bab ii pemikiran-pemikiran tentang perlindungan … ii.pdfpemikiran-pemikiran tentang perlindungan...
TRANSCRIPT
50
BAB II
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN
RUMAH SUSUN
Dalam Bab II ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran yang terkait
dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama
yang dibebankan hak tanggungan. Keterkaitan antara kerangka teori pada Bab I
dengan pemikiran-pemikiran pada Bab II ini adalah untuk menambah, dan
memperjelas serta mempertajam teori dan konsep dalam penelitian ini. Fungsi
pemikiran-pemikiran tentang perlindungan hukum dan rumah susun dalam
penulisan ini dimaksudkan untuk dapat menjustifikasi atau pembenaran mengenai
teori dan konsep untuk melengkapi kerangka teori dan kerangka konsep pada Bab
I terkait dengan perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah
bersama yang dibebankan hak tanggungan. Pembahasan dalam penulisan Bab II
ini meliputi 2 (dua) sub bahasan. Adapun pemaparannya dalam bab ini yaitu:
1. Konsep Perlindungan Hukum; dan
2. Konsep Rumah Susun.
1.1. Konsep Perlindungan Hukum
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Dengan demikian negara menjamin hak-hak hukum warga
negaranya dengan memberikan perlindungan hukum dan perlindungan hukum
akan menjadi hak bagi setiap warga negara. Ada beberapa pengertian terkait
perlindungan hukum menurut para ahli, antara lain:
51
1. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut.1
2. Menurut CST Kansil perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum
yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa
aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai
ancaman dari pihak manapun.
3. Menurut Muktie, A. Fadjar perlindungan hukum adalah penyempitan arti
dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.
Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak
dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek
hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.
Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan hukum.2
Dari pemaparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum
adalah berbagai upaya hukum dalam melindungi hak asasi manusia serta hak dan
kewajiban yang timbul karena hubungan hukum antar sesama manusia sebagai
subyek hukum. Teori dan konsep mengenai perlindungan hukum adalah sangat
relevan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini yang membahas
perlindungan hukum pemilik satuan rumah susun di atas tanah bersama yang
dibebankan hak tanggungan.
Philipus M. Hadjon merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat
Indonesia dengan cara menggabungkan ideologi Pancasila dengan konsepsi
perlindungan hukum rakyat barat. Konsep perlindungan hukum bagi rakyat barat
bersumber pada konsep-konsep pengakuan, perlindungan terhadap hak-hak asasi
1Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia,
Kompas, Jakarta, hal. 121. 2Tesis Hukum, “Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli”
(Cited 2014 Dec 11), available from : URL : http://tesishukum.com/pengertian-
perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/
52
manusia, konsep-konsep rechtsstaat3, dan the rule of law4. Ia menerapkan
konsepsi barat sebagai kerangka berpikir dengan Pancasila sebagai Ideologi dan
dasar falsafah. Sehingga prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia
adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara hukum yang
berdasarkan Pancasila.5 Pendapat tersebut menurut penulis layak dijadikan
sumber dalam penerapan perlindungan hukum di Indonesia, agar penerapan
perlindungan hukum di Indonesia tidak melenceng dari ground norm yakni
Pancasila yang merupakan dasar ideologi bangsa Indonesia.
1.1.1. Sarana Perlindungan Hukum
Sebagaimana yang sudah di paparkan pada halaman 25 penelitian ini,
Philipus M. Hadjon membedakan 2 (dua) sarana perlindungan hukum yakni
3Rechtsstaat dalam perjalan waktu, telah mengalami perkembangan
konsep dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan sifat dasarnya,
konsep klasik disebut klassiek liberale en democratische rechtsstaat yang sering
disingkat saja dengan democratische rechtsstaat. Konsep modern lazimnya
disebut (terutama di Belanda) sociale rechtsstaat atau juga disebut sociale-
democratische rechtsstaat. (Lihat Philipus M. Hadjon, op.cit., hal. 74.) 4The Rule of Law menurut A.V. Dicey ada tiga arti yaitu pertama,
supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh
dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau
discrecionary authority yang luas dari pemerintahan; kedua, persamaan
dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada
ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti
bahwa tidak orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara
biasa berkewajiban untuk menaati hukum yang sama; tidak ada peradilan
administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the
land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi konsekwensi dari hak-hak
individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-
prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian
diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya. (Lihat
Philipus M. Hadjon, op.cit., hal. 80-81.) 5Philipus M. Hadjon, op.cit, hal. 20.
53
perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Adapun yang
menjadi dasar adanya kedua perlidungan hukum tersebut, yakni:
1. Perlindungan Hukum Preventif
Berdasarkan penelitian sebuah tim dari Council of Europe tentang The
Protection of the individual in relation in Acts of Administrative Authorities yang
membahas the right to be heard sebagai sarana perlindungan hukum yang
preventif. Penelitian tersebut merumuskan dua arti penting dari the right to be
heard, yaitu:
a. Individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya
dan kepentingannya;
b. Cara demikian menunjang suatu pemerintahan yang baik (good
administration) dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya antara yang
memerintah dan yang diperintah.6
Dengan demikian tujuan dari the right to be heard (hak untuk didengar) adalah
menjamin keadilan dan menjamin suatu pemerintahan yang baik. Hak untuk
didengar ini lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan hak untuk banding
karena hak untuk banding tentunya muncul belakangan sehingga sulit untuk
mengumpulkan kembali bukti-bukti dan saksi-saksi yang relevan. Selain itu
kemungkinan terjadinya sengketa dapat dikurangi dengan adanya hak untuk
didengar yang dimiliki rakyat.
2. Perlindungan Hukum Represif
Sarana perlindungan hukum represif pada negara-negara yang menganut
civil law system ada dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum (di Indonesia
6Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 4.
54
disebut Pengadilan Negeri) dan pengadilan administrasi (di Indonesia disebut
Pengadilan Tata Usaha Negara). Sedangkan pada negara-negara yang menganut
common law system hanya mengenal satu set pengadilan yaitu ordinary court.
Selain dari dua sistem hukum tersebut, negara-negara Skandivania telah
mengembangkan suatu lembaga perlindungan hukum yang disebut ombudsman.7
Dengan demikian perlindungan hukum represif di masing-masing negara
tergantung pada sistem hukum suatu negara apakah menganut civil law system,
common law system, atau negara tersebut tergabung dalam negara-negara
Skandivania. Sehingga sarana perlindungan hukum represif di masing-masing
negara menjadi berbeda.
Justice Ombudsman pada hakikatnya bukanlah badan peradilan, namun
badan tersebut mempunyai tugas utama menerima laporan/keluhan dari penduduk
mengenai tindak pemerintahan.8 Dengan demikian walaupun bukan badan
peradilan, ombudsman juga tergolong sebagai sarana perlindungan hukum yang
represif karena menerima laporan/keluhan dari masyarkat terkait tindak
pemerintahan yang notabene laporan/keluhan tersebut diterima setelah terjadi
permasalahan sehingga peran ombudsman sebagai sarana perlindungan hukum
yang represif.
Dari kedua sarana perlindungan hukum di atas, penulis berpendapat bahwa
perlindungan hukum preventif lebih relevan dengan permasalahan dalam
penelitian ini karena kekosongan norma yang dibahas terletak pada tata cara atau
prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi
7Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 5. 8Philipus M.Hadjon, op.cit., hal. 8.
55
rumah susun yang notabene berada dalam tahap awal penyelenggaraan rumah
susun, sehingga dapat mencegah terjadinya ketidakadilan dengan sarana
perlindungan hukum preventif. Dalam hal ini penyelenggara rumah susun dan
calon pembeli sarusun harus menerapkan asas good administration dalam
melakukan transaksi. Penerapan asas tersebut dapat disarankan oleh seorang
notaris sebagai pejabat umum yang berwenang salah satunya untuk memberikan
penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta sesuai Pasal 15 ayat (1)
huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut
UUJN-P). Penyuluhan hukum yang dimaksud yakni terkait tata cara atau
prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi
rumah susun agar pihak penyelenggara rumah susun, calon pembeli sarusun, dan
kreditur sama-sama mendapatkan perlindungan hukum. Mengenai tata cara atau
prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi
rumah susun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
maka dalam hal ini dapat dilakukan penemuan hukum.
1.1.2. Penemuan Hukum (rechtvinding)
Perbuatan manusia sangat banyak hingga tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak semua perbuatan manusia tersebut tercakup dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Maka tentunya tidak ada peraturan perundang-
undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh
karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka hukumnya harus dicari dan
diketemukan.
56
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses
konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat akan peristiwa konkret tertentu.9 Sehingga dalam penemuan hukum,
hal yang paling penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan
hukumnya untuk peristiwa konkret. Relevansi dengan penelitian ini yakni
peristiwa konkret yang dibahas adalah prosedur membebankan hak atas tanah
bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun. Peraturan hukum terkait
peristiwa konkret tersebut sebelumnya sudah diatur secara jelas dalam Pasal 12
sampai dengan Pasal 17 UURS 16/1985, namun aturan tersebut dihapus dengan
terbitnya UURS 20/2011. Sehingga terjadi kekosongan norma, maka diperlukan
proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
seperti pendapat Sudikno Mertokusumo di atas untuk diterapkan dalam peristiwa
konkret yang dibahas dalam penelitian ini.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengatakan bahwa setiap peraturan
bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena bersifat umum dan pasif karena tidak
akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret.10 Dengan
demikan peraturan hukum yang bersifat abstrak tersebut tidak akan berlaku
apabila tidak dikaitkan dengan peristiwa konkret. Permasalahan dihapusnya
UURS 16/1985 yang mengatur lebih detil mengenai prosedur membebankan hak
atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun sebetulnya
dapat dilakukan dengan penemuan hukum dari peraturan perundang-undangan
9Sudikno Mertokusumo, 2014, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar,
Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 49. 10Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2013, Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.
57
lainnya, namun peraturan perundang-undangan lain tentu tidak akan diketemukan
suatu keharusan untuk mengikuti atau tidak prosedur pembebanan hak atas tanah
bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun.
Menurut Bambang Sutiyoso, hukum tertulis selalu ketinggalan dengan
peristiwanya.11 Pendapat tersebut memang betul karena pada hakekatnya
peraturan perundang-undangan tidak ada yang sempurna, di dalamnya selalu ada
kekurangan dan keterbatasan. Tidak ada aturan yang lengkap selengkap-
lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh perbuatan manusia
yang begitu luas.
Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu),
ilmuan/peneliti hukum, para penegak dan praktisi hukum (hakim, jaksa, polisi,
pengacara, dan notaris), bahkan direktur perusahaan swasta maupun
BUMN/BUMD sekalipun dapat melakukan penemuan hukum. Walaupun
penemuan hukum dapat dilakukan oleh siapa saja, namun hasil dari penemuan
hukum tersebut berbeda-beda, ada yang menjadi sumber hukum sekaligus
menjadi hukum yang berlaku dan ada yang hanya berlaku sebagai sumber hukum
atau doktrin saja.
Hakim melakukan penemuan hukum dalam menangani peristiwa konkret
yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena
mempunyai kekuatan keberlakuan sebagai hukum yang dalam bentuk putusan.
11Bambang Sutiyoso, 2012, Metode Penemuan Hukum, Upaya
Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press Yogyakarta,
Yogyakarta, hal. 104.
58
Jadi penemuan hukum oleh hakim bersifat konfliktif. Penemuan hukum oleh
hakim tersebut sekaligus merupakan sumber hukum juga.
Para pembentuk Undang-Undang melakukan penemuan hukum walau tanpa
menghadapi peristiwa konkret seperti hakim, namun bertujuan untuk
menyelesaikan peristiwa abstrak tertentu yang mungkin terjadi. Jadi sifat
penemuan hukum oleh pembentuk Undang-Undang adalah preventif. Hasil
penemuan hukum oleh pembentuk Undang-Undang merupakan hukum karena
dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan sekaligus juga
menjadi sumber hukum. Para ilmuan atau peneliti hukum melakukan penemuan
hukum yang bersifat teoritis, maka hasil penemuan hukumnya bukan merupakan
hukum, melainkan hanya sebagai sumber hukum atau doktrin saja.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hasil penemuan hukum oleh notaris adalah
hukum, karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai
kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum.12 Artinya Notaris
dapat melakukan penemuan hukum yang bernilai sebagai hukum bagi para pihak.
Notaris melakukan penemuan hukum dalam mengkonstatir13 akta yang
mempunyai kekuatan mengikat, namun kekuatan mengikat dalam akta notaris
hanya sebatas mengikat bagi para pihak. Kekuatan mengikat akta notaris masih
dapat dibantah oleh salah satu pihak dengan pembuktian di pengadilan karena
walaupun mengikat kekuatan akta notaris tidaklah final seperti putusan
12Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 51. 13Mengkonstatir adalah memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala;
mengambil kesimpulan setelah ada bukti-bukti nyata. (Lihat W.J.S.
Poerwadarminta, 2011, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
hal. 612.)
59
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final and
binding (final dan mengikat). Notaris dihadapkan dengan masalah hukum yang
disampaikan oleh kliennya untuk dibuatkan akta. Dengan demikian Notaris
melakukan penemuan hukum dari peristiwa konkret yang diajukan oleh para
klien-nya agar akta yang dibuat dapat menjabarkan segala kehendak dan
melindungi hak dan kewajiban para klien.
Pada umumnya problematik yang berkaitan dengan penemuan hukum
dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang, namun dalam
realitanya problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan
hakim dan pembentuk undang-undang saja. Seperti pendapat Sudikno
Mertokusumo sebelumnya, Hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum
karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai
kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum. Notaris melakukan
penemuan hukum dalam mengkonstatir akta yang dibuatnya. Dalam
mengkonstatir suatu akta, notaris menentukan peristiwa hukum berdasarkan
peristiwa konkret yang dialami oleh para penghadap atau kliennya. Tentunya
perbuatan konkret atau perbuatan nyata yang dilakukan si klien tidak terbatas
perbuatan-perbuatan hukum yang sudah diatur saja, sehingga bisa saja perbuatan
konkret yang dimaksud tersebut tidak ada atau tidak jelas diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal tersebut notaris dapat melakukan
penemuan hukum terhadap akta yang akan dibuatnya, dengan tujuan agar para
penghadap yang hadir di hadapan notaris mendapatkan perlindungan hukum atas
hak dan kewajibannya.
60
Hal penting dalam penemuan hukum oleh Notaris adalah bagaimana
mengkonstatir peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum. Setiap peristiwa
konkret harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan, atau
melengkapi peraturan perundang-undangannya agar hukumnya tidak kosong.
Dalam penemuan hukum diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan
hukum. Adapun metode penemuan hukum yang sudah ada yaitu interpretasi
(penafsiran), argumentasi (penalaran), dan eksposisi (konstruksi hukum). Metode
interpretasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas. Metode
argumentasi digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau
tidak ada. Metode eksposisi digunakan apabila peraturan perundang-undangan
tidak ada mengatur atau kekosongan hukum (rechts vacuum).
A. Metode Interpretasi (penafsiran)
Tidak semua kata, istilah, dan kalimat yang tertulis maupun lisan untuk
menyatakan suatu kaidah hukum itu sudah jelas dan mudah dipahami. Metode
interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan
yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap
peristiwa konkret. Dikenal beberapa macam metode interpretasi dalam ilmu
hukum dan praktek peradilan yaitu metode gramatikal, otentik, teoleologis,
sistematis, historis, komparatif, futuristis, restriktif, ekstensif, interdisipliner,
multidisipliner, dan kontrak.14 Dari macam-macam metode interpretasi tersebut
tidak ada yang dapat diterapkan dalam penemuan hukum dalam penelitian ini
karena metode interpretasi hanya dapat digunakan ketika terjadi norma kabur.
14Bambang Sutiyoso, op.cit., hal. 132-133.
61
Walaupun demikian tetap perlu disebutkan secara singkat untuk mengetahui
keberadaan metode interpretasi dalam penemuan hukum.
Menurut Soedjono Dirdjosisworo penafsiran atau interpretasi hukum adalah
menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada
kaitannya.15 Dari pendapat tersebut penafsiran atau interpretasi hukum ialah
mencari serta menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang
dimaksud oleh pembuat undang-undang. Menurut Ahmad Rifai, teknik
interpretasi memberikan penjelasan tentang teks yang dipakai dalam undang-
undang, agar ruang lingkup dari adanya undang-undang dapat diterapkan pada
suatu peristiwa hukum tertentu.16 Walaupun demikian isi undang-undang
terkadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang mempunyai lebih dari
satu arti. Oleh karena itu, penafsiran atau interpreatsi hukum terhadap undang-
undang itu sangat diperlukan.
B. Metode Argumentasi (penalaran)
Metode argumentasi sering juga disebut dengan metode penalaran hukum,
redenering atau reasoning. Metode ini digunakan apabila undang-undangnya
tidak lengkap. Menurut Bambang Sutiyoso, proses penemuan hukum dengan
menggunakan metode argumentasi atau penalaran hukum dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu:
1. Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam)
15Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 157. 16Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 61.
62
Mengabstraksikan prisnsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan
dengan seolah-olah memperluas keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret
yang belum ada pengaturannya.
2. Metode A Contrario (Argumentum a Contrario)
Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan
secara berlawanan arti atau tujuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum
ada pengaturannya.
3. Metode Penyempitan Hukum (Rechtsvervijning)
Mengabstraksi prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu diterapkan
dengan seolah-olah mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret
yang belum ada pengaturannya. Biasanya, jika diterapkan sepenuhnya akan
memunculkan ketidakadilan.
4. Metode Fiksi Hukum
Sesuatu yang khayal yang digunakan di dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-
kata, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau dalam bentuk kalimat yang
bermaksud untuk memberikan suatu pengertian hukum.17
Penemuan hukum dengan metode argumentasi diterapkan apabila undang-
undangnya tidak lengkap sehingga tepat jika diterapkan ke permasalahan dalam
penelitian ini, yakni UURS 20/2011 tidak lengkap dalam hal tata cara atau
prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi
rumah susun. Dari keempat metode argumentasi di atas, yang paling tepat
diterapkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah metode
analogi (Argumentum Per Analogiam), karena metode tersebut memperluas
makna dari suatu peraturan.
C. Metode Eksposisi (konstruksi hukum)
Metode eksposisi akan digunakan apabila ada kekosongan hukum atau
kekosongan undang-undang. Metode ini adalah metode konstruksi hukum, yaitu
metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian hukum, bukan
untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud adalah konstruksi
hukum yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum
17Bambang Sutiyoso, op.cit., hal. 144-145.
63
yang dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.
Pada metode eksposisi ini dibagi menjadi dua, yaitu metode eksposisi verbal dan
yang tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi menjadi lebih lanjut menjadi
verbal prinsipal dan verbal melengkapi. Sedangkan metode eksposisi yang tidak
verbal adalah metode representasi.
Metode eksposisi digunakan apabila ada kekosongan hukum. Dalam hal ini
terdapat perbedaan antara kekosongan hukum dengan peraturan perundang-
undangan tidak lengkap. Kekosongan hukum menggambarkan suatu kondisi tidak
ada satu peraturan perundangan-undangan pun baik di dalam maupun di luar
negeri yang mengatur sesuatu hal. Berbeda dengan peraturan perundang-
undangan tidak lengkap menggambarkan suatu undang-undang tidak lengkap
dalam mengatur suatu hal namun masih bisa diketemukan dengan mengkait-
kaitkan dengan peraturan perundang-undangan lain, misalnya UURS 20/2011
yang tidak lengkap karena tidak mengatur tata cara atau prosedur membebankan
hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi rumah susun, namun
prosedurnya dapat dikaitkan dengan Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional
Nomor 600-1610-DIV Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial (sebagian)
(Selanjutnya disebut SE-BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial) yang terbit
berdasarkan penjelasan Pasal 16 UURS 16/1985.
Sehingga dari keseluruhan metode penemuan hukum di atas, maka yang
paling relevan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analogi karena
dapat diterapkan apabila undang-undangnya tidak lengkap. Begitu pula dengan
permasalahan dalam penelitian ini, yakni UURS 20/2011 tidak lengkap dalam hal
64
tata cara atau prosedur membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan
kredit konstruksi rumah susun.
Kemudian metode argumentum per analogiam dapat mengartikan suatu
klausla dalam Akta Jual Beli (selanjutnya disebut AJB) yang menyatakan bahwa
”penjual menjamin objek jual beli tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu
utang yang” dapat dikonkretkan menjadi penyelenggara rumah susun yang
membebankan hak atas tanah bersama sebagai jaminan kredit konstruksi wajib
membebaskan sarusun yang akan dijual dari hak tanggungan sebelum menjual ke
calon pembeli.
Lalu timbul lagi pertanyaan bagaimana cara membebaskan hanya 1 unit
sarusun dari beban hak tanggungan padahal yang dibebankan adalah hak atas
tanah bersama, yang berarti keseluruhan rumah susun. Dikaitkan kembali ke SE-
BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial, maka penyelenggara rumah susun
wajib melakukan roya partial sebelum menjual sarusun. Dengan demmikian
penjual dapat menjamin bahwa objek jual beli tidak terikat sebagai jaminan untuk
suatu utang.
1.2. Konsep Rumah Susun
Ridwan Halim menyatakan bahwa dengan pembangunan rumah susun
sebidang tanah dapat digunakan secara optimal untuk menjadi tempat tinggal
bertingkat yang dapat menampung sekian dan sebanyak mungkin orang.18
Sehingga melalui pembangunan rumah susun yang dapat menampung
18Ridwan Halim, 1990, Hak Milik, Kondominium, dan Rumah Susun,
Puncak Karma, Jakarta, hal 299.
65
menampung orang dalam kapasitas yang banyak, maka optimalisasi penggunaan
tanah secara vertikal sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada
optimalisasi penggunaan tanah secara horizontal.
Sejalan dengan pendapat Ridwan Halim, Siswono Judohusodo menyatakan
bahwa membangun rumah susun di kota besar adalah kecenderungan masa depan
yang tidak dapat dihindari, yang memang perlu di masyarakatkan, dan perlu ada
penyesuaian pada budaya-budaya yang ada pada masyarakat Indonesia.19 Yang
dimaksud “dimasyarakatkan” pada pendapat Siswono adalah dalam artian
peraturan-peraturan yang terkait pelaksaan rumah susun perlu disosialisasikan
lebih luas agar masyarakat mengerti dan memahami maksud dan tujuan
pelaksanaan rumah susun.
Sistem kepemilikan atas bangunan bertingkat sudah dikenal di Indonesia,
namun sistem kepemilikan atas gedung bertingkat tersebut berupa sistem
kepemilikan tunggal dimana pemilik seluruh gedung dan pemegang hak atas
tanahnya merupakan pihak yang sama. Jika ada pihak lain yang ingin
menggunakan bagian dari gedung tersebut, maka ia harus melakukan hubungan
sewa-menyewa dengan pemilik gedung. Sejak terbitnya UURS 16/1985,
penghuni dan pengguna bagian gedung tersebut menjadi dimungkinkan untuk
memiliki sebagian dari gedung tersebut dan juga sebagian atas tanah tempat
gedung tersebut berdiri secara proporsional.
Pemilikan bagian-bagian gedung secara individual dimungkinkan dalam
bentuk Hak Milik atas Satuan Rumah Susun sedangkan bagian-bagian lainnya
19Siswono Judohusodo, 1991, Rumah Untuk Seluruh Rakyat, INKOPPOL
Unit Percetakan Bharakerta, Jakarta, hal 27.
66
yang dimiliki secara bersama. Demikian juga dengan tanahnya, menjadi milik
bersama yang tidak terpisah dari semua pemilik sarusun yang masing-masing
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemilikan sarusun yang
bersangkutan.
Dari pengertian rumah susun yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 UURS
20/2011 menunjukkan unsur-unsur rumah susun adalah sebagai berikut:
1. Rumah susun dari segi fisiknya merupakan bangunan yang berlantai lebih
dari satu;
2. Dalam fungsinya rumah susun dapat digunakan secara vertikal ataupun
horizontal;
3. Pada rumah susun ada bagian yang dapat digunakan dan dimiliki secara
terpisah oleh pemiliknya yang disebut sarusun;
4. Pada rumah susun terdapat hak bersama dari seluruh pemilik sarusun yang
terdiri atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama;
5. Tujuan utama pembangunan rumah susun adalah diutamakan untuk tempat
hunian atau rumah tinggal.
Dilihat dari tujuan utama pembangunan rumah susun adalah untuk tempat hunian
atau rumah tinggal, maka Imam Kuswahyono memiliki pendapat yang lebih
spesifik terkait tempat hunian atau rumah tinggal sebagai tujuan utama
pembangunan rumah susun, yaitu:
1. Sebagai upaya pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak di suatu
lingkungan yang sehat;
2. Sebagai upaya untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras, dan
seimbang;
3. Sebagai upaya untuk meremajakan daerah-daerah kumuh (slums);
67
4. Sebagai upaya untuk mengoptimalkan sumber daya yang berupa tanah di
perkotaan;
5. Sebagai upaya untuk mendorong pembangunan pemukiman yang
berkepadatan tinggi.20
Walaupun tujuan utama pembangunan rumah susun adalah untuk tempat
hunian atau tempat tinggal, dalam prakteknya konsep rumah susun ini banyak
digunakan untuk kondotel yang memiliki tujuan utama bukan sebagai tempat
hunian atau rumah tinggal, melainkan sebagai hotel yang tidak dapat dihuni oleh
pemilik SHMSRS. Kepemilikan unit kondotel dibuktikan dengan SHMSRS,
namun pemilik tidak dapat tinggal di kondotel tersebut. Ia hanya mendapatkan
keuntungan hasil pengelolaan dari pengurus hotel berupa uang. Jadi pembelian
unit kondotel mirip dengan membeli saham kepemilikan hotel yang sama-sama
mendapat keuntungan hasil pengelolaan dari pengurus hotel. Hanya saja pada
kondotel kepemilikannya dibuktikan dengan SHMSRS.
1.2.1. Pertelaan dalam Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
Sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah yang diakui oleh negara.
Sertifikat dalam terminologi atau bahasa resmi hukum-hukum keagrariaan ditulis
”sertipikat”, dengan huruf p bukan f.21 Walaupun demikian dalam penelitian ini
akan tetap menggunakan kata ”Sertifikat” dengan huruf ”f” karena di dalam
peraturan perundang-undangan menggunakan kata ”Sertifikat” bukan
”Sertipikat”.
20Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar
Pemahaman, Bayumedia, Malang, hal. 22. 21Herman Hermit, 2004, Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik,
Tanah Negara dan Tanah Pemda, Mandar Maju, Bandung, hal. 29.
68
Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (Selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah) menjelaskan
bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf,
hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing
sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dengan demikan maka
sudah jelas pembuktian kepemilikan sarusun adalah dengan SHMSRS.
Dalam hal mengurus administrasi pertanahan, ditunjuk instansi pemerintah
yang diberikan kewenangan yaitu Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia (selanjutnya disebut BPN) sebagaimana ditentukan dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional (selanjutnya disebut Perpres No. 10 Tahun 2006).22 BPN adalah
Lembaga pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Perpres No. 10
Tahun 2006. BPN bertugas melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang
pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.
Tujuan dan fungsi dilakukannya pendaftaran peralihan hak atas tanah
menurut Adrian Sutedi adalah untuk memberikan kepastian hukum pemegang
hak atas suatu bidang tanah. Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan
dalam pendaftaran tanah ini meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian
subjek, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertipikat
22Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,
Kencana Predana Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso II),
hal. 213.
69
sebagai tanda bukti haknya.23 Demikian pula dengan pendaftaran sarusun
menjadi SHMSRS bertujuan dan berfungsi untuk memberikan kepastian hukum
kepada pemilik sarusun.
Menurut Herman Hermit, hak milik atas satuan rumah susun bukanlah
macam hak atas tanah, melainkan hak milik atas fisik satuan rumah susun, namun
tetap merupakan obyek pendaftaran tanah yang wajib disertifikatkan.24 Pendapat
ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 PP Pendaftaran Tanah yang sudah
dijabarkan di atas. Pensertifikatan hak milik satuan rumah susun tersebut
diperlukan untuk pembuktian hak yang dimiliki pemegang SHMSRS, sehingga
pemilik sarusun mendapat perlindungan hukum. Pensertifikatan satuan rumah
susun tidak hanya untuk bangunan rumah susun saja, melainkan juga untuk
bangunan bertingkat lainnya seperti kondominium/flat, ataupun gedung-gedung
bertingkat untuk bukan hunian seperti pertokoan dan gedung perkantoran berlaku
aturan-aturan seperti pada rumah susun.25 Hal ini menjelaskan bahwa
pembahasan perlindungan hukum pemilik sarusun dalam penelitian ini bukan
hanya sarusun yang bertujuan sebagai tempat hunian atau tempat tinggal saja
seperti yang diatur dalam UURS 20/2011, melainkan juga gedung pertokoan,
gedung perkantoran, dan kodominium seperti yang dikatakan Herman Hermit.
Terdapat 2 bagian utama yang ada pada sertifikat tanah hak milik yaitu
Buku Tanah dan Surat Ukur. Sedangakan pada SHMSRS ada 4 bagian utama
yang harus tertera didalamnya sesuai Pasal 47 ayat (3) UURS 20/2011 yaitu
23Adrian Sutedi, 2007, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya,
Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adrian Sutedi III), hal. 278. 24Herman Hermit, op.cit., hal 30. 25Ibid., hal. 31.
70
salinan buku tanah, salinan surat ukur atas hak tanah bersama, gambar denah
tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan satuan rumah susun
yang dimiliki, dan pertelaan/uraian mengenai besarnya hak pemilik atas bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang bersangkutan.
Hak milik satuan rumah susun adalah hak milik yang bersifat perseorangan
dan terpisah, yang termasuk juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dengan gedung rumah susun. Menurut Imam Kuswahyono sistem
pemilikan atas suatu gedung bertingkat dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Pemilikan tunggal (single ownership);
Pemilikan tunggal dilihat dari pemilikan tanah tempat gedung bertingkat itu
berdiri sehingga pemegang sertifikat juga merupakan pemilik gedung.
2. Pemilikan bersama (joint ownership).
Adapun sistem pemilikan bersama dibagi dua dengan melihat ada atau
tidaknya ikatan hukum yang lebih dulu ada diantara pemilik gedung
bertingkat itu, yaitu sebagai berikut:
a. Pemilik bersama yang terikat, yaitu adanya ikatan hukum lebih dahulu
antara pemilik. Dasar pengaturannya yaitu Permendagri No. 14 Tahun
1975.
b. Pemilikan bersama yang bebas, yaitu antara para pemilik tidak ada
hubungan hukum lebih dahulu selain hak bersama menjadi pemilik untuk
dipergunakan bersama. Dasar pengaturannya UURS juncto PP No. 4
Tahun 1988 tentang rumah susun. Sistem pemilikan bersama yang bebas
inilah yang dikenal sebagai condominium.26
Sejalan dengan pemikian Imam Kuswahyono, Eman Ramelan berpendapat
bahwa jika seseorang memiliki hak atas bagian dari bangunan bertingkat yang
dinamakan hak milik satuan rumah susun, maka ia memiliki dua jenis hak, yaitu:
1. Hak yang bersifat perorangan, yaitu hak milik atas bagian dari gedung itu
atau yang dinamakan sarusun; dan
26Imam Kuswahyono, 2004, Hukum Rumah Susun, Bayumedia
Publishing, Malang, hal. 12.
71
2. Hak yang bersifat kolektif, yaitu hak atas benda bersama, bagian bersama,
dan tanah bersama.27
Dengan adanya dua jenis hak sebagaimana pendapat dari Imam
Kuswahyono dan Eman Ramelan tersebut tentu ada bagian-bagian yang perlu
diperhitungkan atau diatur secara tegas, perhitungan tersebut disebut dengan
pertelaan. Menurut Eman Ramelan, dari pertelaan tersebut akan muncul satuan-
satuan rumah susun yang terpisah secara hukum dengan rumah susun dan hak
atas tanah bersamanya melalui proses pembuatan akta pemisahan.28 Dengan
demikian pertelaan sangat penting dalam sistem rumah susun karena disini titik
awal dimulainya proses terbitnya SHMSRS.
Baik UURS 16/1985, UURS 20/2011, maupun Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun tidak memberikan definisi dari
pertelaan secara jelas, namun ada beberapa pasal yang menyebut istilah pertelaan,
antara lain:
1. Pasal 9 ayat (2) huruf c UURS 16/1985 mengatur bahwa SHMSRS sebagai
tanda bukti hak milik atas sarusun terdiri atas pertelaan mengenai besarnya
bagian hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama yang
bersangkutan; kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
2. Pasal 30 UURS 20/2011 mengatur bahwa pelaku pembangunan setelah
mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3)
wajib meminta pengesahan dari pemerintah daerah tentang pertelaan yang
27Eman Ramelan, et. al., 2014, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Pembeli Satuan Rumah Susun / Strata Title / Apartemen, LaksBang Mediatama,
Yogyakarta, hal 1-2. 28Ibid. hal 10.
72
menunjukkan batas yang jelas dari setiap sarusun, bagian-bersama, benda-
bersama, dan tanah bersama beserta uraian NPP.
3. Pasal 31 ayat (4) UURS 20/2011 mengatur bahwa dalam hal pengubahan
rencana fungsi dan pemanfaatan rumah susun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan pengubahan NPP, pertelaannya harus mendapatkan
pengesahan kembali dari bupati/walikota.
4. Pasal 47 ayat (3) huruf c UURS 20/2011 mengatur bahwa SHMSRS sebagai
tanda bukti hak milik atas sarusun merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan yang terdiri atas pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.
(Pasal ini merupakan terusan dari Pasal 9 UURS 16/1985)
5. Pasal 48 ayat (2) huruf d UURS 20/2011 mengatur bahwa SKGB sarusun
sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik
negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan sewa terdiri atas
pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda
bersama yang bersangkutan.
6. Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah
Susun menerangkan bahwa akta pemisahan adalah tanda bukti pemisahan
rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk
gambar, uraian batas-batasnya dalam arah vertikal dan horizontal yang
mengandung nilai perbandingan proporsional.
73
Dari pasal-pasal di atas maka dapat disimpukan bahwa pertelaan adalah
uraian dalam bentuk gambar terhadap besarnya hak bersama yang termasuk di
dalamnya batas-batas dalam arah vertikal dan horizontal masing-masing sarusun
yang diterbitkan dan disahkan oleh bupati/walikota. Maka pertelaan harus dibuat
dengan benar, jelas, dan tidak saling tumpang tindih hak-hak nya agar
mengurangi kemungkinan terjadinya masalah dikemudian hari.
2.2.2. Hak Tanggungan dalam Rumah Susun
Hak tanggungan merupakan lembaga jaminan yang dibentuk berdasarkan
Pasal 51 UUPA yang menyatakan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan
pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam pasal 25,
33, dan 39 diatur dengan undang-undang. Maka diterbitkanlah UUHT pada tahun
1996 sehingga menghapus ketentuan pasal 57 UUPA yang menyatakan bahwa
selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum
terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek
tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan
Credietverband tersebut dalam Saatsblad 1908-542 sebagai yang telah diubah
dengan Staatsblad 1937-190. Dengan demikian maka Pasal 12 sampai dengan 17
UURS 16/1985 yang mengatur tentang pembebanan dengan hipotik dan fidusia
memang sudah layak untuk diganti mengikuti UUHT, namun UURS 20/2011
tidak mengganti, melainkan menghapus pasal-pasal tersebut sehingga tidak ada
pengaturan mengenai pembebanan tanah rumah susun.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini sebagaimana dalam buku yang ditulis oleh
Adrian Sutedi menyatakan bahwa ketentuan tentang Hypotheek dan
74
Credietverband itu tidak sesuai lagi dengan asas-asas hukum tanah nasional dan
dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam
bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dan kemajuan pembanguan
ekonomi.29 Pendapat tersebut berkaitan dengan Hypotheek dan Credietverband
berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang
berlaku sebelum berlakunya UUPA sehingga tidak sesuai lagi dengan asas-asas
hukum tanah di Indonesia. Begitu pula dengan UURS 16/1985 dalam rangka
penjaminan tanah rumah susun guna mendapatkan kredit konstruksi, karena terbit
sebelum adanya UUHT maka masih menggunakan hipotik jika tanahnya
merupakan tanah hak milik atau HGB dan fidusia jika tanahnya merupakan tanah
hak pakai atas tanah negara.
Hak tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah
untuk pelunasan suatu utang tertentu memiliki beberapa asas, yaitu:
1. Kedudukan yang diutamakan (Pasal 1 angka 1 UUHT)
Yang dimaksud pada asas ini adalah memerikan kedudukan yang diutamakan
(preferent) kepada krediturnya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang Hak
Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan dalam pelunasan piutangnya
daripada kreditor-kreditor lain atas hasil penjualan objek hak tanggungan.
2. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) UUHT)
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali
diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut
APHT). Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi
29Adrian Sutedi II, op.cit., hal 2.
75
objeknya dan setiap bagian daripadanya. Dengan demikian, jika debitur
membayar sebagian dari utangnya, maka pembayaran itu tidak serta merta
membebaskan sebagian dari benda yang dibebani Hak Tanggungan.
3. Hak Tanggunan adalah perjanjian tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1) jo.
Pasal 18 ayat (1) UUHT)
Hak Tanggunan adalah perjanjian tambahan atau ikutan pada perjanjian utang
piutang sebagai perjanjian pokok. Dengan demikian, hapusnya Hak
Tanggunan tergantung pada perjanjian pokoknya. Jika perjanjian utang
piutang sudah lunas maka berakhir pula perjanjian pokok tersebut, sehingga
Hak Tanggunan juga berakhir.
4. Asas selalu mengikuti objeknya (Pasal 7 UUHT)
Artinya walaupun pemilik objek Hak Tanggungan telah beralih kepada orang
lain, Hak Tanggungan yang ada tetep melekat pada objek tersebut dan tetap
mempunyai kekuatan mengikat.
5. Asas spesialitas dan publisitas (Pasal 13 UUHT)
Asas spesialitas maksudnya objek Hak Tanggungan harus disebutkan secara
tegas dan jelas mengenai letak, luas, batas-batas, dan bukti kepemilikkan
benda yang dibebani tersebut.
Asas publisitas artinya pembebanan Hak Tanggungan harus dapat diketahui
umum, oleh karena itu APHT harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
6. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap dan pasti.
76
Terdapat pengecualian pada asas hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi,
yakni apabila diperjanjikan lain dalam APHT. Diperjanjikan lain dalam hal ini
adalah memungkinkan dilakukannya roya partial sebagaimana diatur dalam SE-
BPN 1995 tentang Pelaksanaan Roya Partial. Surat Edaran tersebut terbit
berdasarkan penjelasan Pasal 16 UURS 16/1985 yakni penyesuaian dari
ketentuan Pasal 1163 KUHPdt yang berisi prinsip bahwa hipotik tidak dapat
dibagi-bagi. Roya partial merupakan kelembagaan hukum baru, untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, yang memungkinkan penyelesaian secara praktis terhadap
bagian benda apabila telah dilunasi sebagaian, sehingga dapat dipergunakan
untuk keperluan lainnya.
Dengan demikian apabila utang telah dilunasi sebagian, maka dapat
dilakukan roya partial, sepanjang objek jaminan terdiri dari beberapa bidang
tanah. Dalam rumah susun dapat pula dilakukan roya partial sesuai Pasal 16
UURS 16/1985. Pembebanan yang semula pada tanah dipindahkan ke masing-
masing SHMSRS, kemudian dilakukan roya partial untuk salah satu sarusun
sehingga sarusun tersebut bebas dari beban jaminan dan bisa dijual. Suatu
kemunduran hukum terjadi ketika UURS 20/2011 terbit, karena tidak lagi
mengatur hal-hal yang sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UURS 16/1985
sehingga menghapus dasar hukum terbitnya SE-BPN 1995 tentang Pelaksanaan
Roya Partial.
Hak tanggungan lahir karena adanya perjanjian utang piutang sebagai
perjanjian tambahan (accessoir). Tentunya hak tanggungan yang lahir tidaklah
77
abadi, karena itu hak tanggungan dapat berakhir. Pasal 18 ayat (1) UUHT
menjelaskan ada 4 (empat) sebab berakhirnya Hak Tanggungan, yaitu:
1. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
Hal ini terkait dengan kedudukan Hak Tanggungan adalah sebagai
perjanjian tambahan (accessoir) untuk menjamin terlaksananya perjanjian pokok
yakni perjanjian kredit. Maka logika-nya apabila perjanjian pokoknya berakhir
maka secara otomatis perjanjian tambahannya juga berakhir. Berakhirnya Hak
Tanggungan yang disebabkan oleh berakhirnya perjanjian pokoknya perlu
dipertegas lagi dengan pemeberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya
Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak
Tanggungan.
2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
Hal ini diatur untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT.
Pelepasan Hak Tanggungan dibuat dalam pernyataan tertulis mengenai
dilepaskannya Hak Tanggungan dari pemegang Hak Tanggungan kepada
pemberi Hak Tanggungan.
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
Berakhirnya Hak Tanggungan karena adanya pembersihan Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, hal
ini terjadi karena permohonan dari pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan. Pembeli objek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan
umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela
78
dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu
dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
Pembersihan tersebut dilakukan dengan pernyataan tertulis dari pemegang Hak
Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan yang melebihi harga
pembelian. Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak
Tanggungan dan para kreditur tidak menemukan suatu kesepakatan mengenai
pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi hak pembelian,
maka pembelian benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melihat letak objek Hak Tanggungan
yang bersangkutan untuk menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil
penjualan lelang di antara para kreditur.
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Dengan hapusnya hak atas tanah sebagai objek Hak Tanggungan, maka
tanah tersebut kembali dalam kekuasaan negara. Adapun sebab-sebab yang
memungkinkan hapusnya hak atas tanah, yaitu:
a. Jangka waktu hak atas tanah berakhir;
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir;
c. Karena suatu syarat batal dipenuhi;
d. Dicabut untuk kepentingan umum;
e. Tanahnya musnah; dan
f. Dilepaskan dengan sukarela oleh yang mempunyai hak atas tanah.30
Adapun hak-hak atas tanah yang memiliki jangka waktu adalah Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Penghentian sebelum jangka waktu disini
dapat disebabkan oleh pemegang hak atas tanah melakukan wanprestasi selama
30Adrian Sutedi II, op.cit., hal. 82.
79
diberikannya hak atas tanah oleh pemilik hak yang utama. Pemilik hak yang
utama dalam hal ini yaitu pemegang Hak Milik, Hak Pengelolaan, atau Negara.
Dengan hapusnya hak atas tanah sehingga menyebabkan hapusnya Hak
Tanggungan tidak serta merta menghapuskan perjanjian pokoknya yakni
perjanjian kredit. Yang membedakan hanya kreditur yang semula sebagai
kreditur preferen menjadi kreditur konkuren.
Pelaksanaan penghapusan Hak Tanggunan dilakukan dengan pencoretan
catatan atau roya Hak Tanggungan. Hal ini dilakukan demi peningkatan tertib
administrasi. Mengenai prosedur pencoretan Hak Tanggungan secara tegas diatur
dalam Bab VI Pasal 22 UUHT. Roya hak tanggungan juga dapat dilakukan secara
partial atau sebagian sebagaimana diatur dalam SE-BPN 1995 tentang
Pelaksanaan Roya Partial.
2.3. Asas-asas Pokok Hukum Kontrak
Menurut Peter Mahmud Marzuki aturan-aturan hukum yang menguasai
kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada
asas-asas hukum yang secara umum.31 Dari pendapat tersebut maka asas-asas
hukum merupakan suatu landasan berfikir yang bersifat sangat umum menjadi
dasar ideologis dalam aturan-aturan hukum. Beberapa asas hukum bersifat
abstrak atau samar-samar sehingga memerlukan upaya yang lebih besar untuk
dapat dipahami dan diuraikan secara jelas. Asas hukum merupakan sumber dari
31Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak,
Yuridika, Surabaya, hal. 196. (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki III)
80
sistem hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial
masyarakat.
Menurut Agus Yudha Hernoko asas hukum sebagai landasan norma seperti
alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada
akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya.32
Sehingga apabila ada aturan-aturan yang dianggap bertentangan dengan asas-asas
hukum maka norma tersebut harus diperbaiki. Dalam sub bab ini khusus
membahas asas-asas hukum yang lebih spesifik pada asas-asas pokok hukum
kontrak, karena penelitian ini lebih membahas mengenai peralihan hak dengan
perjanjian jual-beli maka harus mengedepankan asas-asas pokok hukum kontrak.
Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan
untuk memindahkan hak atas tanah. Menurut Urip Santoso dalam bukunya
“Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah”, beralihnya hak milik atas tanah artinya
berpindahnya hak milik atas tanah dikarenakan suatu peristiwa hukum, yaitu
peralihan hak milik atas tanah berdasarkan pewarisan. Sedangkan dialihkannya
hak atas tanah artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik kepada
pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum misalnya jual beli. 33
Dengan demikian dapat dianalisis bahwa peralihan hak atas tanah dapat terjadi
karena beralih ataupun dialihkan.
32Agus Yudha Hernoko, 2013, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, hal. 103. 33Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Predana
Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso III), hal. 91-92
81
Peralihak hak karena hak tersebut dialihkan terjadi karenan adanya suatu
perjanjian atau kontrak. Adapun yang menjadi asas-asas pokok hukum kontrak
sudah tersirat dalam KUHPerdata, antara lain:
1. Asas Kebebasan Berkontrak;
2. Asas Konsesualisme;
3. Asas Proporsionalitas;
4. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda);
5. Asas Itikad Baik.
Asas-asas tersebut di atas diurutkan sesuai dengan tahap pembuatan perjanjian
dari menentukan hal yang diperjanjikan secara bebas, kemudian ada kata sepakat,
lalu disusun perjanjian dengan seimbang atau tidak memberatkan salah satu
pihak, sampai dengan daya mengikatnya suatu kontrak. Asas itikad baik penulis
tempatkan dipaling akhir bukan karena yang paling tidak penting, justru malah
asas itikad baik-lah yang paling penting untuk dilakukan sejak sebelum terjadinya
kontrak sampai pelaksanaan kontrak. Itikad baik menurut penulis merupakan asas
yang paling mendasar untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu tindakan awal dalam kontrak yang
menentukan hal-hal yang akan diperjanjikan dalam klausul-klausul kontrak.
Meskipun asas ini tidak dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, namun
mempunyai pengaruh yang kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
82
Pasal tersebut disimpulkan Subekti sebagai asas kebebasan berkontrak dengan
menekankan pada kata “semua” yang ada sebelum kata “perjanjian”. Ia
mengatakan bahwa Pasal 1338 KUHPerdata seolah-olah kita diperbolehkan
membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat sebagaimana Undang-
Undang.34 Dari pendapat tersebut terlihat bahwa asas kebebasan berkontrak
tersirat dalam peraturan perundang-undangan. Asas kebeabsan berkontrak
memperbolehkan para pihak menentukan secara bebas kehendaknya untuk
diperjanjikan asalkan tidak melanggar ketentuan yang berlaku.
Dengan demikian asas kebebasan berkontrak adalah bebas bersyarat,
sehingga tidaklah bebas sebebas-bebasnya karena masih ada hal-hal yang
dilarang. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan untuk membuat kontrak
sebagaimana diatur dalam KUHPerdata antara lain sebagai berikut:
- Pasal 1320, mengenai syarat sahnya perjanjian;
- Pasal 1335, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa sebab atau dibuat
berdasrkan sebab yang palsu;
- Pasal 1337, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila
terlarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum;
- Pasal 1338, yang menekankan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan
itikad baik;
- Pasal 1339, mengenai terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan
dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud pasal ini bukanlah kebiasaan
34 R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 5.
83
setempat, melainkan ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu
(kalangan hukum adat) selalu diperhatikan.
Dengan adanya pengaturan tersebut maka asas kebebasan berkontrak ada rambu-
rambu yang perlu diperhatikan yaitu syarat-syarat sahnya kontrak; menentukan
sebab berkontrak untuk mencapai tujuan para pihak; suatu sebab bukan
merupakan sebab palsu atau sebab yang dilarang; tidak bertentangan dengan
kepatutan, kebiasaan, kesusilaan, dan ketertiban umum; dan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
2. Asas Konsensualisme
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Istilah secara sah artinya perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sah-
nya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga
perjanjian tersebut mengikat. Dengan demikian, suatu perjanjian agar dapat
mengikat para pihak harus memenuhi syarat-syarat pada Pasal 1320 KUHPerdata
yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebeb yang halal.
Dalam syarat-syarat tersebut tercantum syarat sepakat yang merupakan
perwujudan dari asas konsensualisme. Asas ini mengandung kehendak para pihak
yang disimpulkan dengan kata sepakat untuk saling mengikatkan dirinya dan
84
menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak dalam pemenuhan
perjanjian.
Asas konsensualisme mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan
berkontrak dan asas kekuatan mengikat sehingga dapat dianalisis bahwa Pasal
1338 dan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan perwujudan dari asas
konsensualisme. Sehingga pelanggaran terhadap ketentuan ini akan
mengakibatkan perjanjian menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai
undang-undang. Menurut Rutten sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko
menyatakan bahwa perjanjian itu dibuat pada umumnya bukan secara formal
tetapi secara konsensual.35 Maka perjanjian adalah mengikat setelah ada kata
sepakat karena persesuaian kehendak atau konsensus.
3. Asas Proporsionalitas
Asas Proporsionalitas sering disamakan dengan asas keseimbangan, namun
menurut Agus Yudha Hernoko pengertian asas keseimbangan lebih abstrak
pemahamannya dibandingkan asas proporsionalitas.36 Ia merangkum beberapa
pendapat sarjana tentang asas keseimbangan antara lain Sutan Remy Sjahdeini,
Mariam Darus Badrulzaman, Sri Gambir Melati Hatta, dan Ahmadi Miru yakni
secara umum memberi makna asas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi
para pihak yang berkontrak. Dengan demikian, apabila terjadi ketidakseimbangan
posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi
dari pemerintah.37 Dari pemikiran tersebut maka daya kerja asas keseimbangan
35Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 121. 36Agus Yudha Hernoko, op.cit. hal. 79. 37Agus Yudha Hernoko, loc.cit.
85
yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa
dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen. Mengingat dalam
perspektif perlindungan konsumen terdapat ketidaksamaan posisi tawar antara
pihak konsumen dan produsen. Sehingga konsumen berada pada posisi lemah
dalam proses pembentukan kontrak.
Berkaitan dengan penelitian ini, calon pembeli sarusun adalah sebagai
konsumen dalam perjanjian jual beli perlu diberdayakan dan diseimbangkan
posisi tawarnya. Maka dalam asas keseiumbangan yang bermakna equal
equilibrium akan memberikan keseimbangan apabila terjadi posisi tawar yang
tidak seimbang dalam menentukan kehendak. Dengan demikian diperlukan peran
pemerintah sebagai pemegang otoritas negara dalam membentuk peraturan yang
dapat mensejajarkan posisi tawar konsumen dan produsen terutama dalam bidang
rumah susun.
Sebagaimana pendapat Agus Yudha Hernoko pada awal sub bab ini
menyatakan asas keseimbangan lebih abstrak dengan asas proporsionalitas. Hal
tersebut karena yang dimaksud asas proporsionalitas menurutnya asumsi
kesetaraan posisi para pihak yakni dengan terbukanya peluang negosisasi serta
aturan main yang fair atau adil menunjukkan bekerjanya mekanisme pertukaran
hak dan kewajiban yang proporsional.38 Sehingga pada dasarnya asas
proporsionalitas merupakan perwujudan dari keadilan berkontrak yang
mendominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru
menimbulkan ketidakadilan.
38Agus Yudha Hernoko, op.cit., hal. 95.
86
4. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Daya mengikat kontrak dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1338
KUHPerdata yaitu bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa
undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam
kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang. Walaupun demikian terdapat
batas tertentu antara kontrak dan undang-undang, yaitu terkait pada daya
berlakunya. Undang-undang dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan
mengikat untuk semua orang secara abstrak. Sedangkan daya berlaku kontrak
terbatas pada para pihak yang mengikatkan diri, selain itu kontrak bermaksud
untuk mengatur hal-hal konkret.
Para pihak yang saling mengikat diri dalam suatu perjanjian dapat secara
mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum diantara mereka. Perjanjian yang
dibuat secara sah (vide Pasal 1320 KUHPerdata) berlaku seperti halnya undang-
undang yang dibuat oleh legislator, maka harus ditaati oleh para pihak, bahkan
jika perlu dapat dipaksakan dengan bantuan sarana penegakan hukum.
Daya mengikat suatu kontrak sebagaimana dijelaskan diatas tidaklah
mengikat sepenuhnya tanpa ada batas-batas dalam situasi tertentu. Menurut
Niewenhuis sebagaimana dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, menyatakan bahwa
kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan
berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada para pihak,
namun pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi oleh 2 (dua) hal, yaitu:
87
1. Daya mengikat perjanjian itu dibatasi oleh itikad baik sebagaimana diatur
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bahwa perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan itikad baik;
2. Adanya force majeure atau overmacht (keadaan memaksa) juga membatasi
daya mengikatnya perjanjian terhadap para pihak saling mengikatkan diri
tersebut. Pada dasarnya suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak,
apabila tidak dipenuhi makan akan timbul wanprestasi dan bagi kreditor
memiliki hak untuk mengajukan gugatan, baik ganti rugi atau pembatalan
perjanjian. Dengan adanya force majeure atau overmacht, maka gugatan
kreditor akan dikesampingkan mengingat ketiadaan prestasi tersebut terjadi di
luar kesalahan debitur (vide Pasal 1444 KUHPerdata).
5. Asas Itikad Baik
Asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas proporsionalitas, dan
asas daya mengikatnya perjanjian sebagaimana diuraikan di atas tidaklah berdiri
dalam kesendiriannya, asas-asas tersebut berada dalam suatu sistem yang terpadu
dan ketentuan-ketentuan lainnya. Mengenai daya mengikatnya perjanjian berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt servanda),
pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi, salah satunya dengan itikad baik.
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Sedangkan mengenai apa yang dimaksud
dengan itikad baik (goede trouw; good faith) tidak ada suatu definisi yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yang dimaksud dengan ‘itikad’ adalah kepercayaan, keyakinan yang
88
teguh, maksud, kemauan (yang baik). Dalam Black’s Law Dictionary
merumuskan:
“Good faith is an intangible and abstract quality with no technical meaning
or statutory definition, and compasses, among other things, an honest
belief, the absence of malice and the absence of design to defraud or to seek
an unconscionable advantage, and an individual’s personal good faith is
concept of his own mind and inner spirit and, therefore, may not
conclusively be determinded by his protestation alone…… In common
usage this term is ordinarily used to describe that state of mind denoting
honestly of purpose, freedom from intentioan to defraud, and generally
speaking, means being faithful to one’s duty or obligation.”
Dari pengertian tersebut itikad baik merupakan sesuatu yang menjiwai para pihak
untuk tidak memanfaatkan suatu kondisi yang menguntungkannya dengan
merugikan pihak lain, melainkan mencari keuntungan yang wajar tanpa ada pihak
lain yang merasa dirugikan. Asas itikad baik ini tidak terlihat tetapi dapat
dirasakan, sehingga tidak bisa dirumuskan secara konkret dalam suatu peraturan
perundang-undangan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, itikad baik dibagi menjadi 2 (dua) macam,
yaitu:
1. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad
baik dalam hal ini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang
bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk memulai hubungan hukum
sudah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan
kepada pihak yang beritikad baik, sedangkan bagi pihak yang beritikad
tidak baik (te kwader trouw) harus menanggung jawab dan menanggung
resiko. Itikad baik semacam ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1977
dan Pasal 1963 KUHPerdata, yaitu terkait dengan salah satu syarat untuk
89
memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini
bersifat subyektif dan statis.
2. Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang termaktub dalam hubungan hukum. Pengertian itikad baik semacam
ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah
sifat obyektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya.
Titik berat itikad baik dalam hal ini terletak pada tindakan yang akan
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan
suatu hal.39
Beranjak dari pendapat tersebut maka pengertian itikad baik menurut Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata dengan ketentuan Pasal 1963 dan Pasal 1977
KUHPerdata hendaknya dibedakan. Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338
ayat (3) KUHPerdata diberikan batasan dalam arti obyektif – dinamis, sedangkan
pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 dan Pasal 1977 KUHPerdata diberikan
batasan arti subyektif – statis.
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah asas itikad baik yang tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata karena lebih mengkhusus pada itikad
baik dalam suatu perjanjian. Mengingat permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana perlindungan hukum pemilik sarusun yang berada di atas tanah
bersama yang dibebankan hak tanggungan, maka asas itikad baik penulis
pandang perlu diterapkan dalam tahap pembuatan hingga pelaksanaan perjanjian
pengikatan jual beli.
39Wirjono Prodjodikoro, 1992, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur,
Bandung, hal. 56-62.
90
Itikad baik dalam Pasal tersebut bersifat dinamis artinya dalam
melaksanakan hak dan kewajiban dalam perjanjian, kejujuran harus dalam hati
sanubari seorang manusia. Sehingga selalu mengingat bahwa manusia sebagai
anggota masyarakat tidak boleh merugikan pihak lain apalagi menuangkannya
dalam suatu perjanjian. Kedua belah pihak juga tidak boleh memanfaatkan
kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri. Begitu juga dengan
pengembang rumah susun dalam menjual sarusun yang dibuatnya dilarang untuk
memanfaatkan ketidaktahuan calon pembeli untuk mencari keuntungan.
Walaupun sebenarnya ia tidak melanggar suatu peraturan, namun ia tidak
mengindahkan asas itikad baik yang berlaku.