bab ii memahami simbol budaya dan agama a. konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/bab 2.pdf · 35...

72
35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol Memahami konsep kebudayaan sebagai sistem simbol tentunya tidak terlepas dari pemaknaan terhadap konsep kebudayaan itu sendiri. Dalam konteks ini, setidaknya perbedaan pandangan terhadap konsep kebudayaan masih terjadi. Untuk itu, sebelum memahami lebih jauh mengenai konsep kebudayaan sebagai sistem simbol, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai konsep kebudayaan. 1. Konsep Kebudayaan Kebudayaan 1 adalah istilah kompleks. Begitu kompleksnya sehingga terdapat banyak definisi tentang kebudayaan itu. Kalangan ilmuwan sosial sering melihat kebudayan sebagai realitas, sesuatu yang diciptakan, dihasilkan, dibentuk, atau sudah dilembagakan. Ini berarti kebudayaan dianggap sebagai produk bukan sebagai 1 Kebudayaan (culture bahasa Inggris, cultuur bahasa Belanda, tsaqafah bahasa Arab) berasal dari kata Latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Selanjutnya kebudayaan sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Ditinjau dari bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, budhayah, bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dan kemudian diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal pikiran dan hasil dari tenaga pikiran tersebut. Ishomuddin, Sosiologi Perspektif Islam (Malang: UMM Press, 2005), 83. Lihat juga Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1963), 36-38. Kata budaya juga sebagai perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berupa cipta, karsa dan rasa. Cipta artinya kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya baik lahir maupun batin, hasil cipta ini berupa berbagai ilmu pengetahuan. Karsa artinya kerinduan manusia untuk menginsafi tentang hal sangkan (dari mana manusia sebelum lahir) dan paran (kemana manusia sesudah mati), hasilnya ialah berupa norma- norma keagamaan, kepercayaan. Rasa artinya kerinduan manusia akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan dan menolak keburukan/kejelekan, hasilnya berupa bermacam-macam kesenian. M.M. Djoyodigono, Azas-azas Sosiologi (Yogyakarta: Gajahmada, 1958), 24-27.

Upload: dophuc

Post on 06-Jul-2019

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

35

BAB II

MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA

A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

Memahami konsep kebudayaan sebagai sistem simbol tentunya tidak terlepas

dari pemaknaan terhadap konsep kebudayaan itu sendiri. Dalam konteks ini,

setidaknya perbedaan pandangan terhadap konsep kebudayaan masih terjadi. Untuk

itu, sebelum memahami lebih jauh mengenai konsep kebudayaan sebagai sistem

simbol, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai konsep kebudayaan.

1. Konsep Kebudayaan

Kebudayaan1 adalah istilah kompleks. Begitu kompleksnya sehingga terdapat

banyak definisi tentang kebudayaan itu. Kalangan ilmuwan sosial sering melihat

kebudayan sebagai realitas, sesuatu yang diciptakan, dihasilkan, dibentuk, atau sudah

dilembagakan. Ini berarti kebudayaan dianggap sebagai produk bukan sebagai

1Kebudayaan (culture bahasa Inggris, cultuur bahasa Belanda, tsaqafah bahasa Arab) berasal dari kata Latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Selanjutnya kebudayaan sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Ditinjau dari bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, budhayah, bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dan kemudian diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal pikiran dan hasil dari tenaga pikiran tersebut. Ishomuddin, Sosiologi Perspektif Islam (Malang: UMM Press, 2005), 83. Lihat juga Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1963), 36-38. Kata budaya juga sebagai perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berupa cipta, karsa dan rasa. Cipta artinya kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya baik lahir maupun batin, hasil cipta ini berupa berbagai ilmu pengetahuan. Karsa artinya kerinduan manusia untuk menginsafi tentang hal sangkan (dari mana manusia sebelum lahir) dan paran (kemana manusia sesudah mati), hasilnya ialah berupa norma-norma keagamaan, kepercayaan. Rasa artinya kerinduan manusia akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan dan menolak keburukan/kejelekan, hasilnya berupa bermacam-macam kesenian. M.M. Djoyodigono, Azas-azas Sosiologi (Yogyakarta: Gajahmada, 1958), 24-27.

Page 2: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

36

proses.2 Kebudayaan sebagai produk berasal dari cara pandang yang mencermati

budaya sebagai artefak (produk masa lalu) an sich. Dan anggapan ini akan

berhadapan dengan yang menilai budaya dari sisi proses. Di mana kebudayaan

sebagai proses ini mengandaikan adanya kontinuitas perkembangan, kebangkitan dan

keruntuhan suatu kebudayaan.3

Menurut Raymond Williams, pengamat dan kritikus kebudayaan terkemuka,

kata kebudayaan (culture) merupakan kata yang paling kompleks penggunaannya

dalam bahasa Inggris, sebab kata ini sering digunakan untuk mengacu pada sejumlah

konsep penting dalam beberapa disiplin ilmu yang berbeda-beda dan dalam kerangka

berpikir yang berbeda-beda pula.4 Williams kemudian merefleksikan tiga arus

penggunaan istilah budaya, yaitu: Pertama, yang mengacu pada perkembangan

intelektual, spiritual, dan entitas dari seorang individu, sebuah kelompok atau

2Sebuah kutipan dari Rene Char “Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat”, menyatakan bahwa pada awalnya kebudayaan adalah nasib, kemudian baru kita memanggulnya sebagai tugas, pada awalnya kita penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga penderita yang menanggung beban kebudayaan tersebut, sebelum kita kemudian bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan merubahnya. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2006), 75. 3Ada dua kebutuhan asasi dalam kebudayaan; di satu pihak kebutuhan kebudayaan menentang perubahan dan mempertahankan identitas, dan di pihak lainnya mempunyai kebutuhan menerima dan mengembangkan identitasnya lebih lanjut. Atas dasar yang kedua inilah kebudayaan akan terus berubah dalam proses. Ibid., 76. 4Pada awalnya, culture dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation) yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (dengan istilah kultus atau cult). Sejak abad ke-16 hingga ke-19, istilah ini diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku pribadi lewat pembelajaran. Selama periode panjang ini pula istilah budaya diterapkan untuk entitas yang lebih besar yaitu masyarakat sebagai keseluruhan dan dianggap merupakan padanan kata dari peradaban (civilization). Lihat Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), 7. Menurut antropolog De Haan, peradaban diperlawankan dengan kebudayaan. Peradaban adalah seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan ilmu teknik, jadi semua bidang kehidupan untuk kegunaan praktis. Sedangkan kebudayaan adalah semua yang berasal dari hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat. Ishomuddin, Sosiologi., 90.

Page 3: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

37

masyarakat. Kedua, yang mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan

artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, benda-benda seni dan teater)

dalam penggunaan ini, budaya kerap diidentikkan dengan istilah “kesenian”. Ketiga,

yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan,

dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok atau masyarakat.5

Kemudian, Edward B. Tylor memandang konsep kebudayaan sebagai totalitas

pengalaman manusia. Kebudayaan atau peradaban, diambil dalam pegertian etnografi

yang luas, yaitu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni,

moral, hukum, adat istiadat, kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh

manusia sebagai anggota masyarakat.6 Definisi ini mencakup beberapa karakteristik:

Pertama, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks (complex whole) yang

mencakup berbagai aspek dan kemampuan sangat luas yang dihasilkan anggota

masyarakat dan sekaligus merujuk pada kesatuan hubungan antar berbagai aspek atau

kemampuan tersebut. Kedua, kebudayaan itu merupakan perilaku yang dipelajari atau

diperoleh melalui belajar dalam pengertian luas yakni social learning. Kebudayaan

sebagai produk social learning ini berkaitan dengan karakteristik complex whole

tersebut, sehingga ia mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, moral dan hukum serta

kebiasaan. Ketiga, penyamaan istilah kebudayaan dengan peradaban. Hal ini 5Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-teori., 8. 6Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 82. Pengetahuan sebagai produk pemikiran tentang cara hidup atau lainnya, keyakinan sebagai manifestasi perasaan terhadap dan kesadaran akan kehadiran ‘yang supernatural’, seni sebagai manifestasi ekspresi emosi, moral sebagai seperangkat adat dan norma sosial dan susila, hukum sebagai seperangkat aturan yang mengatur transaksi ekonomi, politik atau lainnya, dan kebiasaan dalam kehidupan sosial bagi individu dan kelompok dalam masyarakat. Zulkifli, Antropologi Sosial Budaya (Yogyakarta: Shiddiq Press Bangka & Grha Guru, 2008), 79.

Page 4: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

38

berkaitan dengan orientasi teoritis evolusionisme, bahwa istilah peradaban cenderung

digunakan untuk mengacu kepada kemajuan yang dihasilkan oleh masyarakat,

sebagai puncak dari proses evolusi masyarakat, yang ditandai dengan teknologi

industri, sistem ekonomi yang berkembang luas, struktur politik yang formal dan

terorganisasi, serta pola pikir dan tindakan yang rasional.7

Menurut A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, terdapat enam pokok

pemahaman mengenai kebudayaan, yaitu: (1) definisi deskriptif, cenderung melihat

budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial

sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya, 2)

definisi historikal, cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialihturunkan

dari generasi satu ke generasi berikutnya, (3) definisi normatif, bisa mengambil dua

bentuk. Yang pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-

pola perilaku dan tindakan yang konkrit. Yang kedua, menekankan peran gugus nilai

tanpa mengacu pada perilaku, (4) definisi psikologis, cenderung memberi tekanan

pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa

berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya.

(5) definisi struktural, menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek

yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi

yang berbeda dari perilaku konkrit. (6) definisi genetik, yang melihat asal-usul

7Dalam pola pikir evolusi tersebut, masyarakat Barat, khususnya Inggris, dianggap lebih maju (progressed) dan beradab (civillized) dibandingkan dengan masyarakat primitif dan berskala kecil, yang pada gilirannya akan berkembang secara evolusi dalam arah yang sama dengan masyarakat Barat tersebut. Ibid.

Page 5: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

39

bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Definisi ini cenderung melihat

budaya lahir dari interaksi antar manusia dan tetap bisa bertahan karena

ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.8

Demikian juga konsep kebudayaan dari pandangan Clyde Kluckhohn yang

dikutip oleh Geertz dalam bukunya Tafsir Kebudayaan: (1) keseluruhan cara hidup

suatu masyarakat (2) warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya (3)

suatu cara berfikir, merasa, dan percaya (4) suatu abstraksi dari tingkah laku (5) suatu

teori pada pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya

bertingkah laku (6) suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar (7) seperangkat

orientasi-orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung (8) tingkah laku

yang dipelajari (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat

normatif, dan (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan, baik dengan lingkungan

luar maupun dengan orang-orang lain (11) suatu endapan sejarah.9

Selanjutnya Keesing mengidentifikasi empat pendekatan terakhir terhadap

masalah kebudayaan. Pertama, yang memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif

dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari, yang fungsi primernya adalah

penyesuaian manusia dengan lingkungannya, pendekatan ini diasosiasikan dengan

ekologi budaya dan materialisme kebudayaan.10 Kedua, adalah yang memandang

8 Ibid., 9. Lihat Juga Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (Jakarta: Kencana 2006), 83. 9Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, terj. Fransisco Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 4-5. 10Konsep kebudayaan sebagai sistem adaptif ini ditemukan dalam kajian-kajian tokoh seperti Julian Steward, Leslie White, dan Marvin Harris. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 84.

Page 6: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

40

kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apa pun yang diketahui dalam

berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan yang

diteliti. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal dengan berbagai

nama seperti antropologi kognitif, atau etnografi baru.11 Ketiga, adalah yang

memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki

bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia, dalam arti

berusaha mencari prinsip universal dari pikiran manusia, dan pendekatan ini adalah

ciri khas dari strukturalisme, paradigma yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-

Strauss.12 Keempat, yang memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri

dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat

diidentifikasi, dan bersifat publik. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma

yang dikenal sebagai antropologi simbolik, yang dikonsepsikan oleh Clifford Geertz

dan David Schneider.13

11Para pendukung konsep ini seperti Harold Conklin, Ward Goodenough dan Charles O. Frake. Ibid. Dalam pendekatan antropologi kognitif, kebudayaan didefinisikan sebagai sistem pengetahuan yakni hal-hal yang harus diketahui orang agar dapat berprilaku dalam cara-cara yang diterima kelompoknya. Dalam setiap masyarakat, seseorang mengalami proses belajar mendapatkan pengetahuan, menginterpretasi pengalaman, dan dengan pengetahuan dan pengalaman itu ia dapat berinteraksi dengan orang lain secara tepat. Dengan kata lain, yang dikaji antropolog kognitif adalah model kognitif yang digunakan penduduk untuk mengamati, meyakini, mengevaluasi, berkomunikasi, dan bertindak yang membentuk kebudayaan. Mereka menolak konsep kebudayaan sebagai kebiasaan, tradisi, atau bentuk konkret lain dari kelakuan. Zulkifli, Antropologi Sosial., 85. 12Ibid., 84. Sebagai sebuah perspektif, strukturalisme relevan untuk menemukan sturktur logik di dalam pemikiran manusia dengan tradisi dan kebudayaannya. Lahan kajian perspektif ini pada berbagai struktur logis dari berbagai mitos atau dongeng, baik berupa lisan maupun tulisan seperti yang telah diimplementasikan oleh C. Levi Strauss sendiri dalam ungkapannya bahwa tujuan analisis struktural adalah untuk membangun pola, model, atau lebih jelasnya menemukan pola umum yang mendasar. Lebih lengkap lihat Lihat juga Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi (Yogyakarta: LKiS, 2007), 67-77. 13Kebudayaan dalam perspektif inilah yang akan ditelaah lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya dan sekaligus menjadi pijakan dalam penelitian ini.

Page 7: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

41

Keesing kemudian menyimpulkan bahwa secara esensial ada dua pendekatan

mengenai konsep kebudayaan di kalangan antropologi kontemporer. Pertama, para

antropolog yang mendefinisikan kebudayaan dalam konteks pikiran dan perilaku

(pendekatan adaptif yang memandang kebudayaan sebagai suatu sistem sosial budaya

yang terdiri dari perilaku dan keyakinan-keyakinan yang melekat padanya), di mana

sistem sosial budaya ini tersusun dari bentuk-bentuk rutin, adaptif, berpola dari

interaksi yang didukung, dirasionalisasi, dan ditransmisi oleh keyakinan-keyakinan

dan perspektif yang dimiliki bersama. Kedua, mereka yang mendefinisikan

kebudayaan dalam konteks pikiran semata-mata (pendekatan ideasional yang

memandang kebudayaan sebagai sistem simbolik yang terdiri dari keyakinan-

keyakinan dan perilaku yang melekat padanya). Sistem simbolik tersusun dari

perangkat-perangkat makna yang dipelajari, dimiliki bersama, berpola, yang

memberikan kemampuan bagi manusia untuk mempersepsi, menginterpretasi dan

mengevaluasi kehidupan, atau perangkat-perangkat makna yang eksplisit maupun

implisit dan yang terkandung dan diekspresikan dalam keyakinan maupun prilaku.14

Konsep kebudayaan Koentjaraningrat sangat populer di Indonesia.

Menurutnya, kebudayaan diartikan sebagai wujud keseluruhan dari: (1) sistem

gagasan, (2) tindakan atau kelakuan, dan (3) hasil karya. Tiga hal tersebut mengacu

pada kerangka konsep unsur-unsur budaya universal atau cultural universal (seperti

sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem sosial, sistem religi,

14Zulkifli, Antropologi Sosial., 87.

Page 8: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

42

sistem bahasa dan sistem kesenian) yang menghasilkan taksonomi kebudayaan.15

Inilah yang disebut dengan kebudayaan dalam perspektif evolusionistik, yaitu

kebudayaan merupakan cipta, rasa dan karsa manusia atau kelakuan dan hasil

kelakuan.16 Dengan demikian, kebudayaan adalah keseluruhan dari kehidupan

manusia yang terpola dan didapatkan dengan belajar atau yang diwariskan kepada

generasi berikutnya, baik yang masih dalam pikiran, perasaan dan hati pemiliknya,

maupun yang sudah lahir dalam bentuk tindakan dan benda.17

Termasuk dasar pertimbangan dalam kajian ini, melihat kepada definisi yang

dinyatakan Berger dalam tulisannya tentang konsep kebudayaan, sebagaimana yang

telah dilakukan oleh Nur Syam dalam bukunya Islam Pesisir, bahwa kebudayaan

ialah totalitas dari produk manusia, yang tidak hanya mencakup produk material

(material artefact) dan produk non-material (sosio-kultural), akan tetapi juga produk

refleksi di dalam isi kesadaran manusia yang dikenal dengan seperangkat kognisi 15Ketiga wujud tersebut dipandang Koentjaraningrat sebagai produk. Sistem gagasan mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma yang ada dalam pikiran, hati dan perasaan manusia. Tindakan mencakup segala tindakan yang didapat dengan belajar, bukan tindakan refleks. Hasil karya manusia mencakup semua hasil budaya manusia yang bersifat fisik, berwujud benda-benda budaya yang sudah jadi seperti lukisan, arsitektur. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Bina Cipta, 2000), 179-180. Lihat juga Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 168. 16Kebudayaan sebagai sistem yang berisi gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan undang-ungdang dan sebagainya yang berbentuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku ide yang disebut sebagai “tata budaya kelakuan”. Kebudayaan sebagai aktivitas seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara yang wujudnya konkrit dan dapat diamati dan disebut sistem sosial berwujud kelakuan. Kebudayaan yang berwujud benda, yaitu benda-benda hasil karya manusia, maupun hasil tingkah laku berupa benda dan disebut material cultur. Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 14. Lihat juga Nur Syam, Madzhab-madzhab., 17 & 90. 17Kebudayaan dilestarikan oleh pemiliknya dengan mewariskan kepada generasi berikutnya melalui pendidikan formal, informal dan non-formal; dengan berusaha mempertahankan dari infiltrasi kebudayaan asing; dengan mengembangkannya; dengan mendokumentasikannya dalam buku, foto-foto, rekaman dan lainnya; atau melakukan gerakan kultural secara bersama dan berorganisasi. Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2007), 35.

Page 9: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

43

manusia. Sedangkan material (material artefact) dan produk non-material (sosio-

kultural) adalah yang disebut dengan kelakuan dan produk kelakuan.18

Pengertian kebudayaan menurut Parsudi Suparlan, juga dipertimbangkan

menjadi pijakan dalam penelitian ini, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan

pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah

perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan

untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk

mendorong menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Oleh karena itu,

kebudayaan merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini

kebenarannya. Sebagai pedoman, kebudayaan harus berupa pengetahuan dan

keyakinan-keyakinan, berisi konsep-konsep, teori-teori, etika, moral, dan metode-

metode ataupun petunjuk kehidupan sehari-hari.19 Pengertian kebudayaan sebagai

pedoman ini memungkinkan masyarakat saling berkomunikasi tanpa salah paham.

Dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak, setiap

18Fenomenologi digunakan untuk memahami kebudayaan, di mana kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, dan perilaku manusia dijelaskan dengan mengacu pada pengetahuan atau pandangan pelaku akan perilaku mereka. Misalanya, seseorang bercocok tanam didasari oleh sistem pengetahuan yang ada dalam dirinya tentang kebutuhan hidup, tentang bercocok tanam itu sendiri, tentang kondisi alam yang ada, termasuk juga berbagai keuntungan dan resiko yang mungkin dihadapi di dalam bertani. Dalam kelompok petani, sistem pengetahuan itu telah menyatu secara kolektif dalam diri setiap petani, sehingga muncul berbagai bentuk kelompok petani dan sistem gotong-royong di antara mereka untuk menunjang keberhasilan mereka di dalam bertani. Dan kesadaran kolektif tersebut juga terjadi dalam berbagai budaya dan tradisi yang lain yang terdapat dalam setiap masyarakat. Lihat Khadziq, Islam dan Budaya Lokal; Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: TERAS, 2009), 140-141. Oleh karena itu, tujuan akhir fenomenologi adalah mancari kesadaran kolektif, pandangan hidup, dan bagaimana masyarakat memandang fenomena yang ada. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, alih bahasa A. Sudiarja, dkk (Yogyakarta: Kanisius, 1945), 42. 19Parsudi Suparlan, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, dalam Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu (Jakarta: Pusjarlit, 1998), 111.

Page 10: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

44

pelaku yang berkomunikasi bisa meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku lain

yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda

yang secara bersama-sama dipahami makna-maknanya. Di sini kebudayan juga

dilihat sebagai pengorganisasi pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-

simbol, yang berkaitan dengan eksistensi manusia.20 Pada tingkat individual,

kebudayaan yang dimiliki setiap masyarakat menjadi pengetahuan bagi para

pelakunya. Pengetahuan kebudayaan tersebut dapat berbeda satu sama lain,

tergantung pengalaman dan kemampuan masing-masing dalam menjawab setiap

tantangan.21

Dengan memahami definisi kebudayaan seperti di atas, kajian terhadap agama

sebagai realitas dalam masyarakat dapat dilakukan, sebab agama bukanlah wujud dari

gagasan atau produk pemikiran manusia atau kelakuan atau hasil kelakuan. Definisi

kebudayaan sebagai kelakuan dan hasil kelakuan tidaklah dapat digunakan, sebab

kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk kebudayaan. Agama bukan semata-mata

produk kelakuan atau hasil kelakuan. Pengertian strukturalisme mengenai

kebudayaan juga kurang tepat untuk melihat agama, sebab agama bukan hanya

sebagai produk kognitif. Oleh karena itu, dalam hal ini pandangan dan perspektif

yang akan digunakan ialah yang melihat agama sebagai sistem kebudayaan.

20 Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa oleh Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), x. 21 Operasionalisasi dari pengertian kebudayaan tersebut adalah melalui berbagai pranata yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, moral dan etika merupakan inti kebudayaan dan biasanya dinamakan nilai-nilai budaya. Sebab, isinya adalah patokan-patokan penilaian secara budaya mengenai tindakan-tindakan warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Lihat U. Maman Kh. et.al. Metodologi Penelitian Agama; Teori dan Praktek (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 95-96.

Page 11: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

45

Sebagaimana yang dikutip oleh Nur Syam dari pernyataan Parsudi Suparlan, bahwa

pada hakikatnya agama adalah sama dengan kebudayaan, yaitu suatu sistem simbol

atau suatu sistem pengetahuan yang menciptakan, menggolong-golongkan, meramu

dan merangkaikan dan menggunakan simbol untuk berkomunikasi dan untuk

menghadapi lingkungannya.22 Dengan demikian, setiap agama akan memiliki sistem

simbol yang disebut sebagai simbol suci yang menggambarkan keberadaan etos dan

pandangan hidup yang secara hakiki merupakan bagian penting bagi eksistensi

manusia. Dengan adanya etos dan pandangan hidup (worldview) yang memancarkan

simbol-simbol suci tersebut, manusia mengadakan kegiatan kehidupan sehari-hari.

Dengan cara demikian, agama menjadi sesuatu yang eksis dalam kehidupan manusia,

karena manusia menginterpretasikan kehidupannya berdasarkan dan dipedomani oleh

agamanya atau simbol-simbol suci yang diyakininya itu.23

2. Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

Kebudayaan pada dasarnya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki

secara bersama oleh warga suatu masyarakat. Pengetahuan yang telah diakui sebagai

kebenaran sehingga fungsional sebagai pedoman. Satuan-satuan pengetahuan itu

terumuskan dalam wujud kata-kata, kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan,

peribahasa, wacana-wacana, dalil-dalil, rumusan-rumusan, bahkan teori-teori. 22Simbol agama dalam hal ini, adalah simbol yang suci atau yang sakral yang berbeda dengan yang profan. Yang sakral mencakup keyakinan, mitos, dogma dan legenda-legenda yang mengekspresikan representasi atau sistem representasi di mana hakikat yang sakral itu terdapat. Sedangkan yang profan adalah wilayah urusan setiap hari, hal-hal yang biasa, tak disengaja dan pada umumnya tak penting. Nur Syam, Islam Pesisir., 16. 23Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam (Surabaya: Pustaka Eureka, 2005), 36.

Page 12: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

46

Keseluruhan pengetahuan tersebut digunakan secara selektif dan kontekstual sesuai

dengan kebutuhan atau persoalan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta

menciptakan tindakan yang diperlukannya.24 Penggunaan pengetahuan oleh orang

perorang atau kelompok orang atau masyarakat, menggambarkan bahwa sejatinya

pengetahuan dimaksud telah dipahami, diresapi, dan diyakini berkat adanya suatu

proses pendidikan panjang (dari sejak kecil sampai dewasa) dalam bentuk

internalisasi dan sosialisasi.25

Konsep kebudayaan sebagai sistem simbol mempunyai makna yang sangat

luas, yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang

dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Semua objek apapun tentang hasil

kebudayaan yang mempunyai makna dapat disebut simbol, karena kebudayaan

merupakan produk yang dihasilkan oleh kemampuan manusia dengan menggunakan

lambang atau simbol.26 Maka dari itu, wujud kongkrit kebudayaan (produk) dalam

24Nur Syam, Mazhab-mazhab., 90-91. 25Kebudayaan dalam konsep ini mengandung dua unsur utama, yaitu sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Sebagai pola bagi tindakan, kebudayaan ialah seperangkat pengetahuan manusia yang berisi model-model secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan, mendorong, dan menciptakan tindakan. Sedangkan sebagai pola dari tindakan, kebudayaan ialah apa yang dilakukan dan dapat dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai sesuatu yang nyata adanya atau dalam pengertian lain sebagai wujud tindakan. Ibid. 26Lambang merupakan benda sesungguhnya, seperti salib (lambang Kristen) dan tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan). Lambang sering digunakan dalam puisi dan jenis sastra lain, kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan. Lambang nasional adalah simbol untuk negara tertentu. Sedangkan simbol merupakan objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis, dan lainnya yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Karena sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa, yang merupakan suatu sistem simbol. Namun demikian, bahasa bukan satu-satunya bentuk ekspreasi simbolik. Simbol juga dapat berbentuk peristiwa publik, parade, pemakaman, turnamen, hari libur, dan lainnya. Seringkali suatu simbol bercampur dengan tanda. Oleh karena itu, manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak gerik, postur tubuh, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, tata ruang, dan banyak lagi. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 288-291.

Page 13: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

47

bentuk kompleks aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan memiliki landasan

konseptual yang bersumber pada kompleksitas sistem simbol.27

Menurut Cassirer, simbol adalah sebagian dari dunia manusia mengenai arti.

Manusia tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung

kecuali melalui simbol. Manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik,

tetapi juga hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah

bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta ini bagaikan aneka ragam

benang yang terjalin membangun anyaman jaring simbolik. Semua kemajuan

manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-

jaring simbolik tersebut. Hal ini menegaskan bahwa begitu eratnya kehidupan

manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk dengan

simbol-simbol (homo simbolicus). Manusia berpikir, berperasaan, bersikap, dan

bertindak dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.28

Simbol berasal dari kata symballo dari bahasa Yunani. Symballo artinya

”melempar bersama-sama”, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide

atau konsep obyek yang kelihatan, sehingga obyek tersebut mewakili gagasan.

Simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan

maupun masa lalu. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu

gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri,

namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai 27Y. Sumandio Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), 26-27. 28Ernest Cassirer, An Essay on Man; an Introduction to a Philoshopy of Human Culture (New York: New Heaven, 1994), 23.

Page 14: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

48

yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja, seperti ilmu

pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa

benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan

sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol.29

Senada dengan pengertian simbol di atas, sebagaimana dikutip oleh Rohman

dari kamus Logika (Dictionary of Logic The Liang Gie), simbol adalah sesuatu hal

atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap objek. Mempertegas

pengertian simbol ini, Rohman juga menjelaskan pengertian simbol, isyarat dan

tanda. Simbol atau lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin

pemahaman subjek kepada objek. Sedangkan isyarat ialah suatu hal atau keadaan

yang diberitahukan oleh subjek kepada objek. Artinya subjek selalu berbuat sesuatu

untuk memberitahu kepada objek yang diberi isyarat agar objek mengetahuinya pada

saat itu juga. Isyarat yang dapat ditangguhkan penggunaannya akan berubah bentuk

menjadi tanda. Dan tanda ialah suatu hal atau keadaan yang menerangkan objek

kepada subjek. Tanda selalu menunjuk kepada yang riil (benda) kejadian atau

tindakan.30

29“Simbol” dalam "http://id.wikipedia.org/wiki/Simbol" (23 Oktober 2009). 30Contoh isyarat yaitu peluit kereta api, gerak-gerik bendera morse dan lain sebaginya. Contoh tanda, sebelum guntur berbunyi selalu ditandai dengan kilat. Tanda-tanda yang dibuat manusia pun menunjukkan sesuatu yang terbatas yang artinya menunjukkan hal-hal tertentu pula, misalnya tanda-tanda lalu lintas, tugu-tugu jarak jalan seperti kilometer, tanda baca pada bahasa tulis, tanda-tanda pangkat atau jabatan. Contoh lambang ialah Garuda Pancasila merupakan suatu benda atau hal yang mempunyai arti yang terkandung didalam lambang-lambang tersebut. Sebuah benda, misalnya bunga, yang dirangkai menjadi untaian bunga atau kanvas yang menyatakan untuk ikut berduka cita atau bendanya, tetapi pemahaan arti benda itu dipakai sebagai lambang untuk menyatakan ikut berduka cita. Dalam hal ini sifat kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri dibedakan dari unsur yang terkandung dalam dirinya sendiri dan diperluas maknanya. Ibnu Rochman, “Simbolisme Agama dalam Politik Islam”, dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/34/30 (12 Oktober 2010).

Page 15: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

49

Mengenai simbol ini, para antropolog ada yang menghubungkan dan

membedakannya dengan tanda, karena selain simbol, manusia juga sering

menggunakan tanda dalam kehidupannya.31 Tanda mempunyai pertalian tertentu

dengan apa yang ditandai. Dimana ada asap di situ ada api. Asap merupakan tanda

adanya api. Hewan pun dapat diajari tanda-tanda api. Hewan pun dapat diajari

menghafalkan tanda-tanda. Namun simbol akan muncul dengan proses belajar, atau

bila proses belajar sedang berlangsung. Bagi manusia, dengan belajar maka ia sendiri

dapat menciptakan tanda-tanda yang dinamai dengan simbol-simbol.32 Dan dengan

cepat ia juga dapat mamahami simbol tersebut, walaupun pertaliannya dengan

sesuatu tidak alamiah. Seperti bahwa asap secara alami menandakan adanya api,

tetapi dengan simbol lain yang dibentuk dengan belajar (dengan

kesepakatan/perjanjian sesama), manusia juga dapat menyiarkan adanya api dengan

bentuk bunyi sirine, lonceng dan lain sebagainya.33

Sistem simbol sebagai intensionalitas ganda yang merupakan sistem

penandaan; pertama, bahwa di dalamnya mengandung makna harfiah, bersifat primer

dan langsung ditunjukkan. Kedua, sistem simbol juga mengandung makna lain yang

bersifat sekunder dan tidak langsung, yang biasanya tersembunyi berupa kiasan yang

31Tanda adalah segala realitas inderawi yang mengandung signifikansi (makna). Karena itu tanda dalam struktur internnya terdiri dari suatu unsur material dan signifikansinya; dan signifikansinya di sini selalu mengarah ke suatu realitas lain di luar unsur material tersebut. Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1990), 29-30. 32Belajar berarti memperoleh suatu kepandaian baru, pengertian baru,atau kaedah kelakuan yang baru. Dengan sesuatu yang dipelajari setiap manusia terus menerus menambah khasanah pelajaran, sehingga pengetahuan manusia terus bertambah. C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1976), 143-145. 33Ibid., 147.

Page 16: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

50

hanya dapat dipahami berdasarkan makna pertama, oleh karena itu simbol

memerlukan interpretasi.34 Sistem simbol juga merupakan pedoman bagi tindakan,

sistem ini bekerja dalam konteks sosial. Konteks sosial ini memberikan suatu simbol

atau tanda spesifik, karena suatu tanda atau simbol dapat memiliki satu makna dalam

satu konteks sosial dan makna lain dalam konteks yang berbeda pula.35 Atas dasar itu,

konteks sosial sesungguhnya bersifat maknawi yang bergantung pada makna atau

interpretasi manusia yang memandangnya. Suatu objek keadaan, kondisi, situasi, atau

apa saja (dalam kenyataan sosial) bisa memiliki makna beraneka ragam, tergantung

apa yang ada di benak (kesadaran) manusia yang memaknainya.36

Pendekatan di atas diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal sebagai

antropologi simbolik.37 Antropologi simbolik, atau sering kali juga disebut

34Interpretasi, menurut Ricoeur, adalah usaha akal budi seseorang untuk mengungkap makna yang tersembunyi di balik makna yang langsung tampak, atau untuk mengungkapkan tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harfiah. Bambang Triatmoko, Hermeneutika Fenomenologi Paul Ricoeur: Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 70. Dalam interpretasi (dapat dikatakan pendekatan interpretasi), terdapat perbedaan antara eksplanasi dan pemahaman, di mana ekspalanasi berarti mengidentifikasi sebab musabab umum dari suatu kejadian, sedangkan pemahaman adalah menemukan makna dari suatu kejadian atau praktik sosial dalam konteks sosial tertentu. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 287. 35Seperti kata ayah memiliki satu makna dalam struktur kekerabatan dan berbeda maknanya dalam konteks struktur agama katolik. Kata ayah yang diterjemahkan dari kata bahasa Inggris father, telah menghilangkan makna keagamaan father bagi penganut katolik, yang berarti pemimpin agama Katolik, meskipun sehari-hari kata father juga berarti sama dengan ayah dalam bahasa Indonesia. Ibid., 294. 36Sanapiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”, dalam Burhan Bungin, ed. Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 44. 37Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 294. Antropologi secara luas terbagi dalam tiga bidang, antropologi fisik, budaya dan sosial. Antropologi fisik mengkaji tentang keanekaragaman ciri khas fisik manusia dan perkembangannya yang meliputi warna, ukuran tinggi badan, ukuran tengkorak, otak dan sebagainya. Antropologi budaya mengkaji manusia dalam dimensi kebudyaan yang dimilikinya baik menyangkut bahasa, tulisan, kesenian, sistem pengetahuan dan totalitas kehidupan manusia. Dan antropologi sosial mengkaji prinsip-prinsip persamaan di belakang aneka ragam masyarakat dan kebudayaannya dari kelompok-kelompok manusia di dunia. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 3-5.

Page 17: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

51

antropologi interpretatif atau antropologi humanistik, berupaya mengorientasikan

kembali kebudayaan dari strategi menemukan eksplanasi kausal bagi perilaku

manusia menjadi strategi untuk menemukan interpretasi dan makna dalam tindakan

manusia.38 Dalam perspektif simbolik, kebudayaan adalah aspek bermakna mengenai

realitas konkret atau realitas objektif, dan melakukan kajian terhadap sistem tanda

dan pesan yang diterima oleh manusia melalui interaksi mereka dengan manusia lain

dan dengan dunia alamiah. Dengan kata lain, perspektif ini lebih memusatkan

perhatian terhadap simbol dan kelompok sosial yang memperpadukan analisis formal

dengan isi, dan persepsi dan makna dengan tindakan sosial.39

Menurut tradisi interpretivisme, manusia dipandang sebagai makhluk

rohaniah. Di mana manusia selaku makhluk sosial, sehari-hari bukanlah berperilaku,

melainkan bertindak, sebab dalam istilah berperilaku berkonotasi mekanistik alias

bersifat otomatis, padahal tingkah laku sosial manusia senantiasa melibatkan niat

tertentu, pertimbangan tertentu, atau alasan-alasan tertentu, dengan kata lain tingkah

laku sosial manusia melibatkan kesadaran sosial tertentu. Sedangkan bertindak

(action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat,

kesadaran, dan alasan-alasan tertentu, ia bersifat intensional. Bertindak melibatkan

38Antropologi interpretatif berupaya menemukan makna melalui interpretasi perilaku atau teks. Pandangan ini tidak menolak dunia materi, tetapi berkeyakinan bahwa cara terbaik untuk memahami dunia materi dan sosial manusia dengan mendengarkan cara-cara orang yang hidup dalam suatu masyarakat dengan perspektif mereka sendiri. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 296-297. Pendekatan interpretatif sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi dan dalam kajian agama memiliki “kesamaan” yaitu ingin memahami apa yang ada di balik fenomena, ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap lebih mendalam pada dunia neumena. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 89. 39Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 291-293.

Page 18: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

52

makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri manusia sebagai pelaku suatu

tindakan.40 Dengan kata lain, manusia selalu mempunyai dan mendasarkan tindakan

atau perbuatan sehari-harinya dari kesadaran tentang sesuatu. Kesadaran adalah

refleksi dari realitas di sekitarnya.

Realitas bagi manusia tidaklah dipandang dan dipakai sebagaimana apa

adanya, tetapi dipahami dan didefinisikan secara subjektif melalui serangkaian proses

berpikir yang menghasilkan kesadaran tertentu. Kesadaran manghasilkan makna dan

juga mengandung tujuan. Tujuan itulah yang kemudian memberi makna tentang

sesuatu.41 Demikian juga terhadap agama, di mana bentuk tingkah laku dan cara

seseorang beragama didasari oleh kesadaran atau sistem pengetahuan (pemahaman)

tentang ajaran agama yang dianutnya. Pilihan terhadap agama tertentu untuk dianut

terjadi melalui sebuah proses kesadaran berdasar sistem pengetahuan yang mereka

miliki sebelumnya. Dengan demikian pilihan terhadap agama sebenarnya adalah

sebuah proses budaya yang penuh dengan ciri-ciri kemanusiaan.42

Clifford Geertz43 dapat dikatakan adalah pendiri sekaligus yang

mengembangkan pendekatan interpretatif dalam antropologi. Geertz menekankan

40Sanapiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”, dalam Burhan Bungin, ed. Metodologi Penelitian Kualitatif., 44. 41Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 145-146. 42Latar belakang, kepentingan, tantangan, yang terdapat dalam diri seseorang sangat berpengaruh pada cara beragama seseorang dan akan membentuk sistem pengetahuan tentang agama mana yang benar dan menjadi pilihan untuk dia anut. David N. Gellner, “Pendekatan Antrolpologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyyakarta: LKiS, 1999), 45. 43Clifford Geertz seorang pakar antropolog Amerika yang memperkenalkan perspektif simbolik yang melengkapi beberapa beberapa perspektif sebelumnya dalam antropologi; aliran struktur fungsional di Inggris dengan tokohnya seperti B. Malinowski dan Radcliffe Brown, juga aliran evolusionis dengan tokohnya seperti Frazer, Tylor, dan Marett, antropologi strukturalisme dengan tokohnya Levi Strauss, serta perspektif kognitif dengan tokohnya W.H Goodenough. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 6-11, 87.

Page 19: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

53

upaya untuk menemukan makna yang memandang penting simbol dari sekedar

eksplanasi, dan juga pentingnya signifikansi konteks sosial sebagai unsur penting

dalam memahami makna simbol. Ia juga mengemukakan bahwa antropologi harus

didasari oleh realitas konkret, yakni kajian mengenai satu kasus tunggal yang dapat

menghasilkan pandangan teoritis dan makna-makna, artinya dari realitas ini harus

ditemukan makna, bukan prediksi yang didasarkan pada data empiris.44 Seorang yang

meneliti mengenai kebudayaan, bagi Geertz, dapat melakukan interpretasi terhadap

kajian-kajian atau kelakuan masyarakat dengan memperlakukannya sebagai teks (teks

sosial), yakni sebagai model of reality (model dari realitas) dan model for reality

(model untuk realitas) sehingga dapat mengungkapkan makna di balik pola sosial di

maksud. Dan Geertz secara konsisten memandang kebudayaan memiliki dua elemen

tersebut; kebudayaan sebagai sistem kognisi dan sistem makna ialah representasi pola

dari (model of/model tentang) kenyataan –wujud nyata- kelakuan manusia sehari-hari,

dan kebudayaan sebagai sistem nilai ialah representasi pola –pedoman- bagi (model

for/model untuk) manusia melakukan tindakan itu.45 Sistem kognisi dinamakan juga

dengan aspek kognitif kebudayaan dan sistem nilai dinamakan dengan aspek evaluatif

kebudayaan. Model yang pertama mempresentasikan kenyataan yang ada (atau sudah

44Clifford Geertz, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 119. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 297. Melalui berbagai kajiannya mengenai kebudayaan terutama di Indonesia, Geertz memperoleh Bintang Tanda Jasa Utama dari pemerintah Indonesia. Lihat juga Nur Syam, Mazhab-mazhab., 11. 45Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, alih bahasa oleh F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 8-9. Lihat juga Ignaz Kleden, “Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” Kata pengantar dalam Clifford Geertz, After The Fact (Yogyakarta: Kanisius, 2001), xiv-xv. Contohnya, upacara keagamaan yang dilakukan merupakan pola dari, sedangkan ajaran yang diyakini kebenarannya sebagai dasar acuan melakukan upacara keagamaan adalah pola bagi atau model untuk. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 91-92.

Page 20: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

54

ada), seperti halnya sebuah peta pulau Sumatera merupakan model tentang pulau

Sumatera. Dalam model ini sebuah struktur simbolis (misalnya peta) disesuaikan

dengan struktur non-simbolis atau suatu struktur fisik (misalnya pulau Sumatera).

Sebaliknya model kedua, tidak mempresentasikan suatu kenyataan yang sudah ada,

melainkan suatu kenyataan yang masih harus dibentuk atau diwujudkan, misalnya

sebuah maket untuk perumahan adalah model untuk perumahan yang masih harus

dibangun. Di sini suatu struktur non-simbolis, atau struktur fisik (misalnya komplek

perumahan) harus disesuaikan dengan struktur simbolis berupa maket perumahan.46

Oleh karena itu, faktor untuk menerjemahkan sistem pengetahuan dan makna menjadi

sistem nilai atau menerjemahkan sistem nilai menjadi sistem pengetahuan dan makna

terletak pada sistem simbol.

Sistem simbol diibaratkan Geertz sebagai sebuah program komputer yang

berfungsi sebagai pengoperasian. Sistem simbol diciptakan manusia dan secara

konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari, memberi

manusia suatu kerangka yang penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya

kepada yang lain, kepada lingkungannya, dan pada dirinya sendiri, sekaligus juga

sebagai produk dan ketergantungan dengan interaksi sosial. di mana simbol berfungsi

sebagai proses kehidupam sosial. Simbol merupakan suatu rumusan yang nampak

dari segala pandangan, abstraksi dari pengalaman yang telah ditetapkan dalam bentuk

yang dapat dimengerti, perwujudan konkret dari gagasan, sikap putusan, kerinduan

46Clifford Geertz, Kebudayaan., 7. Ignas Kleden, Dari Etnografi., xiv. Lihat juga Khodziq, Islam dan Budaya Lokal; Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: Teras, 2009), 45.

Page 21: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

55

atau keyakinan.47 Simbollah yang memungkinkan manusia menangkap hubungan

dinamik antara nilai dengan dunia pengetahuan. Sistem simbol berguna sebagai

petunjuk untuk mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan di tengah kebudayaan

masyarakat. Untuk itu, tahap pertama yang dapat diamati adalah bagaimana sistem

simbol di dalam suatu kebudayaan mengeksis, dan baru dirunut bagaimana sistem

nilai dan sistem kognitifnya, dan selanjutnya dipahami maknanya bagi pelaku budaya

sendiri.48 Oleh karena itu, titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang

dimungkinkan oleh simbol ialah dinamakan makna (system of meaning). Melalui

sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan

menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.49 Makna yang

disampaikan melalui penggunaan simbol-simbol berlaku bagi nilai-nilai, kode-kode,

aturan-aturan.

Makna dalam hal tersebut dapat dipahami melalui lima cara. Pertama, konteks

yang melingkupi peristiwa di mana peristiwa tersebut terjadi. Kedua, sistem, artinya

peristiwa itu terdapat dalam sistem atau keterkaitan antar berbagai peristiwa yang

bersifat sistemik, misalnya penggunaan bahasa dalam peristiwa yang terjadi. Ketiga,

aktor ialah imajinasi aktor dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa yang terjadi

dan terkait dengannya, misalnya pernyataan verbal aktor terkait dalam peristiwa.

Keempat, tindakan aktor ialah apa yang dilakukan oleh aktor dalam kaitannya dengan

peristiwa yang terjadi. Kelima, simbol-simbol ialah apa yang inheren dalam simbol-

47Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Books, 1973), 91. 48Nur Syam, Mazhab-mazhab., 12. 49Ibid., 93.

Page 22: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

56

simbol, misalnya setiap simbol mengandung sesuatu yang dipahami secara

intersubjektif.50

Menurut Geertz, makna harus berasal dari apa yang diketahui, dirasakan

dialami oleh pelaku budaya yang dikaji atau disebut “native point’s of view”.

Orientasi untuk menemukan makna yang didasarkan pada pandangan native ini

ditujukan untuk menjadikan peneliti peka terhadap pandangan selain dari

pandangannya sendiri, dan ia harus memainkan peranan sebagaimana yang dilakukan

masyarakat lain tersebut.51 Dalam pendekatan ini, interpretasi dirakit, yang

merupakan suatu versi dari suatu teks, pembicaraan, atau tindakan yang dibandingkan

satu sama lain, suatu perangkat persepsi yang dibandingkan satu sama lain. Persepsi

dan pengetahuan pengamat diperpadukan dengan persepsi dan pengetahuan native. Di

mana Geertz menyebutnya dengan ”melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku”.52

Dalam hal tersebut yang menjadi medium bagi pembandingan adalah suatu sistem

simbol yang memberikan makna bagi individu dan realitas kehidupan sosialnya.

50Nur Syam, Islam Pesisir., 269. 51Nur Syam, Mazhab-mazhab., 93. Namun, Pandangan ini tidak menerima nihilisme, eklektisisme, suatu pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri, persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain, persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain yang mengidentifikasi dan memilih siapa pengamat dan siapa orang-orang yang diamati, dan pengamat ingin memahami orang-orang yang diamati. Sebagai contoh buku Geertz berjudul Local Knowledge, menggambarkan minatnya secara khusus, yang konkret, kasus individual, memperoleh pengetahuan dengan mulai dari dasar pengetahuan orang-orang yang dikaji (the native) dan mengkombinasikannya dengan pengetahuan pengamat. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 297. 52Nur Syam, Mazhab-mazhab., 93. Istilah native’s viewpoint juga disebut dengan istilah emik yaitu mengacu pada pandangan masyarakat yang dikaji, sedangkan lawannya ialah etik yaitu mengacu pada pandangan peneliti (scientist’s viewpoint). Antropologi budaya juga memandang pentingnya perspektif etik, yakni pengamatan orang luar yang menggunakan orientasi teori atau modelnya sendiri. Perspektif ini berguna bagi analisis komparatif dan bagi pendekatan “objektif” untuk memperoleh pengertian mengenai suatu kebudayaan yang mungkin tidak berada di dalam kesadaran orang-orang yang hidup dalam masyarakat tersebut. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 299, 302..

Page 23: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

57

Dalam konteks ini, definisi kebudayaan menurut Geertz adalah 1) suatu

sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol

tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-

perasaan mereka dan membuat penilaian mereka, 2) suatu pola makna-makna yang

ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang

melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan

mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan, 3)

suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik

dari informasi, 4) oleh karena itu, kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka

proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasi.53

Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep

yang dianggap baru pada masanya. Geertz mendefinisikan kebudayaan yang beranjak

dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn sebelumnya, yang menurutnya agak

terbatas dan tidak mempunyai standard yang baku dalam penentuannya. Geertz

menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebagai suatu teks yang

perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya

kongkrit. Kebudayaan dilihat Geertz sebagai kumpulan teks yang penuh dengan

jaring makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian

yang sifatnya mendalam (thick description).54

53Ibid., 288. Zulkifli, Antropologi Sosial., 87-88. 54Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan., 5. Lihat Zulkifli, Antropologi Sosial., 87. Lihat Koentjaraningrat, Tokoh-tokoh Antropologi: Ichtisar dari Karja-karja dan Konsep-konsep Sarjana-sarjana Utama dalam Antropologi (Jakarta: Penerbittan Universitas, 1964), 10-11.

Page 24: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

58

Dalam simbol, suatu objek, fakta atau peristiwa sebagai suatu realitas, dipakai

untuk menunjuk ke realitas lain yang biasanya berada di luar jangkauan pengalaman

inderawi manusia. Dengan demikian, simbol juga memiliki makna (signifikansi),

tetapi yang lebih rumit dan lebih dalam dan signifikasi yang dikandung oleh tanda.

Signifikasi dari tanda, khususnya tanda yang konvensional, maknanya sudah

dikonversi oleh manusia.55 Sedangkan signifikasi dari simbol, memuat pemahaman-

pemahaman yang dalam, mysterium dan mengatasi kemampuan inderawi manusia

yang terbatas. Namun dalam keterbatasannya manusia tetap menggunakan simbol-

simbol.56 Dalam hal ini, Manusia dipandang sebagai pembawa dan produk, sebagai

subjek dan sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai

sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Manusia

dapat memberikan makna kepada setiap kejadian dan peristiwa, tindakan, atau objek

yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi.57

Simbol-simbol itu dalam realitas adalah juga dapat berupa sesuatu yang lepas

dari keadaan yang sebenarnya dan dipergunakan untuk memasukkan makna dalam

pengalaman, karena simbol-simbol itu memiliki dua sifat sekaligus yaitu

“menyatakan dan menyembunyikan”. Sesuai dengan pandangan Raymond Firth

55Menurut Susanne K. Langer yang dikutip oleh Alisyahbana, tanda dalam penggunaannya selalu berada dalam keterhubungan dengan subyek dan objek. Subyek dalam hal ini adalah yang membuat tanda atau yang mempergunakannya. Sedangkan objeknya adalah orang yang merierima tanda itu. Karena itu tanda pada hakikatnya bersifat relasional atau intensional. S. T. Alisyahbana, Antropologi Baru (Jakarta: Penerbit PT Dian Rakyat, 1986), 254. 56Ibid. 57Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebagai sistem simbol lebih bersifat abstrak dan sulit untuk diobservasi, tetapi sebagai suatu kompleks aktivitas manusia yang dipandang sebagai sistem sosial, lebih konkrit dan mudah dipahami. Koentjaraningrat, “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional” dalam Alfian, (ed)., Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), 100.

Page 25: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

59

tentang simbol bahwa simbol dirumuskan sebagai kemampuan ganda, yaitu untuk

menyatakan dan sekaligus menyembunyikan, atau bahkan kemampuan simbol untuk

menyatakan sesuatu dengan menyembunyikan, dan menyembunyikan sesuatu dengan

menyatakannya.58

Dalam diri individu, simbol-simbol itu sebagian besar telah ada dalam

komunitas ketika ia lahir, dan simbol-simbol itu dengan beberapa tambahan, tinggal

sebagai pengurangan-pengurangan dan perubahan-perubahan yang boleh atau tidak

boleh ia campurtangani, yang diteruskan setelah ia mati. Ketika hidup, ia

mempergunakan simbol-simbol itu, untuk membangun sebuah konstruksi di atas

peristiwa-peristiwa dan pengalaman hidupnya, mengorientasikan dirinya di dalam

“arus tak kunjung henti dari hal-hal yang dialami”. Bagi manusia, apa yang

merupakan bawaannya adalah kemampuan yang luar biasa untuk menanggapi.

Kemampuan itu memungkinkan manusia memiliki kelenturan yang jauh lebih besar

dan merupakan suatu kompleksitas. Kompleksitas itu perlu diatur oleh kebudayaan

menjadi tata sistem simbol-simbol yang bermakna, sebab tanpa itu, tingkah laku

manusia sebenarnya tak dapat diatur. Kebudayaan sebagai kumpulan totalitas pola-

pola itu, tidak hanya sebuah hiasan bagi eksistensi manusia, melainkan merupakan

sebuah syarat hakiki bagi eksistensi itu sendiri. Jadi, tak ada hakikat manusia yang

tak tergantung dari kebudayaan.

58Raymond Firth, Simbols: Public and Private (London: George Allen & Unwin Ltd, 1975), 15. Misalnya, orang berpakaian hitam pada saat melayat. Warna pakaian hitam di sini ialah menyatakan, tetapi mengapa memilih hitam, maknanya adalah tersembunyi. Menyembunyikan ungkapan perasaan “duka, sedih, berkabung, dsb”.

Page 26: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

60

Dengan menelaah kembali dalam sistem budaya yang ada pada pemikiran

manusia, maka dapat dibagi beberapa simbol-simbol yang berkaitan dengan

perwujudan atau dasar pendorong tindakan yang ada. Di mana simbol-simbol dalam

sistem budaya terbagi dalam empat perangkat yang bekerja sesuai dengan fungsinya

masing-masing,59 yaitu: (1) simbol-simbol konstitutif yang berisi simbol-simbol

keyakinan yang menyatakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diubah dan digeser

dan bersifat dogmatis, dan menjadi dasar inti perilaku keagamaan. Dengan melalui

simbol konstitutif, manusia diingatkan akan adanya hakikat tertinggi yang dipuja,

disembah dan dimuliakan. Simbol konstitutif seperti kepercayaan atau agama sebagai

sub-sistem dari sistem kebudayaan, menjamin atau memenuhi kesinambungan atau

mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem sesuai dengan aturan atau norma-

norma;60 (2) simbol kognitif yang merupakan simbol pengetahuan atau dasar perilaku

kognitif tentang pengorganisasian (pengeksploitasian, pemanfaatan, pemeliharaan)

lingkungan, dalam simbol ini manusia dapat mewujudkan penemuan-penemuan baru

untuk memenuhi kebutuhannya; (3) simbol penilaian yang berisi simbol-simbol

normatif dalam moral, etika, adat sopan santun atau tata krama pergaulan, seperti

baik-buruk, indah-jelek, dan sebagainya; (4) simbol ekspresif, simbol pengungkapan

perasaan yang berisi kreatifitas manusia terhadap estetika, bahasa, komunikasi dan

59Arif Budimanta dan Bambang Rudito, “Manusia Modal Pembangunan,” Dalam http://www.icsd.or.id/uploaded/manusia_modal_pembangunan. (07 Pebruari 2010). 60Y. Sumandio Hadi, Seni dalam Ritual., 54-55. Sistem religi atau agama dilihat sebagai sistem simbol dapat menghubungkan manusia dengan beberapa pengalaman yang bersifat transendental, mempresentasikan hakikat hal-hal yang bersifat suci, berisi kebaikan, kebenaran dan kekuatan. Roland robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. A. Fedyani Saifuddin (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), 35.

Page 27: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

61

sebagainya, bentuk kongkritnya berupa perbuatan ekpresi pengalaman manusia yang

berlangsung dalam medium inderawi tertentu. Simbol ekspresif ini juga dapat berupa

komunikasi simbolis, berisi perasaan, dan betul-betul komunikatif.61 Keempat sistem

simbol tersebut berjalan secara bersamaan dengan kualitasnya masing-masing, dan

saling terkait satu sama lain, artinya bahwa ada seseorang yang mempunyai

interpretasi simbol konstitutifnya lebih besar dari lainnya, atau simbol kognitifnya

lebih besar dan sebagainya. Sehingga perwujudan dari tindakan yang nyata

merupakan juga rangkaian simbol-simbol yang telah disepakati dalam masyarakat.62

Hal tersebut dapat dilihat dalam skema63 berikut:

Skema 2.1 Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

61Sudiarja menyatakan bahwa makna simbol ekpresif sebagai suatu abstraksi, merupakan bentuk kreasi, memiliki vitalitas artistik yang utuh. Sudiarja, “Susanne K. Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika” dalam M. Sastrapratedja, ed., Manusia Multi Dimensional; sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 69. 62Malcolm Waters, Modern Sosiological Theory (London, Thosand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 1994), 142-151. Lihat Juga Harsya W. Bachtiar, “Birokrasi dan Kebudayaan”, dalam Alfian, ed., Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), 66. 63Sumber dari Malcolm Waters, Modern Sosiological., 150.

Simbol Konstitutif

Simbol Kognitif

Simbol Ekspresif

Simbol Moral

Page 28: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

62

Dengan memahami pengertian kebudayaan sebagai sistem simbol di atas,

persoalan kemudian adalah, bagaimana aplikasinya dalam realitas keberagamaan

terutama dalam ritual upacara keagamaan. Di mana setiap praktik keagamaan yang

dapat dilihat dari berbagai bentuk ritualnya tidak dapat melepaskan dari aspek

kebudayaan, karena kebudayaan merupakan alat penunjang utama bagi

terselenggaranya sebuah praktik keagamaan.64 Berbagai macam simbol dalam ritual

keagamaan merangkum seluruh hubungan, persekutuan dan tanda yang membentuk

kehidupan keberagamaan. Simbol keagamaan adalah manifestasi dari sesuatu Yang

Kuasa, atau Yang Suci.65 Dalam hal ini ritual agama sebagai unsur kebudayaan

dilihat sebagai sistem simbol, menghubungkan manusia dengan alam semesta serta

Penguasa dalam arti yang luas. Berbagai macam simbol dijadikan alat untuk

menyimpan dan mengekspresikan pengalaman manusia. Melalui simbol terbentuklah

komunikasi antara manusia dengan manusia, melalui simbol manusia diperingatkan

akan adanya “Hakikat Tertinggi” yang dipujanya.66

B. Memahami Konsep Simbol Agama

Berdasarkan sudut pandang kebahasaan -bahasa Indonesia pada umumnya-

“agama” dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya

64Kebudayaan juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik ritual beragama dalam satu payung agama yang sama. Oleh karena itu, agama dan budaya sama-sama melekat pada diri setiap orang beragama, dan setiap praktik agama akan selalu bersamaan dan bahkan berinteraksi dengan budaya. Khdziq, Islam., 42-43. 65Niko Hayon, Ekaristi: Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda (Ende-Flores: Nusa Indah, 1986), 29. 66Y. Sumandiyo Hadi, Seni., 28.

Page 29: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

63

“tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang berarti “tidak”

dan gama yang berarti “kacau”. Hal ini mengandung pengertian bahwa agama adalah

suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sejalan dengan

perspektif ini, dapat dikatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi

yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada

kehidupan manusia, dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang

seluruh realitas. Agama merupakan naungan sakral yang melindungi manusia dari

situasi kekacauan (chaos).67 Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat

disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda,

keduanya berasal dari bahasa Latin, religio, dari akar kata religare yang berarti

mengikat.68 Dalam pandangan Gazalba, agama atau religi adalah hubungan antara

manusia dengan Yang Maha Suci, dihayati sebagai hakikat bersifat gaib, hubungan

yang menyatakan diri dalam bentuk kultus serta ritus dan sikap-sikap berdasarkan

doktrin tertentu.69 Sebagian dari para ahli ada yang berusaha melakukan pendekatan

kebahasaan dalam mendefinisikan agama. Sebagian lagi, dipelopori oleh Guyau,

beranggapan bahwa kata religion terambil dari kata kerja dalam bahasa Latin

67Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 63. 68Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-di>n dan al-millah. Kata al-di>n mengandung beberapa arti. Ia dapat diartikan al-mulk (kerajaan), al-khidmah (pelayanan), al-‘izz (kejayaan), al-‘a>dah (kebiasaan), al-iba>dah (pengabdian), al-tadhallul wa al-khud}u>’ (tunduk dan patuh), al-t}a>’ah (taat), al-isla<m (penyerahan). Sedangkan kata al-di<n yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum, artinya tidak ditunjukkan kepada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini. Lihat QS. al-Kafirun ayat 7: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Ibid., 13. 69Pada tataran empiris, agama terdiri dari beberapa unsur pokok, yaitu sistem kepercayaan kepada Tuhan, sistem aturan dalam kitab suci, sistem ritual, dan simbol-simbol agama yang bersifat kebendaan. Sidi Gazlba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1963), 47-49.

Page 30: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

64

religare, yang artinya mengumpulkan atau mengikat. Berdasarkan arti ini, ia

berpendapat bahwa “agama adalah keterikatan sekelompok manusia dengan Tuhan

atau dewa”.70 Senada dengan Guyau, Emmanuel Kant mengatakan bahwa agama

adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Adapun

menurut Albert Spencer, faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya

kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu dan

tempatnya.71

Kajian agama biasanya dibagi dalam dua kawasan; Pertama, agama dalam

kawasan teologis atau doktrin, yang berupa seperangkat ajaran yang bersifat tetap dan

tidak berubah, kawasan ini sering disebut dimensi normativitas yang bersifat tetap.

Dimensi ini menekankan peran agama sebagai pengatur kehidupan dan kurang

memberikan tekanan pada faktor manusia sebagai penganut dan penginterpretasi

ajaran agama. Kedua, agama dalam kawasan interpretasi, yaitu dimensi ajaran yang

dipahami manusia, sehingga akan terdapat perubahan dan bahkan variasi, di mana

variasi ini menjadi suatu kewajaran karena ajaran seperti itu adalah hasil penafsiran

manusia.72

Ramlan Surbakti menyebut kawasan kajian agama dengan istilah, what does

religion do for other yang mengacu kepada fungsi agama dalam kehidupan

masyarakat, dan what is religion yang mengacu kepada apa makna agama bagi

70Setiap agama memang mengumpulkan para penganutnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dengan dewa-dewa mereka menjadi suatu masyarakat yang merupakan bagian dari alam semesta. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 15. 71Ibid., 16-17. 72Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., 33-34.

Page 31: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

65

kehidupan manusia.73 Agama yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan

peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam gaib, khususnya dengan

Tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan

lingkungannya, dilihat sebagai teks atau doktrin, dan keterlibatan manusia sebagai

pendukung tak nampak tercakup di dalamnya. Sedangkan agama yang lebih

memperhatikan terhadap permasalahan kehidupan keagamaan dan duniawi yang

terwujud dalam tindakan-tindakan dengan pengetahuan, interpretasi dan respons

terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci, maka agama

didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan.74 Oleh karena itu, kawasan kedua ini

masuk pada lingkup hubungan interaksional timbal balik agama dan budaya.

Kawasan kedua inilah yang menjadi kajian dalam perspektif sosiologis (baik

ontropogi sosial maupun psikologi sosial), dan juga menjadi fokus perhatian dalam

penelitian ini.

Kajian terhadap agama pada lingkup hubungan interaksional timbal balik

agama dan budaya di dalam kehidupan masyarakat melahirkan beberapa pendekatan,

di antaranya yang lebih menekankan cara bagaimana kepercayaan khususnya ritus

memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara individu-individu, atau lebih

menekankan kepada peranan agama di dalam masyarakat, dan disebut dengan

73Ibid., 37. 74Parsudi Suparlan, ”Kata Pengantar”, dalam Roland Robertson, ed., Agama; dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, alih bahasa A. Fedyani Saifuddin (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), V-VI. Agama pada hakikatnya adalah sama dengan kebudayaan, yaitu suatu sistem simbol atau suatu sistem pengetahuan yang menciptakan, menggolong-golongkan, meramu, merangkaikan dan menggunakan simbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungannya. Dan titik perbedaan simbol agama dan budaya ialah bahwa simbol agama adalah simbol suci. Nur Syam, Islam Pesisir., 16.

Page 32: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

66

pendekatan sosiologis (para antropolog Inggris lebih suka menyebutnya dengan

antropologi-sosial), yang lebih banyak dikenal dengan teori fungsionalisme dengan

tokohnya Durkheim, R. Smith dan Radcliffe-Brown.75 Berikutnya adalah pendekatan

psikologi sosial, di mana pendekatan ini lebih menekankan apa yang dilakukan

agama bagi individu, seperti bagaimana agama memenuhi tuntutan-tuntutan kognitif

dan afektifnya demi sebuah dunia yang stabil, dapat dipahami dan dapat dipaksakan,

dan bagaimana agama memungkinkannya memelihara suatu keamanan batiniah

dalam menghadapi kesewenangan alam. Perintis pendekatan ini ialah Frazer dan

Tylor, dan menemukan pernyataannya yang lebih jelas pada karya klasik Malinowski,

Magic, Science and Religion.76 Kedua pendekatan ini, bersama-sama telah

memberikan suatu pemahaman yang rinci tentang fungsi-fungsi sosial dan psikologis

dari agama.

Memahami simbol agama sebagai sasaran kajian, terdapat beberapa

karakteristik dalam perspektif ini. Pertama, agama adalah fenomena yang terjadi

dalam subjek manusia serta terungkap dalam tanda dan simbol. Oleh karena itu perlu

kecermatan dalam pengkajiannya untuk dapat memilah dan mengkategorikan mana

simbol dan tanda yang masuk dalam sistem kepercayaan, dan mana simbol dan tanda

75Pendekatan ini berasal dari The Elementary Form of the Religius Life karya Durkheim dan Lectures on The Religion of The Semites karya Robertson Smith. Pendekatan ini menekankan cara struktur sosial sebuah kelompok diperkuat dan dilestarikan melalui simbolisasi ritualistis atau mistis dari nilai-nilai sosial yang mendasari struktur sosial itu. Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama., 71. 76Geertz kemudian memberikan kritik terhadap pendekatan fungsional yang dianggapnya kurang mengsankan dalam menghadapi perubahan sosial, dam pendekatan ini menghasilkan prasangka demi kepentingan masyarakat yang ‘terintegrasi-baik’ dan lebih menekankan fungsional dari adat dan kebiasaan daripada menekankan implikasi disfungsional adat dan kebiasaan itu, terlebih pendekatan ini menghasilkan sebuah pandangan yang agak konservatif mengenai peranan ritus dan kepercayaan dalam kehidupan sosial. Ibid. 71-72.

Page 33: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

67

yang masuk upacara keagamaan. Kedua, fakta religius bersifat subjektif yang

merupakan keadaan mental manusia religius dalam melihat dan menginterpretasikan

hal-hal tertentu. Dalam hal ini, manusia religius memberikan penilaian religius yang

mempengaruhi tindakan-tindakan dan perilakunya, bahwa mereka menerima norma-

norma dan aturan-aturan dalam ungkapan keyakinan religius mereka. Ketiga,

pemahaman makna fenomena agama diperoleh melalui pemahaman ungkapan-

ungkapan keagamaan yang meliputi kata-kata, tanda-tanda, dan tingkah laku yang

ekspresif. Melalui ekspresif dapat ditangkap pikiran-pikiran dan makna keagamaan.

Keempat, pemahaman suatu fenomena religius meliputi empati (usaha untuk

mencoba memahami perilaku orang lain berdasarkan pengalaman dan perilaku

dirinya sendiri) terhadap pengalaman, pemikiran, emosi dan ide-ide pemeluk agama.

Kelima, fakta-fakta keagamaan yang merupakan fakta psikis dan spritual yang

merupakan intensionalitas dari ekpresi pengalaman religius dan iman yang lebih

dalam.77

Agama yang dipandang sebagai sistem kepercayaan terwujudkan dalam

perilaku sosial tertentu, ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik individu

maupun kelompok. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam

yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.78

77Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 113-114. 78Henri L. Tischler, Introduction to Sociology (Chicago: Holt, Rinehart and Winston, 1990), 380. Agama, dalam perspektif ini adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom). Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., 34.

Page 34: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

68

Agama dalam kajian kebudayaan merupakan pedoman bagi manusia untuk

bertindak, sehingga manusia akan melakukan penafsiran tindakannya berdasarkan

kerangka referensi ajaran agama yang diyakininya tersebut. Karena agama

melibatkan penafsiran atau interpretasi penganutnya, maka tak jarang agama

memiliki sekat-sekat yang membedakan pemahaman penganutnya.79

Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling

mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol

yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung

nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem

simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan. Tetapi keduanya perlu

dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak

mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan

temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama

pribadi, tetapi sebagai kolektivitas ia tidak akan mendapat tempat.80

Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara

pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan

79Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., 34. Sebagai sistem kepercayaan, agama bisa menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudyaaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan adan ajaran agamanya. Pengaruh agama dalam sistem nilai kebudayaan tersebut terwujud dalam simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 64. 80Dalam pandangan Kuntowijoyo, salah satu persamaan antara agama dan kebudayaan adalah bahwa keduanya merupakan sistem simbol dan sistem nilai. Kalau agama merupakan simbol dari ketaatan pada Tuhan, maka kebudayaan merupakan simbol dari tata nilai yang disepakati bersama untuk dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Lihat: Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: mizan, 2001), 195, 201. Di sini ia tidak mendefinisikan agama maupun budaya secara khusus.

Page 35: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

69

kemanusiaannya. Oleh karena itu, biasanya terjadi interaksi dan dialektika antara

agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan,

sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang

dialektika antara agama dan tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi

ketegangan. Karena tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak

sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyah yang bersifat absolut.81

Clifford Geertz sebagai pakar antropologi simbolik melihat agama sebagai

suatu sistem kebudayaan. Kebudayaan tidak hanya didefinisikannya sebagai pola dari

kelakuan, tetapi juga sebagai pola bagi kelakuan; yaitu yang terdiri atas serangkaian

aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, dan petunjuk-petunjuk yang digunakan

manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Kebudayaan dianggap sebagai susunan arti

atau ide, yang dibawa simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang

kehidupan dan mengekspresikan sikap mereka terhadapnya.82 Kebudayaan, dengan

demikian juga dilihat sebagai pengorganisasian pengertian yang tersimpul dalam

simbol-simbol, yang berkaitan dengan eksistensi manusia.83

Geertz melihat bahwa di antara simbol-simbol yang dipunyai oleh manusia

terdapat suatu golongan yang merupakan suatu sistem tersendiri, yang dinamakannya

sebagai simbol-simbol suci (simbol-simbol suci ini bersifat normatif dan mempunyai

kekuatan yang besar dalam pelaksanaan sanksi-sanksinya), dan simbol suci tersebut

81Khodziq, Islam dan Budaya., 43-45. 82Daniel L. Pals, Seven Theories of Religioon: Dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Marx, hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. oleh Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 413. 83Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan., XI.

Page 36: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

70

harus dianalisis agar dapat mengidentifikasi hakikatnya, mengungkapkan maknanya

bagi anggota masyarakat yang bersangkutan, dan menangkap pesan-pesan yang

melahirkan koherensi dan arah kepada kebudayaan tersebut.84 Hal ini disebabkan

karena simbol-simbol suci itu bersumber pada etos dan pandangan hidup, yang

merupakan dua unsur paling hakiki bagi eksistensi manusia; dan juga karena simbol-

simbol suci ini terjalin dalam simbol-simbol lainnya yang digunakan manusia dalam

kehidupan sehari-hari yang nyata. Keterjalinan simbol-simbol suci dalam simbol-

simbol biasa kemungkinan dapat terwujud, karena simbol-simbol suci itu berfungsi

untuk mensintesakan etos dan pandangan hidup yang dipunyai manusia.85

Selanjutnya Geertz memberikan definisi agama sebagai: “Suatu sistem simbol

yang mengokohkan perasaan (moods) dan motivasi secara kuat, menyeluruh, dan

bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi

mengenai suatu hukum yang berlaku secara umum berkenaan dengan eksistensi

manusia, dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang

mencerminkan kenyataan, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi tersebut

nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.86 Secara sederhana, agama

84Zulkifli, Antropologi Sosial., 148. 85Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi., xi. 86Clifford Geertz, Kebudayaan., 5. Lihat Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi., xi. Simbol sebagai konsep dipakai dalam banyak hal; konsep yang dipakai untuk apa saja yang memiliki arti bagi orang lain seperti awan gelap adalah tanda simbolis akan datangnya hujan; konsep yang dipakai untuk tanda-tanda konvensionaleksplisit dari seuatu seperti bendera merah tanda bahaya; konsep yang dipakai terbatas pada sesuatu yang mengungkapkan secara tak langsung figuratfi apa yang tak bisa dinyatakan secara langsung dan harfiah seperti simbol-simbol puitis; dan konsep yang dipakai oleh geertz ialah bahwa simbol dipakai untuk untuk objek, tindakan, peristiwa, kualitas atau relasi yang berlaku sebagai sebuah wahana untuk sebuah konsep -konsep itu adalah ”makna” simbol. Ibid., 6.

Page 37: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

71

dalam pengakuan Geertz pada dasarnya merupakan suatu sistem kultural yang

memberikan makna dalam eksistensi manusia, dan memiliki fungsi universal dalam

memberikan makna tersebut.87

Agama dalam makna kebudayaan di atas dipandang sebagai sebuah sistem

makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci, dan sesungguhnya adalah pola

makna yang diwarisi manusia sebagai etos dan juga worldview-nya. Geertz

mengartikan etos sebagai tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang

berarti juga aspek moral maupun estetika mereka sebagai unsur-unsur evaluatif. Etos

suatu bangsa adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya

estetis dan suasana-suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri

mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan. Oleh

karena itu, agama adalah sebagian usaha untuk memperbincangkan sekumpulan

makna umum, dan makna hanya dapat disimpan di dalam simbol. Dengan kumpulan

makna umum tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan

mengatur tingkah lakunya.88

Sebagai contoh dalam tradisi kaum abangan, slametan jelaslah terlihat tidak

hanya sebagai sistem simbol yang berdiri sendiri, tetapi ada sistem nilai yang

mendasari pelaksanaan upacara itu, dan juga ada sistem kognitif yang memungkinkan

nilai itu diinterpretasikan untuk menjadi tindakan-tindakan dan selebihnya terdapat

sistem makna bagi para pelakunya. Dalam upacara slametan, ada seperangkat simbol

87Brian Morris, Antropologi Agama; Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, terj. Imam Khaori (Yogyakarta: AK. Group, 2003), 393. 88Clifford Geertz, Kebudayaan.,50-51.

Page 38: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

72

seperti kemenyan, kembang telon, jajan pasar dan tumpeng yang semua itu tidak

berdiri sendiri, tetapi berhimpitan dengan keyakinan-keyakinan pelakunya, yang

menjelaskan bahwa ada pedoman untuk melakukannya.89 Keyakinan

termanifestasikan dalam wujud simbol-simbol, karena simbol adalah aspek yang

dibutuhkan dalam kehidupan spiritual. Sesuatu yang sakral dalam berbagai tradisi

selalu dan hanya dijumpai lewat simbol-simbol religi. Walaupun bersifat simbolik,

sakralitas ini bukannya tidak riil. Simbol religius dapat berupa suara, kata-kata,

benda, gambar, suasana hati, metafor atau person. Simbol mengandung arti luas yang

dipakai untuk apa saja yang memiliki arti lain bagi orang lain. Penggunaan simbol

atau sesuatu yang bersifat publik dalam masyarakat dengan budaya dan agamanya

masing-masing.90

Selanjutnya menurut Geertz, simbol-simbol religius merumuskan sebuah

kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika

khusus, dan dengan melakukan itu mendukung masing-masing dengan otoritas yang

dipinjam dari yang lain.91 Simbol-simbol religius yang dipentaskan dalam berbagai

ritus dan mitos, sebagai ringkasan dari apa yang diketahui tentang dunia apa adanya,

ringkasan kualitas kehidupan emosionalnya, dan ringkasan cara seseorang seharusnya

bertindak di dalamnya.92 Yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian

simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur. Bagi 89Ibid., 77. Nur Syam, Madzhab-Madzhab., 13-14. 90Kristen memakai simbol salib dan memaknainya dengan makna tertentu. Ka’bah merupakan simbol pemersatu bagi umat Islam. Simbolisasi Salib dan Ka’bah adalah peristiwa sosial, dengan arti dapat diamati di tengah perilaku sosial. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 145. 91Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama., 4. 92Ibid., 51.

Page 39: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

73

mereka yang ambil bagian di dalamnya, sistem religius itu menjadi pengantara

pengetahuan sejati, pengetahuan tentang kondisi-kondisi hakiki. Sesuai dengan

kondisi hakiki itu, kehidupan mau tak mau harus dihayati. Khususnya bila simbol-

simbol ini dikritik, secara historis atau filosofis, seperti yang terdapat dalam

kebanyakan kebudayaan-kebudayaan dunia, para individu yang mengabaikan norma-

norma moral estetis yang dirumuskan simbol-simbol itu, yang menganut sebuah gaya

hidup yang menyimpang, dianggap nyaris jahat, dll.93

Kemampuan simbol-simbol agama untuk merumuskan sebuah dunia tempat

nilai-nilai menjadi kekuatan agama dalam menyangga nilai-nilai sosial, dan juga

kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai-nilai itu, menjadi bahan-bahan

dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah

gambaran kenyataan. Dengan mengutip Max Weber, ”Peristiwa-peristiwa tidak hanya

di sana dan terjadi, melainkan peristiwa-peristiwa itu mempunyai sebuah makna dan

terjadi karena makna itu” kebutuhan akan pendasaran metafisis untuk nilai-nilai itu

tampaknya sangat bervariasi dalam intensitasnya dari kebudayaan yang satu ke

kebudayaan yang lain dan dari individu yang satu ke individu yang lain, namun

kecenderungan untuk menginginkan sejenis basis faktual tertentu bagi komitmen-

komitmen seseorang agaknya secara praktis bersifat universal. Akan tetapi

peranannya bisa berbeda-beda pada zaman-zaman yang berbeda-beda, untuk berbagai

individu, dan dalam berbagai kebudayaan, agama, dengan memadukan etos dan

pandangan dunia, memberi seperangkat nilai sosial dari apa yang barangkali paling 93Ibid., 53.

Page 40: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

74

perlu mereka paksakan: suatu penampakan objektivitas. Dalam ritus-ritus dan mitos-

mitos sakral, nilai-nilai dilukiskan bukan sebagai preferensi manusia yang bersifat

subjektif melainkan sebagai kondisi-kondisi yang dipaksakan atas kehidupan yang

tersirat dalam dunia dengan sebuah struktur tertentu.94

Simbol merupakan sesuatu yang dapat memberi bentuk tertentu terhadap

proses-proses yang berada di luar sistem-sistem simbol itu. Seseorang beragama

tertentu tidak terjadi begitu saja, melainkan didahului dengan adanya proses belajar

atau pencarian bagi yang bersangkutan. Dengan demikian ia akan sangat dipengaruhi

oleh berbagai latar belakang kondisi dari diri maupun lingkungannya. Ini juga

membuktikan bahwa setiap orang akan mempunyai agama yang berbeda, dalam arti

bahwa setiap mereka mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap agamanya.

Dalam hal ini, agama dapat dikatakan sebagai pola dari (model of) pengalaman dan

perilaku seseorang.95 Di sisi lain, agama juga yang akan mewarnai bagaimana

seseorang bertingkah laku selanjutnya. Oleh karena setiap orang mempunyai

pemahamannya sendiri tentang agamanya, tidak dapat dielakkan lagi tingkah laku

agamanya pun akan berbeda-beda. Di sinilah menunjukkan bahwa selanjutnya agama

akan menjadi pola bagi (model for) tingkah laku manusia.

94Jenis-jenis simbol yang dipandang oleh suatu masyarakat sebagai sesuatu yang sakral sangat bervariasi. Menjelaskan ritus-ritus inisiasi; seperti diantara orang-orang asli Australia; cerita-cerita filosofis yang kompleks, seperti diantara orang Maori; pertunjukan-pertunjukan shamanitas yang dramatis, seperti diantara orang Eskimo, ritus-ritus keji korban manusia dll. Ibid., 57. 95 Agama yang merupakan sisem kepercayaan termasuk dalam aspek kebudayaan kehidupan manusia. Kebudayaan sendiri merupakan cara bertingkah laku yang dipelajari. Ia bukan merupakan warisan genetis, melainkan merupakan hasil dari proses berlajar, dan senantiasa selalu mengalami perubahan seiring sifat manusia yang selalu belajar dengan lingkungannya. Liihat: R. Ember dan Melvin Ember, konsep Kebudayaan, dalam T.O. Ihromi (ed.), Pokok,pokok Antroplogi Sosial, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1996), 18.

Page 41: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

75

Agama maupun tingkah laku agama seseorang merupakan simbol dari

pengalaman-pengalamannya tentang suatu realitas. Seseorang memeluk agama

tertentu dikarenakan ada sebab-sebab lingkungan yang mempengaruhinya. Berbagai

sistem pengetahuan yang ada dalam pikirannya tentang agama itulah selanjutnya

melahirkan berbagai macam tingkah laku agama yang akan selalu berbeda antara

seseorang dengan yang lain. Oleh karena itu menurut Geertz, setiap studi agama

menuntut dua tahapan operasi. Pertama, orang harus menganalisis serangkaian

makna yang terdapat dalam simbol-simbol agama itu sendiri. Kedua, yang lebih sulit,

karena simbol sangat berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi

individu para anggotanya, hubungan-hubungan itu harus ditemukan di sepanjang

sirkuit sinyal yang terus-menerus diberi, diterima, dan dikembalikan.96

Kajian terhadap agama pada sisi simbolik merupakan salah satu cara kajian

yang sangat penting. Sesuai dengan pandangan Talcot Parsons bahwa watak tertinggi

realitas tidak tunduk pada spesifikasi empiris. Ia memandang bahwa bagian dari

realistis yang perlu dimaknai oleh manusia adalah bagian yang bersifat non empiris,

yang sama sekali tidak terjangkau sebagai sumber ilmu pengetahuan.97 Dengan

pendekatan ini agama dipandang sebagai sebuah teks. Sebuah teks adalah sesuatu

yang harus dibaca dan kemudian ditafsirkan. Oleh karena itu kalau agama diibaratkan

sebagai sebuah teks, maka ia harus "dibaca" dan "ditafsirkan”, dan seperti halnya

membaca teks, seseorang selanjutnya dapat menafsirkan apa saja terhadap fenomena

96Daniel L. Pals, Seven Theories., 418. 97Robert N. Bellah, Beyond Belief: Menentukan Kembali Agama (Esai-esai tentang Agama di Dunia Modern), terj. Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), 346.

Page 42: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

76

keagamaan di masyarakat. Oleh karena itu, ketika kita mengkaji agama dalam

masyarakat yang sangat penting adalah interpretasi atau tafsir.98

Simbol merupakan unit terkecil dari suatu ritual keagamaan, yang

mengandung sifat-sifat khusus dari tingkah laku ritual itu, serta merupakan unit

terpokok dari struktur spesifik dalam ritual. Turner menganggap penting terhadap

unsur-unsur spasial dari situasi ritual, hingga memperoleh makna secara

keseluruhan.99 Demikian juga dalam memaknai simbol keagamaan, yang harus

dibedakan antara makna dari pelaku, makna yang berhubungan dengan dinamika

sosial, dan hubungan antar simbol dalam totalitas. Penafsiran secara umum dapat

dilakukan terhadap berbagai perilaku agama seseorang atau masyarakat, di mana

berbagai perilaku keagamaan mereka diperlakukan sebagai satu-kesatuan yang

merepresentasikan keberagamaannya, dan juga dapat ditafsirkan secara parsial,

dengan memperlakukan berbagai perilaku keagamaan itu sebagai unsur-unsur yang

terpisah, baru kemudian dimaknai secara keseluruhan,100 sehingga Turner

memberikan gagasan mengenai teori penafsiran yang terdiri dari: (1) exegetical

meaning (makna pelaku dari pelaku ritual) (2) operational meaning (makna yang 98Menafsir berarti mengungkapkan, apa yang di anggap sebagai hal-hal yang diacu oleh sebuah teks. Hal-hal yang diacu inilah sebagai “makna” teks yang dianalisis. Dan untuk mengkaji agama dengan memperlakukannya sebagai sebuah teks, kita perlu mengadopsi cara berpikir hermeneutik sebagaimana yang dipergunakan oleh para antropolog dalam menganalisis kebudayaan dengan cara menafsirkannya. Lihat Heddy Shri Ahisma Putra, Ketika orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 403. Ada perbedaan pengertian "menerangkan" dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya dimaknai sebagai pemaparan sebab-akibat munculnya sesuatu gejala, dengan pengertian "me-nerangkan" dalam kajian teks, yang berarti mengungkapkan "makna" dari sebuah teks. Yang diuraikan di sini bukanlah sebab-akibat, tetapi pengertian-pengertian yang ada di balik apa yang tersurat, atau pengertian di balik teks. 99Victor Turner, The Forest of Simbols: Studies in Ndembu Rtual (New York: Cornel University Press, 1967), 19. 100Ibid., 27.

Page 43: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

77

berasal dari perilaku dalam ritual) (3) positional meaning (makna hasil interprestasi

terhadap simbol satu dengan simbol lain dalam keterkaitannya).101

Sebagai sebuah teks, kebudayaan dapat diinterpretasikan dengan baik apabila

interpreter atau penafsir mengenal pesan-pesan di dalamnya dan dapat meresapi

isinya. Di sini kebudayaan harus dilihat dalam konteks ruang dan waktu di mana

kebudayaan itu terjadi.102 Oleh karena itu, dalam menafsirkan agama yang menjadi

realitas dalam masyarakat maupun unsur-unsur yang terdapat di dalam agama

tersebut, harus dipahami bahwa ia merupakan sesuatu yang terkait erat dengan unsur-

unsur tersebut, dan bahkan dengan kebudayaan yang lain dalam satu ruang dan

waktu, dalam hal ini agama diperlakukan sebagai salah satu unsur budaya masyarakat

yang merupakan bagian dari kebudayaan yang ada dan lebih kompleks.

Kedudukan simbol-simbol dan tindakan simbolisme dalam keagamaan,

menurut Bakker, merupakan penghubung antara komunikasi human kosmis dan

komunikasi keagamaan lahir dan batin. Tindakan simbolisme dalam ritual keagamaan

merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja.

Manusia harus melakukan sesuatu yang melambangkan komunikasi dengan Tuhan.

Kehidupan manusia penuh diwarnai dengan simbol-simbol. Sepanjang sejarah

101Ibid., 50-51. Sebagai satu contoh, acara ritual Sekaten dapat diperlakukan sebagai simbol dari umat Islam di Yogyakarta, karena Sekaten dapat dimaknai sebagai bentuk pengamalan ajaran agama. Namun demikian ia juga dapat dianggap sebagai sistem simbol, yang terdiri dari banyak simbol di dalamnya dan merupakan unsur dari Sekaten tersebut; ada gamelan, gunungan makanan, pengajian, dan lain-lain. Selanjutnya masing-masing simbol dapat dimaknai secara terpisah dengan makna masing-masing, baru setelah itu ditafsirkan secara keseluruhan untuk memperoleh makna yang lebih komprehensif tentang tradisi Sekaten. Hal ini juga dapat diterapkan di berbagai perilaku keagamaan dalam masyarakat, terutama yang telah menjadi perilaku kolektif dari masyarakat tersebut. 102E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Pendekatan (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 33.

Page 44: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

78

kehidupan manusia dapat ditemukan tindakan-tindakan manusia dalam agama, sosial,

politik dan lain sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol. Bahkan simbolisme

sangat menonjol peranannya dalam keagamaan.103

Mudjahirin Thohir menyatakan bahwa simbol-simbol keagamaan menjadi

perantara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luarnya. Sebagai

perantara, simbol-simbol keagamaan itu diperlukan dan diperlakukan sebagai “model

dari” (model of) dan “model untuk” (model for). Sebagai “model dari”, simbol-simbol

itu berisi nilai-nilai yang menyelimuti perasaan-perasaan emotif, kognitif, dan

evaluatif manusia sehingga mereka menerima kenyataan. Berdasarkan pada

pengetahuan dan keyakinan keagamaan seperti itu, maka agama lantas menjadi

“model untuk” manusia mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Apa yang

diekspresikan dan bagaimana mengekspresikan, adalah melalui suatu proses

simbolik.104 Sebagai model of, agama dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh latar

belakang dan lingkungan pemeluknya. Sebagai model for, setiap orang akan

melaksanakan agama menurut pengetahuannya, sehingga kemudian apa yang menjadi

perilaku keagamaan merupakan representasi atau simbol dari ajaran agama yang

mereka sadari dan pikirkan, sehingga dapat melihat sedetail mungkin apa saja yang

dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya, terlebih dalam tingkah laku agamanya.105

103A.M. Bakker, Sekitar Manusia (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1978), 97. 104Mudjahirin Thohir, “Agama Masyarakat Nelayan,” dalam http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/03/04/agama-masyarakat-nelayan (03 Mei 2009). 105Studi terhadap agama masyarakat tertentu dengan cara menafsir, harus sebanyak mungkin mengetahui berbagai kondisi seseorang yang dikaji, baik secara individu maupun konteks sosial budaya di mana seseorang itu hidup dengan agamanya itu, hal ini disebut dengan etnografi. Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan., 46.

Page 45: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

79

Simbol-simbol juga seringkali menjadi identitas bagi keberagamaan seseorang

yang membedakan dengan keberagamaan orang lain. Dalam kenyataannya, simbol-

simbol agama ini sangat penting keberadaannya, sebagai awal terbentuknya

komunitas atau masyarakat beragama. Kemudian perilaku agama seseorang, dalam

realitasnya seringkali dilakukan secara kolektif di dalam lingkungan sosialnya.106

Dalam hal ini, akan selalu muncul perilaku kolektif dalam agama. Kondisi demikian

akan lebih memudahkan seseorang untuk membaca dan menafsirkan agama mereka

melalui berbagai perilaku agama yang dilakukan secara kolektif dalam masyarakat

tersebut. Tingkah laku apapun yang telah melembaga menjadi tingkah laku kolektif

akan lebih terbuka bagi siapa saja untuk mengamatinya. Berbagai tradisi dalam

upacara keagamaan atau ritual yang biasa dilakukan secara kolektif akan

memudahkan bagi kajian interpretasi terhadapnya. Ketika tingkah laku agama itu

telah melembaga menjadi tingkah laku kolektif, maka selain perilaku tersebut

merupakan simbol dari individu anggota suatu masyarakat juga merupakan simbol

dari masyarakat itu sendiri secara kolektif.107

Memaknai agama sebagai simbol dalam Islam tidak berarti mereduksi

substansi ajaran agama. la hanya merupakan satu aspek dalam realitas kehidupan

beragama umat Islam. Substansi pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan harus 106Dalam pandangan Durkheim bahwa masyarakat sebagai sekumpulan representasi kolektif simbol-simbol bersama, yang hidup dalam pikiran-pikiran anggotanya. Dalam berbagai kegiatan yang mereka laksanakan secara kolektif seperti dalam upacara keagamaan akan memunculkan pula pikiran dan perasaan bersama. Robert N. bellah, Beyond Belief., 342. 107Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan,. 47. Simbol agama, dalam bentuk sarana misalnya (masjid, gereja, dan sebagainya), selain sebagai tempat untuk melakukan berbagai ritual keagamaan, juga berfungsi sebagai pembeda dengan masyarakat lain sekaligus fungsi integratif masyarakat yang bersangkutan. Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 26-27.

Page 46: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

80

tetap dijaga seperti yang diharapkan oleh Allah ketika menurunkan agama sebagai

pegangan dan petunjuk hidup umat manusia.108 Akan tetapi fungsi simbolik dalam

agama juga sangat penting. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, diturunkan oleh

Allah kepada manusia melalui malaikat dalam bentuk bahasa Arab, yang berfungsi

sebagai pentunjuk bagi manusia Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami

menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu mema-

haminya"109. Bagi umat Islam non Arab jelas untuk dapat mengamalkan isi dan

kandungan Al-Quran harus melalui tahapan penerjemahan dan penafsiran, sehingga

mereka dapat memahami secara benar apa yang diperintahkan atau diajarkan di

dalamnya. Berbagai bidang kajian lain dalam Islam seperti fiqih, tauhid, akhlak,

tasawuf dan lainnya merupakan bentuk-bentuk penafsiran manusia terhadap isi al-

Quran dalam upaya mempermudah bagi umat Islam di manapun untuk mengamalkan

ajaran agama Islam dengan baik dan mudah.

Sisi simbolik tidak hanya terlihat pada aspek ajaran saja, pengamalan ajaran

setiap agama di masyarakat juga berfungsi simbolik. Ibadah yang merupakan bentuk

formal dan esensi dari pengamalan ajaran setiap agama, dalam satu sisi juga sangat

simbolik.110 Dalam Islam, hal ini dengan mudah dapat dipahami pada gerakan-

108Sebagai contoh terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)". 109Q.S. Yusuf (12): 2. 110Seseorang yang rajin beribadah menjadi simbol bahwa seseorang tersebut mempunyai ketaatan yang penuh terhadap Tuhan. Di sisi lain dalam setiap ibadah disertai dengan gerakan-gerakan yang sangat simbolik, yang telah diatur di dalam agama tersebut. Terlebih, apabila dikaitkan dengan berbagai prasarana ibadah yang memberi ruang bagi pikiran manusia atau ijtihad akal di seputar ibadah.

Page 47: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

81

gerakan salat misalnya, hal ini sebetulnya sangat simbolik dan memang telah

ditentukan oleh shari<ah. Pakaian salat yang beraneka ragam, dan pola-pola budaya

yang lain sebagai rangkaian salat selain berfungsi substansif ajaran agama juga

memberi contoh sederhana adanya simbolisme di dalam ibadah umat Islam. Contoh

lain, Ka’bah sebagai benda sakral juga menjadi simbol umat Islam. Umat Islam

diperintah untuk salat menghadap ke kiblat, di mana Ka’bah menjadi kiblat untuk

umat Islam. Semua umat Islam sadar penuh bahwa ajaran itu tidak berarti mereka

salat menyembah Ka’bah seperti orang jahiliyah menyembah berhala. Ka’bah

sebetulnya tidak lain adalah simbol bendawi saja untuk menyatukan konsentrasi

seluruh umat Islam menuju Allah, dan sekaligus membedakan dengan umat lain.111

Sangat kompleksnya simbol-simbol agama dalam praktik beragama yang

dilakukan seseorang maupun masyarakat, juga terlihat dalam beberapa hal yang

memberi ruang untuk ijtihad, yaitu urusan di luar ibadah. Seperti pakaian rapat bagi

wanita muslimah sebagai ajaran agama, tetapi aneka ragam model jilbab di kalangan

muslimah juga sangat erat hubungannya dengan simbolisme.112 Fungsi identitas

masyarakat beragama juga banyak diperankan oleh simbol-simbol agama ini, apalagi

111Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 170. Perintah agar umat Islam menghadap ke Kabah tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 144 yang artinya "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai; Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam; Dan di mina saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya). 112Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab (33): 59 yang artinya: Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orrang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”; yyang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu: dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang” adalah sebagai perintah mengenakan jilbab bagi perempuan muslimah. Misal yang lainnya, munculnya model pakaian atau baju takwa (baju koko) bukan sekedar penutup aurat, tetapi juga berfungsi simbolik dalam Islam (mencirikan orang bertakwa).

Page 48: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

82

setelah berinteraksi dengan budaya dan tradisi masyarakat. Tradisi agama seperti

lebaran, upacara siklus kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan lain

sebagainya lebih jelas menunjukkan simbol-simbol yang penuh makna yang terkait

dengan agama (Islam). Dalam simbol-simbol tradisi, makna simbolik lebih kompleks,

yang banyak memberi ruang bagi siapapun untuk memaknainya. Belum cukup

simbol-simbol praktis, umat-umat beragama juga sering membuat simbol-simbol

khusus sebagai identifikasi agamanya. Seperti aneka ragam bendera milik organisasi-

organisasi Islam juga menjadi simbol yang memang sengaja dibuat berikut dengan

maknanya. 113

Deskripsi di atas sebagai cermin bahwa simbolisme dalam praktik beragama

di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang sulit atau bahkan tidak dapat

dihilangkan. Sistem simbol akan memaknai seluruh aspek kehidupan baik benda fisik

maupun peristiwa, dan simbol tersebut juga bermakna secara berbeda antara penganut

agama yang satu dengan penganut agama yang lain.114 Hal itu terlihat pada perbedaan

sudut pandang atau perspektif dalam menafsirkan simbol-simbol dalam kehidupan

agama dan juga akan menghasilkan makna yang berbeda dengan kebenarannya

masing-masing. Semakin kompleks tingkah laku beragama, semakin kompleks pula

maknanya, meliputi berbagai aspek kehidupan. Seperti penafsiran terhadap

kebudayaan secara umum, pemaknaan terhadap aneka ragam praktik agama di

masyarakat juga bersifat subjektif. Meski demikian, tidak berarti pula setiap

113Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 171. 114Zulkifli, Antropologi Sosial., 148.

Page 49: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

83

penafsiran mereka salah semata, melainkan kebenaran hasil pemaknaan atau

penafsiran memang diukur secara intersubjektifitas. Di sini tingkat kebenaran

tergantung kesepakatan kelompok manusia. Oleh karena itu makna di balik praktik

agama tidak identik bahwa praktik agama seseorang itu salah dan subjektif. Dan

tentunya, pemaknaan ini berada di luar pembahasan tentang nilai atau kualitas praktik

agama seseorang.115

Simbol dalam agama memang mengejawantah dalam tradisi keagamaan116

yang disebut sebagai simbol suci, dan karena penafsiran terhadapnya selalu

bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkan juga merupakan sesuatu

yang sakral. Dengan simbol-simbol suci ini, dalam tradisi keagamaan orang akan

melakukan serangkaian tindakan menumpahkan keyakinan dalam bentuk melakukan

ritual, penghormatan, dan penghambaan. Dengan kata lain, pada tingkat praktis

tertentu, simbol-simbol agama dimanifestasikan dengan serangkaian praktek ritual.117

Dan untuk memahami lebih dalam mengenai konsep ritual dalam tradisi keagamaan,

berikut akan dipaparkan konsep ritual tersebut.

115Berbagai makna, dari sebuah praktik agama di masyarakat juga dapat menjadi satu faktor bertahannya agama dan praktik beragama dalam sebuah masyarakat. Seperti Kejawen yang hidup di Jawa merupakan satu contoh praktik beragama, yang sangat dekat dengan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Praktik-praktik kejawean sangat kuat mengakar di maysrakat Jawa. Lihat M. Soheda, Orang Jawa Memaknai Agama (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2008), 15. 116Tradisi keagamaan merupakan kumpulan atau hasil perkembangan sepanjang sejarah, ada unsur yang masuk dan ada yang ditinggalkan juga. Sebagaimana tradisi Islam bisa terdiri dari elemen yang tidak Islami dan tidak didapatkan sumbernya dari Qur’an dan Hadis, seperti ketika ajaran agama digunakan dan diamalkan masyarakat, maka ketika itu tradisi setempat mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Nur Syam, Islam Pesisir, 17. 117Ibid. Lihat juga Erni Budiwanti, Islam Sasak; Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000), 27.

Page 50: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

84

C. Memahami Konsep Ritual

Sikap mensakralkan sesuatu pasti ditemukan dalam kehidupan beragama,

seperti tempat, waktu, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya. Sakral (sacred)

berarti suci. Pasangan dari sakral adalah profan, yaitu yang biasa-biasa saja, yang

alamiah.118 Kepercayaan sebagai yang suci, menurut Durkheim, datang dari subjek

yang menganggap atau mempercayainya, tidak pada objek yang dipercayai sebagai

yang suci itu. Suci atau sakral bukan sifat benda itu sendiri, tetapi diberikan oleh

manusia atau masyarakat yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Oleh

karena itu, suci adalah sifat pasif pada benda yang disucikan, bukan sifat aktif,

sehingga kesucian benda itu hanya kepercayaan dan anggapan manusia atau

masyarakat yang menyucikannya saja.119

Sifat sakral, menurut Roger Caillois, sejenis kategori perasaan religius yang

menempati benda yang dipercayai sebagai sakral dan memberikan kepadanya 118Kata sakral dan sacring tidak terdapat dalam bahasa Inggris. Dalam budaya dan pemikiran Barat, tidak ada sifat suci yang sebenarnya yang terdapat pada benda, yang ada hanya sifat pasif, sifat yang diberikan kepada benda. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 81. Dan istilah sakral (sacred) dan profan pertama kali dikemukakan oleh Durkheim dalam kajiannya mengenai agama. Menurut Durkheim, kualitas sakral terletak pada kebaikan nilai-nilai yang dikandung sesuatu, sentimen-sentimen kekuatan dari kepercayaan yang bersifat umum. Sedangkan yang profan terletak pada kegunaan dari nilai yang dikandung dari agama itu untuk kepentingan manusia. Demikian juga dengan struktur dan institusi agama memiliki kekuatan sakral dan profan, Gereja, contohnya, dapat mencerminkan representasi yang sakral dan profan tersebut, ia melambangkan representasi simbol-simbol kekaguman dan penghormatan, juga sebaliknya menghadirkan kegunaan-kegunaan tertentu bagi manusia. Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam (Surabaya: Pustaka Eureka, 2005), 40. Talcott Parsons, “Agama dan Masalah Makna”, dalam Roland Robertson, ed. Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: Rajawali Press 1985), 53-54. 119Seperti al-Quran, bulan Ramadhan, Tanah Haram, waliullah, Ka’bah adalah objek yang profan, namun dalam pandangan kaum muslimin ia objek yang sakral suci. Salib, Gereja, hari Natal, kitab Bibel atau al-Kitab dipercayai suci dalam agama Kristen. Kasta Brahmana, kitab Weda, sungai Gangga, hari Nyepi, pura adalah suci dalam kepercayaan agama Hindu. Totem adalah suci dalam pandangan masyarakat primitif yang mempercayainya. Kitab Tripitaka, patung Sidharta Gautama, Vihara, dipercaya suci dalam ajaran agama Budha. Sinagog, kitab Taurat, hari Sabat, suci dalam pandangan penganut agama Yahudi. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 80.

Page 51: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

85

perlakuan atau karakter istimewa. Sakral menempatkan benda tidak dapat didekati

atau dipahami secara rasional, dan kesakralan merupakan ide dasar dari agama (it is

the basic idea of religion) dan agama adalah administrasi terhadap yang sakral

(religion is the administration of the sacred). Kepercayaan, mitos dan dogma

menjelaskan karakteristik bendanya dan perlakuan seharusnya terhadap yang sakral

itu, dan ritual merupakan refleksi atau realisasi dari kepercayaan kepadanya120

Berbeda dengan di atas, pandangan Eliade lebih mengungkapkan kelebihan

manusia yang mampu menghayati kesakralan suatu benda. Kesakralan merupakan

suatu aktivitas kehidupan yang disengaja, supernatural, mengesankan, substansial,

penting dan realitas yang agung. Sedangkan profan adalah yang biasa-biasa saja

dalam kehidupan sehari-hari, yang berubah dan sering kacau. Kebanyakan yang kita

saksikan dan alami dalam kehidupan sehari-hari adalah yang profan. Akan tetapi

yang profan dapat juga kita alami sebagai yang sakral tergantung kepada manusia

yang mengalaminya.121

Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut diperlakukan secara

khusus, sesuatu yang sakral harus dipuja, dihormati, disembah melalui upacara. Ada 120Sesuatu yang sakral berhubungan dengan milik bersama, berlangsung terus-menerus atau dapat pula sebentar saja yang ditujukan kepada seseorang, tempat, waktu, atau benda tertentu. Sebagai sifat benda yang dipercayai, ia bukanlah sesuatu yang dapat ditunjukkan dan dapat dibawa pergi. Ia adalah kualitas yang tidak dipunyai pada benda yang sakral itu sendiri semenjak awal benda itu ada, tetapi dia adalah aura misterius yang ditambahkan kepada benda yang sakral itu. Yang sakral menimbulkan sikap yang juga antagonis. Di satu pihak orang menghormatinya, memberikan sesajen kepadanya, mengunjunginya dengan pengorbanan tenaga dan biaya yang besar, tetapi di segi lain, ia juga berbahaya, punya hal-hal yang tabu dilakukan terhadapnya. Kalau kesuciannya dilanggar dan yang ditabukan dikerjakan juga, yang bersangkutan dipercayai akan mendapat bahaya. Oleh karena itu, sesuatu yang sakral dipercayai juga mengandung kekuatan yang berbahaya, tidak dapat dimengerti, memang demikian, tetapi juga membawa berkah. R. Caillois, Man and Sacred (Connecticut: Free Press, Greenwood Publisher, 1980), 20-23. 121Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 84, 132..

Page 52: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

86

tata cara perlakuan tertentu terhadap sesuatu yang disakralkan. Upacara dan

perlakuan khusus ini tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional. Upacara,

persembahan, sesajen, ibadah keagamaan ini biasanya tidak dapat dipahami alasan

ekonomis dan pragmatisnya. Upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya ini

dinamakan ritual (rites) yang berarti tindakan atau upacara keagamaan.122

Upacara keagamaan, menurut Koentjaraningrat, termasuk dalam salah satu

dari empat komponen unsur religi; Pertama, emosi keagamaan, merupakan suatu

getaran yang menggerakkan jiwa manusia dan menyebabkannya menjadi religius

(berperilaku keagamaan). Kedua, sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan

serta imajinasi manusia tentang Tuhan, keberadaan alam gaib, dan makhluk-makhluk

gaib dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan menentukan tata urut dari unsur-unsur

upacara, serta sarana dan prasarana yang digunakan dalam unsur keagamaan. Ketiga,

sistem ritual berupa upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan manusia

dengan Tuhan. Sistem ini melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam

sistem kepercayaan. Keempat, kelompok-kelompok keagamaan bisa berupa

organisasi sosial keagamaan yang juga menggunakan simbol-simbol dengan ciri khas

masing-masing kelompok keagamaan tersebut.123

Menurut Muhaimin yang mengutip pendapat Funk dan Wagnalls, bahwa ritual

berarti bentuk atau metode tertentu dalam melakukan upacara keagamaan atau

122Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 96. 123Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974), 25. Lihat juga Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi; Pokok-pokok Etnografi (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 201-202.

Page 53: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

87

upacara penting, atau tata cara dalam bentuk upacara.124 Gluckman menyatakan

bahwa upacara sebagai kumpulan aktivitas manusia yang kompleks dan tidak mesti

bersifat teknis atau rekreasional, tetapi melibatkan model perilaku yang sepatutnya

dalam hubungan sosial. Sedangkan ritual adalah kategori yang lebih terbatas, tetapi

secara simbolis lebih kompleks karena menyangkut urusan sosial dan psikologis yang

lebih dalam, dan ritual dicirikan mengacu pada sifat dan tujuan magis.125 Leach lebih

mengartikan ritual sebagai perilaku untuk mengungkapkan status pelakunya sebagai

makhluk sosial dalam sistem struktur di mana seseorang berada. Dalam

pandangannya, sebagian besar tindakan manusia berada dalam skala

berkesinambungan. Di satu sisi, perilaku manusia dapat bersifat sepenuhnya duniawi,

sepenuhnya fungsional, serta sangat teknis dan sederhana. Sementara di sisi lain,

perilaku manusia dapat juga bersifat sakral, sangat estetis, serta secara teknis non-

fungsional dan kompleks. Bagi Leach, setiap aktivitas sosial berada di antara dua titik

ekstrim ini dan seringkali terjadi tumpang tindih. Ini berarti bahwa setiap perilaku

manusia memiliki aspek ritual sekaligus non-ritual.126

Durkheim, R. Smith dan Dirks lebih melihat ritual sebagai penguatan ikatan

tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok. Integrasi itu

dikuatkan dan diabaikan melalui simbolisasi ritual atau mistik, jadi ritual adalah

124Makna dasar ini menyiratkan bahwa pada satu sisi, aktivitas ritual berbeda dengan aktivitas biasa, terlepas dari ada atau tidaknya nuansa keagamaan atau kekhidmatannya. Di sisi lain, aktivitas ritual berbeda dari aktivitas teknis dalam hal ada atau tidaknya sifat seremonial. Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logor, 2001), 113. 125Ibid., 114. 126Ibid., 115.

Page 54: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

88

perwujudan esensial dari kebudayaan.127 Ritual dilakukan dengan beberapa

keinginan, ada yang untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu

pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun ke sawah; ada untuk menolak

bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang; ada upacara mengobati penyakit

(rites if healing); ada upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan

manusia, seperti pernikahan, mulai kehamilan, kelahiran (rites of passage, cyclic

rites); dan ada pula upacara berupa kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian (rites

of reversal) seperti puasa pada bulan atau hari tertentu, kebalikan dari hari lain yang

mereka makan atau minum pada hari lain tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit

ketika berihram haji atau umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram, dan lain

sebagainya.128

Sebuah ritual keagamaan, menurut Gellner, memiliki unsur makna dan nilai

spiritual, sebagaimana diyakini oleh pemeluk agamanya. Oleh karena itu, Gellner

mengatakan bahwa kajian antropologi agama lebih memusatkan perhatiannya pada

berbagai praktik kemasyarakatan yang dianggap memiliki nilai mistik-spiritual,

seperti praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, dan pengobatan “secara bersama-

sama”.129 Di bagian yang lain, ritual juga memiliki tempat yang sama dengan istilah-

istilah lainnya dalam ranah studi agama dan ekspresi pengungkapannya, selain mitos-

127Nur Syam, Islam Pesisir., 19. 128Banyaknya upacara ritual dalam masyarakat, mengingatkan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari rangkaian ritus. E. Norbeck, Religion in Human Life (New York: Holt, Rinehart and Winston Inc., 1974), 40-54. 129David N. Gellner, “Pendekatan Antropologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002), 34.

Page 55: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

89

mitos religius, upacara kurban, mediasi dan orang-orang istimewa. Sebagai tindakan

simbolis, ritual biasanya dipergunakan untuk pengertian-pengertian mistis.130

Lebih jauh, sebagaimana dikutip Langer, ritual lebih merupakan ungkapan

yang bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual biasanya

memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini

mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dan para

pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing. Oleh karena itulah, Robert N.

Bellah mengatakan bahwa setiap tindakan manusia pada dasarnya merupakan

tindakan simbolik atau tindakan yang meniscayakan aspek kebudayaan.131

Sedangkan menurut Nottingham yang lebih mengartikan ritual (ibadat)

sebagai bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati.132 Ritual

ini mencakup semua jenis tingkah laku seperti: memakai pakaian khusus,

mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu,

bersemedi, menyanyi, menyanyikan lagu gereja, berdo’a (bersembahyang), memuja,

mengadakan pesta, berpuasa, menari, berteriak, dan membaca. Dengan demikian,

sifat sakral pada ritual tidak tergantung pada ciri hakikinya, tetapi pada sikap mental 130Ibi Satibi, Ritual Munjung dan Bongkar Bumi dalam Masyarakat Suku Sunda; Studi Antropoligis di Leuwimunding, Istiqro, vol. 7, no. 01 (2008), 61. Mistik ialah makna tersembunyi, kekuatan spiritual yang menimbulkan sifat kagum dan hormat. Mistik juga berarti bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan kebenaran hakiki hanya mungkin didapatkan melalui meditasi dan perenungan spiritual, tidak melalui pikiran dan tanggapan pancaindera. Mistik adalah aspek esoteris dari penghayatan seseorang atau suatu organisasi yang disebabkan oleh ketaatan spiritual. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 106. Suyono juga mengungkapkan bahwa mistik adalah subsistem yang ditujukan untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. A. Suyono, Kamus Antropologi (Jakarta: Akademika Pressisindo, 1985),259. 131R.N. Bellah, Beyond Belief Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudi Harisyah Alam, (Jakarta: Paramadina, 2000), 372. 132Lihat E.K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 16.

Page 56: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

90

dan sikap-sikap emosional kelompok (masyarakat) terhadapnya dan kepada konteks

sosio-kultural pada tempat dilaksanakannya ritual tersebut.

Dhavamony juga membedakan antara upacara dengan ritual. Upacara ialah

setiap organisasi kompleks apa pun dari kegiatan manusia yang tidak hanya bersifat

sekedar teknis atau rekreasional, tetapi juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara

tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial. Sedangkan ritual ialah suatu kenyataan

bahwa ia melibatkan pengertian mistis. Ritual dibedakan menjadi empat macam,

yaitu: 1) tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang

bekerja karena daya mistis, 2) tindakan religius, kultus leluhur, juga bekerja dengan

cara ini, 3) ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial

dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara

kehidupan menjadi khas, 4) ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau

kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan

kesejahteraan materi suatu kelompok.133

Ritual menurut Winnick, sebagaimana dikutip oleh Nur Syam, merupakan

salah satu aspek penting dari upacara. Ritual dalam hal ini adalah seperangkat

tindakan, yang selalu melibatkan agama atau magis, yang dimantapkan melalui

tradisi. Ritual tidak sama persis dengan sebuah pemujaan karena ritual merupakan

tindakan yang bersifat keseharian, seperti pada periode kelahiran, perkawinan,

kematian dan lain sebagainya.134

133Mariasussai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175. 134Nur Syam, “Tradisi Islam Lokal Pesisir”, 21.

Page 57: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

91

Ritual menurut O’Dea merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan

(celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan

ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti

merupakan suatu pengalaman yang suci. Pengalaman itu mencakup segala sesuatu

yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan

yang “tertinggi”, dan hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya

biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga

manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka

muncullah beberapa bentuk ritual agama seperti ibadah.135 Dalam ritual agama,

dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan hiasan atau semacam alat saja,

tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah “pengungkapan iman”. Oleh karena itu

upacara atau ritual agama diselenggarakan pada beberapa tempat, dan waktu yang

khusus, dengan tindakan dan perbuatan yang luar biasa, dan pelbagai peralatan ritus

lain yang bersifat sakral.136

Terdapat juga sebagian pendapat ahli yang menyamakan ritual dalam Islam

dengan ibadah, dan ibadah dengan Rukun Islam. Di antaranya ditemukan dalam

pandangan Bousquet yang berfokus pada fiqih. Ini berbeda dengan pandangan

Muhaimin yang mengatakan bahwa Islam tidak hanya dapat direduksi sebagai fiqih

semata.137 Ritual dalam Islam bagi Muhaimin tidak identik dengan Rukun Islam

135Lihat Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, terj. Tim Penerjemah Yasogama (Jakarta: Rajawali Pres & Yayasan Yasogama, 1995), 5-6. 136 Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama., 31. 137Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 117.

Page 58: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

92

karena dalam kenyataannya ada banyak aktivitas lain yang tidak tercakup dalam

fiqih.138 Rippin juga berpendapat demikian, sampai pada titik tertentu memang

diperbolehkan. Namun, pada batas-batas tertentu perlu dibedakan sebab dalam

konteks lain, penyamaan tersebut justru akan menyesatkan. Dalam pandangan Rippin,

pusat ritual Islam memang pada Rukun Islam -syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji.

Pandangan ini mengacu pada literatur fiqih yang membahas masalah ibadah secara

terpisah dari subjek lain, seperti fara>id, jiha>d, mu’a>malah, hudu>d, dan muna>kahah.

Dengan adanya ibadah pusat ini, Rippin menunjukkan adanya pemahaman ibadah

lain yang tidak termasuk sebagai kategori pusat. Dengan kata lain, ibadah dalam

agama Islam tidak terbatas pada Rukun Islam semata, meskipun itu yang paling

utama. Rippin mencatat bahwa perayaan maulid, berdo’a, dan melakukan ziarah

kubur merupakan “ritual” tambahan yang dianggap sangat penting bagi orang Islam

dalam mengekspresi keimanan mereka.139

Senada dengan pandangan di atas, Denny juga mengartikan ritual Islam

sebagai ekspresi doktrin Islam.140 Keduanya saling menguatkan dalam proses

penemuan dan disiplin agama yang menyatu. Denny menegaskan bahwa istilah paling

mendasar untuk ritual Islam adalah “ibadah” yang berarti memuja atau melayani

kepada Tuannya, sebagaimana bawahan kepada atasan. Akan tetapi, ia membuat

kategori ihwal ibadah Islam menjadi ibadah “utama” berupa semua kewajiban formal

138Ibid. 139A. Rippin, Muslim: Their Religious Belief and Practice (London: Rouledge, 1990), 98. 140Fredrick M. Denny, “Ritual Islam: Perspektif dan Teori” dalam Richard C. Martin, ed., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2002), 86.

Page 59: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

93

Islam yang dimasukkan dalam Rukun Islam. Dalam hal ini, Denny mengatakan

bahwa “ibadah” merupakan bagian utama ritual Islam dan terdapat aktivitas ibadah

lain yang bersifat “non-utama” yang juga diatur dalam Islam. Denny memberi contoh

misalnya, hari raya Idul Adha yang tidak terpisah dari haji, hari raya Idul Fitri yang

tidak terpisah dari puasa Ramadhan, dan terdapat salat khusus pada saat terjadi

gerhana atau bencana alam yang bervariasi berdasarkan standar yang sudah

ditetapkan.141 Denny juga menyatakan bahwa praktik ritual Islam populer, seperti

wasi>lah dari orang-orang suci dengan cara mengunjungi makam mereka termasuk

ibadah non-utama.142

Dari uraian di atas perihal konsep ritual dalam Islam, dapat ditegaskan bahwa

fenomena agama adalah fenomena universal manusia, merupakan gambaran bahwa

keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali

praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran

agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara

doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama.

Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak

berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama

dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu

berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya. Kenyataan yang

demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah

141Ibid., 92. 142Ibid., 87.

Page 60: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

94

masyarakat –baik dalam wacana maupun dalam praktis sosialnya– menunjukkan

adanya unsur konstruksi manusia. Pernyataan ini tentunya tidak berarti bahwa agama

semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara

konstruksi Tuhan seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci dengan konstruksi

manusia berupa interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada

praktik ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran

agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya yang telah melekat di

dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama

berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Melihat agama di masyarakat

adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh

penganutnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang bagaimana hubungan agama

(Islam) dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan dalam

suatu masyarakat tertentu.

D. Memahami Dialektika Islam dan Budaya Lokal

Pernyataan bahwa fenomena agama adalah fenomena universal manusia

merupakan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas

budaya di sekelilingnya. Antara agama dan budaya keduanya sama-sama melekat

pada diri setiap orang beragama, dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal,

praktik agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya. Oleh

karena itu, kebudayaan sangat berperan penting dalam membentuk sebuah praktik

Page 61: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

95

keagamaan bagi seseorang atau masyarakat.143 Seringkali praktik-praktik keagamaan

pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian

disesuaikan dengan lingkungan budaya.

Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya lokal terlihat sangat jelas

dalam praktik ritual agama dalam masyarakat di Nusantara.144 Setiap agama memiliki

sifat yang berbeda dalam interaksinya dengan konteks budaya lokal. Demikian juga

dialektika antara Islam dan realitas budaya selalu mungkin terjadi, karena Islam tidak

berada dalam realitas yang vakum -selalu original. Islam akan senantiasa bersentuhan

dengan budaya lokal yang akhirnya dapat berupa akulturatif, sinkretis, atau

kolaboratif.145 Misalnya perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan

tradisi sungkeman -bersilaturahmi kepada yang lebih tua- adalah sebuah bukti dari

keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Mengingkari keterpautan agama

dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu

berhubungan dengan manusia, yang pasti senantiasa dilingkari oleh budayanya. 143Kebudayaan tidak hanya melahirkan bermacam-macam agama, ia juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya berbagai macam praktik beragama dalam satu payung agama yang sama. Di sisi lain, agama sebagai sebuah ajaran yang luhur dari Tuhan pada gilirannya juga akan membentuk sebuah tatanan budaya baru. Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 42-43. 144Istilah budaya lokal dalam bahasa sehari-hari identik dengan istilah kebudayaan daerah. Namun, kurang tepat dalam hal ini, karena istilah daerah ditentukan batasnya oleh tujuan dan keputusan politik melalui undang-undang atau peraturan yang di dalamnya belum tentu terjadi kesamaan budaya, satu darah memungkin adanya berbagai budaya. Sedangkan batasan masyarakat yang mewakili budaya adalah suku Bangsa. Suku adalah golongan penduduk suatu daerah yang membentuk kesatuan sosial, mempercayai bahwa mereka berasal dari satu keturunan dan memiliki tanah, adat, bahasa, dan pemimpin bersama. Ibid., 47-48. 145Islam bercorak akulturatif adalah hasil perjumpaannya dengan budaya lokal dalam waktu yang sangat lama, tetapi tidak dalam bentuknya yang saling mengalahkan. Sinkretik adalah hasil perpaduan antara ajaran Islam dengan Hindu, Budha dan kepercayaan Animisme yang saling mengalahkan, dan kebanyakan yang kalah adalah ajaran Islam, sehingga yang tampak di luar adalah Islam akan tetapi yang mendalam adalah kepercayaan lokal. Dan kolaboratif ialah hasil konstruksi bersama antara agen dan masyarakat dalam penggolongan sosial, sehingga terbentuk corak Islam yang khas. Nur Syam, Sosiologi Komunitas Islam., 111.

Page 62: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

96

Realitas empirik yang demikian itu juga memberikan arti bahwa

perkembangan agama dalam sebuah masyarakat -baik dalam wacana dan praktis

sosialnya- menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu

pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan

hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan yang seperti yang

tercermin dalam kitab-kitab suci dengan konstruksi manusia berupa terjemahan dan

interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktik ritual

keagamaan.146

Di Indonesia, usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan

sosial telah banyak dilakukan. Seperti bukunya Clifford Geertz The Religion of Java

yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer di Indonesia khususnya di

Jawa.147 Dalam diskursus interaksi antara agama -khususnya Islam- dan budaya di

Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak peneliti untuk melihat lebih

mendalam tentang interrelasi antara keduanya.148 Keterpengaruhan itu bisa dilihat

146Pengaruh lingkungan budaya yang melekat sangat kuat pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, dari cara berpikir sampai mengaflikasikan hasil pikiran tersebut. 147Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami agama (Islam). Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Jamhari Ma'ruf, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam” dalam http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp (05 Januari 2010). Karya Geertz ini disebutkan untuk memberikan ilustrasi bahwa kajian perihal dialektika agama dan budaya di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas, dan dapat melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masyarakat dalam tataran akar rumput, serta memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. 148Geertz memberikan gambaran bahwa masyarakat Jawa memiliki agama sendiri yaitu agama lokal yang berisi kepercayaan terhadap numerologi, kekuatan gaib, dan tradisi ritualnya, yang diidentikkan dengan kaum abangan (pedesaan). Kaum santri (dipasar) yang memiliki keyakinan ”kuat” terhadap agama Islam, serta kaum priyayi yang berpusat di kota, lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu/Budha. Nur Syam, Islam Pesisir., 23.

Page 63: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

97

dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz

ataupun mereka yang melakukan kritik terhadap wacana Geertz.149

Islam sebagai sebuah agama, dalam penyebarannya menghadapi sistem nilai

yang beragam. Namun, proses dialektika Islam dan tradisi budaya lokal

memperlihatkan interaksi yang cukup intens antara agama yang bersifat universal dan

nilai, norma, serta praktik sosial yang bersifat lokal. Islam tidak hanya

mempertimbangkan tradisi budaya tersebut dalam proses penyebarannya, tetapi juga

telah melakukan pelbagai proses pembaruan tradisi baru. Islam bukan hanya

merupakan kumpulan doktrin Ilahi dan kenabian yang transenden, tetapi juga

terwujud dalam realitas sosial. Sebagai kenyataan, adanya Islam sebagai pandangan

dunia dan konsep realitas di satu pihak dengan Islam sebagai realitas empiris di pihak

lain mencerminkan adanya “dua wajah” dalam memahami dan mengkaji Islam. Dua

wajah Islam yang berbeda itu dirumuskan oleh para ahli dengan menggunakan

pelbagai kerangka. Seperti konsepsi Fazlur Rahman bahwa tradisi Islam bisa terdiri

dari elemen yang tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur’an dan

Sunnah. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara Islam itu sendiri dengan sejarah

149Beberapa pandangan senada dengan Geertz di antaranya ialah Mulder dalam tulisannya tentang Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya (1999). Dengan cara pandang lokalisasi, Mulder mengemukakan bahwa agama di Asia Tenggara adalah agama yang telah mengalami lokalisasi. Demikian juga dengan Andrew Beaty dalam tulisannya Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan (1994), menyatakan bahwa slametan inti dari keyakinan agama Jawa popular. Sedangkan yang mengkritisi pandangan Geertz seperti Bachtiar (1981), Hefner (1985), Hendroprasetyo (1993), Suhartini (1997), Woodward (2000), Muhaimin (2001), Budiwanti (2000) dan juga Nur Syam dalam tulisannya yang bertitel Menelusuri Dinamikan Santri dan Perubahan (2000), dinyatakan bahwa pembagian trikotomi Geertz tidak mengacu pada kenyataan sebenarnya tersebab oleh ”kesalahan” konseptualisasi antara abangan dan santri di satu sisi dengan priyayi di sisi lain. Lebih lengkap lihat Ibid., 23- 28. Juga Nur Syam, Sosiologi Komunitas Islam., 122-128.

Page 64: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

98

Islam atau tradisi Islam.150 Di Indonesia, Hamka terkenal sebagai penulis sejumlah

karya tentang sejarah, juga membuat kategorisasi dan perbedaan antara sejarah Islam

di satu pihak dengan sejarah umat Islam di pihak lain. Dalam pandangannya, sejarah

Islam mengacu kepada sejarah Islam normatif dan doktrinal, sedangkan sejarah umat

Islam merupakan dinamika penganut agama Islam dalam suatu rentang waktu

dinamika dan pergumulan itu. Di dalam perjalanan sejarah, hal ini tidak selalu

merupakan perwujudan dan pengungkapan dari Islam normatif secara sempurna.151

Perbedaan lain diperkenalkan oleh G.V. Grunebaum, dengan mengambil

kerangka analisis yang diperkenalkan oleh antropolog Robert Redfield mengenai

ihwal tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Kerangka tradisi

besar dan tradisi kecil ini dipopulerkan oleh Grunebaum sebagai alat untuk

menjelaskan Islam. Dalam konteks Islam, tradisi besar difahami sebagai Islam

doktrinal-normatif, sedangkan tradisi kecil merupakan aktualisasi Islam dalam

realitas sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Dalam

perkembangan wacana kajian Islam (Islamic studies) selanjutnya, istilah tradisi kecil

menjadi tradisi atau budaya lokal (local tradition), yakni Islam yang mengejawantah

di dalam lingkungan masyarakat dan sosial budaya lokal tertentu.152

150Dalam dimensi historis, boleh jadi tradisi Islam bisa terdiri dari elemen yang tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi dapat dibedakan antara Islam itu sendiri dengan sejarah Islam atau tradisi Islam. Ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu diamalkan dan digunakan dalam suatu wilayah –sebagai pedoman kehidupan- maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Nur Syam, Islam Pesisir., 17. 151Hamka, Sejarah Umat Islam I (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), cet. ke-6, 119-20. Sen 152Azyumardi Azra, “Islam dan Akomodasi Budaya” dalam Azyumardi Azra, ed., Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), 65-67.

Page 65: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

99

Kerangka perbedaan selanjutnya diperkenalkan oleh sejarawan Marshall G.S.

Hodgson. Kategorisasi Hodgson terdiri dari tiga macam; pertama Islamic, yaitu

doktrin normatif sebagaimana terdapat pada teks-teks Al-Qur’an, Hadist, dan teks-

teks baku lainnya; kedua, Islamicate, yaitu Islam yang mengejawantahkan secara

historis-empiris, yang mempengaruhi dan terwujud dalam pelbagai bidang kehidupan

sosial-budaya muslim; dan ketiga, Islamdom, yaitu Islam yang terwujud sebagai

kekuatan politik dan kekuasaan. Sepanjang sejarah, sejak masa-masa awal telah

terjadi kesenjangan antara Islam dengan umat Islam, antara Islam tradisi besar dengan

Islam tradisi kecil, atau antara Islamic dengan Islamicate. Kesenjangan tersebut pada

gilirannya dapat memunculkan ketegangan dan konflik antara doktrin normatif-

teologis Islam dengan realitas dan perkembangan sosial-budaya.153

Adanya eksistensi kedua ranah Islam seperti dikemukakan di atas dengan

dinamikanya yang khas itu dapat dilihat dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara

sejak masa paling awal penyebarannya, pada proses Islamisasi selanjutnya, dan

bahkan sampai dewasa ini. Sebuah kenyataan sejarah bahwa masuknya Islam ke

Indonesia (baca; Nusantara) lebih banyak mengandalkan jalur-jalur kultural daripada

cara kekerasan. Dapat dibuktikan betapa banyak kajian yang memunculkan teori

tentang mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Indonesia.154 Islam sebagai gerak

agama baru ternyata menyajikan pola kehidupan yang membolehkan ruang gerak

153Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History In a World Civilization I: The Classical Age of Islam (Chicago: The University of Chicago, 1974), 71-72. 154Teori-teori kedatangan Islam di Nusantara dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 24-26.

Page 66: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

100

lebih luas daripada tata cara yang dipakai secara ketat pada agama Hindu, di mana

menurut ajaran Hindu seorang pedagang lebih rendah daripada para warga wangsa-

wangsa yang lebih tinggi.155

Taufik Abdullah, menyebutkan bahwa proses penyebaran dan aktualisasi

Islam Nusantara umumnya melibatkan dinamika konflik dan akomodasi dengan

pandangan dunia serta sistem dan tradisi sosio-budaya lokal. Dengan pretensi ini,

Islam tetap diyakini oleh setiap kaum muslim mampu mengatasi (transenden) setiap

perbedaan dan variasi lingkungan sosial dan kultural yang ada di kalangan kaum

muslim.156 Memang tidaklah mengherankan jika terdapat ketegangan antara Islam

sebagai agama wahyu dan realitas sosial-kultural yang tumbuh, antara doktrin yang

abadi serta universal dan dinamika yang dihadapi manusia dengan sekitarnya dan

sesamanya pada ruang dan waktu yang berbeda. Ketegangan juga akan semakin

meningkat bila kalangan umat Islam, baik secara individual maupun komunal -dalam

bentuk organisasi atau gerakan tertentu-, sangat menekankan watak universal dan

abadi tersebut dengan mengingkari keabsahan realitas sosial-kultural lokal.157

155Dan ketika para penguasa masuk Islam, maka para kawula juga banyak yang masuk Islam. Dengan kata lain, para penguasa pada saat itu juga turut serta mempermudah penyebaran Islam di kalangan para kawula. Clifford Geertz, The development of Javanese Economy: A Socio-Cultural Approach (Canbridge, Massachusetts, 1956), 93. 156Ketegangan dan konflik di antara Islam dengan budaya lokal bersumber pada sifat dan karakter Islam sebagai agama wahyu (ad-din as-samawi, atau revealed religion) yang universal dan berlaku di setiap zaman dan tempat (as-salih fi kull az-zaman wa al-makan). Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 14. 157Gerakan pemurnian Islam (puritan) pada umumnya berorientasi kepada purifikasi/usaha menjaga keautentikan kemurnian Islam (authentic Islam) dari percampuran dengan budaya lokal, mereka menganggap budaya lokal bukan bagian dari ajaran Islam, karena tidak didapatkan sumbernya dari al-Qur’an dan Hadis, dan termasuk dalam kategori bid’ah yang harus ditinggalkan. Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 109. Lihat juga A. Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), 73.

Page 67: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

101

Dinamika perkembangan Islam di pelbagai tempat menegaskan kondisi

objektif yang mempengaruhi proses dialektika kultural yang berlangsung secara

berbeda-beda di tempat dan adat yang berbeda. Proses dialektika Islam dan tradisi

lokal dapat dilihat pada kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi lokal

serta pada kemampuannya untuk mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman.

Dalam proses penyesuaian tersebut, jelas bahwa Islam tidak hanya melakukan

“penjinakan” (domestikasi) terhadap dirinya -dengan mengkompromikan kerangka

universalnya- sehingga lebur dalam tradisi dan adat lokal, tetapi juga

“mengeksploitasi” sejauh mungkin unsur-unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan

ke dalam nilai Islam yang normatif. Seperti strategi para wali di Jawa dalam

mensyiarkan Islam dengan mengadopsi pelbagai tradisi lokal, dengan wayang dan

gamelan yang digunakan dapat dilihat sebagai salah satu contoh klasik dalam proses

penyebaran Islam.158

Proses dialektika Islam dengan tradisi lokal berhubungan dengan tiga kondisi

penting. Pertama, proses islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan

kebudayaan Islam berhadapan dengan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan

adat lokal. Interaksi Islam dengan sistem nilai lokal ini pada gilirannya melahirkan

pelbagai bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam merupakan “pendatang baru” di 158Para wali di Jawa dengan kreatif memanfaatkan unsur lokal seperti gamelan dalam penyebaran agama Islam. Legenda dan mitos ihwal Wali Songo di Jawa merupakan indikasi bagaimana proses islamisasi terjadi. Seperti Sunan Kudus, misalnya menggunakan sapi (hewan suci umat Hindu) sebagai media dakwah pada masyarakat yang sebagian besar berlatarbelakang kepercayaan agama Hindu. Sunan Kalijaga menciptakan perayaan Sekaten untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW dengan gamelan yang dibunyikan di Masjid Agung dekat keraton dan diakhiri dengan dengan pembacaan Sirah an-Nabi (atau riwayat Nabi Muhammad SAW). Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisanga (Bandung: Mizan, 1996), 66-68.

Page 68: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

102

dalam masyarakat kepulauan Nusantara. Sebelum Islam masuk, telah ada sistem

keyakinan, kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya tradisi spritualitas yang dianut

komunitas lokal -kepercayaan asli- serta agama Hindu-Budha. Kepercayaan lokal dan

tradisi Hindu-Budha ini tidak lagi berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi telah

bercampur membentuk suatu sistem kepercayaan yang sinkretik. Ketiga, Islam bukan

merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem nilai yang ada dalam

masyarakat Nusantara, karena selain kepercayaan lokal dan Hindu-Budha,

belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang

dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan bangsa Eropa (Barat) di

Asia Tenggara.159

Isyarat bagaimana Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki

ciri tradisi dan adat tertentu, juga diperkenalkan oleh pelopor studi hukum adat, van

Vollenhoven. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang telah ada sebelum

Islam menjadi perdebatan di pelbagai daerah, yang umumnya dianggap sebagai

daerah yang paling intens menerima proses islamisasi yang keterikatannya pada adat

begitu kuat, seperti Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

Hal ini terutama menyangkut persoalan bagaimana mempertemukan atau

menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari.160 Pada suku-suku

bangsa yang beragam ini terdapat sistem kepercayaan serta tradisi keberagamaan dan

159Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, 15; Baca juga Taufik Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara”, dalam Taufik Abdullah & Sharon Siddique, ed., Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1989). 160Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), 20.

Page 69: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

103

budaya lokal yang dianut masyarakat jauh sebelum masuknya Hindu-Budha dan

Islam. Agama lokal yang sangat bervariasi dari tempat ke tempat tersebut merupakan

sistem keyakinan yang menunjukkan keberadaan kebudayaan pra-Hindu, Budha dan

Islam.161

Kepercayaan dan tradisi keagamaan lokal dalam masyarakat yang masih

mengandung sisa-sisa tradisi pada dasarnya bertumpu pada keyakinan ihwal adanya

aturan tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam dunia. Aturan

suprakosmis itu bersifat stabil, selaras, dan kekal. Karena itu, mereka melakukan

pelbagai cara dalam menjaga tatanan kosmis, seperti menceritakan kembali mitos-

mitos, menyebarkan cerita legenda yang masih diperpegangi, mempraktikkan isi

mitos, melakukan upacara adat, menghadirkan tata cara alam dengan menari,

mengatur tata cara menanam dan memanen, berkurban, dan melakukan selamatan,

serta menjalankan upacara peralihan hidup (life-cycle), dan lain sebagainya.162

Pelbagai praktik keagamaan tersebut menunjukkan masih kuatnya pengaruh

kepercayaan lokal di pelbagai tempat yang tidak begitu saja hilang pasca masuknya

pengaruh luar/asing yang datang kemudian. Secara umum, dapat difahami bahwa

ajaran Islam diterima dengan baik di pelbagai tempat, proses Islamisasi dapat

berlangsung dengan baik dan menjadi agama yang semakin mengakar dalam

161Kepercayaan lokal tersebut di Tapanuli misalnya, dikenal dengan nama Parmalim, Parbaringin, atau agama Si Raja Batak; di Kepulauan Mentawai disebut Sabulungan; di Kalimantan disebut Kaharingan; di Toraja disebut Aluk To Dolo; di Sulawesi Tengah disebut Parandangan; di Sumba disebut Bara Marapu; di Nias disebut Ono Niha; di Sikka (Maumere-Flores) disebut Ratu Bita Bantara; dan di Bali disebut Bali Aga. Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan & Cipta Loka Caraka, 1981), 83-84. 162Ibid., 84-85.

Page 70: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

104

masyarakat terutama karena bersifat asimilatif dengan cara mempertimbangkan

tradisi lokal. Pemanfaatan unsur-unsur budaya lokal telah memungkinkan agama

Islam diterima oleh penduduk. Penggunaan unsur atau institusi tradisional, seperti

pesantren pun, sebagai lembaga pendidikan dan tempat penyebaran Islam,

sesungguhnya merupakan prototipe dari lembaga pendidikan masa pra-Islam.163

Penyesuaian diri dengan konteks lokal dapat pula dilihat pada bentuk bangunan

masjid pertama di Indonesia, seperti masjid Demak, yang menyerupai bentuk

arsitektur lokal yang merupakan warisan Hindu. Sejalan dengan itu, peran para

saudagar pun sangat besar dalam penyebaran agama Islam. Selain menerima dan

menggunakan bahasa setempat, mereka juga menerima adat istiadat lokal.164 Menurut

Kuntowijoyo, gagasan persamaan dalam Islam memiliki daya tarik bagi kelompok

saudagar yang sedang tumbuh, suatu sistem yang tidak dimiliki dalam konsep

stratifikasi sosial Hindu.165

Pengaruh Islam juga penting dalam pembentukan kebudayaan populer. Hal ini

tampak dari kosakata bahasa Jawa dan Melayu yang banyak menyerap konsep Islam

dalam upacara.166 Upacara “pengiwahan” (pemuliaan), upacara tabut di

163Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 2: Jaringan Asia, terj. Winarsih P.A, dkk., (Jakarta: EFEO-Jakarta & Gramedia, 2005), 128-129. 164Ibid. 165Ajaran Islam yang tidak mengenal golongan-golongan telah menarik minat para penganut agama Hindu yang mengenal sistem kasta, sehingga mereka akhirnya juga menganut agama Islam. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 44. 166Sejak berdirinya Kesultanan Demak, muncul pelbagai upacara keagamaan, seperti sekaten dan gerebeg yang berkaitan dengan perayaan maulid (kelahiran) Nabi SAW. Upacara garebeg yang mulai dirayakan oleh Keraton Yogyakarta sejak pada 1755 M ini masih menjadi upacaya yang penting yang melambangkan proses syiar agama Islam. Irwan Abdullah, “Kraton, Upacara, dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa”, Humaniora, vol. 1, no. 2, (1991).

Page 71: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

105

Minangkabau untuk memperingati maulid (kelahiran) Nabi SAW atau upacara

Sekatenan di Yogyakarta menunjukkan kuatnya pengaruh budaya Islam. Pengaruh itu

juga dapat dilihat dalam pelbagai bentuk seni tari, musik, seni kaligrafi, sastra,

arsitektur. Tari Seudati dan Saman di Aceh, atau tari Srandul, Kuntulan, Emprak, dan

tari Badui di Jawa menegaskan pengaruh Islam tersebut. Pengaruh Islam dalam seni

musik juga dapat dilihat pada musik gambus, kasidah, dan terbangan. Perpaduan

antara budaya Islam dengan Jawa tampak dalam seni tembang, khususnya dalam jenis

laras madya yang meskipun menggunakan teks Jawa, isinya adalah selawatan atau

puji-pujian kepada Nabi SAW.167

Penolakan dan penerimaan terhadap Islam terjadi tidak hanya karena ada

sistem nilai yang sudah mapan di pelbagai tempat, tetapi juga Islam merupakan

sistem ideologi yang bersifat universal dan kosmopolitan, seperti tampak dari

lahirnya kebudayaan golongan menengah Islam yang terpusat di kota-kota pesisir,

baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Kemudian Islam juga

menjadi agama yang memiliki pengaruh ke daerah pedalaman, di mana Islam sebagai

sistem ideologi yang memiliki ciri universal menghadapi pelbagai sistem nilai yang

beragam. Pada saat Islam menyangkut usaha pencarian pesan teologis dari kebenaran

agama, sifat universal agama ditegaskan. Pencarian makna kehidupan di sini, seperti

ditunjukkan oleh Taufik Abdullah, dihadapkan kepada kenyataan spiritual bahwa

Tuhan adalah Maha Pencipta. Sifat lokal dari keberagamaan terjadi pada saat

167Perpaduan ini juga dapat dilihat pada kitab Betal Jemur atau Adam Ma’na, kitab yang berisi norma-norma kehidupan, yang sangat dipengaruhi oleh kitab Mujarabat. Kuntowijoyo, Paradigma Islam., 46.

Page 72: BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/Bab 2.pdf · 35 BAB II MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol

106

munculnya kecenderungan non-teologis dalam interaksi dengan lingkungan sosial

dan kultural. Lingkungan sosial budaya merupakan suatu realitas objektif yang

memiliki daya paksa di dalam proses keberagamaan sehingga memberi corak lokal

pada setiap tindakan keagamaan yang muncul.168

Dalam interaksi Islam sebagai kenyataan universal dan lokal pelbagai proses

sosial terjadi. Perselisihan pendapat paling tidak telah melahirkan dua kubu yang

mempertanyakan hakikat agama itu sendiri, apakah agama memenuhi tuntutan

doktrin atau tuntutan sosial, dan bagaimana keduanya dapat dipadukan. Proses

akomodasi kultural Islam memerlihatkan interaksi yang cukup intens antara agama

yang bersifat universal dan nilai, norma, serta praktik sosial yang bersifat lokal. Islam

tidak hanya mempertimbangkan tradisi tersebut dalam proses penyebarannya, tetapi

juga telah melakukan pelbagai proses pembaharuan dengan pembentukan tradisi baru.

Di satu pihak, Islam membiarkan proses kontekstualitas Islam dengan realitas lokal

terjadi dalam pelbagai bentuk sejauh tidak mehilangkan prinsip-prinsip dasar Islam.

Di lain pihak, Islam telah memberikan corak dan sifat-sifat yang khas dalam pelbagai

dimensi kehidupan di pelbagai tempat.

168Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat., 50.