bab ii landasan teori a. peran guru pendidikan agama islam...
TRANSCRIPT
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Peran Guru Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam
Yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Islam, menurut Ahmadi adalah
segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia dan sumber
daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia sutuhnya (insan
kamil) sesuai dengan norma Islam.1
Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Agama Islam adalah
membimbing jasmani dan rohani berdasarkan hukum Agama Islam menuju
terbentuknya pribadi utama menurut ukuran Islam.2 Sedangkan Zuhairini
memberikan pengertian pendidikan Agama Islam adalah usaha sistematis,
pragmatis dalam membentuk anak didik agar hidup sesuai dengan ajaran Islam.3
Pendapat lain menyatakan bahwa pendidikan Agama Islam adalah
mempersiapkan manusiasupaya hidup dengan sempurna budi pekertinya, teratur
pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya
baik dengan lisan dan tulisan.4 Zakiah Daradjat mendefinisikan pendidikan agama
Islam adalah suatu usaha sadar untuk membina dan mengasuh peserta didik agar
senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah). Lalu
menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan
Islam sebagai pandangan hidup.5
Definisi pendidikan agama Islam secara lebih rinci dan jelas, tertera dalam
kurikulum pendidikan Agama Islam ialah sebagai upaya sadar dan terancana
1Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Aditya Media,
2000), hal. 20 2
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,
1974), hal. 23 3 Zuhairini., Op.Cit., hal. 25
4 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal.3-4
5 Zakiyah Dajadjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, ( Jakarta: Gunung Agung,
1989), hal.87
17
dalam menyiapkan peserrta didik untuk mengenal, memhamai, menghayati,
hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran
agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan Hadits, melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta penggunaan pengalaman. Dibarengi
tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa.6
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Islam adalah segala usaha manusia
untuk mendidik atau mengembangkan fitrah manusia dan menjadikannya insan
kamil yang beriman, bertaqwa dan memiliki akhlak mulia menurut ajaran Islam.
Guru agama adalah seseorang yang mengajar dan mendidik agama Islam
dengan membimbing, menuntun, memberi tauladan dan membantu mengantarkan
anak didiknya ke arah kedewasaan jasmani dan rohani. Hal ini sesuai dengan
tujuan pendidikan agama yang hendak di capai yaitu membimbing anak agar
menjadi seorang muslim yang sejati, beriman, teguh, beramal sholeh dan
berakhlak mulia, serta berguna bagi masyarakat, agama dan Negara.7 Sebelum
penulis membicarakan tentang pengertian guru pendidikan agama Islam, perlulah
kiranya penulis awali dengan menguraikan pengertian guru agama secara umum,
hal ini sebagai titik tolak untuk memberikan pengertian guru agama Islam.
Secara ethimologi (harfiah) ialah dalam literatur kependidikan Islam
seorang guru biasa disebut sebagai ustadz, mu`alim, murabbiy, mursyid, mudarris,
dan mu`addib, yang artinya orang memberikan ilmu pengetahuan dengan tujuan
6 Abdul Majid, Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2004), hal.130 7 Ibid, hal. 45
18
mencerdaskan dan membina akhlak peserta didik agar menjadi orang yang
berkepribadian baik.8
Menurut Muhaimin bahwa guru adalah orang yang berwenang dan
bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual
ataupun klasikal. Baik disekolah maupun diluar sekolah.9
Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam menguraikan
bahwa seorang guru adalah pendidik Profesional, karenanya secara implicit ia
telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab
pendidikan.10
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam setiap melakukan pekerjaan yang
tentunya dengan kesadaran bahwa yang dilakukan atau yang dikerjakan
merupakan profesi bagi setiap individu yang akan menghasilkan sesuatu dari
pekerjaannya. Dalam hal ini yang dinamakan guru dalam arti yang sederhana
adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.11
M. Ngalim Purwanto dalam bukunya Ilmu Pendidikan Praktis dan Teoritis
menjelaskan guru adalah orang yang telah memberikan suatu ilmu/ kepandaian
kepada yang tertentu kepada seseorang/ kelompok orang.12
Dari rumusan pengertian guru diatas dapat disimpulkan bahwa guru
8 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hal. 44-49 9 Muhaimin dkk, Strategi Belajar Mengajar, (Surabaya: Citra Media, 1996), hal. 70.
10
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1984), hal. 39.
11
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000), hal. 31. 12
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1988), hal. 169.
19
adalah orang yang memberikan pendidikan atau ilmu pengetahuan kepada peserta
didik dengan tujuan agar peserta didik mampu memahami dan mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan pengertian guru pendidikan agama Islam, adalah seorang
pendidik yang mengajarkan ajaran Islam dan membimbing anak didik ke arah
pencapaian kedewasaan serta membentuk kepribadian muslim yang berakhlak,
sehingga terjadi keseimbangan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sebagai guru pendidikan agama Islam haruslah taat kepada Tuhan,
mengamalkan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Bagaimana ia
akan dapat menganjurkan dan mendidik anak untuk berbakti kepada Tuhan kalau
ia sendiri tidak mengamalkannya, jadi sebagai guru agama haruslah berpegang
teguh kepada agamanya, memberi teladan yang baik dan menjauhi yang buruk.
Anak mempunyai dorongan meniru, segala tingkah laku dan perbuatan guru akan
ditiru oleh anak-anak. Bukan hanya terbatas pada hal itu saja, tetapi sampai segala
apa yang dikatakan guru itulah yang dipercayai murid, dan tidak percaya kepada
apa yang tidak dikatakannya.
Dengan demikian seorang guru pendidikan agama Islam ialah merupakan
figure seorang pemimpin yang mana disetiap perkataan atau perbuatannya akan
menjadi panutan bagi anak didik, maka disamping sebagai profesi seorang guru
agama hendaklah menjaga kewibawaannya agar jangan sampai seorang guru
agama melakukan hal-hal yang bias menyebabkan hilangnya kepercayaan
yang telah diberikan masyarakat.13
13
Ibid, hal. 170.
20
Ahmad Tafsir mengutip pendapat dari Al-Ghazali mengatakan bahwa
siapa yang memilih pekerjaan mengajar, ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan
besar dan penting. Karena kedudukan guru pendidikan agama Islam yang
demikian tinggi dalam Islam dan merupakan realisasi dari ajaran Islam itu sendiri,
maka pekerjaan atau profesi sebagai guru agama Islam tidak kalah pentingnya
dengan guru yang mengajar pendidikan umum.14
Dengan demikian pengertian guru pendidikan agama Islam yang dimaksud
disini adalah mendidik dalam bidang keagamaan, merupakan taraf pencapaian
yang diinginkan atau hasil yang telah diperoleh dalam menjalankan pengajaran
pendidikan agama Islam baik di tingkat dasar, menengah atau perguruan tinggi.
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan artinya sesuatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai dengan suatu
kegiatan atau usaha. Sesuatu tujuan akan berakhir, bila tujuannya sudah tercapai.
Kalau tujuan itu bukan tujuan akhir, kegiatan berikutnya akan langsung dimulai
untuk mencapai tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai kepada tujuan akhir.15
Tujuan pendidikan agama Islam adalah sesuatu yang ingin dicapai setelah
melakukan serangkaian proses pendidikan agama Islam di sekolah atau madrasah.
Terdapat beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan agama Islam ini.
Diantaranya Al-Attas, ia menghendaki tujuan pendidikan mengatakan,
menurutnya tujuan pendidikan (Agama) Islam adalah terciptanya orang yang
berkepribadian muslim. Berbeda dengan Al-Abrasy menghendaki tujuan akhir
pendidikan (agama) Islam itu adalah terbentuknya manusia yang berakhlak mulia
14
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1992), hal.76. 15
Syarif Hidayatullah, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1998), hal. 60.
21
(Akhlak al-karimah). Munir Musyi mengatakan tujuan akhir pendidikan Islam
usia yang sempurna (al-Insan al-Kamil).16
Drs. Ahmad D. Marimba mengemukakan dua macam tujuan pendidikan
yaitu sementara dan akhir. Tujuan sementara pendidikan islam yaitu tercapainya
tingkat kedewasaan baik jasmaniah maupun rohaniah. Dewasa jasmaniah adalah
apabila anak telah baligh dengan cirri-ciri : pertama, laki-laki berumur 15 tahun,
perempuan berumur 9 tahun. Kedua, haid bagi perempuan. Sedangkan dewasa
rohaniah apabila ia telah dapat memilih sendiri, memutuskan sendiri dan
bertanggung jawab sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Adapun
tujuan akhir pendidikan Islam yaitu terwujudnya kepribadian muslim.
Kepribadian muslim disini adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya
merealisasikan dan mencerminkan ajaran Islam.
a. Aspek-aspek kejasmanian; meliputi tingkah laku luar yang mudah nampak
dan ketahuan dari luar. Misalnya : cara-cara berbuat, cara-cara berbicara
dan lain sebagainya.
b. Aspek-aspek kejiwaan; meliputi aspek yang tidak segera dapat dilihat dan
tidak ketahuan dari luar. Misalnya : cara berfikir, bersikap (pendirian atau
pandangan dalam menghadapi seseorang atau suatu hal) dan minat.
c. Aspek-aspek kerohanian yang luhur; meliputi aspek-aspek kejiwaan yang
lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan. Ini meliputi system dan
nilai-nilai yang telah meresap di dalam kepribadian itu, yang telah menjadi
bagian dan mendarah daging dalam kepribadian itu yang mengarahkan dan
member corak seluruh kepribadian individu itu. Bagi orang yang
beragama, aspek-aspek inilah yang menuntunnya kearah kebahagiaan di
16
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung:
Alfabeta, 2012), hal. 205
22
dunia dan di akhirat, aspek-aspek ini yang member kwalitet kepribadian
keseluruhannya.17
Menurut Imam Al Ghazali tujuan pendidikan Islam adalah membina
insane paripurna yang taqarub kepada Allah, bahagia di dunia dan di akhirat. Dan
orang yang rajin mengikuti pendidikan akan memperoleh kelezatan ilmu yang
dipelajarinya dan kelezatan ilmu pula dapat mengantarkan kepada pembentukan
insane paripurna.
Prof. Dr. M. Athiyah Al Abrasyi mengemukakan tentang tujuan
pendidikan Islam dalam satu kata yaitu fadhilah/ keutamaan. Kemudian dalam
uraiannya yang dimaksud adalah:
Para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan
pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang
belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlaq dan jiwa mereka,
menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya,
ikhlas dan jujur. Maka tujuan pokok dan terutama dari pola adalah mendidik budi
pekerti dan pendidikan jiwa. Beliau juga mengutip pendapat Al Ghazali: “tujuan
pendidikan adalah mendekatkan diri pada Allah, bukan pangkat dan bermegah-
megahan dan janganlah seorang pelajar itu belajar untuk mencari pangkat, harta,
menipu orang bodoh atau bermegah-megahan dengan kawan”.18
Dr. Oemar Al Taumy menyatakan sebagai berikut: “Tentang tujuan-tujuan
individual yang ingin dicapai oleh PI, maka pada keseluruhannya berkisar pada
pembinaan pribadi muslim yang berpadu pada perkembangan dari segi spiritual,
jasmani, emosi, intelektual dan social. Atau dengan lebih jelas lagi, ia berkisar
padakeseluruhannya pada pembinaan warga Negara muslim yang baik, yang
percaya kepada Tuhan dan agama-Nya, sehat jasmani berimbang dalam motivasi-
17
Drs. A.D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Alma'arif,
1980), hal.6 18
Prof. Dr. Athiyah Al Abrasyi, Dasar-dasar Pokok PI, Bulan Bintang, Jakarta, 1970
23
motivasi, emosi dan keinginan-keinginannya, sesuai dengan dirinya dan orang
lain, bersenjatakan ilmu pengetahuan, memiliki alat-alatnya yang asasi, luas
pengetahuan dan sadar akan masalah-masalah masyarakat bangsa dan zamannya,
halus perasaan seninya dan sanggup merasakan keindahan dalam segala bentuk
dan coraknya, menggunakan masa luangnya dengan kebijakan dan berfaedah,
mengetahui hak dan kewajibannya, memikul tanggung jawab terhadap diri,
keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan seluruhnya dengan kesadaran,
dengan keikhlasan dan kebolehan, menghargai kepentingan kehidupan keluarga
secara khas dan bersedia memikul tanggung jawab yang berkorban untuk
meneguhkan dan memperkuatnya”.19
Pendapat Hasan Langgulung mengenai tujuan pendidikan Agama Islam
mengatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan Agama harus mampu
mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang
berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan
tingkah laku individual, termasuk nilai-nilai akhlak yang mengangkat derajat
manusia kederajat yang lebih sembpurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan
aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat,
dimana masing-masing manusia diberi hak-hak dan tanggung jawabnya untuk
menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.20
Sedangkan menurut Quraish Shihab berpendapat bahwa, kita dapat berkata
bahwa tujuan pendidikan Al-Qur’an (Islam) adalah membina manusia secara
pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba
dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang
ditetapkan Allah. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh
Al-Qur’an untuk bertaqwa kepadaNya. Manusia yang dibina adalah makhluk yang
mempunyai unsur-unsur material (jasmani) dan imaterial (akal dan jiwa).
Pembinaan akalnya akan menghasilkan ilmu, pembinaan jiwanya akan
19 Drs. Muhammad Zain, Materi Filsafat pendidikan Islam, (Yogyakarta: 1985), hal : 18-
19 20
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al-
Ma’arif, 1980), Cet 1, h. 178
24
menghasilkan kesucian dan etika, sedang pembinaan jasmaninya akan
menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut
terciptalah makhluk dwu dimensi dalam satu kesinambungan, dunia dan akhirat,
ilmu dan iman.21
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan Pendidikan Islam adalah
mendidik seseorang atau kelompok supaya menjadi orang muslim sejati, beriman
teguh, beramal shaleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang
masyarakat yang sanggup hidup ditas kaki sendiri, mengabdi kepada Allah dan
berbakti kepada bangsa dan tanah airnya bahkan sesama umat manusia.
3. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Sebagaimana diketahui, bahwa ruang lingkup inti ajaran pokok pendidikan
Agama Islam meliputi:
a. Aqidah adalah bersifaat i’tihad batin, mengajarkan keesaan Allah, Esa
sebagai Tuhan yang mencipta, mengatur dan meniadakan alam ini.
b. Syariah adalah berhubungan dengan amal lahir dalam rangka menaati
semua peraturan dan hukum Tuhan, guna mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhan dan mengatur pergaulan hidup dan kehidupan
manusia.
c. Akhlak adalah suatu amalan yang bersifat pelengkap penyempurnaan bagi
kedua amal diatas dan yang mengajarkan tentang cara pergaulan hidup
manusia.
Tugas ajaran pokok ini kemudian dijabarkan dalam bentuk Rukun Iman,
Rukun Islam dan akhlak. Dari ketiganya lahirlah beberapa keilmuan agama, yaitu:
Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Akhlak. Ketiga ilmu agama ini kemudian
dilengkapi dengan pembahasan dasar hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits,
serta ditambah lagi dengan Sejarah Islam. Sehingga secara berturutan:
21
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), Cet. 2 hal. 173
25
1. Ilmu Tauhid/keimanan
2. Ilmu fiqh
3. Al-Qur’an
4. Al-Hadits
5. Akhlak
6. Tarikh Islam22
Ruang lingkup pembahasan, luas mendalamnya pembahasan, tergantung
kepada lembaga pendidikan yang bersangkutan, tingkatan kelas, tujuan dan
tingkat kemampuan anak didik sebagai konsumennya. Untuk sekolah-sekolah
agama tentunya pembahasannya lebih luas, mendalam dan terperinci daripada
sekolah-sekolah umum.
4. Syarat-syarat Guru Pendidikan Agama Islam
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai guru
pendidikan agama Islam dengan sebaik-baiknya, maka diperlukan beberapa
persyaratan umum untuk menjadi guru pendidikan agama Islam yaitu :
a. Beriman kepada Allah dan beramal saleh
b. Menjalankan ibadah dengan taat.
c. Memiliki sikap pengabdian yang tinggi pada dunia pendidikan.
d. Ikhlas dalam menhalankan tugas pendidikan.
e. ilmu yang diajarkan kepada anak didiknya.
f. Professional dalam menjalankan tugasnya.
g. Tegas dan berwibawa dalam menghadapi masalah yang dialami murid-
muridnya.23
Disamping persyaratan diatas, masih ada persyaratan lain sebagaimana
menurut pendapat Hasan Basri, antara lain :
a. Membimbing si terdidik
Mencari pengenalan terhadapnya mengenai kebutuhan kesanggupan,
bakat, minat dan sebagainya.
22
Zuhairini dkk, Op.Cit., hal 58-59 23
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2012),
cet.ke-2, hal. 222
26
b. Menciptakan situasi untuk pendidikan
Situasi pendidikan, yaitu suatu keadaan yang menyebabkan tindakan-
tindakan pendidikan dapat berlangsung dengan baik dan hasilnya yang
memuaskan.
c. Memiliki pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan, pengetahuan-
pengetahuan keagamaan.24
Sedangkan Al-Ghazali memberikan nasehat kepada para pendidik Islam
agar dapat memenuhi persyaratan untuk menjadi guru pendidikan agama Islam
sebagaimana berikut:
a. Pendidik harus menganggap anak didiknya sebagai anak kandungnya
sendiri, sehingga rasa tanggung jawabnya sangat besar dan
melimpahkan kasih sayangnya dengan penuh.
b. Pendidik harus ikhlas tanpa pamrih dalam pengabdiannya kepada
pendidik sebagai wasilah pengabdian kepada Allah SWT.
c. Pendidik hendaknya mengajarkan semua ilmunya untuk
meningkatkan ketauhidan.
d. Pendidik harus sabar dalam memberi nasihat kepada anak didiknya.
e. Pendidik harus mempertimbangkan kemampuan rasio dan mentalitas
anak didiknya dalam menyampaikan pendidikannya.
f. Pendidik harus memberikan motivasi kuat kepada anak didiknya agar
mencintai semua ilmu yang diberikan.
g. Pendidik harus memberikan mata pelajaran berupa pengenalan
pengetahuan sehari-hari agar mudah dimengerti dan memahaminya
kepada anak didik yang usianya masih muda atau dibawah umur.
h. Pendidik harus memberi teladan bagi anak didiknya.25
Dari beberapa pendapat diatas jelas bahwa untuk menjadi guru pendidikan
agama Islam tidaklah mudah, karena persyaratan yang harus dipenuhi lebih
banyak dan lebih komplit dari pada persyaratan menjadi guru umum. Guru agama
lebih banyak ditentukan oleh persyaratan non formal yaitu penguasaan materi
24
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), cet.ke-1, hal.
69 25
Ibid, hal. 75
27
agama secara menyeluruh, memiliki kepribadian yaitu taat menjalankan ajaran
agama dan berakhlak mulia, juga memiliki kemampuan dalam mendidik.
5. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam
Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau
kecakapan.26
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kompetensi berarti
kewenangan/kekuasaan untuk menentukan (memutuskan sesuatu).27
Padanan kata yang berasal dari bahasa Inggris ini cukup banyak dan yang
lebih relevan dengan pembahasan ini adalah proficiency and ability yang memiliki
arti kurang lebih sama yaitu kemampuan. Kompetensi merupakan perpaduan dari
pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berfikir dan bertindak.28
Berdasarkan UU nomor 14 tahun 2005 tetang guru dan dosen bab I pasal 1
ayat 10 menjelaskan bahwa kompetensi guru merupakan seperangkat
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai,
dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.29
Guru harus memiliki kompetensi sebagaimana standar kompetensi
sebagaimana standar kompetensi yang ditetapkan dalam PP 74/2008 yaitu
meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional dan dalam
permenag No 16 Tahun 2010 pasal 16, khusus guru Pendidikan Agama Islam
ditambah satu kompetensi lagi yaitu kompetensi kepemimpinan.30
26
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Guru, (Bandung; Remaja
Rosdakarya, 2000), hal. 229 27
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai
Pustaka, 2002), hal 584 28
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2002), hal 37 29
UU Nonor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen, Op.,Cit, hal. 61 30
Ali Mudhofiir, Modul Pengembangan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Direktorat
Pendidikan Agama Islam Dirjen Islam Kemenag RI, 2011), hal. 21
28
Menurut Gordon sebagaimana yang dikutip E. Mulyasa menjelaskan
beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai
berikut:
a. Pengetahuan (Knowledge); kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya
seorang guru mengetahui cara melakukan identfikasi kebutuhan belajar,
dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai
dengan kebutuhan.
b. Pemahaman (Understanding); yaitu kedalaman kognitif, dan efektif yang
dimiliki oleh individu, misalnya seorang guru yang akan melaksanakan
pembelajaran harus memiliki pemahaman yang baik tentang karakteristik
dan kondisi peserta didik, agar dapat melaksanakan pembelajaran secara
efektif dan efesien.
c. Kemampuan (Skill); adalah sesuatu yang dimiliki individu untuk
melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.misalnya
kemapuan guru dalam memiliki dan membuat alat peraga sederhana untuk
memberi kemudahan belajar kepada peserta didik.
d. Nilai (Value); adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara
psikologis telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya standar perilaku
guru dalam pembelajaran (kejujuran, keterbukaan, demokrasi dan lain-
lain).
e. Sikap (Attitude); yaitu perasaan atau reaksi terhadap sesuatu rangsangan
yang datang dari luar. Misalnya reaksi terhadap krisis ekonomi, perasaan
terhadap kenaikan upah.
f. Minat (Interest); adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan
sesuatu perubuatan. Misalnya minat untuk mempelajari atau melakukan
sesuatu.31
Sedangkan tujuan kompetensi guru menurut Sardiman, di antaranya yaitu:
a. Guru memiliki kemampuan pribadi, maksudnya guru diharapkan
mempunyai pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih
mantap dan memadai serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga
mampu mengelola PBM dengan bak.
b. Agar guru menjadi inovator, yaitu tenaga kependidikan yang mampu
komitmen terhadap upaya perubahan dan informsi ke arah yang lebih baik.
c. Guru mampu menjadi developer, yaitu guru mempunyai visi keguruan yang
mantap dan luas perspektifnya.32
31
E. Mulyasa, Op.,Cit, hal 39 32
Sardiman, A.M., Op.Cit., hal. 133
29
6. Pengertian Peran Guru Pendidikan Agama Islam
Istilah peranan yaitu bagian atau tugas yang memegang kekuasaan utama
yang harus dilaksanakan.33
Peranan memiliki arti sebagai fungsi maupun
kedudukan (status).34
Peranan dapat dikatakan sebagai perilaku atau lembaga yang
mempunyai arti penting sebagai struktur sosial, yang, dalam hal ini lebih mengacu
pada penyesuaian daripada suatu proses yang terjadi.35
Peranan dapat diartikan
pula sebagai sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan
terutama dalam terjadinya sesuatu hal. Ada juga yang merumuskan lain, bahwa
peranan berarti bagian yang dimainkan, tugas kewajiban pekerjaan. Selanjutnya
bahwa peran berarti bagian yang harus dilakukan di dalam suatu kegiatan.36
Peran dan fungsi pendidikan Agama Islam demikian strategis dalam
menciptakan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Pendidikan
Islam akan membimbing dan memproses sumber daya manusia dengan bimbingan
wahyu sehingga terbentuk individu-individu yang memiliki kompetensi yang
memadai. Pendidikan Islam memfasilitasi manusia untuk belajar dan berlatih
mengaktualisasi segenap potensi yang dimilikinya menjadi kompetensi sebagai
manusia yang kompeten, yang profilnya digambarkan Allah sebagai sosok ulil
33
Departemen Penididikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka), 1988), h. 667 34
Pius A. Partoto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h.
585 35
Sarjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI Pres, 1982), h. 82 36
Sahulun A. Nasir, Peranan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2002). Cet. II, h. 9
30
albab, sebagai manusia muslim paripurna, yaitu manusia yang beriman, berilmu
dan beramal shaleh sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.37
Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi. Tugas
utama itu akan efektif jika guru memiliki derajat profesionalitas tertentu yang
tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau keterampilan yang
memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu.38
Dalam khazanah pemikiran Islam, istilah guru memiliki beberapa istilah,
seperti ustadz dan muallim, muaddib, dan murabbi. Beberapa istilah untuk
sebutan guru itu terkait dengan beberapa istilah untuk pendidikan, yaitu ta’lim,
ta’dib dan tarbiyah. Istilah muallim lebih menekankan guru sebagai pengajar dan
penyampai pengetahuan dan ilmu. Istilah muaddib lebih menekankan guru
sebagai pembina moralitas dan akhlak peserta didik dengan keteladanan.
Sedangkan istilah murabbi lebih mengembangkan dan pemeliharaan baik aspek
jasmaniyah maupun rohaniyah. Sedangkan istilah yang umum dipakai dan
memiliki cakupan makna yang luas dan netral adalah ustadz yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan sebagai guru.39
Secara formal, untuk menjadi profesional guru diisyaratkan memenuhi
kualifikasi akademik minimum dan bersertifikat pendidik. Guru-guru yang
memenuhi kriteria profesional inilah yang akan mampu menjalankan fungsi
utamanya secara efektif dan efesien untuk mewujudkan proses pendidikan dan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, manidiri, serta menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.40
37
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2012), hal. 207 38
Sudarwan Danim, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru, (Bandung: Alfabeta, 2010),
hal.17 39
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007), hal.74 40
Ibid, hal. 18
31
7. Macam-macam Peran Guru Pendidikan Agama Islam
Sebagaimana telah diuraikan dalam pengertian peran guru Pendidikan
Agama Islam diatas bahwa yang dimaksud dengan peran dalam pembahasan ini
adalah tugas utama guru Pendidikan Agama Islam yang harus dilakukan dalam
bidang pendidikan.
Dalam peraturan Mentri Agama RI Nomor 16 tahn 2010 tentang
pengelolaan Pendidikan Agama pada sekolah, dalam pasal 1 ayat 7 menyatakan
bahwa Guru Pendidikan Agama adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, memberi teladan,
menilai dan mengevaluasi peserta didik.
Berbeda dengan peran guru mata pelajaran lain ataupun guru kelas. Guru
Pendidikan Agama Islam mempunyai peran sebagai ta’lim, tadris dan ta’dib.
Menurut seorang tokoh sufi yang terkenal yakni Imam Al-Ghozali
memberikan spesifikasi tugas guru agama yang paling utama adalah
menyempurnakan, membersihkan serta mensucikan hati manusia agar dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena tindakan yang akan dan telah
dilakukan oleh seorang guru senantiasa mempunyai arti serta pengaruh yang kuat
bagi para santri atau siswanya, maka guru harus berhati-hati dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari.41
Tugas guru menurut Uzer Usman terdiri dari tiga jenis tugas yaitu:
1. Tugas guru sebagai profesi meliputi: mendidik, mengajar dan melatih.
Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup.
Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-
keterampilan pada siswa.
2. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan, ia harus menjadikan dirinya
sebagai orang tua kedua, ia harus menarik simpati siswanya.
3. Tugas guru dalam masyarakat yaitu mencerdaskan bangsa menuju
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan Pancasila.42
Secara rinci peran guru pendidikan Agama Islam menurut Zuhairini, peran
guru PAI yang antara lain adalah:
41
Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulumuddin, Ismail Ya’qub (Jakarta: CV Faizan, 1979) hal. 65 42
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
hal. 6-7
32
1. Mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam
2. Menanamkan keimanan dalam jiwa anak
3. Mendidik anak agar taat dalam menjalankan ibadah
4. Mendidik anak agar berbudi pekerti yang mulia.43
Tugas guru menurut Suprapta adalah sebagai berikut:
1. Mengajar, yaitu menyelenggarakan proses proses pembelajaran, meliputi:
menguasai bahan pengajaran, merencanakan program pembelajaran,
melaksanakan, memimpin dan mengelola proses pembelajaran, dan
menilai kegiatan pembelajaran.
2. Membimbing, yaitu memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya baik bersifat akademis maupun
non akademis.
3. Administrator, yaitu mengelola sekolah dan kelas, memanfaatkan prosedur
dan mekanisme pengelolaan tersebut untuk melancarkan tugasnya, serta
bertindak sesuai dengan etika jabatan.44
Menurut Roestiyah NK, secara umum peran guru dalam interaksi edukatif
adalah sebagai berikut:
1. Fasilitator, yakni menyediakan situasi dan kondisi yang dibutuhkan
individu yang belajar
2. Pembimbing, yakni memberikan bimbingan terhadap siswa dalam
interaksi belajar mengajar, agar siswa tersebut mampu belajar denga lancar
dan berhasil secara efektif dan efisien
3. Motivator, yakni memberikan dorongan dan semangay agar siswa mau
giat belajar
4. Organisator, yakni mengorganisasikan kegiatan belajar siswa maupun
guru.
5. Manusia sumber, dimana guru dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh siswa, baik berupa pengetahuan, keterampilan maupun
sikap.45
Lebih kanjut menurut Syaiful Bahri, guru bertugas dan berperan sebagai:
korektor, pembimbing, inspirator, demonstrator, informator, pengelola kelas,
organisator, mediator, motivator,supervisor, insiator, fasilitator, evaluator.46
43
Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama (Jakarta: Usaha Nasional, 2004),
hal. 55 44
Suprapta dan Herry Noer Aly, Op.Cit., hal. 2 45
Roestiyah NK, Masalah Pengajaran Seagai Suatu Sistem, (Jakarta: Bina Aksara,
1982), hal. 46
33
Menurut Enco Mulyasa mengatakan bahwa guru memiliki peranan sebagai:
“pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pembaharu, model teladan,
peneliti, pendorong kreatifitas, pembangkit pandangan, pekerta rutin, evaluator
dan kulminator”.47
Peranan guru dalam membina akhlak siswanya menurut Al-Ghazali meliputi:
1. Memberi berbagai pengetahuan tentang akhlak
2. Menggunakan metode pembinaan yang berbeda-beda sesuai dengan usia
dan tabiat anak
3. Mengajak siswa untuk menghafal Al-Qur’an.48
Peranan yang diharapkan dari guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam
dalam pembinaan akhlak siswa adalah:
1. Memberikan contoh atau teladan
2. Membiasakan akhlak yang baik
3. Memberikan motivasi atau dorongan
4. Memberikan hadiah
5. Menghukum
6. Penciptaan suasana yang berpengaruh bagi pertumbuhan positif
7. Mengadakan kerjasama yang harmonis dengan kepala sekolah, guru-guru
yang lain dan orang tua siswa.49
Adapula pendapat dari M. Athyiyah Al-Abrasi, peran guru Pendidikan Agama
Islam dalam membina akhlak siswa adalah:
1. Memberikan petunjuk, tuntunan, nasihat, menyebutkan manfaat dan
bahaya sesuatu
2. Mencegah mereka dari akhlak tercela
3. Memberikan contoh yang baik.50
46
Syaiful Bahri Djamarah, Op.Cit., hal. 44-48 47
Enco Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), Cet ke 7, hal.37 48
Abidin Ibnu Rush, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 1998), hal.99-104 49
Ahmad Tafsir, Metodelogi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Remaja Rosdakarya,
2003), hal. 127 50
M. Athiyah Al-Abrasyi, Op.Cit., hal.106-111
34
Dari beberapa peran guru Pendidikan Agama Islam diatas maka penulis
menyimpulkan bahwa penulis lebih memilih sebagai mana yang terdapat dalam
peran guru Pendidikan Agama Islam menurut Peraturan Kementrian Agama RI
pasal 1 ayat 7 yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
memberi teladan, menilai dan mengevaluasi peserta didik dalam membina akhlak
siswa dijabarkan sebagai berikut:
1. Guru sebagai pendidik
Pengertian pendidik secara fungsional adalah seseorang yang melakukan
kegiatan dan memberikan pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan sebagainya
kepada peserta didik.51
Jadi pendidik dapat dipahami sebagai seorang yang
mendidik peserta didik disamping untuk memiliki pengetahuan juga agar
memiliki pengetahuan juga agar memiliki keterampilan untuk mengamalkan
pengetahuan tersbut. Menurut Moh Uzer Usman mendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup.52
Dengan demikian maka peran guru sebagai pendidik dalam pembinaan
akhlak yaitu menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada
siswa sehingga siswa mempunyai kepribadian utama dan terampil dalam
merealisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Guru sebagai pengajar
Pengajar adalah orang yang mengajar, sedangkan menurut Moh Uzer
Usman mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Jadi mengajar adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta
didik, dalam hal ini hanya menekankan segi pengetahuan. Menurut Zuhairini
menyatakan bahwa mengajar adalah memberi pengetahuan kepada anak, agar
mereka dapat mengetahui peristiwa-peristiwa, hukum-hukum atau proses dari
51
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hal.
114 52
Moh Uzer Usman, Log.Cit.,
35
pada suatu ilmu pengetahuan. Jadi pengajaran Agama adalah pemberian
pengetahuan agama kepada anak agar mempunyai ilmu agama.53
Hal ini sesuai dengan pendapat Kunandar yang menyatakan bahwa dalam
menjalankan perannya sebagai pengajar, hal-hal yang harus dilakukan guru
adalah:
Pertama, mampu menyusun program pengajaran selama kurun waktu
tertentu secara berkelanjutan. Kedua, membuat persiapan mengajar dan rencana
kegiatan belajar mengajar untuk tiap bahan kajian yang akan diajarkan berkaitan
dengan metode tertentu. Ketiga menyiapkan alat peraga yang dapat membantu
terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang efektif. Keempat, merencanakan
dan menyiapkan alat evaluasi belajar dengan tepat. Kelima, menyiapkan hal-hal
yang berkaitan dengan pelajaran yang merupakan program sekolah, misalnya
program perbaikan dan pengayaan serta ekstra kulikuler. Keenam, mengatur ruang
kelas yang kondusif bagi proses belajar mengajar. Ketujuh, mengatur tempat
duduk siswa sesuai degan kemampuan dan kondisi fisik serta daya tangkap siswa
terhadap pelajaran.54
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud
mengajar itu adalah menyelenggarakan proses pembelajaran yang meliputi:
penguasaan materi pelajaran, merencanakan program pengajaran seperti analisis
pekan efektif per semester, program tahunan, program semester, menyusun
silabus dan RPP, melaksanakan, mempimpin, dan mengelola proses pembelajaran
dan juga menilai atau mengevaluasi hasil pembelajaran.
Hubungan dengan peran guru dalam membina akhlak berarti guru sebagai
pengajar adalah guru harus menguasai bahan pelajaran, merencanakan program
pembelajaran, melaksanakan dan mengelola proses pembelajaran tentang akhlak
kepada siswa. Setelah melaksanakan pengajaran dan pembelajaran di kelas maka
implementasi pada kehidupan sehari-hari harus bermanfat terutama pengajaran
mengenai akhlak siswa.
53
Zuhairini dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Biro Ilmiah Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, 1981), Cet-7, hal. 25 54
Kunandar, Guru Profesional Implementasi KTSP dan Sukses dalam Sertifikasi Guru,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 60
36
3. Guru sebagai pembimbing
Dalam proses pendidikan, kegiatan mengajar, mendidik dan membimbing
tidakdapat dipisahkan. Membimbing yaitu memberikan bimbingan kepada peserta
didik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya baik bersifat akademis
maupun non akademis.55
Menurut Roestiyah NK membimbing, yakni
memberikan bimbingan terhadap siswa dalam interaksi belajar mengajar, agar
siswa tersebut mampu belajar dengan lancar dan berhasil secara efektif dan
efisien.56
Dalam pembinaan akhlak mulia siswa, tidak saja terdapat dalam proses
pembelajaran didalam kelas tetapi juga diluar kelas, yang disebut dengan
bimbingan. Dengan demikian maka guru sebagai pembimbing dalammembina
akhlak adalah upaya yang dilakukan untuk membantu mengembangkan potensi
siswa dengan memberikan petunjuk, tuntunan dan mengarahkan agar menjadikan
siswa sebagai manusia yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab dalam
hidupnya.
4. Guru sebagai pengarah
Guru adalah seorang pengarah bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua.
Sebagai pengarah guru harus mampu mengarkan peserta didik dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, mengarahkan peserta
didik dalam mengambil suatu keputusan dan menemukan jati dirinya.
Guru juga dituntut untuk mengarahkan peserta didik dalam
mengembangkan potensi dirinya, sehingga peserta didik dapat membangun
karakter yang baik bagi dirinya dalam menghadapi kehidupan nyata di
masyarakat.
55
Suparta dan Herry Noer Aly, Loc.,Cit, hal. 56
Roestiyah NK., Loc. Cit, hal.
37
5. Guru sebagai pelatih
Pengertian pelatih dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah orang yang
mengajar seseorang agar terbiasa melakukan sesuatu atau membiasakan diri.
Kebiasaan adalah pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang
dipelajari oleh seorang individu yang dilakukannya secara berulang-ulang untuk
hal yang sama.57
Dalam proses pendidikan seorang guru disamping menanamkan aspek
kognitif dan aspek afektif dalam diri anak, maka guru perlu mengambangkan
aspek psikomotor atau keterampilan. Menurut Moh Uzer Usman melatih berarti
mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa.58
Karena itu guru dalam
menjalankan tugasnya sebagai pelatih bertujuan untuk mencapai tingkat terampil
dalam diri siswa dan siswa terbiasa melaksanakannya dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam hubungannya peranan guru pendidikan Agama Islam sebagai pelatih
dalam membina akhlak siswa misalnya melatih siswa untuk berdoa dengan
khusuk, dan berinfak.
6. Guru sebagai teladan
Guru adalah model mental yang hidup bagi siswa. Kita ingat pemeo guru,
sebagai digugu lan ditiru (ditaati dan ditiru), guru adalahuswah hasanah (teladan
yang baik). Sandangan ini memang cukup berat bagi guru, tetapi tak terelakan,
apalagi pada tingkat pedidikan dasar. Bagi anak TK dan SD guru merupakan
segala-galanya. Alhasil seringkali siswa-siswa pemula tersebut memandang apa
saja yang dikatakan gurunya sebagai yang benar, peran guru yaitu sentral,
sehingga sekali guru membuat kesalahan, kesalahan semacam ini akan lama
dikenang siswa.
Kualitas dan kekuatan dari teladan seorang guru berkaitan erat dengan
karakter dan efektivitas guru. Makin efektif seorang gurumaka makin tinggi pula
potensi dan kekuatannya sebagai teladan. Kualitas semacam ini akan membuatnya
57
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit., hal. 113 58
Moh Uzer Usman, Loc.Cit., hal.
38
terampil di dalam pembelajaran, sehingga mampu memberi imajinasi, kegairahan,
maka bagi pembelajaran dan pada gilirannya memberikan satu energi kepada guru
sebagai teladan. Teladan yang efektif akan mampu memberi semangat dan
keberanian kepada para siswa untuk belajar.
Agar efektif sebagai teladan, ada sejumlah faktor yang harus diperhatikan
oleh guru:
a. Sikap dasar, yaitu sikap psikologis guru dalam menyelesaikan masalah
yang penting dan berdampak kepada kesuksesan, kegagalan,
pembelajaran, kecakapan manusiawi, cinta, kebenaran, hubungan
antarinsan dan sebagainya.
b. Kecakapan berbicara, termasuk pengguaan intonasi dan pemilihan kata
yang tepat.
c. Kebiassaan kerja, termasuk konsistensinya, kerapihannya, dan
kedisiplinannya.
d. Sikap terhadap pengalaman dan kesalahan, baik yang dilakukan diri
sendiri maupun oleh orang lain.
e. Pakaian, menampilkan ciri kepribadian.
f. Hubungan antarmanusia, terutama terkait cara menangani emosi.
g. Model berfikir, terkait dengan cara pikiran bekerja bila menghadapi
masalah.
h. Kebiasaan emosional
i. Sistem penilaian suka dan tidak suka, terkait dengan pembuatan keputusan
dan penilai yang adil
j. Pertimbangan, kerampilan yang digunakan didalam menilai berbagai jenis
situasi.
k. Kesehatan, guru yang kompeten, tetapi sering terganggu kesehatannya
akan membuat penilaian siswa terhadapnya menjadi surut.
l. Gaya hidup. Gaya hidup yang baik bukan guru yang suka pamer kekayaan,
pamer kekayaan, pamer kesuksesan, dan terkesan konnsumeristik.59
7. Guru sebagai penilai
Manusia adalah makhluk penilai, homo mensura, dengan demikian tugas
guru sebagai penilai adalah tidak terelakkan. Sebagai pengajar, seorang guru lebih
berfokus kepada penilaian dalam situasi formal, tetapi sebagai pendidik guru mau
tidak mau harus menilai dalam situasi formal, nonformal maupun informal
59
Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2015), hal. 191-192
39
maupun nonformal, kapan saja dan di mana saja sepanjang terdapat interaksi
langsung atau tidak langsung dengan anak didiknya. Karena guru yang unggul
seharusnya menilai semua aspek kepribadian siswanya, potensi kognitif, afektif
dan psikomotornya.
Di dalam melaksanakan penilaian, guru diwajibkan memahami muridnya
seutuhnya, selengkap-lengkapnya, seharusnya bahkan seluruh potensi
kecerdasannya, karena dipahami saat ini, setiap anak memiliki potensi kecerdasan
ganda tinggal posisi mana yang dominan dan sesuai dengan bakat dan minat anak.
Guru harus memahami posisi anak didiknya, di dalam kelas, sekolah, di dalam
keluarga maupun di dalam masyarakat. Guru yang kompeten selalu ingin tahu
tentang segala hal yang berpengaruh terhadap kinerja dan keberhasilan siswanya.
Di pihak lain, siswa pun sebenarnya berkeinginan kuat untuk mengetahui
bagaimana penilaian gurunya terhadap dirinya masing-masing, mereka ingin tahu
seberapa jauh mereka mampu menyelesaikan tugas dengan baik. Selain itu,
mereka pun diam-diam melakukan penilaian terhadap gurunya. Jadi, pada
hakikatnya berlangsung dari guru ke murid, dan sebaliknya dari murid ke guru.
Oleh sebab itu, dinamika penilaian merupakan dinamika proses. Bahkan jika
penilaian itu menyangkut suatu produk, karena hal itupun menyangkut penyiapan
atau untuk membangun landasan bagi proses berikutnya.
8. Guru sebagai evaluator
Guru sebagai evaluator adalah guru berperan untuk mengumpulkan data
atau informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan.60
Guru
sebagai evaluator dalam pembinaan akhlak siswa bertujuan untuk mengevaluasi
hasil pembelajaran mengenai akhlak yang telah diberikan di kelas kedalam
kehidupan sehari-hari.
60
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Kencana, 2009), Cet , hal 290
40
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa arab ( ) dalam
bentuk jama’, sedangkan mufradnya adalah khuluq ( ) yang artinya budi
pekerti, perangai atau tingkah laku. Akhlak menurut bahasa berarti budi pekerti,
adat kebiasaan, perangai, atau segala seseuatu yang menjadi tabiat. Budi pekerti
dalam bahsa Indonesia merupakan kata majemuk dari kata budi dan pekerti yang
berarti, kata budi berasal dari bahsa sansekerta yang berarti sadar, sedangkan
pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kelakuan.61
“Budi pekerti
merupakan perilaku yang didasari oleh kesadaran berbuat baik yang didorong oleh
keinginan hati dan selaras dengan pertimbangan akal”.62
Akhlak adalah suatu istilah agama yang dipakai menilai perbuatan manusia
apakah itu baik, atau buruk. Sedangkan ilmu akhlak adalah suatu ilmu
pengetahuan agama islam yang berguna untuk memberikan petunjuk-petunjuk
kepada manusia, bagaimana cara berbuat kebaikan dan menghindarkan
keburukan. Dalam hal ini dapat dikemukakan contohnya:
1. Perbuatan baik termasuk akhlak, karena membicarakan nilai atau kriteria
suatu perbuatan.
2. Perbuatan itu sesuai dengan petunjuk Ilmu Akhlak; ini termasuk ilmunya,
karena membicarakan ilmu yang telah dipelajari oleh manusia untuk
melakukan suatu perbuatan.63
Adapun ayat yang menjelaskan tentang akhlak yaitu terdapat dalam (Q.S.
al-ahzab, 33:21)
61
Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), (Surabaya : Pustaka Islam,
1987), hal. 25 62
Sidik Tono dkk, Ibadah Akhlak dalam Islam, (Yogyakarta : Press, 2003), h. 86
63 Mahjuddin, “Akhlak Tasawuf” (Jakarta:Kalam Mulia,2009), hal: 7
41
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.64
Secara etimologi beberapa ahli menedefenisikan akhlak dengan redaksi
yang berbeda, diantaranya adalah:
a. Al-Ghazali, akhlak adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa yang darinya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan
pertimbangan terlebih dahulu.65
b. Zakiah Drajat menjelaskan bahwa akhlak merupakan kelakuan yang
timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan
dan kebiasaan yang menyatu.66
c. Ibnu Maskawaih, sebagaiman yang telah dikutip sidik tono, “khluq ialah
gerakan jiwa yang mendorong kea rah melakukan perbuatan dengan tidak
menghajatkan pemikiran.67
64
Departemen Agama RI, Op.,Cit, hal. 422 65
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz III, (Jakarta: CV Faizan, 1984),h.5
66 Zakiah Drajat, Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jkarta:
Ruhama, 1995), h. 10
67 Sidik Tono, Op. Cit, h. 23
42
d. Yatimin Abdullah, suatu kondisi atau sifat yang sudah meresap dalam jiwa
dan menjadi kepribadian. Dari sini timbulah berbagai macam perbuatan
dengan spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran.68
Akhlak merupakan landasan terpenting dalam kehidupan manusia baik itu
sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Dengan akhlak
manusia dapat menentukaan arah hidupnya dan bangsanya. Semakin baik akhlak
suatu bangsa, maka semakin baik pula bangsa tersebut. Bila akhlak suatu bangsa
rusak maka rusak pula kehidupan bangsa itu.
Salah satu hal yang terpenting dari agama adalah akhlak, karena dalam
akhlak ini terdapat aturan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama
manusia dan alam sekitarnya. Said Agil Husin Al Munawar menyatakan bahwa,
“sesuatu yang disebut baik barometernya adalah baik dalam pandangan agama
dan masyarakat, demikian sebaliknya, sesuatu yang dianggap buruk barometernya
adalah buruk dalam pandangan agama dan masyarakat”.69
Dari pernyataan
tersebut dapat dipahami bahwa seluruh ajaran agama berujung pada nilai akhir
yaitu akhlakul karimah. Dengan demikian seseorang yang mengaku beriman
kepada Allah SWT, dia harus menunjukan keimanannya tersebut melalui tingkah
laku yang baik sesuai dengan ajaran agamanya.
68
Yatimi Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta : Amzah,
2007),h. 4 69
Said Agil Husin Al- Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 26
43
Ali Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa dasar pendidikan akhlak
bagi setiap muslim adalah akidah yang benar terhadap alam dan kehidupannya,
karena akhlak tersarikan dari akidah dan pancaran darinya.70
Allah SWT telah menganugrahi potensi dalam diri manusia untuk memilih
dan mengembangkan potensi dalam dirinya untuk melakukan akhlak yang baik
dan yang buruk. Hal ini seperti dijelaskan Allah SWT dalam Al- Qur’an surah Al-
Syams ayat 7-10:
Artinya: Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.71
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah SWT memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya dengan segala
konsekuensinya. Jika menginginkan kebaikan dan kebahagiaan hidup, maka
hiasilah jiwanya dengan ketaqwaan dengan menjalankan perintah Allah. Tetapi
jika mengotori jiwanya dan melanggar perintah Allah SWT maka akan
mendapatkan keburukan dan kesengsaraan hidup.
Dari beberapa pendapat di atas bahwa yang dikatakan akhlak adalah
gambaran jiwa yang menyebabkan terjadinya tingkah laku atau perbuatan,
70
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Penerjemah; Abdul Hayyi Al-Kattani dkk,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hal. 84 71
Departemen Agama RI, Op.,Cit, hal 595
44
sehingga berakhlak-tidaknya seseorang dapat dilihat dari tingkah laku atau
perbuatannya. Oleh sebab itu tingkah laku atau perbuatan seseorang merupakan
cerminan jiwanya.
2. Macam-macam Akhlak
Akhlak terbagi menjadi dua macam yaitu Akhlak Mahmudah yaitu akhlak terpuji
dan Akhlak Madzmumah yaitu akhlak tercela. Islam mengajarkan agar setiap
muslim berakhlak mahmudah dan melarang berakhlak madzmumah. Dan untuk
tujuan ini pula sesungguhnya Nabi Muhammad diutus sebagai rasul dengan
membawa agama Islam.
a. Akhlak Mahmudah (Akhlak Terpuji)
Akhlak mahmudah disebut juga akhlak karimah yang artinya akhlak yang
mulia. Akhlak karimah biasanya disamakan dengan perbuatan atau nilai-nilai
luhur tersebut memiliki sifat terpuji (mahmudah).
Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya menghilangkan
semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam
serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut. Kemudian membiasakan
adat kebiasaan yang baik, melakukan dan mencintainya. 72
Menurut Hamka, ada beberapa hal yang mendorong seseorang untuk
berbuat baik, diantaranya:
1. Karena bujukan atau ancaman dari manusia lain
2. Mengharap pujian, atau karena takut mendapat cela
3. Karena kebaikan dirinya (dorongan hati nurani)
4. Mengharapkan pahala dan surga
5. Mengharap pujian dan takut azab Tuhan
72
Amaran, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992), hal. 204
45
6. Mengharap keridhaan Allah semata.73
Banyak sekali nilai-nilai akhlak yang mulia yang diajarkan dalam agama,
antara lain yang diajarkan dalam agama sebagai berikut:
1. Rendah hati, yaitu sikap yang tumbuh keinsyafan bahwa segala kemuliaan
yang ada di jagat raya ini adalah murni milik Allah semata Tuhan semesta
alam.
2. Tidak tamak atau serakah, dalam arti sikap yang tidak ingin mendapatkan
sesuatu untuk dirinya sendiri akan tetapi karunia apapun yang diberikan
Allah kepadanya akan senantiasa bermanfaat bagi yang lainnya.
3. Tidak mempunyai sifat hasud atau iri hati, yakni sikap lapang dada atas
karunia yang diberikan Allah terhadap selain dirinya.
4. Silahturahmi, yaitu semua persaudaraan terhadap sesama insan, terutama
sesama muslim.
5. Adil, yaitu wawasan yang seimbang dalam melihat dan menyikapi segala
sesuatu, dalam kaidah usul fiqh arti adil itu sendiri adalah mendapatkan
sesuatu pada tempatnya.
6. Khusnudzon atau berbaik sangka, yakni senantiasa berprasangka baik
kepada siapapun, meski sesuatu itu masih belum pasti kejelasan dari sisi
baik atau buruknya.
7. Amanah, dalam arti dapat dipercaya dalam segala hal, terutama dari
ucapan maupun perbuatan.
8. Syukur, yakni senantiasa berterimakasih kepada Allah, baik secara lisan
dan dibuktikan dalam perbuatan dalam menerima karunia tersebut.
9. Dermawan, yaitu gemar bersedekah dalam arti memberikan sesuatu yang
bermanfaat bagi orang lain.
10. Hemat, yaitu sikap tidak boros dan tidak kikir dalam menggunakan harta.74
b. Akhlak mazmumah (Akhlak Tercela)
Akhlak yang buruk adalah bentuk yang menakutkan, yang ila dikenakan
oleh seseorang maka dia akan menunukan sosok yang menakutkan pula.ia akan
menjadi sumber malapetaka bagi pemiliknya sendiri dan juga bagi masyarakatnya
seperti yang selama ini dikatakan orang-orang.75
Sedangkan menurut Ghazali, akhlak yang tercela ini dikenal dengan sifat-
sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya
73
Ibid, hal. 148 74
A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Fajar Dunia, 1999), hal. 1-4 75
Musa Subaiti, Akhlak Keluarga Muhammad SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hal. 31
46
kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang tentu saja bertentangan dengan
fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.76
Manusia dapat melakukan perbuatan-perbuatan tercela/ akhlak
mazmummah karena dipengaruhi oleh beberapa hal. Al-Ghazalimenerangkan
empat hal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela diantaranya:
1. Dunia dan isinya, yaitu berbagai hal yang bersifat material (harta,
kedudukan) yang ingin dimiliki manusia sebagai kebutuhan dalam
melangsungkan hidupnya (agar bahagia).
2. Manusia selain dapat mendatangkan kebaikan, manusia dapat
mengakibatkan keburukan, seperti istri, anak. Karena kecintaan kepada
mereka, misalnya dapat melalaikan manusia dari kewajibannya
terhadap Allah dan terhadap sesama.
3. Setan (iblis), setan adalah musuh manusia yang paling nyata. Ia
menggoda manusia melalui batinnya untuk berbuat jahat dan menjauhi
Tuhan.
4. Nafsu, nafsu ada kalanya baik dan ada kalanya buruk akan tetapi nafsu
cenderung mengarah kepada keburukan.77
3. Ruang Lingkup Akhlak
Membahas tentang akhlak berarti membahas tentang tingkah laku,
perbuatan dan adat kebiasaan. Akhlak sering disamakan dengan moral, yang
sebenarnya tidak sama. Akhlak lebih luas cakupannya yaitu segi lahiriyah dan
batiniyah seseorang sedang moral hanya bersifat lahiriyah saja.
Seseorang yang mempunyai moral, boleh diartikan karena kehendaknya sendiri
berbuat sopan atau kebajikan karena suatu motif material, atau ajaran filsafat
moral semata. Sifatnya sangat sekuler, duniawi, sikap itu bisanya ada selama
ikatan-ikatan material itu ada, termasuk didalamnya penilaian manusia, ingin
memperoleh kemasyarakatan dan pujian dari manusia. Suatu sikap yang tidak
76
Zahruddin, Hasanuddin Sinaga, Pengantar Stusi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hal. 154 77
Asmaran, Op.,Cit, hal. 131-140
47
punya hubungan halus dan mesra dengan yang maa kuasa yang transenden.78
Dengan kata lain bahwa akhlak itu lebih luas artinya dari moral dan atau etika
yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia sebab akhlak meliputi segi-segi
kejiwaan dari tingkahlaku lahiriyah dan batiniah seseorang.79
Untuk itu maka ruang lingkup dari akhlak terdiri dari: akhlak kepada
Allah, akhlak kepada sesama manusia dan akhlak kepada makhluk lain.
a. Akhlah kepada Allah
Akhlak yang paling utama seorang hamba terhadap khaliknya adalah
dengan meng Esakan Nya, menyatakan dan meyakini dengan sepenuh hati bahwa
tidak ada Tuhan sebagai pembina kehidupan yang paling agung kecuali Allah
SWT dengan Al-Qur’an menurut Sunnah RasulNya. Allah SWT memerintahkan
kepada hamba Nya untuk tidak menyekutukan Nya sebagaimana firmanNya:
Artinya: “janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu
tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah).” (QS Al-Israa’: 22)80
Jadi manusia dilarang mempersekutukan Allah dengan sesuatupun yang
sebenarnya hal itu demi kebaikan manusia itu sendiri, karena yang dipersekutukan
dengan Allah itu tidak dapat memberi pertolongan dan tidak dapat memberi
mudharat. Manusia seharusnya bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah
kepada manusia. Semua itu agar manusia tidak ditinggalkan Allah atau tidak
mendapat pertolongan Allah, pertolongan yang dapat menyelamatkan manusia
didunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah SWT:
78
Masruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT Al-Maarif, 1987), hal. 49 79
A Zainuddin dan Muhammad Jamhari, Loc.Cit 80
Departemen Agama RI., Op.,Cit, hal. 284
48
Artinya: jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat
mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan),
Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah
itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.
(QS. Al-Imran:160)81
Oleh karena itu manusia diperintahkan Allah SWT untuk bertaqwa kepada
Nya demi kebaikan manusia itu sendiri, sebagaimana firman Nya:
Artinya: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian
takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-
tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (QS. Al-A’raf:
26)82
Adapun pengertian taqwa menurut Afif Abd Al-Fattah Thabbarah adalah
seseorang memelihara dirinya dari segala sesuatu yang mengundang kemarahan
Tuhannya dan dari segala sesuatu yang mendatangkan mudharat, baik bagi dirinya
sendiri maupun orang lain. Akan tetapi taqwa yang paling populer diartikan
sebagai memelihara diri dari siksaan Allah SWT dengan mengikuti segala
perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya.83
Apabila manusia tidak bertaqwa kepada Allah, tidak menjalankan ajaran agama
Allah sudah pasti hidupnya akan sengsara mendapatkan kehinaan dimanapun
berada, sebagaimana dalam firman-Nya:
81
Ibid, hal. 71 82
Ibid, hal. 153 83
Yuhanar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hal. 134-
135
49
Artinya: mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia
dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan
mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Al-Imran: 112)84
Maka akhlak seorang muslim terhadap Allah SWT adalah dengan
senantiasa mengesakan Nya, memurnikan ketaatan kepadaNya dengan
melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangan Allah dengan berpegang teguh
terhadap ajaran Allah. Karena memang manusia diciptakan untuk mengabdi
kepada Allah, sebagaimana Firman Nya:
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.(QS Ar-Rad: 28)85
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram. (QS Ar-Rad: 28)
84
Departemen Agama RI, Op.,Cit, hal. 64 85
Ibid, hal. 252
50
b. Akhlak kepada sesama manusia
Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa akhlak adalah inti dari ajaran Islam,
oleh karena itu setiap perilaku muslim selalu dituntut untuk berakhlak dengan
akhlak yang terpuji/mulia. Maka berakhlak terpuji tidak hanya terhadap Allah
SWT saja, tetapi juga kepada sesama manusia, sebagaimana firman Allah:
Artinya: sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan
teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS An-
Nisa: 36)86
Jadi dalam kehidupan sehari-hari kita diperintahkan utuk berperilaku
dengan akhlak terpuji, (akhlak mahmudah) dan tidak boleh berakhlak tercela
(akhlak mazmumah).
c. Akhlak kepada makhluk lainnya
Manusia selain berperilaku dengan akhlak yang terpuji kepada Allah dan
sesama manusia, maka manusia juga harus berakhlak yang baik dengan makhluk
Allah yang lain selain manusia, seperti binatang, tumbuhan dan benda-benda yang
tidak bernyawa lainnya, karena manusia diberi amanat oleh Allah sebagai khalifah
dibumi, manusia yang mengelola bumi seisinya untuk kepentingan manusia itu
sendiri. Oleh karena itu pula dalam mengelola bumi manusia harus mengikuti
tuntunan dari Allah SWT, tidak boleh semena-mena.
86
Ibid, hal. 84
51
4. Tujuan Pentingnya Pembinaan Akhlak
Sebagaimana yang sudah dibahas dalam pengertian akhlak, bahwa akhlak
adalah suatu keadaan atau sikap yang melekat pada jiwa manusia yang dari
padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses
pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan (hal) tersebut melahirkan
perbuatan yang baik dan terpuji menurut pandangan akal dan syarak (hukum
Islam), disebut akhlak yang baik. Jika perbuatan-perbuatan yang timbul itu tidak
baik, dinamakan akhlak yang buruk.
Tujuan dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk
manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan
perbuatan, mulia dalam tingkah laku, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan
beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan
untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan. Berdasarkan tujuan ini,
maka setiap saat, keadaan, pelajaran, aktifitas, merupakan sarana pendidikan
akhlak.87
Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan
akhlak di atas segala-galanya.
Dikutip dari pendapat Barnawie Umary dalam bukunya materi akhlak
menyebutkan bahwa, tujuan berakhlak adalah hubungan umat Islam dengan Allah
SWT dan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis. Dapat
dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
a. Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta
menghindari yang buruk, jelek, hina, tercela.
b. Supaya hubungan kita kepada Allah SWT dan sesama makhluk selalu
terpelihara hingga baik
c. Menumbuhkan pembentukkan kebiasaan berakhlak mulia dan beradat
kebiasaan yang baik
d. Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang
pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang tercela
e. Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, menguasai emosi,
tahan menderita dan sabar
f. Membimbing siswa ke arah sikap yang sehat yang dapat membantu
mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain,
suka menolong, sayang kepada yang lemah dan menhargai orang lain
87
Abdullah Yatimin, Op.,Cit, hal 42
52
g. Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
h. Selalu tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dan
bermuamalah yang baik.88
Dengan demikian akhlak sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dengan mengerti akhlak yang terpuji maka kita akan melakukannya, dan dengan
mengetahui akhlak tercela maka kita akan menghindarinya. Akhlak ini dilakukan
berulang-ulang sehingga dalam melakukannya sehingga tanpa perlu pertimbangan
lagi, yang kesemuanya itu adalah dengan Allah SWT, dengan sesama manusia
maupun dengan makhluk lainnya.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Akhlak
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya akhlak adalah:
a. Faktor dari luar dirinya secara langsung atau tidak langsung merupakan
salah satu unsur terbentuknya akhlak, diantaranya:
1) Keturunan
Keturunan dapat dilihat dari orang tua. Orang tua merupakan contoh bagi
anak-anaknya. Oleh karena itu, baik buruknya seorang anak tergantung kepada
pendidikan kedua orang tua, anak diibaratkan seperti kertas yang bersih, kalau
dihitamkan ia akan menjadi hitam, kalau diputihkan ia akan menjadi putih.89
2) Lingkungan
Terdapat dua macam lingkungan yaitu lingkungan alam dan pergaulan.
Keduanya mampu mempengaruhi akhlak manusia. Lingkungan dapat memainkan
peran dan pendorong terhadap perkembangan kecerdasan, sehingga manusia dapat
mencapai taraf setinggi-tingginya dan sebaliknya juga dapat merupakan
penghambat yang menyekat perkembangan, sehingga seseorang tidak dapat
mengambil manfaat dari kecerdasan yang diwarisi.90
88
Barnawie Umary, Materi Akhlak, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal. 10 89
Andi Hakim Nasution, Pendidikan Agama dan Akhlak Bagi Anak dan Remaja, (Jakarta: Logos Wacana, t.t), hal 11
90 Muhammad Yunus, Metode Khusus Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Hidayah, 2000),
hal. 13
53
3) Sekolah
Sekolah merupakan tempat kedua, dimana siswa mendapatkan pendidikan
agama Islam yang membentuk perilaku keagamaan siswa maka hakikat
pendidikan dalam pandangan Islam adalah mengembangkan dan menumbuhkan
sikap pada diri siswa. Selain itu pendidikan juga membentuk manusia agar
menjadi lebih sempurna secara moral sehingga hidupnya senantiasa terbuka bagi
kebaikan sekaligus tertutup dari segala kejahatan pada kondisi apapun. Sekolah
adalah lembaga pendidikan formal yang secara teratur dan terencana melakukan
pembinaan terhadap siswa. Guru adalah contoh tauladan dalam pembinaan akhlak
bagi siswa. Sikap, kepribadian, agama, cara bergaull, berpakaian dari seorang
guru adalah unsur-unsur penting yang kemudian akan diserap oleh siswa.91
b. Faktor dari dalam dirinya seperti pengalaman-pengalaman yang datang
dari luar juga unsur-unsur yang telah ada di dalam dirinya turut
membentuk akhlaknya, diantaranya:
1) Instink atau akal
Keadaan manusia bergantung pada jawaban asalnya terhadap naluri. Akal
dapat menerima naluri tertentu, sehingga terbentuk kemauan yang melahirkan
tindakan. Akal dapat mendesak naluri, sehingga keinginannya merupakan riak
saja, akal dapat mengendalikan naluri sehingga terwujudnya perbuatan yang
diputuskan oleh akal. Hubungan naluri dan akal memberikan kemauan, kemauan
melahirkan tingkah laku perbuatan. Nilai tingkah laku perbuatan menentukan
nasib seseorang. Naluri yang ada pada diri seseorang adalah takdir Tuhan.92
2) Kepercayaan (Agama)
Agama dalam membina akhlak manusia dikaitkan dengan ketentuan hukum
agama Islam yang sifatnya pasti dan jelas, misalnya wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram. Ketentuan tersebut dijelaskan secara rinci didalam agama
Islam.oleh karena itu, pembinaan akhlak tidak dapat dipisahkan dari Agama
Islam.93
3) Keinginan
Keinginan dapat diaplikasikan melalui tingkah laku. Tingkah laku manusia adalah
sikap seseorang yang dimanifestasikan dalam perbuatan. Sikap seseorang boleh
jadi tidak digambarkan dalam perbuatan atau tidak tercermin dalam perilaku
sehari-hari tetapi adanya kontradiktif antara sikap dan tingkah laku. Oleh karena
itu, meskipun secara teoritis hal itu terjadi tetapi dipandang dari sudut ajaran
91
Andi Halkim Nasution, Op.,Cit, hal 13 92
Khalimi, Berkaidah Benar Berakhlak Mulia, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2006), hal. 15
93 Ibid, hal. 19
54
Islam termasuk iman yang tipis, untuk melatih akhlakul karimah dalam kehidupan
sehari-hari baik berakhlak kepada Allah, diri sendiri, keluarga, masyarakat,
maupun alam sekitar.94
4) Hawa nafsu
Nafsu dapat menyingkirkan semua pertimbangan akal, mempengaruhi hati
nurani dan menyingkirkan hasrat baik yang lainnya. Contoh nafsu yaitu mengarah
kepada keburukan, sehingga nafsu dapat berkuasa dan bergerak bebas kemana ia
mau.95
C. Pembinaan Akhlak
Dalam Undang undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangannya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.96
Dari tujuan pendidikan nasional diatas terlihat bahwa tujuan pendidikan
tersebut sarat dengan pembentukan sikap (afektif), yang didalamnya termasuk
akhlak mulia. Strategi pembelajaran afektif memang berbeda dengan strategi
pembelajaran kognitif dan psikomotor. Afekti dalam hal ini akhlak berhubungan
dengan nilai (value) yang sulit diukur, karena menyangkut kesadaran seseorang
yang tumbuh dari dalam.97
94
Ibid, hal 20 95
Ibid, hal 20 96
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU No 14 tahun 2005 tentang guru dan
dosen, (Jakarta: Visimedia, 2008), Cet. Ke 2, hal. 5 97
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Kencana, 2009), Cet. Ke 6, hal. 272
55
Proses pendidikan akhlak (moral) tidak bisa terlepas dari aspek afektif
baik secara prosedural maupun programatis, dan tidak mungkin pula tanpa
memahami dunia tersembunyi peserta didik.
Proses pembinaan akhlak sebagai pembentukan sikap siswa menurut Wina
Sanjaya dapat dilakukan dengan dua pola yaitu:
1. Pola Pembiasaan (Conditioning)
Mengutip pendapat Waston, proses pembentukan sikap dapat dilakukan
dengan penanaman nilai-nilai kepada anak melalui pembiasaan yang terus
menerus sehingga dapat merubah sikap anak menjadi seperti yang ditanamkan
oleh guru. Sedangkan menurut Skinner, proses pembentukan sikap melalui
pembiasaan ini menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak
menunjukan prestasi baik diberikan penguatan dengan memberikan hadiah atau
prilaku yang menyenangkan, sehingga lama kelamaan anak berusaha
meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi
idolanya, atau orang yang dihormatinya. Jadi proses modeling yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh.98
Dari uraian tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam membina akhlak
siswa yang merupakan aspek sikap (afektif) dapat dilakukan dengan pola
pembiasaan, baik itu melalui pembiasaan saja, yaitu anak yang telah mempunyai
nilai-nilai sikap akhlak bawaan/ akhlak tertentu kemudian ditanamkan nilai-nilai
akhlak yang terpuji/ baik melalui pembiasaan terus menerus, atau pembinaan
akhlak siswa melalui pembiasaan yang menekankan pada proses peneguhan
respon anak. Jadi setiap anak melakukan suatu sikap akhlak yang baik maka guru
memberikan suatu penguatan yaitu dengan memberikan hadiah misalnya untuk
kelas terbersih atau pujian bagi siswa-siswa yang rajin shalat berjamaah, atau
prestasi yang lainnya.
Membina akhlak siswa juga dapat dilakukan dengan melalui proses
modeling, yaitu membina akhlak melalui prosees asimilasi atau mencontoh. Salah
98
Wina Sanjaya, Op.Cit., hal. 275-276
56
satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk
melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku yang
diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang-orang yang menjadi idolanya. Oleh
karena itu guru pendidikan agama Islam harus dapat menjadi contoh dan idola
sekaligus sebagai guru spiritual siswa. Tetapi yang perlu dilakukan juga adalah
guru pendidikan agama Islam harus menjelaskan atau memberi pemahaman
mengapa hal itu patut ditiru atau dicontoh, misalnya mengapa kita berpakaian
rapih, menjaga kebersihan dan lain-lain.
Pendidikan akhlak yang baik pada siswa menurut Abdurrahman an-
Nahlawi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Pendidikan dengan keteladanan
2. Pendidikan dengan pembiasaan
3. Pendidikan dengan nasihat yang bijak
4. Pendidikan dengan perhatian dan pemantauan
5. Pendidikan dengan hukuman yang layak99
Fathiyah Hasan Sulaiman mengatakan bahwa metode pendidikan akhlak
antara lain adalah metode latihan, metode teladan, metode nasihat, metode
memberi petunjuk, serta metode pengajaran dan hukuman.100
Dari ketiga pendapat tentang pembinaan akhlak siswa tersebut diatas
terlihat bahwa kesemuanya dapat dikatakan sama dan saling melengkapi, yang
intinya bahwa pendidikan akhlak pada siswa dapat dilakukan dengan nasehat/
petunjuk, pembiasaan, contoh/teladan, pengawas terus menerus, penguatan
(reinforcement) dengan hadiah dan hukuman.
Menurut Abuddin Nata, Al-Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan
metode dalam pendidikan, yakni dalam menyampaikan materi pendidikan agama
Islam dalam membina akhlak siswa. Metode itu antara lain:
1. Metode teladan
Dalam Al-Qur’an kata teladan diproyeksikan dengan kata uswah yang
kemudian diberi sidat dibelakangnya seperti sifat hasanah yang berarti baik.
99
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Pendidikan Anak dalam Islam, Khatullistiwa
Pers, Jakarta,2013, h.364 100
Fathiyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu,
(Bandung: Diponegoro, 1986), hal. 78
57
Sehingga terdapat ungkapan uswatun hasanah yang artinya teladan yang baik.
Metode ini sangat penting karena aspek agama yang artinya terpenting adalah
akhlak yang termasuk dalam kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah
laku. Kata uswah dalam Al-Qur’an diulang sebanyak enam kali, antara lain dalam
surah Al-Ahzab: 21
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.101
2. Metode kisah-kisah
Didalam Al-Qur’an tempat nama surat, yaitu surat Al- Qasas yang berarti
cerita-cerita atau kisah-kisah yang diulang sebanyak 44 kali, misalnya
diungkapkan pada surat Al-Qasas 76-81:
101
Departemen Agama RI, Op.,Cit, hal. 420
58
Artinya: Sesungguhnya Karun adalah Termasuk kaum Musa, Maka ia Berlaku
aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah
orang yang kuat-kuat. (ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah
kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
terlalu membanggakan diri". dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.. Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta
itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya
Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya
kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah
Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang
yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai
seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang besar". Berkatalah orang-orang yang dianugerahi
ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu,
kecuali oleh orang- orang yang sabar". Maka Kami benamkanlah Karun beserta
rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang
menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang
dapat) membela (dirinya).102
3. Metode Nasihat
Al-Qur’an juga menggunakan kalimat yang menyentuh hati untuk
mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Inilah yang kemudian
dikenal dengan nasihat. Tetapi nasihat yang disampaikan ini selalu disertai dengan
panutan/ teladan dari sipemberani/penyampaian nasihat. Dalam Al-Qur’an kata
nasihat ini diulang tiga belas kali, diantaranya:
102 Ibid, hal 28-29
59
Artinya: Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku
Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku
telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang
memberi nasehat".
4. Metode pembiasaan
Cara lain yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam memberikan materi
pendidikan adalah melalui kebiasaan yang dilakukan secara bertahap, termasuk
merubah kebiasaan-kebiasaan negatif. Contohnya dalam kasus menghilangkan
kebiasaan-kebiasaan negatif. Contohnya dalam kasus menghilangkan kebiasaan
meminum khamar, Al-Qur’an memulai dengan menyatakan bahwa hal itu
merupakan kebiasaan orang-orang kafir Quraisy, dilanjutkan dengan menyatakan
bahwa didalam khamar itu ada unsur dosa dan manfaatnya, dilanjutkan dengan
larangan mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk. Kemudian dengan menyuruh
agar menjauhi minuman khamr itu.
5. Metode hukuman dan ganjaran
Muhammad Quthb mengatakan bila teladan dan nasihat tidak mampu, maka pada
waktunya diambil tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan pada
tempatnya, tindakan itu adalah hukuman. Tetapi hal ini bukan cara yang
didahulukan Islam menggunakan teladan dan nasihat tetapi juga menempuh cara
menakut-nakuti dan mengancam dengan berbagai tingkatan sampai pelaksanaan
ancaman itu. Dan ganjaran pahala diberikan kepada orang yang beriman dan
beramal dan akhlak mulia.
6. Metode ceramah
Ceramah termasuk metode yang paling banyak digunakan untuk mengajak
orang lain mengikuti ajaran Islam dan dilakukan dengan cara disesuaikan dengan
tingkat kesanggupan peserta didik yang menjadi sasaran.
60
7. Metode diskusi
Metode diskusi juga diperhatikan oleh Al-Qur’an dalam mendidik dan
mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah. Perintah Allah, agar kita mengajak
kejalan yang benar dengan hikmah dan ma’izah yang baik dan membantah
mereka dengan diskusi (Al-Mujadalah) yang baik pula.
8. Metode lainnya
Masih banyak lagi metode yang ditawarkan Al-Qur’an, tetapi kurang
populer.
Jadi dalam proses pembelajaran, banyak sekali pilihan metode yang akan
digunakan oleh guru. Disini dituntut keterampilan guru dalam memilih metode
mana yang sesuai dengan materi, siswa dan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai. Dengan kata lain metode juga menentukan keberhasilan dalam
pendidikan.
Sebagai indikator keberhasilan guru pendidikan agama Islam dalam
membina akhlak siswa sebagaimana dijelaskan oleh Jusniar Umar yaitu:
1. Taat mengabdi kepada Allah SWT
2. Bertutur kata dan berbuat baik
3. Gemar bersih dan kebersihan
4. Gemar melakukan kebiasaan-kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-
hari
5. Senantiasa melaksanakan sifat-sifat terpuji
6. Senantiasa menghindari penyakit hati.103
103Jusniar Umar, Pendidikan Umum dan Pendidikan Akhlak, (Bandaar Lampung:
Departemen Agama Fak Tarbiyah IAIN Raden Intan, 2004), hal 78