bab ii muzara’ah dalam perspektif fiqh a. pengertian...

34
BAB II MUZARA’AH DALAM PERSPEKTIF FIQH A. Pengertian Muzara’ah Dan Dasar Hukumnya a. Pengertian Dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan Muzara’ah dan Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang hampir sama, hanya dibedakan dari benih dan bibit tanaman. Muzara’ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata yang mengikuti wazan (pola) mufa’alah (⇐∩β∠⇓) dari kata dasar al-zar’u (⊇ ⇔α) yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan). 1 Kata ﻣﺰارﻋﺔadalah masdar dari Fi’il Madli زارعdan fi’il Mudlori ﻳﺰارعyang secara bahasa mempunyai pengertian tanam, menanam (to plant, v) 2 Sedangkan kata ﻣﺨﺎﺑﺮةmerupakan masdar dari fi’il Madli ﺧﺎﺑﺮdan fi’il Mudlari’ ﻳﺨﺎﺑﺮyang secara bahasa mempunyai pengertian tanah gembur, lunak. 3 Secara istilah Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil 1 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t. th, hlm. 613. 2 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Jakarta : Mutiara, 1961, hlm. 299. 3 Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, hlm. 319. 18

Upload: buikhuong

Post on 11-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB II

MUZARA’AH DALAM PERSPEKTIF FIQH

A. Pengertian Muzara’ah Dan Dasar Hukumnya

a. Pengertian

Dalam hukum Islam, bagi hasil dalam usaha pertanian dinamakan

Muzara’ah dan Mukhabarah. Kedua istilah tersebut mempunyai

pengertian yang hampir sama, hanya dibedakan dari benih dan bibit

tanaman.

Muzara’ah secara bahasa merupakan suatu bentuk kata yang

mengikuti wazan (pola) mufa’alah (⇐∩β∠⇓ ) dari kata dasar al-zar’u

(⊇ ⇔ α) yang mempunyai arti al-inbat (menumbuhkan).1

Kata مزارعة adalah masdar dari Fi’il Madli زارع dan fi’il

Mudlori’ يزارع yang secara bahasa mempunyai pengertian tanam,

menanam (to plant, v)2

Sedangkan kata مخابرة merupakan masdar dari fi’il Madli خابر

dan fi’il Mudlari’ يخابر yang secara bahasa mempunyai pengertian tanah

gembur, lunak.3

Secara istilah Muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian

antara pemilik tanah dengan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil

1 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islamu wa Adilatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t. th,

hlm. 613. 2 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Jakarta : Mutiara,

1961, hlm. 299. 3 Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Surabaya : Pustaka

Progresif, 1997, hlm. 319.

18

21

yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, tetapi pada umumnya

paroan sawah atau fifty-fifty untuk pemilik tanah dan penggarap tanah. 4

Menurut Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, Muzara’ah adalah

pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan hewan kepada yang hendak

menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat hasil yang telah

ditentukan, misalnya: 1/2 , 1/3 atau kurang atau lebih menurut pesetujuan

bersama. 5

Dalam kitab al Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sunah

Rasul menunjukan dua hal tentang makna Muzara’ah yakni pertama;

kebolehan bermuamalah atas pohon kurma / diperbolehkan bertransaksi

atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya pohon kurma telah ada baru

kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk dirawat sampai

berbuah. Namun sebelumnya kedua belah pihak (pemilik kebun dan

pekerja) harus dulu bersepakat tentang pembagian hasil, bahwa sebagian

buah untuk pemilik kebun sedang sebagian yang lain untuk pekerja.

Kedua; ketidakbolehan Muzara’ah dengan pembagian hasil 1/4 dan 1/3

atau sebagian dengan sebagian. Maksudnya adalah menyerahkan tanah

kosong dan tidak ada tanaman didalamnya kemudian tanah itu ditanami

tanaman oleh (penggarap) dengan tanaman lain.6

4 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), Jakarta : PT. Toko

Gunung Agung, 1997, hlm. 130. 5 Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Jakarta: PT. Bina

Ilmu, 1993. hlm. 383. 6 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Safi’i, al-Umm, Juz III, Mesir : Dar al-

Fikr, t.th, hlm. 12.

22

Di sini makna Muzara’ah adalah memberi upah dan tidak boleh

seseorang memberi upah pada orang lain atas pekerjaanya kecuali dengan

upah yang sudah dapat diketahui oleh keduanya sebelum pekerja mulai

bekerja. Inilah makna Muzara’ah yang diterangkan dalam sunnah. 7

Kemudian Imam Syafi’i juga mendefinisikan Mukhabarah dengan:

عملاألرضببعض مايخرجمنهاوالبذرمنالعامل

Artinya:“Pengolahan lahan oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan pengelola lahan.”8

Muzara’ah adalah mengerjakan tanah orang dengan memperoleh

sebagian dari hasilnya, sedang bibit (biji) yang dipergunakan kepunyaan

pemilik tanah, tidak dibolehkan karena tidak sah menyewakan tanah

dengan hasil yang diperoleh dari padanya, demikian yang mu’tamad

dalam Mazhab Syafi’i sebelum Ulama’ Syafi’iyah membolehkan sama

dengan Musaqoh (orang upahan).9

Menurut Ulama’ mazhab Hambali:

دفعاألرضإلىمنيزرعهاأويعملعليهاوالزرعبينهما

Artinya :”Muzara’ah adalah penyerahan lahan pertanian kepada seoran petani untuk diolah dan hasilnya dibagi dua.”10

Ulama-ulama Hanabilah berkata: Muzara’ah ialah orang yang

mempunyai tanah yang dapat dipakai untuk bercocok tanam

memberikannya kepada seseorang yang akan mengerjakan serta memberi

7 Ibid. 8 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 2003, hlm. 272. 9 Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 1997, Cet. ke-1, hlm.125. 10 M. Ali Hasan, loc. cit

23

kepadanya bibit, atas dasar diberikan kepadanya sebagian dari hasil bumi

itu, 1/3 dan 1/2 dengan tidak ditentukan banyaknya sukatan. Jadi, boleh

Muzara’ah dan hendaknya bibit itu diberikan oleh pemilik tanah.11

Ulama’ Hanafiyah berkata:”Muzara’ah pada syara’ ialah suatu

akad tentang pekerjaan diatas oleh seseorang dengan pemberian sebagian

hasil baik dengan cara menyewakan tanah dengan sebgaian hasil, ataupun

yang empunya tanah mengupahkan yang bekerja dengan pembagian hasil.

Kata Abu Hanifah dan Muhammad: Boleh. Ini adalah pendapat Fatwa

Mazhab Hanafi. Abu Hanifah: “Boleh Muzara’ah kalau kerja dan bibit

kepunyaan bersama. Dengan demikian berartilah si pekerja menyewa

tanah dengan alat-alatnya dan berarti pula pemilik mengupah pekerja

dengan memberikan alat-alat dan bibit itu.”12

Kemudian Ulama’-ulama Malikiyah berkata:” Muzara’ah pada

Syara’ ialah suatu akad yang batal, kalau tanah dari salah seorang sedang

bibit dan alat dari orang lain. Muzara’ah yang dibolehkan adalah

berdasarkan upah. Ringkasnya, tidak boleh menyewa atau mengupahkan

itu dengan hasil yang diperoleh dari tanah, dan boleh kalau dengan upah

yang tertentu.13

Lebih lanjut Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Hanafi

menjelaskan bahwa sistem bagi hasil baik dalam pengolahan bidang

pertanian maupun perkebunan (Muzara’ah dan Musaqah) adalah terlarang.

Karena adanya kelompok masyarakat baru yang berwatak parasit, yang

11 Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, op, cit., hlm. 426. 12 Ibid, hlm. 425 13 Ibid.

24

mengeksploitir dan mengambil keuntungan secara tidak adil dari hasil

pekerjaan tersebut, itu tidak boleh dibiarkan, dan khususnya lagi karena

dengan melalui pemberian tanah secara sukarela kepada orang lain untuk

digarap maka pemilik tanah dapat memperoleh derajat ketaqwaan yang

tinggi.14

Pendapat ketiga Imam tersebut terhadap sistem penggarapan

seperti ini mencakup tiga hal. Pertama, Rasulullah SAW dengan tegas

melarang sistem Mukhabarah yang dalam bahasa daerah di Madinah

dianggap mempunyai makna yang sama dengan Muzara’ah, yaitu

memadukan penggarapannya antara pemilik tanah dan penggarapnya yang

menyepakati bahwa apapun yang dihasilkan tanah tersebut keduanya akan

mendapatkan bagian tertentu. Kedua, membuat perjanjian penggarapan

dengan menyewa tenaga kerja untuk memperoleh sebagian dari hasil

produksi, jadi dengan sendirinya perjanjian tersebut menjadi terlarang

juga. Ketiga, kadar sewanya tergantung jika tanah itu berproduksi berarti

ada hasil yang diperoleh tapi jika rusak maka tidak ada hasil yang

diperoleh, jadi sewanya tidak tetap. Oleh karena itulah sehingga sistem ini

terlarang. Selain itu, sehubungan dengan transaksi yang terjadi antara

14 Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Jilid II, Terj. Soeroyo, Nastangin

“Doktrin Ekonomi Islam”, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 283.

25

Rasulullah dengan kaum Yahudi di Khaibar tidak menampakkan suatu

penggarapan yang dipaksakan tapi lebih bersifat semacam pembayaran

upeti, yang boleh dibayar dengan hasil bumi sesuai dengan kesepakatan

atau kemampuan mereka.15

Menurut Badaruddin dalam “Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah

Li Ibnu Taimiyah” bahwa muzara’ah terhadap tanah dengan imbalan

separuh dari hasil panen itu dibolehkan, baik bibitnya berasal dari pemilik

tanah maupun dari pihak pekerja.16

Pendapat inilah yang benar sebagaimana petunjuk daari sunnah

Rasulullah SAW, karena beliau telah melakukan transaksi muzara’ah

dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari hasil panen yang

berupa buah-buahan atau tanaman.17

Menurutnya, hadits-hadits yang menunjukkan larangan

mukharabah karena mereka bermuamalah (kerjasama) dengan cara

mensyaratkan bahwa pemilik tanah berhak memiliki (mengambil hasil)

dari tanah pada bagian tertentu. Ulama sepakat bahwa praktek seperti

inilah yang dilarang.18

Ibnu Hazm memaparkan bahwa tidak dibolehkan menyewakan

tanah (muzara’ah) dengan imbalan apapun, baik itu dengan dinar, dirham,

benda, makanan tertentu dan barang-barang apapun. Karena tanah adalah

sesuatu yang bermanfaat, maka hendaknyalah tanah itu dimanfaatkan baik

15 Ibid, Al-Zatur Rahman, hlm. 284. 16 Syekh Badaruddin, Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah Li Ibnu Taimiyah, Beirut

Libanon : Dar al-Kutub al-Ilmiyati, t.th, hlm. 364. 17 Ibid. 18 Ibid, hlm. 365.

26

dengan cara menanaminya atau diberikan kepada saudaranya (orang lain)

dengan cara cuma-cuma asalkan jangan sampai terabaikan.19

Wahbah Zuhaily mendefinisikan muzara’ah sebagai transaksi

dalam hal bercocok tanam dengan upah dari perkara yang akan dihasilkan

nantinya.20

Sayyid Sabiq dalam kitabnya ”Fiqh Sunnah” menyebutkan bahwa

Muzara’ah menurut istilah :

املعاملةعلىاألرض مايخرجمنها

Artinya: ” Transaksi pengolahan bumi dengan (upah) sebagian dari hasil yang keluar dari padanya.21

Lebih lanjut Sayyid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud

disini adalah pemberian hasil untuk orang yang mengolah atau menanami

tanah dari yang dihasilkan seperti setengah atau sepertiga atau lebih sesuai

dengan kesepakatan kedua belah pihak (penggarap dan pemilik tanah).22

Imam Taqiyuddin di dalam Kitab “ Kifayatul Ahyar”

menyebutkan bahwa Muzara’ah adalah:

إآترأالعاملليزرعاألرض ببعض مايخرجمنها

Artinya: “Menyewa seseorang pekerja untuk menanami tanah dengan upah sebagian dari hasil yang keluar dari padanya”.

Dan Mukharabah adalah:

املعاملةعلىاألرض ببعض مايخرجمنها

Artinya: “Transaksi pengolahan bumi dengan upah sebagian hasil yang keluar dari padanya.

19 Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz 8, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t.th, hlm. 211. 20 Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al Islami wa Adillatuh, Beirut Libanon : Dar al-Fikr, t.th,

hlm. 613. 21 . Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid III, Bairut Libanon: Dar al-Fikr, t.th, hlm.162. 22 . Ibid.

27

Dan Mukharabah adalah :

β⇓ ξ ±β⇓ ∪ϕι α ⌠⇐∩ ∫⇐⇓β∪◊⇔α Artinya: “Transaksi pengolahan bumi dengan upah sebagian hasil yang

keluar dari padanya”.

Dari kedua pengertian diatas yang diberikan oleh Imam

Taqiyuddin menjadi tampak perbedaan arti antara Muzara’ah dan

Mukhabarah. Muzara’ah adalah suatu akad sewa pekerja untuk mengelola

atau menggarap tanah dengan upah sebagian dari hasil yang keluar dari

padanya. Disini pekerja (pengelola) hanya bertanggung jawab terhadap

pengelolaan atau penggarapan dan tidak bertanggung jawab untuk

mengeluarkan benih atau bibit tanaman. Dalam hal ini yang bertanggung

jawab mengeluarkan benih atau bibit tanaman adalah pemilik modal atau

pemilik tanah.

Sedangkan Mukhabarah adalah suatu transaksi pengolahan bumi

dengan (upah) sebagian hasil yang keluar dari padanya. Dalam hal ini

pengelolaan atau penggarap tidak hanya bertanggung jawab untuk

mengelola atau menggarap sawah, akan tetapi juga bertanggung jawab

untuk mengeluarkan benih atau bibit tanaman.23

Berbeda dengan Mawardi yang menyatakan bahwa Mukhabarah

sama dengan Muzara’ah yaitu menyewa tanah dengan ganti sebagian dari

hasil panen. Hanya saja berbeda pada asal kata Mukhabarah, yakni 1)

23 . Imam Taqiyuddin, Kifayatul Ahyar, Juz I, Surabaya Indonesia; Dar al –Ihya’. t.th. hlm. 314.

28

dikaitkan dengan praktek demikian di Khaibar, 2) berasal dari kata خيبرة

artinya bagian.24

Jika pengertian Mukhabarah atau Muzara’ah adalah menyewa

tanah untuk ditanami dengan upah dari sebagian hasil tanah tersebut, maka

hal itu ada dua jenis, yaitu jenis yang disepakati ulama tentang tidak

sahnya dan juga jenis yang masih diperselisihkan ketentuan hukumnya.

Jenis pertama yang disepakati tidak sahnya adalah jika bagian yang

akan diperoleh masing-masing pihak berbeda (dipilah-pilah) dari bagian

temannya.seperti ucapan pemilik tanah: “Aku telah bertransaksi

(muzara’ah) denganmu bahwa apa yang kamu tanam ini (satu jenis

tanaman) adalah menjadi bagianku nantinya sedangkan apa yang kamu

tanam itu (satu jenis tanaman yang lain) akan menjadi bagianmu. Atau

ucapan bahwa tanaman yang terkena air hujan itu menjadi bagianmu

sedangkan yang disirami sendiri itu menjadi bagianku. Maka muzara’ah

seperti ini hukumnya bathil (tidak sah). Ulama telah sepakat bahwa hal itu

tidak sah, berdasarkan riwayat dari Sa’id bin Musayyab dari Rafi’ bin

Khadij:

امنا يزرع : وقال, ة واملزابنةهنى رسول اهللا صل اهللا عليه وسلم عن احملا قل

رجل له ارض فهو يزرعها ورجل منح ارضا فهويزرع ما منح , ثالثة

ورجل اسكري ارضا بذهب اوفضة

24 . Abi Ali Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi al-Basri,al Khawil Kabir:

Fiqh Mazhab Imam syafi’I Juz VII, Beirut Libanon: Dar al Kutb Al Ilmiyati, 1994, hlm. 451.

29

Artinya:

Rasulullah mencegah dari al-muhaqalah25 dan al-muzabanah.26 Yang berhak menanam itu tiga orang; seseorang yang mempunyai tanah lalu menanaminya, seseorang yang diberi tanah lalu menanaminya, dan seseorang yang menyewa tanah dengan emas atau perak.27

Atau dikatakan bahwa hasil itu berada dibagian tertentu, misalnya

disekitar aliran sungai atau didaerah yang mendapatcahaya matahari, maka

hasil daerah tanah tersebut disimpan untuk pemilik tanah, sedangkan yang

lain untuk penggarap. Semua bentuk-bentuk pengolahan semacam ini

dianggap terlarang karena bagian untuk satu pihak telah ditentukan

sementara bagian pihak lain masih diragukan, atau bagian untuk keduanya

tergantung pada nasib baik atau buruk. Sehingga ada satu pihak yang

merugi.28 Oleh karena masih nampak unsure ketidakadilan maka cara

seperti ini tidak adil.

Jenis kedua yang masih diperselisihkan kebolehannya oleh para

ulama adalah seseorang yang mempekerjakan orang lain untuk mengolah

tanahnya dengan benih yang berasal dari keduanya atau dari salah satunya

dengan disyaratkan bahwa hasilnya nanti dibagi berdua berdasarkan

kesepakatan seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Pekerja mendapat

bagiannya sebagai ganti/upah pekerjaannya dan pemilik tanah mendapat

bagiannya karena dialah yang mempunyai tanah. Praktek ini disebut

Mukhabarah dan Muzara'ah yang masih diperselisihkan kebolehannya

oleh para ulama.

25 Muhaqalah adalah menyewa tanah untuk ditanami / menjual kurma yang masih berada diatas pohon. Lihat Iman Santoso, Fikih Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, cet. ke- 1, 2003, hlm. 131. 26 Muzabanah adalah membeli sesuatu yang tidak diketahui berat atau hitungannya. 27 Al- Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al- Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, Beirut Libanon: Dar al- Fikr, t. th, hlm. 819. 28 Afzalur Rahman., Economic Doctrines of Islam. Terj. Soeroyo, Nastangin "Doktrin Ekonomi Islam", Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 286.

30

Mereka terbagi atas tiga kelompok29

1. Madzhab Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan Imam Malik

Mereka berpendapat bahwa praktek itu tidak sah, baik dengan syarat

benihnya dari pihak pekerja maupun dari pihak pemilik tanah.

Para sahabat yang pendapatnya sama dengannya adalah Abdullah bin

Umar, Jabir bin Abdullah, Rafi' bin Khudaij. Diantara para tabiin

adalah Said bin Jabir, Ikrimah.

2. Madzhab Imam al- Tsauri, Abu Yusuf dan Muhammad

Mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut diperbolehkan, baik

dengan syarat benihnya dari pihak pekerja maupun dari pihak pemilik

tanah.

Bisa juga apabila tanah, peralatan pertanian dan benih semuanya

dibebankan kepada pemilik tanah sedangkan hanya buruh yang

dibebankan kepada petani, maka harus ditetapkan pemilik tanah

mendapatkan bagian tertentu dari hasil. Atau apabila keduanya sepakat

atas tanah, perlengkapan pertanian, benih dan buruh serta menetapkan

bagian masing-masing yang diperoleh dari hasil.30

3. Madzhab Imam Hanbali dan Ishaq bin Ruwaihah

Mereka berpendapat bahwa jika disyaratkan benihnya berasal dari

pihak pemilik tanah, maka transaksi ini tidak sah. Tapi jika disyaratkan

benihnya dari pihak pekerja maka transaksinya sah.

Golongan yang membolehkan transaksi tersebut menggunakan

dasar hadis yang diriwayatkan oleh Ubaidillah bin Umar dan Nafi' dari

Ibnu Umar.

ان النبى صل اهللا عليه وسلم عا مل اهل خيبر على شطرما

يخرج من ثمروزرع

29 Abi al-Hasan bin Muhammad bin Habib al- Mawardi al- Basri, op. cit., hlm. 451. 30 Afzalur Rahman, op. cit., hlm. 288.

31

"Bahwa nabi SAW pernah bermuamalah dengan ahli khaibar, yaitu dengan separoh dari hasil yang akan keluar buah atau tanaman”.

β Λ βℑ⇔ ο⇐ Ζ ⇒β β ∑ι ◊∩ ∑∩ ∩ ∑ι β∠

!α ⌠⇐ ⌠ϕ⇔ α ◊∩ ⟨β∉ ιβ ◊⇔α ο⋅ µ⇔∑◊ψ ⇔α ϕ∩βια

α βϕ∩∑ια ⟨◊⇐∩α ⌠ α ◊∩β Ζ ⇒β∉ Νβ∉⌠ ⟨⇐ ⇐∩

β α ∑⇓ ⇔ ψ β α ⟨⋅ ψα ◊ Ζ ⇒β ∑¬⇔ β∩ %

ΥΥΝβ⇓⇐∪⇓βυ β⇐∩

"Sufyan bin Uyainah meriwayatkan dari Amru bin Dinar: Aku berkata kepada Thawus: "Wahai Abu Abdurrahman, seandainya kamu meninggalkan praktek mukhabarah, maka mereka akan mengira bahwa nabi SAW telah melarangnya". Lalu Thawus berkata: "Wahai Amru, ceritakan kepadaku bahwa orang yang paling alim diantara para sahabat adalah Ibnu Abbas". Dia tidak mencegah praktek mukhabarah, tapi berkata: "Bahwa pemberian tanah yang dilakukan salah seorang diantara kalian kepada saudaranya itu lebih baik dari pada dia mengambil bagian tertentu dari tanah tersebut".31

Mereka mengatakan bahwa suatu pekerjaan dengan upah dari

perkara yang akan dihasilkan nanti itu diperbolehkan, sebagaimana terjadi

pada akad musaqah pada pohon kurma, begitu pula pada akad mukhabarah

dan muzara'ahpada tanah milik. Karena jika muzara'ah diperbolehkan

ketika bersamaan dengan musaqah maka tentu juga diperbolehkan

muzara'ah ketika tidak bersamaan dengan musaqah.

31 Abi al- Hasan bbbin Muhammad bin Habib al- Mawardi al- Basri, loc. cit.

32

Golongan yang tidak memperbolehkan muzara'ah berdasarkan

pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Syafi'i diawal bab. Juga

didukung sebuah hadis:

ξ ψ∑ι ⊃∉α α β ∑ι β◊⇐ ∑∩ ⟨¬ψ ∑ι ⌠⇐∪

α Λ⟨⇐ ⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ∩ ⌠⇐∩ ιβ β⋅ Ζ ⇒β

∑∩ ⟨⇐

⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ⌠ Ζ ⇒β∉ ⌠βµα ⌠ν⇓ ◊∩ ∪ι

Η∨α β⇓Ι Ζ β⇐∉ Λ∑⇔ ⊃∠α ⇔ !α ∩α ℜ Λβ⇔ β∪∉ β β⋅ ⇓α

β∩ ⇐∉ α ⇔οβ⋅ ∑⇓ ⟨⇐ ⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ⇒β Ζ ⇒β

32Ν⌠◊ ⇓ β∪ℜ ⊃ι α σ⇐ρι β β¬ β α β∩ ⇔α

Ya'la bin Hakim meriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar bahwa Rafi' bin Khudaij berkata: "Kami pernah melakukan praktek mukhabarah pada masa rasulullah SAW dan sebagian pamanku mendatangiku sambil berkata: bahwa Rasulullah SAW telah melarang suatu perkara yang bermanfaat bagi kami". Lalu kami (Rafi' bin Khudai'j) berkata: "Apakah itu ?". Dia (sebagian pamanku)pun berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa mempunyai sebidang tanah maka sebaiknya ia menanaminya atau disuruh menanami oleh saudaranya dan janganlah menyewakannya dengan sepertiga, seperempat ataupun dengan makna tertentu”.

Ζ ⇒β ∩ !α ⌠ !α ϕ∩ ∑ι ι βυ ∑∩ ι ⌠ια ∑∩ ⟨ρ ∑ια

ιβ ◊⇔α % ∑⇓Ι ⟨⇐ ⇐∩ !α ⌠⇐ !α ⇒ ο∪◊

Ν⇔ !α ∑⇓ λ ϒ ⇐∉

32 Ibid, Abi Al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri, hlm. 452

33

Ibnu Khutsaim meriwayatkan dari Abu Zubair bahwa jabir bin Abdillah berkata: "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "barang siapa yang tidak meninggalkan praktek (mukhbarah), maka (seakan-akan) dia telah diminta izin untuk diperangi oleh Allah dan RasulNya”33

Demikian beberapa dalil yang digunakan sebagai landasan oleh

kedua golongan yang membolehkan Muzara’ah dan yang tidak

membolehkannya.

Menurut Imam syafi’i, Muzara’ah dan Mukhabarah merupakan

dua akad yang berlainan. Mukhabarah yakni mendapatkan orang untuk

bekerja pada sawah ladang dengan menjanjikan upahan sebagian dari hasil

tanah itu. Sedangkan Muzara’ah yakni menyewa pekerja untuk bercocok

tanam pada sawah ladang itu dengan membayar sebagian dari hasil tanah

itu.

Dari segi maknanya tidak ada perbedaan, tetapi menurut Imam

Rafi’i dan Imam Nawawi bahwa dalam Muzara’ah itu benih-benih

tanaman dikeluarkan oleh pemilik ladang. Sedangkan dalam Mukhabarah

benih-benih itu ditanggaung oleh si penggarap.34

Kemudian menurut Imam Syafi’i bahwa Muzara’ah itu dilarang

kecuali apabila diikuti dengan adanya Musaqah.35 Musaqah adalah bentuk

yang lebih sederhana dari Muzara’ah di mana si penggarap hanya

33 Ibid, Abi Al-Hasan bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri, hlm. 452 34 Imam Taqiyuddin, loc. cit. 35 Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami wa Adilatuh, Juz 5, Beirut Libanon : Dar al-Fikr,

tth, hlm. 614.

34

bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si

penggarap berhak atas nisabah tertentu dari hasil panen.36

Musaqah yaitu menetapkan seorang pekerja kepada pepohon untuk

dia menjaganya dengan mengairinya dan memperhatikan kepentingannya.

Lantaran mengairi tanaman itu merupakan kerja-kerja yang mendatangkan

manfaat, maka ditetapkan baginya suatu akad perjanjian, yang mana

semua para sahabat dan para tabi’in sepakat membolehkannya tanpa ada

khilaf lagi.37

Alasan dibolehkannya Musaqah yaitu apa yang diriwayatkan Imam

Muslim dari Umar ra bahwa :

Kesimpulannya adalah Muzara’ah dan Mukhabarah adalah suatu

akad perjanjian yang berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada siapa yang

memberikan atau mengeluarkan benih atau bibit tanaman tersebut. Apabila

benih atau bibit tanaman tersebut dari pemilik tanah, maka akad bagi hasil

tersebut Muzara’ah dan apabila benih atau bibit tanaman tersebut dari

penggarap atau pengelola tanah, maka akad bagi hasil itu disebut

Mukhabarah.

b. Dasar Hukum

Bagi hasil dalam bidang pertanian adalah suatu jenis kerja sama

anatar penggarapan atau pengelola dan pemilik tanah. Biasanya

36 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema

Insani Press, cet. ke-1, 2001, hlm. 100. 37 Imam Taqiyuddin, Kifayatul Ahyar, bag. 1, Terj. Syaifuddin Anwar, Surabaya: Bina Iman, cet. ke-2, 1995, hlm.688.

35

penggarap adalah orang yang memiliki profesionalitas dalam

mengelola atau menggarap tanah dan tidak memiliki tanah.

Adapun dasar-dasar hukum Muzara’ah antara lain:

1. Al Qur ‘an

وأخرونيضربونفىاألرض يبتغونمنفضلاهللا﴿املزمل׃٢٠﴾Artinya:“Dan yang lain lagi, mereka bepergian dimuka bumi

mencari karunia dari Allah. (Al Muzammil : 20 )32

أهميقسمونرحمتربكنحنقسمنابينهممعيشتهمفىالحيوةالدنياج ورفعنابعضهمفوقبعض درجتليخذبعضهمبعضاسخرياورحمتربكخير

ممايجمعون﴿الزخرف׃٣٢﴾Artinya:“Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu

atau kami telah menentukan antara mereka penghidupan dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggalkan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Az zuhruf : 32)33

Kedua ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Tuhan memberi

kebebasan kepada manusia supaya berusaha mencari rahmat-Nya

untuk bertahan hidup dimuka bumi.

2. Al Hadist

a. Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:

عنإبنعمرأنالنبىصلاهللاعليهوسلمعاملأهلخيبربشطرمايخرج

منهامنثمأوزرع34

32 . Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 990. 33 . Ibid, hlm. 798. 34 .Afzalur rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 269.

36

Artinya:”Dari Ibnu Umar berkata “Rasullullah memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan mengolahnya dan mengambil sebagian dari hasilnya”.

b. Hadist yang diriwayatakn oleh Imam Bukhori dari Abdillah

عنعبداهللارضىاهللاعنهقالرسولصلاهللاعليهوسلمأعطىخيبر اليهود

علىأنيعملوهاويزرعوهاولهمشطرماخرجمنها35

Artinya:“Dari Abdullah RA berkata: Rasullah telah memberikan tanah kepada orang Yahudi Khaibar untuk di kelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari apa yang dihasilakn dari padanya.”

Hadist-hadist tersebut di atas menunjukan bahwasannya bagi

hasil Muzara’ah diperbolehkan, karena Nabi SAW sendiri

pernah melakukannya.

c. Hadist yan di riwayatkan Oleh Rafi’ bin Khudaij, ia berkata:

عنرافعبنخديجقالنهانارسولاهللاصلاهللاعليهوسلمعنأمرآانلنا

نافعإذاآانتألخدناارضأيعطيهاببعضخروجهاأوبرارهم36

Artinya:”Dari Rafi’ bin Khudaij berkata: Rasulullah SAW melarangku dari meninggalkan sesuatu yang membuahkan manfaat, lalu berkata: Apabila diantara salah satu dari kita ada yang mempunyai tanah, hendaknya ia memberikan (menyerahkan) tanahnya untuk dikelola dengan memberikan (upah) sebagian

35 Muhammad bin Ismail al Bukhari, al Bukhari, Juz II, Bandung: al Ma’arif, t.th., hlm. 76. 36 .Afzalur rahman, op. cit., hlm. 280.

37

dari hasil tanah tersebut atau dengan memberikan (upah) dirham.’

Hadist di atas merupakan larangan membiarkan sesuatu yang

memberi manfaat terbengkelai dan menyerukan untuk diusahakan

kemanfaatannya.

d. Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori

منآانتلهأرضفليزرعهاأوليمنحهاأخاهفاإنأبىفليمسكأرضه ﴿رواهالبخارى﴾37

Artinya:” Barangsiapa yang memiliki tanah, penggarapanya harus dilakukan sendiri atau menyerahkan secara suka rela kepada saudara sesama muslim untuk digarap, atau jika dia menolak untuk melakukan kedua hal tsb, maka tanah itu harus tetap dipegangnya sendiri”.

Dalil Al Quran dan hadist tersebut diatas merupakan landasan hukum

yang dipakai oleh para ulama’ yang membolehkan akad perjanjian Muzara’ah.

Ulama-ulama’ tersebut antara lain Ahmad bin Hambal, Malik, Abu Hurairah.

Kemudian ada juga Ulama’ yang melarang adanya akad Muzara’ah.

e. Hadist dari Sabit bin Dhahak

انرسولاهللاصلاهللاعليهوسلمنهىعناملزاعةوامرباملأجرة﴿مسلم﴾

Artinya:”Sesungguhnya Rasulullah mencegah (melarang) akad bagi hasil (Muzara’ah) dan memerintahkan sewa menyewa.38

37 .Ibid, hlm. 284 38 . M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 171.

38

39

Hadist Imam Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad dan Bukhari

juga meriwayatkan dari Rafi’ bin Khudaij, “Nabi melarang

menyewakan tanah,

⊃ι σ⇐ρι β ¬ βψα β∩ ⇐∉ α ⇔ο β⋅ 38⌠◊ ⇓ β∪ℜ

Artinya : ”Barang siapa yang mempunyai tanah, maka hendaklah ia menanaminya, janganlah ia menyewakannya denganseperiga, seperempat (dari hasilnya) atau dengan makanan tertentu”.

Hadist itu diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim.

Itulah yang dijadikan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Zufar

untuk melarang Muzara’ah.

Sebenarnya ada suatu bentuk Muzara’ah yang sudah biasa

berlaku di zaman nabi, tetapi oleh beliau dilarangnya karena

terdapat unsur-unsur penipuan dan kesamaran yang berakibat

kepada persengketaan dan bertentangan dengan jiwa keadilan yang

sangat dijunjung tinggi oleh Islam.

Rasulullah SAW melihat bahwa apa yang disebut keadilan,

yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam hasil tanah itu, sedikit

ataupun banyak. Tidak layak kalau disatu pihak mendapat bagian

tertentu yang kadang-kadang tidak menghasilkan lebih dari yang

ditentukan itu. Dalam keadaan demikian, maka pemilik tanah berarti

akan mengambilsemua hasil, sedang dilain pihak menderita kerugian

besar. Dan kadang-kadang pula, suatu tanah yang ditentukan itu

38 Ibid, hlm. 173.

40

tidak menghasilkan apa-apa sehingga dengan demikian dia sama

sekali tidak mendapat apa-apa, sedang dilain pihak (penyewa)

memonopoli hasil. Oleh karena itu masing-masing pihak harus

mengambil bagiannnya dari hasil tanah itu dengan perbandingan

yang disetujui bersama.39

B. Rukun dan Syarat Muzara’ah

1. Rukun-rukun dalam Akad Muzara’ah

Jumhur ulama’ yang membolehkan akad Muzara’ah menetapkan

rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.

a. Ijab qabul (akad)

b. Penggarap dan pemilik tanah (akid)

c. Adanya obyek (ma’qud ilaih)

d. Harus ada ketentuan bagi hasil.4152

Dalam akad Muzara’ah apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka

pelaksanaan akad Muzara’ah tersebut batal. Untuk lebih jelasnya perlu

dipaparkan dari beberapa rukun Muzara’ah sebagai berikut:

a. Ijab qabul (akad)

Suatu akad akan terjadi apabila ada ijab dan qabul, baik dalam

bentuk perkataan atau dalam bentuk pernyataan yang menunjukkan

adanya persetujuan kedua belah pihak dalam melakukan akad tersebut.

51 Syekh Muhammad Yusuf Qordhawi, op. cit., hlm. 384. 52 M. Ali Hasan, op. cit., hlm. 275.

41

Ijab dan qabul artinya ikatan antara pemilik tanah dan penggarapnya.

Dalam hal ini baik akad munajjaz (akad yang di ucapkan sseorang dengan

memberi tahu batasan) maupun ghoiru munajjaz (akad yang diucapkan

seseorang tanpa memberikan batasan ) dengan suatu kaidah tanpa

mensyaratkan dengan suatu syarat.42

Pada prinsipnya akad Muzara’ah terjadi sesudah ada perjanjian

antara pihak yang menyewakan dan penyewa, sebagaimana firman Allah:

يأيهاالذينأمنواأوفواباالعقود﴿املائدة׃١﴾

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. 43

Dalam “ Pengantar Fiqh Mu’amalah” dijelaskan bahwa akad

menurut bahasa adalah:

الربط׃وهوجمعطرفىحبلينويشدأحدماباألخرحتىيتصالقيصحاآقطعه واحدة

Artinya:”Rabath (mengingat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung lalu keduanya menjadi sepotong benda. 44

Adapun akad menurut terminologi hukum Islam adalah :

أرتباطاإليحاب بقبولعلىوجهمشروعيثبتاثرهفىمحله

Artinya:”Perikatan antara Ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya. 45

Yang dimaksud ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau

pernyataan kehendak melakukan perikatan (akad ) oleh suatu pihak,

42 . Teungku Muhammmad Hasbi As Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 75. 43 . Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 156. 44 . Teungku Muhammad Hasbi As shiddeqy, op, cit., hlm. 21. 45 . Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontesktual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 76.

42

biasanya disebut sebagai pihak pertama. Sedang qabul adalah pernyataan

atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain, biasanya

dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab. 46

Ijab dan qabul dinamakan sighat aqdi atau perkataaan yang

menunjukkan pada kehendak kedua belah pihak.

Sighat aqdi memerlukan tiga urusan pokok, yaitu:

1. Harus terang pengertianya

2. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul

3. Menggambarkan kesungguhan, kemauan dari pihak-pihak yang

bersangkutan.47

Ijab dan qabul merupakan rukun akad, yang dimaksud ijab

dan qabul adalah:

حداملتعاقدينمعبرأأنجزمارادتهفىإنشإ اإليجابهوأولبيانيصدرمنأ

منالطرفاألخربعد منهماوالقبولهومايصدر العقدإياآانهوالبادئ

اإليجابمعبراعنموافقتهعليه

46. Ibid, hlm. 77. 47 Teungku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, op. cit., hlm. 29.

43

Artinya: “ Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah

seorang yang berakad untuk menggambarkan iradatnya dalam mengadakan akad siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang keluar dari tepi (pihak) yang lain sesudah adanya ijab untuk menerangkan persetujuannya.48

a. Penggarap dan pemilik tanah (akid)

Akid adalah seorang yamg mengadakan akad disini berperan

sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang mengadakan

akid, maka para mujtahid sepakat bahwa akad Muzara’ah sah apabila

dilakukan oleh:

1. Seseorang yang telah mencapai umur

Jika tidak bisa terselenggara akad Muzara’ah atas orang

gila dan anak kecil yang belum pandai, maka apabila melakukan

akad ini dapat terjadi dengan tanpa adanya pernyataan

membolehkan. Hal ini kalau memang ada izin dari walinya. Untuk

kadua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan

berkemampuan yaitu keduanya berakal dan dapat membedakan.

Jika salah seorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang

belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah.49

وابتلوااليتمىحتىإذابلغواالنكاح﴿النساء׃٦﴾

48 Ibid, hlm. 22.

49 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 115.

44

Artinya:“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.” (an Nisa: 6)

2. Seseorang yang berakal sempurna.

Seorang yang berakal sempurna artinya orang tersebut telah

dapat dimintai pertanggungjawaban, yang memiliki kemampuan

untuk membedakan yang baik dan buruk (berakal). Nampak

padanya bahwa didrinya telah mampu mengatur harta bendanya

sebagaiman firman Allah SWT:

والوتؤتواالسفهاءاموالكمالتىجعلاهللالكمقيما﴿النساء׃٥﴾

Artinya: ”Dan janganlah kamu serahkan pada orang-orang yang belum sempurna akalnya,50 harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan .” (an Nisa’ : 5).51

3. Sesorang yang telah mampu berikhtiar

Seseorang yang melakukan akad tidak boleh dalam keadaan

terpaksa. Firman Allah SWT:

يأيهاالذينأمنواالتأآلوااموالكمبينكمبالباطلإالأنتكونتجارة أنتراضمنكم﴿النساء٢٩﴾

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali

50 orang yang belum sempurna akalnya adalah anakyatim yang belum baligh atau orang yang tidak daoat mengaatur harta bendanya. 51 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 115.

45

dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” An Nisa’: 29.52

b. Adanya obyek (ma’qud ilaih)

Ma’qud ilaih adalah benda yang berlaku pada hukum akad atau

barang yang dijadikan obyek pada akad.53 Ia dijadikan rukun karena

kedua belah pihak mengetahui wujud barangnya, sifat keduanya serta

harganya dan manfaat apa yang di ambil. Akad Muzara’ah itu tidak

boleh dilakukan kecuali atas tanah yang sudah diketahui. Kalau tidak

dapat diketahui kecuali dengan dilihat seperti tanah pekarangan, maka

dalam hal ini tidak boleh hingga dilihat terlebih dahulu. Dan juga tidak

boleh kecuali atas tanah-tanah yang bermanfaat atau subur. Kesuburan

tanah-tanah tersebut dapat dilihat dari penggunaan tersebut pada masa-

masa sebelumnya atau dapat menggunakan alat pengukur kualitas

kesuburan tanah tersebut. Hal ini dilakukakan untuk menghindari

kerugian (baik tenaga maupun biaya) dari masing-masing pihak yang

bersangkutan.

52 Ibid , hlm. 122. 53 Teungku Muhammad Hasbi As Shiddieqy, op. cit., hlm. 23.

46

Hal-hal yang harus diperhatikan perjanjian kerjasama yang

berkaitan dengan tanah antara lain : Untuk apakah tanah tersebut

digunakan? Apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka

harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus

ditanam di tanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam akan

berpengaruh terhadap jangka perjanjian (sewa) tersebut. Dengan

sendirinya akan berpengaruh terhadap jumlah uang sewanya.

Penggunaan yang tidak jelas dalam perjanjian, dikhawatirkan akan

melahirkan persepsi yang akan berbeda antara pemilik tanah dengan

penyewa (penggarap) dan pada akhirnya akan menimbulkan

persengketaan.40

d. Harus ada ketentuan bagi hasil.

Dalam akad Muzara’ah perlu diperhatikanketentuan bagi hasil

seperti setengah, sepertiga, seperempat, lebih banyak atau lebih sedikit

dari itu.54 Hal itu harus diketahui dengan jelas, disamping juga untuk

pembagiannya. Karena masalah yang sering muncul kepermukaan

dewasa ini dalam dunia perserikatan adalah masalah yang menyangkut

pembagian hasil serta waktu pembagiannya. Pembagian hasil harus

sesuai dengan kesepakatan keduanya.

40 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm. 148.

54 Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, op. cit., hlm. 384.

47

2. Syarat-syarat dalam Akad Muzara’ah

Adapan syarat-syarat dalam akad Muzara’ah menurut Jumhur ulama’

ada yang berkaitan dengan orang yang berakad, benih yang akan ditanam,

lahan yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dari jangka waktu

berlaku akad. 55

a. Orang yang melakukan akad harus baligh dan berakal. Akan tetapi dalam

pasal 1433 KUHPI disebitkan bahwa mereka tidak perlu harus sudah

mencapai umur dewasa. Artinya seorang anak muda yang sudah diberi

izin, bisa juga melakukan akad kerjasama dalam lahan pertanian

(muzara’ah).41

Disyaratkan pada saat akad dibuat, bagian untuk penggarap atas

produksinya harus dijelaskan. Misalnya, suatu bagian yang tidak

terpisahkan yang terdiri atas setengah atau sepertiga. Jika pembagian itu

tidak ditentukan, atau jika diputuskan yang akan dibagikan kepada

penggarap adalah sesuatu yang lain dari hasil penggarapan, atau jika

dinyatakan bahwa sekian banyak kilo akan diberikan dari hasil

produksinya, maka kerjasama dalam lahan pertanian itu adalah tidak sah

(pasal 1435 KUHPI).42

b. Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan, sehingga

penggarap mengetahui dan dapat melaksanakan apa yang diinginkan oleh

pemilik lahan pertanian itu.

55 M. Ali Hasan, op. cit., hlm. 276-277 41 Djazuli, op. cit, hlm. 335. 42 Ibid

48

c. Lahan pertanian yang dikerjakan :

1. Menurut adat kebiasaan dikalangan petani, lahan itu bisa diolah dan

menghasilkan. Sebab, ada tanaman yang tidak cocok ditanami pada

daerah tertentu.

2. Batas-batas lahan itu jelas

3. Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk di olah dan

pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk mengolahnya.

d. Hasil yang akan dipanen

1. Pembagian hasil panen harus jelas (prosentasenya)

2. Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa

ada pengkhususan seperti disisihkan terlebih dahulu sekian persen.

Persyaratan ini pun sebaiknya dicantumkan dalam perjanjian sehingga

tidak timbul perselisihan dibelakang hari, terutama sekali lahan yang

dikelola sangat luas.

e. Jangka waktu harus jelas dalam akad, sehingga pengelola tidak di rugikan,

seperti membatalkan akad itu sewaktu-waktu. Untuk menentukan jangka

waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.

f. Obyek akad harus jelas pemanfaatan benihnya, pupuk dan obatnya,

seperti yang berlaku pada daerah setempat.

49

C. Berakhirnya akad Muzara’ah

Suatu akad Muzara’ah berakhir apabila: 56

1. Meninggalnya salah satu pihak, namun dapat diteruskan oleh ahli

warisnya. Jika pemilik lahan meninggal dunia sementara tanamannya

masih hijau, maka penggarap harus terus bekerja sampai tanaman itu

matang. Ahli waris dari yang meninggal tidak berhak melarang orang itu

untuk berbuat demikian. Jika penggarapnya yang meninggal dunia, maka

ahli warisnya menggantikannya, dan bila ia mau boleh meneruskan kerja

mengolah tanah sampai tanaman itu matang, dan pemilik lahan tidak

melarangnya.43

2. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Jika dalam menyewa tanah berada

dalam tahun (waktu dalam tahun tersebut) yang dimungkinkan adanya

panen maka diperbolehkan. Hal ini untuk menghindari waktu habis dan

panen belum tiba.

3. Jika banjir merusak dan melanda tanah sewa sehingga kondisi tanah dan

tanaman rusak maka perjanjian berakhir.

4. Ketika waktu berakhir maka pemilik dilarang mencabut tanaman sampai

pembayaran diberikan dan hasil panen dihitung.

Maka solusi untuk menghindari kemungkinan berakhirnya akad

muzara’ah terutama yang disebabkan oleh kondisi alam, yaitu dilakukan

dengan cara memperhatikan keadaan tanah, apakah tanah tersebut gembur

ataukah keras. Kira-kira jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam dalam

56 Abi Al Hasan bin Muhammad bin Habib al Mawardi al Basri, op. cit., hlm. 456. 43 Djazuli, op. cit. hlm. 336.

50

kondisi tanah seperti tersebut. Kemudian harus memperhatikan cuaca atau

musim. Di Indonesia terdapat dua musim yakni musim penghujan dan musim

kemarau. Maka seorang petani/penyewa tanah harus memperhatikan kira-kira

jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam pada musim-musim tersebut.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka kecil kemungkinannya

petani akan mengalami kegagalan panen. Oleh karena itu seorang petani harus

selalu memperhatikan kondisi alam untuk menyiasati agar tidak terjadi

kegagalan panen.

D. Aplikasi Muzara’ah dalam Mumalah Modern

Kerjasama dalam lahan pertanian sebenarnya sudah ada sejak dulu

hingga sekarang. Kalau dahulu Nabi SAW pernah mempraktekkan pada

penduduk Khaibar dengan menyerahkan tanah dan tanaman kurma untuk

dipelihara dengan mempergunakan alat dan dana mereka, dengan imbalan

upah sebagian dari hasil panen. Sedangkan untuk masa sekarang praktek

kerjasama tersebut banyak terjadi dalam masarakat pedesaan yang mata

pencahariannya banyak bekerja di sawah/ladang. Di mana kerjasama di antara

mereka (pemilik lahan dan penggarap) biasanya disebut paroan sawah, yang

akadnya tidak diakadkan secara tertulis melainkan cukup dengan lisan saja.

Hal ini sering mengakibatkan kerugian disalah satu pihak, karena tidak ada

bukti yang kuat.

Dalam perbankan Islam, prinsip yang paling banyak dipakai adalah

musyawarah dan mudharabah, sedangkan muzara’ah dan musaqah

51

dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian

oleh beberapa bank Islam. Bahkan dalam bank-bank Islam sekarang

khususnya di Indonesia sama sekali belum mengeluarkan produknya baik

muzara’ah maupun musaqah.

Di bank-bank syari’ah luar negeri, untuk usaha pertanian biasanya

dengan skim musyawarah atau salam. Sudah sangat terkenal dengan

keberhasilan penerapan skim musawarah untuk pertanian oleh bank-bank

syariah. Yang agak berbeda adalah Iran. Di negeri ini diterapkan skim

muzara’ah untuk kredit usaha tani.44

Muzara’ah mempunyai sifat yang spesifik, karenanya penerapan

muzara’ah terbatas pada tanaman setahun sekali seperti, padi, jahe, kentang.

Sedangkan untuk tanaman tahunan dapat digunakan skim musaqat.

Karena sifat muzara’ah yang spesifik inilah kebanyakan bank syariah

menggunakan musyawarah atau salam untuk kredit usaha tani.45

Akan tetapi dalam perkembangannya, praktek muzara’ah lebih

cenderung kepada mudharabah (kerjasama dengan sistem profit sharing).

Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di

mana pihak pertama (shahib al maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan

pihak lainnya disebut mudharib sebagai pengelola usaha46

44 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema

Insani Press, cet. ke-I, 2001, hlm. 120. 45 Ibid, hlm. 21 46 Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit, hlm. 95.

52

Keuntungan dalam mudharabah akan dibagi menurut kesepakatan yang

dituangkan dalam kontrak. Sedangkan kerugiannya akan ditanggung oleh

pihak yang membuat kelalaian.47

Secara umum, aplikasi muzara’ah dalam bank Islam dapat

digambarkan dalam skema berikut ini :48

Skema Muzara’ah

- Kehahlian - Tenaga - Waktu

Hasil panen

Lahan pertanian - Lahan - Benih - Pupuk - dan sebagainya

Penggarap Pemilik lahan

Perjanjian bagi hasil

Jadi dalam perjanjian bagi hasil kerjasama muzara’ah terdapat hal-hal

penting yang harus dipenuhi baik oleh pemilik lahan maupun penggarap. Di

mana pemilik lahan harus menyediakan lahan pertanian, benih/bibit, pupuk

dan alat-alat lain yang diperlukan. Sedangkan penggarap bersedia dengan

keahlian/ketrampilan, tenaga dan waktu. Setelah perjanjian kerjasama tersebut

selesai maka keduanya akan mendapatkan prosentase bagian tertentu sesuai

dengan kesepakatan.

47 Ibid, 48 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema

Insani Press, cet. ke-I, 2001,hlm. 100.

53

Sedangkan aplikasi muzara’ah dalam kegiatan muamalah non bank,

yakni seperti kebanyakan yang terjadi dalam masyarakat adalah muzara’ah

dengan sistem sewa tetap. Di mana seorang pemilik tanah melakukan

kerjasama pengolahan tanah dengan pihak lain di mana pihak lain (penyewa)

harus membayar sejumlah uang tertentu, atau barang senilai tertentu, sebagai

biaya sewa atas tanah yang diolahnya tersebut. Besarnya biaa sewa ini bersifat

tetap, tidak tergantung kepada hasil produktifitas tanah yang diolahnya

tersebut. Jadi, hasil panenan sepenuhnya menjadi hak dari penyewa tanah

sebagaimana juga resiko kegagalan panen juga sepenuhnya menjadi

tanggungan penyewa. Hak dari pemilik tanah hanyalah menerima biaya

sewa.49 Atau sebaliknya, seorang pemilik tanah yang tidak mampu mengolah

tanahnya sendiri mengadakan kerjasama dengan orang lain (pekerja) untuk

mengolah dan merawat tanah miliknya. Di sini pemilik tanah yang

menanggung segala resiko yang terjadi dan hasil panen juga menjadi haknya.

Pekerja hanya akan memperoleh upah dari pemilik tanah karena pemilik

tersebut telah memanfaatkan jasanya yakni tenaga. Bisa juga pemilik akan

memberikan hasil panen tersebut dengan cuma-Cuma kepada pekerja sebagai

ungkapan rasa terima kasih karena telah membantu mengolahkan tanah

miliknya.

49 M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomikaa Mikro Islami, Yogyakarta : Ekonosia, cet.

ke-I, 2003, hlm. 199.