bab ii pemahaman konsep
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian, Prinsip dan Hakekat Pembelajaran Matematika
2.1.1.Pengertian Belajar dan Pembelajaran Matematika
Menurut Slameto (2003: 2) “belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya”. Selanjutnya Winkel (1989: 36) mengatakan “belajar adalah suatu
aktivitas psikis yang berlangsung dalan interaksi aktif dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan
dan sikap”. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
suatu proses aktivitas, proses mental, dan proses berfikir yang terjadi dalam diri
seseorang yang dilakukan secara sengaja melalui pengalaman dan reaksi terhadap
lingkunganya untuk memperoleh suatu perubahan pengetahuan, pemahaman,
sikap, dan ketrampilan.
Perolehan pengalaman seseorang itu dari proses asimilasi dan akomodasi
sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan yang tertanam dalam
benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang (Ernest dalam Steffe, 1996:
336). Assimilasi adalah proses kognitif seseorang dalam mengintegrasikan
informasi atau pengalaman baru ke dalam skemata atau pola yang sudah ada
dalam pikiranya. Sedangkan akomodasi adalah penyesuaian pada skemata atau
struktur kognitif manusia sebagai akibat dari adanya informasi-informasi baru
yang diserap (Depdiknas, 2005: 15). Karena itu belajar merupakan proses aktif
untuk mengembangkan skemata, sehingga pengetahuan yang terdiri dari konsep-
konsep dan prinsip-prinsip terkait satu sama lain dan tidak sekedar tersusun
hirarkis. Dengan kata lain belajar itu harus melalui suatu proses menemukan
proses membangun/mengkonstruksi konsep-konsep dan prinsip-prinsip, proses
memahami, tidak sekedar mentransfer pengetahuan kepada seseorang yang
terkesan pasif dan statis, namun belajar itu harus aktif dan dinamis atau
mengalami.
12
13
Kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan
proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu merupakan hasil belajar
(Hudojo, 1988: 1). Artinya perubahan setelah belajar itu dapat dilihat dari prestasi
belajar yang dihasilkan oleh siswa, dalam menjawab pertanyaan atau persoalan
yang ada serta menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Selanjutnya Oemar
Hamalik (2003: 74) menyatakan hasil belajar adalah hasil yang dicapai melalui
perbuatan belajar. Belajar dikatakan berhasil bila terjadi perubahan dalam diri
individu. Sebaliknya, bila tidak terjadi perubahan dalam diri individu, maka
belajar dikatakan tidak berhasil (Djamarah, 2000: 21). Berdasarkan uraian di atas
dapat dikatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku atau
kemampuan dalam diri siswa berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan yaitu
efektif, efesien dan mempunyai daya tarik. Hasil belajar ini diperoleh siswa
setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Matematika sebagai bahan pelajaran yang objek kajiannya berupa fakta,
konsep, operasi, dan prinsip yang abstrak, dalam mempelajarinya diperlukan
kegiatan psikologis seperti mengabstraksi dan mengklasifikasi. Mengabstraksi
merupakan kegiatan memahami kesamaan dari sejumlah objek atau situasi yang
berbeda. Sedangkan mengklasifikasi merupakan kegiatan memahami cara
mengelompokkan objek atau situasi berdasarkan kesamaanya. Hudojo (1980: 3)
mengemukakan bahwa matematika berkenaan dengan ide-ide (gagasan-gagasan),
struktur-struktur, dan hubungan-hubungannya yang diatur secara logik sehingga
matematika berkenan dengan konsep-konsep yang abstrak. Soedjadi (1995: 5)
mengemukakan bahwa matematika sebagai ilmu dalam batas tertentu disusun
secara deduktif aksiomatik yang diawali dengan pernyataan pangkal dan
selanjutnya diturunkan sebagai teorema tertentu atau dilengkapi dengan berbagai
defenisi. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa matematika memiliki
objek-objek yang abstrak yang tertata secara matematis dalam suatu struktur
berdasarkan penalaran logis.
14
Belajar matematika adalah suatu proses psikologis berupa kegiatan aktif
dalam upaya seseorang untuk mengonstruksi, memahami atau menguasai materi
matematika agar tercapai tujuan belajar. Oleh karena itu Freudenthal (1993)
menyatakan bahwa konsep matematika tidak boleh diberikan dalam bentuk jadi (a
ready made product). Artinya konsep-konsep yang ada dalam matematika tidak
boleh dipindahkan langsung dari guru ke siswa sebab di dalamnya mengandung
proses abstraksi, dimana siswa harus dilibatkan dalam proses penemuan konsep.
Siswa dituntut menciptakan ide-ide, mencari hubungan-hubungan membentuk
konsep. Pembelajaran matematika adalah usaha membantu siswa
mengonstruksikan pengetahuan melalui proses yang dimulai dari pengalaman
dimana siswa harus aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya sehingga
dapat membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih tinggi. Pembelajaran
matematika akan lebih efektif bila guru dapat menerapkan model mengajar,
pendekatan mengajar, dan media mengajar itu mengikut sertakan siswa secara
aktif dalam menemukanpengetahuan sehingga pengetahuan yang di peroleh itu
menjadi bermakna (Ambarita, 2004).
2.1.2.Hakekat Pembelajaran Matematika
Mengajarkan ilmu pengetahuan, termasuk matematika mempunyai cara-
cara yang sifatnya umum dan khusus. Keduanya harus mencakup hakekat
pemahaman kognitif, afektif dan psikomotor. Disamping itu, tidak kalah
pentingnya bagaimana mengkomunikasikan ide atau gagasan yang dikandung
oleh ilmu pengetahuan tersebut kepada orang lain. Karena pada dasarnya,
pembelajaran adalah proses menjadikan orang lain paham dan mampu
menyebarkan apa yang dipahaminya (Suherman dkk, 2003:301)
Belajar merupakan suatu proses (aktivitas) mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang (organisme) dengan
lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku, baik
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai atau sikap (Winkel, 1996). Belajar
bukan hanya penguasaan hasil latihan, bukan hanya suatu hasil atau tujuan,
bukan hanya mengingat melainkan mengalami (Suryosubroto, 2002). Belajar
juga sebagai hasil pengalamannya sendiri (Slameto, 2003), melalui jalan latihan
15
baik di laboratorium atau di lingkungan alamiyah, dengan perubahan yang relatif
konstan dan berbekas atau permanen (Hidrad dalam Nasution, 1982).
Lebih lanjut, Hamalik (2003) memberikan ciri-ciri belajar, yaitu: proses
belajar harus mengalami, berbuat, mereaksi dan melampaui; bermakna bagi
kehidupan tertentu; dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan individual; di bawah
bimbingan yang merangsang dan bimbingan tanpa tekanan dan paksaan; hasil-
hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-
sikap, apresiasi abilitas dan keterampilan; serta bersifat kompleks dan dapat
berubah-ubah, jadi tidak sederhana dan statis.
Selanjutnya, NCTM (2000) menyebutkan prinsip-prinsip agar
pembelajaran matematika dapat efektif, yaitu: (a) guru memahami apa yang siswa
ketahui dan butuhkan, kemudian mengingatkan dan mendukung mereka untuk
mempelajarinya dengan baik; (b) guru mengetahui dan memahami matematika,
siswa sebagai pembelajar, dan strategi pedagogi; (c) guru mengingatkan dan
mendukung lingkungan dan suasana kelas yang belajar; (d) guru selalu mencari
perbaikan secara terus menerus; (e) siswa belajar matematika dengan memahami
esensi; dan (f) siswa dapat belajar matematika dengan pemahaman.
Tujuan umum pendidikan matematika dalam Kurikulum 2004 adalah
setelah pembelajaran, siswa ditekankan memiliki:(a) Kemampuan yang berkaitan
dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah
matematika, pelajaran lain ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan
nyata; (b) Kemampuan menggunakan matematika sebagai alat komunikasi; (c)
Kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat
dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir
sistematis, bersifat obyektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang dan
menyelesaikan masalah.
Paparan di atas menjelaskan bahwa hakekat pembelajaran matematika
sesungguhnya mengacu kepada usaha membuat siswa percaya bahwa matematika
masuk akal dan bahwa mereka sendiri dapat memahami konsep-konsep
matematika. Dan guru dalam hal ini harus percaya pada anak-anak dan memberi
16
kesempatan pada mereka untuk terlibat secara aktif dalam berfikir, berjuang
menemukan ide-ide matematiknya.
2.2. Model Pencapaian Konsep
2.2.1. Pengertian Model Pembelajaran Pencapaian Konsep
Pada prinsipnya model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu
model mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep kepada
siswa, dimana guru mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau contoh,
kemudian guru meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian
konsep mula-mula didesain oleh Joyce dan Weil (1972) yang didasarkan pada
hasil riset Jerome Bruner dengan maksud bukan saja didesain untuk
mengembangkan berfikir induktif, tetapi juga untuk menganalisis dan
mengembangkan konsep. Kauchak dan Eggan (1996) mengemukakan: “Model
pencapaian konsep adalah suatu strategi pembelajaran induktif yang didesain
untuk membantu siswa pada semua usia dalam mempelajari konsep dan melatih
pengujian hipotesis”. Suherman dan Saripuddin (2009) mengemukakan bahwa:
“Salah satu keunggulan model pencapaian konsep adalah untuk memahami
(mempelajari) suatu konsep dengan cara lebih efektif”. Sukamto, dkk (Nurul
wati, 2000:10) mengemukakan: “Maksud dari model pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang istematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan aktivitas mengajar”. Model ini membantu siswa
pada semua usia dalam memahami tentang konsep dan latihan pengujian
hipotesis. Model pencapaian konsep ini banyak menggunakan contoh dan non
contoh. Ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing
aktifitas siswa yaitu: (a) Guru mendorong siswa untuk menyatakan pemikiran
mereka dalam bentuk hipotesa, bukan dalam bentuk observasi ; (b) Guru
menuntun jalan pikiran siswa ketika mereka menetapkan apakah suatu hipotesis
diterima atau tidak; (c) Guru meminta siswa untuk menjelaskan mengapa mereka
menerima atau menolak suatu hipotesis. Penggunaan model pencapaian konsep
17
dimulai dengan pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan,
kemudian dengan mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep-
konsep tersebut. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan model ini
adalah pemilihan contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan, yaitu contoh
tentang hal-hal yang akrab dengan siswa.
2.2.2.Tujuan Penggunaan Model Pencapaian Konsep
Ada dua tujuan dalam penerapan pembelajaran model pencapain konsep
yaitu: Pertama, tujuan isi, tujuan isi model pencapaian konsep lebih efektif untuk
memperkaya suatu konsep daripada belajar (initial learning) dan juga akan efektif
dalam membantu siswa memahami hubungan-hubungan antara konsep-konsep
yang terkait erat dan digunakan dalam bentuk review (Eggen dan Kauchak, 1998).
Dengan kata lain, penggunaan model ini akan lebih efektif jika siswa sudah
memiliki pengalaman tentang konsep yang akan dipelajari itu, bukan siswa baru
mempelajari konsep itu. Kedua, Tujuan Pengembangan Berpikir Kritis Siswa,
model pencapaian konsep lebih memfokuskan pada pengembangan berpikir kritis
siswa dalam bentuk menguji hipotesis. Dalam pembelajaran harus ditekankan
pada analisis siswa terhadap hipotesis yang ada dan mengapa hipotesis itu
diterima, dimodifikasi, atau ditolak. Siswa harus dilatih dalam menciptakan jenis-
jenis kesimpulan, sepeti membuat contoh penyangkal atau non contoh dan
sebagainya.
2.2.3.Merencakan Pembelajaran Model Pencapaian Konsep
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang pelajaran menggunakan
model pencapaian konsep adalah sebagai berikut: (1) menetapkan materi: dalam
menerapkan model pencapaian konsep guru harus menetapkan materi-materi yang
akan diajarkan. Dalam hal ini bentuk materi adalah konsep (bukan generalisasi,
rumus, atau prinsip). Konsep yang akan diajarkan itu sebaliknya bukan baru sama
sekali bagi siswa. Perlu diketahui bahwa model ini akan lebih efektif bila siswa
yang akan diajarkan itu memiliki beberapa pengalaman tentang konsep yang akan
diajarkan. (2) pentingnya tujuan pembelajaran: tujuan penggunaan model
pencapaian konsep adalah untuk membantu siswa mengembangkan konsep dan
relasi-relasi antara konsep itu dan memberikan latihan kepada mereka tentang
18
proses berpikir kreatif terutama dalam perumusan dan pengujian hipotesis; (3)
memilih contoh dan non-contoh: faktor yang paling penting dalam memilih
contoh adalah mengidentifikasi contoh-contoh yang paling baik mengilustrasikan
konsep tersebut. Disamping itu, contoh yang dipilih juga harus dapat memperluas
pemikiran siswa tentang konsep yang diajari. Hal lain yang perlu diperhatikan
dalam memilih contoh adalah tidak memilih contoh yang terisolasi dari konteks.
Artinya contoh yang dipilih harus ada dalam lingkungan dimana siswa
beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari ataupun yang ada dalam jangkauan
pemikirannya. Selain memilih contoh positif , guru juga menyiapkan contoh-
contoh negatif atau non contoh. Dalam memilih contoh negatif , diupayakan
merubah karakteristik esensial menjadi karakteristik non esensial pada konsep
yang akan diajarkan dan menyajikan semua hal-hal yang bukan merupakan
karakteristik esensial konsepit itu; (4) mengurutkan contoh: Setelah memilih
contoh dan non-contoh tugas akhir dalam merencanakan pelajaran adalah
bagaimana mengurutkan contoh dan non contoh itu, jika pengembangan berpikir
kreatif menjadi tujuan penting bagi guru. Contoh-contoh itu harus diurutkan
sedemikian sehingga para siswa mendapat kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif mereka. Menunjukkan secara cepat atau langsung
makna dari konsep yang diajarkan, tidak memberi kesempatan kepada siswa
dalam melakukan analisis dan akibatnya tidak menghasilkan pemahaman yang
sangat dalam terhadap konsep yang dikaji. Dalam mengurutkan contoh, guru
dapat melakukan dengan menyajikan dua atau lebih contoh positif kemudian
diikuti dua atau lebih contoh negatif (non- contoh).
2.2.4.Strategi Penemuan Konsep denga Model Pencapaian Konsep
Kunci untuk memahami strategi-strategi yang digunakan siswa untuk
mencapai konsep adalah menganalisis bagaimana mereka mendekati informasi
yang tersedia dalam contoh-contoh yang disediakan guru. Ada dua cara yang
dapat kita gunakan untuk mengamati dan memperoleh informasi tentang strategi
yang digunakan siswa untuk mencapai konsep, yaitu: (1) setelah suatu konsep
dicapai, kita dapat meminta mereka menceritakan pemikirannya agar latihan terus
berlangsung. Misalnya, dengan menggambarkan gagasan yang mereka
19
munculkan, sifat apa yang mereka fokuskan, dan modifikasi apa yang mereka
buat. Hal ini dapat membimbing mereka pada suatu diskusi di mana mereka dapat
menemukan strategi-strategi yang lain dan bagaimana penerapan strategi ini;
(2) kita dapat meminta siswa untuk menulis hipotesis mereka. Setelah itu, mereka
diminta menyerahkan pada kita suatu catatan yang dapat kita analisis. Siswa
bekerja secara berpasangan untuk membentuk hipotesis-hipotesis pada pasangan
contoh-contoh (satu positif dan satu negatif) yang telah disajikan untuk mereka.
Mereka mencatat hipotesis mereka, perubahan-perubahan yang mereka buat, dan
alasan-alasan yang mereka kemukakan. Siswa yang bekerja secara holistik, secara
seksama akan menghasilkan hipotesis ganda dan secara bertahap akan
menghilangkan hipotesis yang tak dapat dipertahankan. Siswa yang memilih satu
atau dua hipotesis dalam awal-awal pengamatan perlu mengubah contoh-contoh
secara terus-menerus dan meninjau ulang atau merevisi gagasan mereka agar
mencapai konsep sifat ganda yang menjadi tujuannya. Dengan menggunakan dan
bercermin pada strategi mereka, siswa dapat mencoba strategi baru dalam
pelajaran selanjutnya dan menyelidiki pengaruh perubahan itu.
Jika diberikan beberapa contoh yang sebelumnya telah diberi label pada
siswa (satu diidentifikasi sebagai contoh positif dan satu diidentifikasi untuk
contoh negatif), mereka pada akhirnya akan mampu memeriksa data dan memilih
sedikit hipotesis untuk diterapkan. Namun, jika contoh-contoh itu dalam bentuk
pasangan demi pasangan, siswa akan terdorong untuk menerapkan strategi-strategi
holistic untuk memperoleh ciri-ciri ganda atas contoh-contoh itu.
2.2.5. Struktur Pengajaran Model Pencapaian Konsep
Menurut Joyce (2009; 136), langkah-langkah model pembelajaran pencap
aian konsep terdiri dari 3 face yang disajikan pada tabel 2.2. berikut.
20
Tabel 2.2. Struktur Pengajaran Model Pencapaian Konsep
Tahap Pertama:Penyajian Data dan Identifikasi
Konsep
Tahap Kedua:Pengujian Pencapaian Konsep
Guru menyajikan contoh-contoh yang telah dilabeli
Siswa mengidentifikasi contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dengan tanda Ya dan Tidak
Siswa membandingkan sifat-sifat/ciri-ciri dalam contoh -contoh positif dan contoh- contoh negatif
Guru menguji hipotesis, menamai konsep, dan menyatakan kembali definisi-definisi menurut sifat-sifat/ ciri-ciri yang paling esensial
Siswa menjelaskan sebuah definisi menurut sifat-sifat/ciri-ciri yang paling esensial
Siswa membuat contoh-contoh
Tahap KetigaAnalisis Strategi-Strategi Berpikir
Siswa mendeskripsikan pemikiran-pemikiranSiswa mendiskusikan peran sifat-sfat dan hipotesis-hipotesis
Siswa mendiskusikan jenis dan ragam hipotesis
Pada tahap kedua, siswa menguji penemuan konsep mereka, pertama-tama dengan
mengidentifikasi secara tepat contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dari
konsep itu dan kemudian dengan membuat contoh-contoh mereka. Setelah itu,
guru (dan siswa) dapat membenarkan atau tidak membenarkan hipotesis mereka,
merevisi pilihan konsep atau sifat-sifat yang mereka tentukan sebagaimana
mestinya.
Pada tahap ketiga, siswa mulai menganalisis strategi-strategi dengan
segala hal yang mereka gunakan untuk mencapai konsep. Ada beberapa siswa
yang pada mulanya mencoba konstruk-konstruk yang luas dan secara bertahap
mempersempit konstruk-konstuk itu; ada pula yang memulai dengan konstruk-
konstruk yang lebih berbeda. Pembelajar dapat menggambarkan pola-pola mereka
apakah mereka focus pada ciri-ciri atau konsep-konsep, apakah mereka
melakukannya sekaligus dalam satu waktu atau beberapa saja, dan apa yang
terjadi ketika hipotesis mereka tidak dibenarkan.
Sebelum mengajar dengan model pencapaian konsep, sistim sosial dalam
model pembelajaran ini adalah sebagai berikut: (a) kegiatan guru: guru atau
pengajar mempunyai tanggung jawab memilih atau menentukan konsep, serta
21
operasi dari bangun ruang sisi datar yang harus dipelajari oleh siswa. Selanjutnya
adalah mempersiapkan contoh-contoh dan non-contoh serta mengumpulkan ide-
ide dari berbagai sumber, serta mendesain sedemikian rupa sehingga ciri-ciri
masing-masing contoh dan non-contoh terlihat dengan jelas; (b) kegiatan siswa:
dalam kegiatan pembelajaran dengan model pencapaian konsep, para siswa harus
aktif mengamati contoh-contoh yang diberikan guru. Dalam pengamatan ini siswa
harus mendata atau mengidentifikasi ciri-ciri dari contoh-contoh yang diberikan,
untuk selanjutnya membuat suatu hipotesa. Dalam melaksanakan peran ini para
siswa dapat bekerja sama dalam satu kelompok kecil, atau bekerja secara
individu.
2.2.6.Tingkat-tingkat Pencapaian Konsep
Mungkin kita pernah mengalami, ketika seseorang bertanya kepada kita
tentang konsep sesuatu kata, kita dapat menghubungkan kata itu kedalam suatu
konsep-konsep yang lain, bahkan kita dapat menghubungkannya ke dalam suatu
kalimat namun kita tidak dapat mendefinisikannya kedalam suatu kata atau
kalimat yang formal. Klausmeier (Dahar, 1996:88) menghipotesiskan bahwa ada
Empat tingkat pencapaian konsep, yaitu: (1). tingkat konkret ditandai dengan
adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang pernah ia kenal. Contohnya
pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu yang lain dengan tempat
yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu
adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai tingkat konkret. Dengan
demikian dapat dikatakan juga anak mampu membedakan stimulus yang ada di
lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini anak sudah mampu
menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.; (2) Tingkat identitas,
Pada tingkat identitas seseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep
identitas apabila ia mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki
orientasi ruang yang berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan
melalui suatu cara indra yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara
memainkannya, bukan hanya dengan melihatnya lagi; (3) Tingkat klasifikatori,
pada tingkat ini dapat digambarkan bahwa anak sudah mampu mengenal
persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak
22
mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel yang mentah; (4)
Tingkat formal pada tingkatan formal anak sudah mampu membatasi suatu konsep
dengan konsep lain, membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut
yang membatasinya, bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara
verbal. Untuk mengetahui hubungan antara pemahaman konsep dengan tingkat-
tingkat pencapaian konsep dengan komponen utama model pencapaian konsep
dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini:
Pemahaman KonsepFase Model Pencapaian
Konsep
Tinkat pencapaian
konsep
Mengklasifikasikan objek
menurut sifat-sifat tertentu
sesuai dengan konsepnya
Menyajikan konsep dalam
berbagai bentuk representasi
matematis
Fase Penyajian data
dan identifikasi konsep
Tingkat konkret
Tingkat identitas
menyatakan ulang sebuah
konsep
Memberikan contoh dan non
contoh dari konsep
Mengembangkan syarat
perlu atau syarat cukup dari
suatu konsep
Fase Pengujian
pencapaian konsep
Tingkat
klasifikatori
Mengembangkan syarat
perlu atau syarat cukup dari
suatu konsep
Mengaplikasikan konsep
atau logaritma pemecahan
masalah
fase Analisis strategi
berfikir Tingkat formal
2.2.7.Penerapan Model Pencapain Konsep
23
Pencapaian konsep merupakan “ proses mencari dan mendaftar sifat-sifat
yang dapat digunakan untuk membedakan contoh-contoh yang tepat dengan
contoh-contoh yang tidak tepat dari berbagai kategori “ (Bruner, Gordon, dan
Austin, dalam Bruce Joice, 2009;125). Pembelajaran model pencapaian konsep
terdiri dari tiga fase yaitu: Fase 1 : Penyajian Contoh, Sebelum memasuki fase
ini terlebih dahulu guru memberi pengantar tentang prosedur yang digunakan
pada model pencapaian konsep ini, terutama kepada siswa yang masih kurang
pengalaman. Dalam pengenalan ini, guru dapat menggunakan materi-materi
sederhana pada kesempatan yang pertama. Setelah siswa memahami prosedur
yang berlaku pada model ini, guru dapat memasuki materi yang sesungguhnya
untuk dibahas dengan menggunakan model pencapaian konsep. Setelah aktivitas
pengenalan selesai pembelajaran diawali dengan penyajian contoh atau non-
contoh yang bertujuan untuk menyediakan data bagi siswa untuk mengawali
proses penciptaan hipotesis. Pemakaian non-contoh jelas berbeda dengan
menggunakan contoh, pemakaian mencontoh dirancang untuk menyajikan
adanya kemungkinan-kemungkinan hipotesis secara terbuka; Fase 2 : Pengujian
Pencapaian konsep, Setelah penyajian satu contoh atau lebih guru meminta
siswa untuk menguji penemuan konsep mereka yaitu dengan mengidentifikasikan
secara tepat contoh-contoh tambahan yang tidak dilabeli dari konsep itu dan
kemudian dengan membuat contoh-contoh mereka sendiri. Setelah itu guru dan
siswa dapat membenarkan atau tidak hipotesis mereka tentuikan sebagaimana
mestinya yang memungkinkan kategori-kategori (nama-nama konsep)
diilustrasikan dengan contoh positif. Hipotesis – hipotesis tersebut membantu
arah perhatian siswa kepada atribut-atribut kritis dan memfokuskan dialog kelas
berikutnya pada karakteristik ini. Sebagai contoh ; Misalkan seorang guru akan
mengajarkan konsep bujur sangkar, guru tersebut kemudian memberikan gambar
kepada siswa untuk selanjutnya meminta kepada siswa untuk menyusun hipotesis
berkenaan dengan gambar tersebut. Proses dalam fase 1 dan fase 2 dapat
diringkas dalam langkah-langkah sebagai berikut : Guru menyajikan contoh
positif dan negatif, Siswa menguji contoh-contoh dan menghasilkan hipotesis,
Guru menyajikan tambahan contoh positif dan contoh negatif, Siswa
24
menganalisis hipotesis dan menghilangkan hal-hal yang tidak didukung oleh data
(contoh-contoh), Siswa menawarkan hipotesis tambahan jika data yang ada
mendukung, Proses menganalisis hipotesis, menghilangkan data yang tidak valid
dengan menggantikannya dengan contoh-contoh baru, dan penawaran hipotesis
tambahan diulangi hingga satu hipotesis diterima. Fase 3 : Analisis Stategi
Berpikir, Pada tahap ini siswa diwajibkan mengemukakan hasil yang telah
dikerjakan. Disini guru bersama-sama siswa menganalisa strategi berpikir yang
telah digunakan para siswa dalam menerapkan konsep atau operasi yang telah
dipelajari untuk memecahkan masalah. Ketika siswa telah mampu memisahkan
hipotess yang didukung oleh semua contoh dengan hipotesis yang tidak didukung
oleh contoh, siswa mulai mengalalisis strategi-strategi dengan segala hal yang
mereka gunakan untuk mencapai konsep. Ada beberapa siswa yang pada
mulanya mencoba-coba konstruk yang luas dan secara bertahap mempersempit
konstruk itu dan ada pula yang memulai dengan konstruk yang berbeda. Siswa
dapat menggambarkan pola-pola mereka apakah mereka fokus pada ciri-ciri atau
konsep dan apakah mereka melakukannya ekaligus dalam satu waktu dan apa
yang terjadi ketika hipotesis mereka tidak dibenarkan. Apakah mereka mengubah
strategi yang intinya secara bertahap mereka dapat membandingkan efektivitas
setiap strategi yang mereka rancang dan terapkan.
Penggunaan model pencapaian konsep dinilai dengan pemberian contoh-
contoh penerapan konsep yang diajarkan, kemudian dengan mengamati contoh-
contoh diturunkan defenisi dari konsep-konsep tersebut. Hal yang paling utama
diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan contoh yang tepat
untuk konsep yang diajarkan, yaitu hal-hal yang akrab dengan siswa. Di dalam
model pembelajaran pencapain konsep ini pendidik harus bisa menciptakan
lingkungan belajar sedemikian hingga siswa merasa bebas untuk berfikir, serta
membimbing siswa dalam menyatakan/menganalisis hipotesa serta mengartikulasi
pemikiran-pemikiran siswa. Dari penjelasa diatas, secara gamblang langkah-
langkah Pengajaran Model pencapaian konsep dapat kita amati seperti pada tabel
berikut:
Tabel 2.3. Langkah-langkah Pembelajaran Model Pencapaian Konsep
25
Kegiaatan Pengajar Tahapan Kegiatan Peserta DidikGuru mensajikan contoh-contoh yang telah dilabeliMenyuruh siswa membandingkan sifat atau ciri yang terkandung dalam contoh dan non-contoh.Meminta siswa menjelaskan definisi menurut sifat atau ciri yang esensial.
Mengamati contoh berlabel yang disajikan oleh guru.Membandingkan sifat atau ciri yang terkandung dalam contoh dan non-contoh.Siswa menjelaskan definisi menurut sifat atau ciri yang paling esensial
Memeberikan contoh tidak berlabel dan menyuruh siswa mengidentifikasinya.
Menguji hipotesis, menanamkan konsep, dan menyatakan kembali definisi-definisi menurut sifat atau ciri yang paling esensialMinta siswa membuat contoh lain.
Mengidentifikasi contoh-contoh yang tidak berlabel dengan memberikan tanda Ya dan TidakMemberikan nama konsep untuk setiap contoh yang tidak berlabel sesuai dengan ciri atau sifat yang paling esensialMemebuat contoh yang alain
Tanya mengapa/bagaimanademikianMemimbing siswa untuk berdiskusi.
Mengungkapkan hasil pemikiran sendiriMelakukan diskusi dari keaneka ragaman hasil pemikiran.
2.3. Pemahaman Konsep Matematika
Untuk mengambil kesimpulan dari pengertian pemahaman konsep dalam
penelitian ini, ada baiknya terlebih dahulu kita tinjau tentang pengertian konsep,
pengertian pemahaman konsep, pencapaian konsep dan pemahaman matematika.
2.3.1. Pengertian Konsep
Pengertian konsep secara tegas dijelaskan oleh Rosser (1984) dalam Dahar
(1988:80), yaitu: konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili kelas objek-objek,
kejadian-kejadian, kegiatgan-kegiatan, atau hubungan-hubungan yang mempunyai
atribut yang sama. Pengertian konsep yang lain dapat didefinisikan kedalam
beberapa rumusan dimana konsep diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang
mengalami abstraksi yang didefinisikan salah satu rumusan. Hal ini sebagaimana
yang dijelaskan oleh corrol dalam kardi (1997) dalam irwan, (2009:26) adalah:
“Konsep merupakan suatu bentuk absraksi dari serangkaian pengalaman yang
didefinisikan sebagai suatru kelompok objek atau kejadian. Abstraksi berarti suatu
Penyajian data
Pengetesan Pencapaian
Konsep
Analisis Strategi berfikir
26
proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil
elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen-elemen yang lain”.
Dalam bagian lain, secara singkat Dahar (1988:81) menyimpulkan bahwa
suatu konsep merupakan suatu abstraksi yang memiliki suatu kelas stimulus-
stimulus. Suatu konsep telah dipelajari bila siswa dapat menampilkan perilaku-
perilaku tertentu. Dari penjelasan diatas, tidak ada satu definisipun yang dapat
menjelaskan makna dari suatu konsep dan jenis-jenis dari suatu konsep yang
diperoleh siswa, konsep-konsep tersebut merupakan hasil penyajian internal dari
sekelompok stimulus, konsep-konsep tidak dapat diamati dan dilihat, tetapi harus
disimpulkan dari setiap perilaku.
Konsep dapat didefenisikan dengan bermacam-macam rumusan. Salah
satunya adalah defenisi yang dikemukakan Carrol dalam Kardi (1997: 2) bahwa
konsep merupakan suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang
didefinisikan sebagai suatu kelompok obyek atau kejadian. Abstraksi berarti suatu
proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil
elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen yang lain. Tidak ada satu pun
definisi yang dapat mengungkapkan arti yang kaya dari konsep atau berbagai
macam konsep-konsep yang diperoleh para siswa. Oleh karena itu konsep-konsep
itu merupakan penyajian internal dari sekelompok stimulus, konsep-konsep itu
tidak dapat diamati, dan harus disimpulkan dari perilaku.
Menurut Arends (2008: 324), belajar konsep (Concept leaarning) pada
dasarnya adalah `meletakkan berbagai macam hal ke dalam golongan-golongan`
dan setelah itu mampu mengenali anggota-anggota golongan itu”. Konsep-konsep
merupakan, kategori-kategori yang kita berikan pada stimulus-stimulus yang ada
di lingkungan kita. Konsep-konsep menyediakan skema-skema terorganisasi
untuk mengasimilasikan stimulus-stimulus baru, dan untuk menentukan hubungan
di dalam dan di antara kategori-kategori. Seperti yang terdapat dalam salah satu
pernyataan dalam teori Ausubel adalah ‘bahwa faktor yang paling penting yang
mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang telah diketahui siswa (pengetahuan
awal). Jadi supaya belajar jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan
dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa. Ausubel belum
27
menyediakan suatu alat atau cara yang sesuai yang digunakan guru untuk
mengetahui apa yang telah diketahui oleh para siswa (Dahar, 1988: 149).
Berkenaan dengan itu Novak dan Gowin (1985) mengemukakan bahwa cara
untuk mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswa, supaya belajar
bermakna berlangsung dapat dilakukan dengan pertolongan peta konsep.
2.3.2. Pengertian Pemahaman Konsep
Sebagaimana telah dinyatakan diatas bahwa, suatu konsep dapat
diartikan sebagai suatu absrakasi mental yang mana abstraksi mental tersebut
memiliki kelas-kelas stimulus, sehingga suatu konsep itu telah dipelajari jika
siswa dapat menampilkan perilaku-perilaku tertentu (Dahar, 1988:81). Sekarang
kita ingin mengetahui tentang pengertian pemahaman konsep. Pemahaman konsep
adalah kekuatan yang terkait antara informasi yang terkandung pada konsep yang
dipahami dengan skema yang telah dimiliki sebelumnya Hiebert (dalam Tim
PLPG 2008:42). Suatu konsep, prosedur, dan fakta dapat dipahami oleh siswa
secara menyeluruh, bila objek matematika tersebut dihubungkan dengan jaringan-
jaringan yang ada maka keterkaitan antara objek tersebut makin lebih kuat dan
banyak. Dengan demikian tingkat pemahaman konsep siswa dapat ditentukan oleh
banyaknya jaringan informasi yang telah dimiliki. Menurut Costa bahwa
“Seorang siswa apabila dirinya sudah memahami konsep, artinya konsep tersebut
sudah tersimpan dalam pikirannya berdasarkan pola-pola tertentu yang
dibutuhkan oleh siswa untuk ditetapkan dalam pikiran mereka sendiri sebagai ciri
dari kesan mental untuk membuat suatu contoh konsep dan membedakan contoh
dan non contoh (Fikriam, 2009). Konsep dipelajari melalui contoh dan bukan
contoh. Mempelajari konsep tentu melibatkan mengidentifikasi contoh dan bukan
contoh untuk konsep itu (Arends, 2008: 325).
Oleh karena itu dalam proses pembelajaran tentang konsep haruslah
disertai oleh contoh dan juga memperlihatkan yang bukan contoh dari konsep itu.
Kegiatan belajar dipandang tidak hanya sejauh mengenalkan suatu pengetahuan
yang baru kepada siswa, tetapi juga sebagai suatu upaya untuk memberdayakan
serta memperkuat pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Dalam proses belajar
tersebut perlu disediakan aktivitas untuk memberdayakan pengetahuan yang
28
sudah dimiliki itu agar siswa memahami dan menguasai pengetahuan yang baru,
sekaligus memperkokoh pengetahuan yang sudah ada sebelumnya pada siswa.
Karena siswa akan menjalani suatu proses yang memampukannya membangun
pengetahuannya dengan bantuan fasilitas dari guru, maka keterlibatannya dalam
proses belajar haruslah nampak. Sementara Bansul Ansari mengemukakan bahwa:
Tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk
yang konkret akan dapat dipahami dengan baik, ini mengandung arti bahwa
benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika (wangmuba, 2009). Jadi
siswa dituntut lebih aktif, sehingga mampu mengetahui asal muasal dari konsep
yang di hasilkan.
Berdasarkan kurikulum 2004 Depdiknas (2003:20) menyatakan bahwa
“………beberapa kemampuan yang perlu diperlihatkan dalam penilaian
matematika adalalah pemahaman konsep yang meliputi kemampuan
mendefinisikan konsep, mengidentifikasi konsep, dapat memberikan contoh yang
bukan dari konsep”. Dalam K urikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga
menyatakan agar guru senantiasa mengarahkan aktivitas belajar matematika di
sekolah pada pencapaian standar kompetensi, yang meliputi: (1) memahami dan
menerapkan konsep, prosedur, prinsip, teorema, dan ide matematika.; (2)
menyelesaikan masalah matematika (mathematical problem solving); (3)
melakukan penalaran matematika (mathematical reasoning), (4) melakukan
koneksi matematika (mathematical connection); (5) melakukan komunikasi
matematika (mathematical communication). Sa’dijah (2006) mejelaskan bahwa
setidaknya ada tujuh indikator pemahaman konsep matematika yang dapat dilihat
oleh siswa, indicator-indikator tersebut meliputi: 1) menyatakan ulang sebuah
konsep; (2) mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan sifat-sifat tertentu (sesuai
dengan konsepnya); (3) memberikan contoh dan non-contoh dari konsep; (4)
menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representative matematis; (5)
mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep; (6) menggunakan,
memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu, 7) mengaplikasikan
konsep atau algoritma pemecahan masalah.
29
2.3.3.Pengukuran Pemahaman Konsep
Sebagaimana telah dikemukakan pada tinjauan teori diatas bahwa konsep
merupakan suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan
sebagai suatu kelompok obyek atau kejadian (Dahar, 1988). Sementara itu
pemahaman konsep adalah kekuatan yang terkait antara informasi yang
terkandung pada konsep yang dipahami dengan skema yang telah dimiliki
sebelumnya Hiebert (dalam Tim PLPG 2008:42). Suatu konsep, prosedur, dan
fakta dapat dipahami oleh siswa secara menyeluruh, bila objek matematika
tersebut dihubungkan dengan jaringan-jaringan yang ada maka keterkaitan antara
objek tersebut makin lebih kuat dan banyak. Dengan demikian tingkat
pemahaman konsep siswa dapat ditentukan oleh banyaknya jaringan informasi
yang telah dimiliki. Menurut Costa bahwa “Seorang siswa apabila dirinya sudah
memahami konsep, artinya konsep tersebut sudah tersimpan dalam pikirannya
berdasarkan pola-pola tertentu yang dibutuhkan oleh siswa untuk ditetapkan
dalam pikiran mereka sendiri sebagai ciri dari kesan mental untuk membuat suatu
contoh konsep dan membedakan contoh dan non contoh (Fikriam, 2009). Konsep
dipelajari melalui contoh dan bukan contoh. Mempelajari konsep tentu melibatkan
mengidentifikasi contoh dan bukan contoh untuk konsep itu (Arends, 2008: 325).
Pada petunjuk teknis peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas
No:506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 (dalam Tim PPPG Matematika,
2005) tentang penilaian perkembangan anak didik SMP dicantumkan indikator
dari kemampuan pemahaman komsep sebagai hasil belajar matematika. Indikator
tersebut adalah: 1) Menyatakan ulang sebuah konsep; 2) Mengklasifikasikan
objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsepnya; 3) Memberikan
contoh dan non contoh dari konsep; 4) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematis; 5) Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari
suatu konsep; 6) Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur tertentu; 7)
Mengaplikasikan konsep atau logaritma pemecahan masalah.
Dalam penelitan ini yang menjadi indikator pemahaman konsep adalah
1. Menyatakan ulang sebuah konsep yaitu menyebutkan definisi berdasarkan
konsep esensial yang dimiliki oleh sebuah objek
30
2. Mengklasifikasikan objek yaitu menganalisis suatu objek dan
mengklasifikasikannya menurut sifat-sifat/ciri-ciri tertentu yang dimiliki
sesuai dengan konsepnya
3. Memberikan contoh dan non contoh yaitu memberikan contoh lain dari
sebuah objek baik untuk contoh maupun untuk non contoh
4. Mengaplikasikan konsep yaitu Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematis sebagai suatu logaritma pemecahan masalah
Kreativitas
2.3.4.Pengertian Kreativitas
Kreativitas merupakan kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan
baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah (Semiawan dalam Akbar,
2001). Sedangakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa kreativitas
adalah kemampuan untuk mencipta; daya cipta pekerjaan yang menghendaki
kecerdasan dan imajinasi. Dengan demikian anak yang kreatif cenderung untuk
menemukan cara atau ide baru yang lebih efektif dan mudah untuk dilakukan
dalam pemecahan suatu masalah. Kreativitas merupakan konstruk payung sebagai
produk kreatif dari individu yang kreatif, memuat tahapan proses berpikir kreatif,
dan lingkungan yang kondusif untuk berlangsungnya berpikir kreatif (Puccio dan
Murdock dalam Sumarmo: 2010). Jadi kreativitas adalah kemampuan
menghasilkan suatu pekerjaan atau hasil karya yang baru dan bermanfaat dari
orang yang kreatif. Selain itu, kreativitas juga menjadi topik yang penting untuk
membedakan individu dalam level sosialnya dalam penyelesaian suatu tugas.
Semua ahli yang mendalami kreativitas sependapat bahwa novelty merupakan
komponen utama dalam kreativitas, novelty ini merupakan keaslian dan ide yang
benar-benar baru serta merupakan penggabungan dari dua hal ataupun dua
pemikiran atau lebih (Matlin 1998).
Lebih lanjut Utami Munandar (dalam Akbar 2001: 4) mengatakan dalam
uraiannya tentang pengertian kreativitas menunjukkan ada tiga tekanan
kemampuan, yaitu berkaitan dengan kemampuan untuk mengkombinasi,
31
memecahkan/ menjawab masalah, dan cerminan kemampuan operasional anak
kreatif. Ketiga tekanan tersebut adalah sebagai berikut: (1) kemampuan untuk
membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada;
(2) kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia, menemukan
banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya
adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban; (3) kemampuan
yang secara operasional mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinilitas
dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan/
memperkaya/ merici suatu gagasan). Lebih lanjut Musbikin (dalam Sumarmo,
2010) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan menyusun idea, mencari
hubungan baru, menciptakan jawaban baru atau yang tak terduga, merumuskan
konsep yang tidak mudah diingat, menghasilkan jawaban baru dari masalah asal,
dan mangajukan pertanyaan baru. Memperhatikan karakteristik yang termuat
dalam berpikir kreatif, maka dapat dipahami bahwa berpikir kreatif dalam
matematika dan dalam bidang lainnya merupakan bagian keterampilan hidup yang
perlu dikembangkan terutama dalam menghadapi era informasi dan suasana
bersaing semakin ketat. Individu yang diberi kesempatan berpikir kreatif akan
tumbuh sehat dan mampu menghadapi tantangan. Sebaliknya, individu yang tidak
diperkenankan berpikir kreatif akan menjadi frustrasi dan tidak puas.
Supriadi (2001:7) menyimpulkan bahwa pada intinya kreativitas adalah
kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru baik berupa gagasan
maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Berdasarkan pengertian di atas terlihat bahwa kreativitas menekankan pada ide
atau pemikiran dan penemuan yang mendatangkan hasil yang baru atau relatif
baru yang berkisar pada berpikir kreatif dan hasil kreatif. Berdasarkan uraian
definisi diatas dapat dikemukakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan
seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun
karya nyata, baik dalam bentuk ciri-ciri aptitude maupun non aptitude, baik dalam
karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang semuanya itu
relatif berbeda dengan yang telah ada sebelumnya.
32
2.3.5. Pengukuran Kreativitas
Ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan pertama disebut
pandangan kreativitas jenius. Menurut pandangan ini tindakan kreatif dipandang
sebagai ciri-ciri mental yang langka, yang dihasilkan oleh individu luar biasa
berbakat melalui penggunaan proses pemikiran yang luar biasa, cepat, dan
spontan. Pandangan ini mengatakan bahwa kreativitas tidak dapat dipengaruhi
oleh pembelajaran dan kerja kreatif lebih merupakan suatu kejadian tiba-tiba
daripada suatu proses panjang sampai selesai seperti yang dilakukan dalam
sekolah. Jadi dalam pandangan ini ada batasan untuk menerapkan kreativitas
dalam dunia pendidikan. Pandangan pertama ini telah banyak dipertanyakan
dalam penelitian-penelitian terbaru, dan bukan lagi merupakan pandangan
kreativitas yang dapat diterapkan kepada pendidikan. Pandangan kedua
merupakan pandangan baru kreativitas yang muncul dari penelitian-penelitian
terbaru — bertentangan dengan pandangan jenius. Pandangan ini menyatakan
bahwa kreativitas berkaitan erat dengan pemahaman yang mendalam, fleksibel di
dalam isi dan sikap, sehingga dapat dikaitkan dengan kerja dalam periode panjang
yang disertai perenungan. Jadi kreativitas bukan hanya merupakan gagasan yang
cepat dan luar biasa. Menurut pandangan ini kreativitas dapat ditanamkan pada
kegiatan pembelajaran dan lingkungan sekitar (Silver,1997) dalam (Enden Mina,
2006:8).
Tujuh sikap kreatif pada orang-orang yang kreatif, yaitu: terbuka terhadap
pengalaman baru dan luar biasa, luwes dalam berpikir dan bertindak, bebas dalam
mengekspresikan diri, dapat mengapresiasi fantasi, berminat pada kegiatan-
kegiatan kreatif, percaya pada gagasan sendiri, dan mandiri (Munandar 1997).
Diartikan secara luas kepribadian kreatif meliputi sikap, motivasi, minat, gaya
berpikir dan kebiasaan-kebiasaan dalam berprilaku. Selanjutnya, potensi
kreativitas dapat diukur melalui beberapa pendekatan yakni pengukuran langsung;
pengukuran tidak langsung, dengan mengukur unsur-unsur yang memadai ciri
tersebut; pengukuran ciri kepribadian yang berkaitan erat dengan ciri tersebut; dan
beberapa jenis pengukuran non-test” (Munandar 2009:58). Sejumlah tes
kreativitas telah disusun dan digunakan, diantarannya tes dari Torrance untuk
33
mengukur pemikiran kreatif (Torrance Test of Creative Thingking:TTCT). Soal-
soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif umum,
diperkenalkan pertama kali oleh peneliti Amerika yaitu Guilford (1959) dan
Torrance (1969) pada tahun 50-an dan tahun 60-an. Dalam soal jenis ini diberikan
cerita open-ended yaitu cerita yang menghasilkan banyak jawaban benar. Soal-
soal matematika yang mengizinkan siswa untuk memperlihatkan proses berpikir
divergen atau kreatif telah banyak dikembangkan oleh para peneliti (Pehkonen,
1992, Singh, 1992).
Batasan lain tentang kreativitas disampaikan oleh Conny R Semiawan
(1992 : 26) bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memberikan gagasan
baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah. Konsep Kreativitas
menurutnya dibedakan menjadi 4 ranah ,yaitu : (1) afektif , (2) psikomotorik, (3)
kognitif, dan (4) intuitif. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perkembangan
kreativitas individu akan berkembang secara optimal jika individu itu memiliki
bakat, dengan ditandai oleh tingkah laku yang kreatif, interaksi dan interpretasi
dari dimensi rasio, intuisi, emosi dan bakat khusus yang terpadu sehingga
menghasilkan produk tertentu yang berguna. Soal-soal yang digunakan untuk
mengukur kemampuan berpikir kreatif adalah soal jenis open-ended yaitu soal
cerita yang menghasilkan banyak jawaban benar (Torrance, 1969).
Indikator kreativitas yang akan dikaji dalam penelitian ini untuk menyatakan
siswa kreatif apabila memenuhi tiga hal, yaitu: 1) Fluency (kelancaran),
indikator yang akan diukur pada tingkat fluency ini adalah pertama apabila siswa
telah mampu mencetuskan banyak, gagasan, jawaban, penyelesaian dari masalah
atau pertanyaan, dua siswa mampu memberikan banyak cara atau saran untuk
melakukan berbagai hal, tiga siswa mampu mengaitkan sejumlah kategori yang
berbeda dari pernyataan yang dihasilkan; 2) Flexibility (Keluwesan), pertama,
apabila siswa telah menghasilkan gagasan, jawaban atau pertanyaan yang
bervariasi, dua, siswa dapat melihat masalah dari susdut pandang yang berbeda-
beda, tiga, siswa dapat mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda,
empat, siwa mamapu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran; 3)
Originality (Kebaruan), indikator yang akan diukur pada tingkat originality ini
34
adalah: pertama, siswa mamapu memperkaya dan mengembangkan sesuatu
gagasan atau produk, dua, dapat menambahkan atau memperinci detil-detil dari
suatu objek, gagasan atau situasi sehingga lebih menarik (Evans, 1991)
2.4. Teori Belajar Pendukung
Memperhatikan rangkaian kegiatan pembelajaran dengan metode
pembelajaran kooperatif yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan koneksi
dan pemecahan masalah matematik, maka terdapat beberapa teori belajar
kontruksivisme yang mendasarinya, yakni: teori belajar Jean Peaget, teori belajar
Jerome S. Bruner, teori belajar Vygotsky, dan teori belajar David P. Ausubel.
Menurut pandangan kontruksivisme, dalam pembelajaran siswa diberi
kesempatan untuk menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar,
dan guru membimbing ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Siswa harus
membangun pengetahuan dalam pikirannya sendiri dengan informasi dan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya.
Prinsip-prinsip pembelajaran yang berlandaskan kontruktivisme
dikemukakan Driver (dalam Suparno, 1997) sebagai berikut: yakni (a)
pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara individual maupun
kelompok; (b) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali
dengan keaktifan siswa itu sendiri; (c) siswa aktif mengkontruksi terus menerus,
sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci,
lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; dan (d) guru sekedar membantu
menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi siswa berjalan mulus.
Dalam kaitannya dengan konstruksivisme, Piaget yang dikenal sebagai
kontruksivis pertama (dalam Dahar: 1989) menegaskan bahwa pikiran dibangun
dalam pikiran anak, pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang tetapi
melalui tindakan aktif memanipulasi dan berinteraksi untuk beradaptasi dengan
lingkungannya melalui proses asimilasi (penyerapan informasi baru dalam
pikiran) dan akomodasi (menyusun kembali struktur pikiran karena adanya
informasi baru) dengan melibatkan interaksi pikiran dan kenyataan.
35
Proses seseorang dalam membentuk pengetahuan pada dirinya, Suparno
(1997), mendeskripsikan dengan menggunakan beberapa istilah berikut, yakni (1)
Skema (struktur kognitif) merupakan struktur mental seseorang yang
menggambarkan adanya keterkaitan konsep-konsep tertentu yang terbentuk, pada
waktu seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Skema berkembang seiring
dengan perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi; (2) Asimilasi merupakan pengintegrasian
persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau struktur kognitif
yang telah ada. Seseorang menggunakan asimilasi untuk mencocokan rangsangan
yang diterima dengan skema yang telah ada dalam pikiran. Asimilasi
mengembangkan skema yang telah dimiliki, tidak menyebabkan perubahan atau
penggantian skema; (3) Akomodasi merupakan penyesuaian struktur kognitif
terhadap situasi baru dan membentuk atau memodifikasi skema baru yang cocok
dengan rangsangan baru; (4) Ekuilibrasi merupakan proses keseimbangan yang
dipengaruhi asimilasi dan akomodasi sehingga terjadi adaptasi.
Lebih lanjut, Suparno (1997) mengemukakan bahwa implikasi dari teori
Peaget dengan konstruksivismenya dalam pembelajaran adalah (1) memusatkan
perhatian pada berpikir atau proses mental anak, bukan sekedar hasilnya; (2)
mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam
kegiatan pembelajaran; (3) memaklumi adanya perbedaan kecepatan individu
dalam hal kemajuan perkembangan; (4) mengutamakan peran siswa dalam
berinteraksi.
Seperti halnya Peaget, Bruner dengan pendekatan penemuannya, membagi
perkembangan intelektual anak dalam tiga kategori, yakni enaktik, ikonik, dan
simbolik (Ruseffendi, 1991) atau memperoleh informasi baru, transformasi
informasi, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Dahar: 1989).
Lebih lanjut, Ruseffendi (1991) merinci 4 dalil dari Bruner yang penting
dalam pembelajaran matematika, yaitu dalil penyusunan, dalil notasi, dalil
pengkontrasan dan keanekaragaman, serta dalil pengaitan, namun yang paling erat
kaitannya dengan pembelajaran kooperatif, koneksi dan pemecahan masalah
matematik adalah dalil penyusunan dan dalil pengaitan. Dalil Penyusunan, siswa
36
mempelajari matematika akan lebih bermakna bila melalui penyusunan
representasi obyek yang dimaksud dan dilakukan secara langsung. Misalnya, jika
guru akan menjelaskan konsep Peluang di sekolah tingkat menengah, maka
sebaiknya guru menyajikan dan melakukan percobaan beberapa kali dengan
menggunakan Dadu atau benda lainnya. Dalil Pengaitan, seperti yang kita
ketahui, materi matematika memiliki karakteristik saling keterkaitan yang sangat
kuat satu sama lain, sehingga siswa diharuskan menguasai materi atau konsep-
konsep prasyarat dari materi yang akan dipelajari.
Pandangan Bruner (dalam Suharsono: 1991) tentang alternatif pemecahan
masalah dikembangkan berdasarkan persepsinya terhadap permasalahan yang
dihadapinya, ada empat tahapan aktivitas mental dan pengambilan keputusan yang
harus dilakukan seseorang dalam memecahkan masalah, agar ia sampai pada
jawaban akhir yang diberikan, yaitu (1) kategori awal, memilih informasi yang
datang dari sumber-sumber eksternal ke dalam bentuk-bentuk tertentu; (2)
mencari jejak, ketika seseorang harus menggabungkan informasi yang telah
dipilih dengan apa yang telah ada dalam memori menjadi pola struktur dengan
karakter-karakter tertentu; (3) pemeriksaan konfirmasi, membuktikan apakah
pola-pola struktur yang dibangun itu dapat dioperasikan pada situasi baru yang
mirip dengan karakteristik permasalahan yang ada dalam memori; dan (4)
penyelesaian konfirmasi, upaya lanjut untuk mendapatkan kepastian tentang apa
yang distrukturkan dalam memori.
Berbeda dengan konstruktivisme kognitifnya Peaget, Vigotsky lebih
menekankan pada konstruksivisme sosial, yaitu belajar dilakukan dengan interaksi
terhadap lingkungan sosial maupun fisik seseorang. Kontribusi yang paling
penting dari teori Vigotsky adalah penekanan pada kerjasama. saling bertukar
pendapat antara sesama siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran menurut
Vygotsky berlangsung jika siswa bekerja pada jangkauan peserta didik yang
disebut dengan zone of proximal development (zona perkembangan proximal)
sehingga siswa dalam menyelesaikan tugasnya harus bekerja sama. Nur dan
Samani (1996) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan zone of proximal
development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
37
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dengan
tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerjasama dengan
teman yang lebih mampu.
Ide lain dari teori Vygotsky dalam pembelajaran ditekankan pada
Scaffolding, maksudnya adalah, sejumlah besar bantuan diberikan kepada peserta
didik selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian peserta didik
mengambil alih tanggung jawab sendiri. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk.
Peringatan, dorongan, pemberian contoh ataupun yang lainnya yang
memungkinkan sehingga peserta didik tumbuh mandiri.
Teori belajar pendukung pembelajaran kooperatif yang bertujuan
meningkatkan kemampuan koneksi dan pemecahan masalah matematik yang lain,
adalah teori belajar David P. Ausubel. Dari teori Ausubel yang paling familier
adalah belajar bermakna (meaningful learning), karena dia membedakan antara
belajar menerima dengan belajar menemukan atau belajar menghafal dengan
belajar bermakna. Belajar bermakna adalah memproses pengetahuan baru yang
sedang dipelajari dikaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya,
sedangkan belajar menghafal adalah belajar melalui proses menghafal apa yang
sudah diperoleh (Ruseffendi, 1991).
Lebih lanjut, Ausubel (Hudoyo, 1998) menyatakan bahwa tidak hanya
proses siswa belajar, namun materi yang dipelajari juga harus bermakna.
Maksudnya, di samping materi yang disajikan harus disesuaikan dengan
kemampuan siswa, juga harus relevan dengan struktur kognitif siswa, sehingga
materi harus dikaitkan dengan konsep-konsep (pengetahuan) yang telah dimiliki
siswa dan dikaitkan dengan bidang lain atau kehidupan sehari-hari siswa.
Dari beberapa teori konstruktivisme tersebut, sejalan dengan penerapan
pembelajaran kooperatif yaitu agar siswa dapat diberi kesempatan untuk
mengkonstruksi pengetahuan, berkomunikasi dan berinteraksi secara sosial
dengan temannya, siswa belajar dengan bermakna tidak hanya sekedar menghafal
dan masalah yang dihadapi siswa adalah masalah yang sesuai dengan struktur
kognitifnya dan kehidupan sehari-hari, untuk mencapai tujuan belajar secara
38
bersama dan pada pembelajaran kooperatif ini guru berlaku sebagai motivator dan
moderator.
2.5. Pembelajaran Konvensional.
Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
suatu pola pembelajaran yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah sampai saat ini,
yang masih cenderung menganut paham behaviorisme. Hal ini dipertegas oleh
Marpaung (2006: 7) bahwa pembelajaran matematika yang sampai sekarang pada
umumnya masih berlangsung di sekolah dengan paradigma mengajar mempunyai
ciri-ciri diantaranya, guru aktif dan siswa pasif, jika siswa melakukan kesalahan
maka guru memberi hukuman dalam berbagai bentuk (pengaruh behaviorisme).
Hal ini berarti pembelajaran saat ini dengan pemberian informasi sebanyak-
banyaknya tidak memotivasi siswa untuk belajar. Guru menggunakan perangkat
pembelajaran dari yang sudah ada sebelumnya, menggunakan buku pegangan
siswa dan guru yang disarankan untuk dimiliki. Proses pembelajaran matematika
yang dimulai dari menjelaskan teori kemudian diberikan contoh dan diikuti
dengan soal latihan, dengan menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran. Metode
pembelajaran matematika umumnya menggunakan kombinasi metode ceramah
dan metode tanya jawab. Guru lebih banyak menyampaikan materi dengan
ceramah dan sekali-kali diselingi dengan tanya jawab.
Hal ini didukung oleh Soejadi (2001) bahwa pembelajaran matematika
yang dilakukan selama ini telah menjadi kebiasaan para guru dalam menyajiikan
pelajaran dengan urutan: (1) dengarkan teori/defenisi/teorema, (2) berikan contoh-
contoh, (3) berikan latihan soal-soal. Sebagai contoh, seorang guru mengatakan
penjumlahan dua bilangan positif akan menghasilkan bilangan positif pula,
penjumlahan dua bilangan negatif akan menghasilkan bilangan negatif pula.
Setelah itu guru memberikan contoh soal dan diakhiri dengan menugaskan kepada
siswa untuk mengerjakan soal-soal. Dengan demikian pelaksanaan pembelajaran
bersifat menyampaikan informasi, aktivitas siswa menjadi pasif sehingga siswa
tidak memahami, kebanyakan siswa hanya mendengar dan menulis, dan hanya
sedikit siswa yang bertanya kepada tentang penjelasan guru.
39
2.6. Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber belajar yang
memungkinkan siswa dan guru melakukan kegiatan pembelajaran. Ibrahim
(2003:3) menyatakan bahwa ibarat pasukan yang akan berperang memerlukan
logistik, seorang guru yang akan “bertempur” di dalam kelaspun memerlukan
sejumlah piranti/perangkat pembelajaran yang akan membantu dan memudahkan
proses mengajar belajarnya dan memberikan pengalaman kepada siswa dalam
rangka mencapai tujuan yang sudah ditentukan.
Perumpamaan di atas memberikan gambaran tentang pentingnya
perangkat pembelajaran bagi guru dalam mengelolah pembelajaran. Sehubungan
dengan hal tersebut Usman (2001: 24) menyatakan perangkat pembelajaran
merupakan prasyarat bagi terjadinya interaksi belajar mengajar yang optimal. Jadi
jelas bahwa perangkat pembelajaran akan mempengaruhi keberhasilan proses
pembelajaran di kelas. Oleh sebab itu perangkat pembelajaran mutlak diperlukan
oleh seorang guru dan siswa dalam mengelola pembelajaran.
Dalam implementasinya perangkat pembelajaran terdiri dari berbagai
komponen tergantung kepada kebutuhan masing-masing orang (guru). Namun
dalam penelitian ini, perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah : Rencana
Pembelajaran (RP), Buku Guru, Lembar Kegiatan Siswa (LKS) dan Tes Hasil
Belajar. Selanjutnya perangkat pembelajaran meliputi :
1. Rencana Pembelajaran (RP)
Rencana Pembelajaran adalah suatu rencana yang berisi prosedur atau
langkah-langkah kegiatan guru dan siswa yang disusun secara sistematis
sebagai pedoman bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas.
Makin baik perencanaan yang dibuat, makin mudah pelaksanaan kegiatan
pembelajaran sehingga semakin tinggi kemungkinan hasil belajar yang dicapai
(Usman, 2001:43). Rencana pembelajaran untuk pendekatan Pembelajaran
Matematika Realistik terdiri dari bagian pendahuluan, kegiatan inti, dan
penutup yang didalamnya memuat langkah-langkah pembelajaran sesuai
pendekatan PMR. Dalam RP ini juga disajikan informasi-informasi penting
lain yang terkait dengan pembelajaran tersebut, yaitu Kompetensi dasar, hasil
40
belajar, indikator pencapaian hasil belajar, materi prasyarat dan daftar sumber
bacaan.
2. Buku Guru
Pada buku guru dikemukakan pokok-pokok kegiatan guru dan siswa selama
proses pembelajaran di kelas. Komponen utama dari buku ini terdiri dari dua
bagian. Bagian pertama memuat komentar dan petunjuk pelaksanaan
pembelajaran yang terkait dengan halaman pada LKS. Sedangkan bagian
kedua sepenuhnya memuat halaman LKS. Penyusunan buku guru ini
didasarkan pada pendekatan PMR.
3. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
Mengingat tingkat kemampuan siswa yang berbeda, maka perangkat ini perlu
dilengkapi dengan Lembar Kegiatan Siswa. Keberadaan LKS ini dimaksudkan
untuk memberikan kemudahan pada guru dalam mengakomodir tingkat
kemampuan siswa yang berbeda, disamping memberi kemudahan bagi guru
untuk mengelolah pembelajaran matematika realistik.
4. Tes Hasil Belajar
Perangkat pembelajaran juga dilengkapi dengan alat evaluasi berupa tes hasil
belajar yang dapat digunakan untuk mengukur ketuntasan belajar siswa pada
materi pokok aritmetika sosial.
2.7. Validitas Perangkat Pembelajaran
Harjanto (1997:288) mengatakan bahwa sebelum digunakan dalam
kegiatan pembelajaran hendaknya perangkat pembelajaran telah mempunyai
status “valid/baik”. Untuk dapat mencapai validitas perangkat pembelajaran
tersebut perlu melalui proses validasi. Dalam penelitian ini proses validasi
dilakukan dalam satu tahap yaitu validasi ahli/pakar.
Suparman (1996:212), mengatakan bahwa idealnya seorang pengembang
perangkat melakukan review (pemeriksaan ulang) kepada para ahli khususnya
tentang ketepatan isi, materi pembelajaran, relevansinya dengan TPK, desain fisik
dan lain-lain. Selanjutnya para ahli tersebut dalam penelitian ini dinamakan
validator. Berikut ini adalah komponen-komponen indikator validasi yang
41
dikemukakan oleh O’Meara (dalam Sabardin, 2004:40) sebagai berikut: (a)
Indikator format; meliputi komponen-komponen: kejelasan pembagian materi,
sistem penomoran jelas dan menarik, keseimbangan antara teks dan
ilustrasi, pengaturan ruang, kesesuaian jenis dan ukuran huruf; (b) Indikator
bahasa; meliputi komponen - komponen: kebenaran tata bahasa, kesesuaian
kalimat dengan tingkat perkembangan siswa, arahan untuk membaca sumber
lain, kejelasan definisi tiap terminology, kesederhanaan struktur kalimat,
kejelasan petunjuk dan arahan; (c). Indikator ilustrasi; meliputi komponen-
komponen: dukungan ilustrasi untuk memperjelas konsep, keterkaitan secara
langsung dengan konsep yang dibahas, kejelasan, kemudahan untuk dipahami,
dan penggunaan konteks local; (d) Indikator isi perangkat pembelajaran;
meliputi komponen-komponen: kebenaran isi, bagian-bagiannya tersusun secara
logis, merupakan materi yang esensial, kesesuaian dengan garis besar
program pembelajaran, kesesuaian dengan pembelajaran matematika realistik,
hubungan dengan materi sebelumnya, kesesuaian dengan pola pikir siswa,
dan memuat latihan yang berhubungan dengan konsep yang ditemukan.
2.8. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan.
a. Aceng Haetami dan Sri Wahyuni Penerapan Model Pembelajaran
Pencapaian Konsep Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Dasar I (Studi
Perbaikan Pembelajaran pada Mahasiswa Pendidikan Kimia FKIP Unhalu)
Hasil penelitian:
hasil belajar mahasiwa untuk setiap siklus meningkat yaitu 62,92 untuk
Siklus I; 64,72 untuk Siklus II ; dan 65,67 untuk Siklus III meskipun
kenaikkannya tidak lebih dari 3 %. Jumlah mahasiswa yang bernilai ≥ 65 pun
relatif sama, meskipun sedikit ada kenaikan tetapi untuk ketiga siklus masih
di jauh di bawah target pencapaian indikator kinerja yaitu 80 % mahassiwa
bernilai ≥ 65.
b. Nularsih telakukan penelitian terhadap siswa SMA yaitu Teknik Pencapaian
Konsep Siswa melalui Pembelajaran Peta Konsep dan Bermain Peran
42
Terhadap Hasil Belajar Geografi Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 1
Surakarta Tahun 2008.
Hasil penelitian:
Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar siswa yang diajar
dengan menggunakan teknik pembelajaran Peta Konsep dan teknik Bermain
Peran. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil perhitungan diperoleh t hitung
3,48 lebih besar dari harga t tabel dengan db 77 taraf signifikansi 5% sebesar
1,67. 2. Teknik pembelajaran Bermain Peran lebih baik daripada Teknik Peta
Konsep. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil nilai rerata pada kelompok
eksperimen sebesar 7,73 lebih tinggi daripada nilai rerata kelompok kontrol
sebesar 7,00.
c. Sanusi Pembelajaran Pencapaian Konsep dalam Mengajarkan persamaan
kuadrat di Kelas I SMA/MA
Hasil penelitian:
Dalam penelitian ini, sampel yang diteliti sebanyak 2 kelas yaitu kelas I.1
sebagai kelas eksperimen berjumlah 34 siswa dan kelas I.2 sebagai kelas
kontrol sebanyak 35 siswa . data yang terkumpul hasil postes dari kelas
eksperimen sebesar 82,35% siswa tuntas, aktivitas siswa 61, 97% aktif, 36, 72
% mendengarkan penjelasan guru, 1,31% perilaku yang tidak relevan,
aktivitas guru 66,22% efektif, 33,75% memberikan petunjuk/bimbingan siswa
dan 0% perilaku yang tidak relevan, respon siswa 85% merasa senang dengan
komponen belajar, 62, 33% merasa baru terhadap komponen pembelajaran
dan 91,18% berminat mengikuti pembelajaran pencapaian konsep.
2.9. Kerangka Konseptual
Belajar adalah suatu proses mental yang terjadi dalam diri seseorang
yang melibatkan kegiatan (proses) berfikir, dan terjadi melalui pengalaman-
pengalaman yang diperoleh dan melalui reaksi terhadap lingkungan dimana ia
berada. Belajar matematika adalah belajar dengan mengaitkan simbol-simbol dan
konsep abstrak, sehingga diupayakan seefektif mungkin dapat membantu siswa
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, untuk menemukan penyelesaian dari
43
suatu masalah. Masalah yang dihadapi siswa berbeda-beda, sebab ada yang
menganggap suatu persoalan adalah masalah tetapi bagi yang lain mungkin bukan
merupakan suatu masalah.
Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu, mempersiapkan
anak didik sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di
dalam dunia yang senantiasa berubah, melalui latihan bertindak atas dasar
pemikiran secara logik dan rasional, kritis dan cermat, objektif, kreatif. Dan
mempersiapkan anak didik agar dapat menggunakan matematika secara
fungsional di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam menghadapi ilmu
pengetahuan yang senantiasa berubah. Oleh sebab itu, guru harus mampu
merencanakan dan melaksanakan strategi, metode, teknik, atau pendekatan dalam
pembelajaran matematika yang dapat menarik perhatian siswa untuk dapat terlibat
aktif dalam proses pembelajaran Salah satu strategi yang dapat meningkatkan
proses berfikir siswa dalam pemecahan masalah adalah pembelajaran kontekstual
dimana penekananya bukan pada rincian kejelasan tujuan, tetapi pada gambaran
kegiatan tahap demi tahap dan media yang dipakai.
Tidak ada satu pun definisi yang dapat mengungkapkan arti yang kaya
dari konsep, oleh karena itu konsep-konsep itu merupakan penyajian internal dari
sekelompok stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, dan harus
disimpulkan dari perilaku. Dahar menyatakan bahwa konsep merupakan dasar
untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan akhirnya untuk memecahkan
masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting bagi manusia dalam berpikir
dan belajar. Karena itu dibuatlah suatu pemetaan konsep merupakan suatu
alternatif selain outlining, dan dalam beberapa hal lebih efektif daripada outlining
dalam mempelajari hal-hal yang lebih kompleks.
Model pencapaian konsep merupakan bagian dari strategi organisasi.
Strategi organisasi bertujuan membantu pembelajar meningkatkan kebermaknaan
bahan-bahan organisasi bertujuan membantu pembelajar meningkatkan
kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan mengenakan
struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut. Ada tiga cara
yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing aktifitas siswa yaitu: (a) Guru
44
mendorong siswa untuk menyatakan pemikiran mereka dalam bentuk hipotesa,
bukan dalam bentuk observasi ; (b) Guru menuntun jalan pikiran siswa ketika
mereka menetapkan apakah suatu hipotesis diterima atau tidak; (c) Guru meminta
siswa untuk menjelaskan mengapa mereka menerima atau menolak suatu
hipotesis. Penggunaan model pencapaian konsep dimulai dengan pemberian
contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan, kemudian dengan mengamati
contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep-konsep tersebut.
Suatu pembelajaran dikatakan efektif jika melalui pembelajaran tersebut
terdapat indikator kualitas pembelajaran ( quality of instruction), kesesuaian
tingkat pembelajaran ( appropriate level of instruction), insentif ( incentive), dan
waktu (time). Suatu kelas dikatakan menggunakan pembelajaran kontekstual jika
dalam penerapannya terlaksana ketujuh komponen, yaitu konstruktivisme
(construktivism), menemukan(inquiri), bertanya (questioning), masyarakat belajar
(learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection) dan penilaian
sebenarnya (authentic assesment). Dengan diterapkannya ketujuh komponen di
atas dalam pembelajaran matematika maka siswa akan menemukan sendiri
kebermaknaan dalam belajar matematika sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika dan hasil belajar
siswa.
1. Peningkatan pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan
dengan model pencapaian konsep lebih baik dari pada pemahaman
konsep matematika siswa yang diajarkan dengan pembelajaran
konvensional.
Pemahaman konsep adalah kekuatan yang terkait antara informasi yang
terkandung pada konsep yang dipahami dengan skema yang telah dimiliki
sebelumnya. Suatu konsep, prosedur, dan fakta dapat dipahami oleh siswa secara
menyeluruh, bila objek matematika tersebut dihubungkan dengan jaringan-
jaringan yang ada maka keterkaitan antara objek tersebut makin lebih kuat dan
banyak. Dengan demikian tingkat pemahaman konsep siswa dapat ditentukan oleh
banyaknya jaringan informasi yang telah dimiliki. Seorang siswa apabila dirinya
sudah memahami konsep, artinya konsep tersebut sudah tersimpan dalam
45
pikirannya berdasarkan pola-pola tertentu yang dibutuhkan oleh siswa untuk
ditetapkan dalam pikiran mereka sendiri sebagai ciri dari kesan mental untuk
membuat suatu contoh konsep dan membedakan contoh dan non contoh
Untuk meningkatkan kemampuan pemahamankonsep matematika siswa
adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat salah satunya adalah
pembelajaran dengan model pencapaian konsep. Pada prinsipnya model
pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu model mengajar yang
menggunakan data untuk mengajarkan konsep kepada siswa, dimana guru
mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau contoh, kemudian guru
meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model pencapaian konsep adalah
suatu strategi pembelajaran induktif yang didesain untuk membantu siswa pada
semua usia dalam mempelajari konsep dan melatih pengujian hipotesis dan model
ini memiliki keunggulan untuk memahami (mempelajari) suatu konsep dengan
cara lebih efektif.
Model pencapaian konsep ini banyak menggunakan contoh dan non
contoh. Ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam membimbing
aktifitas siswa yaitu: (a) Guru mendorong siswa untuk menyatakan pemikiran
mereka dalam bentuk hipotesa, bukan dalam bentuk observasi ; (b) Guru
menuntun jalan pikiran siswa ketika mereka menetapkan apakah suatu hipotesis
diterima atau tidak; (c) Guru meminta siswa untuk menjelaskan mengapa mereka
menerima atau menolak suatu hipotesis. Penggunaan model pencapaian konsep
dimulai dengan pemberian contoh-contoh penerapan konsep yang diajarkan,
kemudian dengan mengamati contoh-contoh diturunkan definisi dari konsep-
konsep tersebut. Hal yang paling utama diperhatikan dalam penggunaan model ini
adalah pemilihan contoh yang tepat untuk konsep yang diajarkan, yaitu contoh
tentang hal-hal yang akrab dengan siswa. Selain itu siswa diberi kesempatan
untuk mengaitkan antara konsep baru dengan konsep sebelumnya sehingga
pembelajaran akan bermakna.
Dalam pembelajaran konvensional, langkah-langkah dalam pembelajaran
diawali dengan persiapan guru, apersepsi materi pada pendahuluan, kegiatan inti
adalah uraian materi yang biasanya disampaikan guru dengan metode caramah,
46
tanya jawab dan penugasan. Kegaiatan guru dalam pembelajaran seolah-olah
hanya mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada siswa. Dalam pembelajaran
konvesnional siswa tidak dilibatkan dalam pembelajaran secara fisik, mental
maupun pada lingkungan sendiri, siswa juga tidak memiliki kesempatan
menemukan sendiri konsep dasar suatu ilmu dan mengaikan antara konsep baru
dengan konsep sebelumnya sehingga pembelajaran tidak bermakna.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan model pencapaian konsep diduga dapat meningkatkan pemahaman
konsep siswa yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran ekpositori.
2. Peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa yang diajarkan
dengan model pencapaian konsep lebih baik dari pada kreativitas
matematika siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
Kreatifitas menunjukan kemampuan siswa menghasilkan sejumlah ide
yang beragam, mengembangkan maupun menghasilkan ide yang tak biasa
diantara kebanyakan orang. Kemampuan ini merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan matematika. Terutama
soal-soal yang membutuhkan pemahaman lebih dalam misalnya soal-soal cerita
maupun soal-soal open-ended.
Ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan pertama disebut
pandangan kreativitas jenius. Menurut pandangan ini tindakan kreatif dipandang
sebagai ciri-ciri mental yang langka, yang dihasilkan oleh individu luar biasa
berbakat melalui penggunaan proses pemikiran yang luar biasa, cepat, dan
spontan. Pandangan kedua merupakan pandangan baru kreativitas yang muncul
dari penelitian-penelitian terbaru bertentangan dengan pandangan jenius.
Pandangan ini menyatakan bahwa kreativitas berkaitan erat dengan pemahaman
yang mendalam, fleksibel di dalam isi dan sikap, sehingga dapat dikaitkan dengan
kerja dalam periode panjang yang disertai perenungan. Jadi kreativitas bukan
hanya merupakan gagasan yang cepat dan luar biasa.
Penggunaan model pencapaian konsep dimulai dengan pemberian contoh-
contoh penerapan konsep yang diajarkan, kemudian dengan mengamati contoh-
47
contoh diturunkan definisi dari konsep-konsep tersebut. Hal yang paling utama
diperhatikan dalam penggunaan model ini adalah pemilihan contoh yang tepat
untuk konsep yang diajarkan, yaitu contoh yang harus diurutkan sedemikian
sehingga para siswa mendapat kesempatan untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kreatif mereka, menunjukkan secara cepat atau langsung makna dari
konsep yang diajarkan. Dalam mengurutkan contoh, guru dapat melakukan
dengan menyajikan dua atau lebih contoh positif kemudian diikuti dua atau lebih
contoh negatif (non- contoh). Bahkan dengan model pencapaian konsep, siswa
diberi kesempatan untuk menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi
matematis sebagai suatu logaritma pemecahan masalah yang dapat menimbulkan
kreativitas siswa.
Dalam pembelajaran konvensional, langkah-langkah dalam pembelajaran
diawali dengan persiapan guru, apersepsi materi pada pendahuluan, kegiatan inti
adalah uraian materi yang biasanya disampaikan guru dengan metode caramah,
tanya jawab dan penugasan. Kegaiatan guru dalam pembelajaran seolah-olah
hanya mentransfer ilmu yang dimilikinya kepada siswa. Dalam pembelajaran
konvesnional siswa tidak dilibatkan dalam pembelajaran secara fisik, mental
maupun pada lingkungan sendiri sehingga kesempatan siswa untuk
mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya akan terhalang. Hal ini akan
menghambat kreativitas berpikir siswa dalam menyelesaikan persoalan
representatif matematika.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model
pencapaian konsep diduga dapat meningkatkan kreativitas siswa yang lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran ekpositori.
3. Terdapat interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran
dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan
kemampuan pemahaman konsep matematika siswa
Ada dua cara yang dapat kita gunakan untuk mengamati dan memperoleh
informasi tentang strategi yang digunakan siswa untuk mencapai konsep, yaitu:
(1) setelah suatu konsep dicapai, kita dapat meminta mereka menceritakan
48
pemikirannya agar latihan terus berlangsung. Misalnya, dengan menggambarkan
gagasan yang mereka munculkan, sifat apa yang mereka fokuskan, dan modifikasi
apa yang mereka buat. Hal ini dapat membimbing mereka pada suatu diskusi di
mana mereka dapat menemukan strategi-strategi yang lain dan bagaimana
penerapan strategi ini; (2) kita dapat meminta siswa untuk menulis hipotesis
mereka. Setelah itu, mereka diminta menyerahkan pada kita suatu catatan yang
dapat kita analisis. Siswa bekerja secara berpasangan untuk membentuk hipotesis-
hipotesis pada pasangan contoh-contoh (satu positif dan satu negatif) yang telah
disajikan untuk mereka. Mereka mencatat hipotesis mereka, perubahan-perubahan
yang mereka buat, dan alasan-alasan yang mereka kemukakan. Siswa yang
bekerja secara holistik, secara seksama akan menghasilkan hipotesis ganda dan
secara bertahap akan menghilangkan hipotesis yang tak dapat dipertahankan.
Siswa yang memilih satu atau dua hipotesis dalam awal-awal pengamatan perlu
mengubah contoh-contoh secara terus-menerus dan meninjau ulang atau merevisi
gagasan mereka agar mencapai konsep sifat ganda yang menjadi tujuannya.
Dengan menggunakan dan bercermin pada strategi mereka, siswa dapat mencoba
strategi baru dalam pelajaran selanjutnya dan menyelidiki pengaruh perubahan itu.
Jika diberikan beberapa contoh yang sebelumnya telah diberi label pada
siswa (satu diidentifikasi sebagai contoh positif dan satu diidentifikasi untuk
contoh negatif), mereka pada akhirnya akan mampu memeriksa data dan memilih
sedikit hipotesis untuk diterapkan. Namun, jika contoh-contoh itu dalam bentuk
pasangan demi pasangan, siswa akan terdorong untuk menerapkan strategi-strategi
holistic untuk memperoleh ciri-ciri ganda atas contoh-contoh itu. Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa diduga ada interaksi yang signifikan antara
pendekatan pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap
peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa.
4. Terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dengan
tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan
kreativitas matematika siswa
Sebagaimana telah di utarakan bahwa Ada dua cara yang dapat kita
gunakan untuk mengamati dan memperoleh informasi tentang strategi yang
49
digunakan siswa untuk mencapai konsep, yaitu: setelah suatu konsep dicapai, kita
dapat meminta mereka menceritakan pemikirannya agar latihan terus berlangsung;
(2) kita dapat meminta siswa untuk menulis hipotesis mereka. Setelah itu, mereka
diminta menyerahkan pada kita suatu catatan yang dapat kita analisis. Siswa
bekerja secara berpasangan untuk membentuk hipotesis-hipotesis pada pasangan
contoh-contoh (satu positif dan satu negatif) yang telah disajikan untuk mereka.
Hal di atas menunjukkan bahwa dengan pembelajaran model pencapaian
konsep akan dapat meningkatkan kreativitas siswa dengan baik. Sementara itu
model pencapaian konsep dimulai dengan pemberian contoh-contoh penerapan
konsep yang diajarkan, kemudian dengan mengamati contoh-contoh diturunkan
definisi dari konsep-konsep tersebut. Contoh-contoh itu harus diurutkan
sedemikian sehingga para siswa mendapat kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif mereka, menunjukkan secara cepat atau langsung
makna dari konsep yang diajarkan. Selain itu, penguasaan konsep dasar ilmu yang
baik dan tinggi akan menimbulkan problem solving yang baik dan bervariasi
sehingga memunculkan suatu kreativitas berfikir siswa. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa diduga ada interaksi yang signifikan antara pendekatan
pembelajaran dengan tingkat kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan
kemampuan kreativitas matematika siswa
5. Aktivitas siswa yang memperoleh pembelajaran model pencapaian
konsep lebih positif daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan fakta dilapangan, sebagian besar pendekatan pembelajaran
yang digunakan guru selama ini cenderung berpusat pada guru. Pembelajaran
disampaikan dengan menggunakan sistem ceramah sehingga mendorong aktivitas
belajar siswa yang cenderung diam, mendengarkan dan mencatat hal – hal yang
penting dari pelajaran. Hal ini mengakibatkan sikap anak yang pasif terhadap
pelajaran yang disampaikan. Untuk penguasaan konsep yang baik dibutuhkan
komitmen siswa dalam memilih belajar sebagai suatu yang bermakna, lebih dari
hanya menghafal, yaitu memebutuhkan kemauan siswa mencari hubungan
50
konseptual antara pengetahuan yang dimiliki dengan yang sedang dipelajari di
dalam kelas.
Salah satu cara yang dapat mendorong siswa untuk belajar secara
bermakna adalah dengan penggunaan model pencapaian konsep. Pada prinsipnya
model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu model mengajar yang
menggunakan data untuk mengajarkan konsep kepada siswa, dimana guru
mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau contoh, kemudian guru
meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model ini membantu siswa pada
semua usia dalam memahami tentang konsep dan latihan pengujian hipotesis. Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa yang memperoleh
pembelajaran model pencapaian konsep lebih positif daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
6. Pola jawaban yang dibuat siswa dalam menyelesaikan masalah pada masing-masing pembelajaran
Pada prinsipnya model pembelajaran pencapaian konsep adalah suatu
model mengajar yang menggunakan data untuk mengajarkan konsep kepada
siswa, dimana guru mengawali pengajaran dengan menyajikan data atau contoh,
kemudian guru meminta siswa untuk mengamati data tersebut. Model ini
membantu siswa pada semua usia dalam memahami tentang konsep dan latihan
pengujian hipotesis
2.10. Rumusan Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan uraian pada tinjauan pustaka, pada
penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
1. peningkatan pemahaman konsep matematika siswa yang diajarkan dengan
model pencapaian konsep lebih tinggi dari pada pemahaman konsep
matematika siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
51
2. peningkatan kemampuan kreativitas matematika siswa yang diajarkan dengan
model pencapaian konsep lebih tinggi dari pada kreativitas matematika siswa
yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
3. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan tingkat
kemampuan matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan
pemahaman konsep matematika siswa.
4. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan tingkat kemampuan
matematika siswa terhadap peningkatan kemampuan kreativitas matematika
siswa.
5. Aktivitas siswa yang memperoleh pembelajaran model pencapaian konsep
lebih positif daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
6. Pola jawaban siswa dengan pembelajaran berbasis masalah lebih bervariasi
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional