bab ii landasan teori dan pengajuan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teori
1. Kecerdasan Spiritual
a. Kecerdasan spiritual menurut pendapat para ahli
Riset tentang spiritual intelligence (Spiritual Quotient)
merupakan temuan yang menggemparkan. Hal ini dikarenakan SQ ini
adalah temuan yang disebut-sebut sebagai the ultimate intelligence
yaitu puncak kecerdasan.1 SQ muncul di tengah paradigma yang masih
didominasi oleh temuan terbaru Daniel Goleman tentang Emotional
Intelligence (EQ).
Kecerdasan adalah pemahaman, kecepatan dan kesempurnaan
perkembangan akal budi (Seperti kepandaian, ketajaman pikiran).2
M. Utsman Najati mengemukakan bahwa dorongan spiritual
adalah dorongan yang berhubungan aspek spiritual dalam diri manusia,
seperti dorongan untuk beragama, taqwa, cinta kebajikan, kebenaran
dan keadilan, benci terhadap kejahatan, kebathilan dan kedzaliman.
Sependapat dengan hal tersebut, dikutip dalam bukunya M. Utsman
Najati, A. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan spiritual manusia
merupakan kebutuhan alami, yang integritas perkembangan dan
kematangan kepribadian individu sangat tergantung pada pemenuhan
kebutuhan tersebut.3
1 Sukidi, Kecerdasan Spiritual; Mengapa SQ Lebih Penting dari IQ dan EQ, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 35. 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,
1984), hlm. 201. 3 Usman Najati, Al-Qur’an dan Psikologi, Terj Ade Asnawi S, (Jakarta : Asas Pustaka,
2001), hlm. 15.
7
Menurut Khalil A. Khavari dalam bukunya Sukidi,
mendefinisikan kecerdasan spiritual :
Spiritual intelligence is the faculty of our nonmaterial dimension the human soul. It is the diamond in the rough that every one of us has. It must be recognized for what it is, polished to high luster with great determination and used to capture lasting personal happiness. Like the other two forms of intelligence, spiritual intelligence is also subject to enhancement as well as deterioration, except that its capacity to increase seems limitless. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah fakultas dimensi non material kita jiwa manusia. Inilah intan yang belum terasah, yang dimiliki oleh kita semua. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya (IQ dan EQ), kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan diturunkan. Kemampuannya untuk diturunkan tampaknya tidak terbatas.4
Lebih jelas John P. Miller mengatakan bahwa kecerdasan
spiritual adalah mengenai kemampuan hati nurani atau “kata nabi”
yang lebih hebat dari semua jenis kecerdasan. SQ dipandang sebagai
unsur pokok yang menjadikan seseorang bisa mencapai kesuksesan
hidup sejati. Anak dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi, kecuali dia juga memiliki SQ yang
tinggi.5
Yaacov J. Kravitz mengemukakan bahwa :
Spiritual Intelligence refers to skills, abilities and behaviors required to develop and maintain a relationship to the ultimate source of All Being, succeed in the search for meaning in life, final a moral and ethical path to help guide us through life, and act out our sense of meaning and values in our personal life and in our interpersonal relationship.6
4 Sukidi, op cit., hlm. 77. 5 John P. Miller, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian, Terj Abdul Munir Mulkhan,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm. 3. 6 Yaacov J. Kravitz, “Spiritual Intelligence”, http: //www.spiritualintelligence.com/
newsletter 1. htm, hlm. 1.
8
Kecerdasan spiritual merujuk pada ketrampilan, kepandaian dan tingkah laku yang diinginkan untuk mengembangkan dan memelihara hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sukses dalam mencari makna hidup, menemukan bentuk moral dan etika untuk membantu menunjukkan kita dalam menjalani hidup, dan memainkan perasaan kita akan makna dan nilai dalam kehidupan antar pribadi dan dalam hubungan interpribadi kita.
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan tertinggi
manusia karena akan yang memiliki IQ tinggi, para akademisi dan
teknisi, hampir dipastikan memiliki prospek kerja dan masa depan
yang cerah. Tetapi itu belum cukup untuk menjadi manusia-manusia
sukses. Untuk sukses, disamping perlu memiliki IQ yang tinggi juga
harus bertumpu pada EQ (kecerdasan emosional). Ibaratnya, IQ
hanyalah seekor kuda tunggang, sedangkan EQ adalah
penunggangnya. Tetapi itu semua belum cukup untuk mencapai
kebahagiaan sejati ada pada kecerdasan spiritual (SQ).
SQ bersumber dari fitrah manusia itu sendiri. Ia memancar dari
kedalaman diri manusia seperti dorongan-dorongan keingintahuan
yang dilandasi kesucian, ketulusan hati dan tanpa pretensi egoisme.7
Dalam kecerdasan spiritual, manusia diinterpretasi dan dipandang
eksistensinya sampai pada dataran noumenal (fitriyah) dan universal.
Jadi orang-orang yang bisa berpikir dan memiliki kecerdasan spiritual
(SQ) dan mengetahui sesuatu secara inspiratif, tidak hanya memahami
dan memanfaatkan sebagaimana adanya, tetapi mengembalikannya
pada asal ontologisnya, yakni Allah SWT.8
Potensi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual
terdapat dalam keseluruhan diri manusia. Kecerdasan intelektual (IQ)
berada di wilayah otak (brain), yang karenanya terkait dengan
kecerdasan otak, rasio, nalar intelektual. Kecerdasan emosional (EQ)
mengambil wilayah di sekitar emosi, yang karenanya lebih
7 Suharsono, Akselerasi Inteligensi Optimalkan IQ, EQ dan SQ Secara Islami, (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), hlm. 5.
8 Ibid., hlm. 227.
9
mengembangkan emosi supaya menjadi cerdas, tidak cenderung
marah. Sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) mengambil tepat di
seputar jiwa, hati (yang merupakan wilayah spirit), yang karenanya
dikenal sebagai the soul’s intelligence: kecerdasan hati, yang menjadi
hakekat sejati kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual (SQ) dengan sendirinya melampaui segi-
segi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ).
Secara konseptual kecerdasan spiritual (SQ) mengintegrasikan semua
kecerdasan manusia, baik IQ maupun EQ. Dengan kecerdasan
spiritual (SQ), kita diharapkan menjadi prototip manusia yang benar-
benar utuh dan holistic, baik secara intelektual (IQ), emosional (EQ)
dan sekaligus secara spiritual (SQ).9
Sangat menarik mengkaji SQ ini, justru dengan
membandingkannya terlebih dahulu dengan peta paradigma
kecerdasan yang selama ini sudah jauh lebih popular dan mapan,
yakni IQ dan EQ.10 Dengan pemetaan paradigma kecerdasan ini,
diharapkan masyarakat tidak saja mengenal arti penting IQ, EQ dan
SQ, melainkan untuk memperkaya dan bahkan meningkatkan segi –
segi kecerdasan spiritual yang justru merupakan penyerupaan atas
kualitas kecerdasan intelektual ( IQ ) dan kecerdasan emosional ( EQ
). Sesuai dengan pemetaan tiga kecerdasan tersebut di atas, di bawah
ini adalah pola dari IQ, EQ dan SQ.11
IQ
SQ
EQ
9 Sukidi,op. cit., hlm. 36. 10 Ibid., hlm. 46. 11 Ary Ginanjar Agustian, ESQ Power…, op. cit., hlm. 46.
10
Setelah mengetahui masing-masing pengertian kecerdasan
spiritual, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual atau
spiritual intelligence adalah suatu kecerdasan tertinggi manusia yang
mengajarkan nilai-nilai kebenaran, bila difungsikan secara efektif
maka akan memberikan pengaruh kuat pada tingkah laku anak didik
yang mampu menghadirkan Tuhan dalam setiap aktifitas. Agar anak
didik mempunyai perilaku yang baik, sehingga dapat hidup dengan
baik dapat diterima oleh keluarga, masyarakat dan agamanya.
b. Kecerdasan Spiritual Perspektif Islam
Spiritualisasi (Islam) mempunyai pengertian sama dengan
tazkiyah al-nafas, yaitu konsep AL-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din
tentang pembinaan mental spiritual, adalah penjiwaan hidup dengan
nilai-nilai agama Islam serta berfungsi sebagai pola pembentukan
manusia yang berakhlak baik, beriman dan bertaqwa kepada Allah
SWT. Tujuan dari spiritualisasi secara Islam adalah pembentukan
keharmonisan relasi jiwa manusia dengan Allah, dengan seksama
manusia dan makhlukNya dan dengan manusia sendiri.12
Dalam spiritual Islam (al-Qur’an), kecerdasan intelektual (IQ)
dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql), sementara EQ
lebih mengandalkan pada emosi diri ( nafs ) dan terakhir, kecerdasan
spiritual mengacu pada kecerdasan hati, jiwa, yang menganut
terminologi al-Qur’an disebut dengan qalb.13
Kecerdasan spiritual memberikan banyak kesempatan kepada
manusia untuk berbuat, hanya saja kebebasannya harus disertai dengan
rasa cinta yang melahirkan tanggung jawab. Ajaran Islam memberikan
keleluasaan, kemerdekaan bagi pemeluknya untuk mempergunakan
kecerdasan spiritualnya.
Ary Ginanjar Agustian mengemukakan bahwa kecerdasan
spiritual perspektif Islam adalah kemampuan untuk memberi makna
12 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam; Dalam Menumbuhkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta : CV. Ruhana, 1994), hlm. 9-10.
13 Subidi, op cit., hlm. 62.
11
ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah
yang bersifat fitrah.14
Sedangkan Toto Tasmara berpendapat bahwa kecerdasan
spiritual mempunyai makna yang sama dengan kecerdasan ruhaniah
yaitu kemampuan untuk mendengarkan hati nurani atau bisikan
kebenaran yang mengillahi dalam cara mengambil keputusan,
berempati dan beradaptasi. Rasa ruhiyah merupakan rasa yang paling
fitrah yaitu sebuah potensi yang secara hakiki ditiupkan ke dalam
tubuh manusia ruh kebenaran, yang selalu mengajak kepada
kebenaran.15
John R. Hinnells, mengemukakan bahwa :
Islamic spirituality is rooted in the Qur’an and the instructions of the Prophet Muhammad as messenger of God. For the muslim the spiritual life is based on both the fear and the love of God, on obedience to God’s will and on a search for the knowledge of God, the ultimate goal of creation. 16 Spiritualitas Islam berasal dari Al Qur’an and sunnatu Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT. Bagi seorang muslim kehidupan spiritual berdasarkan pada keduanya yaitu takut dan cinta kepada Allah, dengan mentaati perintah Allah SWT dalam sebuah pencarian pengetahuan tentang Allah, yaitu tujuan paling tinggi / utama.
Dalam spiritual Islam (al-Qur’an), kecerdasan intelektual (IQ)
dapat dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql), sementara
kecerdasan emosional lebih dihubungkan dengan emosi diri (nafs), dan
terakhir, kecerdasan spiritual mengacu pada kecerdasan hati, yang
menganut terminologi al-Qur’an disebut dengan qalb.17
14 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ Emotional Spiritual Quotient, (Jakarta : Arga, 2001), cet. IV, hlm. 56. 15 Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transecendental Inteligence) Membentuk
Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 48.
16 John R. Hinnels, Living Religions, (USA: Penguin Books, 1997), hlm. 674. 17 Sukidi, op cit., hlm. 8.
12
Sedangkan dari sudut pandang model berfikir, cara berfikir
model kecerdasan intelektual cenderung seri, sementara kecerdasan
emosional ( EQ ) bersifat asosiatif dan kecerdasan spiritual bersifat
unitif ( menyatukan ).
Paparan atas struktur kecerdasan seperti di atas dapat diringkas
dalam model struktur kecerdasan antara IQ, EQ dan SQ sebagai
berikut :
STRUKTUR KECERDASAN
IQ, EQ dan SQ
Perspektif Jenis kecerdasan
IQ EQ SQ
Psikologi Modern Otak ( mind ) Emosi ( body ) Jiwa ( soul )
Model Berfikir Seri Asosiatif Unitif
Al Qur’an ‘Aql Nafs Qalb
Produk Kecerdasan Rasional Emosional Spiritual
Spiritualitas dalam pandangan Islam merupakan tujuan hidup
utama orang yang bertaqwa dan menjadi penentu bagi keselamatan dan
kesengsaraan manusia di dunia dan akhirat.18
Ajaran Islam memberikan keleluasaan, kemerdekaan bagi
pemeluknya untuk mempergunakan kecerdasan spiritualnya. SQ
mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan membawa kepada kebahagiaan
dan kebenaran yang hakiki.19
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kecerdasan spiritual dalam pandangan Islam adalah
kecerdasan yang berpusatkan pada rasa cinta yang mendalam kepada
18 Yahya Jaya, op cit., hlm. 8. 19 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, (Jakarta: Arga,
2003), hlm. 65.
13
Allah dan seluruh ciptaan-Nya. Bentuk cinta kepada Allah SWT dan
ciptaan-Nya harus terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari dalam
bentuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
c. Prinsip-prinsip SQ berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam.20
Islam bukan hanya peraturan dan hukum – hukum, melainkan
juga ilmu dan cinta kasih. Ajaran Islam juga memberikan kebebasan
berpikir kepada umatnya.
Rukun Iman dan Rukun Islam merupakan dasar agama Islam.
Kedua Rukun tersebut kaya akan solusi kehidupan bagai menara
gading yang mampu diartikan pancaran kilaunya sebagai nuansa
estetika seni dan kemashuran sejarahnya yang seharusnya mampu
hidup secara lebih berarti dalam jiwa manusia.
Kecerdasan spiritual telah mengikuti konsep Rukun Iman dan
Rukun Islam, di bawah ini dijelaskan enam prinsip kecerdasan
spiritual berdasarkan 6 Rukun Iman, diantaranya :
1. Star principle (Prinsip Bintang) : Iman kepada Allah SWT
Prinsip ini merupakan landasan dari segala landasan
kecerdasan spiritual, ketenteraman kebijaksanaan, kepercayaan
diri, integritas dan motivasi. Dalam prinsip ini pula sumber-sumber
suara hati (God Spot) berasal, yang bermula dari 99 sifat Allah
SWT dan terekam dalam jiwa manusia.
Lawan terberat yang bisa membuat seseorang tergesar dari
prinsip satu ini adalah daya tarik dan kemilau dunia. Di sinilah
tantangan terberat seorang manusia, memilih yang nyata seperti
harta benda, atau Allah SWT yang tidak kasat mata. Tetapi melalui
“penalaran” dan “pendalaman” hati, maka itu semua akan tampak
nyata sekali, dan bisa dilihat melalui ciptaan-Nya, dan yang
terpenting melalui mata hati kita sendiri yaitu “mata keimanan”.
20 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun ESQ Berdasarkan ……, op. cit.,
hlm. 121 – 240,
14
Pemahaman Asmaul Husna secara parsial atau terpisah-
pisah, juga merupakan ‘nafsu’, (mengabaikan 99 Thinking Hat –
Berpikir Melingkar). Contoh keinginan untuk berkuasa semata-
mata tanpa disadari sifat rahman dan rahim atau sifat suci juga
akan mengakibatkan kegagalan. Oleh karena itu, pemahaman
bahwa Allah itu Esa, Bijaksana dan Adil juga harus diperhatikan,
sehingga pemahaman sifat-sifat Allah itu menjadi satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
2. Angel Principle (prinsip malaikat) : iman kepada malaikat
Prinsip yang kedua ini adalah iman kepada malaikat. Dalam
prinsip ini membahas tentang semua pekerjaan yang dilakukan
mereka dengan sepenuh hati, hanya mengabdi kepada Allah SWT,
disiplin dalam menjalankan tugas dan keteladanan yang bisa
diambil dari sifat malaikat secara umum adalah kepercayaan yang
dimilikinya, loyalitas dan integritasnya yang sangat mengagumkan.
Kepercayaan bukanlah pemberian dari orang lain.
Kepercayaan adalah upaya yang merupakan hasil timbal balik bagi
seseorang yang telah menunjukkan integritas, komitmen dan
loyalitas. Seorang yang bisa menerapkan prinsip malaikat adalah
orang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat,
memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong
dan memiliki sikap saling percaya.
3. Leadership Principle (prinsip kepemimpinan) : Iman kepada Nabi
dan Rasul
Kepemimpinan adalah sebuah pengaruh yang berangkat
dari sebuah kepercayaan yang terbentuk dari sifat rahman dan
rahim-Nya, integritas, bimbingan dan kepribadian. Dalam melatih
prinsip kepemimpinan ini juga dengan melakukan shalat secara
disiplin setiap hari, kemudian dilatih dan dibentuk integritasnya
melalui shalat yang tulus, dimana hal ini akan membangun suatu
kepercayaan serta sebuah teladan yang patut diikuti.
15
Pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai
dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai.
Memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh
pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya.
Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten. Dan yang
terpenting adalah memimpin berlandaskan suara hati yang fitrah.
4. Learning Principle (prinsip pembelajaran): Iman kepada Al-Qur’an
Pada setiap kali shalat, diwajibkan untuk membaca dan
menghayati surat Al-Fatihah yang merupakan intisari dari
keseluruhan isi Al-Qur’an Al-Karim. Isi Al-Fatihah secara umum
adalah sebagai dasar sikap, pujian atas sifat-sifat yang mulia,
bekal/ prinsip memberi, visi, integritas, aplikasi, penyempurnaan
dan evaluasi, serta prinsip ikhlas. Kandungan dalam surat Al-
Fatihah merupakan bimbingan total dari penyempurnaan (Ihsan).
Bacaan ini akan mampu menyelaraskan pikiran, tindakan dan
penyempurnaan seseorang untuk belajar serta membandingkan
antara idealisme. (Al-Fatihah) itu dengan realisasi.
Seorang yang berprinsip pembelajaran adalah orang yang
memiliki kebiasaan membaca buku dan membaca situasi dengan
cermat, selalu berpikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi
pemikirannya kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan
penyempurnaan dan memiliki pedoman yang kuat dalam belajar,
yaitu berpegang kepada Al-Qur’an.
5. Vision Principle (prinsip masa depan): Iman kepada hari kiamat
Memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki
ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta karena sebuah
keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan”
Semakin kuat keyakinan seseorang maka semakin tinggi
pula energi dan kekuatan seseorang untuk meraih impiannya. Para
ahli dan beberapa bukti nyata telah menunjukkan bahwa orang-
orang besar selalu memiliki visi yang kuat di kepalanya sebelum
16
merealisasikan di alam nyata. Inilah kunci sebuah keberhasilan,
kekuatan sebuah visualisasi.
Dalam prinsip ini seseorang diharapkan mampu
berorientasi pada tujuan akhir terhadap setiap langkah yang dibuat,
melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh,
memiliki kenali diri dan sosial, karena telah memiliki kesadaran
akan adanya “Hari Kemudian”, memiliki kepastian akan masa
depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi, yang tercipta
karena sebuah keyakinan akan adanya “Hari Pembalasan”.
6. Well Organized Principle (prinsip keteraturan): Iman kepada
ketentuan Allah SWT.
Kunci dari prinsip “keteraturan” adalah sebuah disiplin.
Disiplin-lah yang akan mampu menjaga serta memelihara alur
sistem yang terbentuk. Dan kedisiplinanlah yang akan mampu
menciptakan sebuah kepastian. Tanpa sebuah kedisiplinan akan
menciptakan tatanan akan hancur. Sebaliknya kedisiplinan akan
menciptakan tatanan yang kemudian akan menghasilkan
keberhasilan..
Keteraturan adalah dasar dari manajemen. Manajemen yang
baik menurut Islam adalah suatu keseimbangan intelektual yang
diselaraskan secara bersamaan dengan isi dan suara hati manusia,
sehingga menghasilkan pola keteraturan dan manajemen yang
berkelanjutan. Ilmu manajemen Islam adalah meniru Allah SWT
dalam menata manusia dan alam semesta dalam rangka
menciptakan kemakmuran bumi sebagai visinya.
Orang yang hidupnya teratur adalah memiliki kesadaran,
ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengetahuan
akan kepastian hukum alam dan hukum sosial. Sangat memahami
akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu
berorientasi pada pembentukan sistem (sinergi) dan selalu
berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk.
17
Selain 6 prinsip kecerdasan spiritual berdasarkan Rukun Iman
di atas, dibawah ini juga dikemukakan 5 rukun Islam yang merupakan
sebuah langkah fisik yang dilakukan secara berurutan dan sangat
sistematis, yaitu :
1. Mission Statement (Penetapan Misi)
Mission statement yaitu “Dua Kalimat Syahadat” sebagai
tujuan hidup dan komitmen kepada Tuhan. Prinsip ini sangat
penting, karena akan menghasilkan kecerdasan spiritual dan
Akhlakul Karimah yang sangat tinggi.
Bacaan syahadat akan membangun sebuah keyakinan
dalam berusaha, menciptakan suatu daya dorong dalam upaya
mencapai tujuan, membangkitkan keberanian serta optimisme,
sekaligus menciptakan ketenangan batin dalam menjalankan misi
hidup.
2. Character Building (Pembangunan Karakter)
Pembangunan Karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan
diakhiri dengan penetapan misi saja. Hal ini perlu proses yang
dilakukan secara terus – menerus dan berlangsung sepanjang hidup
melalui gerak shalat. Proses ini merupakan langkah penyelarasan
antara nilai-nilai dasar dan kenyataan hidup yang harus dihadapi.
Shalat adalah suatu metode yang dapat meningkatkan
kecerdasan spiritual secara terus menerus. Melalui shalat,
seseorang akan dapat memvisualisasikan prinsip hidup yang
diperolehnya melalui keenam prinsip yang ada dalam
pembangunan mental berdasarkan Rukun Iman tersebut. Dengan
menghabiskan waktu beberapa menit sehari untuk melakukan
shalat, ia memiliki waktu untuk membuat pikirannya menjadi lebih
rileks dan setelah itu ia dapat berpikir tentang dirinya serta
pemecahan – pemecahan masalah dalam lingkungannya secara
jernih.
18
3. Self Controlling (Pengendalian diri)
Tujuan akhir dari pengendalian diri yang dilatih dan
dilambangkan dengan puasa sebenarnya adalah mencapai sebuah
keberhasilan, bukan merupakan sebuah pelarian diri dari kenyataan
hidup di dunia yang seharusnya dihadapi.
Puasa adalah suatu metode pelatihan untuk pengendalian
diri. Bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan
dari belenggu yang tak terkendali. Puasa yang baik akan
memelihara aset yang paling berharga yaitu suara hati Ilahiah
(Spiritual Sosial).
4. Social Strength (Ketangguhan Sosial)
Sesuai kehendak dasar nurani manusia, sesungguhnya
aktivitas zakat selaras dengan suara hati dirinya dan buka
merupakan paksaan bathiniah. Dalam ketangguhan sosial
dilambangkan dengan zakat karena zakat adalah langkah nyata
untuk mengeluarkan potensi spiritual (fitrah) menjadi sebuah
langkah konkret guna membangun sebuah sinergi yang kuat, yaitu
berlandaskan sikap empat, kepercayaan, sikap kooperatif,
keterbukaan serta kredibilitas.
5. Total Action (Aplikasi Total)
Dalam aplikasi total, haji merupakan suatu lambang dari
puncak “Ketangguhan Pribadi”. Haji adalah sublimasi dari
keseluruhan Rukun Iman; lambang perwujudan akhir dari langkah-
langkah Rukun Islam. Haji merupakan langkah penyelarasan nyata
antara suara hati dan aplikasi yang berpusat kepada Allah Yang
Maha Esa, dimana segala tujuan tak lagi berprinsip kepada yang
lain.
Pelaksanaan ibadah haji adalah suatu transformasi prinsip
dan langkah secara total (thawaf), konsistensi dan persistensi
perjuangan (sa’i), evaluasi dan visualisasi dan serta mengenal jati
diri spiritual ketika wukuf dan terakhir haji adalah persiapan fisik
19
serta mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan
(Lontar Jumroh).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa
Rukun Iman dan Rukun Islam merupakan pembimbing dan
petunjuk bagi umat Islam.
Rukun Islam adalah tujuan dasar spiritual atau tauhid yang
semua ditransformasikan melalui syahadat, shalat,puasa, zakat dan
haji. Rukun Islam juga merupakan langkah nyata dari Rukun Iman
yang telah terbentuk pada alam pikiran.
Tata urutan dalam Rukun Iman hingga ke Rukun Islam
disusun berdasarkan suatu tingkatan anak tangga yang teratur dan
sistematis, serta memiliki keterkaitan erat dan kuat dalam satu
kesatuan yang Esa.
Tingkat kecerdasan spiritual anak didik sngat bergantung
pada prinsip – prinsip di atas, yaitu 6 Rukun Iman dan 5 Rukun
Islam. Dalam hal ini siswa diharapkan bias membangun prinsip
hidup dan manusia yang mendasar dengan pancaran Rukun Iman
dan Rukun Islam sehingga mampu menciptakan kecerdasan
spiritual, sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas.
d. Bentuk-bentuk cerdas spiritual
Bentuk dari seorang yang cerdas spiritual adalah bentuk sikap
kepribadiannya yang melahirkan akhlakul karimah sebagai rujukan
dari cara bersikap dan bertindak (code of conduct). Mereka yang
cerdas spiritual adalah orang-orang yang memiliki tujuan dan makna
hidup, diantaranya adalah :
1. Dzikir dan Do’a.
Dzikir pada hakekatnya adalah semacam latihan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan memiliki tujuan untuk
mencapai kesadaran langsung akan eksistensi Allah.
Dzikir adalah peringkat doa yang paling tinggi. Karena
dengan berdzikir Tuhan akan mengingat hamba-Nya yang
20
berdzikir kepada-Nya.21 Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an
alkarim sebagai berikut :
كموني أذكر١٥٢: البقرة .... (فاذكر.(
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu…..”.22
Diantara pengaruh yang ditimbulkan oleh dzikir, adalah
ketenangan hati. Dan jika hati seseorang tenang, akan tenang pula
jiwanya.
Anak yang mengamalkan dzikir berarti menghubungkan
dan mengkokohkan rohaninya dengan Allah SWT. Insya Allah,
jiwanya akan tumbuh berkembang, fitrahnya terjaga dari
penyimpangan.
Sedangkan do’a adalah rintihan seorang hamba pertolongan
dari Allah. Salah satu fungsi do’a adalah untuk menumbuhkan
sikap optimisme.23 Sebagaimana dalam firman Allah:
وقال ربكم ادعوني استجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي
)٦٠: املؤمن. ( جهنم داخرينسيدخلون
Dan Tuhanmu berfirman : “Berdo’alah kepada Ku, niscaya akan diperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah Ku akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina”.24
Ketika kenikmatan hidup di dunia terputus bagi manusia,
maka kenikmatan itu akan ditemukan pada Allah SWT. Jika
seorang anak mengalami putus harapan dengan sesama hamba
Allah SWT, maka dia tidak akan pernah putus dengan Allah. Pada
21 Muhammad Mahmud Abdullah, Do’a sebagai Penyembuh untuk Mengatasi Stres, Frustasi, Krisis, dan lain-lain. Terj Bahruddin Tanani, (Bandung: Al-Bayan, 2001), cet V, hlm. 46.
22 Soenarjo, dkk, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hlm. 38. 23 Toto Tasmara, op cit., hlm. 19. 24 Soenarjo, op cit., hlm. 767.
21
gilirannya kekuatan spiritualnya semakin bertambah dan keimanan
nya semakin kuat.
Dalam terapi modern, jelas bahwa kekuatan ruh dan
spiritual itu sangat diperlukan. Dan kekuatan ini bisa diperoleh
melalui doa. Karena doa merupakan tempat kelapangan bagi jiwa
dan penyembah kesulitan, duka cita dan gelisah. 25
2. Takwa
Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh dalam
bentuk memelihara hubungan dengan Tuhan.26 Dalam artian tinggi
rendahnya derajat takwa erat kaitannya dengan kualitas iman dan
amal shaleh seseorang bahkan ada yang mengartikan takwa adalah
suatu sikap seseorang yang beriman yang melakukan amal-amal
saleh dengan ikhlas.27 Sebagaimana Firman Allah SWT:
)٧:البينة(إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات أولئك هم خير البرية
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluq.28
Arti takwa lebih banyak mengumpul dalam banyak hal,
takwa juga diartikan berani, memelihara hubungan dengan tuhan,
bukan saja karena takut, tetapi lebih karena ada kesadaran diri
sebagai hamba. Sebagai sikap batin, takwa tidak sama bagi setiap
orang tetapi ada tingkatan-tingkatan dari yang rendah ke tinggi-
dijelaskan dalam firman Allah SWT;
لى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموت واألرض اوسارعوا
قنيتللم تأعد،رنفقون في السي آ الذينرالضظآء ويالغ الكاظمنيء و
25 Ustman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, (Jakarta: Hikmah, 2002 ), hlm.
120 26 Sulaiman Al- Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka Ke A.a gym, (Semarang:
Pustaka: Nuun, 2004), hlm. 98 27 Kaelany HD, Islam, Iman dan Amal Saleh, (Jakarta: PT. Rieneka Cipta, 2000) hlm. 221 28 Soenarjo, dkk, op.cit., hlm. 1085.
22
سننيحالم حبي اللهاس ون النع افنيالع١٣٣-١٣٤ : نال عمر{و{
Dan bersegeralah kami kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas selangit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarah nya dan memaafkan (kesalahan) orang, allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS: Ali Imran: 133-134)29
Orang-orang yang bertakwa harus bisa membuktikan
tanggungjawab sosialnya yakni dilaksanakan dengan penuh rasa
cinta dan menunjukkan amal prestatif di bawah semangat
pengharapan ridha Allah SWT.
3. Merasakan Kehadiran Allah
Seorang yang cerdas spiritual akan senantiasa merasakan
kehadiran Allah SWT. Munculnya keyakinan tersebut berasal dari
keyakinan nya terhadap agama yang melahirkan kecerdasan moral
spiritual, sehingga menumbuhkan rasa yang mendalam bahwa
dirinya senantiasa dalam pengawasan Allah.30
Nilai-nilai moral akan terpelihara dengan adanya kesadaran
akan adanya Allah SWT yang senantiasa mengawasi. Karena
seluruh tindakan yang berasal dari pilihan qalbu (hati nurani), akan
melahirkan kemampuan untuk memilih dengan jelas dan lugas dan
merasakan ketenteraman dan tidak merasa terikat oleh apapun
kecuali pengharapan untuk memperoleh ridha Allah SWT.
Berada dalam pengawasan Allah adalah wujud dari
keimanan yang merasuk ke dalam qalbu dan kekuatannya semakin
29 Ibid., hlm. 98 30 Toto Tasmara, op cit., hlm. 14.
23
bertambah di dalam jiwa sehingga kehidupan yang dijalani
seseorang itu penuh keberkahan.31
Anak didik diharapkan bisa meningkatkan dan
mengembangkan spiritualitas yang dimiliki dengan cara menerima
Tuhan baik dalam suka maupun duka.
Mereka yang merasakan dirinya berada dalam limpahan
karunia Allah. Dalam suka dan duka atau dalam sempit dan lapang,
mereka tetap merasakan kebahagiaan karena kepada Allah mereka
bertawakkal yaitu menyandarkan diri sehingga kuat menghadapi
apapun dan merasa tentram dalam hati.32
4. Memiliki kualitas sabar
Sabar pada hakekatnya adalah kemampuan untuk dapat
menyelesaikan kekusutan hati dan menyerah diri kepada Tuhan
dengan sepenuh kepercayaan menghilangkan segala keluhan dan
berperang dalam hati sanubari dengan segala kegelisahan.33
Sabar merupakan sendi yang harus benar-benar kuat dan
kokoh. Dan lebih jauh, sabar itu inheren dalam diri seseorang
karena bersifat inheren, maka kegagalan dalam mencapai sesuatu
yang dicita-citakan bersumber dari diri sendiri dan bukan dari
orang lain.34
Ada beberapa tingkatan dalam sabar, diantaranya :
a. Sabar dalam taat
Allah menciptakan makhluk di dunia ini untuk
beribadah dan mengenal-Nya. Hanya dengan ketaatanlah
31 Yusuf Qardhawi, Merasakan Kehadiran Tuhan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999),
hlm. 17. 32 Toto Tasmara, op cit., hlm. 15. 33 Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang : Pustaka
Nuun, 2004), hlm. 137. 34 Ibid., hlm. 136-137.
24
ibadah kepada Allah SWT dan mengenal-Nya akan terwujud.35
Sabar dalam taat merupakan ibadah kepada Allah SWT.
b. Sabar dalam meninggalkan maksiat
Sabar dalam meninggalkan maksiat yaitu berusaha
menjauhi perbuatan maksiat. Sabar jenis ini tingkatannya lebih
rendah dibandingkan sabar dalam ketaatan karena Allah
melipat gandakan pahala kebaikan dengan sepuluh kali lipat,
sedangkan pahala meninggalkan kemaksiatan hanyalah satu
kali lipat.36
Membebaskan diri dari hawa nafsu adalah jenis
kecerdasan spiritual yang tidak kalah pentingnya. Karena
dengan bebasnya diri dari nafsu dan potensi ego, akan menjadi
perpanjangan “kehendak” ilahi dalam menyebarkan rahmat bagi alam.37
Anak diharapkan mampu menjauhi hal-hal yang
membawa pada kemaksiatan. Untuk itu, perlu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari sikap sabar dalam meninggalkan
kemaksiatan.
c. Sabar dalam menghadapi ujian
Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan dapat dilihat
dalam kehidupan ini, seperti : cobaan berupa kematian,
kemiskinan, kegagalan anak dalam studi, problematika rumah
tangga dan lain-lain.38
Mereka yang sabar menerima ujian sebagai tantangan
adalah orang yang menetapkan harapan (tujuan, perjumpaan
dan berjalan menggapai ridha Allah). Dengan hati yang lapang
merasakan penderitaan dengan senyuman. Kepedihan hanyalah
35 Syaikh Amru Muhammad Khalid, Sabar dan Santun Karakter Mukmin Sejati, Terj.
Achmad Faozan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 30-31. 36 Ibid. 37 Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Jakarta : Insiani Press, 2004), hlm. 56. 38 Syaikh Amru Muhammad Khalid, op cit., hlm. 32.
25
sebuah selingan dari sebuah perjalanan.39 Bukankah tidak
selamanya jalan yang ditempuh itu mulus dan indah, terkadang
harus mendaki dan penuh tantangan atau ujian.
5. Memiliki empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami
orang lain, mampu beradaptasi dan mampu merasakan kondisi
bathin seseorang.40
Merasakan rintihan dan mendengarkan debar jantungnya
adalah merupakan bentuk dari empati. Empati sosial telah
dipatrikan kepada jiwa agung Rasulullah SAW, sebagaimana
firman :
لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم
حيمر وفؤر مننيؤ41}١٢٨: التوبة {بالم
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaum mu sendiri, berat terasa oleh nya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.41
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa anak cerdas
spiritual melihat orang lain bukan sebagai ancaman melainkan
kehadiran orang lain, bagi mereka yang cerdas spiritual merupakan
anugerah, karena hanya bersama orang lain itulah dirinya akan
mampu meningkatkan kualitas sebagai makhluk yang memiliki
multi potensi dihadapan Allah SWT, perbedaan dan pluralitas
dipandangnya sebagai rahmat yang akan memperkaya nuansa
bathiniahnya.
39 Toto Tasmara, op. cit., hlm. 30. 40 Ibid., hlm. 34. 41 Soenarjo, dkk, op. cit., hlm. 303.
26
Seorang disebut cerdas spiritual, bila hanya peduli dengan
akhirat tetapi membutakan dirinya terhadap misinya di dunia.
Tujuan hidup yang hakiki adalah menetapkan target yang tinggi
terhadap penghargaan ke akhirat dan untuk meraih ketinggian atau
keluhuran hati nuraninya hanya bisa dibuktikan dalam
kehidupannya secara nyata dengan dunia.
2. Perilaku Sosial
a. Pengertian perilaku sosial
Perilaku dari segi bahasa adalah “tanggapan atau reaksi
individu yang terwujud pada gerak (sikap) tidak saja badan atau
ucapan”.42
Pengertian perilaku sering dibatasi kepada yang dapat dilihat
dari luar, yang berkenaan dengan jasmaniyah atau psikomotor.
Perilaku atau kegiatan individu seringkali dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu kegiatan kognitif, afektif dan psikomotor. Kegiatan
kognitif berkenan dengan penggunaan pikiran atau rasio. Dalam
kegiatan afektif berkenaan dengan penghayatan perasaan, sikap moral
dan lain-lain. Sedangkan kegiatan psikomotor menyangkut aktivitas.
Aktivitas yang mengandung gerakan motorik.43
Dalam psikologi dirumuskan tentang perilaku :
“The totality of intra and extra organismic action and
interaction of an organism with is physical and social setting”.44
“Perilaku adalah keseluruhan gerak gerik psikis maupun fisik
individu dan hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan
fisik dan sosialnya”.
42 W.J.S., Poerwadarminta, op. cit., hlm. 961. 43 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), cet I, hlm. 40. 44 Wolman Benjamin B, Dictionary of Behavioral Science, (New York : Van Nostrand
Remhold Company, 1973), hlm. 41.
27
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku atau akhlak adalah sikap
seseorang yang dimanifestasikan dalam perbuatan.45
Dalam Ilmu Nafs, perilaku terdiri dari dua macam, yakni
perilaku fitrah dan perilaku muktassab. Perilaku fitrah adalah perilaku
yang terjadi secara fitrah tanpa adanya pembelajaran. Sedangkan
perilaku muktassab adalah perilaku yang terjadi atas proses
pembelajaran baik dari keluarga, teman, sekolah atau lingkungan
sekitarnya.
كل يوجدا سلوك امرمكتسب يبدوىفى هذا السلو ك الفطرل مقا بوىف
من االسرة أواال صدقاء أوالبيئة االمجاعيه عموماىلمه سوع ما نت
Dan selain perilaku fitrah ini ditemukan perilaku yang lain yaitu muktassab yang muncul dalam setiap apa yang kita pelajari, baik dari keluarga, teman sekolah atau lingkungan sekitarnya.46
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan perilaku
merupakan satu kesatuan perbuatan dari manusia dimana setiap
tingkah laku manusia merupakan manifestasi dari beberapa kebutuhan
dan tingkah laku tersebut ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan itu.
Sedangkan kata sosial dalam kamus bahasa Indonesia diartikan
sebagai sifat yang suka memperhatikan kepentingan umum (suka
menolong, menderma dan sebagainya).47
Dalam kamus psikologi diartikan bahwa :
“The branch of psychology devote to social behaviour in all its forms, including attitudes, social compliance, conformity, obedience to authority, interpersonal attraction, attribution processes, group processes, helping behaviour and non verbal communivation”.48
45 Zakiah Darajat, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. 266. 46 Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidloh, ‘Ilmu an – Nafs, ( Beirut Libanon : Dar al
– Kutub al – Ilmiyah, 1996 ), hlm 55. 47 W. J. S., Poerwadarminta, op cit., hlm. 961. 48 Andrew M. Colman, A Dictionary of psychology, (New York : Oxford University
Press, 2003), hlm. 688.
28
Cabang dari psikologi mengarah pada perilaku sosial dalam semua bentuk, termasuk sikap, kerelaan sosial, kecocokan, kepatuhan, untuk bertindak, daya tarik antar pribadi, proses menghubungkan cara berkelompok, perlakuan, dan komunikasi dengan tindak lisan”.
Dalam penulisan ini perilaku sosial yang dimaksud adalah
tingkah laku dan aktivitas siswa dalam bersosialisasi dan memegang
norma-norma sosial atau yang didasarkan pada nilai-nilai sosial dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini yang dimaksud siswa adalah remaja yaitu masa
yang penuh dengan kegoncangan jiwa, masa berada dalam peralihan
atau di atas jembatan goyang yang menghubungkan masa kanak-kanak
yang penuh ketergantungan dengan masa dewasa yang matang dan
berdiri sendiri.49
Perilaku sosial sangat penting dimiliki oleh seorang siswa
karena akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan bisa melatih
siswa terhadap sikap kecenderungan atau reaksi positif maupun negatif
karena adanya perangsang dari luar yang diterima. Stimulasi itu dapat
berupa perilaku orang-orang, benda-benda dan situasi tertentu.
b. Ciri-ciri perilaku sosial
Agama Islam memerintahkan berhubungan baik terhadap orang
tua, juga mengharuskan berbuat baik kepada teman, terutama sesama
muslim, sebab sesama muslim sama-sama mempunyai etika yang
harus dilaksanakan.
W. A. Gerungan D.P.L Psych, dalam bukunya “Psikologi
Sosial” mengatakan bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk
sosial sejak dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makan, minum dan lain-lain.50
Perilaku sosial pada hakekatnya mengacu pada tindakan dan
tingkah laku manusia dalam suatu lingkungan sosial yang biasa disebut
49 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 89. 50 Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung : Eresco, 1988), hlm. 24.
29
masyarakat. Manusia sebagai perilaku atau tindakan sosial seseorang
cenderung berhubungan dengan perilaku individu lainnya. Antar
manusia satu dengan yang lainnya saling membutuhkan.
Dalam berinteraksi akan mempengaruhi sikap dan perilaku
sosial tiap-tiap individu karena ada hubungan timbal balik antara
lingkungan sosial dengan sikap dan perilaku sosial. Pengaruh interaksi
terhadap sikap yaitu akan membentuk sikap berupa menolak atau
menerima lingkungan sosial dan bersikap netral terhadap lingkungan
sosial.
Pada umumnya anak semenjak dilahirkan sampai dewasa
menjadi orang yang dapat bertanggung jawab dalam masyarakat, harus
mengalami perkembangan anak itu terutama bergantung kepada
pendidikan (pengaruh-pengaruh) yang diterima anak itu dari berbagai
lingkungan yang dialaminya.51
Dalam hal ini anak didik harus dibimbing sejak dini agar
terbiasa kepada peraturan yang baik, sesuai dengan ajaran agama dan
nilai-nilai sosial.
Adapun ciri-ciri perilaku sosial, diantaranya adalah :
1. Menghubungkan silaturahmi
Islam mengajarkan kepada untuk bersilaturrahmi, saling
menolong dan mengasihi satu sama lain. Orang yang suka
mengulurkan tangannya untuk menolong orang lain karena Allah
SWT, niscaya akan menerima upahnya.52 Sebagaimana hadits yang
menerangkan tentang silaturahmi :
51 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritas dan Praktis, (Bandung : PT. Bina Citra
Pesona. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 123. 52 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta : PT. Bina Citra Pesona. Rineka
Cipta, 1994), cet I, hlm. 190.
30
اهللا صلى سمعت رسول: عن أنس بن مالك قال , عن ابن شهاب
أوينسأ في , من سره أن يبسط عليه رزقه: اهللا عليه وسلم يقول
53).رواه مسلم. (فليصل رحمه, أثره
“Dari Annas bin Malik berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda : Siapa yang ingin senang dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menghubungkan silaturrahminya”.
Dalam ajaran Islam silaturahmi sangat penting diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari karena nanti, pada waktu manusia
sudah menjelang titian shiratul mustaqim, maka ada satu tempat
pemeriksaan yang memeriksa bagaimana hubungan kasih sayang
seseorang selama hayatnya di dunia dahulu. Bila ternyata bahwa
silaturrahminya terputus pada waktu ia meninggalkan dunia, maka
orang itu dimasukkan ke dalam neraka (untuk menjalani masa
hukumnya).
2. Solidaritas sosial
Solidaritas sosial di dalam agama Islam dikenal dengan
ukhuwah Islamiyah yang artinya persaudaraan di dalam Islam.
Maksudnya, bahwa antara orang Islam satu dengan orang Islam
yang lain itu bersaudara.
Ukhuwah adalah ikatan kejiwaan yang melahirkan perasaan
yang mendalam dengan kelembutan, cinta dan sikap hormat
terhadap setiap orang yang sama-sama diikat dengan ikatan akidah
Islamiyah, iman dan takwa.54
Islam telah mewajibkan persaudaraan di jalan Allah SWT,
sebagai hasil dari ukhuwah (persaudaraan) di jalan Allah SWT
ialah bahwa interaksi anggota masyarakat Islam sepanjang sejarah
53 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Libanon : Dar al-Kitab al-Ilmiah, t.th), hlm. 505. 54 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak, (Bandung : PT. Bina Citra Pesona.
Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 5.
31
dan zaman adalah yang terbaik dalam pergaulan.55 Dengan
demikian anak harus di didik dengan dasar-dasar ukhuwah
(persaudaraan).
3. Menghormati orang lain
Dalam meningkatkan kerukunan hidup umat beragama,
maka kehidupan beragama dalam masyarakat perlu ditingkatkan,
dikembangkan rasa gotong royong, saling menghormati, saling
pengertian, tenggang rasa, dan sopan santun antar umat
beragama.56
Hubungan dengan sesama manusia perlu dibina, tidak
hanya dengan sesama muslim tetapi juga non muslim tanpa
membeda-bedakan suku dan agama. Dengan saling menghormati
dan menghargai satu sama lain akan mempercepat tali
persaudaraan manusia di muka bumi ini.
4. Hiba kasihan pada si lemah
Hiba kasihan ialah belas kasihan atau merasa hiba hati.57
Berhiba tidak hanya dengan merasa kasihan tetapi juga bersedia
menolongnya.
Orang yang tidak punya belas kasihan ialah orang yang
sakit perasaan atau hatinya.58 Sedangkan orang yang berhiba
kasihan disenangi masyarakat.
Berhiba kasihan dapat mempererat tali kasih sayang,
menimbulkan hidup gotong royong dan membersihkan jiwa dari
kotoran. Bentuk dari hiba kasihan pada si lemah terdapat dalam
pasal 34 yang berbunyi : fakir miskin dan anak-anak terlantar
diperlihara oleh negara.
Dalam hal ini jelas bahwa si lemah dijaga oleh negara. Oleh
karena itu sebagai seorang siswa hendaknya merasa hiba dan
55 Ibid., hlm. 8. 56 Kahar Masyhur, op cit., hlm. 126. 57 Ibid., hlm. 229. 58 Ibid., hlm. 230.
32
membiasakan diri untuk membantu kaum lemah dengan
menyisihkan uang saku untuk disumbangkan kepada fakir miskin,
anak yatim, dan lain-lain.
5. Pemaaf
Memaafkan ialah perasaan jiwa yang bersikap toleran
meski lawannya orang zalim dan melampaui batas pada saat ia
mampu membalas dendam bila menghendakinya.59 Sikap
bermusuhan bukanlah ajaran agama dan kesucian Islam. Sikap
tidak pemaaf merupakan kehinaan dan kerendahan. Maaf
mengandung pengertian syarat-syaratnya merupakan moral dasar
yang membuktikan kemantapan iman dan tingkah laku Islam yang
tinggi.
Seorang mukmin yang berhiaskan sifat pemaaf, penyayang
dan toleran akan menjadi contoh dalam keluhuran moral,
kelembutan dan pergaulan yang baik terhadap yang lain, bahkan
kesempurnaan, kesucian dan kebersihannya akan menyerupai
malaikat yang berjalan di muka bumi.60
Seorang siswa, harus memiliki sikap pemaaf yang sangat
besar seakan lebur dalam cintanya yang sangat mendalam terhadap
kebenaran (ash-Shiddiq), dan sekaligus kepeduliannya kepada
kemanusiaan.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sosial
Adapun mengenai faktor-faktor yang mampu untuk
mempengaruhi perilaku sosial secara garis besar dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor inilah
yang bisa menciptakan perilaku sosial seseorang.
1. Faktor internal
59 Abdullah Nashih Ulwan, op. cit., hlm. 17. 60 Ibid., hlm. 18-19.
33
Faktor internal adalah faktor yang terdapat dalam diri
manusia itu sendiri atau segala sesuatu yang telah dibawa oleh
anak sejak lahir yaitu fitrah suci yang merupakan bakat bawaan.
Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau
kepercayaan kepada Tuhan didasarkan kepada firman Allah Q.S.
Ar-Rum : 30.
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها ال تبديل
).٣٠:الروم(لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس ال يعلمون
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.61
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menafsirkan bahwa
ayat ini merupakan perintah untuk mempertahankan dan
meningkatkan dalam upaya untuk menghadap kepada Allah secara
sempurna, yang mana pada diri manusia telah diberi potensi dasar
(fitrah) untuk mengesakan Allah.62
Faktor-faktor yang terdapat dalam diri pribadi manusia
adalah :
a) Pengalaman pribadi
Menurut Zakiah Daradat, sebelum anak masuk sekolah
telah banyak pengalaman yang diterima di rumah dari teman
sepermainan. Menurut penelitian ahli juga terbukti bahwa
semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir maupun unsur
dalam pribadinnya.63
b) Ilmu pengetahuan
61 Soenarjo , dkk, op cit., hlm. 645. 62 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan Kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta :
Lentera Hati, 2000), hlm. 52. 63 Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 17.
34
Memiliki pengetahuan dan mencari pengetahuan
merupakan kewajiban bagi orang yang beriman karena untuk
mencapai pemenuhan dan perealisasian diri tidak terlepas dari
pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuanlah kita dapat mencari
kebenaran dalam hidup.
Ilmu pengetahuan adalah merupakan faktor esensial
dalam pendidikan. Keterbatasan ilmu pengetahuan umat
manusia dalam memecahkan berbagai masalah umat manusia
sangat mempengaruhi moralitas bangsa. Ilmu pengetahuan dan
teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas
manusia. Di sisi lain bila tidak terkendali oleh nilai-nilai luhur
akan dapat menimbulkan kerugian sendiri bagi manusia.64
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal merupakan segala sesuatu yang ada di luar
manusia yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan
keagamaan seseorang.65 Adapun faktor-faktor tersebut adalah :
a) Lingkungan keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial terlebih
pada awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi
perkembangan kepribadian selanjutnya. Pendidikan keluarga
merupakan pendidik dasar bagi pembentukan jiwa pendidikan
yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua.
Pada dasarnya, peranan orang tua sangat dibutuhkan pada
perkembangan nilai-nilai moral anak, karena tingkah laku anak
64 Mansyur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gobal Pustaka Utama, 2001),
hlm. 67-68. 65 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm. 137.
35
dipengaruhi oleh sikap dan cara hidupnya, yang akan
mempunyai pengaruh besar dalam pendidikan anak.66
Dalam keluarga, haruslah tercipta hubungan timbal balik dalam
pendidikan, mengingat bahwa keluarga dalam hal ini yaitu
orang tua berperan penting dalam menentukan keberhasilan
anak-anaknya dan dapat juga orang tua dijadikan suri tauladan
bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, orang tua haruslah
bersungguh-sungguh dalam mendidik anak, selain agama juga
mendidik bersosialisasi, dan menanamkan nilai-nilai sosial,
yang akan berpengaruh pada perilaku sosial anak tersebut.
Sebagai orang tua hendaknya juga memperlakukan anaknya
dengan baik, memelihara hubungan yang harmonis antar
anggota keluarga (ayah dengan ibu, orang tua dengan anak dan
anak dengan anak).
Hubungan yang harmonis, penuh pengertian dan kasih sayang
akan membuahkan perkembangan perilaku anak yang baik.67
b) Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan kedua sebagai
kelanjutan dari pendidikan keluarga. Sekolah bukanlah sekedar
tempat menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak murid
(transfer of knowledge), tetapi sekolah juga harus mendidik dan
membina kepribadian anak (transfer of value). Hurlock, dalam
bukunya Syamsu Yusuf mengatakan bahwa pengaruh sekolah
terhadap perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena
sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru
substitusi dari orang tua.68
66 Singgih D Gunarso, Psikologi Praktis : Anak Remaja dan Keluarga, (Jakarta: Gunung
Mulia, 1995), hlm. 38. 67 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2000), hlm. 29. 68 Syamsu Yusuf LN, op cit.,hlm. 140.
36
Selain peran penting dari orang tua, di lingkungan sekolah guru
juga berperan dalam mempengaruhi perilaku anak. Guru harus
memiliki kepribadian dewasa susila dalam menciptakan anak
didik sebagai manusia yang susila.69
Lingkungan sekolah mempunyai peranan yang sangat besar
terhadap perilaku sosial siswa. Karena faktor ini dapat
memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap perilaku
siswa.
c) Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi
sosial dan sosio kultural yang secara potensial berpengaruh
terhadap perkembangan fitrah anak. Dalam masyarakat,
individu akan melakukan interaksi sosial dengan teman
sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman
sepermainannya berperilaku baik, maka anakpun cenderung
berperilaku baik pula. Namun jika teman sepermainannya
melanggar norma-norma maka anakpun cenderung mengikuti
dan mencontoh perilaku tersebut.70
Faktor masyarakat ini tidak kalah pentingnya dalam
membentuk pribadi anak, karena dalam masyarakat
berkembang berbagai organisasi sosial, ekonomi, agama,
kebudayaan dan sebagainya yang mempengaruhi arah
perkembangan hidup khususnya yang menyangkut sikap dan
tingkah laku. Corak perilaku anak atau remaja merupakan
cermin dari corak atau perilaku warga masyarakat (orang
dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, disini dapat
dikemukakan bahwa kualitas perkembangan perilaku atau
kesadaran bersosialisasi bagi anak sangat bergantung pada
kualitas perilaku pribadi orang dewasa atau warga masyarakat.
69 Syaiful Bahri Djamarah, op cit., hlm. 29. 70 Syamsu Yusuf LN, op cit., hlm. 141.
37
Perilaku sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang
dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih
daripada sekedar adanya kontrak sosial dan hubungan antara
individu sebagai anggota kelompok sosial.
Dengan demikian ada baiknya cermat dalam memilih
lingkungan hidup atau sebagai orang tua maupun guru dan
pemimpin masyarakat agar cermat menciptakan lingkungan
sosial yang menguntungkan perkembangan individu.
3. Korelasi antara kecerdasan spiritual (SQ) dengan perilaku sosial
anak didik kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kecerdasan yang melibatkan
kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam.71 Manusia
akan merasa bermakna spiritual ketika ia berdzikir dan do’a, merasakan
kehadiran Allah, memiliki empati dan takwa, memiliki kualitas sabar.
Kecerdasan spiritual memiliki relevansi dengan pendidikan karena
belajar adalah proses dalam perubahan yang meliputi aspek afektif,
kognitif dan psikomotorik. Dari sini dapat kita pahami bahwa SQ
termasuk dalam pendidikan yang sifatnya non formal karena orang yang
belajar SQ dan telah mampu menerapkan berbagai unsur yang ada,
maka ia akan mampu mengaplikasikan secara langsung.
Pendidikan dapat diartikan usaha sadar atau sengaja dari orang
dewasa terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak untuk
meningkatkan atau menuju kedewasaan.72
Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan
kelakuan anak didik, karena pendidikan bertalian dengan transmisi
pengetahuan, sikap kepercayaan, ketrampilan dan aspek – aspek
kelakuan lainnya kepada generasi muda.
Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola – pola
kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat.73 Jika
71 Sukidi, op. cit., hlm. 49. 72 Mansur Isna, Diskursus Pendidikan Islam, ( Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001
), hlm. 62.
38
pendidikan yang ada selama ini lebih menekankan segi – segi
pengetahuan kognitif intelektual, pendidikan spiritual justru ingin
menumbuhkan segi – segi kualitas psikomotorik dan kesadaran spiritual
yang reflektif dalam kehidupan sehari – hari.74
Kecerdasan spiritual mendidik hati kita ke dalam budi pekerti
yang baik dan moral yang beradab.75 Pendidikan moral dan budi pekerti
yang baik, seharusnya sudah sejak awal menjadi bagian intrinsic dalam
kurikulum pendidikan kita, sehingga sikap – sikap terpuji dapat
ditanamkan dalam diri siswa sejak usia dini, yang memberikan bekas
dan pengaruh kuat dalam perilaku siswa di sekolah dalam kehidupan
sehari – harinya. Seorang siswa yang memiliki kecerdasan intelektual (
IQ ) tinggi diharapkan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi pula
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan setiap persoalan yang
dihadapi dalam kehidupan ini.
Tujuan utama dari pendidikan hati dan pendidikan moral budi
pekerti adalah mempersiapkan generasi baru yang nantinya dapat
menginternalisasikan moral dan budi pekerti yang baik dan sekaligus
mampu mengeksternalisasikannya ke dalam perilaku hidup sehari –
hari.76
Orang yang beriman dan bertakwa, memiliki tingkat pertanggung
jawaban besar. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran dalam diri masing
– masing, bahwa mereka adalah hamba dan khalifah Allah. Atas dasar
kesadaran seperti itu, segala bentuk aktivitas dan kegiatan yang mereka
lakukan senantiasa disesuaikan dengan tuntunan Allah.
Siswa diharapkan memiliki kesadaran diri sebagai hamba dan
khalifah Allah karena hal ini akan menanamkan rasa tanggung jawab
yang besar dan akan berpengaruh dalam membentuk sikap serta perilaku
73 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1999 ), hlm. 10. 74 Sukidi, op. cit., hlm 28. 75 Ibid., hlm. 29. 76 Ibid., hlm. 30.
39
siswa selaku hamba Allah.77 Oleh karena itu anak yang memiliki
kecerdasan spiritual baik yang segala aktivitasnya diarahkan pada
pengabdiannya kepada sang Pencipta maka dia akan berperilaku baik
dengan bertanggung jawab.
Perilaku sosial pada hakikatnya mengacu pada tindakan dan
tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial. Dalam perkembangannya
manusia dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Kepribadian
anak sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial dan budaya
setempat, tradisi, nilai – nilai, perilaku kedua orang tuanya, cara orang
tua mendidik dan memperlakukannya
Siswa adalah remaja dengan penuh kegoncangan jiwa dan berada
dalam masa peralihan yang mudah sekali untuk dipengaruhi ke hal – hal
yang bersifat negatif. Oleh karena itu, diharapkan orang tua memiliki
sebuah peluang yang luar biasa untuk mempengaruhi SQ anak-anak
mereka dengan menolong mereka mempelajari tingkah laku. Anak-anak
yang dilatih spiritual cenderung bergaul lebih baik dengan teman-
temannya tidak banyak mengalami masalah tingkah laku dan tidak
begitu gampang melakukan kekerasan.
Di tengah arus demoralisasi perilaku manusia akhir – akhir ini,
kecerdasan spiritual tidak saja efektif untuk mengobati perilaku manusia
yang semakin buruk tetapi juga menjadi guidance manusia untuk
menapaki hidup secara sopan dan beradab.78
Fungsi dari SQ adalah sebagai materi pendidikan yang harus
ditanamkan pada jiwa anak melalui bentuk sikap dan suri tauladan yang
baik. Hal di atas menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai SQ
tinggi maka ia akan berperilaku sosial yang baik sehingga terbentuk
sikap hidup yang dinamis, harmonis dan sikap solidaritas yang tinggi
dalam masyarakat. Anak yang memiliki kemampuan intelektual ( IQ )
tinggi tidak menjamin memiliki perilaku baik.
77 Jalaluddin Rakhmat, op. cit., hlm. 204. 78 Sukidi, op. cit., hlm. 29.
40
Anak yang mempunyai spiritual baik adalah anak yang tumbuh
dari benih yang tidak diragukan keunggulan spiritualnya dan
berkembang dalam keluarga yang hidup dengan nafas spiritual yang
tinggi. Kecerdasan spiritual mempunyai hubungan dengan perilaku
sosial siswa. Namun demikian, hubungan yang dimaksud sangat
tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk
memahami nilai-nilai spiritual. Sebab kecerdasan spiritual pada
hakikatnya merupakan pendidikan hati yang membentuk budi pekerti
yang baik dan moral yang beradab. Anak yang memiliki hati tenang
akan berimplikasi langsung pada ketenangan, kematangan dan sinar
kearifan yang memancar dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kecerdasan spiritual merupakan
potensi fitrah manusia, bila difungsikan secara efektif, maka akan
memiliki pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia dalam
menentukan sikap dan tujuannya dengan mencerminkan kepribadiannya
sebagai seorang manusia yang berperilaku sosial baik tanpa harus
menghilangkan konsep agama sebagai landasan hidup manusia.
B. KAJIAN PENELITIAN YANG RELEVAN
Pada dasarnya urgensi kajian penelitian adalah sebagai bahan auto
kritik terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kelebihan maupun
kekurangannya, sekaligus sebagai bahan perbandingan terhadap kajian yang
terdahulu. Dan untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan yang
membahas permasalahan yang sama dan hampir sama dari seseorang, baik
dalam bentuk skripsi, buku dan dalam bentuk tulisan lainnya, maka penulis
akan memaparkan beberapa bentuk tulisan lainnya.
Dalam tinjauan pustaka ini peneliti akan menguraikan beberapa artikel
maupun penelitian-penelitian yang membahas mengenai kecerdasan spiritual.
Penelitian dalam bentuk artikel yang ditulis Kiki Firdiansyah Wijaya
yang berjudul “menghantarkan anak ke puncak kecerdasan”. Artikel ini berisi
41
tentang kualitas spiritual orang tua yang berpengaruh terhadap kepribadian
anak.79
Karya lainnya dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Afif Erma
Fitriani tentang “Peran orang tua dalam menumbuhkan kecerdasan spiritual
anak dalam perspektif pendidikan Islam (studi analisis pemikiran suharsono).
Penelitian ini membahas mengenai peran penting orang tua dalam
menumbuhkan kecerdasan spiritual pada diri anak. Kesimpulan dalam
penelitian ini adalah kecerdasan spiritual berfungsi sebagai metode untuk
membentuk akhlaqul karimah pada jiwa anak.80
Skripsi yang ditulis oleh Erni Naili Muna Kurniawati tentang
“Aplikasi Metode Spiritual Parenting sebagai Upaya Pembentukan
Kepribadian Anak di TK Al Azhar 14 Semarang”. Kesimpulan dari penelitian
ini adalah anak yang mempunyai spiritual yang baik adalah anak yang tumbuh
dari benih yang tidak diragukan keunggulan spiritualnya dan berkembang
dalam keluarga yang hidup dengan nafas spiritual yang tinggi.80
Skripsi lainnya adalah “Pemikiran Utsman Najati tentang Kecerdasan
Spiritual” yang ditulis oleh Marfu’ah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang melahirkan individu yang
berkepribadian dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an
dan As-Sunnah.81
Dari penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian yang
tidak dilakukan sebelumnya. Karena penelitian ini membahas tentang
“Korelasi antara Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Sosial Anak Didik di
SMK Negeri 1 Kecamatan Cepu Kabupaten Blora”.
79 Kiki Firdiansyah Wijaya, Menghantarkan Anak ke Puncak Kecerdasan; Artikel tidak
diterbitkan, 2001. (www.geogle.com). 80 Afif Erma Fitriani, Peran Orang Tua dalam Menumbuhkan Kecerdasan Spiritual Anak
dalam Perspektif Pendidikan Islam, Skripsi 2004. 80 Erni Naili Muna Kurniawati, Aplikasi Metode Spiritual Parenting sebagai Upaya
Pembentukan Kepribadian Anak, Skripsi 2003. 81 Marfu’ah, Pemikiran Utsman Najati tentang Kecerdasan Spiritual, Skripsi 2006.
42
C. HIPOTESIS PENELTIIAN
Hipotesis merupakan jawaban sementara atau permasalahan yang
dipahami, jawaban ini dapat benar, atau salah tergantung pembuktian nanti di
lapangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Sutrisno Hadi :
“Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar, mungkin salah atau palsu, dan
akan diterima jika faktor-faktor yang membenarkannya”.
Jadi hipotesis penelitian adalah “Jawaban sementara terhadap masalah
penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris.82
Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan hipotesis sebagai berikut
: bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku
sosial anak didik kelas I SMK Negeri 1 Kecamatan Cepu Kabupaten Blora.
Mengingat hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang
mungkin benar atau mungkin salah, maka dilakukan pengkajian pada bagian
analisis data untuk mendapat bukti apakah hipotesis yang diajukan itu dapat
diterima atau tidak.
82 Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta : Andi Offset, 2000), hlm. 63.