bab ii memahami simbol budaya dan agama a. konsep …digilib.uinsby.ac.id/707/12/bab 2.pdf · 35...
TRANSCRIPT
35
BAB II
MEMAHAMI SIMBOL BUDAYA DAN AGAMA
A. Konsep Kebudayaan sebagai Sistem Simbol
Memahami konsep kebudayaan sebagai sistem simbol tentunya tidak terlepas
dari pemaknaan terhadap konsep kebudayaan itu sendiri. Dalam konteks ini,
setidaknya perbedaan pandangan terhadap konsep kebudayaan masih terjadi. Untuk
itu, sebelum memahami lebih jauh mengenai konsep kebudayaan sebagai sistem
simbol, terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai konsep kebudayaan.
1. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan1 adalah istilah kompleks. Begitu kompleksnya sehingga terdapat
banyak definisi tentang kebudayaan itu. Kalangan ilmuwan sosial sering melihat
kebudayan sebagai realitas, sesuatu yang diciptakan, dihasilkan, dibentuk, atau sudah
dilembagakan. Ini berarti kebudayaan dianggap sebagai produk bukan sebagai
1Kebudayaan (culture bahasa Inggris, cultuur bahasa Belanda, tsaqafah bahasa Arab) berasal dari kata Latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan. Selanjutnya kebudayaan sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Ditinjau dari bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, budhayah, bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dan kemudian diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal pikiran dan hasil dari tenaga pikiran tersebut. Ishomuddin, Sosiologi Perspektif Islam (Malang: UMM Press, 2005), 83. Lihat juga Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1963), 36-38. Kata budaya juga sebagai perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berupa cipta, karsa dan rasa. Cipta artinya kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya baik lahir maupun batin, hasil cipta ini berupa berbagai ilmu pengetahuan. Karsa artinya kerinduan manusia untuk menginsafi tentang hal sangkan (dari mana manusia sebelum lahir) dan paran (kemana manusia sesudah mati), hasilnya ialah berupa norma-norma keagamaan, kepercayaan. Rasa artinya kerinduan manusia akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan dan menolak keburukan/kejelekan, hasilnya berupa bermacam-macam kesenian. M.M. Djoyodigono, Azas-azas Sosiologi (Yogyakarta: Gajahmada, 1958), 24-27.
36
proses.2 Kebudayaan sebagai produk berasal dari cara pandang yang mencermati
budaya sebagai artefak (produk masa lalu) an sich. Dan anggapan ini akan
berhadapan dengan yang menilai budaya dari sisi proses. Di mana kebudayaan
sebagai proses ini mengandaikan adanya kontinuitas perkembangan, kebangkitan dan
keruntuhan suatu kebudayaan.3
Menurut Raymond Williams, pengamat dan kritikus kebudayaan terkemuka,
kata kebudayaan (culture) merupakan kata yang paling kompleks penggunaannya
dalam bahasa Inggris, sebab kata ini sering digunakan untuk mengacu pada sejumlah
konsep penting dalam beberapa disiplin ilmu yang berbeda-beda dan dalam kerangka
berpikir yang berbeda-beda pula.4 Williams kemudian merefleksikan tiga arus
penggunaan istilah budaya, yaitu: Pertama, yang mengacu pada perkembangan
intelektual, spiritual, dan entitas dari seorang individu, sebuah kelompok atau
2Sebuah kutipan dari Rene Char “Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat”, menyatakan bahwa pada awalnya kebudayaan adalah nasib, kemudian baru kita memanggulnya sebagai tugas, pada awalnya kita penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga penderita yang menanggung beban kebudayaan tersebut, sebelum kita kemudian bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan merubahnya. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2006), 75. 3Ada dua kebutuhan asasi dalam kebudayaan; di satu pihak kebutuhan kebudayaan menentang perubahan dan mempertahankan identitas, dan di pihak lainnya mempunyai kebutuhan menerima dan mengembangkan identitasnya lebih lanjut. Atas dasar yang kedua inilah kebudayaan akan terus berubah dalam proses. Ibid., 76. 4Pada awalnya, culture dekat pengertiannya dengan kata “kultivasi” (cultivation) yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (dengan istilah kultus atau cult). Sejak abad ke-16 hingga ke-19, istilah ini diterapkan secara luas untuk pengembangan akal budi manusia individu dan sikap-perilaku pribadi lewat pembelajaran. Selama periode panjang ini pula istilah budaya diterapkan untuk entitas yang lebih besar yaitu masyarakat sebagai keseluruhan dan dianggap merupakan padanan kata dari peradaban (civilization). Lihat Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), 7. Menurut antropolog De Haan, peradaban diperlawankan dengan kebudayaan. Peradaban adalah seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan ilmu teknik, jadi semua bidang kehidupan untuk kegunaan praktis. Sedangkan kebudayaan adalah semua yang berasal dari hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat. Ishomuddin, Sosiologi., 90.
37
masyarakat. Kedua, yang mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan
artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, benda-benda seni dan teater)
dalam penggunaan ini, budaya kerap diidentikkan dengan istilah “kesenian”. Ketiga,
yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan,
dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok atau masyarakat.5
Kemudian, Edward B. Tylor memandang konsep kebudayaan sebagai totalitas
pengalaman manusia. Kebudayaan atau peradaban, diambil dalam pegertian etnografi
yang luas, yaitu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, kapabilitas dan kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.6 Definisi ini mencakup beberapa karakteristik:
Pertama, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks (complex whole) yang
mencakup berbagai aspek dan kemampuan sangat luas yang dihasilkan anggota
masyarakat dan sekaligus merujuk pada kesatuan hubungan antar berbagai aspek atau
kemampuan tersebut. Kedua, kebudayaan itu merupakan perilaku yang dipelajari atau
diperoleh melalui belajar dalam pengertian luas yakni social learning. Kebudayaan
sebagai produk social learning ini berkaitan dengan karakteristik complex whole
tersebut, sehingga ia mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, moral dan hukum serta
kebiasaan. Ketiga, penyamaan istilah kebudayaan dengan peradaban. Hal ini 5Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-teori., 8. 6Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 82. Pengetahuan sebagai produk pemikiran tentang cara hidup atau lainnya, keyakinan sebagai manifestasi perasaan terhadap dan kesadaran akan kehadiran ‘yang supernatural’, seni sebagai manifestasi ekspresi emosi, moral sebagai seperangkat adat dan norma sosial dan susila, hukum sebagai seperangkat aturan yang mengatur transaksi ekonomi, politik atau lainnya, dan kebiasaan dalam kehidupan sosial bagi individu dan kelompok dalam masyarakat. Zulkifli, Antropologi Sosial Budaya (Yogyakarta: Shiddiq Press Bangka & Grha Guru, 2008), 79.
38
berkaitan dengan orientasi teoritis evolusionisme, bahwa istilah peradaban cenderung
digunakan untuk mengacu kepada kemajuan yang dihasilkan oleh masyarakat,
sebagai puncak dari proses evolusi masyarakat, yang ditandai dengan teknologi
industri, sistem ekonomi yang berkembang luas, struktur politik yang formal dan
terorganisasi, serta pola pikir dan tindakan yang rasional.7
Menurut A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, terdapat enam pokok
pemahaman mengenai kebudayaan, yaitu: (1) definisi deskriptif, cenderung melihat
budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial
sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya, 2)
definisi historikal, cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialihturunkan
dari generasi satu ke generasi berikutnya, (3) definisi normatif, bisa mengambil dua
bentuk. Yang pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-
pola perilaku dan tindakan yang konkrit. Yang kedua, menekankan peran gugus nilai
tanpa mengacu pada perilaku, (4) definisi psikologis, cenderung memberi tekanan
pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa
berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya.
(5) definisi struktural, menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek
yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi
yang berbeda dari perilaku konkrit. (6) definisi genetik, yang melihat asal-usul
7Dalam pola pikir evolusi tersebut, masyarakat Barat, khususnya Inggris, dianggap lebih maju (progressed) dan beradab (civillized) dibandingkan dengan masyarakat primitif dan berskala kecil, yang pada gilirannya akan berkembang secara evolusi dalam arah yang sama dengan masyarakat Barat tersebut. Ibid.
39
bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Definisi ini cenderung melihat
budaya lahir dari interaksi antar manusia dan tetap bisa bertahan karena
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.8
Demikian juga konsep kebudayaan dari pandangan Clyde Kluckhohn yang
dikutip oleh Geertz dalam bukunya Tafsir Kebudayaan: (1) keseluruhan cara hidup
suatu masyarakat (2) warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya (3)
suatu cara berfikir, merasa, dan percaya (4) suatu abstraksi dari tingkah laku (5) suatu
teori pada pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat nyatanya
bertingkah laku (6) suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar (7) seperangkat
orientasi-orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung (8) tingkah laku
yang dipelajari (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat
normatif, dan (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan, baik dengan lingkungan
luar maupun dengan orang-orang lain (11) suatu endapan sejarah.9
Selanjutnya Keesing mengidentifikasi empat pendekatan terakhir terhadap
masalah kebudayaan. Pertama, yang memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif
dari keyakinan dan perilaku yang dipelajari, yang fungsi primernya adalah
penyesuaian manusia dengan lingkungannya, pendekatan ini diasosiasikan dengan
ekologi budaya dan materialisme kebudayaan.10 Kedua, adalah yang memandang
8 Ibid., 9. Lihat Juga Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (Jakarta: Kencana 2006), 83. 9Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, terj. Fransisco Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 4-5. 10Konsep kebudayaan sebagai sistem adaptif ini ditemukan dalam kajian-kajian tokoh seperti Julian Steward, Leslie White, dan Marvin Harris. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 84.
40
kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apa pun yang diketahui dalam
berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kebudayaan yang
diteliti. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal dengan berbagai
nama seperti antropologi kognitif, atau etnografi baru.11 Ketiga, adalah yang
memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki
bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia, dalam arti
berusaha mencari prinsip universal dari pikiran manusia, dan pendekatan ini adalah
ciri khas dari strukturalisme, paradigma yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-
Strauss.12 Keempat, yang memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri
dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diidentifikasi, dan bersifat publik. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma
yang dikenal sebagai antropologi simbolik, yang dikonsepsikan oleh Clifford Geertz
dan David Schneider.13
11Para pendukung konsep ini seperti Harold Conklin, Ward Goodenough dan Charles O. Frake. Ibid. Dalam pendekatan antropologi kognitif, kebudayaan didefinisikan sebagai sistem pengetahuan yakni hal-hal yang harus diketahui orang agar dapat berprilaku dalam cara-cara yang diterima kelompoknya. Dalam setiap masyarakat, seseorang mengalami proses belajar mendapatkan pengetahuan, menginterpretasi pengalaman, dan dengan pengetahuan dan pengalaman itu ia dapat berinteraksi dengan orang lain secara tepat. Dengan kata lain, yang dikaji antropolog kognitif adalah model kognitif yang digunakan penduduk untuk mengamati, meyakini, mengevaluasi, berkomunikasi, dan bertindak yang membentuk kebudayaan. Mereka menolak konsep kebudayaan sebagai kebiasaan, tradisi, atau bentuk konkret lain dari kelakuan. Zulkifli, Antropologi Sosial., 85. 12Ibid., 84. Sebagai sebuah perspektif, strukturalisme relevan untuk menemukan sturktur logik di dalam pemikiran manusia dengan tradisi dan kebudayaannya. Lahan kajian perspektif ini pada berbagai struktur logis dari berbagai mitos atau dongeng, baik berupa lisan maupun tulisan seperti yang telah diimplementasikan oleh C. Levi Strauss sendiri dalam ungkapannya bahwa tujuan analisis struktural adalah untuk membangun pola, model, atau lebih jelasnya menemukan pola umum yang mendasar. Lebih lengkap lihat Lihat juga Nur Syam, Madzhab-madzhab Antropologi (Yogyakarta: LKiS, 2007), 67-77. 13Kebudayaan dalam perspektif inilah yang akan ditelaah lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya dan sekaligus menjadi pijakan dalam penelitian ini.
41
Keesing kemudian menyimpulkan bahwa secara esensial ada dua pendekatan
mengenai konsep kebudayaan di kalangan antropologi kontemporer. Pertama, para
antropolog yang mendefinisikan kebudayaan dalam konteks pikiran dan perilaku
(pendekatan adaptif yang memandang kebudayaan sebagai suatu sistem sosial budaya
yang terdiri dari perilaku dan keyakinan-keyakinan yang melekat padanya), di mana
sistem sosial budaya ini tersusun dari bentuk-bentuk rutin, adaptif, berpola dari
interaksi yang didukung, dirasionalisasi, dan ditransmisi oleh keyakinan-keyakinan
dan perspektif yang dimiliki bersama. Kedua, mereka yang mendefinisikan
kebudayaan dalam konteks pikiran semata-mata (pendekatan ideasional yang
memandang kebudayaan sebagai sistem simbolik yang terdiri dari keyakinan-
keyakinan dan perilaku yang melekat padanya). Sistem simbolik tersusun dari
perangkat-perangkat makna yang dipelajari, dimiliki bersama, berpola, yang
memberikan kemampuan bagi manusia untuk mempersepsi, menginterpretasi dan
mengevaluasi kehidupan, atau perangkat-perangkat makna yang eksplisit maupun
implisit dan yang terkandung dan diekspresikan dalam keyakinan maupun prilaku.14
Konsep kebudayaan Koentjaraningrat sangat populer di Indonesia.
Menurutnya, kebudayaan diartikan sebagai wujud keseluruhan dari: (1) sistem
gagasan, (2) tindakan atau kelakuan, dan (3) hasil karya. Tiga hal tersebut mengacu
pada kerangka konsep unsur-unsur budaya universal atau cultural universal (seperti
sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem sosial, sistem religi,
14Zulkifli, Antropologi Sosial., 87.
42
sistem bahasa dan sistem kesenian) yang menghasilkan taksonomi kebudayaan.15
Inilah yang disebut dengan kebudayaan dalam perspektif evolusionistik, yaitu
kebudayaan merupakan cipta, rasa dan karsa manusia atau kelakuan dan hasil
kelakuan.16 Dengan demikian, kebudayaan adalah keseluruhan dari kehidupan
manusia yang terpola dan didapatkan dengan belajar atau yang diwariskan kepada
generasi berikutnya, baik yang masih dalam pikiran, perasaan dan hati pemiliknya,
maupun yang sudah lahir dalam bentuk tindakan dan benda.17
Termasuk dasar pertimbangan dalam kajian ini, melihat kepada definisi yang
dinyatakan Berger dalam tulisannya tentang konsep kebudayaan, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Nur Syam dalam bukunya Islam Pesisir, bahwa kebudayaan
ialah totalitas dari produk manusia, yang tidak hanya mencakup produk material
(material artefact) dan produk non-material (sosio-kultural), akan tetapi juga produk
refleksi di dalam isi kesadaran manusia yang dikenal dengan seperangkat kognisi 15Ketiga wujud tersebut dipandang Koentjaraningrat sebagai produk. Sistem gagasan mencakup nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma yang ada dalam pikiran, hati dan perasaan manusia. Tindakan mencakup segala tindakan yang didapat dengan belajar, bukan tindakan refleks. Hasil karya manusia mencakup semua hasil budaya manusia yang bersifat fisik, berwujud benda-benda budaya yang sudah jadi seperti lukisan, arsitektur. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Bina Cipta, 2000), 179-180. Lihat juga Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1986), 168. 16Kebudayaan sebagai sistem yang berisi gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan undang-ungdang dan sebagainya yang berbentuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku ide yang disebut sebagai “tata budaya kelakuan”. Kebudayaan sebagai aktivitas seperti tingkah laku berpola, upacara-upacara yang wujudnya konkrit dan dapat diamati dan disebut sistem sosial berwujud kelakuan. Kebudayaan yang berwujud benda, yaitu benda-benda hasil karya manusia, maupun hasil tingkah laku berupa benda dan disebut material cultur. Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), 14. Lihat juga Nur Syam, Madzhab-madzhab., 17 & 90. 17Kebudayaan dilestarikan oleh pemiliknya dengan mewariskan kepada generasi berikutnya melalui pendidikan formal, informal dan non-formal; dengan berusaha mempertahankan dari infiltrasi kebudayaan asing; dengan mengembangkannya; dengan mendokumentasikannya dalam buku, foto-foto, rekaman dan lainnya; atau melakukan gerakan kultural secara bersama dan berorganisasi. Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2007), 35.
43
manusia. Sedangkan material (material artefact) dan produk non-material (sosio-
kultural) adalah yang disebut dengan kelakuan dan produk kelakuan.18
Pengertian kebudayaan menurut Parsudi Suparlan, juga dipertimbangkan
menjadi pijakan dalam penelitian ini, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah
perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan
untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk
mendorong menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Oleh karena itu,
kebudayaan merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini
kebenarannya. Sebagai pedoman, kebudayaan harus berupa pengetahuan dan
keyakinan-keyakinan, berisi konsep-konsep, teori-teori, etika, moral, dan metode-
metode ataupun petunjuk kehidupan sehari-hari.19 Pengertian kebudayaan sebagai
pedoman ini memungkinkan masyarakat saling berkomunikasi tanpa salah paham.
Dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak, setiap
18Fenomenologi digunakan untuk memahami kebudayaan, di mana kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, dan perilaku manusia dijelaskan dengan mengacu pada pengetahuan atau pandangan pelaku akan perilaku mereka. Misalanya, seseorang bercocok tanam didasari oleh sistem pengetahuan yang ada dalam dirinya tentang kebutuhan hidup, tentang bercocok tanam itu sendiri, tentang kondisi alam yang ada, termasuk juga berbagai keuntungan dan resiko yang mungkin dihadapi di dalam bertani. Dalam kelompok petani, sistem pengetahuan itu telah menyatu secara kolektif dalam diri setiap petani, sehingga muncul berbagai bentuk kelompok petani dan sistem gotong-royong di antara mereka untuk menunjang keberhasilan mereka di dalam bertani. Dan kesadaran kolektif tersebut juga terjadi dalam berbagai budaya dan tradisi yang lain yang terdapat dalam setiap masyarakat. Lihat Khadziq, Islam dan Budaya Lokal; Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: TERAS, 2009), 140-141. Oleh karena itu, tujuan akhir fenomenologi adalah mancari kesadaran kolektif, pandangan hidup, dan bagaimana masyarakat memandang fenomena yang ada. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, alih bahasa A. Sudiarja, dkk (Yogyakarta: Kanisius, 1945), 42. 19Parsudi Suparlan, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, dalam Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu (Jakarta: Pusjarlit, 1998), 111.
44
pelaku yang berkomunikasi bisa meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku lain
yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda
yang secara bersama-sama dipahami makna-maknanya. Di sini kebudayan juga
dilihat sebagai pengorganisasi pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-
simbol, yang berkaitan dengan eksistensi manusia.20 Pada tingkat individual,
kebudayaan yang dimiliki setiap masyarakat menjadi pengetahuan bagi para
pelakunya. Pengetahuan kebudayaan tersebut dapat berbeda satu sama lain,
tergantung pengalaman dan kemampuan masing-masing dalam menjawab setiap
tantangan.21
Dengan memahami definisi kebudayaan seperti di atas, kajian terhadap agama
sebagai realitas dalam masyarakat dapat dilakukan, sebab agama bukanlah wujud dari
gagasan atau produk pemikiran manusia atau kelakuan atau hasil kelakuan. Definisi
kebudayaan sebagai kelakuan dan hasil kelakuan tidaklah dapat digunakan, sebab
kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk kebudayaan. Agama bukan semata-mata
produk kelakuan atau hasil kelakuan. Pengertian strukturalisme mengenai
kebudayaan juga kurang tepat untuk melihat agama, sebab agama bukan hanya
sebagai produk kognitif. Oleh karena itu, dalam hal ini pandangan dan perspektif
yang akan digunakan ialah yang melihat agama sebagai sistem kebudayaan.
20 Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa oleh Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), x. 21 Operasionalisasi dari pengertian kebudayaan tersebut adalah melalui berbagai pranata yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, moral dan etika merupakan inti kebudayaan dan biasanya dinamakan nilai-nilai budaya. Sebab, isinya adalah patokan-patokan penilaian secara budaya mengenai tindakan-tindakan warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Lihat U. Maman Kh. et.al. Metodologi Penelitian Agama; Teori dan Praktek (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 95-96.
45
Sebagaimana yang dikutip oleh Nur Syam dari pernyataan Parsudi Suparlan, bahwa
pada hakikatnya agama adalah sama dengan kebudayaan, yaitu suatu sistem simbol
atau suatu sistem pengetahuan yang menciptakan, menggolong-golongkan, meramu
dan merangkaikan dan menggunakan simbol untuk berkomunikasi dan untuk
menghadapi lingkungannya.22 Dengan demikian, setiap agama akan memiliki sistem
simbol yang disebut sebagai simbol suci yang menggambarkan keberadaan etos dan
pandangan hidup yang secara hakiki merupakan bagian penting bagi eksistensi
manusia. Dengan adanya etos dan pandangan hidup (worldview) yang memancarkan
simbol-simbol suci tersebut, manusia mengadakan kegiatan kehidupan sehari-hari.
Dengan cara demikian, agama menjadi sesuatu yang eksis dalam kehidupan manusia,
karena manusia menginterpretasikan kehidupannya berdasarkan dan dipedomani oleh
agamanya atau simbol-simbol suci yang diyakininya itu.23
2. Kebudayaan sebagai Sistem Simbol
Kebudayaan pada dasarnya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki
secara bersama oleh warga suatu masyarakat. Pengetahuan yang telah diakui sebagai
kebenaran sehingga fungsional sebagai pedoman. Satuan-satuan pengetahuan itu
terumuskan dalam wujud kata-kata, kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan,
peribahasa, wacana-wacana, dalil-dalil, rumusan-rumusan, bahkan teori-teori. 22Simbol agama dalam hal ini, adalah simbol yang suci atau yang sakral yang berbeda dengan yang profan. Yang sakral mencakup keyakinan, mitos, dogma dan legenda-legenda yang mengekspresikan representasi atau sistem representasi di mana hakikat yang sakral itu terdapat. Sedangkan yang profan adalah wilayah urusan setiap hari, hal-hal yang biasa, tak disengaja dan pada umumnya tak penting. Nur Syam, Islam Pesisir., 16. 23Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam (Surabaya: Pustaka Eureka, 2005), 36.
46
Keseluruhan pengetahuan tersebut digunakan secara selektif dan kontekstual sesuai
dengan kebutuhan atau persoalan yang dihadapi, dan untuk mendorong serta
menciptakan tindakan yang diperlukannya.24 Penggunaan pengetahuan oleh orang
perorang atau kelompok orang atau masyarakat, menggambarkan bahwa sejatinya
pengetahuan dimaksud telah dipahami, diresapi, dan diyakini berkat adanya suatu
proses pendidikan panjang (dari sejak kecil sampai dewasa) dalam bentuk
internalisasi dan sosialisasi.25
Konsep kebudayaan sebagai sistem simbol mempunyai makna yang sangat
luas, yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang
dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Semua objek apapun tentang hasil
kebudayaan yang mempunyai makna dapat disebut simbol, karena kebudayaan
merupakan produk yang dihasilkan oleh kemampuan manusia dengan menggunakan
lambang atau simbol.26 Maka dari itu, wujud kongkrit kebudayaan (produk) dalam
24Nur Syam, Mazhab-mazhab., 90-91. 25Kebudayaan dalam konsep ini mengandung dua unsur utama, yaitu sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan. Sebagai pola bagi tindakan, kebudayaan ialah seperangkat pengetahuan manusia yang berisi model-model secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan, mendorong, dan menciptakan tindakan. Sedangkan sebagai pola dari tindakan, kebudayaan ialah apa yang dilakukan dan dapat dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai sesuatu yang nyata adanya atau dalam pengertian lain sebagai wujud tindakan. Ibid. 26Lambang merupakan benda sesungguhnya, seperti salib (lambang Kristen) dan tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan). Lambang sering digunakan dalam puisi dan jenis sastra lain, kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan. Lambang nasional adalah simbol untuk negara tertentu. Sedangkan simbol merupakan objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis, dan lainnya yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Karena sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa, yang merupakan suatu sistem simbol. Namun demikian, bahasa bukan satu-satunya bentuk ekspreasi simbolik. Simbol juga dapat berbentuk peristiwa publik, parade, pemakaman, turnamen, hari libur, dan lainnya. Seringkali suatu simbol bercampur dengan tanda. Oleh karena itu, manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak gerik, postur tubuh, pakaian, ritus, agama, kekerabatan, tata ruang, dan banyak lagi. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 288-291.
47
bentuk kompleks aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan memiliki landasan
konseptual yang bersumber pada kompleksitas sistem simbol.27
Menurut Cassirer, simbol adalah sebagian dari dunia manusia mengenai arti.
Manusia tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung
kecuali melalui simbol. Manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik,
tetapi juga hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah
bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta ini bagaikan aneka ragam
benang yang terjalin membangun anyaman jaring simbolik. Semua kemajuan
manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-
jaring simbolik tersebut. Hal ini menegaskan bahwa begitu eratnya kehidupan
manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk dengan
simbol-simbol (homo simbolicus). Manusia berpikir, berperasaan, bersikap, dan
bertindak dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.28
Simbol berasal dari kata symballo dari bahasa Yunani. Symballo artinya
”melempar bersama-sama”, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide
atau konsep obyek yang kelihatan, sehingga obyek tersebut mewakili gagasan.
Simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan
maupun masa lalu. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu
gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri,
namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai 27Y. Sumandio Hadi, Seni dalam Ritual Agama (Yogyakarta: Buku Pustaka, 2006), 26-27. 28Ernest Cassirer, An Essay on Man; an Introduction to a Philoshopy of Human Culture (New York: New Heaven, 1994), 23.
48
yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja, seperti ilmu
pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa
benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan
sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol.29
Senada dengan pengertian simbol di atas, sebagaimana dikutip oleh Rohman
dari kamus Logika (Dictionary of Logic The Liang Gie), simbol adalah sesuatu hal
atau keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap objek. Mempertegas
pengertian simbol ini, Rohman juga menjelaskan pengertian simbol, isyarat dan
tanda. Simbol atau lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin
pemahaman subjek kepada objek. Sedangkan isyarat ialah suatu hal atau keadaan
yang diberitahukan oleh subjek kepada objek. Artinya subjek selalu berbuat sesuatu
untuk memberitahu kepada objek yang diberi isyarat agar objek mengetahuinya pada
saat itu juga. Isyarat yang dapat ditangguhkan penggunaannya akan berubah bentuk
menjadi tanda. Dan tanda ialah suatu hal atau keadaan yang menerangkan objek
kepada subjek. Tanda selalu menunjuk kepada yang riil (benda) kejadian atau
tindakan.30
29“Simbol” dalam "http://id.wikipedia.org/wiki/Simbol" (23 Oktober 2009). 30Contoh isyarat yaitu peluit kereta api, gerak-gerik bendera morse dan lain sebaginya. Contoh tanda, sebelum guntur berbunyi selalu ditandai dengan kilat. Tanda-tanda yang dibuat manusia pun menunjukkan sesuatu yang terbatas yang artinya menunjukkan hal-hal tertentu pula, misalnya tanda-tanda lalu lintas, tugu-tugu jarak jalan seperti kilometer, tanda baca pada bahasa tulis, tanda-tanda pangkat atau jabatan. Contoh lambang ialah Garuda Pancasila merupakan suatu benda atau hal yang mempunyai arti yang terkandung didalam lambang-lambang tersebut. Sebuah benda, misalnya bunga, yang dirangkai menjadi untaian bunga atau kanvas yang menyatakan untuk ikut berduka cita atau bendanya, tetapi pemahaan arti benda itu dipakai sebagai lambang untuk menyatakan ikut berduka cita. Dalam hal ini sifat kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri dibedakan dari unsur yang terkandung dalam dirinya sendiri dan diperluas maknanya. Ibnu Rochman, “Simbolisme Agama dalam Politik Islam”, dalam http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/34/30 (12 Oktober 2010).
49
Mengenai simbol ini, para antropolog ada yang menghubungkan dan
membedakannya dengan tanda, karena selain simbol, manusia juga sering
menggunakan tanda dalam kehidupannya.31 Tanda mempunyai pertalian tertentu
dengan apa yang ditandai. Dimana ada asap di situ ada api. Asap merupakan tanda
adanya api. Hewan pun dapat diajari tanda-tanda api. Hewan pun dapat diajari
menghafalkan tanda-tanda. Namun simbol akan muncul dengan proses belajar, atau
bila proses belajar sedang berlangsung. Bagi manusia, dengan belajar maka ia sendiri
dapat menciptakan tanda-tanda yang dinamai dengan simbol-simbol.32 Dan dengan
cepat ia juga dapat mamahami simbol tersebut, walaupun pertaliannya dengan
sesuatu tidak alamiah. Seperti bahwa asap secara alami menandakan adanya api,
tetapi dengan simbol lain yang dibentuk dengan belajar (dengan
kesepakatan/perjanjian sesama), manusia juga dapat menyiarkan adanya api dengan
bentuk bunyi sirine, lonceng dan lain sebagainya.33
Sistem simbol sebagai intensionalitas ganda yang merupakan sistem
penandaan; pertama, bahwa di dalamnya mengandung makna harfiah, bersifat primer
dan langsung ditunjukkan. Kedua, sistem simbol juga mengandung makna lain yang
bersifat sekunder dan tidak langsung, yang biasanya tersembunyi berupa kiasan yang
31Tanda adalah segala realitas inderawi yang mengandung signifikansi (makna). Karena itu tanda dalam struktur internnya terdiri dari suatu unsur material dan signifikansinya; dan signifikansinya di sini selalu mengarah ke suatu realitas lain di luar unsur material tersebut. Louis Leahy, Manusia Sebuah Misteri (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1990), 29-30. 32Belajar berarti memperoleh suatu kepandaian baru, pengertian baru,atau kaedah kelakuan yang baru. Dengan sesuatu yang dipelajari setiap manusia terus menerus menambah khasanah pelajaran, sehingga pengetahuan manusia terus bertambah. C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1976), 143-145. 33Ibid., 147.
50
hanya dapat dipahami berdasarkan makna pertama, oleh karena itu simbol
memerlukan interpretasi.34 Sistem simbol juga merupakan pedoman bagi tindakan,
sistem ini bekerja dalam konteks sosial. Konteks sosial ini memberikan suatu simbol
atau tanda spesifik, karena suatu tanda atau simbol dapat memiliki satu makna dalam
satu konteks sosial dan makna lain dalam konteks yang berbeda pula.35 Atas dasar itu,
konteks sosial sesungguhnya bersifat maknawi yang bergantung pada makna atau
interpretasi manusia yang memandangnya. Suatu objek keadaan, kondisi, situasi, atau
apa saja (dalam kenyataan sosial) bisa memiliki makna beraneka ragam, tergantung
apa yang ada di benak (kesadaran) manusia yang memaknainya.36
Pendekatan di atas diasosiasikan dengan paradigma yang dikenal sebagai
antropologi simbolik.37 Antropologi simbolik, atau sering kali juga disebut
34Interpretasi, menurut Ricoeur, adalah usaha akal budi seseorang untuk mengungkap makna yang tersembunyi di balik makna yang langsung tampak, atau untuk mengungkapkan tingkat makna yang diandaikan di dalam makna harfiah. Bambang Triatmoko, Hermeneutika Fenomenologi Paul Ricoeur: Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), 70. Dalam interpretasi (dapat dikatakan pendekatan interpretasi), terdapat perbedaan antara eksplanasi dan pemahaman, di mana ekspalanasi berarti mengidentifikasi sebab musabab umum dari suatu kejadian, sedangkan pemahaman adalah menemukan makna dari suatu kejadian atau praktik sosial dalam konteks sosial tertentu. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 287. 35Seperti kata ayah memiliki satu makna dalam struktur kekerabatan dan berbeda maknanya dalam konteks struktur agama katolik. Kata ayah yang diterjemahkan dari kata bahasa Inggris father, telah menghilangkan makna keagamaan father bagi penganut katolik, yang berarti pemimpin agama Katolik, meskipun sehari-hari kata father juga berarti sama dengan ayah dalam bahasa Indonesia. Ibid., 294. 36Sanapiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”, dalam Burhan Bungin, ed. Metodologi Penelitian Kualitatif; Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 44. 37Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 294. Antropologi secara luas terbagi dalam tiga bidang, antropologi fisik, budaya dan sosial. Antropologi fisik mengkaji tentang keanekaragaman ciri khas fisik manusia dan perkembangannya yang meliputi warna, ukuran tinggi badan, ukuran tengkorak, otak dan sebagainya. Antropologi budaya mengkaji manusia dalam dimensi kebudyaan yang dimilikinya baik menyangkut bahasa, tulisan, kesenian, sistem pengetahuan dan totalitas kehidupan manusia. Dan antropologi sosial mengkaji prinsip-prinsip persamaan di belakang aneka ragam masyarakat dan kebudayaannya dari kelompok-kelompok manusia di dunia. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 3-5.
51
antropologi interpretatif atau antropologi humanistik, berupaya mengorientasikan
kembali kebudayaan dari strategi menemukan eksplanasi kausal bagi perilaku
manusia menjadi strategi untuk menemukan interpretasi dan makna dalam tindakan
manusia.38 Dalam perspektif simbolik, kebudayaan adalah aspek bermakna mengenai
realitas konkret atau realitas objektif, dan melakukan kajian terhadap sistem tanda
dan pesan yang diterima oleh manusia melalui interaksi mereka dengan manusia lain
dan dengan dunia alamiah. Dengan kata lain, perspektif ini lebih memusatkan
perhatian terhadap simbol dan kelompok sosial yang memperpadukan analisis formal
dengan isi, dan persepsi dan makna dengan tindakan sosial.39
Menurut tradisi interpretivisme, manusia dipandang sebagai makhluk
rohaniah. Di mana manusia selaku makhluk sosial, sehari-hari bukanlah berperilaku,
melainkan bertindak, sebab dalam istilah berperilaku berkonotasi mekanistik alias
bersifat otomatis, padahal tingkah laku sosial manusia senantiasa melibatkan niat
tertentu, pertimbangan tertentu, atau alasan-alasan tertentu, dengan kata lain tingkah
laku sosial manusia melibatkan kesadaran sosial tertentu. Sedangkan bertindak
(action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat,
kesadaran, dan alasan-alasan tertentu, ia bersifat intensional. Bertindak melibatkan
38Antropologi interpretatif berupaya menemukan makna melalui interpretasi perilaku atau teks. Pandangan ini tidak menolak dunia materi, tetapi berkeyakinan bahwa cara terbaik untuk memahami dunia materi dan sosial manusia dengan mendengarkan cara-cara orang yang hidup dalam suatu masyarakat dengan perspektif mereka sendiri. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 296-297. Pendekatan interpretatif sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi dan dalam kajian agama memiliki “kesamaan” yaitu ingin memahami apa yang ada di balik fenomena, ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap lebih mendalam pada dunia neumena. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 89. 39Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 291-293.
52
makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri manusia sebagai pelaku suatu
tindakan.40 Dengan kata lain, manusia selalu mempunyai dan mendasarkan tindakan
atau perbuatan sehari-harinya dari kesadaran tentang sesuatu. Kesadaran adalah
refleksi dari realitas di sekitarnya.
Realitas bagi manusia tidaklah dipandang dan dipakai sebagaimana apa
adanya, tetapi dipahami dan didefinisikan secara subjektif melalui serangkaian proses
berpikir yang menghasilkan kesadaran tertentu. Kesadaran manghasilkan makna dan
juga mengandung tujuan. Tujuan itulah yang kemudian memberi makna tentang
sesuatu.41 Demikian juga terhadap agama, di mana bentuk tingkah laku dan cara
seseorang beragama didasari oleh kesadaran atau sistem pengetahuan (pemahaman)
tentang ajaran agama yang dianutnya. Pilihan terhadap agama tertentu untuk dianut
terjadi melalui sebuah proses kesadaran berdasar sistem pengetahuan yang mereka
miliki sebelumnya. Dengan demikian pilihan terhadap agama sebenarnya adalah
sebuah proses budaya yang penuh dengan ciri-ciri kemanusiaan.42
Clifford Geertz43 dapat dikatakan adalah pendiri sekaligus yang
mengembangkan pendekatan interpretatif dalam antropologi. Geertz menekankan
40Sanapiah Faisal, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”, dalam Burhan Bungin, ed. Metodologi Penelitian Kualitatif., 44. 41Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 145-146. 42Latar belakang, kepentingan, tantangan, yang terdapat dalam diri seseorang sangat berpengaruh pada cara beragama seseorang dan akan membentuk sistem pengetahuan tentang agama mana yang benar dan menjadi pilihan untuk dia anut. David N. Gellner, “Pendekatan Antrolpologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyyakarta: LKiS, 1999), 45. 43Clifford Geertz seorang pakar antropolog Amerika yang memperkenalkan perspektif simbolik yang melengkapi beberapa beberapa perspektif sebelumnya dalam antropologi; aliran struktur fungsional di Inggris dengan tokohnya seperti B. Malinowski dan Radcliffe Brown, juga aliran evolusionis dengan tokohnya seperti Frazer, Tylor, dan Marett, antropologi strukturalisme dengan tokohnya Levi Strauss, serta perspektif kognitif dengan tokohnya W.H Goodenough. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 6-11, 87.
53
upaya untuk menemukan makna yang memandang penting simbol dari sekedar
eksplanasi, dan juga pentingnya signifikansi konteks sosial sebagai unsur penting
dalam memahami makna simbol. Ia juga mengemukakan bahwa antropologi harus
didasari oleh realitas konkret, yakni kajian mengenai satu kasus tunggal yang dapat
menghasilkan pandangan teoritis dan makna-makna, artinya dari realitas ini harus
ditemukan makna, bukan prediksi yang didasarkan pada data empiris.44 Seorang yang
meneliti mengenai kebudayaan, bagi Geertz, dapat melakukan interpretasi terhadap
kajian-kajian atau kelakuan masyarakat dengan memperlakukannya sebagai teks (teks
sosial), yakni sebagai model of reality (model dari realitas) dan model for reality
(model untuk realitas) sehingga dapat mengungkapkan makna di balik pola sosial di
maksud. Dan Geertz secara konsisten memandang kebudayaan memiliki dua elemen
tersebut; kebudayaan sebagai sistem kognisi dan sistem makna ialah representasi pola
dari (model of/model tentang) kenyataan –wujud nyata- kelakuan manusia sehari-hari,
dan kebudayaan sebagai sistem nilai ialah representasi pola –pedoman- bagi (model
for/model untuk) manusia melakukan tindakan itu.45 Sistem kognisi dinamakan juga
dengan aspek kognitif kebudayaan dan sistem nilai dinamakan dengan aspek evaluatif
kebudayaan. Model yang pertama mempresentasikan kenyataan yang ada (atau sudah
44Clifford Geertz, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology (New York: Basic Books, 1983), 119. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 297. Melalui berbagai kajiannya mengenai kebudayaan terutama di Indonesia, Geertz memperoleh Bintang Tanda Jasa Utama dari pemerintah Indonesia. Lihat juga Nur Syam, Mazhab-mazhab., 11. 45Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, alih bahasa oleh F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 8-9. Lihat juga Ignaz Kleden, “Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” Kata pengantar dalam Clifford Geertz, After The Fact (Yogyakarta: Kanisius, 2001), xiv-xv. Contohnya, upacara keagamaan yang dilakukan merupakan pola dari, sedangkan ajaran yang diyakini kebenarannya sebagai dasar acuan melakukan upacara keagamaan adalah pola bagi atau model untuk. Nur Syam, Mazhab-mazhab., 91-92.
54
ada), seperti halnya sebuah peta pulau Sumatera merupakan model tentang pulau
Sumatera. Dalam model ini sebuah struktur simbolis (misalnya peta) disesuaikan
dengan struktur non-simbolis atau suatu struktur fisik (misalnya pulau Sumatera).
Sebaliknya model kedua, tidak mempresentasikan suatu kenyataan yang sudah ada,
melainkan suatu kenyataan yang masih harus dibentuk atau diwujudkan, misalnya
sebuah maket untuk perumahan adalah model untuk perumahan yang masih harus
dibangun. Di sini suatu struktur non-simbolis, atau struktur fisik (misalnya komplek
perumahan) harus disesuaikan dengan struktur simbolis berupa maket perumahan.46
Oleh karena itu, faktor untuk menerjemahkan sistem pengetahuan dan makna menjadi
sistem nilai atau menerjemahkan sistem nilai menjadi sistem pengetahuan dan makna
terletak pada sistem simbol.
Sistem simbol diibaratkan Geertz sebagai sebuah program komputer yang
berfungsi sebagai pengoperasian. Sistem simbol diciptakan manusia dan secara
konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari, memberi
manusia suatu kerangka yang penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya
kepada yang lain, kepada lingkungannya, dan pada dirinya sendiri, sekaligus juga
sebagai produk dan ketergantungan dengan interaksi sosial. di mana simbol berfungsi
sebagai proses kehidupam sosial. Simbol merupakan suatu rumusan yang nampak
dari segala pandangan, abstraksi dari pengalaman yang telah ditetapkan dalam bentuk
yang dapat dimengerti, perwujudan konkret dari gagasan, sikap putusan, kerinduan
46Clifford Geertz, Kebudayaan., 7. Ignas Kleden, Dari Etnografi., xiv. Lihat juga Khodziq, Islam dan Budaya Lokal; Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat (Yogyakarta: Teras, 2009), 45.
55
atau keyakinan.47 Simbollah yang memungkinkan manusia menangkap hubungan
dinamik antara nilai dengan dunia pengetahuan. Sistem simbol berguna sebagai
petunjuk untuk mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan di tengah kebudayaan
masyarakat. Untuk itu, tahap pertama yang dapat diamati adalah bagaimana sistem
simbol di dalam suatu kebudayaan mengeksis, dan baru dirunut bagaimana sistem
nilai dan sistem kognitifnya, dan selanjutnya dipahami maknanya bagi pelaku budaya
sendiri.48 Oleh karena itu, titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang
dimungkinkan oleh simbol ialah dinamakan makna (system of meaning). Melalui
sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan
menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.49 Makna yang
disampaikan melalui penggunaan simbol-simbol berlaku bagi nilai-nilai, kode-kode,
aturan-aturan.
Makna dalam hal tersebut dapat dipahami melalui lima cara. Pertama, konteks
yang melingkupi peristiwa di mana peristiwa tersebut terjadi. Kedua, sistem, artinya
peristiwa itu terdapat dalam sistem atau keterkaitan antar berbagai peristiwa yang
bersifat sistemik, misalnya penggunaan bahasa dalam peristiwa yang terjadi. Ketiga,
aktor ialah imajinasi aktor dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa yang terjadi
dan terkait dengannya, misalnya pernyataan verbal aktor terkait dalam peristiwa.
Keempat, tindakan aktor ialah apa yang dilakukan oleh aktor dalam kaitannya dengan
peristiwa yang terjadi. Kelima, simbol-simbol ialah apa yang inheren dalam simbol-
47Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (New York: Basic Books, 1973), 91. 48Nur Syam, Mazhab-mazhab., 12. 49Ibid., 93.
56
simbol, misalnya setiap simbol mengandung sesuatu yang dipahami secara
intersubjektif.50
Menurut Geertz, makna harus berasal dari apa yang diketahui, dirasakan
dialami oleh pelaku budaya yang dikaji atau disebut “native point’s of view”.
Orientasi untuk menemukan makna yang didasarkan pada pandangan native ini
ditujukan untuk menjadikan peneliti peka terhadap pandangan selain dari
pandangannya sendiri, dan ia harus memainkan peranan sebagaimana yang dilakukan
masyarakat lain tersebut.51 Dalam pendekatan ini, interpretasi dirakit, yang
merupakan suatu versi dari suatu teks, pembicaraan, atau tindakan yang dibandingkan
satu sama lain, suatu perangkat persepsi yang dibandingkan satu sama lain. Persepsi
dan pengetahuan pengamat diperpadukan dengan persepsi dan pengetahuan native. Di
mana Geertz menyebutnya dengan ”melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku”.52
Dalam hal tersebut yang menjadi medium bagi pembandingan adalah suatu sistem
simbol yang memberikan makna bagi individu dan realitas kehidupan sosialnya.
50Nur Syam, Islam Pesisir., 269. 51Nur Syam, Mazhab-mazhab., 93. Namun, Pandangan ini tidak menerima nihilisme, eklektisisme, suatu pandangan yang mencerminkan proses pengetahuan diri sendiri, persepsi diri sendiri dan pemahaman diri sendiri bagi pengetahuan orang lain, persepsi orang lain, dan pemahaman orang lain yang mengidentifikasi dan memilih siapa pengamat dan siapa orang-orang yang diamati, dan pengamat ingin memahami orang-orang yang diamati. Sebagai contoh buku Geertz berjudul Local Knowledge, menggambarkan minatnya secara khusus, yang konkret, kasus individual, memperoleh pengetahuan dengan mulai dari dasar pengetahuan orang-orang yang dikaji (the native) dan mengkombinasikannya dengan pengetahuan pengamat. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 297. 52Nur Syam, Mazhab-mazhab., 93. Istilah native’s viewpoint juga disebut dengan istilah emik yaitu mengacu pada pandangan masyarakat yang dikaji, sedangkan lawannya ialah etik yaitu mengacu pada pandangan peneliti (scientist’s viewpoint). Antropologi budaya juga memandang pentingnya perspektif etik, yakni pengamatan orang luar yang menggunakan orientasi teori atau modelnya sendiri. Perspektif ini berguna bagi analisis komparatif dan bagi pendekatan “objektif” untuk memperoleh pengertian mengenai suatu kebudayaan yang mungkin tidak berada di dalam kesadaran orang-orang yang hidup dalam masyarakat tersebut. Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer., 299, 302..
57
Dalam konteks ini, definisi kebudayaan menurut Geertz adalah 1) suatu
sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol
tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-
perasaan mereka dan membuat penilaian mereka, 2) suatu pola makna-makna yang
ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang
melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan dan
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan, 3)
suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik
dari informasi, 4) oleh karena itu, kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka
proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasi.53
Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep
yang dianggap baru pada masanya. Geertz mendefinisikan kebudayaan yang beranjak
dari konsep yang diajukan oleh Kluckholn sebelumnya, yang menurutnya agak
terbatas dan tidak mempunyai standard yang baku dalam penentuannya. Geertz
menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebagai suatu teks yang
perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya
kongkrit. Kebudayaan dilihat Geertz sebagai kumpulan teks yang penuh dengan
jaring makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian
yang sifatnya mendalam (thick description).54
53Ibid., 288. Zulkifli, Antropologi Sosial., 87-88. 54Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan., 5. Lihat Zulkifli, Antropologi Sosial., 87. Lihat Koentjaraningrat, Tokoh-tokoh Antropologi: Ichtisar dari Karja-karja dan Konsep-konsep Sarjana-sarjana Utama dalam Antropologi (Jakarta: Penerbittan Universitas, 1964), 10-11.
58
Dalam simbol, suatu objek, fakta atau peristiwa sebagai suatu realitas, dipakai
untuk menunjuk ke realitas lain yang biasanya berada di luar jangkauan pengalaman
inderawi manusia. Dengan demikian, simbol juga memiliki makna (signifikansi),
tetapi yang lebih rumit dan lebih dalam dan signifikasi yang dikandung oleh tanda.
Signifikasi dari tanda, khususnya tanda yang konvensional, maknanya sudah
dikonversi oleh manusia.55 Sedangkan signifikasi dari simbol, memuat pemahaman-
pemahaman yang dalam, mysterium dan mengatasi kemampuan inderawi manusia
yang terbatas. Namun dalam keterbatasannya manusia tetap menggunakan simbol-
simbol.56 Dalam hal ini, Manusia dipandang sebagai pembawa dan produk, sebagai
subjek dan sekaligus objek, dari suatu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai
sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Manusia
dapat memberikan makna kepada setiap kejadian dan peristiwa, tindakan, atau objek
yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi.57
Simbol-simbol itu dalam realitas adalah juga dapat berupa sesuatu yang lepas
dari keadaan yang sebenarnya dan dipergunakan untuk memasukkan makna dalam
pengalaman, karena simbol-simbol itu memiliki dua sifat sekaligus yaitu
“menyatakan dan menyembunyikan”. Sesuai dengan pandangan Raymond Firth
55Menurut Susanne K. Langer yang dikutip oleh Alisyahbana, tanda dalam penggunaannya selalu berada dalam keterhubungan dengan subyek dan objek. Subyek dalam hal ini adalah yang membuat tanda atau yang mempergunakannya. Sedangkan objeknya adalah orang yang merierima tanda itu. Karena itu tanda pada hakikatnya bersifat relasional atau intensional. S. T. Alisyahbana, Antropologi Baru (Jakarta: Penerbit PT Dian Rakyat, 1986), 254. 56Ibid. 57Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan sebagai sistem simbol lebih bersifat abstrak dan sulit untuk diobservasi, tetapi sebagai suatu kompleks aktivitas manusia yang dipandang sebagai sistem sosial, lebih konkrit dan mudah dipahami. Koentjaraningrat, “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional” dalam Alfian, (ed)., Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), 100.
59
tentang simbol bahwa simbol dirumuskan sebagai kemampuan ganda, yaitu untuk
menyatakan dan sekaligus menyembunyikan, atau bahkan kemampuan simbol untuk
menyatakan sesuatu dengan menyembunyikan, dan menyembunyikan sesuatu dengan
menyatakannya.58
Dalam diri individu, simbol-simbol itu sebagian besar telah ada dalam
komunitas ketika ia lahir, dan simbol-simbol itu dengan beberapa tambahan, tinggal
sebagai pengurangan-pengurangan dan perubahan-perubahan yang boleh atau tidak
boleh ia campurtangani, yang diteruskan setelah ia mati. Ketika hidup, ia
mempergunakan simbol-simbol itu, untuk membangun sebuah konstruksi di atas
peristiwa-peristiwa dan pengalaman hidupnya, mengorientasikan dirinya di dalam
“arus tak kunjung henti dari hal-hal yang dialami”. Bagi manusia, apa yang
merupakan bawaannya adalah kemampuan yang luar biasa untuk menanggapi.
Kemampuan itu memungkinkan manusia memiliki kelenturan yang jauh lebih besar
dan merupakan suatu kompleksitas. Kompleksitas itu perlu diatur oleh kebudayaan
menjadi tata sistem simbol-simbol yang bermakna, sebab tanpa itu, tingkah laku
manusia sebenarnya tak dapat diatur. Kebudayaan sebagai kumpulan totalitas pola-
pola itu, tidak hanya sebuah hiasan bagi eksistensi manusia, melainkan merupakan
sebuah syarat hakiki bagi eksistensi itu sendiri. Jadi, tak ada hakikat manusia yang
tak tergantung dari kebudayaan.
58Raymond Firth, Simbols: Public and Private (London: George Allen & Unwin Ltd, 1975), 15. Misalnya, orang berpakaian hitam pada saat melayat. Warna pakaian hitam di sini ialah menyatakan, tetapi mengapa memilih hitam, maknanya adalah tersembunyi. Menyembunyikan ungkapan perasaan “duka, sedih, berkabung, dsb”.
60
Dengan menelaah kembali dalam sistem budaya yang ada pada pemikiran
manusia, maka dapat dibagi beberapa simbol-simbol yang berkaitan dengan
perwujudan atau dasar pendorong tindakan yang ada. Di mana simbol-simbol dalam
sistem budaya terbagi dalam empat perangkat yang bekerja sesuai dengan fungsinya
masing-masing,59 yaitu: (1) simbol-simbol konstitutif yang berisi simbol-simbol
keyakinan yang menyatakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diubah dan digeser
dan bersifat dogmatis, dan menjadi dasar inti perilaku keagamaan. Dengan melalui
simbol konstitutif, manusia diingatkan akan adanya hakikat tertinggi yang dipuja,
disembah dan dimuliakan. Simbol konstitutif seperti kepercayaan atau agama sebagai
sub-sistem dari sistem kebudayaan, menjamin atau memenuhi kesinambungan atau
mempertahankan pola-pola yang ada dalam sistem sesuai dengan aturan atau norma-
norma;60 (2) simbol kognitif yang merupakan simbol pengetahuan atau dasar perilaku
kognitif tentang pengorganisasian (pengeksploitasian, pemanfaatan, pemeliharaan)
lingkungan, dalam simbol ini manusia dapat mewujudkan penemuan-penemuan baru
untuk memenuhi kebutuhannya; (3) simbol penilaian yang berisi simbol-simbol
normatif dalam moral, etika, adat sopan santun atau tata krama pergaulan, seperti
baik-buruk, indah-jelek, dan sebagainya; (4) simbol ekspresif, simbol pengungkapan
perasaan yang berisi kreatifitas manusia terhadap estetika, bahasa, komunikasi dan
59Arif Budimanta dan Bambang Rudito, “Manusia Modal Pembangunan,” Dalam http://www.icsd.or.id/uploaded/manusia_modal_pembangunan. (07 Pebruari 2010). 60Y. Sumandio Hadi, Seni dalam Ritual., 54-55. Sistem religi atau agama dilihat sebagai sistem simbol dapat menghubungkan manusia dengan beberapa pengalaman yang bersifat transendental, mempresentasikan hakikat hal-hal yang bersifat suci, berisi kebaikan, kebenaran dan kekuatan. Roland robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. A. Fedyani Saifuddin (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), 35.
61
sebagainya, bentuk kongkritnya berupa perbuatan ekpresi pengalaman manusia yang
berlangsung dalam medium inderawi tertentu. Simbol ekspresif ini juga dapat berupa
komunikasi simbolis, berisi perasaan, dan betul-betul komunikatif.61 Keempat sistem
simbol tersebut berjalan secara bersamaan dengan kualitasnya masing-masing, dan
saling terkait satu sama lain, artinya bahwa ada seseorang yang mempunyai
interpretasi simbol konstitutifnya lebih besar dari lainnya, atau simbol kognitifnya
lebih besar dan sebagainya. Sehingga perwujudan dari tindakan yang nyata
merupakan juga rangkaian simbol-simbol yang telah disepakati dalam masyarakat.62
Hal tersebut dapat dilihat dalam skema63 berikut:
Skema 2.1 Kebudayaan sebagai Sistem Simbol
61Sudiarja menyatakan bahwa makna simbol ekpresif sebagai suatu abstraksi, merupakan bentuk kreasi, memiliki vitalitas artistik yang utuh. Sudiarja, “Susanne K. Langer: Pendekatan Baru dalam Estetika” dalam M. Sastrapratedja, ed., Manusia Multi Dimensional; sebuah Renungan Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 69. 62Malcolm Waters, Modern Sosiological Theory (London, Thosand Oaks, New Delhi: Sage Publications, 1994), 142-151. Lihat Juga Harsya W. Bachtiar, “Birokrasi dan Kebudayaan”, dalam Alfian, ed., Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), 66. 63Sumber dari Malcolm Waters, Modern Sosiological., 150.
Simbol Konstitutif
Simbol Kognitif
Simbol Ekspresif
Simbol Moral
62
Dengan memahami pengertian kebudayaan sebagai sistem simbol di atas,
persoalan kemudian adalah, bagaimana aplikasinya dalam realitas keberagamaan
terutama dalam ritual upacara keagamaan. Di mana setiap praktik keagamaan yang
dapat dilihat dari berbagai bentuk ritualnya tidak dapat melepaskan dari aspek
kebudayaan, karena kebudayaan merupakan alat penunjang utama bagi
terselenggaranya sebuah praktik keagamaan.64 Berbagai macam simbol dalam ritual
keagamaan merangkum seluruh hubungan, persekutuan dan tanda yang membentuk
kehidupan keberagamaan. Simbol keagamaan adalah manifestasi dari sesuatu Yang
Kuasa, atau Yang Suci.65 Dalam hal ini ritual agama sebagai unsur kebudayaan
dilihat sebagai sistem simbol, menghubungkan manusia dengan alam semesta serta
Penguasa dalam arti yang luas. Berbagai macam simbol dijadikan alat untuk
menyimpan dan mengekspresikan pengalaman manusia. Melalui simbol terbentuklah
komunikasi antara manusia dengan manusia, melalui simbol manusia diperingatkan
akan adanya “Hakikat Tertinggi” yang dipujanya.66
B. Memahami Konsep Simbol Agama
Berdasarkan sudut pandang kebahasaan -bahasa Indonesia pada umumnya-
“agama” dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya
64Kebudayaan juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik ritual beragama dalam satu payung agama yang sama. Oleh karena itu, agama dan budaya sama-sama melekat pada diri setiap orang beragama, dan setiap praktik agama akan selalu bersamaan dan bahkan berinteraksi dengan budaya. Khdziq, Islam., 42-43. 65Niko Hayon, Ekaristi: Perayaan Keselamatan dalam Bentuk Tanda (Ende-Flores: Nusa Indah, 1986), 29. 66Y. Sumandiyo Hadi, Seni., 28.
63
“tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata, yaitu a yang berarti “tidak”
dan gama yang berarti “kacau”. Hal ini mengandung pengertian bahwa agama adalah
suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Sejalan dengan
perspektif ini, dapat dikatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk legitimasi
yang paling efektif. Agama merupakan semesta simbolik yang memberi makna pada
kehidupan manusia, dan memberikan penjelasan yang paling komprehensif tentang
seluruh realitas. Agama merupakan naungan sakral yang melindungi manusia dari
situasi kekacauan (chaos).67 Menurut inti maknanya yang khusus, kata agama dapat
disamakan dengan kata religion dalam bahasa Inggris, religie dalam bahasa Belanda,
keduanya berasal dari bahasa Latin, religio, dari akar kata religare yang berarti
mengikat.68 Dalam pandangan Gazalba, agama atau religi adalah hubungan antara
manusia dengan Yang Maha Suci, dihayati sebagai hakikat bersifat gaib, hubungan
yang menyatakan diri dalam bentuk kultus serta ritus dan sikap-sikap berdasarkan
doktrin tertentu.69 Sebagian dari para ahli ada yang berusaha melakukan pendekatan
kebahasaan dalam mendefinisikan agama. Sebagian lagi, dipelopori oleh Guyau,
beranggapan bahwa kata religion terambil dari kata kerja dalam bahasa Latin
67Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 63. 68Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-di>n dan al-millah. Kata al-di>n mengandung beberapa arti. Ia dapat diartikan al-mulk (kerajaan), al-khidmah (pelayanan), al-‘izz (kejayaan), al-‘a>dah (kebiasaan), al-iba>dah (pengabdian), al-tadhallul wa al-khud}u>’ (tunduk dan patuh), al-t}a>’ah (taat), al-isla<m (penyerahan). Sedangkan kata al-di<n yang berarti agama adalah nama yang bersifat umum, artinya tidak ditunjukkan kepada salah satu agama; ia adalah nama untuk setiap kepercayaan yang ada di dunia ini. Lihat QS. al-Kafirun ayat 7: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Ibid., 13. 69Pada tataran empiris, agama terdiri dari beberapa unsur pokok, yaitu sistem kepercayaan kepada Tuhan, sistem aturan dalam kitab suci, sistem ritual, dan simbol-simbol agama yang bersifat kebendaan. Sidi Gazlba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1963), 47-49.
64
religare, yang artinya mengumpulkan atau mengikat. Berdasarkan arti ini, ia
berpendapat bahwa “agama adalah keterikatan sekelompok manusia dengan Tuhan
atau dewa”.70 Senada dengan Guyau, Emmanuel Kant mengatakan bahwa agama
adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah Tuhan. Adapun
menurut Albert Spencer, faktor utama dalam agama adalah iman akan adanya
kekuasaan tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu dan
tempatnya.71
Kajian agama biasanya dibagi dalam dua kawasan; Pertama, agama dalam
kawasan teologis atau doktrin, yang berupa seperangkat ajaran yang bersifat tetap dan
tidak berubah, kawasan ini sering disebut dimensi normativitas yang bersifat tetap.
Dimensi ini menekankan peran agama sebagai pengatur kehidupan dan kurang
memberikan tekanan pada faktor manusia sebagai penganut dan penginterpretasi
ajaran agama. Kedua, agama dalam kawasan interpretasi, yaitu dimensi ajaran yang
dipahami manusia, sehingga akan terdapat perubahan dan bahkan variasi, di mana
variasi ini menjadi suatu kewajaran karena ajaran seperti itu adalah hasil penafsiran
manusia.72
Ramlan Surbakti menyebut kawasan kajian agama dengan istilah, what does
religion do for other yang mengacu kepada fungsi agama dalam kehidupan
masyarakat, dan what is religion yang mengacu kepada apa makna agama bagi
70Setiap agama memang mengumpulkan para penganutnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dengan dewa-dewa mereka menjadi suatu masyarakat yang merupakan bagian dari alam semesta. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 15. 71Ibid., 16-17. 72Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., 33-34.
65
kehidupan manusia.73 Agama yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam gaib, khususnya dengan
Tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan
lingkungannya, dilihat sebagai teks atau doktrin, dan keterlibatan manusia sebagai
pendukung tak nampak tercakup di dalamnya. Sedangkan agama yang lebih
memperhatikan terhadap permasalahan kehidupan keagamaan dan duniawi yang
terwujud dalam tindakan-tindakan dengan pengetahuan, interpretasi dan respons
terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci, maka agama
didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan.74 Oleh karena itu, kawasan kedua ini
masuk pada lingkup hubungan interaksional timbal balik agama dan budaya.
Kawasan kedua inilah yang menjadi kajian dalam perspektif sosiologis (baik
ontropogi sosial maupun psikologi sosial), dan juga menjadi fokus perhatian dalam
penelitian ini.
Kajian terhadap agama pada lingkup hubungan interaksional timbal balik
agama dan budaya di dalam kehidupan masyarakat melahirkan beberapa pendekatan,
di antaranya yang lebih menekankan cara bagaimana kepercayaan khususnya ritus
memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara individu-individu, atau lebih
menekankan kepada peranan agama di dalam masyarakat, dan disebut dengan
73Ibid., 37. 74Parsudi Suparlan, ”Kata Pengantar”, dalam Roland Robertson, ed., Agama; dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, alih bahasa A. Fedyani Saifuddin (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), V-VI. Agama pada hakikatnya adalah sama dengan kebudayaan, yaitu suatu sistem simbol atau suatu sistem pengetahuan yang menciptakan, menggolong-golongkan, meramu, merangkaikan dan menggunakan simbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungannya. Dan titik perbedaan simbol agama dan budaya ialah bahwa simbol agama adalah simbol suci. Nur Syam, Islam Pesisir., 16.
66
pendekatan sosiologis (para antropolog Inggris lebih suka menyebutnya dengan
antropologi-sosial), yang lebih banyak dikenal dengan teori fungsionalisme dengan
tokohnya Durkheim, R. Smith dan Radcliffe-Brown.75 Berikutnya adalah pendekatan
psikologi sosial, di mana pendekatan ini lebih menekankan apa yang dilakukan
agama bagi individu, seperti bagaimana agama memenuhi tuntutan-tuntutan kognitif
dan afektifnya demi sebuah dunia yang stabil, dapat dipahami dan dapat dipaksakan,
dan bagaimana agama memungkinkannya memelihara suatu keamanan batiniah
dalam menghadapi kesewenangan alam. Perintis pendekatan ini ialah Frazer dan
Tylor, dan menemukan pernyataannya yang lebih jelas pada karya klasik Malinowski,
Magic, Science and Religion.76 Kedua pendekatan ini, bersama-sama telah
memberikan suatu pemahaman yang rinci tentang fungsi-fungsi sosial dan psikologis
dari agama.
Memahami simbol agama sebagai sasaran kajian, terdapat beberapa
karakteristik dalam perspektif ini. Pertama, agama adalah fenomena yang terjadi
dalam subjek manusia serta terungkap dalam tanda dan simbol. Oleh karena itu perlu
kecermatan dalam pengkajiannya untuk dapat memilah dan mengkategorikan mana
simbol dan tanda yang masuk dalam sistem kepercayaan, dan mana simbol dan tanda
75Pendekatan ini berasal dari The Elementary Form of the Religius Life karya Durkheim dan Lectures on The Religion of The Semites karya Robertson Smith. Pendekatan ini menekankan cara struktur sosial sebuah kelompok diperkuat dan dilestarikan melalui simbolisasi ritualistis atau mistis dari nilai-nilai sosial yang mendasari struktur sosial itu. Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama., 71. 76Geertz kemudian memberikan kritik terhadap pendekatan fungsional yang dianggapnya kurang mengsankan dalam menghadapi perubahan sosial, dam pendekatan ini menghasilkan prasangka demi kepentingan masyarakat yang ‘terintegrasi-baik’ dan lebih menekankan fungsional dari adat dan kebiasaan daripada menekankan implikasi disfungsional adat dan kebiasaan itu, terlebih pendekatan ini menghasilkan sebuah pandangan yang agak konservatif mengenai peranan ritus dan kepercayaan dalam kehidupan sosial. Ibid. 71-72.
67
yang masuk upacara keagamaan. Kedua, fakta religius bersifat subjektif yang
merupakan keadaan mental manusia religius dalam melihat dan menginterpretasikan
hal-hal tertentu. Dalam hal ini, manusia religius memberikan penilaian religius yang
mempengaruhi tindakan-tindakan dan perilakunya, bahwa mereka menerima norma-
norma dan aturan-aturan dalam ungkapan keyakinan religius mereka. Ketiga,
pemahaman makna fenomena agama diperoleh melalui pemahaman ungkapan-
ungkapan keagamaan yang meliputi kata-kata, tanda-tanda, dan tingkah laku yang
ekspresif. Melalui ekspresif dapat ditangkap pikiran-pikiran dan makna keagamaan.
Keempat, pemahaman suatu fenomena religius meliputi empati (usaha untuk
mencoba memahami perilaku orang lain berdasarkan pengalaman dan perilaku
dirinya sendiri) terhadap pengalaman, pemikiran, emosi dan ide-ide pemeluk agama.
Kelima, fakta-fakta keagamaan yang merupakan fakta psikis dan spritual yang
merupakan intensionalitas dari ekpresi pengalaman religius dan iman yang lebih
dalam.77
Agama yang dipandang sebagai sistem kepercayaan terwujudkan dalam
perilaku sosial tertentu, ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik individu
maupun kelompok. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam
yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.78
77Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 113-114. 78Henri L. Tischler, Introduction to Sociology (Chicago: Holt, Rinehart and Winston, 1990), 380. Agama, dalam perspektif ini adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara budaya merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom). Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., 34.
68
Agama dalam kajian kebudayaan merupakan pedoman bagi manusia untuk
bertindak, sehingga manusia akan melakukan penafsiran tindakannya berdasarkan
kerangka referensi ajaran agama yang diyakininya tersebut. Karena agama
melibatkan penafsiran atau interpretasi penganutnya, maka tak jarang agama
memiliki sekat-sekat yang membedakan pemahaman penganutnya.79
Sebagai sebuah kenyataan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling
mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol
yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung
nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem
simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan. Tetapi keduanya perlu
dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak
mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan
temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama
pribadi, tetapi sebagai kolektivitas ia tidak akan mendapat tempat.80
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara
pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan
79Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda., 34. Sebagai sistem kepercayaan, agama bisa menjadi bagian dan inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudyaaan dari masyarakat, dan menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan anggota masyarakat tertentu untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan adan ajaran agamanya. Pengaruh agama dalam sistem nilai kebudayaan tersebut terwujud dalam simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran agama. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama., 64. 80Dalam pandangan Kuntowijoyo, salah satu persamaan antara agama dan kebudayaan adalah bahwa keduanya merupakan sistem simbol dan sistem nilai. Kalau agama merupakan simbol dari ketaatan pada Tuhan, maka kebudayaan merupakan simbol dari tata nilai yang disepakati bersama untuk dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Lihat: Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: mizan, 2001), 195, 201. Di sini ia tidak mendefinisikan agama maupun budaya secara khusus.
69
kemanusiaannya. Oleh karena itu, biasanya terjadi interaksi dan dialektika antara
agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan,
sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang
dialektika antara agama dan tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi
ketegangan. Karena tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak
sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyah yang bersifat absolut.81
Clifford Geertz sebagai pakar antropologi simbolik melihat agama sebagai
suatu sistem kebudayaan. Kebudayaan tidak hanya didefinisikannya sebagai pola dari
kelakuan, tetapi juga sebagai pola bagi kelakuan; yaitu yang terdiri atas serangkaian
aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana, dan petunjuk-petunjuk yang digunakan
manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Kebudayaan dianggap sebagai susunan arti
atau ide, yang dibawa simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan mengekspresikan sikap mereka terhadapnya.82 Kebudayaan, dengan
demikian juga dilihat sebagai pengorganisasian pengertian yang tersimpul dalam
simbol-simbol, yang berkaitan dengan eksistensi manusia.83
Geertz melihat bahwa di antara simbol-simbol yang dipunyai oleh manusia
terdapat suatu golongan yang merupakan suatu sistem tersendiri, yang dinamakannya
sebagai simbol-simbol suci (simbol-simbol suci ini bersifat normatif dan mempunyai
kekuatan yang besar dalam pelaksanaan sanksi-sanksinya), dan simbol suci tersebut
81Khodziq, Islam dan Budaya., 43-45. 82Daniel L. Pals, Seven Theories of Religioon: Dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Marx, hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. oleh Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), 413. 83Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan., XI.
70
harus dianalisis agar dapat mengidentifikasi hakikatnya, mengungkapkan maknanya
bagi anggota masyarakat yang bersangkutan, dan menangkap pesan-pesan yang
melahirkan koherensi dan arah kepada kebudayaan tersebut.84 Hal ini disebabkan
karena simbol-simbol suci itu bersumber pada etos dan pandangan hidup, yang
merupakan dua unsur paling hakiki bagi eksistensi manusia; dan juga karena simbol-
simbol suci ini terjalin dalam simbol-simbol lainnya yang digunakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari yang nyata. Keterjalinan simbol-simbol suci dalam simbol-
simbol biasa kemungkinan dapat terwujud, karena simbol-simbol suci itu berfungsi
untuk mensintesakan etos dan pandangan hidup yang dipunyai manusia.85
Selanjutnya Geertz memberikan definisi agama sebagai: “Suatu sistem simbol
yang mengokohkan perasaan (moods) dan motivasi secara kuat, menyeluruh, dan
bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi
mengenai suatu hukum yang berlaku secara umum berkenaan dengan eksistensi
manusia, dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang
mencerminkan kenyataan, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi tersebut
nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.86 Secara sederhana, agama
84Zulkifli, Antropologi Sosial., 148. 85Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi., xi. 86Clifford Geertz, Kebudayaan., 5. Lihat Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi., xi. Simbol sebagai konsep dipakai dalam banyak hal; konsep yang dipakai untuk apa saja yang memiliki arti bagi orang lain seperti awan gelap adalah tanda simbolis akan datangnya hujan; konsep yang dipakai untuk tanda-tanda konvensionaleksplisit dari seuatu seperti bendera merah tanda bahaya; konsep yang dipakai terbatas pada sesuatu yang mengungkapkan secara tak langsung figuratfi apa yang tak bisa dinyatakan secara langsung dan harfiah seperti simbol-simbol puitis; dan konsep yang dipakai oleh geertz ialah bahwa simbol dipakai untuk untuk objek, tindakan, peristiwa, kualitas atau relasi yang berlaku sebagai sebuah wahana untuk sebuah konsep -konsep itu adalah ”makna” simbol. Ibid., 6.
71
dalam pengakuan Geertz pada dasarnya merupakan suatu sistem kultural yang
memberikan makna dalam eksistensi manusia, dan memiliki fungsi universal dalam
memberikan makna tersebut.87
Agama dalam makna kebudayaan di atas dipandang sebagai sebuah sistem
makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci, dan sesungguhnya adalah pola
makna yang diwarisi manusia sebagai etos dan juga worldview-nya. Geertz
mengartikan etos sebagai tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang
berarti juga aspek moral maupun estetika mereka sebagai unsur-unsur evaluatif. Etos
suatu bangsa adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya
estetis dan suasana-suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri
mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan. Oleh
karena itu, agama adalah sebagian usaha untuk memperbincangkan sekumpulan
makna umum, dan makna hanya dapat disimpan di dalam simbol. Dengan kumpulan
makna umum tersebut, masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dan
mengatur tingkah lakunya.88
Sebagai contoh dalam tradisi kaum abangan, slametan jelaslah terlihat tidak
hanya sebagai sistem simbol yang berdiri sendiri, tetapi ada sistem nilai yang
mendasari pelaksanaan upacara itu, dan juga ada sistem kognitif yang memungkinkan
nilai itu diinterpretasikan untuk menjadi tindakan-tindakan dan selebihnya terdapat
sistem makna bagi para pelakunya. Dalam upacara slametan, ada seperangkat simbol
87Brian Morris, Antropologi Agama; Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, terj. Imam Khaori (Yogyakarta: AK. Group, 2003), 393. 88Clifford Geertz, Kebudayaan.,50-51.
72
seperti kemenyan, kembang telon, jajan pasar dan tumpeng yang semua itu tidak
berdiri sendiri, tetapi berhimpitan dengan keyakinan-keyakinan pelakunya, yang
menjelaskan bahwa ada pedoman untuk melakukannya.89 Keyakinan
termanifestasikan dalam wujud simbol-simbol, karena simbol adalah aspek yang
dibutuhkan dalam kehidupan spiritual. Sesuatu yang sakral dalam berbagai tradisi
selalu dan hanya dijumpai lewat simbol-simbol religi. Walaupun bersifat simbolik,
sakralitas ini bukannya tidak riil. Simbol religius dapat berupa suara, kata-kata,
benda, gambar, suasana hati, metafor atau person. Simbol mengandung arti luas yang
dipakai untuk apa saja yang memiliki arti lain bagi orang lain. Penggunaan simbol
atau sesuatu yang bersifat publik dalam masyarakat dengan budaya dan agamanya
masing-masing.90
Selanjutnya menurut Geertz, simbol-simbol religius merumuskan sebuah
kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan tertentu dan sebuah metafisika
khusus, dan dengan melakukan itu mendukung masing-masing dengan otoritas yang
dipinjam dari yang lain.91 Simbol-simbol religius yang dipentaskan dalam berbagai
ritus dan mitos, sebagai ringkasan dari apa yang diketahui tentang dunia apa adanya,
ringkasan kualitas kehidupan emosionalnya, dan ringkasan cara seseorang seharusnya
bertindak di dalamnya.92 Yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian
simbol sakral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur. Bagi 89Ibid., 77. Nur Syam, Madzhab-Madzhab., 13-14. 90Kristen memakai simbol salib dan memaknainya dengan makna tertentu. Ka’bah merupakan simbol pemersatu bagi umat Islam. Simbolisasi Salib dan Ka’bah adalah peristiwa sosial, dengan arti dapat diamati di tengah perilaku sosial. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 145. 91Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama., 4. 92Ibid., 51.
73
mereka yang ambil bagian di dalamnya, sistem religius itu menjadi pengantara
pengetahuan sejati, pengetahuan tentang kondisi-kondisi hakiki. Sesuai dengan
kondisi hakiki itu, kehidupan mau tak mau harus dihayati. Khususnya bila simbol-
simbol ini dikritik, secara historis atau filosofis, seperti yang terdapat dalam
kebanyakan kebudayaan-kebudayaan dunia, para individu yang mengabaikan norma-
norma moral estetis yang dirumuskan simbol-simbol itu, yang menganut sebuah gaya
hidup yang menyimpang, dianggap nyaris jahat, dll.93
Kemampuan simbol-simbol agama untuk merumuskan sebuah dunia tempat
nilai-nilai menjadi kekuatan agama dalam menyangga nilai-nilai sosial, dan juga
kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai-nilai itu, menjadi bahan-bahan
dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah
gambaran kenyataan. Dengan mengutip Max Weber, ”Peristiwa-peristiwa tidak hanya
di sana dan terjadi, melainkan peristiwa-peristiwa itu mempunyai sebuah makna dan
terjadi karena makna itu” kebutuhan akan pendasaran metafisis untuk nilai-nilai itu
tampaknya sangat bervariasi dalam intensitasnya dari kebudayaan yang satu ke
kebudayaan yang lain dan dari individu yang satu ke individu yang lain, namun
kecenderungan untuk menginginkan sejenis basis faktual tertentu bagi komitmen-
komitmen seseorang agaknya secara praktis bersifat universal. Akan tetapi
peranannya bisa berbeda-beda pada zaman-zaman yang berbeda-beda, untuk berbagai
individu, dan dalam berbagai kebudayaan, agama, dengan memadukan etos dan
pandangan dunia, memberi seperangkat nilai sosial dari apa yang barangkali paling 93Ibid., 53.
74
perlu mereka paksakan: suatu penampakan objektivitas. Dalam ritus-ritus dan mitos-
mitos sakral, nilai-nilai dilukiskan bukan sebagai preferensi manusia yang bersifat
subjektif melainkan sebagai kondisi-kondisi yang dipaksakan atas kehidupan yang
tersirat dalam dunia dengan sebuah struktur tertentu.94
Simbol merupakan sesuatu yang dapat memberi bentuk tertentu terhadap
proses-proses yang berada di luar sistem-sistem simbol itu. Seseorang beragama
tertentu tidak terjadi begitu saja, melainkan didahului dengan adanya proses belajar
atau pencarian bagi yang bersangkutan. Dengan demikian ia akan sangat dipengaruhi
oleh berbagai latar belakang kondisi dari diri maupun lingkungannya. Ini juga
membuktikan bahwa setiap orang akan mempunyai agama yang berbeda, dalam arti
bahwa setiap mereka mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap agamanya.
Dalam hal ini, agama dapat dikatakan sebagai pola dari (model of) pengalaman dan
perilaku seseorang.95 Di sisi lain, agama juga yang akan mewarnai bagaimana
seseorang bertingkah laku selanjutnya. Oleh karena setiap orang mempunyai
pemahamannya sendiri tentang agamanya, tidak dapat dielakkan lagi tingkah laku
agamanya pun akan berbeda-beda. Di sinilah menunjukkan bahwa selanjutnya agama
akan menjadi pola bagi (model for) tingkah laku manusia.
94Jenis-jenis simbol yang dipandang oleh suatu masyarakat sebagai sesuatu yang sakral sangat bervariasi. Menjelaskan ritus-ritus inisiasi; seperti diantara orang-orang asli Australia; cerita-cerita filosofis yang kompleks, seperti diantara orang Maori; pertunjukan-pertunjukan shamanitas yang dramatis, seperti diantara orang Eskimo, ritus-ritus keji korban manusia dll. Ibid., 57. 95 Agama yang merupakan sisem kepercayaan termasuk dalam aspek kebudayaan kehidupan manusia. Kebudayaan sendiri merupakan cara bertingkah laku yang dipelajari. Ia bukan merupakan warisan genetis, melainkan merupakan hasil dari proses berlajar, dan senantiasa selalu mengalami perubahan seiring sifat manusia yang selalu belajar dengan lingkungannya. Liihat: R. Ember dan Melvin Ember, konsep Kebudayaan, dalam T.O. Ihromi (ed.), Pokok,pokok Antroplogi Sosial, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1996), 18.
75
Agama maupun tingkah laku agama seseorang merupakan simbol dari
pengalaman-pengalamannya tentang suatu realitas. Seseorang memeluk agama
tertentu dikarenakan ada sebab-sebab lingkungan yang mempengaruhinya. Berbagai
sistem pengetahuan yang ada dalam pikirannya tentang agama itulah selanjutnya
melahirkan berbagai macam tingkah laku agama yang akan selalu berbeda antara
seseorang dengan yang lain. Oleh karena itu menurut Geertz, setiap studi agama
menuntut dua tahapan operasi. Pertama, orang harus menganalisis serangkaian
makna yang terdapat dalam simbol-simbol agama itu sendiri. Kedua, yang lebih sulit,
karena simbol sangat berhubungan dengan struktur masyarakat dan psikologi
individu para anggotanya, hubungan-hubungan itu harus ditemukan di sepanjang
sirkuit sinyal yang terus-menerus diberi, diterima, dan dikembalikan.96
Kajian terhadap agama pada sisi simbolik merupakan salah satu cara kajian
yang sangat penting. Sesuai dengan pandangan Talcot Parsons bahwa watak tertinggi
realitas tidak tunduk pada spesifikasi empiris. Ia memandang bahwa bagian dari
realistis yang perlu dimaknai oleh manusia adalah bagian yang bersifat non empiris,
yang sama sekali tidak terjangkau sebagai sumber ilmu pengetahuan.97 Dengan
pendekatan ini agama dipandang sebagai sebuah teks. Sebuah teks adalah sesuatu
yang harus dibaca dan kemudian ditafsirkan. Oleh karena itu kalau agama diibaratkan
sebagai sebuah teks, maka ia harus "dibaca" dan "ditafsirkan”, dan seperti halnya
membaca teks, seseorang selanjutnya dapat menafsirkan apa saja terhadap fenomena
96Daniel L. Pals, Seven Theories., 418. 97Robert N. Bellah, Beyond Belief: Menentukan Kembali Agama (Esai-esai tentang Agama di Dunia Modern), terj. Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), 346.
76
keagamaan di masyarakat. Oleh karena itu, ketika kita mengkaji agama dalam
masyarakat yang sangat penting adalah interpretasi atau tafsir.98
Simbol merupakan unit terkecil dari suatu ritual keagamaan, yang
mengandung sifat-sifat khusus dari tingkah laku ritual itu, serta merupakan unit
terpokok dari struktur spesifik dalam ritual. Turner menganggap penting terhadap
unsur-unsur spasial dari situasi ritual, hingga memperoleh makna secara
keseluruhan.99 Demikian juga dalam memaknai simbol keagamaan, yang harus
dibedakan antara makna dari pelaku, makna yang berhubungan dengan dinamika
sosial, dan hubungan antar simbol dalam totalitas. Penafsiran secara umum dapat
dilakukan terhadap berbagai perilaku agama seseorang atau masyarakat, di mana
berbagai perilaku keagamaan mereka diperlakukan sebagai satu-kesatuan yang
merepresentasikan keberagamaannya, dan juga dapat ditafsirkan secara parsial,
dengan memperlakukan berbagai perilaku keagamaan itu sebagai unsur-unsur yang
terpisah, baru kemudian dimaknai secara keseluruhan,100 sehingga Turner
memberikan gagasan mengenai teori penafsiran yang terdiri dari: (1) exegetical
meaning (makna pelaku dari pelaku ritual) (2) operational meaning (makna yang 98Menafsir berarti mengungkapkan, apa yang di anggap sebagai hal-hal yang diacu oleh sebuah teks. Hal-hal yang diacu inilah sebagai “makna” teks yang dianalisis. Dan untuk mengkaji agama dengan memperlakukannya sebagai sebuah teks, kita perlu mengadopsi cara berpikir hermeneutik sebagaimana yang dipergunakan oleh para antropolog dalam menganalisis kebudayaan dengan cara menafsirkannya. Lihat Heddy Shri Ahisma Putra, Ketika orang Jawa Nyeni, (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 403. Ada perbedaan pengertian "menerangkan" dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya dimaknai sebagai pemaparan sebab-akibat munculnya sesuatu gejala, dengan pengertian "me-nerangkan" dalam kajian teks, yang berarti mengungkapkan "makna" dari sebuah teks. Yang diuraikan di sini bukanlah sebab-akibat, tetapi pengertian-pengertian yang ada di balik apa yang tersurat, atau pengertian di balik teks. 99Victor Turner, The Forest of Simbols: Studies in Ndembu Rtual (New York: Cornel University Press, 1967), 19. 100Ibid., 27.
77
berasal dari perilaku dalam ritual) (3) positional meaning (makna hasil interprestasi
terhadap simbol satu dengan simbol lain dalam keterkaitannya).101
Sebagai sebuah teks, kebudayaan dapat diinterpretasikan dengan baik apabila
interpreter atau penafsir mengenal pesan-pesan di dalamnya dan dapat meresapi
isinya. Di sini kebudayaan harus dilihat dalam konteks ruang dan waktu di mana
kebudayaan itu terjadi.102 Oleh karena itu, dalam menafsirkan agama yang menjadi
realitas dalam masyarakat maupun unsur-unsur yang terdapat di dalam agama
tersebut, harus dipahami bahwa ia merupakan sesuatu yang terkait erat dengan unsur-
unsur tersebut, dan bahkan dengan kebudayaan yang lain dalam satu ruang dan
waktu, dalam hal ini agama diperlakukan sebagai salah satu unsur budaya masyarakat
yang merupakan bagian dari kebudayaan yang ada dan lebih kompleks.
Kedudukan simbol-simbol dan tindakan simbolisme dalam keagamaan,
menurut Bakker, merupakan penghubung antara komunikasi human kosmis dan
komunikasi keagamaan lahir dan batin. Tindakan simbolisme dalam ritual keagamaan
merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja.
Manusia harus melakukan sesuatu yang melambangkan komunikasi dengan Tuhan.
Kehidupan manusia penuh diwarnai dengan simbol-simbol. Sepanjang sejarah
101Ibid., 50-51. Sebagai satu contoh, acara ritual Sekaten dapat diperlakukan sebagai simbol dari umat Islam di Yogyakarta, karena Sekaten dapat dimaknai sebagai bentuk pengamalan ajaran agama. Namun demikian ia juga dapat dianggap sebagai sistem simbol, yang terdiri dari banyak simbol di dalamnya dan merupakan unsur dari Sekaten tersebut; ada gamelan, gunungan makanan, pengajian, dan lain-lain. Selanjutnya masing-masing simbol dapat dimaknai secara terpisah dengan makna masing-masing, baru setelah itu ditafsirkan secara keseluruhan untuk memperoleh makna yang lebih komprehensif tentang tradisi Sekaten. Hal ini juga dapat diterapkan di berbagai perilaku keagamaan dalam masyarakat, terutama yang telah menjadi perilaku kolektif dari masyarakat tersebut. 102E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Pendekatan (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 33.
78
kehidupan manusia dapat ditemukan tindakan-tindakan manusia dalam agama, sosial,
politik dan lain sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol. Bahkan simbolisme
sangat menonjol peranannya dalam keagamaan.103
Mudjahirin Thohir menyatakan bahwa simbol-simbol keagamaan menjadi
perantara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luarnya. Sebagai
perantara, simbol-simbol keagamaan itu diperlukan dan diperlakukan sebagai “model
dari” (model of) dan “model untuk” (model for). Sebagai “model dari”, simbol-simbol
itu berisi nilai-nilai yang menyelimuti perasaan-perasaan emotif, kognitif, dan
evaluatif manusia sehingga mereka menerima kenyataan. Berdasarkan pada
pengetahuan dan keyakinan keagamaan seperti itu, maka agama lantas menjadi
“model untuk” manusia mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Apa yang
diekspresikan dan bagaimana mengekspresikan, adalah melalui suatu proses
simbolik.104 Sebagai model of, agama dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh latar
belakang dan lingkungan pemeluknya. Sebagai model for, setiap orang akan
melaksanakan agama menurut pengetahuannya, sehingga kemudian apa yang menjadi
perilaku keagamaan merupakan representasi atau simbol dari ajaran agama yang
mereka sadari dan pikirkan, sehingga dapat melihat sedetail mungkin apa saja yang
dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya, terlebih dalam tingkah laku agamanya.105
103A.M. Bakker, Sekitar Manusia (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1978), 97. 104Mudjahirin Thohir, “Agama Masyarakat Nelayan,” dalam http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/03/04/agama-masyarakat-nelayan (03 Mei 2009). 105Studi terhadap agama masyarakat tertentu dengan cara menafsir, harus sebanyak mungkin mengetahui berbagai kondisi seseorang yang dikaji, baik secara individu maupun konteks sosial budaya di mana seseorang itu hidup dengan agamanya itu, hal ini disebut dengan etnografi. Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan., 46.
79
Simbol-simbol juga seringkali menjadi identitas bagi keberagamaan seseorang
yang membedakan dengan keberagamaan orang lain. Dalam kenyataannya, simbol-
simbol agama ini sangat penting keberadaannya, sebagai awal terbentuknya
komunitas atau masyarakat beragama. Kemudian perilaku agama seseorang, dalam
realitasnya seringkali dilakukan secara kolektif di dalam lingkungan sosialnya.106
Dalam hal ini, akan selalu muncul perilaku kolektif dalam agama. Kondisi demikian
akan lebih memudahkan seseorang untuk membaca dan menafsirkan agama mereka
melalui berbagai perilaku agama yang dilakukan secara kolektif dalam masyarakat
tersebut. Tingkah laku apapun yang telah melembaga menjadi tingkah laku kolektif
akan lebih terbuka bagi siapa saja untuk mengamatinya. Berbagai tradisi dalam
upacara keagamaan atau ritual yang biasa dilakukan secara kolektif akan
memudahkan bagi kajian interpretasi terhadapnya. Ketika tingkah laku agama itu
telah melembaga menjadi tingkah laku kolektif, maka selain perilaku tersebut
merupakan simbol dari individu anggota suatu masyarakat juga merupakan simbol
dari masyarakat itu sendiri secara kolektif.107
Memaknai agama sebagai simbol dalam Islam tidak berarti mereduksi
substansi ajaran agama. la hanya merupakan satu aspek dalam realitas kehidupan
beragama umat Islam. Substansi pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan harus 106Dalam pandangan Durkheim bahwa masyarakat sebagai sekumpulan representasi kolektif simbol-simbol bersama, yang hidup dalam pikiran-pikiran anggotanya. Dalam berbagai kegiatan yang mereka laksanakan secara kolektif seperti dalam upacara keagamaan akan memunculkan pula pikiran dan perasaan bersama. Robert N. bellah, Beyond Belief., 342. 107Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan,. 47. Simbol agama, dalam bentuk sarana misalnya (masjid, gereja, dan sebagainya), selain sebagai tempat untuk melakukan berbagai ritual keagamaan, juga berfungsi sebagai pembeda dengan masyarakat lain sekaligus fungsi integratif masyarakat yang bersangkutan. Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 26-27.
80
tetap dijaga seperti yang diharapkan oleh Allah ketika menurunkan agama sebagai
pegangan dan petunjuk hidup umat manusia.108 Akan tetapi fungsi simbolik dalam
agama juga sangat penting. Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam, diturunkan oleh
Allah kepada manusia melalui malaikat dalam bentuk bahasa Arab, yang berfungsi
sebagai pentunjuk bagi manusia Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami
menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu mema-
haminya"109. Bagi umat Islam non Arab jelas untuk dapat mengamalkan isi dan
kandungan Al-Quran harus melalui tahapan penerjemahan dan penafsiran, sehingga
mereka dapat memahami secara benar apa yang diperintahkan atau diajarkan di
dalamnya. Berbagai bidang kajian lain dalam Islam seperti fiqih, tauhid, akhlak,
tasawuf dan lainnya merupakan bentuk-bentuk penafsiran manusia terhadap isi al-
Quran dalam upaya mempermudah bagi umat Islam di manapun untuk mengamalkan
ajaran agama Islam dengan baik dan mudah.
Sisi simbolik tidak hanya terlihat pada aspek ajaran saja, pengamalan ajaran
setiap agama di masyarakat juga berfungsi simbolik. Ibadah yang merupakan bentuk
formal dan esensi dari pengamalan ajaran setiap agama, dalam satu sisi juga sangat
simbolik.110 Dalam Islam, hal ini dengan mudah dapat dipahami pada gerakan-
108Sebagai contoh terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)". 109Q.S. Yusuf (12): 2. 110Seseorang yang rajin beribadah menjadi simbol bahwa seseorang tersebut mempunyai ketaatan yang penuh terhadap Tuhan. Di sisi lain dalam setiap ibadah disertai dengan gerakan-gerakan yang sangat simbolik, yang telah diatur di dalam agama tersebut. Terlebih, apabila dikaitkan dengan berbagai prasarana ibadah yang memberi ruang bagi pikiran manusia atau ijtihad akal di seputar ibadah.
81
gerakan salat misalnya, hal ini sebetulnya sangat simbolik dan memang telah
ditentukan oleh shari<ah. Pakaian salat yang beraneka ragam, dan pola-pola budaya
yang lain sebagai rangkaian salat selain berfungsi substansif ajaran agama juga
memberi contoh sederhana adanya simbolisme di dalam ibadah umat Islam. Contoh
lain, Ka’bah sebagai benda sakral juga menjadi simbol umat Islam. Umat Islam
diperintah untuk salat menghadap ke kiblat, di mana Ka’bah menjadi kiblat untuk
umat Islam. Semua umat Islam sadar penuh bahwa ajaran itu tidak berarti mereka
salat menyembah Ka’bah seperti orang jahiliyah menyembah berhala. Ka’bah
sebetulnya tidak lain adalah simbol bendawi saja untuk menyatukan konsentrasi
seluruh umat Islam menuju Allah, dan sekaligus membedakan dengan umat lain.111
Sangat kompleksnya simbol-simbol agama dalam praktik beragama yang
dilakukan seseorang maupun masyarakat, juga terlihat dalam beberapa hal yang
memberi ruang untuk ijtihad, yaitu urusan di luar ibadah. Seperti pakaian rapat bagi
wanita muslimah sebagai ajaran agama, tetapi aneka ragam model jilbab di kalangan
muslimah juga sangat erat hubungannya dengan simbolisme.112 Fungsi identitas
masyarakat beragama juga banyak diperankan oleh simbol-simbol agama ini, apalagi
111Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 170. Perintah agar umat Islam menghadap ke Kabah tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 144 yang artinya "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai; Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam; Dan di mina saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya). 112Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab (33): 59 yang artinya: Hai nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orrang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”; yyang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu: dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang” adalah sebagai perintah mengenakan jilbab bagi perempuan muslimah. Misal yang lainnya, munculnya model pakaian atau baju takwa (baju koko) bukan sekedar penutup aurat, tetapi juga berfungsi simbolik dalam Islam (mencirikan orang bertakwa).
82
setelah berinteraksi dengan budaya dan tradisi masyarakat. Tradisi agama seperti
lebaran, upacara siklus kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, kematian dan lain
sebagainya lebih jelas menunjukkan simbol-simbol yang penuh makna yang terkait
dengan agama (Islam). Dalam simbol-simbol tradisi, makna simbolik lebih kompleks,
yang banyak memberi ruang bagi siapapun untuk memaknainya. Belum cukup
simbol-simbol praktis, umat-umat beragama juga sering membuat simbol-simbol
khusus sebagai identifikasi agamanya. Seperti aneka ragam bendera milik organisasi-
organisasi Islam juga menjadi simbol yang memang sengaja dibuat berikut dengan
maknanya. 113
Deskripsi di atas sebagai cermin bahwa simbolisme dalam praktik beragama
di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang sulit atau bahkan tidak dapat
dihilangkan. Sistem simbol akan memaknai seluruh aspek kehidupan baik benda fisik
maupun peristiwa, dan simbol tersebut juga bermakna secara berbeda antara penganut
agama yang satu dengan penganut agama yang lain.114 Hal itu terlihat pada perbedaan
sudut pandang atau perspektif dalam menafsirkan simbol-simbol dalam kehidupan
agama dan juga akan menghasilkan makna yang berbeda dengan kebenarannya
masing-masing. Semakin kompleks tingkah laku beragama, semakin kompleks pula
maknanya, meliputi berbagai aspek kehidupan. Seperti penafsiran terhadap
kebudayaan secara umum, pemaknaan terhadap aneka ragam praktik agama di
masyarakat juga bersifat subjektif. Meski demikian, tidak berarti pula setiap
113Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 171. 114Zulkifli, Antropologi Sosial., 148.
83
penafsiran mereka salah semata, melainkan kebenaran hasil pemaknaan atau
penafsiran memang diukur secara intersubjektifitas. Di sini tingkat kebenaran
tergantung kesepakatan kelompok manusia. Oleh karena itu makna di balik praktik
agama tidak identik bahwa praktik agama seseorang itu salah dan subjektif. Dan
tentunya, pemaknaan ini berada di luar pembahasan tentang nilai atau kualitas praktik
agama seseorang.115
Simbol dalam agama memang mengejawantah dalam tradisi keagamaan116
yang disebut sebagai simbol suci, dan karena penafsiran terhadapnya selalu
bersentuhan dengan teks suci, maka simbol yang diwujudkan juga merupakan sesuatu
yang sakral. Dengan simbol-simbol suci ini, dalam tradisi keagamaan orang akan
melakukan serangkaian tindakan menumpahkan keyakinan dalam bentuk melakukan
ritual, penghormatan, dan penghambaan. Dengan kata lain, pada tingkat praktis
tertentu, simbol-simbol agama dimanifestasikan dengan serangkaian praktek ritual.117
Dan untuk memahami lebih dalam mengenai konsep ritual dalam tradisi keagamaan,
berikut akan dipaparkan konsep ritual tersebut.
115Berbagai makna, dari sebuah praktik agama di masyarakat juga dapat menjadi satu faktor bertahannya agama dan praktik beragama dalam sebuah masyarakat. Seperti Kejawen yang hidup di Jawa merupakan satu contoh praktik beragama, yang sangat dekat dengan Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya. Praktik-praktik kejawean sangat kuat mengakar di maysrakat Jawa. Lihat M. Soheda, Orang Jawa Memaknai Agama (Yogyakarta: Kreasi wacana, 2008), 15. 116Tradisi keagamaan merupakan kumpulan atau hasil perkembangan sepanjang sejarah, ada unsur yang masuk dan ada yang ditinggalkan juga. Sebagaimana tradisi Islam bisa terdiri dari elemen yang tidak Islami dan tidak didapatkan sumbernya dari Qur’an dan Hadis, seperti ketika ajaran agama digunakan dan diamalkan masyarakat, maka ketika itu tradisi setempat mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Nur Syam, Islam Pesisir, 17. 117Ibid. Lihat juga Erni Budiwanti, Islam Sasak; Wetu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000), 27.
84
C. Memahami Konsep Ritual
Sikap mensakralkan sesuatu pasti ditemukan dalam kehidupan beragama,
seperti tempat, waktu, orang, benda tertentu, dan lain sebagainya. Sakral (sacred)
berarti suci. Pasangan dari sakral adalah profan, yaitu yang biasa-biasa saja, yang
alamiah.118 Kepercayaan sebagai yang suci, menurut Durkheim, datang dari subjek
yang menganggap atau mempercayainya, tidak pada objek yang dipercayai sebagai
yang suci itu. Suci atau sakral bukan sifat benda itu sendiri, tetapi diberikan oleh
manusia atau masyarakat yang menyucikannya kepada benda yang disucikan. Oleh
karena itu, suci adalah sifat pasif pada benda yang disucikan, bukan sifat aktif,
sehingga kesucian benda itu hanya kepercayaan dan anggapan manusia atau
masyarakat yang menyucikannya saja.119
Sifat sakral, menurut Roger Caillois, sejenis kategori perasaan religius yang
menempati benda yang dipercayai sebagai sakral dan memberikan kepadanya 118Kata sakral dan sacring tidak terdapat dalam bahasa Inggris. Dalam budaya dan pemikiran Barat, tidak ada sifat suci yang sebenarnya yang terdapat pada benda, yang ada hanya sifat pasif, sifat yang diberikan kepada benda. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 81. Dan istilah sakral (sacred) dan profan pertama kali dikemukakan oleh Durkheim dalam kajiannya mengenai agama. Menurut Durkheim, kualitas sakral terletak pada kebaikan nilai-nilai yang dikandung sesuatu, sentimen-sentimen kekuatan dari kepercayaan yang bersifat umum. Sedangkan yang profan terletak pada kegunaan dari nilai yang dikandung dari agama itu untuk kepentingan manusia. Demikian juga dengan struktur dan institusi agama memiliki kekuatan sakral dan profan, Gereja, contohnya, dapat mencerminkan representasi yang sakral dan profan tersebut, ia melambangkan representasi simbol-simbol kekaguman dan penghormatan, juga sebaliknya menghadirkan kegunaan-kegunaan tertentu bagi manusia. Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam (Surabaya: Pustaka Eureka, 2005), 40. Talcott Parsons, “Agama dan Masalah Makna”, dalam Roland Robertson, ed. Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: Rajawali Press 1985), 53-54. 119Seperti al-Quran, bulan Ramadhan, Tanah Haram, waliullah, Ka’bah adalah objek yang profan, namun dalam pandangan kaum muslimin ia objek yang sakral suci. Salib, Gereja, hari Natal, kitab Bibel atau al-Kitab dipercayai suci dalam agama Kristen. Kasta Brahmana, kitab Weda, sungai Gangga, hari Nyepi, pura adalah suci dalam kepercayaan agama Hindu. Totem adalah suci dalam pandangan masyarakat primitif yang mempercayainya. Kitab Tripitaka, patung Sidharta Gautama, Vihara, dipercaya suci dalam ajaran agama Budha. Sinagog, kitab Taurat, hari Sabat, suci dalam pandangan penganut agama Yahudi. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 80.
85
perlakuan atau karakter istimewa. Sakral menempatkan benda tidak dapat didekati
atau dipahami secara rasional, dan kesakralan merupakan ide dasar dari agama (it is
the basic idea of religion) dan agama adalah administrasi terhadap yang sakral
(religion is the administration of the sacred). Kepercayaan, mitos dan dogma
menjelaskan karakteristik bendanya dan perlakuan seharusnya terhadap yang sakral
itu, dan ritual merupakan refleksi atau realisasi dari kepercayaan kepadanya120
Berbeda dengan di atas, pandangan Eliade lebih mengungkapkan kelebihan
manusia yang mampu menghayati kesakralan suatu benda. Kesakralan merupakan
suatu aktivitas kehidupan yang disengaja, supernatural, mengesankan, substansial,
penting dan realitas yang agung. Sedangkan profan adalah yang biasa-biasa saja
dalam kehidupan sehari-hari, yang berubah dan sering kacau. Kebanyakan yang kita
saksikan dan alami dalam kehidupan sehari-hari adalah yang profan. Akan tetapi
yang profan dapat juga kita alami sebagai yang sakral tergantung kepada manusia
yang mengalaminya.121
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut diperlakukan secara
khusus, sesuatu yang sakral harus dipuja, dihormati, disembah melalui upacara. Ada 120Sesuatu yang sakral berhubungan dengan milik bersama, berlangsung terus-menerus atau dapat pula sebentar saja yang ditujukan kepada seseorang, tempat, waktu, atau benda tertentu. Sebagai sifat benda yang dipercayai, ia bukanlah sesuatu yang dapat ditunjukkan dan dapat dibawa pergi. Ia adalah kualitas yang tidak dipunyai pada benda yang sakral itu sendiri semenjak awal benda itu ada, tetapi dia adalah aura misterius yang ditambahkan kepada benda yang sakral itu. Yang sakral menimbulkan sikap yang juga antagonis. Di satu pihak orang menghormatinya, memberikan sesajen kepadanya, mengunjunginya dengan pengorbanan tenaga dan biaya yang besar, tetapi di segi lain, ia juga berbahaya, punya hal-hal yang tabu dilakukan terhadapnya. Kalau kesuciannya dilanggar dan yang ditabukan dikerjakan juga, yang bersangkutan dipercayai akan mendapat bahaya. Oleh karena itu, sesuatu yang sakral dipercayai juga mengandung kekuatan yang berbahaya, tidak dapat dimengerti, memang demikian, tetapi juga membawa berkah. R. Caillois, Man and Sacred (Connecticut: Free Press, Greenwood Publisher, 1980), 20-23. 121Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 84, 132..
86
tata cara perlakuan tertentu terhadap sesuatu yang disakralkan. Upacara dan
perlakuan khusus ini tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional. Upacara,
persembahan, sesajen, ibadah keagamaan ini biasanya tidak dapat dipahami alasan
ekonomis dan pragmatisnya. Upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya ini
dinamakan ritual (rites) yang berarti tindakan atau upacara keagamaan.122
Upacara keagamaan, menurut Koentjaraningrat, termasuk dalam salah satu
dari empat komponen unsur religi; Pertama, emosi keagamaan, merupakan suatu
getaran yang menggerakkan jiwa manusia dan menyebabkannya menjadi religius
(berperilaku keagamaan). Kedua, sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan
serta imajinasi manusia tentang Tuhan, keberadaan alam gaib, dan makhluk-makhluk
gaib dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan menentukan tata urut dari unsur-unsur
upacara, serta sarana dan prasarana yang digunakan dalam unsur keagamaan. Ketiga,
sistem ritual berupa upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan manusia
dengan Tuhan. Sistem ini melambangkan konsep-konsep yang terkandung dalam
sistem kepercayaan. Keempat, kelompok-kelompok keagamaan bisa berupa
organisasi sosial keagamaan yang juga menggunakan simbol-simbol dengan ciri khas
masing-masing kelompok keagamaan tersebut.123
Menurut Muhaimin yang mengutip pendapat Funk dan Wagnalls, bahwa ritual
berarti bentuk atau metode tertentu dalam melakukan upacara keagamaan atau
122Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 96. 123Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974), 25. Lihat juga Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi; Pokok-pokok Etnografi (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 201-202.
87
upacara penting, atau tata cara dalam bentuk upacara.124 Gluckman menyatakan
bahwa upacara sebagai kumpulan aktivitas manusia yang kompleks dan tidak mesti
bersifat teknis atau rekreasional, tetapi melibatkan model perilaku yang sepatutnya
dalam hubungan sosial. Sedangkan ritual adalah kategori yang lebih terbatas, tetapi
secara simbolis lebih kompleks karena menyangkut urusan sosial dan psikologis yang
lebih dalam, dan ritual dicirikan mengacu pada sifat dan tujuan magis.125 Leach lebih
mengartikan ritual sebagai perilaku untuk mengungkapkan status pelakunya sebagai
makhluk sosial dalam sistem struktur di mana seseorang berada. Dalam
pandangannya, sebagian besar tindakan manusia berada dalam skala
berkesinambungan. Di satu sisi, perilaku manusia dapat bersifat sepenuhnya duniawi,
sepenuhnya fungsional, serta sangat teknis dan sederhana. Sementara di sisi lain,
perilaku manusia dapat juga bersifat sakral, sangat estetis, serta secara teknis non-
fungsional dan kompleks. Bagi Leach, setiap aktivitas sosial berada di antara dua titik
ekstrim ini dan seringkali terjadi tumpang tindih. Ini berarti bahwa setiap perilaku
manusia memiliki aspek ritual sekaligus non-ritual.126
Durkheim, R. Smith dan Dirks lebih melihat ritual sebagai penguatan ikatan
tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok. Integrasi itu
dikuatkan dan diabaikan melalui simbolisasi ritual atau mistik, jadi ritual adalah
124Makna dasar ini menyiratkan bahwa pada satu sisi, aktivitas ritual berbeda dengan aktivitas biasa, terlepas dari ada atau tidaknya nuansa keagamaan atau kekhidmatannya. Di sisi lain, aktivitas ritual berbeda dari aktivitas teknis dalam hal ada atau tidaknya sifat seremonial. Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta: Logor, 2001), 113. 125Ibid., 114. 126Ibid., 115.
88
perwujudan esensial dari kebudayaan.127 Ritual dilakukan dengan beberapa
keinginan, ada yang untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak dari suatu
pekerjaan, seperti upacara sakral ketika akan turun ke sawah; ada untuk menolak
bahaya yang telah atau diperkirakan akan datang; ada upacara mengobati penyakit
(rites if healing); ada upacara karena perubahan atau siklus dalam kehidupan
manusia, seperti pernikahan, mulai kehamilan, kelahiran (rites of passage, cyclic
rites); dan ada pula upacara berupa kebalikan dari kebiasaan kehidupan harian (rites
of reversal) seperti puasa pada bulan atau hari tertentu, kebalikan dari hari lain yang
mereka makan atau minum pada hari lain tersebut. Memakai pakaian tidak berjahit
ketika berihram haji atau umrah adalah kebalikan dari ketika tidak berihram, dan lain
sebagainya.128
Sebuah ritual keagamaan, menurut Gellner, memiliki unsur makna dan nilai
spiritual, sebagaimana diyakini oleh pemeluk agamanya. Oleh karena itu, Gellner
mengatakan bahwa kajian antropologi agama lebih memusatkan perhatiannya pada
berbagai praktik kemasyarakatan yang dianggap memiliki nilai mistik-spiritual,
seperti praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, dan pengobatan “secara bersama-
sama”.129 Di bagian yang lain, ritual juga memiliki tempat yang sama dengan istilah-
istilah lainnya dalam ranah studi agama dan ekspresi pengungkapannya, selain mitos-
127Nur Syam, Islam Pesisir., 19. 128Banyaknya upacara ritual dalam masyarakat, mengingatkan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari rangkaian ritus. E. Norbeck, Religion in Human Life (New York: Holt, Rinehart and Winston Inc., 1974), 40-54. 129David N. Gellner, “Pendekatan Antropologis” dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002), 34.
89
mitos religius, upacara kurban, mediasi dan orang-orang istimewa. Sebagai tindakan
simbolis, ritual biasanya dipergunakan untuk pengertian-pengertian mistis.130
Lebih jauh, sebagaimana dikutip Langer, ritual lebih merupakan ungkapan
yang bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual biasanya
memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini
mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dan para
pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing. Oleh karena itulah, Robert N.
Bellah mengatakan bahwa setiap tindakan manusia pada dasarnya merupakan
tindakan simbolik atau tindakan yang meniscayakan aspek kebudayaan.131
Sedangkan menurut Nottingham yang lebih mengartikan ritual (ibadat)
sebagai bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati.132 Ritual
ini mencakup semua jenis tingkah laku seperti: memakai pakaian khusus,
mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu,
bersemedi, menyanyi, menyanyikan lagu gereja, berdo’a (bersembahyang), memuja,
mengadakan pesta, berpuasa, menari, berteriak, dan membaca. Dengan demikian,
sifat sakral pada ritual tidak tergantung pada ciri hakikinya, tetapi pada sikap mental 130Ibi Satibi, Ritual Munjung dan Bongkar Bumi dalam Masyarakat Suku Sunda; Studi Antropoligis di Leuwimunding, Istiqro, vol. 7, no. 01 (2008), 61. Mistik ialah makna tersembunyi, kekuatan spiritual yang menimbulkan sifat kagum dan hormat. Mistik juga berarti bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan kebenaran hakiki hanya mungkin didapatkan melalui meditasi dan perenungan spiritual, tidak melalui pikiran dan tanggapan pancaindera. Mistik adalah aspek esoteris dari penghayatan seseorang atau suatu organisasi yang disebabkan oleh ketaatan spiritual. Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia., 106. Suyono juga mengungkapkan bahwa mistik adalah subsistem yang ditujukan untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. A. Suyono, Kamus Antropologi (Jakarta: Akademika Pressisindo, 1985),259. 131R.N. Bellah, Beyond Belief Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudi Harisyah Alam, (Jakarta: Paramadina, 2000), 372. 132Lihat E.K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj. Abdul Muis Naharong (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 16.
90
dan sikap-sikap emosional kelompok (masyarakat) terhadapnya dan kepada konteks
sosio-kultural pada tempat dilaksanakannya ritual tersebut.
Dhavamony juga membedakan antara upacara dengan ritual. Upacara ialah
setiap organisasi kompleks apa pun dari kegiatan manusia yang tidak hanya bersifat
sekedar teknis atau rekreasional, tetapi juga berkaitan dengan penggunaan cara-cara
tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial. Sedangkan ritual ialah suatu kenyataan
bahwa ia melibatkan pengertian mistis. Ritual dibedakan menjadi empat macam,
yaitu: 1) tindakan magis, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang
bekerja karena daya mistis, 2) tindakan religius, kultus leluhur, juga bekerja dengan
cara ini, 3) ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial
dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara
kehidupan menjadi khas, 4) ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau
kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan
kesejahteraan materi suatu kelompok.133
Ritual menurut Winnick, sebagaimana dikutip oleh Nur Syam, merupakan
salah satu aspek penting dari upacara. Ritual dalam hal ini adalah seperangkat
tindakan, yang selalu melibatkan agama atau magis, yang dimantapkan melalui
tradisi. Ritual tidak sama persis dengan sebuah pemujaan karena ritual merupakan
tindakan yang bersifat keseharian, seperti pada periode kelahiran, perkawinan,
kematian dan lain sebagainya.134
133Mariasussai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 175. 134Nur Syam, “Tradisi Islam Lokal Pesisir”, 21.
91
Ritual menurut O’Dea merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan
(celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan
ditandai oleh sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti
merupakan suatu pengalaman yang suci. Pengalaman itu mencakup segala sesuatu
yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan
yang “tertinggi”, dan hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya
biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga
manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka
muncullah beberapa bentuk ritual agama seperti ibadah.135 Dalam ritual agama,
dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan hiasan atau semacam alat saja,
tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah “pengungkapan iman”. Oleh karena itu
upacara atau ritual agama diselenggarakan pada beberapa tempat, dan waktu yang
khusus, dengan tindakan dan perbuatan yang luar biasa, dan pelbagai peralatan ritus
lain yang bersifat sakral.136
Terdapat juga sebagian pendapat ahli yang menyamakan ritual dalam Islam
dengan ibadah, dan ibadah dengan Rukun Islam. Di antaranya ditemukan dalam
pandangan Bousquet yang berfokus pada fiqih. Ini berbeda dengan pandangan
Muhaimin yang mengatakan bahwa Islam tidak hanya dapat direduksi sebagai fiqih
semata.137 Ritual dalam Islam bagi Muhaimin tidak identik dengan Rukun Islam
135Lihat Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, terj. Tim Penerjemah Yasogama (Jakarta: Rajawali Pres & Yayasan Yasogama, 1995), 5-6. 136 Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama., 31. 137Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, 117.
92
karena dalam kenyataannya ada banyak aktivitas lain yang tidak tercakup dalam
fiqih.138 Rippin juga berpendapat demikian, sampai pada titik tertentu memang
diperbolehkan. Namun, pada batas-batas tertentu perlu dibedakan sebab dalam
konteks lain, penyamaan tersebut justru akan menyesatkan. Dalam pandangan Rippin,
pusat ritual Islam memang pada Rukun Islam -syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji.
Pandangan ini mengacu pada literatur fiqih yang membahas masalah ibadah secara
terpisah dari subjek lain, seperti fara>id, jiha>d, mu’a>malah, hudu>d, dan muna>kahah.
Dengan adanya ibadah pusat ini, Rippin menunjukkan adanya pemahaman ibadah
lain yang tidak termasuk sebagai kategori pusat. Dengan kata lain, ibadah dalam
agama Islam tidak terbatas pada Rukun Islam semata, meskipun itu yang paling
utama. Rippin mencatat bahwa perayaan maulid, berdo’a, dan melakukan ziarah
kubur merupakan “ritual” tambahan yang dianggap sangat penting bagi orang Islam
dalam mengekspresi keimanan mereka.139
Senada dengan pandangan di atas, Denny juga mengartikan ritual Islam
sebagai ekspresi doktrin Islam.140 Keduanya saling menguatkan dalam proses
penemuan dan disiplin agama yang menyatu. Denny menegaskan bahwa istilah paling
mendasar untuk ritual Islam adalah “ibadah” yang berarti memuja atau melayani
kepada Tuannya, sebagaimana bawahan kepada atasan. Akan tetapi, ia membuat
kategori ihwal ibadah Islam menjadi ibadah “utama” berupa semua kewajiban formal
138Ibid. 139A. Rippin, Muslim: Their Religious Belief and Practice (London: Rouledge, 1990), 98. 140Fredrick M. Denny, “Ritual Islam: Perspektif dan Teori” dalam Richard C. Martin, ed., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, (Surakarta: Muhammadiyyah University Press, 2002), 86.
93
Islam yang dimasukkan dalam Rukun Islam. Dalam hal ini, Denny mengatakan
bahwa “ibadah” merupakan bagian utama ritual Islam dan terdapat aktivitas ibadah
lain yang bersifat “non-utama” yang juga diatur dalam Islam. Denny memberi contoh
misalnya, hari raya Idul Adha yang tidak terpisah dari haji, hari raya Idul Fitri yang
tidak terpisah dari puasa Ramadhan, dan terdapat salat khusus pada saat terjadi
gerhana atau bencana alam yang bervariasi berdasarkan standar yang sudah
ditetapkan.141 Denny juga menyatakan bahwa praktik ritual Islam populer, seperti
wasi>lah dari orang-orang suci dengan cara mengunjungi makam mereka termasuk
ibadah non-utama.142
Dari uraian di atas perihal konsep ritual dalam Islam, dapat ditegaskan bahwa
fenomena agama adalah fenomena universal manusia, merupakan gambaran bahwa
keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali
praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran
agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara
doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama.
Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak
berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama
dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu
berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya. Kenyataan yang
demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah
141Ibid., 92. 142Ibid., 87.
94
masyarakat –baik dalam wacana maupun dalam praktis sosialnya– menunjukkan
adanya unsur konstruksi manusia. Pernyataan ini tentunya tidak berarti bahwa agama
semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara
konstruksi Tuhan seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci dengan konstruksi
manusia berupa interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada
praktik ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran
agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya yang telah melekat di
dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama
berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Melihat agama di masyarakat
adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh
penganutnya. Oleh karena itu, pembahasan tentang bagaimana hubungan agama
(Islam) dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan dalam
suatu masyarakat tertentu.
D. Memahami Dialektika Islam dan Budaya Lokal
Pernyataan bahwa fenomena agama adalah fenomena universal manusia
merupakan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas
budaya di sekelilingnya. Antara agama dan budaya keduanya sama-sama melekat
pada diri setiap orang beragama, dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal,
praktik agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya. Oleh
karena itu, kebudayaan sangat berperan penting dalam membentuk sebuah praktik
95
keagamaan bagi seseorang atau masyarakat.143 Seringkali praktik-praktik keagamaan
pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya.
Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya lokal terlihat sangat jelas
dalam praktik ritual agama dalam masyarakat di Nusantara.144 Setiap agama memiliki
sifat yang berbeda dalam interaksinya dengan konteks budaya lokal. Demikian juga
dialektika antara Islam dan realitas budaya selalu mungkin terjadi, karena Islam tidak
berada dalam realitas yang vakum -selalu original. Islam akan senantiasa bersentuhan
dengan budaya lokal yang akhirnya dapat berupa akulturatif, sinkretis, atau
kolaboratif.145 Misalnya perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan
tradisi sungkeman -bersilaturahmi kepada yang lebih tua- adalah sebuah bukti dari
keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Mengingkari keterpautan agama
dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu
berhubungan dengan manusia, yang pasti senantiasa dilingkari oleh budayanya. 143Kebudayaan tidak hanya melahirkan bermacam-macam agama, ia juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya berbagai macam praktik beragama dalam satu payung agama yang sama. Di sisi lain, agama sebagai sebuah ajaran yang luhur dari Tuhan pada gilirannya juga akan membentuk sebuah tatanan budaya baru. Khadziq, Islam dan Budaya Lokal., 42-43. 144Istilah budaya lokal dalam bahasa sehari-hari identik dengan istilah kebudayaan daerah. Namun, kurang tepat dalam hal ini, karena istilah daerah ditentukan batasnya oleh tujuan dan keputusan politik melalui undang-undang atau peraturan yang di dalamnya belum tentu terjadi kesamaan budaya, satu darah memungkin adanya berbagai budaya. Sedangkan batasan masyarakat yang mewakili budaya adalah suku Bangsa. Suku adalah golongan penduduk suatu daerah yang membentuk kesatuan sosial, mempercayai bahwa mereka berasal dari satu keturunan dan memiliki tanah, adat, bahasa, dan pemimpin bersama. Ibid., 47-48. 145Islam bercorak akulturatif adalah hasil perjumpaannya dengan budaya lokal dalam waktu yang sangat lama, tetapi tidak dalam bentuknya yang saling mengalahkan. Sinkretik adalah hasil perpaduan antara ajaran Islam dengan Hindu, Budha dan kepercayaan Animisme yang saling mengalahkan, dan kebanyakan yang kalah adalah ajaran Islam, sehingga yang tampak di luar adalah Islam akan tetapi yang mendalam adalah kepercayaan lokal. Dan kolaboratif ialah hasil konstruksi bersama antara agen dan masyarakat dalam penggolongan sosial, sehingga terbentuk corak Islam yang khas. Nur Syam, Sosiologi Komunitas Islam., 111.
96
Realitas empirik yang demikian itu juga memberikan arti bahwa
perkembangan agama dalam sebuah masyarakat -baik dalam wacana dan praktis
sosialnya- menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu
pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan
hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan yang seperti yang
tercermin dalam kitab-kitab suci dengan konstruksi manusia berupa terjemahan dan
interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktik ritual
keagamaan.146
Di Indonesia, usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan
sosial telah banyak dilakukan. Seperti bukunya Clifford Geertz The Religion of Java
yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer di Indonesia khususnya di
Jawa.147 Dalam diskursus interaksi antara agama -khususnya Islam- dan budaya di
Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak peneliti untuk melihat lebih
mendalam tentang interrelasi antara keduanya.148 Keterpengaruhan itu bisa dilihat
146Pengaruh lingkungan budaya yang melekat sangat kuat pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, dari cara berpikir sampai mengaflikasikan hasil pikiran tersebut. 147Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami agama (Islam). Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Jamhari Ma'ruf, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam” dalam http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp (05 Januari 2010). Karya Geertz ini disebutkan untuk memberikan ilustrasi bahwa kajian perihal dialektika agama dan budaya di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas, dan dapat melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masyarakat dalam tataran akar rumput, serta memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. 148Geertz memberikan gambaran bahwa masyarakat Jawa memiliki agama sendiri yaitu agama lokal yang berisi kepercayaan terhadap numerologi, kekuatan gaib, dan tradisi ritualnya, yang diidentikkan dengan kaum abangan (pedesaan). Kaum santri (dipasar) yang memiliki keyakinan ”kuat” terhadap agama Islam, serta kaum priyayi yang berpusat di kota, lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu/Budha. Nur Syam, Islam Pesisir., 23.
97
dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz
ataupun mereka yang melakukan kritik terhadap wacana Geertz.149
Islam sebagai sebuah agama, dalam penyebarannya menghadapi sistem nilai
yang beragam. Namun, proses dialektika Islam dan tradisi budaya lokal
memperlihatkan interaksi yang cukup intens antara agama yang bersifat universal dan
nilai, norma, serta praktik sosial yang bersifat lokal. Islam tidak hanya
mempertimbangkan tradisi budaya tersebut dalam proses penyebarannya, tetapi juga
telah melakukan pelbagai proses pembaruan tradisi baru. Islam bukan hanya
merupakan kumpulan doktrin Ilahi dan kenabian yang transenden, tetapi juga
terwujud dalam realitas sosial. Sebagai kenyataan, adanya Islam sebagai pandangan
dunia dan konsep realitas di satu pihak dengan Islam sebagai realitas empiris di pihak
lain mencerminkan adanya “dua wajah” dalam memahami dan mengkaji Islam. Dua
wajah Islam yang berbeda itu dirumuskan oleh para ahli dengan menggunakan
pelbagai kerangka. Seperti konsepsi Fazlur Rahman bahwa tradisi Islam bisa terdiri
dari elemen yang tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara Islam itu sendiri dengan sejarah
149Beberapa pandangan senada dengan Geertz di antaranya ialah Mulder dalam tulisannya tentang Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya (1999). Dengan cara pandang lokalisasi, Mulder mengemukakan bahwa agama di Asia Tenggara adalah agama yang telah mengalami lokalisasi. Demikian juga dengan Andrew Beaty dalam tulisannya Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan (1994), menyatakan bahwa slametan inti dari keyakinan agama Jawa popular. Sedangkan yang mengkritisi pandangan Geertz seperti Bachtiar (1981), Hefner (1985), Hendroprasetyo (1993), Suhartini (1997), Woodward (2000), Muhaimin (2001), Budiwanti (2000) dan juga Nur Syam dalam tulisannya yang bertitel Menelusuri Dinamikan Santri dan Perubahan (2000), dinyatakan bahwa pembagian trikotomi Geertz tidak mengacu pada kenyataan sebenarnya tersebab oleh ”kesalahan” konseptualisasi antara abangan dan santri di satu sisi dengan priyayi di sisi lain. Lebih lengkap lihat Ibid., 23- 28. Juga Nur Syam, Sosiologi Komunitas Islam., 122-128.
98
Islam atau tradisi Islam.150 Di Indonesia, Hamka terkenal sebagai penulis sejumlah
karya tentang sejarah, juga membuat kategorisasi dan perbedaan antara sejarah Islam
di satu pihak dengan sejarah umat Islam di pihak lain. Dalam pandangannya, sejarah
Islam mengacu kepada sejarah Islam normatif dan doktrinal, sedangkan sejarah umat
Islam merupakan dinamika penganut agama Islam dalam suatu rentang waktu
dinamika dan pergumulan itu. Di dalam perjalanan sejarah, hal ini tidak selalu
merupakan perwujudan dan pengungkapan dari Islam normatif secara sempurna.151
Perbedaan lain diperkenalkan oleh G.V. Grunebaum, dengan mengambil
kerangka analisis yang diperkenalkan oleh antropolog Robert Redfield mengenai
ihwal tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Kerangka tradisi
besar dan tradisi kecil ini dipopulerkan oleh Grunebaum sebagai alat untuk
menjelaskan Islam. Dalam konteks Islam, tradisi besar difahami sebagai Islam
doktrinal-normatif, sedangkan tradisi kecil merupakan aktualisasi Islam dalam
realitas sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Dalam
perkembangan wacana kajian Islam (Islamic studies) selanjutnya, istilah tradisi kecil
menjadi tradisi atau budaya lokal (local tradition), yakni Islam yang mengejawantah
di dalam lingkungan masyarakat dan sosial budaya lokal tertentu.152
150Dalam dimensi historis, boleh jadi tradisi Islam bisa terdiri dari elemen yang tidak Islami dan tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi dapat dibedakan antara Islam itu sendiri dengan sejarah Islam atau tradisi Islam. Ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah ajaran yang merupakan sumber asasi, dan ketika sumber itu diamalkan dan digunakan dalam suatu wilayah –sebagai pedoman kehidupan- maka bersamaan dengan itu, tradisi setempat bisa saja mewarnai penafsiran masyarakat lokalnya. Nur Syam, Islam Pesisir., 17. 151Hamka, Sejarah Umat Islam I (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), cet. ke-6, 119-20. Sen 152Azyumardi Azra, “Islam dan Akomodasi Budaya” dalam Azyumardi Azra, ed., Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), 65-67.
99
Kerangka perbedaan selanjutnya diperkenalkan oleh sejarawan Marshall G.S.
Hodgson. Kategorisasi Hodgson terdiri dari tiga macam; pertama Islamic, yaitu
doktrin normatif sebagaimana terdapat pada teks-teks Al-Qur’an, Hadist, dan teks-
teks baku lainnya; kedua, Islamicate, yaitu Islam yang mengejawantahkan secara
historis-empiris, yang mempengaruhi dan terwujud dalam pelbagai bidang kehidupan
sosial-budaya muslim; dan ketiga, Islamdom, yaitu Islam yang terwujud sebagai
kekuatan politik dan kekuasaan. Sepanjang sejarah, sejak masa-masa awal telah
terjadi kesenjangan antara Islam dengan umat Islam, antara Islam tradisi besar dengan
Islam tradisi kecil, atau antara Islamic dengan Islamicate. Kesenjangan tersebut pada
gilirannya dapat memunculkan ketegangan dan konflik antara doktrin normatif-
teologis Islam dengan realitas dan perkembangan sosial-budaya.153
Adanya eksistensi kedua ranah Islam seperti dikemukakan di atas dengan
dinamikanya yang khas itu dapat dilihat dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara
sejak masa paling awal penyebarannya, pada proses Islamisasi selanjutnya, dan
bahkan sampai dewasa ini. Sebuah kenyataan sejarah bahwa masuknya Islam ke
Indonesia (baca; Nusantara) lebih banyak mengandalkan jalur-jalur kultural daripada
cara kekerasan. Dapat dibuktikan betapa banyak kajian yang memunculkan teori
tentang mudahnya Islam diterima oleh masyarakat Indonesia.154 Islam sebagai gerak
agama baru ternyata menyajikan pola kehidupan yang membolehkan ruang gerak
153Lihat Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam Conscience and History In a World Civilization I: The Classical Age of Islam (Chicago: The University of Chicago, 1974), 71-72. 154Teori-teori kedatangan Islam di Nusantara dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 24-26.
100
lebih luas daripada tata cara yang dipakai secara ketat pada agama Hindu, di mana
menurut ajaran Hindu seorang pedagang lebih rendah daripada para warga wangsa-
wangsa yang lebih tinggi.155
Taufik Abdullah, menyebutkan bahwa proses penyebaran dan aktualisasi
Islam Nusantara umumnya melibatkan dinamika konflik dan akomodasi dengan
pandangan dunia serta sistem dan tradisi sosio-budaya lokal. Dengan pretensi ini,
Islam tetap diyakini oleh setiap kaum muslim mampu mengatasi (transenden) setiap
perbedaan dan variasi lingkungan sosial dan kultural yang ada di kalangan kaum
muslim.156 Memang tidaklah mengherankan jika terdapat ketegangan antara Islam
sebagai agama wahyu dan realitas sosial-kultural yang tumbuh, antara doktrin yang
abadi serta universal dan dinamika yang dihadapi manusia dengan sekitarnya dan
sesamanya pada ruang dan waktu yang berbeda. Ketegangan juga akan semakin
meningkat bila kalangan umat Islam, baik secara individual maupun komunal -dalam
bentuk organisasi atau gerakan tertentu-, sangat menekankan watak universal dan
abadi tersebut dengan mengingkari keabsahan realitas sosial-kultural lokal.157
155Dan ketika para penguasa masuk Islam, maka para kawula juga banyak yang masuk Islam. Dengan kata lain, para penguasa pada saat itu juga turut serta mempermudah penyebaran Islam di kalangan para kawula. Clifford Geertz, The development of Javanese Economy: A Socio-Cultural Approach (Canbridge, Massachusetts, 1956), 93. 156Ketegangan dan konflik di antara Islam dengan budaya lokal bersumber pada sifat dan karakter Islam sebagai agama wahyu (ad-din as-samawi, atau revealed religion) yang universal dan berlaku di setiap zaman dan tempat (as-salih fi kull az-zaman wa al-makan). Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 14. 157Gerakan pemurnian Islam (puritan) pada umumnya berorientasi kepada purifikasi/usaha menjaga keautentikan kemurnian Islam (authentic Islam) dari percampuran dengan budaya lokal, mereka menganggap budaya lokal bukan bagian dari ajaran Islam, karena tidak didapatkan sumbernya dari al-Qur’an dan Hadis, dan termasuk dalam kategori bid’ah yang harus ditinggalkan. Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 109. Lihat juga A. Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam (Surabaya: LPAM, 2004), 73.
101
Dinamika perkembangan Islam di pelbagai tempat menegaskan kondisi
objektif yang mempengaruhi proses dialektika kultural yang berlangsung secara
berbeda-beda di tempat dan adat yang berbeda. Proses dialektika Islam dan tradisi
lokal dapat dilihat pada kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi lokal
serta pada kemampuannya untuk mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman.
Dalam proses penyesuaian tersebut, jelas bahwa Islam tidak hanya melakukan
“penjinakan” (domestikasi) terhadap dirinya -dengan mengkompromikan kerangka
universalnya- sehingga lebur dalam tradisi dan adat lokal, tetapi juga
“mengeksploitasi” sejauh mungkin unsur-unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan
ke dalam nilai Islam yang normatif. Seperti strategi para wali di Jawa dalam
mensyiarkan Islam dengan mengadopsi pelbagai tradisi lokal, dengan wayang dan
gamelan yang digunakan dapat dilihat sebagai salah satu contoh klasik dalam proses
penyebaran Islam.158
Proses dialektika Islam dengan tradisi lokal berhubungan dengan tiga kondisi
penting. Pertama, proses islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan
kebudayaan Islam berhadapan dengan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan
adat lokal. Interaksi Islam dengan sistem nilai lokal ini pada gilirannya melahirkan
pelbagai bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam merupakan “pendatang baru” di 158Para wali di Jawa dengan kreatif memanfaatkan unsur lokal seperti gamelan dalam penyebaran agama Islam. Legenda dan mitos ihwal Wali Songo di Jawa merupakan indikasi bagaimana proses islamisasi terjadi. Seperti Sunan Kudus, misalnya menggunakan sapi (hewan suci umat Hindu) sebagai media dakwah pada masyarakat yang sebagian besar berlatarbelakang kepercayaan agama Hindu. Sunan Kalijaga menciptakan perayaan Sekaten untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW dengan gamelan yang dibunyikan di Masjid Agung dekat keraton dan diakhiri dengan dengan pembacaan Sirah an-Nabi (atau riwayat Nabi Muhammad SAW). Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisanga (Bandung: Mizan, 1996), 66-68.
102
dalam masyarakat kepulauan Nusantara. Sebelum Islam masuk, telah ada sistem
keyakinan, kepercayaan, keagamaan, atau setidaknya tradisi spritualitas yang dianut
komunitas lokal -kepercayaan asli- serta agama Hindu-Budha. Kepercayaan lokal dan
tradisi Hindu-Budha ini tidak lagi berdiri secara sendiri-sendiri, tetapi telah
bercampur membentuk suatu sistem kepercayaan yang sinkretik. Ketiga, Islam bukan
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem nilai yang ada dalam
masyarakat Nusantara, karena selain kepercayaan lokal dan Hindu-Budha,
belakangan muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang
dalam waktu bersamaan dengan kedatangan dan penjajahan bangsa Eropa (Barat) di
Asia Tenggara.159
Isyarat bagaimana Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki
ciri tradisi dan adat tertentu, juga diperkenalkan oleh pelopor studi hukum adat, van
Vollenhoven. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang telah ada sebelum
Islam menjadi perdebatan di pelbagai daerah, yang umumnya dianggap sebagai
daerah yang paling intens menerima proses islamisasi yang keterikatannya pada adat
begitu kuat, seperti Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Hal ini terutama menyangkut persoalan bagaimana mempertemukan atau
menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari.160 Pada suku-suku
bangsa yang beragam ini terdapat sistem kepercayaan serta tradisi keberagamaan dan
159Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, 15; Baca juga Taufik Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara”, dalam Taufik Abdullah & Sharon Siddique, ed., Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1989). 160Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), 20.
103
budaya lokal yang dianut masyarakat jauh sebelum masuknya Hindu-Budha dan
Islam. Agama lokal yang sangat bervariasi dari tempat ke tempat tersebut merupakan
sistem keyakinan yang menunjukkan keberadaan kebudayaan pra-Hindu, Budha dan
Islam.161
Kepercayaan dan tradisi keagamaan lokal dalam masyarakat yang masih
mengandung sisa-sisa tradisi pada dasarnya bertumpu pada keyakinan ihwal adanya
aturan tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam dunia. Aturan
suprakosmis itu bersifat stabil, selaras, dan kekal. Karena itu, mereka melakukan
pelbagai cara dalam menjaga tatanan kosmis, seperti menceritakan kembali mitos-
mitos, menyebarkan cerita legenda yang masih diperpegangi, mempraktikkan isi
mitos, melakukan upacara adat, menghadirkan tata cara alam dengan menari,
mengatur tata cara menanam dan memanen, berkurban, dan melakukan selamatan,
serta menjalankan upacara peralihan hidup (life-cycle), dan lain sebagainya.162
Pelbagai praktik keagamaan tersebut menunjukkan masih kuatnya pengaruh
kepercayaan lokal di pelbagai tempat yang tidak begitu saja hilang pasca masuknya
pengaruh luar/asing yang datang kemudian. Secara umum, dapat difahami bahwa
ajaran Islam diterima dengan baik di pelbagai tempat, proses Islamisasi dapat
berlangsung dengan baik dan menjadi agama yang semakin mengakar dalam
161Kepercayaan lokal tersebut di Tapanuli misalnya, dikenal dengan nama Parmalim, Parbaringin, atau agama Si Raja Batak; di Kepulauan Mentawai disebut Sabulungan; di Kalimantan disebut Kaharingan; di Toraja disebut Aluk To Dolo; di Sulawesi Tengah disebut Parandangan; di Sumba disebut Bara Marapu; di Nias disebut Ono Niha; di Sikka (Maumere-Flores) disebut Ratu Bita Bantara; dan di Bali disebut Bali Aga. Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan & Cipta Loka Caraka, 1981), 83-84. 162Ibid., 84-85.
104
masyarakat terutama karena bersifat asimilatif dengan cara mempertimbangkan
tradisi lokal. Pemanfaatan unsur-unsur budaya lokal telah memungkinkan agama
Islam diterima oleh penduduk. Penggunaan unsur atau institusi tradisional, seperti
pesantren pun, sebagai lembaga pendidikan dan tempat penyebaran Islam,
sesungguhnya merupakan prototipe dari lembaga pendidikan masa pra-Islam.163
Penyesuaian diri dengan konteks lokal dapat pula dilihat pada bentuk bangunan
masjid pertama di Indonesia, seperti masjid Demak, yang menyerupai bentuk
arsitektur lokal yang merupakan warisan Hindu. Sejalan dengan itu, peran para
saudagar pun sangat besar dalam penyebaran agama Islam. Selain menerima dan
menggunakan bahasa setempat, mereka juga menerima adat istiadat lokal.164 Menurut
Kuntowijoyo, gagasan persamaan dalam Islam memiliki daya tarik bagi kelompok
saudagar yang sedang tumbuh, suatu sistem yang tidak dimiliki dalam konsep
stratifikasi sosial Hindu.165
Pengaruh Islam juga penting dalam pembentukan kebudayaan populer. Hal ini
tampak dari kosakata bahasa Jawa dan Melayu yang banyak menyerap konsep Islam
dalam upacara.166 Upacara “pengiwahan” (pemuliaan), upacara tabut di
163Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 2: Jaringan Asia, terj. Winarsih P.A, dkk., (Jakarta: EFEO-Jakarta & Gramedia, 2005), 128-129. 164Ibid. 165Ajaran Islam yang tidak mengenal golongan-golongan telah menarik minat para penganut agama Hindu yang mengenal sistem kasta, sehingga mereka akhirnya juga menganut agama Islam. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 44. 166Sejak berdirinya Kesultanan Demak, muncul pelbagai upacara keagamaan, seperti sekaten dan gerebeg yang berkaitan dengan perayaan maulid (kelahiran) Nabi SAW. Upacara garebeg yang mulai dirayakan oleh Keraton Yogyakarta sejak pada 1755 M ini masih menjadi upacaya yang penting yang melambangkan proses syiar agama Islam. Irwan Abdullah, “Kraton, Upacara, dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa”, Humaniora, vol. 1, no. 2, (1991).
105
Minangkabau untuk memperingati maulid (kelahiran) Nabi SAW atau upacara
Sekatenan di Yogyakarta menunjukkan kuatnya pengaruh budaya Islam. Pengaruh itu
juga dapat dilihat dalam pelbagai bentuk seni tari, musik, seni kaligrafi, sastra,
arsitektur. Tari Seudati dan Saman di Aceh, atau tari Srandul, Kuntulan, Emprak, dan
tari Badui di Jawa menegaskan pengaruh Islam tersebut. Pengaruh Islam dalam seni
musik juga dapat dilihat pada musik gambus, kasidah, dan terbangan. Perpaduan
antara budaya Islam dengan Jawa tampak dalam seni tembang, khususnya dalam jenis
laras madya yang meskipun menggunakan teks Jawa, isinya adalah selawatan atau
puji-pujian kepada Nabi SAW.167
Penolakan dan penerimaan terhadap Islam terjadi tidak hanya karena ada
sistem nilai yang sudah mapan di pelbagai tempat, tetapi juga Islam merupakan
sistem ideologi yang bersifat universal dan kosmopolitan, seperti tampak dari
lahirnya kebudayaan golongan menengah Islam yang terpusat di kota-kota pesisir,
baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Kemudian Islam juga
menjadi agama yang memiliki pengaruh ke daerah pedalaman, di mana Islam sebagai
sistem ideologi yang memiliki ciri universal menghadapi pelbagai sistem nilai yang
beragam. Pada saat Islam menyangkut usaha pencarian pesan teologis dari kebenaran
agama, sifat universal agama ditegaskan. Pencarian makna kehidupan di sini, seperti
ditunjukkan oleh Taufik Abdullah, dihadapkan kepada kenyataan spiritual bahwa
Tuhan adalah Maha Pencipta. Sifat lokal dari keberagamaan terjadi pada saat
167Perpaduan ini juga dapat dilihat pada kitab Betal Jemur atau Adam Ma’na, kitab yang berisi norma-norma kehidupan, yang sangat dipengaruhi oleh kitab Mujarabat. Kuntowijoyo, Paradigma Islam., 46.
106
munculnya kecenderungan non-teologis dalam interaksi dengan lingkungan sosial
dan kultural. Lingkungan sosial budaya merupakan suatu realitas objektif yang
memiliki daya paksa di dalam proses keberagamaan sehingga memberi corak lokal
pada setiap tindakan keagamaan yang muncul.168
Dalam interaksi Islam sebagai kenyataan universal dan lokal pelbagai proses
sosial terjadi. Perselisihan pendapat paling tidak telah melahirkan dua kubu yang
mempertanyakan hakikat agama itu sendiri, apakah agama memenuhi tuntutan
doktrin atau tuntutan sosial, dan bagaimana keduanya dapat dipadukan. Proses
akomodasi kultural Islam memerlihatkan interaksi yang cukup intens antara agama
yang bersifat universal dan nilai, norma, serta praktik sosial yang bersifat lokal. Islam
tidak hanya mempertimbangkan tradisi tersebut dalam proses penyebarannya, tetapi
juga telah melakukan pelbagai proses pembaharuan dengan pembentukan tradisi baru.
Di satu pihak, Islam membiarkan proses kontekstualitas Islam dengan realitas lokal
terjadi dalam pelbagai bentuk sejauh tidak mehilangkan prinsip-prinsip dasar Islam.
Di lain pihak, Islam telah memberikan corak dan sifat-sifat yang khas dalam pelbagai
dimensi kehidupan di pelbagai tempat.
168Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat., 50.