebut sehingga tidak ada

pengaturan mengenai pembebanan tanah rumah susun.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini sebagaimana dalam buku yang ditulis oleh

Adrian Sutedi menyatakan bahwa ketentuan tentang Hypotheek dan

Page 25: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

74

Credietverband itu tidak sesuai lagi dengan asas-asas hukum tanah nasional dan

dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam

bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dan kemajuan pembanguan

ekonomi.29 Pendapat tersebut berkaitan dengan Hypotheek dan Credietverband

berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang

berlaku sebelum berlakunya UUPA sehingga tidak sesuai lagi dengan asas-asas

hukum tanah di Indonesia. Begitu pula dengan UURS 16/1985 dalam rangka

penjaminan tanah rumah susun guna mendapatkan kredit konstruksi, karena terbit

sebelum adanya UUHT maka masih menggunakan hipotik jika tanahnya

merupakan tanah hak milik atau HGB dan fidusia jika tanahnya merupakan tanah

hak pakai atas tanah negara.

Hak tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah

untuk pelunasan suatu utang tertentu memiliki beberapa asas, yaitu:

1. Kedudukan yang diutamakan (Pasal 1 angka 1 UUHT)

Yang dimaksud pada asas ini adalah memerikan kedudukan yang diutamakan

(preferent) kepada krediturnya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang Hak

Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya

daripada kreditor-kreditor lain atas hasil penjualan objek hak tanggungan.

2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) UUHT)

Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali

diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut

APHT). Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi

29Adrian Sutedi II, op.cit., hal 2.

Page 26: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

75

objeknya dan setiap bagian daripadanya. Dengan demikian, jika debitur

membayar sebagian dari utangnya, maka pembayaran itu tidak serta merta

membebaskan sebagian dari benda yang dibebani Hak Tanggungan.

3. Hak Tanggunan adalah perjanjian tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1) jo.

Pasal 18 ayat (1) UUHT)

Hak Tanggunan adalah perjanjian tambahan atau ikutan pada perjanjian utang

piutang sebagai perjanjian pokok. Dengan demikian, hapusnya Hak

Tanggunan tergantung pada perjanjian pokoknya. Jika perjanjian utang

piutang sudah lunas maka berakhir pula perjanjian pokok tersebut, sehingga

Hak Tanggunan juga berakhir.

4. Asas selalu mengikuti objeknya (Pasal 7 UUHT)

Artinya walaupun pemilik objek Hak Tanggungan telah beralih kepada orang

lain, Hak Tanggungan yang ada tetep melekat pada objek tersebut dan tetap

mempunyai kekuatan mengikat.

5. Asas spesialitas dan publisitas (Pasal 13 UUHT)

Asas spesialitas maksudnya objek Hak Tanggungan harus disebutkan secara

tegas dan jelas mengenai letak, luas, batas-batas, dan bukti kepemilikkan

benda yang dibebani tersebut.

Asas publisitas artinya pembebanan Hak Tanggungan harus dapat diketahui

umum, oleh karena itu APHT harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

6. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya

Artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan

hukum tetap dan pasti.

Page 27: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

76

Terdapat pengecualian pada asas hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi,

yakni apabila diperjanjikan lain dalam APHT. Diperjanjikan lain dalam hal ini

adalah memungkinkan dilakukannya roya partial sebagaimana diatur dalam SE-

BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial. Surat Edaran tersebut terbit

berdasarkan penjelasan Pasal 16 UURS 16/1985 yakni penyesuaian dari

ketentuan Pasal 1163 KUHPdt yang berisi prinsip bahwa hipotik tidak dapat

dibagi-bagi. Roya partial merupakan kelembagaan hukum baru, untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat, yang memungkinkan penyelesaian secara praktis terhadap

bagian benda apabila telah dilunasi sebagaian, sehingga dapat dipergunakan

untuk keperluan lainnya.

Dengan demikian apabila utang telah dilunasi sebagian, maka dapat

dilakukan roya partial, sepanjang objek jaminan terdiri dari beberapa bidang

tanah. Dalam rumah susun dapat pula dilakukan roya partial sesuai Pasal 16

UURS 16/1985. Pembebanan yang semula pada tanah dipindahkan ke masing-

masing SHMSRS, kemudian dilakukan roya partial untuk salah satu sarusun

sehingga sarusun tersebut bebas dari beban jaminan dan bisa dijual. Suatu

kemunduran hukum terjadi ketika UURS 20/2011 terbit, karena tidak lagi

mengatur hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UURS 16/1985

sehingga menghapus dasar hukum terbitnya SE-BPN 1995 tentang Pelaksanaan

Roya Partial.

Hak tanggungan lahir karena adanya perjanjian utang piutang sebagai

perjanjian tambahan (accessoir). Tentunya hak tanggungan yang lahir tidaklah

Page 28: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

77

abadi, karena itu hak tanggungan dapat berakhir. Pasal 18 ayat (1) UUHT

menjelaskan ada 4 (empat) sebab berakhirnya Hak Tanggungan, yaitu:

1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;

Hal ini terkait dengan kedudukan Hak Tanggungan adalah sebagai

perjanjian tambahan (accessoir) untuk menjamin terlaksananya perjanjian pokok

yakni perjanjian kredit. Maka logika-nya apabila perjanjian pokoknya berakhir

maka secara otomatis perjanjian tambahannya juga berakhir. Berakhirnya Hak

Tanggungan yang disebabkan oleh berakhirnya perjanjian pokoknya perlu

dipertegas lagi dengan pemeberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya

Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak

Tanggungan.

2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;

Hal ini diatur untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT.

Pelepasan Hak Tanggungan dibuat dalam pernyataan tertulis mengenai

dilepaskannya Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada

pemberi Hak Tanggungan.

3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua

Pengadilan Negeri;

Berakhirnya Hak Tanggungan karena adanya pembersihan Hak

Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, hal

ini terjadi karena permohonan dari pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak

Tanggungan. Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan

umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela

Page 29: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

78

dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu

dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Pembersihan tersebut dilakukan dengan pernyataan tertulis dari pemegang Hak

Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan yang melebihi harga

pembelian. Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak

Tanggungan dan para kreditur tidak menemukan suatu kesepakatan mengenai

pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi hak pembelian,

maka pembelian benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua

Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melihat letak objek Hak Tanggungan

yang bersangkutan untuk menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil

penjualan lelang di antara para kreditur.

4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Dengan hapusnya hak atas tanah sebagai objek Hak Tanggungan, maka

tanah tersebut kembali dalam kekuasaan negara. Adapun sebab-sebab yang

memungkinkan hapusnya hak atas tanah, yaitu:

a. Jangka waktu hak atas tanah berakhir;

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir;

c. Karena suatu syarat batal dipenuhi;

d. Dicabut untuk kepentingan umum;

e. Tanahnya musnah; dan

f. Dilepaskan dengan sukarela oleh yang mempunyai hak atas tanah.30

Adapun hak-hak atas tanah yang memiliki jangka waktu adalah Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Penghentian sebelum jangka waktu disini

dapat disebabkan oleh pemegang hak atas tanah melakukan wanprestasi selama

30Adrian Sutedi II, op.cit., hal. 82.

Page 30: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

79

diberikannya hak atas tanah oleh pemilik hak yang utama. Pemilik hak yang

utama dalam hal ini yaitu pemegang Hak Milik, Hak Pengelolaan, atau Negara.

Dengan hapusnya hak atas tanah sehingga menyebabkan hapusnya Hak

Tanggungan tidak serta merta menghapuskan perjanjian pokoknya yakni

perjanjian kredit. Yang membedakan hanya kreditur yang semula sebagai

kreditur preferen menjadi kreditur konkuren.

Pelaksanaan penghapusan Hak Tanggunan dilakukan dengan pencoretan

catatan atau roya Hak Tanggungan. Hal ini dilakukan demi peningkatan tertib

administrasi. Mengenai prosedur pencoretan Hak Tanggungan secara tegas diatur

dalam Bab VI Pasal 22 UUHT. Roya hak tanggungan juga dapat dilakukan secara

partial atau sebagian sebagaimana diatur dalam SE-BPN 1995 tentang

Pelaksanaan Roya Partial.

2.3. Asas-asas Pokok Hukum Kontrak

Menurut Peter Mahmud Marzuki aturan-aturan hukum yang menguasai

kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada

asas-asas hukum yang secara umum.31 Dari pendapat tersebut maka asas-asas

hukum merupakan suatu landasan berfikir yang bersifat sangat umum menjadi

dasar ideologis dalam aturan-aturan hukum. Beberapa asas hukum bersifat

abstrak atau samar-samar sehingga memerlukan upaya yang lebih besar untuk

dapat dipahami dan diuraikan secara jelas. Asas hukum merupakan sumber dari

31Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak,

Yuridika, Surabaya, hal. 196. (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki III)

Page 31: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

80

sistem hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial

masyarakat.

Menurut Agus Yudha Hernoko asas hukum sebagai landasan norma seperti

alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada

akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya.32

Sehingga apabila ada aturan-aturan yang dianggap bertentangan dengan asas-asas

hukum maka norma tersebut harus diperbaiki. Dalam sub bab ini khusus

membahas asas-asas hukum yang lebih spesifik pada asas-asas pokok hukum

kontrak, karena penelitian ini lebih membahas mengenai peralihan hak dengan

perjanjian jual-beli maka harus mengedepankan asas-asas pokok hukum kontrak.

Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan

untuk memindahkan hak atas tanah. Menurut Urip Santoso dalam bukunya

“Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah”, beralihnya hak milik atas tanah artinya

berpindahnya hak milik atas tanah dikarenakan suatu peristiwa hukum, yaitu

peralihan hak milik atas tanah berdasarkan pewarisan. Sedangkan dialihkannya

hak atas tanah artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik kepada

pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum misalnya jual beli. 33

Dengan demikian dapat dianalisis bahwa peralihan hak atas tanah dapat terjadi

karena beralih ataupun dialihkan.

32Agus Yudha Hernoko, 2013, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas

dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, hal. 103. 33Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Predana

Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso III), hal. 91-92

Page 32: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

81

Peralihak hak karena hak tersebut dialihkan terjadi karenan adanya suatu

perjanjian atau kontrak. Adapun yang menjadi asas-asas pokok hukum kontrak

sudah tersirat dalam KUHPerdata, antara lain:

1. Asas Kebebasan Berkontrak;

2. Asas Konsesualisme;

3. Asas Proporsionalitas;

4. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda);

5. Asas Itikad Baik.

Asas-asas tersebut di atas diurutkan sesuai dengan tahap pembuatan perjanjian

dari menentukan hal yang diperjanjikan secara bebas, kemudian ada kata sepakat,

lalu disusun perjanjian dengan seimbang atau tidak memberatkan salah satu

pihak, sampai dengan daya mengikatnya suatu kontrak. Asas itikad baik penulis

tempatkan dipaling akhir bukan karena yang paling tidak penting, justru malah

asas itikad baik-lah yang paling penting untuk dilakukan sejak sebelum terjadinya

kontrak sampai pelaksanaan kontrak. Itikad baik menurut penulis merupakan asas

yang paling mendasar untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum.

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu tindakan awal dalam kontrak yang

menentukan hal-hal yang akan diperjanjikan dalam klausul-klausul kontrak.

Meskipun asas ini tidak dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, namun

mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.

Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Page 33: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

82

Pasal tersebut disimpulkan Subekti sebagai asas kebebasan berkontrak dengan

menekankan pada kata “semua” yang ada sebelum kata “perjanjian”. Ia

mengatakan bahwa Pasal 1338 KUHPerdata seolah-olah kita diperbolehkan

membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat sebagaimana Undang-

Undang.34 Dari pendapat tersebut terlihat bahwa asas kebebasan berkontrak

tersirat dalam peraturan perundang-undangan. Asas kebeabsan berkontrak

memperbolehkan para pihak menentukan secara bebas kehendaknya untuk

diperjanjikan asalkan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

Dengan demikian asas kebebasan berkontrak adalah bebas bersyarat,

sehingga tidaklah bebas sebebas-bebasnya karena masih ada hal-hal yang

dilarang. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan untuk membuat kontrak

sebagaimana diatur dalam KUHPerdata antara lain sebagai berikut:

- Pasal 1320, mengenai syarat sahnya perjanjian;

- Pasal 1335, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa sebab atau dibuat

berdasrkan sebab yang palsu;

- Pasal 1337, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila

terlarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan

atau ketertiban umum;

- Pasal 1338, yang menekankan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan

itikad baik;

- Pasal 1339, mengenai terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan

dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud pasal ini bukanlah kebiasaan

34 R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 5.

Page 34: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

83

setempat, melainkan ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu

(kalangan hukum adat) selalu diperhatikan.

Dengan adanya pengaturan tersebut maka asas kebebasan berkontrak ada rambu-

rambu yang perlu diperhatikan yaitu syarat-syarat sahnya kontrak; menentukan

sebab berkontrak untuk mencapai tujuan para pihak; suatu sebab bukan

merupakan sebab palsu atau sebab yang dilarang; tidak bertentangan dengan

kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketertiban umum; dan harus dilaksanakan

dengan itikad baik.

2. Asas Konsensualisme

Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Istilah secara sah artinya perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sah-

nya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga

perjanjian tersebut mengikat. Dengan demikian, suatu perjanjian agar dapat

mengikat para pihak harus memenuhi syarat-syarat pada Pasal 1320 KUHPerdata

yakni:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebeb yang halal.

Dalam syarat-syarat tersebut tercantum syarat sepakat yang merupakan

perwujudan dari asas konsensualisme. Asas ini mengandung kehendak para pihak

yang disimpulkan dengan kata sepakat untuk saling mengikatkan dirinya dan

Page 35: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

84

menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak dalam pemenuhan

perjanjian.

Asas konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan

berkontrak dan asas kekuatan mengikat sehingga dapat dianalisis bahwa Pasal

1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan perwujudan dari asas

konsensualisme. Sehingga pelanggaran terhadap ketentuan ini akan

mengakibatkan perjanjian menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai

undang-undang. Menurut Rutten sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko

menyatakan bahwa perjanjian itu dibuat pada umumnya bukan secara formal

tetapi secara konsensual.35 Maka perjanjian adalah mengikat setelah ada kata

sepakat karena persesuaian kehendak atau konsensus.

3. Asas Proporsionalitas

Asas Proporsionalitas sering disamakan dengan asas keseimbangan, namun

menurut Agus Yudha Hernoko pengertian asas keseimbangan lebih abstrak

pemahamannya dibandingkan asas proporsionalitas.36 Ia merangkum beberapa

pendapat sarjana tentang asas keseimbangan antara lain Sutan Remy Sjahdeini,

Mariam Darus Badrulzaman, Sri Gambir Melati Hatta, dan Ahmadi Miru yakni

secara umum memberi makna asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi

para pihak yang berkontrak. Dengan demikian, apabila terjadi ketidakseimbangan

posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi

dari pemerintah.37 Dari pemikiran tersebut maka daya kerja asas keseimbangan

35Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 121. 36Agus Yudha Hernoko, op.cit. hal. 79. 37Agus Yudha Hernoko, loc.cit.

Page 36: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

85

yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa

dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen. Mengingat dalam

perspektif perlindungan konsumen terdapat ketidaksamaan posisi tawar antara

pihak konsumen dan produsen. Sehingga konsumen berada pada posisi lemah

dalam proses pembentukan kontrak.

Berkaitan dengan penelitian ini, calon pembeli sarusun adalah sebagai

konsumen dalam perjanjian jual beli perlu diberdayakan dan diseimbangkan

posisi tawarnya. Maka dalam asas keseiumbangan yang bermakna equal

equilibrium akan memberikan keseimbangan apabila terjadi posisi tawar yang

tidak seimbang dalam menentukan kehendak. Dengan demikian diperlukan peran

pemerintah sebagai pemegang otoritas negara dalam membentuk peraturan yang

dapat mensejajarkan posisi tawar konsumen dan produsen terutama dalam bidang

rumah susun.

Sebagaimana pendapat Agus Yudha Hernoko pada awal sub bab ini

menyatakan asas keseimbangan lebih abstrak dengan asas proporsionalitas. Hal

tersebut karena yang dimaksud asas proporsionalitas menurutnya asumsi

kesetaraan posisi para pihak yakni dengan terbukanya peluang negosisasi serta

aturan main yang fair atau adil menunjukkan bekerjanya mekanisme pertukaran

hak dan kewajiban yang proporsional.38 Sehingga pada dasarnya asas

proporsionalitas merupakan perwujudan dari keadilan berkontrak yang

mendominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru

menimbulkan ketidakadilan.

38Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 95.

Page 37: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

86

4. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Daya mengikat kontrak dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1338

KUHPerdata yaitu bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa

undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam

kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang. Walaupun demikian terdapat

batas tertentu antara kontrak dan undang-undang, yaitu terkait pada daya

berlakunya. Undang-undang dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan

mengikat untuk semua orang secara abstrak. Sedangkan daya berlaku kontrak

terbatas pada para pihak yang mengikatkan diri, selain itu kontrak bermaksud

untuk mengatur hal-hal konkret.

Para pihak yang saling mengikat diri dalam suatu perjanjian dapat secara

mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum diantara mereka. Perjanjian yang

dibuat secara sah (vide Pasal 1320 KUHPerdata) berlaku seperti halnya undang-

undang yang dibuat oleh legislator, maka harus ditaati oleh para pihak, bahkan

jika perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum.

Daya mengikat suatu kontrak sebagaimana dijelaskan diatas tidaklah

mengikat sepenuhnya tanpa ada batas-batas dalam situasi tertentu. Menurut

Niewenhuis sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, menyatakan bahwa

kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan

berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada para pihak,

namun pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh 2 (dua) hal, yaitu:

Page 38: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

87

1. Daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh itikad baik sebagaimana diatur

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bahwa perjanjian itu harus

dilaksanakan dengan itikad baik;

2. Adanya force majeure atau overmacht (keadaan memaksa) juga membatasi

daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak saling mengikatkan diri

tersebut. Pada dasarnya suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak,

apabila tidak dipenuhi makan akan timbul wanprestasi dan bagi kreditor

memiliki hak untuk mengajukan gugatan, baik ganti rugi atau pembatalan

perjanjian. Dengan adanya force majeure atau overmacht, maka gugatan

kreditor akan dikesampingkan mengingat ketiadaan prestasi tersebut terjadi di

luar kesalahan debitur (vide Pasal 1444 KUHPerdata).

5. Asas Itikad Baik

Asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas proporsionalitas, dan

asas daya mengikatnya perjanjian sebagaimana diuraikan di atas tidaklah berdiri

dalam kesendiriannya, asas-asas tersebut berada dalam suatu sistem yang terpadu

dan ketentuan-ketentuan lainnya. Mengenai daya mengikatnya perjanjian berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt servanda),

pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi, salah satunya dengan itikad baik.

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik”. Sedangkan mengenai apa yang dimaksud

dengan itikad baik (goede trouw; good faith) tidak ada suatu definisi yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, yang dimaksud dengan ‘itikad’ adalah kepercayaan, keyakinan yang

Page 39: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

88

teguh, maksud, kemauan (yang baik). Dalam Black’s Law Dictionary

merumuskan:

“Good faith is an intangible and abstract quality with no technical meaning

or statutory definition, and compasses, among other things, an honest

belief, the absence of malice and the absence of design to defraud or to seek

an unconscionable advantage, and an individual’s personal good faith is

concept of his own mind and inner spirit and, therefore, may not

conclusively be determinded by his protestation alone…… In common

usage this term is ordinarily used to describe that state of mind denoting

honestly of purpose, freedom from intentioan to defraud, and generally

speaking, means being faithful to one’s duty or obligation.”

Dari pengertian tersebut itikad baik merupakan sesuatu yang menjiwai para pihak

untuk tidak memanfaatkan suatu kondisi yang menguntungkannya dengan

merugikan pihak lain, melainkan mencari keuntungan yang wajar tanpa ada pihak

lain yang merasa dirugikan. Asas itikad baik ini tidak terlihat tetapi dapat

dirasakan, sehingga tidak bisa dirumuskan secara konkret dalam suatu peraturan

perundang-undangan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, itikad baik dibagi menjadi 2 (dua) macam,

yaitu:

1. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad

baik dalam hal ini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang

bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk memulai hubungan hukum

sudah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan

kepada pihak yang beritikad baik, sedangkan bagi pihak yang beritikad

tidak baik (te kwader trouw) harus menanggung jawab dan menanggung

resiko. Itikad baik semacam ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1977

dan Pasal 1963 KUHPerdata, yaitu terkait dengan salah satu syarat untuk

Page 40: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

89

memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini

bersifat subyektif dan statis.

2. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

yang termaktub dalam hubungan hukum. Pengertian itikad baik semacam

ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah

sifat obyektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya.

Titik berat itikad baik dalam hal ini terletak pada tindakan yang akan

dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan

suatu hal.39

Beranjak dari pendapat tersebut maka pengertian itikad baik menurut Pasal

1338 ayat (3) KUHPerdata dengan ketentuan Pasal 1963 dan Pasal 1977

KUHPerdata hendaknya dibedakan. Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338

ayat (3) KUHPerdata diberikan batasan dalam arti obyektif – dinamis, sedangkan

pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 dan Pasal 1977 KUHPerdata diberikan

batasan arti subyektif – statis.

Dalam penelitian ini yang digunakan adalah asas itikad baik yang tercantum

dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata karena lebih mengkhusus pada itikad

baik dalam suatu perjanjian. Mengingat permasalahan dalam penelitian ini adalah

bagaimana perlindungan hukum pemilik sarusun yang berada di atas tanah

bersama yang dibebankan hak tanggungan, maka asas itikad baik penulis

pandang perlu diterapkan dalam tahap pembuatan hingga pelaksanaan perjanjian

pengikatan jual beli.

39Wirjono Prodjodikoro, 1992, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur,

Bandung, hal. 56-62.

Page 41: BAB II PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN … II.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi

90

Itikad baik dalam Pasal tersebut bersifat dinamis artinya dalam

melaksanakan hak dan kewajiban dalam perjanjian, kejujuran harus dalam hati

sanubari seorang manusia. Sehingga selalu mengingat bahwa manusia sebagai

anggota masyarakat tidak boleh merugikan pihak lain apalagi menuangkannya

dalam suatu perjanjian. Kedua belah pihak juga tidak boleh memanfaatkan

kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri. Begitu juga dengan

pengembang rumah susun dalam menjual sarusun yang dibuatnya dilarang untuk

memanfaatkan ketidaktahuan calon pembeli untuk mencari keuntungan.

Walaupun sebenarnya ia tidak melanggar suatu peraturan, namun ia tidak

mengindahkan asas itikad baik yang berlaku.