bab ii landasan teori dan pengajuan...

37
6 BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teori 1. Kecerdasan Spiritual a. Kecerdasan spiritual menurut pendapat para ahli Riset tentang spiritual intelligence (Spiritual Quotient) merupakan temuan yang menggemparkan. Hal ini dikarenakan SQ ini adalah temuan yang disebut-sebut sebagai the ultimate intelligence yaitu puncak kecerdasan. 1 SQ muncul di tengah paradigma yang masih didominasi oleh temuan terbaru Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (EQ). Kecerdasan adalah pemahaman, kecepatan dan kesempurnaan perkembangan akal budi (Seperti kepandaian, ketajaman pikiran). 2 M. Utsman Najati mengemukakan bahwa dorongan spiritual adalah dorongan yang berhubungan aspek spiritual dalam diri manusia, seperti dorongan untuk beragama, taqwa, cinta kebajikan, kebenaran dan keadilan, benci terhadap kejahatan, kebathilan dan kedzaliman. Sependapat dengan hal tersebut, dikutip dalam bukunya M. Utsman Najati, A. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan spiritual manusia merupakan kebutuhan alami, yang integritas perkembangan dan kematangan kepribadian individu sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan tersebut. 3 1 Sukidi, Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih Penting dari IQ dan EQ, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 35. 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), hlm. 201. 3 Usman Najati, Al-Qur’an dan Psikologi, Terj Ade Asnawi S, (Jakarta : Asas Pustaka, 2001), hlm. 15.

Upload: tranque

Post on 16-Feb-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teori

1. Kecerdasan Spiritual

a. Kecerdasan spiritual menurut pendapat para ahli

Riset tentang spiritual intelligence (Spiritual Quotient)

merupakan temuan yang menggemparkan. Hal ini dikarenakan SQ ini

adalah temuan yang disebut-sebut sebagai the ultimate intelligence

yaitu puncak kecerdasan.1 SQ muncul di tengah paradigma yang masih

didominasi oleh temuan terbaru Daniel Goleman tentang Emotional

Intelligence (EQ).

Kecerdasan adalah pemahaman, kecepatan dan kesempurnaan

perkembangan akal budi (Seperti kepandaian, ketajaman pikiran).2

M. Utsman Najati mengemukakan bahwa dorongan spiritual

adalah dorongan yang berhubungan aspek spiritual dalam diri manusia,

seperti dorongan untuk beragama, taqwa, cinta kebajikan, kebenaran

dan keadilan, benci terhadap kejahatan, kebathilan dan kedzaliman.

Sependapat dengan hal tersebut, dikutip dalam bukunya M. Utsman

Najati, A. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan spiritual manusia

merupakan kebutuhan alami, yang integritas perkembangan dan

kematangan kepribadian individu sangat tergantung pada pemenuhan

kebutuhan tersebut.3

1 Sukidi, Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih Penting dari IQ dan EQ, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 35. 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,

1984), hlm. 201. 3 Usman Najati, Al-Qur’an dan Psikologi, Terj Ade Asnawi S, (Jakarta : Asas Pustaka,

2001), hlm. 15.

7

Menurut Khalil A. Khavari dalam bukunya Sukidi,

mendefinisikan kecerdasan spiritual :

Spiritual intelligence is the faculty of our nonmaterial dimension the human soul. It is the diamond in the rough that every one of us has. It must be recognized for what it is, polished to high luster with great determination and used to capture lasting personal happiness. Like the other two forms of intelligence, spiritual intelligence is also subject to enhancement as well as deterioration, except that its capacity to increase seems limitless. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah fakultas dimensi non material kita jiwa manusia. Inilah intan yang belum terasah, yang dimiliki oleh kita semua. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya (IQ dan EQ), kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan diturunkan. Kemampuannya untuk diturunkan tampaknya tidak terbatas.4

Lebih jelas John P. Miller mengatakan bahwa kecerdasan

spiritual adalah mengenai kemampuan hati nurani atau “kata nabi”

yang lebih hebat dari semua jenis kecerdasan. SQ dipandang sebagai

unsur pokok yang menjadikan seseorang bisa mencapai kesuksesan

hidup sejati. Anak dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi

berbagai masalah yang dihadapi, kecuali dia juga memiliki SQ yang

tinggi.5

Yaacov J. Kravitz mengemukakan bahwa :

Spiritual Intelligence refers to skills, abilities and behaviors required to develop and maintain a relationship to the ultimate source of All Being, succeed in the search for meaning in life, final a moral and ethical path to help guide us through life, and act out our sense of meaning and values in our personal life and in our interpersonal relationship.6

4 Sukidi, op cit., hlm. 77. 5 John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Terj Abdul Munir Mulkhan,

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 3. 6 Yaacov J. Kravitz, “Spiritual Intelligence”, http: //www.spiritualintelligence.com/

newsletter 1. htm, hlm. 1.

8

Kecerdasan spiritual merujuk pada ketrampilan, kepandaian dan tingkah laku yang diinginkan untuk mengembangkan dan memelihara hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sukses dalam mencari makna hidup, menemukan bentuk moral dan etika untuk membantu menunjukkan kita dalam menjalani hidup, dan memainkan perasaan kita akan makna dan nilai dalam kehidupan antar pribadi dan dalam hubungan interpribadi kita.

Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan tertinggi

manusia karena akan yang memiliki IQ tinggi, para akademisi dan

teknisi, hampir dipastikan memiliki prospek kerja dan masa depan

yang cerah. Tetapi itu belum cukup untuk menjadi manusia-manusia

sukses. Untuk sukses, disamping perlu memiliki IQ yang tinggi juga

harus bertumpu pada EQ (kecerdasan emosional). Ibaratnya, IQ

hanyalah seekor kuda tunggang, sedangkan EQ adalah

penunggangnya. Tetapi itu semua belum cukup untuk mencapai

kebahagiaan sejati ada pada kecerdasan spiritual (SQ).

SQ bersumber dari fitrah manusia itu sendiri. Ia memancar dari

kedalaman diri manusia seperti dorongan-dorongan keingintahuan

yang dilandasi kesucian, ketulusan hati dan tanpa pretensi egoisme.7

Dalam kecerdasan spiritual, manusia diinterpretasi dan dipandang

eksistensinya sampai pada dataran noumenal (fitriyah) dan universal.

Jadi orang-orang yang bisa berpikir dan memiliki kecerdasan spiritual

(SQ) dan mengetahui sesuatu secara inspiratif, tidak hanya memahami

dan memanfaatkan sebagaimana adanya, tetapi mengembalikannya

pada asal ontologisnya, yakni Allah SWT.8

Potensi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual

terdapat dalam keseluruhan diri manusia. Kecerdasan intelektual (IQ)

berada di wilayah otak (brain), yang karenanya terkait dengan

kecerdasan otak, rasio, nalar intelektual. Kecerdasan emosional (EQ)

mengambil wilayah di sekitar emosi, yang karenanya lebih

7 Suharsono, Akselerasi Inteligensi Optimalkan IQ, EQ dan SQ Secara Islami, (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 5.

8 Ibid., hlm. 227.

9

mengembangkan emosi supaya menjadi cerdas, tidak cenderung

marah. Sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) mengambil tepat di

seputar jiwa, hati (yang merupakan wilayah spirit), yang karenanya

dikenal sebagai the soul’s intelligence: kecerdasan hati, yang menjadi

hakekat sejati kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual (SQ) dengan sendirinya melampaui segi-

segi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ).

Secara konseptual kecerdasan spiritual (SQ) mengintegrasikan semua

kecerdasan manusia, baik IQ maupun EQ. Dengan kecerdasan

spiritual (SQ), kita diharapkan menjadi prototip manusia yang benar-

benar utuh dan holistic, baik secara intelektual (IQ), emosional (EQ)

dan sekaligus secara spiritual (SQ).9

Sangat menarik mengkaji SQ ini, justru dengan

membandingkannya terlebih dahulu dengan peta paradigma

kecerdasan yang selama ini sudah jauh lebih popular dan mapan,

yakni IQ dan EQ.10 Dengan pemetaan paradigma kecerdasan ini,

diharapkan masyarakat tidak saja mengenal arti penting IQ, EQ dan

SQ, melainkan untuk memperkaya dan bahkan meningkatkan segi –

segi kecerdasan spiritual yang justru merupakan penyerupaan atas

kualitas kecerdasan intelektual ( IQ ) dan kecerdasan emosional ( EQ

). Sesuai dengan pemetaan tiga kecerdasan tersebut di atas, di bawah

ini adalah pola dari IQ, EQ dan SQ.11

IQ

SQ

EQ

9 Sukidi,op. cit., hlm. 36. 10 Ibid., hlm. 46. 11 Ary Ginanjar Agustian, ESQ Power…, op. cit., hlm. 46.

10

Setelah mengetahui masing-masing pengertian kecerdasan

spiritual, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual atau

spiritual intelligence adalah suatu kecerdasan tertinggi manusia yang

mengajarkan nilai-nilai kebenaran, bila difungsikan secara efektif

maka akan memberikan pengaruh kuat pada tingkah laku anak didik

yang mampu menghadirkan Tuhan dalam setiap aktifitas. Agar anak

didik mempunyai perilaku yang baik, sehingga dapat hidup dengan

baik dapat diterima oleh keluarga, masyarakat dan agamanya.

b. Kecerdasan Spiritual Perspektif Islam

Spiritualisasi (Islam) mempunyai pengertian sama dengan

tazkiyah al-nafas, yaitu konsep AL-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din

tentang pembinaan mental spiritual, adalah penjiwaan hidup dengan

nilai-nilai agama Islam serta berfungsi sebagai pola pembentukan

manusia yang berakhlak baik, beriman dan bertaqwa kepada Allah

SWT. Tujuan dari spiritualisasi secara Islam adalah pembentukan

keharmonisan relasi jiwa manusia dengan Allah, dengan seksama

manusia dan makhlukNya dan dengan manusia sendiri.12

Dalam spiritual Islam (al-Qur’an), kecerdasan intelektual (IQ)

dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql), sementara EQ

lebih mengandalkan pada emosi diri ( nafs ) dan terakhir, kecerdasan

spiritual mengacu pada kecerdasan hati, jiwa, yang menganut

terminologi al-Qur’an disebut dengan qalb.13

Kecerdasan spiritual memberikan banyak kesempatan kepada

manusia untuk berbuat, hanya saja kebebasannya harus disertai dengan

rasa cinta yang melahirkan tanggung jawab. Ajaran Islam memberikan

keleluasaan, kemerdekaan bagi pemeluknya untuk mempergunakan

kecerdasan spiritualnya.

Ary Ginanjar Agustian mengemukakan bahwa kecerdasan

spiritual perspektif Islam adalah kemampuan untuk memberi makna

12 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam; Dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta : CV. Ruhana, 1994), hlm. 9-10.

13 Subidi, op cit., hlm. 62.

11

ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah

yang bersifat fitrah.14

Sedangkan Toto Tasmara berpendapat bahwa kecerdasan

spiritual mempunyai makna yang sama dengan kecerdasan ruhaniah

yaitu kemampuan untuk mendengarkan hati nurani atau bisikan

kebenaran yang mengillahi dalam cara mengambil keputusan,

berempati dan beradaptasi. Rasa ruhiyah merupakan rasa yang paling

fitrah yaitu sebuah potensi yang secara hakiki ditiupkan ke dalam

tubuh manusia ruh kebenaran, yang selalu mengajak kepada

kebenaran.15

John R. Hinnells, mengemukakan bahwa :

Islamic spirituality is rooted in the Qur’an and the instructions of the Prophet Muhammad as messenger of God. For the muslim the spiritual life is based on both the fear and the love of God, on obedience to God’s will and on a search for the knowledge of God, the ultimate goal of creation. 16 Spiritualitas Islam berasal dari Al Qur’an and sunnatu Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Bagi seorang muslim kehidupan spiritual berdasarkan pada keduanya yaitu takut dan cinta kepada Allah, dengan mentaati perintah Allah SWT dalam sebuah pencarian pengetahuan tentang Allah, yaitu tujuan paling tinggi / utama.

Dalam spiritual Islam (al-Qur’an), kecerdasan intelektual (IQ)

dapat dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql), sementara

kecerdasan emosional lebih dihubungkan dengan emosi diri (nafs), dan

terakhir, kecerdasan spiritual mengacu pada kecerdasan hati, yang

menganut terminologi al-Qur’an disebut dengan qalb.17

14 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual

ESQ Emotional Spiritual Quotient, (Jakarta : Arga, 2001), cet. IV, hlm. 56. 15 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transecendental Inteligence) Membentuk

Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 48.

16 John R. Hinnels, Living Religions, (USA: Penguin Books, 1997), hlm. 674. 17 Sukidi, op cit., hlm. 8.

12

Sedangkan dari sudut pandang model berfikir, cara berfikir

model kecerdasan intelektual cenderung seri, sementara kecerdasan

emosional ( EQ ) bersifat asosiatif dan kecerdasan spiritual bersifat

unitif ( menyatukan ).

Paparan atas struktur kecerdasan seperti di atas dapat diringkas

dalam model struktur kecerdasan antara IQ, EQ dan SQ sebagai

berikut :

STRUKTUR KECERDASAN

IQ, EQ dan SQ

Perspektif Jenis kecerdasan

IQ EQ SQ

Psikologi Modern Otak ( mind ) Emosi ( body ) Jiwa ( soul )

Model Berfikir Seri Asosiatif Unitif

Al Qur’an ‘Aql Nafs Qalb

Produk Kecerdasan Rasional Emosional Spiritual

Spiritualitas dalam pandangan Islam merupakan tujuan hidup

utama orang yang bertaqwa dan menjadi penentu bagi keselamatan dan

kesengsaraan manusia di dunia dan akhirat.18

Ajaran Islam memberikan keleluasaan, kemerdekaan bagi

pemeluknya untuk mempergunakan kecerdasan spiritualnya. SQ

mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan membawa kepada kebahagiaan

dan kebenaran yang hakiki.19

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual dalam pandangan Islam adalah

kecerdasan yang berpusatkan pada rasa cinta yang mendalam kepada

18 Yahya Jaya, op cit., hlm. 8. 19 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, (Jakarta: Arga,

2003), hlm. 65.

13

Allah dan seluruh ciptaan-Nya. Bentuk cinta kepada Allah SWT dan

ciptaan-Nya harus terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dalam

bentuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

c. Prinsip-prinsip SQ berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam.20

Islam bukan hanya peraturan dan hukum – hukum, melainkan

juga ilmu dan cinta kasih. Ajaran Islam juga memberikan kebebasan

berpikir kepada umatnya.

Rukun Iman dan Rukun Islam merupakan dasar agama Islam.

Kedua Rukun tersebut kaya akan solusi kehidupan bagai menara

gading yang mampu diartikan pancaran kilaunya sebagai nuansa

estetika seni dan kemashuran sejarahnya yang seharusnya mampu

hidup secara lebih berarti dalam jiwa manusia.

Kecerdasan spiritual telah mengikuti konsep Rukun Iman dan

Rukun Islam, di bawah ini dijelaskan enam prinsip kecerdasan

spiritual berdasarkan 6 Rukun Iman, diantaranya :

1. Star principle (Prinsip Bintang) : Iman kepada Allah SWT

Prinsip ini merupakan landasan dari segala landasan

kecerdasan spiritual, ketenteraman kebijaksanaan, kepercayaan

diri, integritas dan motivasi. Dalam prinsip ini pula sumber-sumber

suara hati (God Spot) berasal, yang bermula dari 99 sifat Allah

SWT dan terekam dalam jiwa manusia.

Lawan terberat yang bisa membuat seseorang tergesar dari

prinsip satu ini adalah daya tarik dan kemilau dunia. Di sinilah

tantangan terberat seorang manusia, memilih yang nyata seperti

harta benda, atau Allah SWT yang tidak kasat mata. Tetapi melalui

“penalaran” dan “pendalaman” hati, maka itu semua akan tampak

nyata sekali, dan bisa dilihat melalui ciptaan-Nya, dan yang

terpenting melalui mata hati kita sendiri yaitu “mata keimanan”.

20 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Berdasarkan ……, op. cit.,

hlm. 121 – 240,

14

Pemahaman Asmaul Husna secara parsial atau terpisah-

pisah, juga merupakan ‘nafsu’, (mengabaikan 99 Thinking Hat –

Berpikir Melingkar). Contoh keinginan untuk berkuasa semata-

mata tanpa disadari sifat rahman dan rahim atau sifat suci juga

akan mengakibatkan kegagalan. Oleh karena itu, pemahaman

bahwa Allah itu Esa, Bijaksana dan Adil juga harus diperhatikan,

sehingga pemahaman sifat-sifat Allah itu menjadi satu kesatuan

yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

2. Angel Principle (prinsip malaikat) : iman kepada malaikat

Prinsip yang kedua ini adalah iman kepada malaikat. Dalam

prinsip ini membahas tentang semua pekerjaan yang dilakukan

mereka dengan sepenuh hati, hanya mengabdi kepada Allah SWT,

disiplin dalam menjalankan tugas dan keteladanan yang bisa

diambil dari sifat malaikat secara umum adalah kepercayaan yang

dimilikinya, loyalitas dan integritasnya yang sangat mengagumkan.

Kepercayaan bukanlah pemberian dari orang lain.

Kepercayaan adalah upaya yang merupakan hasil timbal balik bagi

seseorang yang telah menunjukkan integritas, komitmen dan

loyalitas. Seorang yang bisa menerapkan prinsip malaikat adalah

orang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat,

memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong

dan memiliki sikap saling percaya.

3. Leadership Principle (prinsip kepemimpinan) : Iman kepada Nabi

dan Rasul

Kepemimpinan adalah sebuah pengaruh yang berangkat

dari sebuah kepercayaan yang terbentuk dari sifat rahman dan

rahim-Nya, integritas, bimbingan dan kepribadian. Dalam melatih

prinsip kepemimpinan ini juga dengan melakukan shalat secara

disiplin setiap hari, kemudian dilatih dan dibentuk integritasnya

melalui shalat yang tulus, dimana hal ini akan membangun suatu

kepercayaan serta sebuah teladan yang patut diikuti.

15

Pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai

dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai.

Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh

pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya.

Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang

terpenting adalah memimpin berlandaskan suara hati yang fitrah.

4. Learning Principle (prinsip pembelajaran): Iman kepada Al-Qur’an

Pada setiap kali shalat, diwajibkan untuk membaca dan

menghayati surat Al-Fatihah yang merupakan intisari dari

keseluruhan isi Al-Qur’an Al-Karim. Isi Al-Fatihah secara umum

adalah sebagai dasar sikap, pujian atas sifat-sifat yang mulia,

bekal/ prinsip memberi, visi, integritas, aplikasi, penyempurnaan

dan evaluasi, serta prinsip ikhlas. Kandungan dalam surat Al-

Fatihah merupakan bimbingan total dari penyempurnaan (Ihsan).

Bacaan ini akan mampu menyelaraskan pikiran, tindakan dan

penyempurnaan seseorang untuk belajar serta membandingkan

antara idealisme. (Al-Fatihah) itu dengan realisasi.

Seorang yang berprinsip pembelajaran adalah orang yang

memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan

cermat, selalu berpikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi

pemikirannya kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan

penyempurnaan dan memiliki pedoman yang kuat dalam belajar,

yaitu berpegang kepada Al-Qur’an.

5. Vision Principle (prinsip masa depan): Iman kepada hari kiamat

Memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki

ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta karena sebuah

keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan”

Semakin kuat keyakinan seseorang maka semakin tinggi

pula energi dan kekuatan seseorang untuk meraih impiannya. Para

ahli dan beberapa bukti nyata telah menunjukkan bahwa orang-

orang besar selalu memiliki visi yang kuat di kepalanya sebelum

16

merealisasikan di alam nyata. Inilah kunci sebuah keberhasilan,

kekuatan sebuah visualisasi.

Dalam prinsip ini seseorang diharapkan mampu

berorientasi pada tujuan akhir terhadap setiap langkah yang dibuat,

melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh,

memiliki kenali diri dan sosial, karena telah memiliki kesadaran

akan adanya “Hari Kemudian”, memiliki kepastian akan masa

depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta

karena sebuah keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan”.

6. Well Organized Principle (prinsip keteraturan): Iman kepada

ketentuan Allah SWT.

Kunci dari prinsip “keteraturan” adalah sebuah disiplin.

Disiplin-lah yang akan mampu menjaga serta memelihara alur

sistem yang terbentuk. Dan kedisiplinanlah yang akan mampu

menciptakan sebuah kepastian. Tanpa sebuah kedisiplinan akan

menciptakan tatanan akan hancur. Sebaliknya kedisiplinan akan

menciptakan tatanan yang kemudian akan menghasilkan

keberhasilan..

Keteraturan adalah dasar dari manajemen. Manajemen yang

baik menurut Islam adalah suatu keseimbangan intelektual yang

diselaraskan secara bersamaan dengan isi dan suara hati manusia,

sehingga menghasilkan pola keteraturan dan manajemen yang

berkelanjutan. Ilmu manajemen Islam adalah meniru Allah SWT

dalam menata manusia dan alam semesta dalam rangka

menciptakan kemakmuran bumi sebagai visinya.

Orang yang hidupnya teratur adalah memiliki kesadaran,

ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengetahuan

akan kepastian hukum alam dan hukum sosial. Sangat memahami

akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu

berorientasi pada pembentukan sistem (sinergi) dan selalu

berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk.

17

Selain 6 prinsip kecerdasan spiritual berdasarkan Rukun Iman

di atas, dibawah ini juga dikemukakan 5 rukun Islam yang merupakan

sebuah langkah fisik yang dilakukan secara berurutan dan sangat

sistematis, yaitu :

1. Mission Statement (Penetapan Misi)

Mission statement yaitu “Dua Kalimat Syahadat” sebagai

tujuan hidup dan komitmen kepada Tuhan. Prinsip ini sangat

penting, karena akan menghasilkan kecerdasan spiritual dan

Akhlakul Karimah yang sangat tinggi.

Bacaan syahadat akan membangun sebuah keyakinan

dalam berusaha, menciptakan suatu daya dorong dalam upaya

mencapai tujuan, membangkitkan keberanian serta optimisme,

sekaligus menciptakan ketenangan batin dalam menjalankan misi

hidup.

2. Character Building (Pembangunan Karakter)

Pembangunan Karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan

diakhiri dengan penetapan misi saja. Hal ini perlu proses yang

dilakukan secara terus – menerus dan berlangsung sepanjang hidup

melalui gerak shalat. Proses ini merupakan langkah penyelarasan

antara nilai-nilai dasar dan kenyataan hidup yang harus dihadapi.

Shalat adalah suatu metode yang dapat meningkatkan

kecerdasan spiritual secara terus menerus. Melalui shalat,

seseorang akan dapat memvisualisasikan prinsip hidup yang

diperolehnya melalui keenam prinsip yang ada dalam

pembangunan mental berdasarkan Rukun Iman tersebut. Dengan

menghabiskan waktu beberapa menit sehari untuk melakukan

shalat, ia memiliki waktu untuk membuat pikirannya menjadi lebih

rileks dan setelah itu ia dapat berpikir tentang dirinya serta

pemecahan – pemecahan masalah dalam lingkungannya secara

jernih.

18

3. Self Controlling (Pengendalian diri)

Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilatih dan

dilambangkan dengan puasa sebenarnya adalah mencapai sebuah

keberhasilan, bukan merupakan sebuah pelarian diri dari kenyataan

hidup di dunia yang seharusnya dihadapi.

Puasa adalah suatu metode pelatihan untuk pengendalian

diri. Bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan

dari belenggu yang tak terkendali. Puasa yang baik akan

memelihara aset yang paling berharga yaitu suara hati Ilahiah

(Spiritual Sosial).

4. Social Strength (Ketangguhan Sosial)

Sesuai kehendak dasar nurani manusia, sesungguhnya

aktivitas zakat selaras dengan suara hati dirinya dan buka

merupakan paksaan bathiniah. Dalam ketangguhan sosial

dilambangkan dengan zakat karena zakat adalah langkah nyata

untuk mengeluarkan potensi spiritual (fitrah) menjadi sebuah

langkah konkret guna membangun sebuah sinergi yang kuat, yaitu

berlandaskan sikap empat, kepercayaan, sikap kooperatif,

keterbukaan serta kredibilitas.

5. Total Action (Aplikasi Total)

Dalam aplikasi total, haji merupakan suatu lambang dari

puncak “Ketangguhan Pribadi”. Haji adalah sublimasi dari

keseluruhan Rukun Iman; lambang perwujudan akhir dari langkah-

langkah Rukun Islam. Haji merupakan langkah penyelarasan nyata

antara suara hati dan aplikasi yang berpusat kepada Allah Yang

Maha Esa, dimana segala tujuan tak lagi berprinsip kepada yang

lain.

Pelaksanaan ibadah haji adalah suatu transformasi prinsip

dan langkah secara total (thawaf), konsistensi dan persistensi

perjuangan (sa’i), evaluasi dan visualisasi dan serta mengenal jati

diri spiritual ketika wukuf dan terakhir haji adalah persiapan fisik

19

serta mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan

(Lontar Jumroh).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa

Rukun Iman dan Rukun Islam merupakan pembimbing dan

petunjuk bagi umat Islam.

Rukun Islam adalah tujuan dasar spiritual atau tauhid yang

semua ditransformasikan melalui syahadat, shalat,puasa, zakat dan

haji. Rukun Islam juga merupakan langkah nyata dari Rukun Iman

yang telah terbentuk pada alam pikiran.

Tata urutan dalam Rukun Iman hingga ke Rukun Islam

disusun berdasarkan suatu tingkatan anak tangga yang teratur dan

sistematis, serta memiliki keterkaitan erat dan kuat dalam satu

kesatuan yang Esa.

Tingkat kecerdasan spiritual anak didik sngat bergantung

pada prinsip – prinsip di atas, yaitu 6 Rukun Iman dan 5 Rukun

Islam. Dalam hal ini siswa diharapkan bias membangun prinsip

hidup dan manusia yang mendasar dengan pancaran Rukun Iman

dan Rukun Islam sehingga mampu menciptakan kecerdasan

spiritual, sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas.

d. Bentuk-bentuk cerdas spiritual

Bentuk dari seorang yang cerdas spiritual adalah bentuk sikap

kepribadiannya yang melahirkan akhlakul karimah sebagai rujukan

dari cara bersikap dan bertindak (code of conduct). Mereka yang

cerdas spiritual adalah orang-orang yang memiliki tujuan dan makna

hidup, diantaranya adalah :

1. Dzikir dan Do’a.

Dzikir pada hakekatnya adalah semacam latihan untuk

mendekatkan diri kepada Allah dan memiliki tujuan untuk

mencapai kesadaran langsung akan eksistensi Allah.

Dzikir adalah peringkat doa yang paling tinggi. Karena

dengan berdzikir Tuhan akan mengingat hamba-Nya yang

20

berdzikir kepada-Nya.21 Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an

alkarim sebagai berikut :

كموني أذكر١٥٢: البقرة .... (فاذكر.(

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…..”.22

Diantara pengaruh yang ditimbulkan oleh dzikir, adalah

ketenangan hati. Dan jika hati seseorang tenang, akan tenang pula

jiwanya.

Anak yang mengamalkan dzikir berarti menghubungkan

dan mengkokohkan rohaninya dengan Allah SWT. Insya Allah,

jiwanya akan tumbuh berkembang, fitrahnya terjaga dari

penyimpangan.

Sedangkan do’a adalah rintihan seorang hamba pertolongan

dari Allah. Salah satu fungsi do’a adalah untuk menumbuhkan

sikap optimisme.23 Sebagaimana dalam firman Allah:

وقال ربكم ادعوني استجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي

)٦٠: املؤمن. ( جهنم داخرينسيدخلون

Dan Tuhanmu berfirman : “Berdo’alah kepada Ku, niscaya akan diperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina”.24

Ketika kenikmatan hidup di dunia terputus bagi manusia,

maka kenikmatan itu akan ditemukan pada Allah SWT. Jika

seorang anak mengalami putus harapan dengan sesama hamba

Allah SWT, maka dia tidak akan pernah putus dengan Allah. Pada

21 Muhammad Mahmud Abdullah, Do’a sebagai Penyembuh untuk Mengatasi Stres, Frustasi, Krisis, dan lain-lain. Terj Bahruddin Tanani, (Bandung: Al-Bayan, 2001), cet V, hlm. 46.

22 Soenarjo, dkk, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hlm. 38. 23 Toto Tasmara, op cit., hlm. 19. 24 Soenarjo, op cit., hlm. 767.

21

gilirannya kekuatan spiritualnya semakin bertambah dan keimanan

nya semakin kuat.

Dalam terapi modern, jelas bahwa kekuatan ruh dan

spiritual itu sangat diperlukan. Dan kekuatan ini bisa diperoleh

melalui doa. Karena doa merupakan tempat kelapangan bagi jiwa

dan penyembah kesulitan, duka cita dan gelisah. 25

2. Takwa

Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh dalam

bentuk memelihara hubungan dengan Tuhan.26 Dalam artian tinggi

rendahnya derajat takwa erat kaitannya dengan kualitas iman dan

amal shaleh seseorang bahkan ada yang mengartikan takwa adalah

suatu sikap seseorang yang beriman yang melakukan amal-amal

saleh dengan ikhlas.27 Sebagaimana Firman Allah SWT:

)٧:البينة(إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات أولئك هم خير البرية

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluq.28

Arti takwa lebih banyak mengumpul dalam banyak hal,

takwa juga diartikan berani, memelihara hubungan dengan tuhan,

bukan saja karena takut, tetapi lebih karena ada kesadaran diri

sebagai hamba. Sebagai sikap batin, takwa tidak sama bagi setiap

orang tetapi ada tingkatan-tingkatan dari yang rendah ke tinggi-

dijelaskan dalam firman Allah SWT;

لى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموت واألرض اوسارعوا

قنيتللم تأعد،رنفقون في السي آ الذينرالضظآء ويالغ الكاظمنيء و

25 Ustman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, (Jakarta: Hikmah, 2002 ), hlm.

120 26 Sulaiman Al- Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka Ke A.a gym, (Semarang:

Pustaka: Nuun, 2004), hlm. 98 27 Kaelany HD, Islam, Iman dan Amal Saleh, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 2000) hlm. 221 28 Soenarjo, dkk, op.cit., hlm. 1085.

22

سننيحالم حبي اللهاس ون النع افنيالع١٣٣-١٣٤ : نال عمر{و{

Dan bersegeralah kami kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas selangit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarah nya dan memaafkan (kesalahan) orang, allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS: Ali Imran: 133-134)29

Orang-orang yang bertakwa harus bisa membuktikan

tanggungjawab sosialnya yakni dilaksanakan dengan penuh rasa

cinta dan menunjukkan amal prestatif di bawah semangat

pengharapan ridha Allah SWT.

3. Merasakan Kehadiran Allah

Seorang yang cerdas spiritual akan senantiasa merasakan

kehadiran Allah SWT. Munculnya keyakinan tersebut berasal dari

keyakinan nya terhadap agama yang melahirkan kecerdasan moral

spiritual, sehingga menumbuhkan rasa yang mendalam bahwa

dirinya senantiasa dalam pengawasan Allah.30

Nilai-nilai moral akan terpelihara dengan adanya kesadaran

akan adanya Allah SWT yang senantiasa mengawasi. Karena

seluruh tindakan yang berasal dari pilihan qalbu (hati nurani), akan

melahirkan kemampuan untuk memilih dengan jelas dan lugas dan

merasakan ketenteraman dan tidak merasa terikat oleh apapun

kecuali pengharapan untuk memperoleh ridha Allah SWT.

Berada dalam pengawasan Allah adalah wujud dari

keimanan yang merasuk ke dalam qalbu dan kekuatannya semakin

29 Ibid., hlm. 98 30 Toto Tasmara, op cit., hlm. 14.

23

bertambah di dalam jiwa sehingga kehidupan yang dijalani

seseorang itu penuh keberkahan.31

Anak didik diharapkan bisa meningkatkan dan

mengembangkan spiritualitas yang dimiliki dengan cara menerima

Tuhan baik dalam suka maupun duka.

Mereka yang merasakan dirinya berada dalam limpahan

karunia Allah. Dalam suka dan duka atau dalam sempit dan lapang,

mereka tetap merasakan kebahagiaan karena kepada Allah mereka

bertawakkal yaitu menyandarkan diri sehingga kuat menghadapi

apapun dan merasa tentram dalam hati.32

4. Memiliki kualitas sabar

Sabar pada hakekatnya adalah kemampuan untuk dapat

menyelesaikan kekusutan hati dan menyerah diri kepada Tuhan

dengan sepenuh kepercayaan menghilangkan segala keluhan dan

berperang dalam hati sanubari dengan segala kegelisahan.33

Sabar merupakan sendi yang harus benar-benar kuat dan

kokoh. Dan lebih jauh, sabar itu inheren dalam diri seseorang

karena bersifat inheren, maka kegagalan dalam mencapai sesuatu

yang dicita-citakan bersumber dari diri sendiri dan bukan dari

orang lain.34

Ada beberapa tingkatan dalam sabar, diantaranya :

a. Sabar dalam taat

Allah menciptakan makhluk di dunia ini untuk

beribadah dan mengenal-Nya. Hanya dengan ketaatanlah

31 Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999),

hlm. 17. 32 Toto Tasmara, op cit., hlm. 15. 33 Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang : Pustaka

Nuun, 2004), hlm. 137. 34 Ibid., hlm. 136-137.

24

ibadah kepada Allah SWT dan mengenal-Nya akan terwujud.35

Sabar dalam taat merupakan ibadah kepada Allah SWT.

b. Sabar dalam meninggalkan maksiat

Sabar dalam meninggalkan maksiat yaitu berusaha

menjauhi perbuatan maksiat. Sabar jenis ini tingkatannya lebih

rendah dibandingkan sabar dalam ketaatan karena Allah

melipat gandakan pahala kebaikan dengan sepuluh kali lipat,

sedangkan pahala meninggalkan kemaksiatan hanyalah satu

kali lipat.36

Membebaskan diri dari hawa nafsu adalah jenis

kecerdasan spiritual yang tidak kalah pentingnya. Karena

dengan bebasnya diri dari nafsu dan potensi ego, akan menjadi

perpanjangan “kehendak” ilahi dalam menyebarkan rahmat bagi alam.37

Anak diharapkan mampu menjauhi hal-hal yang

membawa pada kemaksiatan. Untuk itu, perlu diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari sikap sabar dalam meninggalkan

kemaksiatan.

c. Sabar dalam menghadapi ujian

Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan dapat dilihat

dalam kehidupan ini, seperti : cobaan berupa kematian,

kemiskinan, kegagalan anak dalam studi, problematika rumah

tangga dan lain-lain.38

Mereka yang sabar menerima ujian sebagai tantangan

adalah orang yang menetapkan harapan (tujuan, perjumpaan

dan berjalan menggapai ridha Allah). Dengan hati yang lapang

merasakan penderitaan dengan senyuman. Kepedihan hanyalah

35 Syaikh Amru Muhammad Khalid, Sabar dan Santun Karakter Mukmin Sejati, Terj.

Achmad Faozan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 30-31. 36 Ibid. 37 Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Jakarta : Insiani Press, 2004), hlm. 56. 38 Syaikh Amru Muhammad Khalid, op cit., hlm. 32.

25

sebuah selingan dari sebuah perjalanan.39 Bukankah tidak

selamanya jalan yang ditempuh itu mulus dan indah, terkadang

harus mendaki dan penuh tantangan atau ujian.

5. Memiliki empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami

orang lain, mampu beradaptasi dan mampu merasakan kondisi

bathin seseorang.40

Merasakan rintihan dan mendengarkan debar jantungnya

adalah merupakan bentuk dari empati. Empati sosial telah

dipatrikan kepada jiwa agung Rasulullah SAW, sebagaimana

firman :

لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم

حيمر وفؤر مننيؤ41}١٢٨: التوبة {بالم

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaum mu sendiri, berat terasa oleh nya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.41

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa anak cerdas

spiritual melihat orang lain bukan sebagai ancaman melainkan

kehadiran orang lain, bagi mereka yang cerdas spiritual merupakan

anugerah, karena hanya bersama orang lain itulah dirinya akan

mampu meningkatkan kualitas sebagai makhluk yang memiliki

multi potensi dihadapan Allah SWT, perbedaan dan pluralitas

dipandangnya sebagai rahmat yang akan memperkaya nuansa

bathiniahnya.

39 Toto Tasmara, op. cit., hlm. 30. 40 Ibid., hlm. 34. 41 Soenarjo, dkk, op. cit., hlm. 303.

26

Seorang disebut cerdas spiritual, bila hanya peduli dengan

akhirat tetapi membutakan dirinya terhadap misinya di dunia.

Tujuan hidup yang hakiki adalah menetapkan target yang tinggi

terhadap penghargaan ke akhirat dan untuk meraih ketinggian atau

keluhuran hati nuraninya hanya bisa dibuktikan dalam

kehidupannya secara nyata dengan dunia.

2. Perilaku Sosial

a. Pengertian perilaku sosial

Perilaku dari segi bahasa adalah “tanggapan atau reaksi

individu yang terwujud pada gerak (sikap) tidak saja badan atau

ucapan”.42

Pengertian perilaku sering dibatasi kepada yang dapat dilihat

dari luar, yang berkenaan dengan jasmaniyah atau psikomotor.

Perilaku atau kegiatan individu seringkali dikelompokkan menjadi tiga

kategori, yaitu kegiatan kognitif, afektif dan psikomotor. Kegiatan

kognitif berkenan dengan penggunaan pikiran atau rasio. Dalam

kegiatan afektif berkenaan dengan penghayatan perasaan, sikap moral

dan lain-lain. Sedangkan kegiatan psikomotor menyangkut aktivitas.

Aktivitas yang mengandung gerakan motorik.43

Dalam psikologi dirumuskan tentang perilaku :

“The totality of intra and extra organismic action and

interaction of an organism with is physical and social setting”.44

“Perilaku adalah keseluruhan gerak gerik psikis maupun fisik

individu dan hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan

fisik dan sosialnya”.

42 W.J.S., Poerwadarminta, op. cit., hlm. 961. 43 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2003), cet I, hlm. 40. 44 Wolman Benjamin B, Dictionary of Behavioral Science, (New York : Van Nostrand

Remhold Company, 1973), hlm. 41.

27

Menurut Zakiah Daradjat, perilaku atau akhlak adalah sikap

seseorang yang dimanifestasikan dalam perbuatan.45

Dalam Ilmu Nafs, perilaku terdiri dari dua macam, yakni

perilaku fitrah dan perilaku muktassab. Perilaku fitrah adalah perilaku

yang terjadi secara fitrah tanpa adanya pembelajaran. Sedangkan

perilaku muktassab adalah perilaku yang terjadi atas proses

pembelajaran baik dari keluarga, teman, sekolah atau lingkungan

sekitarnya.

كل يوجدا سلوك امرمكتسب يبدوىفى هذا السلو ك الفطرل مقا بوىف

من االسرة أواال صدقاء أوالبيئة االمجاعيه عموماىلمه سوع ما نت

Dan selain perilaku fitrah ini ditemukan perilaku yang lain yaitu muktassab yang muncul dalam setiap apa yang kita pelajari, baik dari keluarga, teman sekolah atau lingkungan sekitarnya.46

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan perilaku

merupakan satu kesatuan perbuatan dari manusia dimana setiap

tingkah laku manusia merupakan manifestasi dari beberapa kebutuhan

dan tingkah laku tersebut ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan itu.

Sedangkan kata sosial dalam kamus bahasa Indonesia diartikan

sebagai sifat yang suka memperhatikan kepentingan umum (suka

menolong, menderma dan sebagainya).47

Dalam kamus psikologi diartikan bahwa :

“The branch of psychology devote to social behaviour in all its forms, including attitudes, social compliance, conformity, obedience to authority, interpersonal attraction, attribution processes, group processes, helping behaviour and non verbal communivation”.48

45 Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. 266. 46 Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidloh, ‘Ilmu an – Nafs, ( Beirut Libanon : Dar al

– Kutub al – Ilmiyah, 1996 ), hlm 55. 47 W. J. S., Poerwadarminta, op cit., hlm. 961. 48 Andrew M. Colman, A Dictionary of psychology, (New York : Oxford University

Press, 2003), hlm. 688.

28

Cabang dari psikologi mengarah pada perilaku sosial dalam semua bentuk, termasuk sikap, kerelaan sosial, kecocokan, kepatuhan, untuk bertindak, daya tarik antar pribadi, proses menghubungkan cara berkelompok, perlakuan, dan komunikasi dengan tindak lisan”.

Dalam penulisan ini perilaku sosial yang dimaksud adalah

tingkah laku dan aktivitas siswa dalam bersosialisasi dan memegang

norma-norma sosial atau yang didasarkan pada nilai-nilai sosial dalam

kehidupan sehari-hari.

Dalam hal ini yang dimaksud siswa adalah remaja yaitu masa

yang penuh dengan kegoncangan jiwa, masa berada dalam peralihan

atau di atas jembatan goyang yang menghubungkan masa kanak-kanak

yang penuh ketergantungan dengan masa dewasa yang matang dan

berdiri sendiri.49

Perilaku sosial sangat penting dimiliki oleh seorang siswa

karena akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan bisa melatih

siswa terhadap sikap kecenderungan atau reaksi positif maupun negatif

karena adanya perangsang dari luar yang diterima. Stimulasi itu dapat

berupa perilaku orang-orang, benda-benda dan situasi tertentu.

b. Ciri-ciri perilaku sosial

Agama Islam memerintahkan berhubungan baik terhadap orang

tua, juga mengharuskan berbuat baik kepada teman, terutama sesama

muslim, sebab sesama muslim sama-sama mempunyai etika yang

harus dilaksanakan.

W. A. Gerungan D.P.L Psych, dalam bukunya “Psikologi

Sosial” mengatakan bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk

sosial sejak dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain

untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makan, minum dan lain-lain.50

Perilaku sosial pada hakekatnya mengacu pada tindakan dan

tingkah laku manusia dalam suatu lingkungan sosial yang biasa disebut

49 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 89. 50 Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung : Eresco, 1988), hlm. 24.

29

masyarakat. Manusia sebagai perilaku atau tindakan sosial seseorang

cenderung berhubungan dengan perilaku individu lainnya. Antar

manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan.

Dalam berinteraksi akan mempengaruhi sikap dan perilaku

sosial tiap-tiap individu karena ada hubungan timbal balik antara

lingkungan sosial dengan sikap dan perilaku sosial. Pengaruh interaksi

terhadap sikap yaitu akan membentuk sikap berupa menolak atau

menerima lingkungan sosial dan bersikap netral terhadap lingkungan

sosial.

Pada umumnya anak semenjak dilahirkan sampai dewasa

menjadi orang yang dapat bertanggung jawab dalam masyarakat, harus

mengalami perkembangan anak itu terutama bergantung kepada

pendidikan (pengaruh-pengaruh) yang diterima anak itu dari berbagai

lingkungan yang dialaminya.51

Dalam hal ini anak didik harus dibimbing sejak dini agar

terbiasa kepada peraturan yang baik, sesuai dengan ajaran agama dan

nilai-nilai sosial.

Adapun ciri-ciri perilaku sosial, diantaranya adalah :

1. Menghubungkan silaturahmi

Islam mengajarkan kepada untuk bersilaturrahmi, saling

menolong dan mengasihi satu sama lain. Orang yang suka

mengulurkan tangannya untuk menolong orang lain karena Allah

SWT, niscaya akan menerima upahnya.52 Sebagaimana hadits yang

menerangkan tentang silaturahmi :

51 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritas dan Praktis, (Bandung : PT. Bina Citra

Pesona. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 123. 52 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta : PT. Bina Citra Pesona. Rineka

Cipta, 1994), cet I, hlm. 190.

30

اهللا صلى سمعت رسول: عن أنس بن مالك قال , عن ابن شهاب

أوينسأ في , من سره أن يبسط عليه رزقه: اهللا عليه وسلم يقول

53).رواه مسلم. (فليصل رحمه, أثره

“Dari Annas bin Malik berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda : Siapa yang ingin senang dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menghubungkan silaturrahminya”.

Dalam ajaran Islam silaturahmi sangat penting diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari karena nanti, pada waktu manusia

sudah menjelang titian shiratul mustaqim, maka ada satu tempat

pemeriksaan yang memeriksa bagaimana hubungan kasih sayang

seseorang selama hayatnya di dunia dahulu. Bila ternyata bahwa

silaturrahminya terputus pada waktu ia meninggalkan dunia, maka

orang itu dimasukkan ke dalam neraka (untuk menjalani masa

hukumnya).

2. Solidaritas sosial

Solidaritas sosial di dalam agama Islam dikenal dengan

ukhuwah Islamiyah yang artinya persaudaraan di dalam Islam.

Maksudnya, bahwa antara orang Islam satu dengan orang Islam

yang lain itu bersaudara.

Ukhuwah adalah ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan

yang mendalam dengan kelembutan, cinta dan sikap hormat

terhadap setiap orang yang sama-sama diikat dengan ikatan akidah

Islamiyah, iman dan takwa.54

Islam telah mewajibkan persaudaraan di jalan Allah SWT,

sebagai hasil dari ukhuwah (persaudaraan) di jalan Allah SWT

ialah bahwa interaksi anggota masyarakat Islam sepanjang sejarah

53 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Libanon : Dar al-Kitab al-Ilmiah, t.th), hlm. 505. 54 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak, (Bandung : PT. Bina Citra Pesona.

Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 5.

31

dan zaman adalah yang terbaik dalam pergaulan.55 Dengan

demikian anak harus di didik dengan dasar-dasar ukhuwah

(persaudaraan).

3. Menghormati orang lain

Dalam meningkatkan kerukunan hidup umat beragama,

maka kehidupan beragama dalam masyarakat perlu ditingkatkan,

dikembangkan rasa gotong royong, saling menghormati, saling

pengertian, tenggang rasa, dan sopan santun antar umat

beragama.56

Hubungan dengan sesama manusia perlu dibina, tidak

hanya dengan sesama muslim tetapi juga non muslim tanpa

membeda-bedakan suku dan agama. Dengan saling menghormati

dan menghargai satu sama lain akan mempercepat tali

persaudaraan manusia di muka bumi ini.

4. Hiba kasihan pada si lemah

Hiba kasihan ialah belas kasihan atau merasa hiba hati.57

Berhiba tidak hanya dengan merasa kasihan tetapi juga bersedia

menolongnya.

Orang yang tidak punya belas kasihan ialah orang yang

sakit perasaan atau hatinya.58 Sedangkan orang yang berhiba

kasihan disenangi masyarakat.

Berhiba kasihan dapat mempererat tali kasih sayang,

menimbulkan hidup gotong royong dan membersihkan jiwa dari

kotoran. Bentuk dari hiba kasihan pada si lemah terdapat dalam

pasal 34 yang berbunyi : fakir miskin dan anak-anak terlantar

diperlihara oleh negara.

Dalam hal ini jelas bahwa si lemah dijaga oleh negara. Oleh

karena itu sebagai seorang siswa hendaknya merasa hiba dan

55 Ibid., hlm. 8. 56 Kahar Masyhur, op cit., hlm. 126. 57 Ibid., hlm. 229. 58 Ibid., hlm. 230.

32

membiasakan diri untuk membantu kaum lemah dengan

menyisihkan uang saku untuk disumbangkan kepada fakir miskin,

anak yatim, dan lain-lain.

5. Pemaaf

Memaafkan ialah perasaan jiwa yang bersikap toleran

meski lawannya orang zalim dan melampaui batas pada saat ia

mampu membalas dendam bila menghendakinya.59 Sikap

bermusuhan bukanlah ajaran agama dan kesucian Islam. Sikap

tidak pemaaf merupakan kehinaan dan kerendahan. Maaf

mengandung pengertian syarat-syaratnya merupakan moral dasar

yang membuktikan kemantapan iman dan tingkah laku Islam yang

tinggi.

Seorang mukmin yang berhiaskan sifat pemaaf, penyayang

dan toleran akan menjadi contoh dalam keluhuran moral,

kelembutan dan pergaulan yang baik terhadap yang lain, bahkan

kesempurnaan, kesucian dan kebersihannya akan menyerupai

malaikat yang berjalan di muka bumi.60

Seorang siswa, harus memiliki sikap pemaaf yang sangat

besar seakan lebur dalam cintanya yang sangat mendalam terhadap

kebenaran (ash-Shiddiq), dan sekaligus kepeduliannya kepada

kemanusiaan.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sosial

Adapun mengenai faktor-faktor yang mampu untuk

mempengaruhi perilaku sosial secara garis besar dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor inilah

yang bisa menciptakan perilaku sosial seseorang.

1. Faktor internal

59 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 17. 60 Ibid., hlm. 18-19.

33

Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri

manusia itu sendiri atau segala sesuatu yang telah dibawa oleh

anak sejak lahir yaitu fitrah suci yang merupakan bakat bawaan.

Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau

kepercayaan kepada Tuhan didasarkan kepada firman Allah Q.S.

Ar-Rum : 30.

فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها ال تبديل

).٣٠:الروم(لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس ال يعلمون

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.61

Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menafsirkan bahwa

ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan

meningkatkan dalam upaya untuk menghadap kepada Allah secara

sempurna, yang mana pada diri manusia telah diberi potensi dasar

(fitrah) untuk mengesakan Allah.62

Faktor-faktor yang terdapat dalam diri pribadi manusia

adalah :

a) Pengalaman pribadi

Menurut Zakiah Daradat, sebelum anak masuk sekolah

telah banyak pengalaman yang diterima di rumah dari teman

sepermainan. Menurut penelitian ahli juga terbukti bahwa

semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir maupun unsur

dalam pribadinnya.63

b) Ilmu pengetahuan

61 Soenarjo , dkk, op cit., hlm. 645. 62 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta :

Lentera Hati, 2000), hlm. 52. 63 Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 17.

34

Memiliki pengetahuan dan mencari pengetahuan

merupakan kewajiban bagi orang yang beriman karena untuk

mencapai pemenuhan dan perealisasian diri tidak terlepas dari

pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuanlah kita dapat mencari

kebenaran dalam hidup.

Ilmu pengetahuan adalah merupakan faktor esensial

dalam pendidikan. Keterbatasan ilmu pengetahuan umat

manusia dalam memecahkan berbagai masalah umat manusia

sangat mempengaruhi moralitas bangsa. Ilmu pengetahuan dan

teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas

manusia. Di sisi lain bila tidak terkendali oleh nilai-nilai luhur

akan dapat menimbulkan kerugian sendiri bagi manusia.64

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan segala sesuatu yang ada di luar

manusia yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan

keagamaan seseorang.65 Adapun faktor-faktor tersebut adalah :

a) Lingkungan keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang

peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial terlebih

pada awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi

perkembangan kepribadian selanjutnya. Pendidikan keluarga

merupakan pendidik dasar bagi pembentukan jiwa pendidikan

yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua.

Pada dasarnya, peranan orang tua sangat dibutuhkan pada

perkembangan nilai-nilai moral anak, karena tingkah laku anak

64 Mansyur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gobal Pustaka Utama, 2001),

hlm. 67-68. 65 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja

Rosdakarya, 2001), hlm. 137.

35

dipengaruhi oleh sikap dan cara hidupnya, yang akan

mempunyai pengaruh besar dalam pendidikan anak.66

Dalam keluarga, haruslah tercipta hubungan timbal balik dalam

pendidikan, mengingat bahwa keluarga dalam hal ini yaitu

orang tua berperan penting dalam menentukan keberhasilan

anak-anaknya dan dapat juga orang tua dijadikan suri tauladan

bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, orang tua haruslah

bersungguh-sungguh dalam mendidik anak, selain agama juga

mendidik bersosialisasi, dan menanamkan nilai-nilai sosial,

yang akan berpengaruh pada perilaku sosial anak tersebut.

Sebagai orang tua hendaknya juga memperlakukan anaknya

dengan baik, memelihara hubungan yang harmonis antar

anggota keluarga (ayah dengan ibu, orang tua dengan anak dan

anak dengan anak).

Hubungan yang harmonis, penuh pengertian dan kasih sayang

akan membuahkan perkembangan perilaku anak yang baik.67

b) Lingkungan sekolah

Sekolah merupakan lingkungan pendidikan kedua sebagai

kelanjutan dari pendidikan keluarga. Sekolah bukanlah sekedar

tempat menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak murid

(transfer of knowledge), tetapi sekolah juga harus mendidik dan

membina kepribadian anak (transfer of value). Hurlock, dalam

bukunya Syamsu Yusuf mengatakan bahwa pengaruh sekolah

terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena

sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru

substitusi dari orang tua.68

66 Singgih D Gunarso, Psikologi Praktis : Anak Remaja dan Keluarga, (Jakarta: Gunung

Mulia, 1995), hlm. 38. 67 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2000), hlm. 29. 68 Syamsu Yusuf LN, op cit.,hlm. 140.

36

Selain peran penting dari orang tua, di lingkungan sekolah guru

juga berperan dalam mempengaruhi perilaku anak. Guru harus

memiliki kepribadian dewasa susila dalam menciptakan anak

didik sebagai manusia yang susila.69

Lingkungan sekolah mempunyai peranan yang sangat besar

terhadap perilaku sosial siswa. Karena faktor ini dapat

memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap perilaku

siswa.

c) Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi

sosial dan sosio kultural yang secara potensial berpengaruh

terhadap perkembangan fitrah anak. Dalam masyarakat,

individu akan melakukan interaksi sosial dengan teman

sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman

sepermainannya berperilaku baik, maka anakpun cenderung

berperilaku baik pula. Namun jika teman sepermainannya

melanggar norma-norma maka anakpun cenderung mengikuti

dan mencontoh perilaku tersebut.70

Faktor masyarakat ini tidak kalah pentingnya dalam

membentuk pribadi anak, karena dalam masyarakat

berkembang berbagai organisasi sosial, ekonomi, agama,

kebudayaan dan sebagainya yang mempengaruhi arah

perkembangan hidup khususnya yang menyangkut sikap dan

tingkah laku. Corak perilaku anak atau remaja merupakan

cermin dari corak atau perilaku warga masyarakat (orang

dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, disini dapat

dikemukakan bahwa kualitas perkembangan perilaku atau

kesadaran bersosialisasi bagi anak sangat bergantung pada

kualitas perilaku pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.

69 Syaiful Bahri Djamarah, op cit., hlm. 29. 70 Syamsu Yusuf LN, op cit., hlm. 141.

37

Perilaku sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang

dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih

daripada sekedar adanya kontrak sosial dan hubungan antara

individu sebagai anggota kelompok sosial.

Dengan demikian ada baiknya cermat dalam memilih

lingkungan hidup atau sebagai orang tua maupun guru dan

pemimpin masyarakat agar cermat menciptakan lingkungan

sosial yang menguntungkan perkembangan individu.

3. Korelasi antara kecerdasan spiritual (SQ) dengan perilaku sosial

anak didik kecerdasan spiritual.

Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan yang melibatkan

kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam.71 Manusia

akan merasa bermakna spiritual ketika ia berdzikir dan do’a, merasakan

kehadiran Allah, memiliki empati dan takwa, memiliki kualitas sabar.

Kecerdasan spiritual memiliki relevansi dengan pendidikan karena

belajar adalah proses dalam perubahan yang meliputi aspek afektif,

kognitif dan psikomotorik. Dari sini dapat kita pahami bahwa SQ

termasuk dalam pendidikan yang sifatnya non formal karena orang yang

belajar SQ dan telah mampu menerapkan berbagai unsur yang ada,

maka ia akan mampu mengaplikasikan secara langsung.

Pendidikan dapat diartikan usaha sadar atau sengaja dari orang

dewasa terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak untuk

meningkatkan atau menuju kedewasaan.72

Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan

kelakuan anak didik, karena pendidikan bertalian dengan transmisi

pengetahuan, sikap kepercayaan, ketrampilan dan aspek – aspek

kelakuan lainnya kepada generasi muda.

Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola – pola

kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.73 Jika

71 Sukidi, op. cit., hlm. 49. 72 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001

), hlm. 62.

38

pendidikan yang ada selama ini lebih menekankan segi – segi

pengetahuan kognitif intelektual, pendidikan spiritual justru ingin

menumbuhkan segi – segi kualitas psikomotorik dan kesadaran spiritual

yang reflektif dalam kehidupan sehari – hari.74

Kecerdasan spiritual mendidik hati kita ke dalam budi pekerti

yang baik dan moral yang beradab.75 Pendidikan moral dan budi pekerti

yang baik, seharusnya sudah sejak awal menjadi bagian intrinsic dalam

kurikulum pendidikan kita, sehingga sikap – sikap terpuji dapat

ditanamkan dalam diri siswa sejak usia dini, yang memberikan bekas

dan pengaruh kuat dalam perilaku siswa di sekolah dalam kehidupan

sehari – harinya. Seorang siswa yang memiliki kecerdasan intelektual (

IQ ) tinggi diharapkan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi pula

sehingga dapat menyesuaikan diri dengan setiap persoalan yang

dihadapi dalam kehidupan ini.

Tujuan utama dari pendidikan hati dan pendidikan moral budi

pekerti adalah mempersiapkan generasi baru yang nantinya dapat

menginternalisasikan moral dan budi pekerti yang baik dan sekaligus

mampu mengeksternalisasikannya ke dalam perilaku hidup sehari –

hari.76

Orang yang beriman dan bertakwa, memiliki tingkat pertanggung

jawaban besar. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran dalam diri masing

– masing, bahwa mereka adalah hamba dan khalifah Allah. Atas dasar

kesadaran seperti itu, segala bentuk aktivitas dan kegiatan yang mereka

lakukan senantiasa disesuaikan dengan tuntunan Allah.

Siswa diharapkan memiliki kesadaran diri sebagai hamba dan

khalifah Allah karena hal ini akan menanamkan rasa tanggung jawab

yang besar dan akan berpengaruh dalam membentuk sikap serta perilaku

73 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1999 ), hlm. 10. 74 Sukidi, op. cit., hlm 28. 75 Ibid., hlm. 29. 76 Ibid., hlm. 30.

39

siswa selaku hamba Allah.77 Oleh karena itu anak yang memiliki

kecerdasan spiritual baik yang segala aktivitasnya diarahkan pada

pengabdiannya kepada sang Pencipta maka dia akan berperilaku baik

dengan bertanggung jawab.

Perilaku sosial pada hakikatnya mengacu pada tindakan dan

tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial. Dalam perkembangannya

manusia dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Kepribadian

anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial dan budaya

setempat, tradisi, nilai – nilai, perilaku kedua orang tuanya, cara orang

tua mendidik dan memperlakukannya

Siswa adalah remaja dengan penuh kegoncangan jiwa dan berada

dalam masa peralihan yang mudah sekali untuk dipengaruhi ke hal – hal

yang bersifat negatif. Oleh karena itu, diharapkan orang tua memiliki

sebuah peluang yang luar biasa untuk mempengaruhi SQ anak-anak

mereka dengan menolong mereka mempelajari tingkah laku. Anak-anak

yang dilatih spiritual cenderung bergaul lebih baik dengan teman-

temannya tidak banyak mengalami masalah tingkah laku dan tidak

begitu gampang melakukan kekerasan.

Di tengah arus demoralisasi perilaku manusia akhir – akhir ini,

kecerdasan spiritual tidak saja efektif untuk mengobati perilaku manusia

yang semakin buruk tetapi juga menjadi guidance manusia untuk

menapaki hidup secara sopan dan beradab.78

Fungsi dari SQ adalah sebagai materi pendidikan yang harus

ditanamkan pada jiwa anak melalui bentuk sikap dan suri tauladan yang

baik. Hal di atas menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai SQ

tinggi maka ia akan berperilaku sosial yang baik sehingga terbentuk

sikap hidup yang dinamis, harmonis dan sikap solidaritas yang tinggi

dalam masyarakat. Anak yang memiliki kemampuan intelektual ( IQ )

tinggi tidak menjamin memiliki perilaku baik.

77 Jalaluddin Rakhmat, op. cit., hlm. 204. 78 Sukidi, op. cit., hlm. 29.

40

Anak yang mempunyai spiritual baik adalah anak yang tumbuh

dari benih yang tidak diragukan keunggulan spiritualnya dan

berkembang dalam keluarga yang hidup dengan nafas spiritual yang

tinggi. Kecerdasan spiritual mempunyai hubungan dengan perilaku

sosial siswa. Namun demikian, hubungan yang dimaksud sangat

tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk

memahami nilai-nilai spiritual. Sebab kecerdasan spiritual pada

hakikatnya merupakan pendidikan hati yang membentuk budi pekerti

yang baik dan moral yang beradab. Anak yang memiliki hati tenang

akan berimplikasi langsung pada ketenangan, kematangan dan sinar

kearifan yang memancar dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kecerdasan spiritual merupakan

potensi fitrah manusia, bila difungsikan secara efektif, maka akan

memiliki pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia dalam

menentukan sikap dan tujuannya dengan mencerminkan kepribadiannya

sebagai seorang manusia yang berperilaku sosial baik tanpa harus

menghilangkan konsep agama sebagai landasan hidup manusia.

B. KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN

Pada dasarnya urgensi kajian penelitian adalah sebagai bahan auto

kritik terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kelebihan maupun

kekurangannya, sekaligus sebagai bahan perbandingan terhadap kajian yang

terdahulu. Dan untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang

membahas permasalahan yang sama dan hampir sama dari seseorang, baik

dalam bentuk skripsi, buku dan dalam bentuk tulisan lainnya, maka penulis

akan memaparkan beberapa bentuk tulisan lainnya.

Dalam tinjauan pustaka ini peneliti akan menguraikan beberapa artikel

maupun penelitian-penelitian yang membahas mengenai kecerdasan spiritual.

Penelitian dalam bentuk artikel yang ditulis Kiki Firdiansyah Wijaya

yang berjudul “menghantarkan anak ke puncak kecerdasan”. Artikel ini berisi

41

tentang kualitas spiritual orang tua yang berpengaruh terhadap kepribadian

anak.79

Karya lainnya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Afif Erma

Fitriani tentang “Peran orang tua dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual

anak dalam perspektif pendidikan Islam (studi analisis pemikiran suharsono).

Penelitian ini membahas mengenai peran penting orang tua dalam

menumbuhkan kecerdasan spiritual pada diri anak. Kesimpulan dalam

penelitian ini adalah kecerdasan spiritual berfungsi sebagai metode untuk

membentuk akhlaqul karimah pada jiwa anak.80

Skripsi yang ditulis oleh Erni Naili Muna Kurniawati tentang

“Aplikasi Metode Spiritual Parenting sebagai Upaya Pembentukan

Kepribadian Anak di TK Al Azhar 14 Semarang”. Kesimpulan dari penelitian

ini adalah anak yang mempunyai spiritual yang baik adalah anak yang tumbuh

dari benih yang tidak diragukan keunggulan spiritualnya dan berkembang

dalam keluarga yang hidup dengan nafas spiritual yang tinggi.80

Skripsi lainnya adalah “Pemikiran Utsman Najati tentang Kecerdasan

Spiritual” yang ditulis oleh Marfu’ah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang melahirkan individu yang

berkepribadian dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an

dan As-Sunnah.81

Dari penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian yang

tidak dilakukan sebelumnya. Karena penelitian ini membahas tentang

“Korelasi antara Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Sosial Anak Didik di

SMK Negeri 1 Kecamatan Cepu Kabupaten Blora”.

79 Kiki Firdiansyah Wijaya, Menghantarkan Anak ke Puncak Kecerdasan; Artikel tidak

diterbitkan, 2001. (www.geogle.com). 80 Afif Erma Fitriani, Peran Orang Tua dalam Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual Anak

dalam Perspektif Pendidikan Islam, Skripsi 2004. 80 Erni Naili Muna Kurniawati, Aplikasi Metode Spiritual Parenting sebagai Upaya

Pembentukan Kepribadian Anak, Skripsi 2003. 81 Marfu’ah, Pemikiran Utsman Najati tentang Kecerdasan Spiritual, Skripsi 2006.

42

C. HIPOTESIS PENELTIIAN

Hipotesis merupakan jawaban sementara atau permasalahan yang

dipahami, jawaban ini dapat benar, atau salah tergantung pembuktian nanti di

lapangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sutrisno Hadi :

“Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar, mungkin salah atau palsu, dan

akan diterima jika faktor-faktor yang membenarkannya”.

Jadi hipotesis penelitian adalah “Jawaban sementara terhadap masalah

penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris.82

Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan hipotesis sebagai berikut

: bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku

sosial anak didik kelas I SMK Negeri 1 Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.

Mengingat hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang

mungkin benar atau mungkin salah, maka dilakukan pengkajian pada bagian

analisis data untuk mendapat bukti apakah hipotesis yang diajukan itu dapat

diterima atau tidak.

82 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta : Andi Offset, 2000), hlm. 63.