bab ii landasan teori a. rasio keuangan bank syariahetheses.iainkediri.ac.id/539/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Rasio Keuangan Bank Syariah
Salah satu cara terpenting untuk melihat kinerja suatu perusahaan
adalah dari laporan keuangan yang telah disusun pada periode tertentu. Dalam
laporan keuangan akan terlihat aktivitas yang sudah dilakukan perusahaan
yang dituangkan dalam bentuk angka-angka. Angka-angka ini akan menjadi
lebih berarti jika dapat dibandingkan antara satu komponen dengan
komponen lainnya. Perbandingan inilah yang dikenal dengan nama analisis
rasio keuangan.
James C. van Horne menyatakan bahwa rasio keuangan merupakan
indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh dengan
membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk
mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil rasio
keuangan ini akan kelihatan kondisi kesehatan perusahaan yang
bersangkutan.1
Berdasarkan tujuan analisanya, para ahli mengklasifikasikan rasio
keuangan dalam bentuk-bentuk berikut:
1. Menurut J. Fred Weston, bentuk-bentuk rasio keuangan adalah sebagai
berikut:
1 Kasmir, Pengantar Manjemen Keuangan , (Jakarta: Kencana, 2010), 93.
19
a. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratio)
− Rasio Lancar (Current Ratio)
− Rasio Sangat Lancar (Quick Ratio atau Acid Test Ratio)
b. Rasio Solvabilitas (Leverage Ratio)
− Total utang dibandingkan dengan total aktiva atau rasio utang (Debt
Ratio)
− Jumlah kali perolehan bunga (Times Interest Earned)
− Lingkup Biaya Tetap (Fixed Charge Coverage)
− Lingkup Arus Kas (Cash Flow Coverage)
c. Rasio Aktivitas (Activity Ratio)
− Perputaran Sediaan (Inventory Turn Over)
− Rata-rata jangka waktu penagihan/perputaran piutang (Average
Collection Period)
− Perputaran Aktiva Tetap (Fixed Assets Turn Over)
− Perputaran Total Aktiva (Total Assets Turn Over)
d. Rasio Profitabilitas (Profitability Ratio)
− Margin Laba Penjualan (Profit Margin on Sales)
− Daya Laba Dasar (Basic Earning Power)
− Hasil pengembalian total aktiva (Return on Total Assets)
− Hasil pengembalian ekuitas (Return on Total Equity)
e. Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) merupakan rasio yang
menggambarkan kemampuan perusahaan mempertahankan posisi
20
ekonominya di tengah pertumbuhan perekonomian dan sektor
usahanya.
− Pertumbuhan penjualan
− Pertumbuhan laba bersih
− Pertumbuhan pendapatan per saham
− Pertumbuhan deviden persaham
f. Rasio penilaian (Valuation Ratio), yaitu rasio yang memberikan
ukuran kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar
usahanya di atas biaya investasi.
− Rasio harga saham terhadap pendapatan
− Rasio nilai pasar saham terhadap nilai buku2
2. Sementara Leopald A. Bernstein dalam bukunya “Financial Statement
Analysis Theory, Application, and Interpretation” menyatakan bahwa
angka-angka rasio keuangan dapat dikategorikan menjadi:
a. Short-term Liquidity Ratios. Yaitu rasio-rasio untuk menilai likuiditas.
Misalnya: Current Ratio, Acid Test Ratio, Account Receivable
Turnover.
b. Capital Structure and Long-term Solvency Ratios. Rasio-rasio ini
digunakan untuk menilai struktur modal dan solvabilitas. Misalnya:
rasio antara modal sendiri dengan total hutang, rasio antara modal
sendiri dengan hutang jangka panjang, rasio antara modal sendiri
dengan aktiva tetap, dan lain-lain.
2 Kasmir, Analisis Laporan Keuangan , (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), 107.
21
c. Return On Investment Ratios. Misalnya Return On Total Assets
(rentabilitas usaha) dan rentabilitas modal sendiri (return on equity
capital).
d. Operatig Performance Ratios. Adalah rasio-rasio untuk menilai hasil
operasi. Antara lain: Gross Margin Ratio, Net Profit Ratio, dan
sebagainya.
e. Assets Utilization Ratios. Yaitu rasio-rasio antara penjualan dengan
kas, persediaan, modal kerja, aktiva tetap atau aktiva-aktiva lainnya.
Rasio ini digunakan untuk menilai penggunaan aktiva.3
3. Drs. Bambang Riyanto dalam bukunya Dasar-dasar Pembelanjaan
Perusahaan, mengelompokkan rasio keuangan ke dalam:
a. Rasio Likuiditas. Antara lain: Current Ratio, Cash Ratio, Acid Test
Ratio, dan Working Capital To Tottal Assets Ratio.
b. Rasio Leverage. Antara lain: Total Debt To Equity Ratio, Total Debt
To Total Capital Assets, Long-term Debt To Equity Ratio, Tangible
Assets Debt Coverage, dan Time Interest Earned Ratio.
c. Rasio Aktivitas. Antara lain: Total Assets Turnover, Receivable
Turnover, Average Collection Period, Inventory Turnover, Average
Day‟s Inventory, serta Working Capital Turnover.
d. Rasio Keuntungan. Antara lain: Gross Profit Margin, Operating
Income Ratio, Operating Ratio, Net Profit Margin (Sales Margin),
3 Munawir, Analisa Laporan Keuangan , (Yogyakarta: Liberty, 2010), 70.
22
Earning Power of Total Investment, Net Earning Power Ratio, serta
Rate of Return for The Owners.4
Di Indonesia, rasio keuangan yang digunakan oleh bank syariah
sebagaimana diatur Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.
9/24/DPbS tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah meliputi:
1. Peniliaian Permodalan (Capital). Merupakan penilaian terhadap kecukupan
modal Bank dan Unit Usaha Syariah (UUS) untuk meng-cover eksposur
risiko saat ini dan mengantisipasi eksposur risiko di masa datang. Rasio
yang digunakan dalam aspek ini diantaranya Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM), Deviden Pay Out Ratio, dan lain-lain.
2. Peniliaian Kualitas Aset (Assets Quality). Merupakan penilaian terhadap
kondisi aset Bank atau UUS dan kecukupan manajemen risiko
pembiayaan. Rasio yang digunakan dalam aspek ini diantaranya rasio
Kualitas Aktiva Produktif bank (KAP), Konsentrasi risiko penyaluran dana
kepada debitur inti (KRDI), dan lain-lain.
3. Peniliaian Rentabilitas (Earnings). Merupakan penilaian terhadap kondisi
dan kemampuan Bank dan UUS untuk menghasilkan keuntungan dalam
rangka mendukung kegiatan operasional dan permodalan. Rasio yang
digunakan dalam aspek ini adalah Net Operating Margin (NOM), Rasio
Efisiensi Operasional (REO), Return On Assets (ROA), dan lain-lain.
4. Peniliaian Likuiditas (Liquidity). Merupakan penilaian terhadap
4 Ibid., 71.
23
kemampuan bank untuk memelihara tingkat likuiditas yang memadai.
Rasio utama yang digunakan dalam aspek ini adalah rasio besarnya aset
jangka pendek dibandingkan dengan kewajiban jangka pendek, Short Term
Mismatch Plus (STMP), dan lain-lain.
5. Peniliaian sensitivitas atas risiko pasar (sensitivity to market risk).
Merupakan penilaian terhadap kemampuan modal Bank dan UUS untuk
meng-cover risiko yang ditimbulkan oleh perubahan nilai tukar. Penilaian
sensitivitas atas risiko pasar dilakukan dengan menilai besarnya kelebihan
modal yang digunakan untuk menutup risiko bank dibandingkan dengan
besarnya risiko kerugian yang timbul dari pengaruh perubahan risiko
pasar. Rasio yang digunakan adalah rasio kecukupan modal yang dibentuk
untuk meng-cover risiko pasar (fluktuasi nilai tukar).
B. Rentabilitas
Rasio keuangan yang sering kali digunakan untuk menilai kinerja bank
syariah adalah rasio rentabilitas. Rasio rentabilitas bank adalah alat untuk
menganalisis atau mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang
dicapai oleh bank yang bersangkutan. Dalam perhitungan rasio-rasio
rentabilitas biasanya dicari hubungan timbal balik antar pos yang terdapat
pada laporan laba rugi ataupun hubungan timbal balik antar pos yang terdapat
pada laporan laba rugi bank dengan pos-pos pada neraca bank guna
24
memperoleh berbagai indikasi yang bermanfaat dalam mengukur tingkat
efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan.5
Secara teoritis, rasio rentabilitas memiliki hubungan dengan rasio
keuangan lainnya. Contohnya, rasio rentabilitas ekonomi (kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan seluruh aktiva
perusahaan) bersifat positif dengan rentabilitas modal sendiri (kemampuan
perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan modal sendiri). Semakin
besar rentabilitas ekonomi atau return on assets, akan semakin besar pula
rentabilitas modal sendiri atau return on equity. Hubungan lainnya adalah
antara rentabilitas modal sendiri dengan rasio utang yang bisa bersifat positif
atau negatif. Pengaruh positif memiliki arti semakin besar rasio utang,
semakin besar pula rasio modal sendiri, dengan catatan jika rentabilitas
ekonomi lebih besar dari tingkat bunga. Pengaruh negatifnya adalah jika
rentabilitas ekonomi lebih kecil dari tingkat bunga, rasio utang bertambah
besar dan rasio modal sendiri menjadi kecil.6
Rentabilitas juga sering dikelompokkan menjadi satu dengan
profitabilitas karena keduanya sama-sama menunjukkan kemampuan
perusahaan menghasilkan laba. Bedanya rentabilitas menjelaskan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dengan
menggunakan modal yang ditanam didalamnya sedangkan profitabilitas
menjelaskan kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan dari
5 Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), 120.
6 Kasmir, Analisis Laporan…, 119.
25
penjualan barang atau jasa yang diproduksinya.7 Kemampuan perusahaan
menghasilkan keuntungan juga dipengaruhi oleh kemampuan manajemen
perusahaan mengendalikan risiko-risiko perusahaan. Selain berusaha untuk
menghasilkan keuntungan setinggi-tingginya, secara simultan manajer harus
juga memperhatikan adanya kemungkinan risiko yang timbul. Risiko tersebut
dapat berupa: (1) Risiko yang sistematis (systematic risk), yaitu risiko yang
diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro,
seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah,
perubahan situasi pasar, dan sebagainya; (2) Risiko yang tidak sistematis
(unsystemic risk), yaitu risiko yang unik, yang melekat pada suatu perusahaan
atau bisnis tertentu saja.8
Penilaian terhadap rentabilitas sangat penting dilakukan untuk
mengetahui kondisi suatu bank. Bank Indonesia, selaku lembaga pengawas
dan pembina bank syariah di Indonesia memasukkan faktor rentabilitas dalam
menilai tingkat kesehatan bank syariah sebagaimana disebutkan dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Adapun
komponen-komponen untuk menilai faktor rentabilitas menurut Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah meliputi:
1. Kemampuan dalam menghasilkan laba, kemampuan laba mendukung
ekspansi dan menutup risiko, serta tingkat efisiensi.
7 Budi Rahardjo, Keuangan dan Akuntansi untuk Manajer Non Keuangan , (Jakarta: Graha
Ilmu, 2007), 120. 8 Muhammad, Manajemen Bank …, 310.
26
2. Diversifikasi pendapatan termasuk kemampuan bank untuk mendapatkan
fee based income, dan diversifikasi penanaman dana, serta penerapan
prinsip akuntansi dalam pengakuan pendapatan dan biaya.
Beberapa tujuan dilakukannya penilaian komponen-komponen
rentabilitas bank syariah tersebut berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah adalah:
1. Mengetahui kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan laba.
2. Mengukur keberhasilan manajemen dalam menghasilkan laba.
3. Mengukur efisiensi kegiatan operasional bank syariah.
4. Mengukur besarnya aktiva bank syariah yang dapat
menghasilkan/memberikan pendapatan.
5. Mengukur kemampuan bank syariah dalam menghasilkan pendapatan
dari jasa berbasis fee. Semakin tinggi pendapatan berbasis fee
mengindikasikan semakin berkurang ketergantungan bank terhadap
pendapatan dari penyaluran dana.
6. Mengukur besarnya pelaksanaan fungsi sosial bank syariah.
7. Mengetahui kemampuan bank dalam mengelola dana investasi untuk
menghasilkan pendapatan.
Sedangkan kriteria penetapan peringkat faktor rentabilitas berdasarkan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS tentang Sistem Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah yaitu:
27
− Peringkat 1 : Kemampuan rentabilitas sangat tinggi untuk
mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 2 : Kemampuan rentabilitas tinggi untuk mengantisipasi
potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 3 : Kemampuan rentabilitas cukup tinggi untuk
mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 4 : Kemampuan rentabilitas rendah untuk mengantisipasi
potensi kerugian dan meningkatkan modal.
− Peringkat 5 : Kemampuan rentabilitas sangat rendah untuk
mengantisipasi potensi kerugian dan meningkatkan modal.
C. Return On Assets (ROA)
Salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur rentabilitas bank
syariah menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS adalah Return
On Assets (ROA). Rasio ini mengukur keberhasilan manajemen dalam
menghasilkan laba. Untuk mengetahui besarnya ROA suatu bank digunakan
rumus berikut:
Dimana,
- Perhitungan laba sebelum pajak disetahunkan
Contoh: Untuk posisi Juni = (akumulasi laba per posisi Juni
dibagi 6) x 12.
- Perhitungan rata-rata total aset sebagai berikut :
28
Contoh: Untuk posisi Juni = penjumlahan total asset posisi Januari
sampai dengan Juni dibagi 6.
- Rasio dihitung per posisi tanggal penilaian.
Rasio ROA disajikan dalam bentuk prosentase kemudian dinilai
berdasarkan pemeringkatan Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS
berikut ini:
− Peringkat 1: ROA > 1,5%
− Peringkat 2: 1,25% < ROA ≤ 1,5%
− Peringkat 3: 0,5% < ROA ≤ 1,25%
− Peringkat 4: 0% < ROA ≤ 0,5%
− Peringkat 5: ROA ≤ 0%
Semakin kecil rasio ini mengindikasikan kurangnya kemampuan
manajemen bank dalam hal mengelola aktiva untuk meningkatkan
pendapatan dan atau menekan biaya serta semakin buruk pula tingkat
rentabilitasnya. Kemampuan bank untuk memperoleh pendapatan yang besar
sekaligus mampu menekan biaya akan menghasilkan keuntungan yang tinggi.
Bank yang selalu menjaga tingkat keuntungan yang tinggi dan mampu
membagikan deviden dengan baik, maka ada kemungkinan nilai saham dari
bank yang bersangkutan di pasar sekunder dan jumlah Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang berhasil dikumpulkan akan naik. Kenaikan nilai saham dan
jumlah DPK ini merupakan indikator naiknya kepercayaan masyarakat
kepada bank yang bersangkutan. Kepercayan dan loyalitas dana terhadap
bank merupakan faktor yang sangat membantu dan mempermudah pihak
29
manajemen bank untuk menyusun strategi bisnis yang baik. Begitu
pentingnya kepercayaan ini bahkan pemilik dana dapat menghancurkan
sebuah bank, apabila dana besar yang disimpan pada sebuah bank kemudian
pada suatu saat yang bersamaan ditarik seluruhnya secara serentak.9
Memperoleh keuntungan optimal merupakan tujuan fundamental
bisnis perbankan tak terkecuali bank syariah karena bank syariah merupakan
lembaga keuangan syariah yang berorientasi pada laba (profit). Motif profit
mendapat legitimasi karena termasuk dalam lima maqasidul syari‟ah, yakni
hifdzul maal atau menjaga harta. Secara harfiah maqasidul syariah dapat
diartikan sebagai tujuan syariah. Dalam hal ini Al Asyatibi berpendapat,
“Sesungguhnya syari‟ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia
di dunia dan akhirat.” Kemaslahatan disini diartikan Asyatibi sebagai segala
sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia,
dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualitas.10 Semua aktivitas yang memiliki maslahah bagi umat manusia
disebut needs atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi.
Begitu pula dengan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban
dalam beragama.11 Mustafa Anas Zar juga menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya aspek dharuriyat (pemenuhan aspek agama, jiwa, akal, harta,
dan keturunan) dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara
9 Mudrajad Kuncoro, Suhardjono, Manajemen Perbankan: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta, 2002), 539. 10
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 280. 11
Budi Setyanto, et al., Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana,2006), 63.
30
keseluruhan.12 Allah SWT mengingatkan manusia unruk mencari
kesejahteraan akhirat tanpa melupakan urusan dunia dalam firman-Nya,
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.13
Bahkan semasa hayatnya Rasulullah SAW sering menebarkan nasehat
ekonomi kepada kaum muslimin, seperti yang dikemukakan dalam hadits
riwayat Nasa‟i, “Berusahalah untuk mendapatkan perlindungan Tuhanmu dari
kekafiran, kekurangan, dan kehinaan.”.
Berdasarkan ungkapan dalil-dalil tersebut jelas menunjukkan bahwa
harta (kekayaan materi) merupakan bagian yang sangat penting dalam
kehidupan kaum muslimin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam
tidak menghendaki umatnya hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan
ekonomi sejalan dengan ungkapan, “Sungguh kefakiran itu dekat kepada
kekafiran.”14
12
Nur Chamid, Jejak Langkah ...., 282. 13
Q.S. Al-Qashash: 77. 14
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 2.
31
D. Rasio Efisiensi Operasional (REO)
Rasio Efisiensi Operasional (REO) yaitu rasio yang digunakan untuk
mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan
operasionalnya. Sebagaimana tersebut dalam Surat Edaran Bank Indonesia
No. 9/24/DPbS, rasio ini termasuk rasio penunjang untuk mengukur tingkat
rentabilitas bank syariah. REO membandingkan antara beban operasional
dengan pendapatan operasional. Oleh karena itu rasio ini juga sering disebut
dengan BOPO, yakni rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional.
PO pada rumus di atas adalah pendapatan operasional setelah distribusi
bagi hasil sedangkan BO beban operasional termasuk kekurangan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Sebagaimana rasio-rasio keuangan
lainnya, rasio ini juga disajikan dalam bentuk prosentase. Semakin tinggi
prosentase REO suatu bank menunjukkan semakin inefisien kegiatan operasi
bank tersebut yang artinya semakin buruk rentabilitasnya.
Berikut kriteria penilaian peringkat REO dalam rangka penilaian
tingkat kesehatan bank syariah sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia No. 9/24/DPbS:
− Peringkat 1: REO ≤ 83%
− Peringkat 2: 83% < REO ≤ 85%
− Peringkat 3: 85% < REO ≤ 87%
− Peringkat 4: 87% < REO ≤ 89%
32
− Peringkat 5: REO > 89%
Semakin kecil rasio ini semakin baik rentabilitas bank atau dapat pula
dikatakan semakin efisiennya kegiatan operasional suatu bank. Bank yang
dalam kegiatan usahanya tidak efisien akan mengakibatkan ketidakmampuan
bersaing dalam menghimpun dana masyarakat maupun dalam menyalurkan
dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai modal usaha.
Dengan adanya efisiensi pada lembaga perbankan terutama efisiensi biaya
maka akan diperoleh tingkat keuntungan yang optimal, penambahan jumlah
dana yang disalurkan, biaya lebih kompetitif, peningkatan pelayanan kepada
nasabah, keamanan dan kesehatan perbankan yang meningkat.15
Islam memandang larangan inefisien atau berlebih-lebihan atau israf
merupakan salah satu nilai instrumental ekonomi Islam yang menjadi acuan
dalam praktek ekonomi Islam. Berlebih-lebihan dalam segala hal merupakan
perilaku yang dilarang dalam syariat Islam. Firman Allah SWT,
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.16
Dalam pandangan Islam, israf bukan saja dipandang negatif secara
spiritual, tetapi juga akan membawa dampak buruk dalam kehidupan di
15
Kuncoro, Manajemen Perbankan…., 569. 16
QS. Al-A‟raf: 31.
33
dunia. Sebaliknya kesederhanaan dan kerendahan hati juga bukan saja terpuji
secara spiritual, tetapi juga akan membawa banyak manfaat bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Ia akan mendorong manusia untuk memanfaatkan sumber
daya ekonomi secara lebih efisien, lebih optimal, dan lebih adil.17
E. Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/7/DPbS
Surat Edaran Bank Indonesia adalah surat yang diedarkan oleh Bank
Indonesia (BI) sebagai bentuk implementasi tugas BI untuk mengatur dan
mengawasi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana
tercantum dalam UU BI No. 23 tahun 1999, pada Bab III pasal 7 tentang
Tujuan dan Tugas Bank Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbS dikeluarkan oleh
Bank Indonesia pada tanggal 29 Februari 2012 tentang Produk Qardh
Beragun Emas Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang
isinya adalah sebagaimana terlampir.
F. Gadai Emas
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab XX Pasal 1150
Gadai diartikan sebagai suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai
piutang atas suatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan
17
Ahmad Syakur, Dasar-Dasar Pemikiran Ekonomi Islam, (Kediri: STAIN Kediri Press,
2011), 156.
34
kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang
lain atas nama orang yang mempunyai utang.18
Muhammad Syafi‟i Antonio mengartikan bahwa gadai syariah (rahn)
adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang
jaminan (marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diterimanya.
Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang
menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.19
Diperbolehkannya menggadaikan barang sebagai jaminan merujuk dari
firman Allah SWT,
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
18
Subekti, Tjitro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya,
2003), 297 19
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik , (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), 128.
35
berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”20
Sebenarnya menyimpan barang sebagai jaminan atau gadai tidak harus
dilakukan.21 Firman Allah farihaanun maqbuudhah pada ayat di atas adalah
irsyad (anjuran baik) saja bagi orang yang beriman, sebab lanjutan ayat
tersebut dinyatakan “akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang percaya itu menunaikan amatnya (utangnya)”.22
Tujuan dari akad gadai atau rahn sendiri hanya dimaksudkan untuk
mendapatkan kepastian dan menjamin utang bukan untuk menumbuhkan
harta atau mencari keuntungan. Karena karakteristik yang demikian, akad ini
digolongkan sebagai akad tabarru‟ (non profit oriented) yang berorientasi
pada ta‟awun (tolong-menolong). Menurut Ahmad Baraja, rahn adalah
jaminan, bukan produk dan semata-mata untuk kepentingan sosial, bukan
kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra. Jadi, menurutnya, uang hasil gadai
syariah tidak boleh dipakai untuk berinvestasi.23
Walau menurut QS. Al-Baqarah ayat 283 di atas disyari‟atkannya
memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman dikaitkan dengan
perjalanan, tetapi bukan berarti bahwa gadai hanya dibenarkan dalam
perjalanan. Ummul Mu‟minin Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW.
pernah membeli gandum dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju besi
20
Q.S. Al-Baqarah, 283. 21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an Volume 1,
(Jakarta: Lentera Hati: 2002), 610. 22
Abdul Rahman Ghazaly, et. al., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), 266. 23
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Iplementasi, dan
Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), 137.
36
beliau kepadanya. Perkataan Aisyah ini dijadikan dasar para ulama tentang
diperbolehkannya melakukan gadai meskipun tidak dalam perjalanan karena
Nabi SAW. pernah melakukannya ketika beliau tinggal di Madinah.24
Menurut Syafi‟i Antonio ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dari
pelaksanaan akad rahn, yaitu:
1. Menjaga kemungkinan nasabah lalai atau bermain-main dengan
fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
2. Memberi keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito
bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena ada suatu asset/ barang (marhun) yang dipegang
oleh bank.
3. Membantu orang-orang yang kesulitan dana.25
Sedangkan gadai (rahn) emas adalah rahn dengan menjadikan emas
sebagai barang yang digadaikan. Syarat dan ketentuan rahn emas adalah sama
dengan syarat dan ketentuan rahn.26
Alasan diperbolehkannya emas dijadikan obyek gadai mengacu pada
pendapat para imam mazhab tentang syarat marhun atau obyek gadai. Para
ulama dari keempat mazhab sepakat bahwa marhun haruslah barang yang sah
untuk diperjualbelikan. Ulama mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali
menambahkan bahwa marhun harus berbentuk barang yang berwujud, jadi
tidak sah menggadaikan suatu manfaat. Sedangkan ulama mazhab Hanafi
24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah. Terj. Mujahidin Muhayan, (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2008), 94. 25
Antonio, Bank Syariah …, 50. 26
Ahmad Ifhan Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah , (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010), 687.
37
berpendapat bahwa marhun disyaratkan barang yang bisa diambil
manfaatnya, bukan termasuk benda najis, dan dikuasai oleh rahin
(penggadai).
Pelaksanaan Pembiayaan Gadai Emas di Indonesia diatur dalam: (1)
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. No. 25/DSN-
MUI/III/2002, tentang Rahn; (2) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia. No. 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas; (3) Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 09/DSN-
MUI/III/2000 tentang Pembiayaan Ijarah; (4) SE BI No. 14/7/DPbS, tentang
Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Dalam praktiknya, gadai emas mengkombinasikan tiga akad sekaligus,
yaitu rahn, qardh, dan ijarah.
a. Rahn
1) Pengertian
Dalam Bahasa Arab ar-rahn diartikan ats-tsubut wa ad-
dawam, yaitu tetap dan kekal.27 Secara terminologi Ulama
Malikiyah mengartikan rahn sebagai sesuatu yang bernilai harta
(mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan
pengikat atas utang yang tetap (mengikat).28
27
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 1. 28
Ibid., 3.
38
2) Dasar Hukum
a) QS. Al-Baqarah ayat 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu‟amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
b) Hadits dari Aisyah ra,
“Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-
Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin „Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari „Aisyah berkata, “Bahwasanya
Rasullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.”” (HR. Muslim)
3) Syarat dan Rukun
a) Rukun Rahn
Rukun rahn antara lain29:
i. Orang yang menggadaikan (rahin)
29
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 162.
39
ii. Yang menerima gadai (murtahin)
iii. Barang yang digadaikan (marhun/rahn)
iv. Utang (marhun bih)
v. Ucapan sighah ijab dan qabul
b) Syarat Rahn
Syarat-syarat rahn adalah30:
i. Aqid (rahin dan murtahin)
Rahin dan murtahin haruslah memenuhi kriteria al-ahliyah
yaitu orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan
mumayiz.
ii. Shighah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighah tidak boleh
memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu.
iii. Marhun bih
Marhun bih hendaklah berupa barang yang wajib diserahkan
dan memungkinkan pemanfaatannya, serta harus bisa
dikuantitatifkan atau dihitung jumlahnya.
iv. Marhun
Menurut ulama Syafi‟iyah marhun haruslah berupa barang,
bisa diperjualbelikan, dan kepemilikan penggadai atas barang
tersebut tidak terhalang.
30
Ibid.,
40
4) Aplikasi pada Pembiayaan Gadai Emas
Akad rahn inilah yang menjadi ciri utama kegiatan gadai
syariah. Aplikasinya bisa dilihat dalam konsep umum gadai
syariah, yaitu memberikan pembiayaan dengan menahan barang
yang dijaminkan oleh nasabah. Oleh karena itu dalam lembaga
keuangan syariah produk gadai emas biasa disebut dengan rahn
emas.
b. Ijarah
1) Pengertian
Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti al-„Iwadh atau
penggantian.31 Adapun ijarah secara terminologis adalah transaksi
atas suatu manfaat yang mubah yang berupa barang tertentu atau
yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan dalam waktu tertentu,
atau transaksi atas suatu pekerjaan yang diketahui dengan upah
yang diketahui pula.32
2) Dasar Hukum
a) QS. At-Thalaq ayat 7
31
Abdul Rahman Ghazaly, et. al., Fiqh …, 277. 32
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, et. al., Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam
Pandangan 4 Madzhab, terj. Miftahul Khairi, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009),
311.
41
“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai
kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam
negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu".”
b) Hadits Rasulullah SAW,
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR.
Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
3) Syarat dan Rukun
a) Rukun Ijarah
Rukun Ijarah ada empat, yaitu33:
i. Muta‟aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi)
ii. Shigah akad (Ijab dan Qabul)
iii. Ujrah (upah)
iv. Ma‟qud „alaih (manfaat)
b) Syarat-syarat Ijarah
Syarat-syarat ijarah antara lain34:
i. Syarat Al-inqad (terjadinya akad)
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang melakukan akad
disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun).
ii. Syarat An-nafadz (pelaksanaan)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki atau dalam
kekuasaan aqid, barang dapat dipegang atau dikuasai. Untuk
33
Ibid., 316. 34
Syafei, Fiqih …., 131
42
ujrah atau upah sewa disyaratkan berupa harta tetap yang
dapat diketahui serta tidak boleh sejenis dengan barang
manfaat dari ijarah.
iii. Syarat Sah Ijarah
Syarat sah ijarah diantaranya adalah adanya keridhaan dari
kedua pihak yang berakad, ma‟qud „alaih bermanfaat dengan
jelas dan dibolehkan oleh syara‟.
iv. Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah ada dua, yaitu, ma‟qud „alaih terhindar
dari cacat dan tidak ada uzur (sesuatu yang menyebabkan
kemudharatan bagi pihak yang berakad) yang dapat
membatalkan akad.
4) Aplikasi pada Pembiayaan Gadai Emas
Dalam pembiayaan gadai syariah, penerima gadai
(murtahin) dapat menyewakan tempat penyewaan barang (deposit
box) kepada nasabahnya. Dan atas jasa tersebut murtahin dapat
menetukan ujrah atau upah sewa atas barang yang dititipkan
(digadaikan) oleh rahin. Islam mensyaratkan bahwa ujrah atau
biaya sewa harus diketahui terlebih dahulu, sesuai sabda Nabi
SAW yang disampaikan Abu Sa‟id Al-Khudri r.a., “Rasulullah
SAW melarang penyewaan pekerja hingga upahnya dijelaskan
kepadanya.” (HR. Ahmad).
43
c. Qardh
1) Pengertian
Qardh secara etimologi berarti al-qoth‟ (terputus). Harta
yang dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena ia
terputus dari pemiliknya.35 Secara definitif para fuqaha
menjelaskan bahwa qardh merupakan akad yang bertujuan untuk
menyerahkan (mengutangkan) harta mitsliyat kepada pihak lain
untuk dikembalikan dengan yang sejenis dengannya.36 Dalam akad
qardh tidak diperkenankan mengambil keuntungan apapun
terhadap utang yang diberikan karena termasuk riba atau tambahan
(keuntungan) yang diharamkan oleh Islam.
2) Dasar Hukum
a) QS. Al-Hadid ayat 11
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman
yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
b) Hadits Nabi Muhammad SAW,
“Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, “Aku melihat pada waktu malam diisra‟kan pintu surga tertulis, „Shadaqah
dibalas 10 kali lipat dan qardh 18 kali.‟ Aku bertanya, „Wahai Jibril mengapa qardh lebih utama dari shadaqah?‟ Ia
menjawab, „Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya, 35
Ghufron A. Mas‟adi. Fiqh Muamalah Konstektual. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), 170. 36
Ibid., 171.
44
sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena
keperluan‟”.” (HR Ibnu Majah dan Baihaqi).
3) Syarat dan Rukun
a) Rukun Qardh
Rukun Qardh adalah37:
i. Shighah (ijab qabul)
ii. „Aqidain (dua pihak yang bertransaksi)
iii. Harta yang diutangkan
b) Syarat-syarat qardh
Yang termasuk syarat-syarat qardh yaitu38:
i. Shighah
Menurut para fuqaha shighah bisa dilakukan dengan lafal
hutang atau semua lafaz yang menunjukkan maknanya.
ii. „Aqidain
Pemberi utang (muqridh) diwajibkan orang yang termasuk
ahli tabarru‟ (orang yang boleh memberikan derma), yakni
merdeka, baligh, berakal sehat dan rasyid (dapat
membedakan yang baik dan yang buruk). Sedangkan syarat
untuk muqtaridh atau penerima utang yaitu harus memiliki
ahliyah at-tasharrufat (kelayakan membelanjakan harta),
yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
37
Abdullah, et. al., Ensiklopedi Fiqih …, 159. 38
Ibid.
45
iii. Harta yang diutangkan
Harta yang diutangkan berupa harta yang ada padanannya,
berupa benda (tidak sah mengutangkan jasa), dan diketahui
kadar serta sifatnya.
4) Aplikasi pada Pembiayaan Gadai Emas
Penerapan akad qardh ini diterapkan pada utang yang
diberikan oleh lembaga gadai kepada nasabah mengingat
peruntukan dari produk gadai sendiri adalah untuk tujuan sosial.
Teknis penggunaan ketiga akad tersebut dapat diilustrasikan dalam
gambar sebagai berikut:
Gambar 2
Skema Gadai Emas Syariah39
G. Hubungan Surat Edaran Bank Indonesia dengan Rentabilitas Bank
Tingkat keuntungan bank juga dipengaruhi oleh risiko sistematis dan
risiko yang tidak sistematis. Risiko sistematis itu dapat berupa perubahan
39
Ali, Hukum Gadai …, 98.
Marhun Bih
Murtahin Rahin
Marhun
1. Akad Rahn
2. Akad Ijarah
4. Akad Qardh
3. Fee/ Ujrah
46
situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, dan perubahan
situasi pasar.40 Surat Edaran Bank Indonesia merupakan salah satu contoh
kebijakan pemerintah yang bisa mempengaruhi tingkat keuntungan bank.
Fluktuasi yang terjadi pada keuntungan bank menunjukkan kemampuan bank
dalam menghasilkan laba atau rentabilitas bank. Kesimpulannya bahwa Surat
Edaran Bank Indonesia bisa mempengaruhi rentabilitas bank.
40
Muhammad, Manajemen Bank…, 310.