bab ii - abstrak.uns.ac.id · pedagang kaki lima, tukang becak, maupun para buruh. sektor informal...

21
14 BAB II KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN 1980-1985 A. Kondisi Geografi dan Demografi Surakarta 1. Kondisi Geografi a. Letak dan Luas Kota Surakarta letaknya berada di antara wilayah pendukung yang cukup potensial, yaitu Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Boyolali, dan Klaten. Letak Surakarta ada pada dataran rendah yang berada pada pertemuan Sungai Pepe, Jenes, dan Bengawan Solo yang mempunyai ketinggian kurang lebih 92 m dari permukaan air laut dan terletak secara astronomi antara 110º 45’ 15’-110º 45º 35’’ BT dan 7º 56º 00’’ LS. Kota Surakarta terdiri dari lima kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjarsari. Surakarta memiliki batas wilayah yang bersinggungan dengan beberapa kabupaten, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Luas kota kurang lebih 4.404,05 Ha. Lahannya sebagian besar digunakan untuk perumahan pemukiman 2.674,25 m 2 , jasa 422,60 m 2 , perusahaan

Upload: others

Post on 14-Oct-2019

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SURAKARTA

TAHUN 1980-1985

A. Kondisi Geografi dan Demografi Surakarta

1. Kondisi Geografi

a. Letak dan Luas

Kota Surakarta letaknya berada di antara wilayah pendukung yang cukup

potensial, yaitu Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Boyolali, dan Klaten. Letak Surakarta

ada pada dataran rendah yang berada pada pertemuan Sungai Pepe, Jenes, dan

Bengawan Solo yang mempunyai ketinggian kurang lebih 92 m dari permukaan air

laut dan terletak secara astronomi antara 110º 45’ 15’-110º 45º 35’’ BT dan 7º 56º

00’’ LS.

Kota Surakarta terdiri dari lima kecamatan, yaitu Kecamatan Laweyan,

Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjarsari. Surakarta memiliki batas wilayah

yang bersinggungan dengan beberapa kabupaten, sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Karanganyar dan Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Sukoharjo dan Karanganyar, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo

dan Kabupaten Karanganyar, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan

Kabupaten Sukoharjo. Luas kota kurang lebih 4.404,05 Ha. Lahannya sebagian besar

digunakan untuk perumahan pemukiman 2.674,25 m2, jasa 422,60 m

2, perusahaan

15

282,12 m2, industri 101,42 m

2, tegalan 99,98 m

2, sawah 190,87 m

2 dan sisanya untuk

sarana hiburan, lapangan olah raga, taman kota dan lain-lain.1

b. Keadaan Alam

Wilayah Surakarta, secara umum dalam kondisi datar sebab berada di antara

dua gunung, yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi, tanah yang agak

bergelombang terdapat pada bagian utara dan timur. Jenis tanah sebagian tanah liat

berpasir, termasuk regosol kelabu dan aluvial, di wilayah bagian utara tanah liat

grumusol serta wilayah bagian timur laut litosol meditern. Iklim tropis di Surakarta

mengalami dua kali pergantian musim dalam setahun. Pada musim kemarau di

tempat-tempat yang terbasah masih menunjukkan curah hujan di atas minimum pada

musim hujan. Keadaan iklim pada daerah ini mempunyai suhu maksimum 32,5 C

dan minimum 21,9 C, rata-rata tekanan udara 1010,9 MBS kelembapan 71%,

kecepatan angin 0,4 Knot, arah angin 240 ºC dan curah hujan 16,31 mm.2

1Kota Surakarta Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kota Surakarta, hlm. 3.

2Ibid.

16

Peta Kota Surakarta Tahun 1980

2. Kondisi Demografi

Pengetahuan mengenai demografi sangat diperlukan untuk mendeskripsikan

kondisi sosial masyarakat suatu daerah yang berfungsi untuk masalah demografi.

Mengetahui demografi, akan memudahkan suatu daerah atau negara dalam

menentukan kebijakan pembangunan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah.

Demografi sendiri didefinisikan sebagai studi statistik tentang penduduk

terutama menurut besar dan kepadatannya. Sensus dan angka-angka statistik tentang

17

kelahiran, kematian, mata pencaharian, perpindahan dan lain-lain merupakan data

yang sudah sejak dahulu menjadi titik tolak bagi analisa-analisa demografi.3

Tabel 1

Luas, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Surakarta

Tahun 1980-1985

No. Tahun Luas (km²) Jumlah Penduduk Kepadatan

Penduduk /(km²)

1 1980 44,040 459.257 10.428

2 1981 44,040 468.490 10.637

3 1982 44,040 478.178 10.858

4 1983 44,040 485.375 11.021

5 1984 44,040 492.884 11.192

6 1985 44,040 502.190 11.402

Sumber: BPS Kota Surakarta tahun 1986

Dari tabel di atas dapat dilihat tingkat kepadatan penduduk meliputi lima

kecamatan di Surakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya, terlihat peningkatan

terjadi dari tahun ke tahun hingga tahun 1985 dengan rata-rata sex ratio mencapai

949 orang per/km². Perilaku demografis bukan terdiri atas kumpulan tindakan

individu, demikian pula kesejahteraan masyarakat tidak selalu hasil penjumlahan dari

kesejahteraan individu. Namun yang jelas keberhasilan mengendalikan dan mengatur

penduduk akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan diharapkan

3James T. Fawceet., Psikologi Kependudukan, (Jakarta: Rajawali Press,

1982), hlm. 11.

18

akan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Berkaitan dengan arus migrasi

yang memadati kota-kota besar, maka perlu upaya menciptakan lapangan pekerjaan

di pedesaan, tujuannya diharapkan dapat menghambat laju urbanisasi. Untuk itu

berbagai studi tentang karakteristik penduduk perdesaan dan potensi sumber daya

alam menjadi penting artinya.

Fenomena ini dapat dilihat di Surakarta, masyarakat pendatang di kota

Surakarta, berasal dari wilayah pendukung yakni, Sukoharjo, Boyolali, Sragen,

Klaten, dan Karanganyar. Tidak jarang juga mereka adalah hasil mobilisasi penduduk

antarkecamatan di dalam kota Surakarta sendiri. Mobilisasi penduduk dalam motif

ekonomi ini, banyak melahirkan pekerjaan di sektor informal, baik itu sebagai

pedagang kaki lima, tukang becak, maupun para buruh. Sektor informal ini meliputi

masa pekerja kaum miskin yang produktivitasnya jauh lebih rendah dari pada pekerja

di sektor modern di kota yang tertutup bagi kaum miskin ini.4 Berikut tabel

banyaknya penduduk menurut mata pencaharian di Surakarta tahun 1979-1984.

4Jan Breman., “Sistim Tenaga Kerja Dualistik: Suatu Kritik Terhadap Sektor

Informal”, dalam Chris Manning & Tadjuddin Noer Effendi, Urbanisasi,

Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 141.

19

Tabel 2

Banyaknya Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kota Surakarta

Tahun 1982-1985

Sumber: BPS Kota Surakarta tahun 1985

Dari tabel di atas terlihat jelas sektor mata pencaharian sebagai buruh yang

memiliki jumlah angka tertinggi dibandingkan dengan mata pencaharian yang lain

dan terjadi peningkatan yang signifikan di setiap tahunnya. Dengan kata lain

persaingan untuk mencari nafkah terus meningkat. Di lain pihak para pendatang dari

luar Surakarta yang ingin menuntut ilmu maupun pekerjaan ikut pula menambah

hangatnya persaingan. Banyaknya jumlah lulusan sekolah dan perguruan tinggi di

Surakarta selain menghasilkan tenaga terampil dan para ahli di satu sisi tidak

seimbang dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang ada, sehingga menghasilkan

pengangguran di sisi lain.

Mata pencaharian penduduk selalu berhubungan dengan perkembangan

penduduk yang ada dan akan selalu mengikuti fungsi daerah tersebut. Masalah

No. Tahun Buruh

Tani

Petani

Sendiri

Buruh

Bangunan

Pengusaha

Industri

Pedagang Pegawai

Negeri

Sipil

1 1982 892 783 53.119 3.757 15.896 23.699

2 1983 720 444 49.129 3.682 14.952 23.116

3 1984 714 421 54.505 3.900 15.788 22.187

4 1985 695 404 54.776 3.937 16.666 22.956

Jumlah 3.021 2.052 211.529 15.276 63.302 91.958

20

kependudukan selalu berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan. Salah satu contoh

adalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang berpengaruh pada tingginya

penawaran tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja yang tinggi tanpa diikuti penyediaan

kesempatan kerja yang cukup akan menimbulkan pengangguran. Kesempatan kerja

yang lebih besar di kota menyebabkan arus urbanisasi terus meningkat, selain itu

meningkatnya pendidikan masyarakat yang sudah mengarah pada referensi pekerjaan.

Berkembangnya penduduk yang cepat disebabkan karena angka kelahiran

yang tinggi, sedangkan di lain pihak angka kematian yang menurun akibat kemajuan

teknologi di bidang kedokteran, perbaikan lingkungan hidup, dan peningkatan

keadaan sosial ekonomi.5 Pertumbuhan penduduk tidak selamanya menguntungkan,

di satu pihak mengakibatkan banyaknya tenaga kerja namun di lain pihak kurangnya

lapangan pekerjaan akan menimbulkan banyak sekali pengangguran. Membicarakan

penduduk tidak akan terlepas dari jumlah, tempat tinggal, lapangan pekerjaan, dan

berbagai masalah yang mengiringinya.

Penyebaran penduduk di Surakarta pada dasarnya tidak merata. Daerah yang

padat penduduknya berada di pinggir kota yang mengelilingi wilayah Surakarta, yang

pada umumnya dicirikan sebagai perkampungan kumuh. Selain penduduk Jawa, kota

Surakarta juga dihuni etnis lain seperti Cina6 dan Arab

7. Mereka hidup berkelompok

5Rosy Munir., Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Bina Aksara,

1986), hlm. 12. 6Kehadiaran orang-orang Cina di Surakarta sudah ada sejak tahun 1745,

bersamaan dengan Pakubuwana II yang memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram

Kartasura ke Surakarta. Untuk selanjutnya bisa dibaca dalam Moerthiko., Riwayat

Klentheng, Vihara, Linthang, Tempat Ibadah Tri Dharma (se-Jawa), (Semarang:

Sekretariat Empu Wong Kamfu, 1980), hlm. 217.

21

hingga membentuk perkampungan etnis. Pada umumnya etnis Cina menempati

daerah-daerah strategis perdagangan yaitu di jalur-jalur utama seperti Jl. Slamet

Riyadi, Jl. Urip Sumoharjo, Jl. Coyudan, Jl. Yos Sudarso dan lain-lain. Etnis Arab

menempati daerah Pasar Kliwon, Kedung Lumbu, dan sebagian di Kauman.

Persoalan etnisitas di Surakarta yang semacam ini dikemudian hari menimbulkan

permasalahan sosial yang baru yakni persoalan relasi sosial antar etnis di Surakarta.

Selain dua etnis tersebut, tentu saja Surakarta masih terdapat suku Banjar, etnik

Madura yang kedatangannya secara signifikan memberi corak tersendiri bagi

perkembangan sosial di Surakarta.

B. Dari Simpul Jaringan Dagang Hingga Indikasi Hypercity

Dalam perkembangannya kota umumnya terbentuk dari desa. Tetapi tidak

semua desa dapat berkembang menjadi kota. Desa dapat berkembang menjadi kota

apabila tempat itu menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, hedonism, atau pusat

pertambangan. Suatu analisis yang bersifat umum menjelaskan bahwa perkembangan

kota menjadi lebih jelas setelah terdapat kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang

pertanian revolusi pangan. Akan tetapi hedonism yang cukup kuat mempengaruhi

perkembangan suatu kota adalah revolusi hedonism. Berkat revolusi di bidang

industrilah maka muncul hedoni komunikasi, transportasi, produk hedoni, serta

7Etnis Arab pertama kali sejak abad 19. Mereka menetap di Pasar Kliwon,

mayoritas merupakan keluarga Sungkar. Pada umumnya mereka bermata pencaharian

sebagai pedagang, terutama sebagai pedagang batik, selanjutnya baca; Warto.,

Minoritas Keturunan Arab di Surakarta, (Surakarta: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah,

Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 1985).

22

akibat-akibat lain yang kesemuanya merupakan penunjang bagi eksistensi kota besar

dan modern.8

Dalam hal perdagangan, kota Surakarta tidak lain telah menjadi simpul

jaringan perdagangan yang memberi kemudahan pengangkutan barang dari hilir

menuju simpul utama atau hulu yaitu kota dagang Amsterdam. Proses pengangkutan

pada waktu itu melalui dua jalur, yaitu jalur Sungai Bengawan Solo menuju

Surabaya, serta jalur darat dari Surakarta menuju Semarang. Untuk kemudahan itulah

dibuat jalur darat yang memadahi di sepanjang Sungai Batangan menuju ke barat

yang berfungsi selain prasarana pengangkutan juga prasarana militer.9

Secara sederhana, Gillt menyebut kata (di Jawa) berasal dari bahasa

Sansekerta yang berarti tempat yang diperkuat.10

Lebih lanjut Mumford mengatakan

bahwa kota adalah tempat pertemuan yang berorientasi keluar. Meyer dalam bukunya

Definition of City menguraikan bahwa kota bukan sekedar deretan kantor, gedung-

gedung, gereja, cathedral, melainkan orang-orang yang menghuninya yang pada

dasarnya menciptakan bangunan-bangunan itu. Dalam pengertian ini kota tidak lain

adalah konstruk dari figur-figur yang ada di dalamnya.11

Pendapat yang menarik

8Rahardjo., Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya.

(Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, 1981), hlm. 2. 9Lebih lanjut lihat, J.H. Vincen Houben., Kraton dan Kompeni: Surakarta

dan Yogyakarta 1830-1870, (Yogyakarta: Bentang, 2002), hlm. 564. 10

Ronald Gilbert Gillt., De Indische Stadt op Java en Madoera, Disertasi

pada Delft Universiteit, 10 Januari 1995, hlm. 23. 11

P.J.M. Nas., Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota, (Jakarta:

Bhratara, 1979), hlm. 28.

23

berasal dari Comte yang menyatakan bahwa masyarakat kota adalah masyarakat

modern.12

Kota Surakarta di era Orde Baru mengalami perkembangan pesat sejak

memasuki dekade 1980-an, banyak prasarana kota dibangun seperti jalan, air bersih,

dan perkantoran. Dalam periode ini yang perlu dicermati adalah kebijakan pemerintah

yang berkaitan dengan perbankan dan pariwisata. Berkaitan dengan kebijakan itu, di

Surakarta banyak bermunculan bangunan dan hotel. Dengan menjamurnya bangunan-

bangunan besar bank dan hotel yang mengepung Surakarta dari Palur hingga

Kartasura mengindikasikan estetika kota Surakarta tidak berbeda dengan kota besar

lain seperti Jakarta dan Surabaya. Estetika itu yang ditunjukkan dengan maraknya

bangunan modern bergaya Barat telah mengimbas pula perilaku hedonisme, karena

pada dasarnya bangunan itu tidak bebas nilai.13

Sejak 1980-an, sesungguhnya kota Surakarta kembali memasuki ikatan

global sebagaimana kota-kota besar lain di Indonesia dengan cirinya yang khas, yaitu

maraknya pertumbuhan bank, hotel, dan mall. Namun modernisasi kota yang hanya

kelihatan dari segi fisik itu memunculkan hedonis berupa sikap hedonism yang

akhirnya menggeser sikap hidup yang didasarkan pada nilai tradisional Jawa.

12

Veeger K. J., Realitas Sosial, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 19.

Pernyataan Comte ini perlu diberi catatan karena kata modern yang melekat pada

masyarakat kota sebagaimana yang dimaksud Comte merupakan representasi kota

industri di Barat (Eropa); dan bukan sebagai deskripsi kota pra-industri sebagaimana

yang ada di dunia ketiga. Tampaknya pernyataan Comte itu sering disalahartikan oleh

para pembuat urban planning di dunia ketiga bahwa ketika mereka ingin membangun

sebuah kota modern maka fasilitas kota yang berkarakter Barat perlu dihindarkan.

Akibatnya nuansa tradisi yang menjadi ciri kota dunia ketiga menjadi pudar. 13

Siti Magono dan M. Nursam., Kota Kota Di Jawa, (Yogyakarta: Ombak,

2010), hlm 45.

24

Fenomena ini tampaknya yang umum dirasakan sebagai Surakarta telah kehilangan

jati diri. Akhirnya kini jati diri kota Surakarta pun tidak berbeda dengan kota-kota

lain di Indonesia akibat dari pengalaman proses perkembangan kota yang seragam.14

Suatu hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan maraknya hedonisme

adalah pada cara pandang hidup seseorang atau masyarakat. Dengan cara pandang ini

orang tidak lagi berpikir ke depan. Pemikiran yang tidak mengacu pada masa depan

secara praktis tidak lagi memerlukan pijakan ataupun rujukan, dalam hal ini nilai

tradisi. Oleh karena itu, keresahan akan pudarnya jati diri pada masyarakat kota

Surakarta boleh jadi menjadi indikasi bahwa Surakarta telah menapak menjadi

hypercity.15

C. Muncul dan Berkembangnya Kriminalitas

Lingkungan hidup yang ada di sekitar manusia berpengaruh terhadap proses

adaptasi sosial dan pandangan hidup seseorang, baik yang bersifat positif maupun

negatif. Suasana di lingkungan pinggiran kota mengakibatkan orang lekas puas

dengan apa yang dimilikinya, sehingga hasrat untuk lebih maju adalah kecil. Di lain

pihak, kondisi lingkungan di pusat kota mengakibatkan orang kurang puas dengan

kehidupannya dan ingin terus meningkatkan taraf hidupnya.

Hubungan sosial antara warga di kota Surakarta cukup baik, meskipun

terkadang terjadi persaingan konflik sosial serta gosip. Pengertian persaingan dalam

pergaulan sehari-hari pada umumnya mempunyai sifat negatif, karena sering

menimbulkan perasaan iri hati. Hasrat untuk mencapai atau memperoleh yang dimilki

14

Ibid. 15

Nas P.J.M., Hypercity: The Symbol Side of Urbanism, (London: Kegan

Paul, 2008).

25

oleh orang lain tanpa disertai dengan usaha keras akan menimbulkan persaingan yang

bersifat negatif sehingga sering kali mengakibatkan kerenggangan hubungan antar

masyarakat. Gosip atau kabar angin yang bersifat memfitnah merupakan akibat dari

persaingan, iri hati, atau kecurigaan terhadap sesuatu.

Sementara itu, timbulnya kejahatan dengan kekerasan tidak bisa dilepaskan

dari faktor sifat manusia yang egois dan moral masyarakat. Berbagai upaya

memperbaiki moral ini sudah dilakukan, seperti pendidikan agama, pendidikan

formal dan moral pancasila. Kenyataanya selain kegiatan ini, masih diperlukan pula

kontrol sosial masyarakat. Sehingga apa yang dilakukan tetap pada garis bermoral.

Kontrol sosial yang dimaksud dapat dilakukan oleh masyarakat melalui perorangan

atau alat negara. Di Indonesia pada tahun 1980-an makin terasa kontrol sosial,

khususnya aparat pemerintah berkurang. Pelanggaran lalulintas merajalela, karena

pelanggar tidak dihukum semestinya. Bahkan petugas memberikan peluang dengan

memberikan surat izin mengemudi kepada anak di bawah usia 18 tahun. Keadaan

semacam itu terjadi di semua bidang, termasuk yang ada kaitannya dengan kekerasan

kriminal, seperti peredaran obat bius, senjata api, alkohol. Dan bukan rahasia umum

lagi, di kota besar terbentuk organisasi keamanan yang pekerjaannya justru memeras

disertai ancaman kekerasan. Selain faktor pribadi seseorang dari berbagai

pengalaman dan teori, tampaknya faktor lingkungan yang bisa membentuk pribadi

seseorang cukup penting diamati. Karena sifat agresif dari pribadi seseorang banyak

pula ditentukan lingkungan setempat. Mengatasi peranan lingkungan ini, perlu

ditingkatkan peranan Polri dalam memanunggal dengan masyarakat. Dengan

demikian Polri lebih mudah melakukan kontrol sosial di masyarakat dan bisa

26

mengajak mereka berperanserta menanggulangi kejahatan. Selain ditingkatkan

kemampuan peran Polri, masih perlu adanya dukungan dan keterpaduan semua aparat

pemerintah dalam menanggulangi kejahatan.16

Keterkaitan antara kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya sangat

mempengaruhi perkembangan kriminalitas di Surakarta. Dari segi ekonomi,

meningkatnya angka kriminalitas yang terjadi dapat disebabkan oleh kondisi ekonomi

yang tidak tercukupi dan didukung pula dengan banyaknya angka pengangguran,

penghasilan sehari-hari untuk mencukupi kebutuhan belum memenuhi standar yang

diharapkan atau di sisi lain tindak kriminalitas itu dilakukan oleh para pelaku

memang karena semata-mata profesi mereka dan bukan karena di dorong oleh

keadaan ekonomi. Hal ini dapat dilihat walaupun kebutuhan mereka telah tercukupi

dengan baik namun keinginan untuk melakukan tindak kejahatan selalu ada. Pada

bidang sosial, dengan semakin meningkatnya jumlah angka kriminalitas yang terjadi

di suatu daerah juga dapat menimbulkan gejolak sosial dalam masyarakat yang

menyebabkan masyarakat sekitar merasa tidak aman, resah, merasa takut bahkan bisa

membuat kondisi masyarakat menjadi tidak harmonis. Meningkatnya angka kejahatan

juga didorong oleh faktor lingkungan kehidupan sosial yang secara ekonomi sangat

kurang, masih rendahnya moral yang mereka miliki sehingga keinginan untuk berbuat

kejahatan atau keburukan masih tertanam walaupun yang mereka lakukan tersebut

tidak baik tetapi karena ada kesempatan atau juga waktu akhirnya mereka selalu

memiliki niat untuk melakukan kejahatan.

16

Harian Kompas, 19 Maret 1983, hlm. 3. Koleksi Pusat Informasi Kompas,

Jakarta.

27

Dalam dunia bisnis dan hutang piutang, menyewa jasa para GALI menjadi

sesuatu hal yang perlu ketika terjadi kredit macet. Di kota Surakarta menggunakan

jasa GALI untuk menagih hutang bukan merupakan suatu hal yang langka, bahkan

para pengguna jasa GALI mempekerjakan tidak hanya satu atau dua orang saja,

tergantung dengan jumlah nominal yang akan mereka tagih. Para GALI mengerjakan

pekerjaanya juga menyesuaikan dengan situasi serta kondisi di lapangan, tidak

tanggung-tanggung mereka akan menggunakan kekerasan bahkan sampai

mengancam nyawa. Peristiwa ini terjadi di dealer kendaraan bermotor JL. Gatot

Subroto No. 71 Surakarta, pemilik dealer Liem Swie Lan mempunyai hutang

sebanyak Rp. 7.000.000,00. Dengan membawa surat kuasa dari penyewa, kawanan

GALI yang beranggotaka empat orang ini menagih hutang dengan cara memberi

tekanan secara mental hingga mengancam keselamatan keluarga dari Liem Swie Lan.

Namun, Danresta 951 Surakarta, Letkol Pol. Sediyono Mashadi telah menugaskan

seorang petugas intel untuk menyamar menjadi salah seorang karyawan dealer.

Karena sudah meresahkan dan mengancam tanpa menunggu lama kawanan GALI

berinisial Msn (38 tahun), Smng (38 tahun), Swk (29 tahun), dan BER (35 tahun),

segera ditangkap petugas Komando Resort Kepolisian Kota 951 Surakarta.17

Masyarakat kota penuh dengan dinamika dan problema yang menyertainya.

Dilihat dari kriminologi, perkembangan kota dapat dikatakan selalu disertai dengan

perkembangan kualitas dan kuantitas kriminalitas. Suatu penelaahan tajam perlu

dilakukan serta penggambaran akar kriminalitas di perkotaan. Persoalan kemiskinan

17

Harian Kompas 15 April 1980, hlm. 8. Koleksi Pusat Informasi Kompas,

Jakarta.

28

berkaitan erat dengan kriminalitas, perbanditan, dan dunia tukang pukul, di sisi lain

akan melukiskan industri seks di kota.18

Di kota-kota besar di negara-negara yang

sudah maju kejahatan remaja bergandengan erat sekali dengan kemiskinan. Hal ini

dicerminkan oleh distribusi ekonomis dan distribusi ekologis dari orang-orang yang

berasal dari kelas sosial yang berbeda-beda. Dengan sendirinya dalam masyarakat

yang demikian ini terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Semua kejadian

tadi merangsang terjadinya jumlah peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh anak-

anak remaja yang berasal dari stratifikasi ekonomi, anak remaja yang memiliki

ambisi materiil terlalu tinggi dan tidak realistis.19

Kejahatan atau tindak kriminil

merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang, tidak ada masyarakat yang

sepi dari kejahatan.20

Memang benar bahwa kondisi ekonomi mempunyai pengaruh

terhadap kejahatan. Namun harus diperhatikan bahwa kondisi ekonomi itu hanya

merupakan sebagian dari jumlah faktor-faktor lain yang juga memberi perangsang

dan dorongan ke arah kriminalitas. Perhatikanlah bahwa dikalangan kaum cerdik

pandai terdapat pula kekuasaan moril dan materiil yang membuat mereka berhasil

menghindari dari tuntutan hukum. Dibandingkan dengan jumlah kejahatan di

Amerika di mana tingkat perekonomian relatif jauh lebih baik daripada di Indonesia.

Hal-hal tersebut dengan singkat dapat menjelaskan bahwa di samping unsur ekonomi,

masih dijumpai sejumlah unsur lain yang banyak juga memegang peranan,

18

Daniel Dhakidae., “Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio Ekonomi”

Majalah Prisma 5 Juni 1976. 19

Kartini Kartono., Patologi Sosial 2, (Jakarta: Rajawali, 1995), hlm. 33. 20

Kartini Kartono., Patologi Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1980), hlm. 147.

29

mempengaruhi tingkah laku manusia. Unsur psikologis, adat istiadat, pendidikan

adalah faktor-faktor yang tidak dapat dikesampingkan.21

Berikut ini merupakan tabel jumlah kasus kenakalan remaja di Surakarta

tahun 1980-1985.

Tabel 3

Banyaknya Kasus Kenakalan Remaja di Surakarta Tahun 1980-1985

No Tahun Kejahatan Pelanggaran

1 1980 12 2.114

2 1981 30 2.281

3 1982 10 2.065

4 1983 36 2.200

5 1984 41 2.908

6 1985 158 5.508

Jumlah 278 17.076

Sumber: Koresta 951 Surakarta tahun 1985

Tabel di atas terlihat tingkat pelanggaran remaja yang cukup tinggi dari

tahun ke tahun. Lingkungan keluarga yang tidak harmonis mendorong remaja

melakukan tindak kejahatan. Di samping permasalahan ekonomi, media massa

mempunyai peranan yang sangat besar seperti televisi, radio, film, komik yang

banyak menyajikan kekerasan. Hal ini seakan memberikan pelajaran dan mendorong

masyarakat untuk menirunya. Bermula dari tindakan pelanggaran yang terjadi di

21

G. W. Bawengan., Psychologi Kriminil, (Jakarta: Pradya Paramita, 1977),

hlm. 32.

30

kalangan remaja yang akhirnya menjadi tindakan kejahatan mengarah pada aktivitas

kriminal.

Dalam bidang politik sangat berkaitan dengan adanya upaya pemerintah

untuk mengurangi tingkat kriminalitas dengan cara memberikan hukuman yang agak

berat terhadap pelanggar hukum bahkan lebih penting lagi di terapkannya shock

theraphy tembak di tempat bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan. Sumber

Daya Manusia yang masih rendah terutama di kalangan remaja yang berpendidikan

sangat minim secara tidak disadari mengakibatkan angka kriminalitas mengalami

peningkatan.

“Kota Surakarta termasuk kota yang rawan bagi tindak kejahatan,” demikian

dinyatakan oleh Ketua Team Komisi I DPR-RI, Santosa Tosanny. Tindak kejahatan

yang terjadi di Surakarta adalah pemerasan, penjambretan, pencurian, penodongan

dengan senjata tajam, pembunuhan dan pemerkosaan. Kerawanan kota Surakarta bagi

tindak kejahatan menurut Danresta 951 Surakarta, Letkol Pol. Sediyono Mashadi,

disebabkan karena kota Surakarta merupakan kota perlintasan antara kota-kota di

Jawa Tengah dengan Jawa Timur, dan juga tingkat kepadatan penduduk kota

Surakarta yang tidak sebanding dengan jumlah aparat penegak hukum, yaitu polisi.

Di Surakarta seorang anggota Polri melayani 1570 penduduk, bahkan untuk

kecamatan Banjarsari yang merupakan kecamatan terpadat, seorang Polri melayani

6500 penduduk, dahulu pada awal kemerdekaan daerah tersebut memiliki 200 tenaga

31

Polisi, sedangkan di tahun 1980-an hanya yang ada 20 tenaga Polisi.22

Data kejahatan

tahun 1981 menunjukkan, Jakarta lebih aman dari pada di Surakarta dalam kasus

penjambretan.23

Surakarta memiliki resiko kemungkinan dijambret dua kali lebih

besar dari pada di Jakarta atau Palembang. Besarnya kemungkinan resiko ini

didasarkan pada angka perimbangan kejahatan crime rate per-100.000 penduduk.

Angka perimbangan kejahatan di Solo 43,54. Angka 43 ini berarti adanya 43

kejahatan yang dilaporkan per-100.000 penduduk, atau dapat pula merupakan

indikasi adanya resiko 43 kejahatan dalam setiap kelompok 100.000 penduduk, resiko

terbesar di jambret setelah Surakarta ialah Jakarta 24,10 dan Palembang 22,02.24

Data

perimbangan kejahatan ini berdasarkan tahun 1981 menunjukkan angka tindak

kejahatan khususnya penjambretan di Jakarta terjadi 2.116 kasus dengan 6.034.960

penduduk, Palembang 178 kasus dengan 808.387 penduduk sedangkan di Surakarta

mencapai 204 kasus dengan 468.490 penduduk.

Berikut adalah tabel data kriminalitas perampokan di atas angkutan umum di

Surakarta tahun 1981 sampai dengan tahun 1982.

22

Harian Kompas, 11 April 1981, hlm. 8. Koleksi Pusat Informasi Kompas,

Jakarta. 23

Harian Kompas, 9 Desember 1983, hlm. 4. Koleksi Pusat Informasi

Kompas, Jakarta 24

Harian Kompas, 19 Maret 1983, hlm. 3. Koleksi Pusat Informasi Kompas,

Jakarta.

32

Tabel 4

Perampokan di Atas Angkutan di Surakarta Periode

Tahun 1981-1982 Dalam 8 Bulan

No Jenis Angkutan Tahun 1981 Tahun 1982 Persentase

1 Bus antar kota 5 kasus 28 kasus 500 %

2 Truk 5 kasus 18 kasus 300 %

3 Colt 19 kasus 47 kasus 150 %

Sumber: Data Polri 1982

Kemudian kasus penodongan, penjambretan dan perampokan periode tahun

1981-1982 dalam sembilan bulan pertama mencapai 33.496 kasus dan 665 kasus

diantaranya bersenjata api. Sedangkan dalam kasus pembunuhan yang tercatat 1.139

kasus. Motivasinya sebagian besar akibat dendam 78 %, susila 11 %, sengketa

keluarga 8 % dan lain lain 3 %. Menurut Danjen Komando Reserse Polri Mayjen

(Pol) Drs. J.I. Silaen, seharusnya setiap instansi pemerintah seperti Polri, Kejaksaan,

Pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan dalam setiap langkah tugasnya menjurus

kepada suatu keterpaduan yaitu menekan berkembangnya kriminalitas.25

Selain

ditingkatkan kemampuan peran aparat keamanan yaitu Polri, masih perlu adanya

dukungan dan keterpaduan semua aparat pemerintah dalam menanggulangi tindak

kejahatan.

25

Ibid.

33

Daftar Pustaka

A. Sumber Dokumen

Kota Surakarta Dalam Angka Tahun 1985. Badan Pusat Statistik Kota Surakarta.

B. Sumber Buku

Sayid. 1984. Babad Sala. Surakarta: Reksopustoko,

James T. Fawceet. 1982. Psikologi Kependudukan. Jakarta: Rajawali Press.

Jan Breman. 1985. Sistim tenaga kerja Dualistik: Suatu kritik terhadap sektor

informal, dalam Chris Manning, Tadjuddin Noer Effendi, Urbanisasi,

Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Gramedia.

Rosy Munir. 1986. Penduduk dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Bina Aksara.

Moerthiko. 1980. Riwayat Klentheng, Vihara, Linthang, Tempat Ibadah Tri Dharma

(se-Jawa). Semarang: Sekretariat Empu Wong Kamfu.

Rahardjo. 1981. Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya. Yogyakarta:

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM.

J.H. Vincen Houben. 2002. Kraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-

1870. Yogyakarta: Bentang.

Ronald Gilbert Gillt. 1995 De Indische Stadt op Java en Madoera, Disertasi pada

Delft Universiteit.

Nas P.J.M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jakarta: Bhratara.

Veeger K. J. 1985. Realitas Sosia. Jakarta: Gramedia.

Nas P.J.M. 2008. Hypercity: The Symbol Side of Urbanism. London: Kegan Paul.

Himawan Soetanto. 1994. Rebut Kembali Madiun. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kartini Kartono. 1980. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali.

Kartini Kartono. 1995. Patologi Sosial 2. Jakarta: Rajawali

34

C. Surat Kabar, Majalah, dan Artikel.

Harian Kompas, 5 April 1980, 11 April 1981, 19 Maret 1983

Daniel Dhakidar. “Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio Ekonomi” Majalah Prisma 5

Juni 1976

D. Skripsi

Warto. 1985. Minoritas Keturunan Arab di Surakarta. Surakarta: Skripsi Jurusan

Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.