bab ii muzara’ah dalam perspektif fiqh a. pengertian...
TRANSCRIPT
BAB II
MUZARA’AH DALAM PERSPEKTIF FIQH
A. Pengertian Muzara’ah Dan Dasar Hukumnya
a. Pengertian
Dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan
Muzara’ah dan Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai
pengertian yang hampir sama, hanya dibedakan dari benih dan bibit
tanaman.
Muzara’ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata yang
mengikuti wazan (pola) mufa’alah (⇐∩β∠⇓ ) dari kata dasar al-zar’u
(⊇ ⇔ α) yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan).1
Kata مزارعة adalah masdar dari Fi’il Madli زارع dan fi’il
Mudlori’ يزارع yang secara bahasa mempunyai pengertian tanam,
menanam (to plant, v)2
Sedangkan kata مخابرة merupakan masdar dari fi’il Madli خابر
dan fi’il Mudlari’ يخابر yang secara bahasa mempunyai pengertian tanah
gembur, lunak.3
Secara istilah Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian
antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil
1 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t. th,
hlm. 613. 2 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Jakarta : Mutiara,
1961, hlm. 299. 3 Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya : Pustaka
Progresif, 1997, hlm. 319.
18
21
yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya
paroan sawah atau fifty-fifty untuk pemilik tanah dan penggarap tanah. 4
Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, Muzara’ah adalah
pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak
menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah
ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan
bersama. 5
Dalam kitab al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sunah
Rasul menunjukan dua hal tentang makna Muzara’ah yakni pertama;
kebolehan bermuamalah atas pohon kurma / diperbolehkan bertransaksi
atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya pohon kurma telah ada baru
kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat sampai
berbuah. Namun sebelumnya kedua belah pihak (pemilik kebun dan
pekerja) harus dulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian
buah untuk pemilik kebun sedang sebagian yang lain untuk pekerja.
Kedua; ketidakbolehan Muzara’ah dengan pembagian hasil 1/4 dan 1/3
atau sebagian dengan sebagian. Maksudnya adalah menyerahkan tanah
kosong dan tidak ada tanaman didalamnya kemudian tanah itu ditanami
tanaman oleh (penggarap) dengan tanaman lain.6
4 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), Jakarta : PT. Toko
Gunung Agung, 1997, hlm. 130. 5 Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Jakarta: PT. Bina
Ilmu, 1993. hlm. 383. 6 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Safi’i, al-Umm, Juz III, Mesir : Dar al-
Fikr, t.th, hlm. 12.
22
Di sini makna Muzara’ah adalah memberi upah dan tidak boleh
seseorang memberi upah pada orang lain atas pekerjaanya kecuali dengan
upah yang sudah dapat diketahui oleh keduanya sebelum pekerja mulai
bekerja. Inilah makna Muzara’ah yang diterangkan dalam sunnah. 7
Kemudian Imam Syafi’i juga mendefinisikan Mukhabarah dengan:
عملاألرضببعض مايخرجمنهاوالبذرمنالعامل
Artinya:“Pengolahan lahan oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan pengelola lahan.”8
Muzara’ah adalah mengerjakan tanah orang dengan memperoleh
sebagian dari hasilnya, sedang bibit (biji) yang dipergunakan kepunyaan
pemilik tanah, tidak dibolehkan karena tidak sah menyewakan tanah
dengan hasil yang diperoleh dari padanya, demikian yang mu’tamad
dalam Mazhab Syafi’i sebelum Ulama’ Syafi’iyah membolehkan sama
dengan Musaqoh (orang upahan).9
Menurut Ulama’ mazhab Hambali:
دفعاألرضإلىمنيزرعهاأويعملعليهاوالزرعبينهما
Artinya :”Muzara’ah adalah penyerahan lahan pertanian kepada seoran petani untuk diolah dan hasilnya dibagi dua.”10
Ulama-ulama Hanabilah berkata: Muzara’ah ialah orang yang
mempunyai tanah yang dapat dipakai untuk bercocok tanam
memberikannya kepada seseorang yang akan mengerjakan serta memberi
7 Ibid. 8 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 272. 9 Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997, Cet. ke-1, hlm.125. 10 M. Ali Hasan, loc. cit
23
kepadanya bibit, atas dasar diberikan kepadanya sebagian dari hasil bumi
itu, 1/3 dan 1/2 dengan tidak ditentukan banyaknya sukatan. Jadi, boleh
Muzara’ah dan hendaknya bibit itu diberikan oleh pemilik tanah.11
Ulama’ Hanafiyah berkata:”Muzara’ah pada syara’ ialah suatu
akad tentang pekerjaan diatas oleh seseorang dengan pemberian sebagian
hasil baik dengan cara menyewakan tanah dengan sebgaian hasil, ataupun
yang empunya tanah mengupahkan yang bekerja dengan pembagian hasil.
Kata Abu Hanifah dan Muhammad: Boleh. Ini adalah pendapat Fatwa
Mazhab Hanafi. Abu Hanifah: “Boleh Muzara’ah kalau kerja dan bibit
kepunyaan bersama. Dengan demikian berartilah si pekerja menyewa
tanah dengan alat-alatnya dan berarti pula pemilik mengupah pekerja
dengan memberikan alat-alat dan bibit itu.”12
Kemudian Ulama’-ulama Malikiyah berkata:” Muzara’ah pada
Syara’ ialah suatu akad yang batal, kalau tanah dari salah seorang sedang
bibit dan alat dari orang lain. Muzara’ah yang dibolehkan adalah
berdasarkan upah. Ringkasnya, tidak boleh menyewa atau mengupahkan
itu dengan hasil yang diperoleh dari tanah, dan boleh kalau dengan upah
yang tertentu.13
Lebih lanjut Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Hanafi
menjelaskan bahwa sistem bagi hasil baik dalam pengolahan bidang
pertanian maupun perkebunan (Muzara’ah dan Musaqah) adalah terlarang.
Karena adanya kelompok masyarakat baru yang berwatak parasit, yang
11 Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, op, cit., hlm. 426. 12 Ibid, hlm. 425 13 Ibid.
24
mengeksploitir dan mengambil keuntungan secara tidak adil dari hasil
pekerjaan tersebut, itu tidak boleh dibiarkan, dan khususnya lagi karena
dengan melalui pemberian tanah secara sukarela kepada orang lain untuk
digarap maka pemilik tanah dapat memperoleh derajat ketaqwaan yang
tinggi.14
Pendapat ketiga Imam tersebut terhadap sistem penggarapan
seperti ini mencakup tiga hal. Pertama, Rasulullah SAW dengan tegas
melarang sistem Mukhabarah yang dalam bahasa daerah di Madinah
dianggap mempunyai makna yang sama dengan Muzara’ah, yaitu
memadukan penggarapannya antara pemilik tanah dan penggarapnya yang
menyepakati bahwa apapun yang dihasilkan tanah tersebut keduanya akan
mendapatkan bagian tertentu. Kedua, membuat perjanjian penggarapan
dengan menyewa tenaga kerja untuk memperoleh sebagian dari hasil
produksi, jadi dengan sendirinya perjanjian tersebut menjadi terlarang
juga. Ketiga, kadar sewanya tergantung jika tanah itu berproduksi berarti
ada hasil yang diperoleh tapi jika rusak maka tidak ada hasil yang
diperoleh, jadi sewanya tidak tetap. Oleh karena itulah sehingga sistem ini
terlarang. Selain itu, sehubungan dengan transaksi yang terjadi antara
14 Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Jilid II, Terj. Soeroyo, Nastangin
“Doktrin Ekonomi Islam”, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 283.
25
Rasulullah dengan kaum Yahudi di Khaibar tidak menampakkan suatu
penggarapan yang dipaksakan tapi lebih bersifat semacam pembayaran
upeti, yang boleh dibayar dengan hasil bumi sesuai dengan kesepakatan
atau kemampuan mereka.15
Menurut Badaruddin dalam “Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah
Li Ibnu Taimiyah” bahwa muzara’ah terhadap tanah dengan imbalan
separuh dari hasil panen itu dibolehkan, baik bibitnya berasal dari pemilik
tanah maupun dari pihak pekerja.16
Pendapat inilah yang benar sebagaimana petunjuk daari sunnah
Rasulullah SAW, karena beliau telah melakukan transaksi muzara’ah
dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari hasil panen yang
berupa buah-buahan atau tanaman.17
Menurutnya, hadits-hadits yang menunjukkan larangan
mukharabah karena mereka bermuamalah (kerjasama) dengan cara
mensyaratkan bahwa pemilik tanah berhak memiliki (mengambil hasil)
dari tanah pada bagian tertentu. Ulama sepakat bahwa praktek seperti
inilah yang dilarang.18
Ibnu Hazm memaparkan bahwa tidak dibolehkan menyewakan
tanah (muzara’ah) dengan imbalan apapun, baik itu dengan dinar, dirham,
benda, makanan tertentu dan barang-barang apapun. Karena tanah adalah
sesuatu yang bermanfaat, maka hendaknyalah tanah itu dimanfaatkan baik
15 Ibid, Al-Zatur Rahman, hlm. 284. 16 Syekh Badaruddin, Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah Li Ibnu Taimiyah, Beirut
Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyati, t.th, hlm. 364. 17 Ibid. 18 Ibid, hlm. 365.
26
dengan cara menanaminya atau diberikan kepada saudaranya (orang lain)
dengan cara cuma-cuma asalkan jangan sampai terabaikan.19
Wahbah Zuhaily mendefinisikan muzara’ah sebagai transaksi
dalam hal bercocok tanam dengan upah dari perkara yang akan dihasilkan
nantinya.20
Sayyid Sabiq dalam kitabnya ”Fiqh Sunnah” menyebutkan bahwa
Muzara’ah menurut istilah :
املعاملةعلىاألرض مايخرجمنها
Artinya: ” Transaksi pengolahan bumi dengan (upah) sebagian dari hasil yang keluar dari padanya.21
Lebih lanjut Sayyid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud
disini adalah pemberian hasil untuk orang yang mengolah atau menanami
tanah dari yang dihasilkan seperti setengah atau sepertiga atau lebih sesuai
dengan kesepakatan kedua belah pihak (penggarap dan pemilik tanah).22
Imam Taqiyuddin di dalam Kitab “ Kifayatul Ahyar”
menyebutkan bahwa Muzara’ah adalah:
إآترأالعاملليزرعاألرض ببعض مايخرجمنها
Artinya: “Menyewa seseorang pekerja untuk menanami tanah dengan upah sebagian dari hasil yang keluar dari padanya”.
Dan Mukharabah adalah:
املعاملةعلىاألرض ببعض مايخرجمنها
Artinya: “Transaksi pengolahan bumi dengan upah sebagian hasil yang keluar dari padanya.
19 Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz 8, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t.th, hlm. 211. 20 Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al Islami wa Adillatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t.th,
hlm. 613. 21 . Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid III, Bairut Libanon: Dar al-Fikr, t.th, hlm.162. 22 . Ibid.
27
Dan Mukharabah adalah :
β⇓ ξ ±β⇓ ∪ϕι α ⌠⇐∩ ∫⇐⇓β∪◊⇔α Artinya: “Transaksi pengolahan bumi dengan upah sebagian hasil yang
keluar dari padanya”.
Dari kedua pengertian diatas yang diberikan oleh Imam
Taqiyuddin menjadi tampak perbedaan arti antara Muzara’ah dan
Mukhabarah. Muzara’ah adalah suatu akad sewa pekerja untuk mengelola
atau menggarap tanah dengan upah sebagian dari hasil yang keluar dari
padanya. Disini pekerja (pengelola) hanya bertanggung jawab terhadap
pengelolaan atau penggarapan dan tidak bertanggung jawab untuk
mengeluarkan benih atau bibit tanaman. Dalam hal ini yang bertanggung
jawab mengeluarkan benih atau bibit tanaman adalah pemilik modal atau
pemilik tanah.
Sedangkan Mukhabarah adalah suatu transaksi pengolahan bumi
dengan (upah) sebagian hasil yang keluar dari padanya. Dalam hal ini
pengelolaan atau penggarap tidak hanya bertanggung jawab untuk
mengelola atau menggarap sawah, akan tetapi juga bertanggung jawab
untuk mengeluarkan benih atau bibit tanaman.23
Berbeda dengan Mawardi yang menyatakan bahwa Mukhabarah
sama dengan Muzara’ah yaitu menyewa tanah dengan ganti sebagian dari
hasil panen. Hanya saja berbeda pada asal kata Mukhabarah, yakni 1)
23 . Imam Taqiyuddin, Kifayatul Ahyar, Juz I, Surabaya Indonesia; Dar al –Ihya’. t.th. hlm. 314.
28
dikaitkan dengan praktek demikian di Khaibar, 2) berasal dari kata خيبرة
artinya bagian.24
Jika pengertian Mukhabarah atau Muzara’ah adalah menyewa
tanah untuk ditanami dengan upah dari sebagian hasil tanah tersebut, maka
hal itu ada dua jenis, yaitu jenis yang disepakati ulama tentang tidak
sahnya dan juga jenis yang masih diperselisihkan ketentuan hukumnya.
Jenis pertama yang disepakati tidak sahnya adalah jika bagian yang
akan diperoleh masing-masing pihak berbeda (dipilah-pilah) dari bagian
temannya.seperti ucapan pemilik tanah: “Aku telah bertransaksi
(muzara’ah) denganmu bahwa apa yang kamu tanam ini (satu jenis
tanaman) adalah menjadi bagianku nantinya sedangkan apa yang kamu
tanam itu (satu jenis tanaman yang lain) akan menjadi bagianmu. Atau
ucapan bahwa tanaman yang terkena air hujan itu menjadi bagianmu
sedangkan yang disirami sendiri itu menjadi bagianku. Maka muzara’ah
seperti ini hukumnya bathil (tidak sah). Ulama telah sepakat bahwa hal itu
tidak sah, berdasarkan riwayat dari Sa’id bin Musayyab dari Rafi’ bin
Khadij:
امنا يزرع : وقال, ة واملزابنةهنى رسول اهللا صل اهللا عليه وسلم عن احملا قل
رجل له ارض فهو يزرعها ورجل منح ارضا فهويزرع ما منح , ثالثة
ورجل اسكري ارضا بذهب اوفضة
24 . Abi Ali Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi al-Basri,al Khawil Kabir:
Fiqh Mazhab Imam syafi’I Juz VII, Beirut Libanon: Dar al Kutb Al Ilmiyati, 1994, hlm. 451.
29
Artinya:
Rasulullah mencegah dari al-muhaqalah25 dan al-muzabanah.26 Yang berhak menanam itu tiga orang; seseorang yang mempunyai tanah lalu menanaminya, seseorang yang diberi tanah lalu menanaminya, dan seseorang yang menyewa tanah dengan emas atau perak.27
Atau dikatakan bahwa hasil itu berada dibagian tertentu, misalnya
disekitar aliran sungai atau didaerah yang mendapatcahaya matahari, maka
hasil daerah tanah tersebut disimpan untuk pemilik tanah, sedangkan yang
lain untuk penggarap. Semua bentuk-bentuk pengolahan semacam ini
dianggap terlarang karena bagian untuk satu pihak telah ditentukan
sementara bagian pihak lain masih diragukan, atau bagian untuk keduanya
tergantung pada nasib baik atau buruk. Sehingga ada satu pihak yang
merugi.28 Oleh karena masih nampak unsure ketidakadilan maka cara
seperti ini tidak adil.
Jenis kedua yang masih diperselisihkan kebolehannya oleh para
ulama adalah seseorang yang mempekerjakan orang lain untuk mengolah
tanahnya dengan benih yang berasal dari keduanya atau dari salah satunya
dengan disyaratkan bahwa hasilnya nanti dibagi berdua berdasarkan
kesepakatan seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Pekerja mendapat
bagiannya sebagai ganti/upah pekerjaannya dan pemilik tanah mendapat
bagiannya karena dialah yang mempunyai tanah. Praktek ini disebut
Mukhabarah dan Muzara'ah yang masih diperselisihkan kebolehannya
oleh para ulama.
25 Muhaqalah adalah menyewa tanah untuk ditanami / menjual kurma yang masih berada diatas pohon. Lihat Iman Santoso, Fikih Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, cet. ke- 1, 2003, hlm. 131. 26 Muzabanah adalah membeli sesuatu yang tidak diketahui berat atau hitungannya. 27 Al- Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al- Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, Beirut Libanon: Dar al- Fikr, t. th, hlm. 819. 28 Afzalur Rahman., Economic Doctrines of Islam. Terj. Soeroyo, Nastangin "Doktrin Ekonomi Islam", Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 286.
30
Mereka terbagi atas tiga kelompok29
1. Madzhab Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa praktek itu tidak sah, baik dengan syarat
benihnya dari pihak pekerja maupun dari pihak pemilik tanah.
Para sahabat yang pendapatnya sama dengannya adalah Abdullah bin
Umar, Jabir bin Abdullah, Rafi' bin Khudaij. Diantara para tabiin
adalah Said bin Jabir, Ikrimah.
2. Madzhab Imam al- Tsauri, Abu Yusuf dan Muhammad
Mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut diperbolehkan, baik
dengan syarat benihnya dari pihak pekerja maupun dari pihak pemilik
tanah.
Bisa juga apabila tanah, peralatan pertanian dan benih semuanya
dibebankan kepada pemilik tanah sedangkan hanya buruh yang
dibebankan kepada petani, maka harus ditetapkan pemilik tanah
mendapatkan bagian tertentu dari hasil. Atau apabila keduanya sepakat
atas tanah, perlengkapan pertanian, benih dan buruh serta menetapkan
bagian masing-masing yang diperoleh dari hasil.30
3. Madzhab Imam Hanbali dan Ishaq bin Ruwaihah
Mereka berpendapat bahwa jika disyaratkan benihnya berasal dari
pihak pemilik tanah, maka transaksi ini tidak sah. Tapi jika disyaratkan
benihnya dari pihak pekerja maka transaksinya sah.
Golongan yang membolehkan transaksi tersebut menggunakan
dasar hadis yang diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Umar dan Nafi' dari
Ibnu Umar.
ان النبى صل اهللا عليه وسلم عا مل اهل خيبر على شطرما
يخرج من ثمروزرع
29 Abi al-Hasan bin Muhammad bin Habib al- Mawardi al- Basri, op. cit., hlm. 451. 30 Afzalur Rahman, op. cit., hlm. 288.
31
"Bahwa nabi SAW pernah bermuamalah dengan ahli khaibar, yaitu dengan separoh dari hasil yang akan keluar buah atau tanaman”.
β Λ βℑ⇔ ο⇐ Ζ ⇒β β ∑ι ◊∩ ∑∩ ∩ ∑ι β∠
!α ⌠⇐ ⌠ϕ⇔ α ◊∩ ⟨β∉ ιβ ◊⇔α ο⋅ µ⇔∑◊ψ ⇔α ϕ∩βια
α βϕ∩∑ια ⟨◊⇐∩α ⌠ α ◊∩β Ζ ⇒β∉ Νβ∉⌠ ⟨⇐ ⇐∩
β α ∑⇓ ⇔ ψ β α ⟨⋅ ψα ◊ Ζ ⇒β ∑¬⇔ β∩ %
ΥΥΝβ⇓⇐∪⇓βυ β⇐∩
"Sufyan bin Uyainah meriwayatkan dari Amru bin Dinar: Aku berkata kepada Thawus: "Wahai Abu Abdurrahman, seandainya kamu meninggalkan praktek mukhabarah, maka mereka akan mengira bahwa nabi SAW telah melarangnya". Lalu Thawus berkata: "Wahai Amru, ceritakan kepadaku bahwa orang yang paling alim diantara para sahabat adalah Ibnu Abbas". Dia tidak mencegah praktek mukhabarah, tapi berkata: "Bahwa pemberian tanah yang dilakukan salah seorang diantara kalian kepada saudaranya itu lebih baik dari pada dia mengambil bagian tertentu dari tanah tersebut".31
Mereka mengatakan bahwa suatu pekerjaan dengan upah dari
perkara yang akan dihasilkan nanti itu diperbolehkan, sebagaimana terjadi
pada akad musaqah pada pohon kurma, begitu pula pada akad mukhabarah
dan muzara'ahpada tanah milik. Karena jika muzara'ah diperbolehkan
ketika bersamaan dengan musaqah maka tentu juga diperbolehkan
muzara'ah ketika tidak bersamaan dengan musaqah.
31 Abi al- Hasan bbbin Muhammad bin Habib al- Mawardi al- Basri, loc. cit.
32
Golongan yang tidak memperbolehkan muzara'ah berdasarkan
pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi'i diawal bab. Juga
didukung sebuah hadis:
ξ ψ∑ι ⊃∉α α β ∑ι β◊⇐ ∑∩ ⟨¬ψ ∑ι ⌠⇐∪
α Λ⟨⇐ ⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ∩ ⌠⇐∩ ιβ β⋅ Ζ ⇒β
∑∩ ⟨⇐
⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ⌠ Ζ ⇒β∉ ⌠βµα ⌠ν⇓ ◊∩ ∪ι
Η∨α β⇓Ι Ζ β⇐∉ Λ∑⇔ ⊃∠α ⇔ !α ∩α ℜ Λβ⇔ β∪∉ β β⋅ ⇓α
β∩ ⇐∉ α ⇔οβ⋅ ∑⇓ ⟨⇐ ⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ⇒β Ζ ⇒β
32Ν⌠◊ ⇓ β∪ℜ ⊃ι α σ⇐ρι β β¬ β α β∩ ⇔α
Ya'la bin Hakim meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar bahwa Rafi' bin Khudaij berkata: "Kami pernah melakukan praktek mukhabarah pada masa rasulullah SAW dan sebagian pamanku mendatangiku sambil berkata: bahwa Rasulullah SAW telah melarang suatu perkara yang bermanfaat bagi kami". Lalu kami (Rafi' bin Khudai'j) berkata: "Apakah itu ?". Dia (sebagian pamanku)pun berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa mempunyai sebidang tanah maka sebaiknya ia menanaminya atau disuruh menanami oleh saudaranya dan janganlah menyewakannya dengan sepertiga, seperempat ataupun dengan makna tertentu”.
Ζ ⇒β ∩ !α ⌠ !α ϕ∩ ∑ι ι βυ ∑∩ ι ⌠ια ∑∩ ⟨ρ ∑ια
ιβ ◊⇔α % ∑⇓Ι ⟨⇐ ⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ο∪◊
Ν⇔ !α ∑⇓ λ ϒ ⇐∉
32 Ibid, Abi Al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri, hlm. 452
33
Ibnu Khutsaim meriwayatkan dari Abu Zubair bahwa jabir bin Abdillah berkata: "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "barang siapa yang tidak meninggalkan praktek (mukhbarah), maka (seakan-akan) dia telah diminta izin untuk diperangi oleh Allah dan RasulNya”33
Demikian beberapa dalil yang digunakan sebagai landasan oleh
kedua golongan yang membolehkan Muzara’ah dan yang tidak
membolehkannya.
Menurut Imam syafi’i, Muzara’ah dan Mukhabarah merupakan
dua akad yang berlainan. Mukhabarah yakni mendapatkan orang untuk
bekerja pada sawah ladang dengan menjanjikan upahan sebagian dari hasil
tanah itu. Sedangkan Muzara’ah yakni menyewa pekerja untuk bercocok
tanam pada sawah ladang itu dengan membayar sebagian dari hasil tanah
itu.
Dari segi maknanya tidak ada perbedaan, tetapi menurut Imam
Rafi’i dan Imam Nawawi bahwa dalam Muzara’ah itu benih-benih
tanaman dikeluarkan oleh pemilik ladang. Sedangkan dalam Mukhabarah
benih-benih itu ditanggaung oleh si penggarap.34
Kemudian menurut Imam Syafi’i bahwa Muzara’ah itu dilarang
kecuali apabila diikuti dengan adanya Musaqah.35 Musaqah adalah bentuk
yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya
33 Ibid, Abi Al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri, hlm. 452 34 Imam Taqiyuddin, loc. cit. 35 Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuh, Juz 5, Beirut Libanon : Dar al-Fikr,
tth, hlm. 614.
34
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si
penggarap berhak atas nisabah tertentu dari hasil panen.36
Musaqah yaitu menetapkan seorang pekerja kepada pepohon untuk
dia menjaganya dengan mengairinya dan memperhatikan kepentingannya.
Lantaran mengairi tanaman itu merupakan kerja-kerja yang mendatangkan
manfaat, maka ditetapkan baginya suatu akad perjanjian, yang mana
semua para sahabat dan para tabi’in sepakat membolehkannya tanpa ada
khilaf lagi.37
Alasan dibolehkannya Musaqah yaitu apa yang diriwayatkan Imam
Muslim dari Umar ra bahwa :
Kesimpulannya adalah Muzara’ah dan Mukhabarah adalah suatu
akad perjanjian yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada siapa yang
memberikan atau mengeluarkan benih atau bibit tanaman tersebut. Apabila
benih atau bibit tanaman tersebut dari pemilik tanah, maka akad bagi hasil
tersebut Muzara’ah dan apabila benih atau bibit tanaman tersebut dari
penggarap atau pengelola tanah, maka akad bagi hasil itu disebut
Mukhabarah.
b. Dasar Hukum
Bagi hasil dalam bidang pertanian adalah suatu jenis kerja sama
anatar penggarapan atau pengelola dan pemilik tanah. Biasanya
36 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema
Insani Press, cet. ke-1, 2001, hlm. 100. 37 Imam Taqiyuddin, Kifayatul Ahyar, bag. 1, Terj. Syaifuddin Anwar, Surabaya: Bina Iman, cet. ke-2, 1995, hlm.688.
35
penggarap adalah orang yang memiliki profesionalitas dalam
mengelola atau menggarap tanah dan tidak memiliki tanah.
Adapun dasar-dasar hukum Muzara’ah antara lain:
1. Al Qur ‘an
وأخرونيضربونفىاألرض يبتغونمنفضلاهللا﴿املزمل׃٢٠﴾Artinya:“Dan yang lain lagi, mereka bepergian dimuka bumi
mencari karunia dari Allah. (Al Muzammil : 20 )32
أهميقسمونرحمتربكنحنقسمنابينهممعيشتهمفىالحيوةالدنياج ورفعنابعضهمفوقبعض درجتليخذبعضهمبعضاسخرياورحمتربكخير
ممايجمعون﴿الزخرف׃٣٢﴾Artinya:“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu
atau kami telah menentukan antara mereka penghidupan dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggalkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Az zuhruf : 32)33
Kedua ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Tuhan memberi
kebebasan kepada manusia supaya berusaha mencari rahmat-Nya
untuk bertahan hidup dimuka bumi.
2. Al Hadist
a. Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
عنإبنعمرأنالنبىصلاهللاعليهوسلمعاملأهلخيبربشطرمايخرج
منهامنثمأوزرع34
32 . Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 990. 33 . Ibid, hlm. 798. 34 .Afzalur rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 269.
36
Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata “Rasullullah memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan mengambil sebagian dari hasilnya”.
b. Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari Abdillah
عنعبداهللارضىاهللاعنهقالرسولصلاهللاعليهوسلمأعطىخيبر اليهود
علىأنيعملوهاويزرعوهاولهمشطرماخرجمنها35
Artinya:“Dari Abdullah RA berkata: Rasullah telah memberikan tanah kepada orang Yahudi Khaibar untuk di kelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari apa yang dihasilakn dari padanya.”
Hadist-hadist tersebut di atas menunjukan bahwasannya bagi
hasil Muzara’ah diperbolehkan, karena Nabi SAW sendiri
pernah melakukannya.
c. Hadist yan di riwayatkan Oleh Rafi’ bin Khudaij, ia berkata:
عنرافعبنخديجقالنهانارسولاهللاصلاهللاعليهوسلمعنأمرآانلنا
نافعإذاآانتألخدناارضأيعطيهاببعضخروجهاأوبرارهم36
Artinya:”Dari Rafi’ bin Khudaij berkata: Rasulullah SAW melarangku dari meninggalkan sesuatu yang membuahkan manfaat, lalu berkata: Apabila diantara salah satu dari kita ada yang mempunyai tanah, hendaknya ia memberikan (menyerahkan) tanahnya untuk dikelola dengan memberikan (upah) sebagian
35 Muhammad bin Ismail al Bukhari, al Bukhari, Juz II, Bandung: al Ma’arif, t.th., hlm. 76. 36 .Afzalur rahman, op. cit., hlm. 280.
37
dari hasil tanah tersebut atau dengan memberikan (upah) dirham.’
Hadist di atas merupakan larangan membiarkan sesuatu yang
memberi manfaat terbengkelai dan menyerukan untuk diusahakan
kemanfaatannya.
d. Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori
منآانتلهأرضفليزرعهاأوليمنحهاأخاهفاإنأبىفليمسكأرضه ﴿رواهالبخارى﴾37
Artinya:” Barangsiapa yang memiliki tanah, penggarapanya harus dilakukan sendiri atau menyerahkan secara suka rela kepada saudara sesama muslim untuk digarap, atau jika dia menolak untuk melakukan kedua hal tsb, maka tanah itu harus tetap dipegangnya sendiri”.
Dalil Al Quran dan hadist tersebut diatas merupakan landasan hukum
yang dipakai oleh para ulama’ yang membolehkan akad perjanjian Muzara’ah.
Ulama-ulama’ tersebut antara lain Ahmad bin Hambal, Malik, Abu Hurairah.
Kemudian ada juga Ulama’ yang melarang adanya akad Muzara’ah.
e. Hadist dari Sabit bin Dhahak
انرسولاهللاصلاهللاعليهوسلمنهىعناملزاعةوامرباملأجرة﴿مسلم﴾
Artinya:”Sesungguhnya Rasulullah mencegah (melarang) akad bagi hasil (Muzara’ah) dan memerintahkan sewa menyewa.38
37 .Ibid, hlm. 284 38 . M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 171.
39
Hadist Imam Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad dan Bukhari
juga meriwayatkan dari Rafi’ bin Khudaij, “Nabi melarang
menyewakan tanah,
⊃ι σ⇐ρι β ¬ βψα β∩ ⇐∉ α ⇔ο β⋅ 38⌠◊ ⇓ β∪ℜ
Artinya : ”Barang siapa yang mempunyai tanah, maka hendaklah ia menanaminya, janganlah ia menyewakannya denganseperiga, seperempat (dari hasilnya) atau dengan makanan tertentu”.
Hadist itu diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim.
Itulah yang dijadikan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Zufar
untuk melarang Muzara’ah.
Sebenarnya ada suatu bentuk Muzara’ah yang sudah biasa
berlaku di zaman nabi, tetapi oleh beliau dilarangnya karena
terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat
kepada persengketaan dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang
sangat dijunjung tinggi oleh Islam.
Rasulullah SAW melihat bahwa apa yang disebut keadilan,
yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit
ataupun banyak. Tidak layak kalau disatu pihak mendapat bagian
tertentu yang kadang-kadang tidak menghasilkan lebih dari yang
ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti
akan mengambilsemua hasil, sedang dilain pihak menderita kerugian
besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu
38 Ibid, hlm. 173.
40
tidak menghasilkan apa-apa sehingga dengan demikian dia sama
sekali tidak mendapat apa-apa, sedang dilain pihak (penyewa)
memonopoli hasil. Oleh karena itu masing-masing pihak harus
mengambil bagiannnya dari hasil tanah itu dengan perbandingan
yang disetujui bersama.39
B. Rukun dan Syarat Muzara’ah
1. Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah
Jumhur ulama’ yang membolehkan akad Muzara’ah menetapkan
rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.
a. Ijab qabul (akad)
b. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
c. Adanya obyek (ma’qud ilaih)
d. Harus ada ketentuan bagi hasil.4152
Dalam akad Muzara’ah apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka
pelaksanaan akad Muzara’ah tersebut batal. Untuk lebih jelasnya perlu
dipaparkan dari beberapa rukun Muzara’ah sebagai berikut:
a. Ijab qabul (akad)
Suatu akad akan terjadi apabila ada ijab dan qabul, baik dalam
bentuk perkataan atau dalam bentuk pernyataan yang menunjukkan
adanya persetujuan kedua belah pihak dalam melakukan akad tersebut.
51 Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, op. cit., hlm. 384. 52 M. Ali Hasan, op. cit., hlm. 275.
41
Ijab dan qabul artinya ikatan antara pemilik tanah dan penggarapnya.
Dalam hal ini baik akad munajjaz (akad yang di ucapkan sseorang dengan
memberi tahu batasan) maupun ghoiru munajjaz (akad yang diucapkan
seseorang tanpa memberikan batasan ) dengan suatu kaidah tanpa
mensyaratkan dengan suatu syarat.42
Pada prinsipnya akad Muzara’ah terjadi sesudah ada perjanjian
antara pihak yang menyewakan dan penyewa, sebagaimana firman Allah:
يأيهاالذينأمنواأوفواباالعقود﴿املائدة׃١﴾
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. 43
Dalam “ Pengantar Fiqh Mu’amalah” dijelaskan bahwa akad
menurut bahasa adalah:
الربط׃وهوجمعطرفىحبلينويشدأحدماباألخرحتىيتصالقيصحاآقطعه واحدة
Artinya:”Rabath (mengingat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung lalu keduanya menjadi sepotong benda. 44
Adapun akad menurut terminologi hukum Islam adalah :
أرتباطاإليحاب بقبولعلىوجهمشروعيثبتاثرهفىمحله
Artinya:”Perikatan antara Ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya. 45
Yang dimaksud ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau
pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad ) oleh suatu pihak,
42 . Teungku Muhammmad Hasbi As Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 75. 43 . Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 156. 44 . Teungku Muhammad Hasbi As shiddeqy, op, cit., hlm. 21. 45 . Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontesktual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 76.
42
biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedang qabul adalah pernyataan
atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain, biasanya
dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab. 46
Ijab dan qabul dinamakan sighat aqdi atau perkataaan yang
menunjukkan pada kehendak kedua belah pihak.
Sighat aqdi memerlukan tiga urusan pokok, yaitu:
1. Harus terang pengertianya
2. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3. Menggambarkan kesungguhan, kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.47
Ijab dan qabul merupakan rukun akad, yang dimaksud ijab
dan qabul adalah:
حداملتعاقدينمعبرأأنجزمارادتهفىإنشإ اإليجابهوأولبيانيصدرمنأ
منالطرفاألخربعد منهماوالقبولهومايصدر العقدإياآانهوالبادئ
اإليجابمعبراعنموافقتهعليه
46. Ibid, hlm. 77. 47 Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, op. cit., hlm. 29.
43
Artinya: “ Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad untuk menggambarkan iradatnya dalam mengadakan akad siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang keluar dari tepi (pihak) yang lain sesudah adanya ijab untuk menerangkan persetujuannya.48
a. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
Akid adalah seorang yamg mengadakan akad disini berperan
sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang mengadakan
akid, maka para mujtahid sepakat bahwa akad Muzara’ah sah apabila
dilakukan oleh:
1. Seseorang yang telah mencapai umur
Jika tidak bisa terselenggara akad Muzara’ah atas orang
gila dan anak kecil yang belum pandai, maka apabila melakukan
akad ini dapat terjadi dengan tanpa adanya pernyataan
membolehkan. Hal ini kalau memang ada izin dari walinya. Untuk
kadua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan
berkemampuan yaitu keduanya berakal dan dapat membedakan.
Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang
belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah.49
وابتلوااليتمىحتىإذابلغواالنكاح﴿النساء׃٦﴾
48 Ibid, hlm. 22.
49 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 115.
44
Artinya:“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.” (an Nisa: 6)
2. Seseorang yang berakal sempurna.
Seorang yang berakal sempurna artinya orang tersebut telah
dapat dimintai pertanggungjawaban, yang memiliki kemampuan
untuk membedakan yang baik dan buruk (berakal). Nampak
padanya bahwa didrinya telah mampu mengatur harta bendanya
sebagaiman firman Allah SWT:
والوتؤتواالسفهاءاموالكمالتىجعلاهللالكمقيما﴿النساء׃٥﴾
Artinya: ”Dan janganlah kamu serahkan pada orang-orang yang belum sempurna akalnya,50 harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan .” (an Nisa’ : 5).51
3. Sesorang yang telah mampu berikhtiar
Seseorang yang melakukan akad tidak boleh dalam keadaan
terpaksa. Firman Allah SWT:
يأيهاالذينأمنواالتأآلوااموالكمبينكمبالباطلإالأنتكونتجارة أنتراضمنكم﴿النساء٢٩﴾
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali
50 orang yang belum sempurna akalnya adalah anakyatim yang belum baligh atau orang yang tidak daoat mengaatur harta bendanya. 51 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 115.
45
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” An Nisa’: 29.52
b. Adanya obyek (ma’qud ilaih)
Ma’qud ilaih adalah benda yang berlaku pada hukum akad atau
barang yang dijadikan obyek pada akad.53 Ia dijadikan rukun karena
kedua belah pihak mengetahui wujud barangnya, sifat keduanya serta
harganya dan manfaat apa yang di ambil. Akad Muzara’ah itu tidak
boleh dilakukan kecuali atas tanah yang sudah diketahui. Kalau tidak
dapat diketahui kecuali dengan dilihat seperti tanah pekarangan, maka
dalam hal ini tidak boleh hingga dilihat terlebih dahulu. Dan juga tidak
boleh kecuali atas tanah-tanah yang bermanfaat atau subur. Kesuburan
tanah-tanah tersebut dapat dilihat dari penggunaan tersebut pada masa-
masa sebelumnya atau dapat menggunakan alat pengukur kualitas
kesuburan tanah tersebut. Hal ini dilakukakan untuk menghindari
kerugian (baik tenaga maupun biaya) dari masing-masing pihak yang
bersangkutan.
52 Ibid , hlm. 122. 53 Teungku Muhammad Hasbi As Shiddieqy, op. cit., hlm. 23.
46
Hal-hal yang harus diperhatikan perjanjian kerjasama yang
berkaitan dengan tanah antara lain : Untuk apakah tanah tersebut
digunakan? Apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka
harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus
ditanam di tanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan
berpengaruh terhadap jangka perjanjian (sewa) tersebut. Dengan
sendirinya akan berpengaruh terhadap jumlah uang sewanya.
Penggunaan yang tidak jelas dalam perjanjian, dikhawatirkan akan
melahirkan persepsi yang akan berbeda antara pemilik tanah dengan
penyewa (penggarap) dan pada akhirnya akan menimbulkan
persengketaan.40
d. Harus ada ketentuan bagi hasil.
Dalam akad Muzara’ah perlu diperhatikanketentuan bagi hasil
seperti setengah, sepertiga, seperempat, lebih banyak atau lebih sedikit
dari itu.54 Hal itu harus diketahui dengan jelas, disamping juga untuk
pembagiannya. Karena masalah yang sering muncul kepermukaan
dewasa ini dalam dunia perserikatan adalah masalah yang menyangkut
pembagian hasil serta waktu pembagiannya. Pembagian hasil harus
sesuai dengan kesepakatan keduanya.
40 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm. 148.
54 Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, op. cit., hlm. 384.
47
2. Syarat-syarat dalam Akad Muzara’ah
Adapan syarat-syarat dalam akad Muzara’ah menurut Jumhur ulama’
ada yang berkaitan dengan orang yang berakad, benih yang akan ditanam,
lahan yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dari jangka waktu
berlaku akad. 55
a. Orang yang melakukan akad harus baligh dan berakal. Akan tetapi dalam
pasal 1433 KUHPI disebitkan bahwa mereka tidak perlu harus sudah
mencapai umur dewasa. Artinya seorang anak muda yang sudah diberi
izin, bisa juga melakukan akad kerjasama dalam lahan pertanian
(muzara’ah).41
Disyaratkan pada saat akad dibuat, bagian untuk penggarap atas
produksinya harus dijelaskan. Misalnya, suatu bagian yang tidak
terpisahkan yang terdiri atas setengah atau sepertiga. Jika pembagian itu
tidak ditentukan, atau jika diputuskan yang akan dibagikan kepada
penggarap adalah sesuatu yang lain dari hasil penggarapan, atau jika
dinyatakan bahwa sekian banyak kilo akan diberikan dari hasil
produksinya, maka kerjasama dalam lahan pertanian itu adalah tidak sah
(pasal 1435 KUHPI).42
b. Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan, sehingga
penggarap mengetahui dan dapat melaksanakan apa yang diinginkan oleh
pemilik lahan pertanian itu.
55 M. Ali Hasan, op. cit., hlm. 276-277 41 Djazuli, op. cit, hlm. 335. 42 Ibid
48
c. Lahan pertanian yang dikerjakan :
1. Menurut adat kebiasaan dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan
menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak cocok ditanami pada
daerah tertentu.
2. Batas-batas lahan itu jelas
3. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk di olah dan
pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengolahnya.
d. Hasil yang akan dipanen
1. Pembagian hasil panen harus jelas (prosentasenya)
2. Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa
ada pengkhususan seperti disisihkan terlebih dahulu sekian persen.
Persyaratan ini pun sebaiknya dicantumkan dalam perjanjian sehingga
tidak timbul perselisihan dibelakang hari, terutama sekali lahan yang
dikelola sangat luas.
e. Jangka waktu harus jelas dalam akad, sehingga pengelola tidak di rugikan,
seperti membatalkan akad itu sewaktu-waktu. Untuk menentukan jangka
waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
f. Obyek akad harus jelas pemanfaatan benihnya, pupuk dan obatnya,
seperti yang berlaku pada daerah setempat.
49
C. Berakhirnya akad Muzara’ah
Suatu akad Muzara’ah berakhir apabila: 56
1. Meninggalnya salah satu pihak, namun dapat diteruskan oleh ahli
warisnya. Jika pemilik lahan meninggal dunia sementara tanamannya
masih hijau, maka penggarap harus terus bekerja sampai tanaman itu
matang. Ahli waris dari yang meninggal tidak berhak melarang orang itu
untuk berbuat demikian. Jika penggarapnya yang meninggal dunia, maka
ahli warisnya menggantikannya, dan bila ia mau boleh meneruskan kerja
mengolah tanah sampai tanaman itu matang, dan pemilik lahan tidak
melarangnya.43
2. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Jika dalam menyewa tanah berada
dalam tahun (waktu dalam tahun tersebut) yang dimungkinkan adanya
panen maka diperbolehkan. Hal ini untuk menghindari waktu habis dan
panen belum tiba.
3. Jika banjir merusak dan melanda tanah sewa sehingga kondisi tanah dan
tanaman rusak maka perjanjian berakhir.
4. Ketika waktu berakhir maka pemilik dilarang mencabut tanaman sampai
pembayaran diberikan dan hasil panen dihitung.
Maka solusi untuk menghindari kemungkinan berakhirnya akad
muzara’ah terutama yang disebabkan oleh kondisi alam, yaitu dilakukan
dengan cara memperhatikan keadaan tanah, apakah tanah tersebut gembur
ataukah keras. Kira-kira jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam dalam
56 Abi Al Hasan bin Muhammad bin Habib al Mawardi al Basri, op. cit., hlm. 456. 43 Djazuli, op. cit. hlm. 336.
50
kondisi tanah seperti tersebut. Kemudian harus memperhatikan cuaca atau
musim. Di Indonesia terdapat dua musim yakni musim penghujan dan musim
kemarau. Maka seorang petani/penyewa tanah harus memperhatikan kira-kira
jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam pada musim-musim tersebut.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka kecil kemungkinannya
petani akan mengalami kegagalan panen. Oleh karena itu seorang petani harus
selalu memperhatikan kondisi alam untuk menyiasati agar tidak terjadi
kegagalan panen.
D. Aplikasi Muzara’ah dalam Mumalah Modern
Kerjasama dalam lahan pertanian sebenarnya sudah ada sejak dulu
hingga sekarang. Kalau dahulu Nabi SAW pernah mempraktekkan pada
penduduk Khaibar dengan menyerahkan tanah dan tanaman kurma untuk
dipelihara dengan mempergunakan alat dan dana mereka, dengan imbalan
upah sebagian dari hasil panen. Sedangkan untuk masa sekarang praktek
kerjasama tersebut banyak terjadi dalam masarakat pedesaan yang mata
pencahariannya banyak bekerja di sawah/ladang. Di mana kerjasama di antara
mereka (pemilik lahan dan penggarap) biasanya disebut paroan sawah, yang
akadnya tidak diakadkan secara tertulis melainkan cukup dengan lisan saja.
Hal ini sering mengakibatkan kerugian disalah satu pihak, karena tidak ada
bukti yang kuat.
Dalam perbankan Islam, prinsip yang paling banyak dipakai adalah
musyawarah dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah
51
dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian
oleh beberapa bank Islam. Bahkan dalam bank-bank Islam sekarang
khususnya di Indonesia sama sekali belum mengeluarkan produknya baik
muzara’ah maupun musaqah.
Di bank-bank syari’ah luar negeri, untuk usaha pertanian biasanya
dengan skim musyawarah atau salam. Sudah sangat terkenal dengan
keberhasilan penerapan skim musawarah untuk pertanian oleh bank-bank
syariah. Yang agak berbeda adalah Iran. Di negeri ini diterapkan skim
muzara’ah untuk kredit usaha tani.44
Muzara’ah mempunyai sifat yang spesifik, karenanya penerapan
muzara’ah terbatas pada tanaman setahun sekali seperti, padi, jahe, kentang.
Sedangkan untuk tanaman tahunan dapat digunakan skim musaqat.
Karena sifat muzara’ah yang spesifik inilah kebanyakan bank syariah
menggunakan musyawarah atau salam untuk kredit usaha tani.45
Akan tetapi dalam perkembangannya, praktek muzara’ah lebih
cenderung kepada mudharabah (kerjasama dengan sistem profit sharing).
Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di
mana pihak pertama (shahib al maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan
pihak lainnya disebut mudharib sebagai pengelola usaha46
44 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema
Insani Press, cet. ke-I, 2001, hlm. 120. 45 Ibid, hlm. 21 46 Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit, hlm. 95.
52
Keuntungan dalam mudharabah akan dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak. Sedangkan kerugiannya akan ditanggung oleh
pihak yang membuat kelalaian.47
Secara umum, aplikasi muzara’ah dalam bank Islam dapat
digambarkan dalam skema berikut ini :48
Skema Muzara’ah
- Kehahlian - Tenaga - Waktu
Hasil panen
Lahan pertanian - Lahan - Benih - Pupuk - dan sebagainya
Penggarap Pemilik lahan
Perjanjian bagi hasil
Jadi dalam perjanjian bagi hasil kerjasama muzara’ah terdapat hal-hal
penting yang harus dipenuhi baik oleh pemilik lahan maupun penggarap. Di
mana pemilik lahan harus menyediakan lahan pertanian, benih/bibit, pupuk
dan alat-alat lain yang diperlukan. Sedangkan penggarap bersedia dengan
keahlian/ketrampilan, tenaga dan waktu. Setelah perjanjian kerjasama tersebut
selesai maka keduanya akan mendapatkan prosentase bagian tertentu sesuai
dengan kesepakatan.
47 Ibid, 48 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema
Insani Press, cet. ke-I, 2001,hlm. 100.
53
Sedangkan aplikasi muzara’ah dalam kegiatan muamalah non bank,
yakni seperti kebanyakan yang terjadi dalam masyarakat adalah muzara’ah
dengan sistem sewa tetap. Di mana seorang pemilik tanah melakukan
kerjasama pengolahan tanah dengan pihak lain di mana pihak lain (penyewa)
harus membayar sejumlah uang tertentu, atau barang senilai tertentu, sebagai
biaya sewa atas tanah yang diolahnya tersebut. Besarnya biaa sewa ini bersifat
tetap, tidak tergantung kepada hasil produktifitas tanah yang diolahnya
tersebut. Jadi, hasil panenan sepenuhnya menjadi hak dari penyewa tanah
sebagaimana juga resiko kegagalan panen juga sepenuhnya menjadi
tanggungan penyewa. Hak dari pemilik tanah hanyalah menerima biaya
sewa.49 Atau sebaliknya, seorang pemilik tanah yang tidak mampu mengolah
tanahnya sendiri mengadakan kerjasama dengan orang lain (pekerja) untuk
mengolah dan merawat tanah miliknya. Di sini pemilik tanah yang
menanggung segala resiko yang terjadi dan hasil panen juga menjadi haknya.
Pekerja hanya akan memperoleh upah dari pemilik tanah karena pemilik
tersebut telah memanfaatkan jasanya yakni tenaga. Bisa juga pemilik akan
memberikan hasil panen tersebut dengan cuma-Cuma kepada pekerja sebagai
ungkapan rasa terima kasih karena telah membantu mengolahkan tanah
miliknya.
49 M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomikaa Mikro Islami, Yogyakarta : Ekonosia, cet.
ke-I, 2003, hlm. 199.