bab ii pemahaman matematis, komunikasi matematis...
TRANSCRIPT
15
BAB II
PEMAHAMAN MATEMATIS, KOMUNIKASI MATEMATIS, DISPOSISI
MATEMATIS, DAN MODEL-ELICITING ACTIVITIES
A. Pemahaman Matematis
Dalam proses pembelajaran matematika, pemahaman matematis
merupakan bagian yang sangat penting. Pemahaman matematis merupakan
landasan penting untuk berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
matematika maupun persoalan-persoalan di kehidupan sehari-hari.
Mengembangkan kemampuan pemahaman matematik, di samping karena sudah
merupakan salah satu tujuan dalam kurikulum, kemampuan tersebut sangat
mendukung pada kemampuan-kemampuan matematis lain, yaitu komunikasi
matematis, penalaran matematis, koneksi matematis, representasi matematis dan
problem solving.
Pemahaman merupakan aspek kemampuan yang termasuk ke dalam
Cognitive Domain (ranah kognitif). Ranah kognitif berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan
berfikir. Pemahaman dalam mempelajari matematika ada beberapa macam.
Skemp (1976) membagi pemahaman ke dalam 2 jenis yaitu:
a. Pemahaman instrumental: hafal sesuatu secara terpisah atau dapat
menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/ sederhana, mengerjakan sesuatu
secara algoritmik saja.
16
b. Pemahaman relasional: dapat mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya secara
benar dan menyadari proses yang dilakukan.
Sejalan dengan pendapat Skemp, Van Hille (1986) menyatakan bahwa
pemahaman matematis adalah:
1. Sebuah proses yang dibangun dari skema sebelumnya yang memuat konsep-
konsep dan jaringan hubungan antara konsep-konsep tersebut.
2. Sebuah proses yang dibangun dengan menggunakan multiple representasi
dalam lima tahap berfikir individu yaitu pengenalan, analisis, pengurutan,
deduksi dan keakuratan.
Ruseffendi (1991) menyatakan ada 3 macam pemahaman yaitu:
a. Pengubahan (translation) misalnya mengubah soal kata-kata ke dalam simbol
dan sebaliknya.
b. Pemberian arti (interpretation) misalnya mampu mengartikan suatu
kesamaan.
c. Pembuatan ekstrapolasi (extrapolation) misalnya mampu memperkirakan
suatu kecenderungan dari diagram.
Sumarmo (2002), membedakan 4 level pemahaman yaitu:
a. Pemahaman mekanikal: dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara
rutin atau perhitungan sederhana
b. Pemahaman induktif: dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan
tahu bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa.
c. Pemahaman rasional: dapat membuktikan kebenaran sesuatu.
17
d. Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-
ragu, sebelum menganalisis secara analitik.
Ada beberapa aspek yang dapat mengembangkan pemahaman matematis
menjadi lebih baik. Aspek tersebut meliputi assesment, kontrol dan
keseimbangan. Bloom (1956) berpendapat bahwa assesment dari berbagai level
berfikir dapat mengembangkan pemahaman matematis. Hal ini dapat dilakukan
dengan meminta siswa menjelaskan sebuah konsep dengan bahasanya sendiri
yang akan membantu siswa tersebut mengorganisasikan skemanya sendiri. Selain
itu pemberian masalah aplikasi yang konstektual dapat membantu siswa mengolah
pentransferan konsep.
Schoenfeld (1992) mengatakan bahwa kontrol merupakan aspek dari
pemahaman matematis, kontrol digambarkan sebagai pencarian dan penyeleksian
pendekatan yang tepat dari berbagai pilihan pendekatan dalam proses pemecahan
masalah. Seorang siswa yang memiliki kontrol yang baik memilih berbagai
bagian skematik yang ada untuk memecahkan suatu masalah. Dari satu bagian
skematik, siswa dapat menentukan bagian skematik lainnya dalam sebuah teknik
yang efisien atau sebuah transfer konsep baru. Kelenturan dalam memilih mana
skema yang cocok dan mana yang tidak cocok merupakan bentuk dari
pemahaman matematis.
Kemampuan pemahaman matematis memiliki indikator tertentu. NCTM
(1989) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsep matematika dapat dilihat
dari: (1) Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan; (2) Mengidentifikasi
membuat contoh dan bukan contoh; (3) Menggunakan model, diagram dan
18
simbol-simbol untuk merepresentasikan suatu konsep; (4) Mengubah suatu bentuk
representasi ke bentuk lainnya; (5) Mengenal berbagai makna dan interpretasi
konsep; (6) Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang
menentukan suatu konsep; (7) Membandingkan dan membedakan konsep-
konsep.
Berbeda dengan pemahaman pada umumnya, pemahaman matematis
diantaranya didasarkan pada konsep skema dari Dubinsky dan McDonald (2001).
Skemp berpendapat bahwa skema menentukan struktur yang berperan dalam
proses-proses dan pengatahuan seseorang serta memfasilitasi hubungan di antara
pengetahuan tersebut. Ketika kita mempelajari matematika kita memiliki skema
melalui proses asimilasi dan merekonstruksi sementara skema melalui proses
akomodasi. Dubinsky berpendapat bahwa skema harus diinterelasikan dalam
suatu hal yang besar yaitu suatu organisasi yang kompleks. Pemahaman
matematis terjadi ketika hubungan antara konsep-konsep terbentuk, dan
sebaliknya akan menjadi sebuah kesulitan yang besar jika hubungan antara konsep
tersebut berdiri sendiri-sendiri.
Sponsel (2003) berpendapat bahwa pemahaman matematis juga dapat
ditingkatkan melalui adanya:
a. Keseimbangan antara abstraksi dan konstektualisasi. Pembelajaran akan
terjadi dengan baik jika terdapat kombinasi antara pembelajaran konsep
abstrak dengan ilustrasi konkrit yang dapat memotivasi dan mendorong
transfer proses kognitif siswa.
19
b. Keseimbangan antara eksplorasi dan latihan. Siswa akan mengingat lebih
lama informasi yang dikonstruksinya sendiri secara aktif daripada yang
diterimanya secara pasif, tetapi mereka pun dapat mengingat informasi
dengan baik jika informasi itu disajikan dengan baik pula.
c. Keseimbangan antara bekerja secara individual dan kelompok. Bekerja secara
berkelompok mungkin cocok untuk aspek tertentu dari suatu kompetensi,
tetapi tidak efisien untuk melatih aspek keahlian yang lain.
Alfeld (2004) menyatakan bahwa seorang siswa dikatakan sudah memiliki
kemampuan pemahaman matematis jika ia sudah dapat melakukan hal-hal berikut
ini:
a. Menjelaskan konsep-konsep dan fakta-fakta matematika dalam istilah
konsep dan fakta matematika yang ia telah miliki.
b. Dapat dengan mudah membuat hubungan logis di antara konsep dan fakta
yang berbeda tersebut.
c. Menggunakan hubungan yang ada ke dalam sesuatu hal yang baru (baik di
dalam atau di luar matematika) berdasarkan apa yang ia ketahui.
d. Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang ada dalam matematika sehingga
membuat segala pekerjaannya berjalan dengan baik.
Mengingat betapa pentingnya kemampuan pemahaman dalam belajar
matematika, maka ada beberapa hal yang dianjurkan kepada siswa dalam belajar
matematika. Alfeld (2004) menganjurkan hal-hal sebagai berikut:
a. Selalu berusaha dengan sekuat tenaga untuk memahami konsep matematika
dan tidak hanya sekedar menghafalnya saja.
20
b. Jika kamu sudah kembali ke rumah pelajari kembali materi yang diajarkan di
sekolah. Jangan biarkan apa yang tidak kamu pahami lewat begitu saja,
karena dari hal yang tidak kamu pahami tersebut pemahaman barumu
terbentuk.
c. Jika kamu harus membaca 1000 halaman buku dan 1 halaman pertama
menghabiskan 1 hari untuk memahaminya, tidak berarti kamu harus
menghabiskan 1000 hari untuk membaca seluruh halaman buku tersebut.
Karena jika kamu memahami dengan baik halaman-halaman awal maka
halaman berikutnya akan lebih mudah untuk dipahami.
d. Bacalah pokok-pokok materi sebelum kamu memasuki kelas, karena akan
membuatmu belajar lebih efektif saat di dalam kelas.
e. Kerjakan latihan-latihan yang lebih bervariasi dan menantang, dan tidak
hanya mengerjakan soal yang ditugaskan guru saja.
f. Selalu periksa jawabanmu sehingga penyelesaian yang kamu peroleh benar-
benar masuk akal.
g. Ketika kamu mengerjakan sebuah soal dan menemukan sebuah kasus yang
menarik perhatianmu, maka kasus tersebut dapat membuatmu menyadari
sesuatu atau mengajarkanmu sesuatu yang baru.
h. Temukanlah suasana kelas yang membuatmu dapat bertukar pikiran dan
saling membantu kesulitan belajarmu satu sama lain dan gunakanlah selalu
kemajuan teknologi untuk meningkatkan pemahamanmu.
21
Sebagai ilustrasi berikut disajikan salah satu contoh soal pemahaman
matematis:
Tanah milik Pak Aman berbentuk seperti gambar di bawah ini, Sudut BDA = θ , BD = CD dan panjang AB = a satuan. Dari situasi tersebut kamu diminta untuk menyatakan panjang BC dalam a dan θ .
a. Konsep-konsep matematika apa yang dapat kamu gunakan untuk menyelesaikannya?
b. Tuliskan pengertian dari konsep-konsep matematika tersebut dengan bahasamu sendiri.
c. Tuliskan langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah tersebut d. Berdasarkan langkah-langkah yang kamu buat pada bagian c, selesaikan
masalah tersebut.
Pada soal bagian a siswa diminta untuk menentukan konsep-konsep yang
terkandung dalam soal tersebut. Kemudian dapat dinilai pemahaman siswa
tersebut pada soal bagian b dimana siswa mengemukakan pengertian konsep-
konsep tersebut dengan bahasanya sendiri. Setelah itu pada bagian c dan d kita
dapat melihat proses model-eliciting activities siswa untuk mengaplikasikan
konsep-konsep tersebut dalam menyusun langkah-langkah penyelesaian masalah
sehingga pada akhirnya dapat menentukan solusi dari masalah tersebut.
B. Komunikasi Matematis
Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling
menyampaikan pesan yang berlangsung dalam suatu komunitas dan konteks
22
budaya. Konsep komunikasi merupakan prinsip pertama dalam pengajaran dan
pembelajaran (Cole & Chan, 1994). Artinya salah satu keberhasilan program
belajar- mengajar diantaranya adalah bergantung pada bentuk komunikasi yang
digunakan oleh guru, pada saat ia berinteraksi dengan siswa. Menurut Abdulhak
(2001), komunikasi dimaknai sebagai suatu proses penyampaian pesan dari
pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu untuk tujuan
tertentu. Dalam ilmu komunikasi dikenal tiga bentuk komunikasi yaitu
komunikasi linier yang sering disebut juga dengan komunikasi satu arah (one-way
communication), komunikasi relational dan interaktif yang disebut dengan ”Model
Cybernetics”, dan komunikasi konvergen yang bercirikan multi arah.
Komunikasi linier misalnya, sangat berpengaruh pada konsep mengajar.
Peristiwa ini berlangsung antara pengajar dan peserta belajar secara satu arah
(transfer of knowledge). Guru dipandang sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai
penerima aksi. Selain itu ”Model Cybernetics” juga mempengaruhi konsep
interaksi pembelajaran. Dalam konteks pendidikan, komunikasi relasional ini
sudah melibatkan peran aktif antara guru dan siswa, walaupun peran guru tetap
dominan, selain sebagai sumber utama juga berperan sebagai fasilitator yang
dilakukan secara klasikal.
Dalam konteks pembelajaran matematika yang berpusat pada siswa,
pemberi pesan tidak terbatas oleh guru saja melainkan dapat dilakukan oleh siswa
maupun media lain, sedangkan unsur dan pesan yang dimaksud adalah konsep-
konsep matematika, dan cara menyampaikan pesan dapat dilakukan baik melalui
lisan maupun tulisan.
23
Komunikasi dalam pembelajaran matematika yang ingin diterapkan dalam
studi ini adalah komunikasi yang bersifat konvergen, karena mengandung unsur
koperatif. Salah satu manfaat pembelajaran koperatif ini adalah terjadinya sharing
process antar peserta belajar, sehingga diharapkan dapat mewujudkan pemahaman
bersama di antara mereka. Bentuk sharing ini dapat berupa curah pendapat, saran
kelompok, kerjasama dalam kelompok, presentasi kelompok dan feedback dari
guru sehingga dapat meningkatkan kemempuan mereka dalam
mengkomunikasikan baik lisan maupun tulisan. Berikut petikan para pakar
mengenai pengertian, prinsip, dan standar komunikasi matematis.
NCTM (1989) mengemukakan bahwa standar kurikulum, matematika
sebagai alat komunikasi (mathematics as communication) untuk siswa kelas 9- 12
(SMU) adalah dapat: (1) mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka
tentang ide matematik dan hubungannya, (2) merumuskan definisi matematik dan
membuat generalisasi yang diperoleh melalui investigasi, (3) mengungkapkan ide
matematik secara lisan dan tulisan, (4) menyajikan matematika yang dibaca dan
ditulis dengan pengertian, (5) menjelaskan dan mengajukan pertanyaan yang
dihubungkan pada matematika yang telah mereka baca atau dengar dan, (6)
menghargai nilai ekonomis, kekuatan, dan keindahan notasi matematika, serta
peranannya dalam mengmbangkan ide/ gagasan matematik. Selanjutnya standar
evaluasi untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa kelas 9- 12
(NCTM,1989) adalah kemampuan : (1) menyatakan ide matematika dengan
berbicara, menulis, demonstrasi, dan menggambarkannya dalam bentuk visual, (2)
memahami, menginterpretasi, dan menilai ide matematik yang disajikan dalam
24
tulisan, lisan atau bentuk visual, (3) menggunakan kosa kata/bahasa, notasi dan
struktur matematik untuk menyajikan ide, menggambarkan hubungan, dan
pembuatan model.
Dengan demikian, komunikasi matematis dapat terjadi ketika siswa belajar
dalam kelompok, ketika siswa menjelaskan tentang algoritma, untuk
memecahkan suatu persamaan, ketika siswa menyajikan cara unik untuk
memecahkan masalah, ketika siswa mengkonstruk dan menjelaskan suatu
representasi grafik terhadap fenomena dunia nyata, atau ketika siswa memberikan
suatu konjektur tentang gambar- gambar geometri (NCTM,1991).
Menurut Baroody (1993) terdapat lima aspek komunikasi, kelima aspek itu
adalah:
(1) Representasi diartikan sebagai bentuk baru dari hasil translasi suatu masalah
atau idea, atau translasi suatu diagram dari model fisik ke dalam simbol atau
kata-kata (NCTM, 1989). Misalnya bentuk perkalian ke dalam model
kongkrit, suatu diagram ke dalam bentuk simbol. Representasi dapat
membantu anak menjelaskan konsep atau idea dan memudahkan anak
mendapatkan strategi pemecahan. Selain itu dapat meningkatkan fleksibelitas
dalam menjawab soal matematika (Baroody, 1993). Ada beberapa bentuk
representasi matematik yang dapat digunakan dalam menyelesaikan soal
matematika, antara lain melalui: grafik/gambar (drawing), persamaan aljabar
(math expression), dan dengan kata-kata (written texts).
(2) Mendengar (listening), dalam proses diskusi aspek mendengar salah satu
aspek yang sangat penting. Kemampuan siswa dalam memberikan pendapat
25
atau komentar sangat terkait dengan kemampuan dalam mendengarkan topik-
topik utama atau konsep esensial yang didiskusikan. Siswa sebaiknya
mendengar dengan hati-hati manakala ada pertanyaan dan komentar dari
temannya. Mendengar secara hati-hati terhadap pertanyaan teman dalam
suatu grup juga dapat membantu siswa mengkonstruksi lebih lengkap
pengetahuan matematika dan mengatur strategi jawaban yang lebih efektif.
(3) Membaca (reading), kemampuan membaca merupakan kemampuan yang
kompleks, karena di dalamnya terkait aspek mengingat, memahami,
membandingkan, menemukan, menganalisis, mengorganisasikan, dan
akhirnya menerapkan apa yang terkandung dalam bacaan.
(4) Diskusi (discussing), merupakan sarana bagi seseorang untuk dapat
mengungkapkan dan merefleksikan pikiran-pikirannya berkaitan dengan
materi yang diajarkan. Beberapa kelebihan dari diskusi antara lain: (a) dapat
mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan
strategi, (b) membantu siswa mengkonstruksi pemahaman matematik, (c)
menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahkan
masalah sendiri-sendiri tetapi membangun idea bersama pakar lainnya dalam
satu tim, dan (d) membantu siswa menganalisis dan memecahkan masalah
secara bijaksana.
(5) Menulis (writing), kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk
mengungkapkan dan merefleksikan pikiran, dipandang sebagai proses
berpikir keras yang dituangkan di atas kertas. Menulis adalah alat yang
26
bermanfaat dari berpikir karena siswa memperoleh pengalaman matematika
sebagai suatu aktivitas yang kreatif.
Kemudian Greenes dan Schulman (1996) menambahkan, komunikasi
matematis merupakan (1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep
dan strategi, (2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan
penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika, (3) wadah bagi siswa
dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, berbagi
pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk
meyakinkan yang lain. Sullivan dan Mousley (1996) mempertegas bahwa
komunikasi matematis bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi
lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan,
menggambarkan, mendengar, menanyakan, klarifikasi, bekerjasama (sharing),
menulis dan akhirnya melaporkan apa yang telah dipelajari.
Schoen, Bean dan Ziebarth (1996) mengemukakan bahwa komunikasi
matematis adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan
cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan
menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat,
persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan
dugaan tentang gambar-gambar geometri.
Kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa
dilakukan, dimana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan,
mengambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat
membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Dalam
27
hal ini kemampuan komunikasi dipandang sebagai kemampuan siswa
mengkomunikasikan matematika yang dipelajari sebagai isi pesan yang harus
disampaikan.
Pandangan lain matematika dipandang sebagai alat komunikasi (bahasa
matematika) dalam arti matematika sebagai bahasa simbol yang terlukis dalam
proses simbolisasi dan formulasi yaitu mengubah pernyataan kedalam bentuk
rumus, simbol atau gambar. Esty dan Teppo (1996), mengemukakan bahwa
bahasa simbol adalah alat untuk mengkomunikasikan dan mempresentasikan
konsep, struktur dan hubungan dalam matematika. Sumarmo (2000)
mengemukakan bahwa, salah satu hakekat matematika itu adalah sebagai bahasa
simbol. Bahasa simbol mengandung makna bahwa matematika bersifat universal
dan dapat dipahami oleh setiap orang kapan dan dimana saja. Setiap simbol
mempunyai arti yang jelas, dan disepakati secara bersama oleh semua orang.
Sebagai contoh simbol ‘5’ , operasi ≤ , × , U , dan L = 4π R2 berlaku secara
nasional di setiap jenjang sekolah dimanapun sehingga dapat dipahami oleh
semua orang.
Dengan adanya bahasa simbol dalam matematika, maka komunikasi antar
individu atau komunikasi antara individu dengan suatu obyek menjadi lebih
mudah. Sebagai contoh, dengan menggunakan simbol aljabar penyelesaian soal
menjadi lebih ringkas, cepat, dan mudah. Contoh lain penyajian data dalam
bentuk tabel, diagram atau grafik menjadi lebih komunikatif daripada disajikan
dalam bahasa verbal.
28
Sementara itu dalam NCTM (2000) dinyatakan bahwa standar komunikasi
matematis adalah penekanan pengajaran matematika pada kemampuan siswa
dalam hal :
a. mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan berfikir matematis
(mathematical thinking) mereka melalui komunikasi;
b. mengkomunikasikan mathematical thinking mereka secara koheren
(tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya, guru dan orang
lain;
c. menganalisis dan mengevaluasi berfikir matematis (mathematical
thinking) dan strategi yang dipakai orang lain;
d. menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide
matematika secara benar.
Jika dicermati dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa, komunikasi matematis didefinisikan sebagai suatu cara menyampaikan ide
atau pesan tentang matematika dalam matematika dan dengan matematika.
Komunikasi tentang matematika yaitu kemampuan yang menggambarkan proses
pemecahan masalah yang merefleksikan proses kognitifnya. Komunikasi dalam
matematika yaitu kemampuan menggunakan bahasa matematika dalam
merepresentasikan ide-ide, cara-cara atau argumen-argumen. Komunikasi dengan
matematika yaitu kemampuan menggunakan matematika sebagai alat pemecahan
masalah dan mencari makna dari masalah-masalah tersebut.
Komunikasi matematis juga bisa ditumbuhkan dengan merancang suatu
bentuk permasalahan matematika yang untuk menjawabnya dibutuhkan
29
penjelasan-penjelasan dan penalaran-penalaran dan tidak sekedar jawaban akhir
dari suatu prosedur yang baku. Sebagai contoh, perhatikan persoalan pertama ini :
Dalam suatu segitiga siku-siku, jika diketahui panjang sisi miring (hipotenusa) = 10 cm, salah satu panjang sisi siku-sikunya = 6 cm. Berapa panjang sisi yang belum diketahui ?
Selanjutnya perhatikan persoalan kedua sebagai berikut :
Pada suatu hari Zaky pergi ke rumah Vina dengan menggunakan motor. Dari rumahnya, ia harus mengendarai motornya dengan arah barat sejauh 8 km. Kemudian belok dengan sudut 90o dan melanjutkan perjalanan sejauh 6 km dan sampailah ke rumah Vina. Dalam perjalanan pulang, Zaky tidak melalui jalan semula, melainkan melalui jalan lurus yang langsung menghubungkan rumah Vina dan Zaky. Jelaskan bagaimana bisa mengukur total jarak yang ditempuh oleh Zaky selama menempuh semua perjalanan tersebut ?
Perhatikan bahwa pada persoalan pertama tidak banyak dibutuhkan
kemampuan komunikasi matematis, misalnya membaca maupun menuliskan ide-
ide matematis siswa. Hal ini berbeda dengan persoalan kedua, pada persoalan ini
siswa berlatih untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya melalui
membaca persoalan dan memahaminya, kemudian mengkomunikasikan ide-ide
matematisnya ke dalam tulisan sehingga bisa dipahami orang lain. Untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa, siswa bisa dilatih
dengan persoalan-persoalan dengan model persoalan kedua tersebut.
C. Disposisi Matematis
1. Pengertian Disposisi Matematis
NCTM (1989) menyatakan disposisi matematis adalah keterkaitan dan
apresiasi terhadap matematika yaitu suatu kecenderungan untuk berpikir dan
bertindak dengan cara yang positif. Disposisi siswa terhadap matematika terwujud
30
melalui sikap dan tindakan dalam memilih pendekatan menyelesaikan tugas.
Apakah dilakukan dengan percaya diri, keingintahuan mencari alternatif, tekun,
dan tertantang serta kecendruangan siswa merefleksi cara berpikir yang
dilakukannya. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru
diterima (Irianto, 2007). Refleksi siswa akan terlihat pada saat siswa berdiskusi,
pernyataan langsung tentang materi pelajaran yang diperolehnya pada hari ini,
catatan, dan hasil kerjanya.
Menurut Sumarmo (2006), disposisi matematis adalah keinginan,
kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan
melaksanakan berbagai kegiatan matematika. Terdapat hubungan yang kuat antara
disposisi matematis dan pembelajaran. Pembelajaran matematika selain untuk
meningkatkan kemampuan berpikir matematis atau aspek kognitif siswa, haruslah
pula memperhatikan aspek afektif siswa, yaitu disposisi matematis. Pembelajaran
matematika di kelas harus dirancang khusus sehingga selain dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa juga dapat meningkatkan disposisi matematis. Selanjutnya,
NCTM (2000) menyatakan bahwa sikap siswa dalam menghadapi matematika dan
keyakinannya dapat mempengaruhi prestasi mereka dalam matematika.
Sejalan dengan hal di atas, Wardani (2009) mendefinisikan disposisi
matematis adalah ketertarikan dan apresiasi terhadap matematika yaitu
kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dengan positif, termasuk kepercayaan
diri, keingintahuan, ketekunan, antusias dalam belajar, gigih menghadapi
permasalahan, fleksibel, mau berbagi dengan orang lain, reflektif dalam kegiatan
31
matematik (doing math). Sedangkan menurut Mulyana (2009) disposisi terhadap
matematika adalah perubahan kecenderungan siswa dalam memandang dan
bersikap terhadap matematika, serta bertindak ketika belajar matematika.
Misalnya, ketika siswa dapat menyelesaikan permasalahan non rutin, sikap dan
keyakinannya sebagai seorang pelajar menjadi lebih positif. Makin banyak konsep
matematika dipahami, makin yakinlah bahwa matematika itu dapat dikuasainya.
Disposisi matematis siswa dikatakan baik jika siswa tersebut menyukai
masalah-masalah yang merupakan tantangan serta melibatkan dirinya secara
langsung dalam menemukan/menyelesaikan masalah. Selain itu siswa merasakan
dirinya mengalami proses belajar saat menyelesaikan tantangan tersebut. Dalam
prosesnya siswa merasakan munculnya kepercayaan diri, pengharapan dan
kesadaran untuk melihat kembali hasil berpikirnya.
Disposisi matematis merupakan salah satu faktor yang ikut d ipandang
menentukan keberhasilan belajar siswa. Siswa memerlukan disposisi yang akan
menjadikan mereka gigih menghadapi masalah yang lebih menantang, untuk
bertanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri, dan untuk mengembangkan
kebiasaan baik di matematika. Sayangnya, guru cenderung mengurangi beban
belajar matematika dengan maksud untuk membantu siswa padahal itu
merupakan sesuatu yang penting untuk siswa.
Paris, Lipson, dan Wixson (1983) menyatakan ada tiga komponen aspek
penting metakognitif dari strategi, meliputi: pengetahuan deklaratif (apa yang
disebut dengan strategi), pengetahuan prosedural (bagaimana strategi bekerja),
dan pengetahuan kondisional (kapan dan mengapa suatu strategi diterapkan).
32
Mengetahui ketiga karakter strategi dapat membantu siswa untuk membedakan
taktik yang produktif dari counter-productive, dan kemudian menerapkan strategi
yang sesuai. Ketika siswa ‘menjadi strategis’, mereka akan memperhatikan opsi-
opsi sebelum memilih strategi untuk menyelesaikan masalah. Pilihan ini
merupakan disposisi matematik, karena merupakan hasil dari analisis kognitif dari
opsi-opsi alternatif untuk melakukan pemecahan masalah.
Selain itu, Bandura (1997) menekankan bahwa disposisi matematis
melibatkan tiga proses yang saling berkaitan, yaitu: observasi-diri, evaluasi-diri,
dan reaksi-diri. Ketiga proses ini merupakan bagian metakognisi dari penetapan
tujuan dalam disposisi matematis.
2. Indikator Disposisi Matematis
Untuk mengukur disposisi matematis siswa diperlukan beberapa indikator.
Adapun beberapa indikator yang dinyatakan oleh NCTM (1989) adalah sebagai
berikut.
1. Kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah matematika,
mengkomunikasikan ide-ide, dan memberi alasan
2. Fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba
berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah.
3. Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika.
4. Ketertarikan, keingintahuan, dan kemampuan untuk menemukan dalam
mengerjakan matematika.
5. Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan
kinerja diri sendiri.
33
6. Menilai aplikasi matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan
sehari-hari.
7. Penghargaan (appreciation) peran matematika dalam budaya dan nilainya,
baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa.
Wardani (2009) mengungkapkan aspek-aspek yang diukur pada disposisi
matematis. Aspek-aspek tersebut meliputi:
1. Kepercayaan diri dengan indikator percaya diri terhadap
kemampuan/keyakinan.
2. Keingintahuan terdiri dari empat indikator yaitu: sering mengajukan
pertanyaan, melakukan penyelidikan, antusias/semangat dalam belajar,
banyak membaca/mencari sumber lain.
3. Ketekunan dengan indikator gigih/tekun/perhatian/kesungguhan.
4. Flesibilitas, yang terdiri dari tiga indikator yaitu: kerjasama/berbagi
pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda, berusaha mencari
solusi/strategi lain.
5. Reflektif, terdiri dari dua indikator yaitu bertindak dan berhubungan
dengan matematika, menyukai/rasa senang terhadap matematika.
Syaban (2008) menyatakan, untuk mengukur disposisi matematis siswa
indikator yang yang digunakan adalah sebagai berikut.
1. Menunjukkan gairah/antusias dalam belajar matematika.
2. Menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar matematika.
3. Menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan.
4. Menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.
5. Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi.
34
6. Menujukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan indikator-indikator disposisi matematis yang dikemukakan di
atas, indikator disposisi matematis dalam penelitian ini, adalah adalah (1)
kepercayaan diri dengan indikator percaya diri terhadap kemampuan/keyakinan;
(2) keingintahuan yang meliputi: sering mengajukan pertanyaan, melakukan
penyelidikan, antusias/semangat dalam belajar, dan banyak membaca/mencari
sumber lain; (3) ketekunan dengan indikator gigih/tekun/perhatian/kesungguhan;
(4) flesibilitas, yang meliputi: kerjasama/berbagi pengetahuan, menghargai
pendapat yang berbeda, dan berusaha mencari solusi/strategi lain; (5) reflektif dan
rasa senang, yang meliputi: bertindak dan berhubungan dengan matematika dan
menyukai/rasa senang terhadap matematika.
Untuk mengungkapkan disposisi matematis siswa, dapat dilakukan dengan
membuat skala disposisi dan pengamatan. Skala disposisi memuat pernyataan-
pernyataan masing-masing komponen disposisi. Misalnya “untuk pemahaman
lebih mendalam, saya mencoba menyelesaikan soal matematika dengan cara lain”.
Melalui pengamatan, disposisi siswa dapat diketahui ada tidaknya
perubahan pada saat siswa memperoleh atau mengerjakan tugas-tugas. Misalnya
pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung dapat dilihat apakah siswa
dalam menyelesaikan soal matematika yang sulit siswa terus berusaha sehingga
memperoleh jawaban yang benar.
D. Model-Eliciting Activities
Pendekatan model-eliciting activities (MEAs) adalah pendekatan
pembelajaran untuk memahami, menjelaskan dan mengkomunikasikan konsep-
35
konsep yang terkandung dalam suatu sajian masalah melalui proses pemodelan
matematika. Dalam model-eliciting activities (MEAs), kegiatan pembelajaran
diawali dengan penyajian situasi masalah yang memunculkan aktivitas untuk
menghasilkan model matematis yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
matematika. Dalam model-eliciting activities, siswa melalui satu proses
pemodelan yang diharapkan dapat mengkonstruksi model matematis yang
sharable and reusable.
Gambar 1 melukiskan proses pemodelan yang digambarkan dalam standar
NCTM (NCTM, 1989). Proses ini menunjukkan bahwa pemodelan matematis
adalah proses non-linier yang meliputi tahap-tahap yang saling berhubungan.
Menurut NCTM, terdapat tahap-tahap dasar dalam proses pemodelan matematis
meliputi:
1. Mengidentifikasi dan menyederhanakan (simplifikasi) situasi masalah dunia nyata
2. Membangun model matematis 3. Mentransformasi dan memecahkan
model 4. Menginterpretasi model
Pada tahap pertama, siswa mengidentifikasi masalah untuk dipecahkan
dalam situasi dunia nyata, dan menyatakannya dalam bentuk yang setepat
mungkin. Dengan observasi, bertanya, dan diskusi, mereka berpikir tentang
informasi apa yang penting atau tidak dalam situasi yang diberikan. Jadi, mereka
Interpretasi
36
menyederhanakan situasi dengan pertama-tama mengabaikan informasi yang
kurang penting.
Pada tahap kedua, siswa membuat representasi matematis tentang
komponen spesifik dari masalah dan hubungan diantara mereka. Pada tahap ini,
siswa mendefinisikan variabel, membuat notasi, dan secara eksplisit
mengidentifikasi beberapa bentuk dari hubungan dan struktur matematis,
membuat grafik, atau menuliskan persamaan. Semua usaha matematisasi ini
akhirnya mendorong siswa membangun model matematis. Lesh dan Doerr (2003)
menggabungkan kedua tahap ini, simplifikasi dan matematisasi, dan
menamakannya sebagai “deskripsi”. Pada deskripsinya dalam proses pemodelan
Zbiek dan Conner (2006) menjelaskan proses matematisasi ini sebagai penemuan
“sifat dan parameter matematis” yang berhubungan dengan ”kondisi dan asumsi”
yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Pada tahap transformasi, siswa menganalisa dan memanipulasi model
untuk menemukan solusi yang secara matematika signifikan terhadap masalah
yang teridentifikasi. Tahap ini biasaya familier bagi siswa. Model dari tahap
kedua dipecahkan, dan jawaban dipahami dalam konteks masalah yang orisinil.
Siswa mungkin perlu menyederhanakan model lebih lanjut jika model tersebut
tidak dapat dipecahkan.
Pada tahap interpretasi, siswa membawa solusi matematis mereka yang
dicapai dalam konteks dari model matematis kembali ke situasi masalah yang
spesifik (atau terformulasi). Jika model yang sudah dikonstruksi telah melewati
pengujian yang diberikan dalam proses validasi, model tersebut dapat
37
dipertimbangkan sebagai model yang kuat (powerful) dengan sifat ”sharable” dan
” reusable” (Lesh & Doerr, 2003).
Sebagai ilustrasi berikut ini disajikan contoh perancangan model-eliciting
activities yang berkaitan dengan trigonometri. Dalam perhitungan matematika dan
dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai masalah yang model matematikanya
memuat ekspresi trigonometri. Setelah kita tahu bahwa karakteristik masalahnya
berkaitan dengan model matematika yang memuat ekspresi trigonometri, maka
pemecahan masalah tersebut selanjutnya diselesaikan sebagai berikut.
1. Tetapkan besaran yang ada dalam masalah seperti variabel yang berkaitan
dengan ekspresi trigonometri. [Mengidentifikasi dan menyederhanakan
(simplifikasi) situasi masalah dunia nyata]
2. Rumuskan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan
trigonometri. [Membangun model matematis]
3. Tentukan penyelesian dari model matematika. [Mentransformasi dan
memecahkan model]
4. Berikan tafsiran terhadap hasil-hasil yang diperoleh. [Menginterpretasi
model]
Agar lebih memahami dan terampil dalam memecahkan masalah yang
model matematikanya berkaitan dengan trigonometri, berikut disajikan beberapa
contoh.
Contoh 1 Model-Eliciting Activities yang berkaitan dengan Aturan Sinus
Sebuah tiang bendera berdiri tegak pada tepian sebuah gedung bertingkat. Dari suatu tempat yang berada di tanah, titik pangkal tiang bendera terlihat dengan sudut elevasi 60o dan titik ujung tiang bendera terlihat dengan sudut elevasi 70o.
38
Jika jarak horisontal dari titik pengamatan ke tepian gedung sama dengan 10 meter, tentukan tinggi tiang bendera tersebut.
Penyelesaian:
1. Perhatikan gambar dibawah ini.
2. Dalam ∆ ABC berlaku aturan sinus, sehingga diperoleh.
ADC
AC
CAD
CD
∠=
∠ sinsin
CD = ACADC
CAD
∠∠
sin
sin
3. AC
AB= cos 60
o = ½ →AC = 2 AB = 20 m
∠ CAD = 70o – 60
o = 10
o
∠ ADC = 90o – 70
o = 20
o
Substitusikan nilai-nilai di atas ke CD,
diperoleh:
CD = 20 3420,0
1736,020
20sin
10sin =o
o
CD = 10,15 (teliti sampai dua tempat desimal)
Tinggi tiang bendera itu adalah CD, dimisalkan CD = h meter.
Menentukan besaran dalam masalah yang dirancang sebagai variabel yang berkaitan dengan ekspresi trigonometri
Merumuskan model matematis dari masalah yang berkaitan dengan aturan sinus.
Penyelesaian dari model matematis yang berbentuk aturan sinus
39
4. Jadi, tinggi tiang bendera itu adalah
CD = h = 10,15 meter
Contoh 2 Model-Eliciting Activities yang berkaitan dengan Aturan Kosinus
Ali, Badu, dan Carli sedang bermain di sebuah lapangan yang mendatar. Dalam situasi tertentu, posisi Ali, Badu, dan Carli membentuk sebuah segitiga. Jarak Badu dari Ali 10 m, jarak carli dari Ali 15 m, dan jarak Carli dari Badu 12 m. Berapakah besar sudut yang dibentuk oleh Badu, Ali, dan Carli dalam posisi-posisi itu? Penyelesaian: 1. Perhatikan gambar dibawah ini.
2. Dalam ∆ ABC pada gambar di atas berlaku aturan kosinus, sehingga diperoleh:
BC2 = AB2 + AC2 – 2AB.AC cos∠ BAC
⇔ BC2 = AB2 + AC2 – 2AB.AC cos oα
⇔ cosoα =
2AB.AC
BC - AC AB 222 +
3. Substitusi nilai-nilai AB = 10, BC = 12, dan AC = 15, diperoleh:
cos oα = 2(10)(15)
(12) - (15) (10) 222 +
cos oα = 0,6033
Dengan menggunakan kalkulator diperoleh:
oα = 52,9o (teliti sampai 1 tempat desimal)
Memberikan tafsiran terhadap hasil yang diperoleh
Sudut yang dibentuk oleh Badu, Ali, dan Carli adalah ∠ BAC, dimisalkan besar
∠ BAC = oα
Menentukan besaran yang ada dalam masalah sebagai variabel yang berkaitan dengan ekspresi trigonometri
Merumuskan model matematis dari masalah yang berkaitan dengan aturan kosinus.
Penyelesaian dari model matematis yang berbentuk aturan kosinus
40
4. Jadi, besar sudut yang dibentuk oleh Badu, Ali, dan Carli adalah ∠ BAC = 52,9o.
E. Penelitian-Penelitian yang Relevan
Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan pendekatan MEAs dan
dengan perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis, komunikasi
matematis, dan disposisi matematis, diantaranya dilakukan oleh Lesh (1999),
Sudrajat (2001), Lesh dan Harel (2003), Richardson (2004), Dahlan (2004),
Sukmadewi (2004), Gani (2007), Saragih (2007), dan Nanang (2009).
Model – eliciting activites (MEAs) telah menjadi subjek dari beberapa
proyek penelitian. Akan tetapi, mayoritas dari proyek penelitian ini difokuskan
pada siswa sekolah menengah. Sebagai contoh, Lesh (1999) meneliti
pengembangan representasi siswa sekolah menengah dalam model - eliciting
Activites. Lesh dan Harel (2003) meneliti tentang struktur pembuktian dalam
memecahakan masalah dengan MEAs pada siswa sekolah menengah. Sementara
Richardson (2004) juga meneliti tentang difusi dari ide/gagasan ketika siswa
bekerja dengan MEAs di kelas sekolah menengah. Dari penelitian tentang
penggunaan pendekatan model-eliciting activites tersebut di atas, ketiganya
menunjukkan hasil yang tergolong baik.
Penelitian Dahlan (2004) dengan sampel siswa kelas III SLTP sebanyak
108 orang di kota Bandung, dan salah satu kesimpulannya adalah kemampuan
pemahaman matematis siswa yang belajar melalui pendekatan open-ended dan
dikombinasikan dengan strategi kooperatif mempunyai kualitas cukup baik.
Memberikan tafsiran terhadap hasil yang diperoleh
41
Sedangkan kemampuan pemahaman matematis siswa yang belajar melalui
pendekatan open-ended ekspositori, serta pembelajaran biasa kualitasnya sedang.
Gani (2007) mengadakan studi tentang pengaruh pembelajaran metode
inkuiri model Alberta terhadap kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah
siswa SMA. Hasil studi melaporkan bahwa secara keseluruhan siswa yang belajar
dengan metode inkuiri terbimbing dan metode inkuiri bebas yang dimodifikasi
secara signifikan lebih baik mencapai kemampuan pemahaman matematika.
Nanang (2009) dalam penelitiannya menyelidiki tentang perbandingan
kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa yang
pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dan metakognitif serta
konvensional. Penelitian ini melibatkan 255 siswa yang terdiri dari 128 siswa dari
sekolah kategori baik dan 127 siswa dari sekolah kategori cukup.
Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan
kemampuan antara siswa yang mendapat pembelajaran kontekstual dan
metakonignif, pembelajaran kontekstual dan pembelajaran konvensional.
Kemampuan pemahaman matematis yang memperoleh pendekatan pembelajaran
kontekstual dan metakonignif lebih baik daripada pendekatan pembelajaran
kontekstual dan pembelajaran konvensional. Kemampuan pemahaman matematis
siswa yang mendapat pendekatan pembelajaran kontekstual dan metakonignif dan
pembelajaran kontekstual berada pada klasifikasi cukup, sedangkan kemampuan
pemahaman matematis siswa yang mendapat pendekatan pembelajaran
konvensional berada pada klasifikasi kurang.
42
Sudrajat (2001) melalui pembelajaran tipe SQ3R melaporkan hasil belajar
siswa SMU dalam komunikasi matematis tergolong baik dan siswa menunjukkan
sikap positif terhadap pembelajaran matematika. Sejalan dengan itu penelitian
yang dilakukan oleh Sukmadewi (2004) memberikan kesimpulan bahwa
Transactional Reading Strategy membantu siswa mengembangkan kemampuan
komunikasi matematis siswa.
Saragih (2007) menyimpulkan bahwa siswa yang pembelajarannya dengan
PMR secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan berpikir logis,
komunikasi matematis dan sikap positif terhadap matematika dibanding siswa
yang pembelajarannya dengan Pendekatan Matematika Biasa (PMB).
Dari penelitian tersebut ditemukan juga kesulitan siswa pada permasalahan
komunikasi matematis pada level tinggi yang menuntut kemampuan yang kompleks
seperti berpikir dan memberi alasan secara matematis, kreativitas, dan generalisasi
yang sebagian besar perwujudannya dilakukan oleh siswa sendiri. Kesulitan lain
bagi siswa pada aspek berpikir logis yang memuat kemampuan berpikir deduktif,
dan kemampuan berpikir induktif. Berdasarkan respon yang ditunjukkan melalui tes
yang diberikan, siswa yang diajar melalui PMR menunjukkan aktivitas, kinerja
yang lebih baik dibanding siswa yang diajar melalui PMB.
F. Teori-Teori yang Mendukung
Memperhatikan karakteristikanya, pemahaman matematis, komunikasi
matematis dan MEAs menganut pandangan kontrusktivisme, dimana siswa belajar
secara aktif dalam membangun pengetahuan (pemahaman) melalui proses asimilasi
43
dan akomodasi (Piaget, dalam Slavin, 1994), dan interaksi (komunikasi) dengan
lingkungannya (Vigotsky, 1978). Ketika diskusi macet, Vigotsky menganjurkan
dilaksanakannya “scaffolding”, yaitu bantuan guru dalam bentuk pertanyaan untuk
membantu siswa atau mengarahkan siswa pada jawaban yang dituju. Untuk
mendukung berlangsungnya interaksi siswa dengan lingkungannya dan atau dengan
dirinya sendiri, maka pengetahuan baru yang disajikan hendaknya berkaitan dengan
pengetahuan awal siswa sehingga terbangun pemahaman yang bermakna pada diri
siswa.
Teori Piaget ini erat kaitannya dengan pendekatan MEAs. Jika dilihat
dengan hubungan antara proses assimilasi (penyerapan setiap informasi baru ke
dalam pikirannya) dengan pendekatan ini, siswa pertama-tama dihadapkan kepada
suatu masalah yang tak lain masalah ini merupakan informasi baru yang masuk ke
dalam pikiran siswa. Selanjutnya siswa melakukan proses akomodasi yaitu
mereka dituntut untuk dapat menyusun informasi baru/masalah yang diajukan
tersebut ke dalam pikirannya.
Selain itu, pendekatan MEAs juga ini mengikuti apa yang dikemukakan
oleh Vygotsky yaitu pada tahapan memberi arahan, dorongan, dan membantu
mereka pada saat terjadi kemandegan berpikir. Untuk proses selanjutnya lebih
ditekankan kepada keaktifan siswa. Sehingga pembelajaran tidak berpusat pada
guru melainkan siswa yang aktif belajar, menggali pengetahuannya secara
mandiri.
44
G. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan hasil kajian teoritis, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah:
1. Kemampuan pemahaman matematis, komunikasi matematis, dan disposisi
matematis siswa yang menggunakan pendekatan model-eliciting activities
masing-masing lebih baik dari kemampuan dan disposisi siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional.
2. Perolehan (gain) kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi
matematis siswa yang belajar melalui model-eliciting activities lebih baik dari
pada gain siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
3. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah
terhadap kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis
siswa.
4. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan
awal matematika siswa terhadap kemampuan pemahaman matematis dan
komunikasi matematis siswa.
5. Terdapat asosiasi antara (a) kemampuan pemahaman matematis siswa dengan
komunikasi matematisnya; (b) kemampuan pemahaman matematis siswa
dengan disposisi matematisnya; dan antara (c) kualitas kemampuan
komunikasi matematis siswa dengan disposisi matematisnya.