bab ii landasan teori a. kajian pustaka - portal...

32
10 BAB II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan diuraikan secara berturut-turut: kajian pustaka, landasan teori, dan kerangka berpikir A. Kajian Pustaka Penelitian stilistika memiliki keterkaitan erat dengan pemahaman terhadap penggunaan diksi, gaya bahasa, gaya wacana, citraan dalam karya sastra. Terkait dengan penelitian stilistika ini dapat dideskripsikan aneka penelitian sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kajian pustaka ini sebagai bentuk penjabaran keterkaitan dan relevansi penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dikaji dengan pendekatan stilistika dalam antologi cerpen pilihan Kompas 2014. Penelitian dengan kajian stilistika diantaranya dilakukan oleh Hartono (2003: 1) berjudul ”Stilistika Genetik: Studi Kasus Penggunaan Gaya Bahasa dalam cerpen Godlob Karya Danarto”. Dalam penelitian tersebut, Hartono meneliti cerpen “Godlob” karya Danarto. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan penggunaan piranti stilistika berupa bahasa kiasan yang terdiri dari metafora, simile, personifikasi, sinekdoke, dan metonimia, serta citraan yang terdiri dari citraan penglihatan, pendengaran, gerak, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama- sama mengkaji cerpen dengan pendekatan stilistika. Sementara itu, perbedaannya, dalam penelitian tersebut hanya dianalisis satu cerpen dan tidak dikaitkan dengan pengajaran sastra, sedangkan penelitian ini mengkaji antologi cerpen dan direlevansikan dengan pengajaran sastra, khususnya di SMK. Dengan demikian, hasil penelitian ini memiliki nilai kebermanfaatan untuk menjadi alternatif materi ajar pembelajaran cerpen di SMK sehingga penelitian ini akan semakin melengkapi penelitian sebelumnya dalam bidang stilistika. Penelitian Pradopo (1999: 95) yang berjudul “Analisis Stilistika Genetik terhadap Gaya Bahasa pada Puisi Balada Orang-orang Tercinta dan Blues untuk

Upload: dinhkhue

Post on 07-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bagian ini akan diuraikan secara berturut-turut: kajian pustaka, landasan

teori, dan kerangka berpikir

A. Kajian Pustaka

Penelitian stilistika memiliki keterkaitan erat dengan pemahaman terhadap

penggunaan diksi, gaya bahasa, gaya wacana, citraan dalam karya sastra. Terkait

dengan penelitian stilistika ini dapat dideskripsikan aneka penelitian sebelumnya

yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Kajian pustaka ini sebagai bentuk

penjabaran keterkaitan dan relevansi penelitian sebelumnya dengan penelitian

yang dikaji dengan pendekatan stilistika dalam antologi cerpen pilihan Kompas

2014.

Penelitian dengan kajian stilistika diantaranya dilakukan oleh Hartono

(2003: 1) berjudul ”Stilistika Genetik: Studi Kasus Penggunaan Gaya Bahasa

dalam cerpen Godlob Karya Danarto”. Dalam penelitian tersebut, Hartono

meneliti cerpen “Godlob” karya Danarto. Hasil penelitian yang dilakukan

menunjukkan penggunaan piranti stilistika berupa bahasa kiasan yang terdiri dari

metafora, simile, personifikasi, sinekdoke, dan metonimia, serta citraan yang

terdiri dari citraan penglihatan, pendengaran, gerak, perabaan, penciuman, dan

pengecapan. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-

sama mengkaji cerpen dengan pendekatan stilistika. Sementara itu, perbedaannya,

dalam penelitian tersebut hanya dianalisis satu cerpen dan tidak dikaitkan dengan

pengajaran sastra, sedangkan penelitian ini mengkaji antologi cerpen dan

direlevansikan dengan pengajaran sastra, khususnya di SMK. Dengan demikian,

hasil penelitian ini memiliki nilai kebermanfaatan untuk menjadi alternatif materi

ajar pembelajaran cerpen di SMK sehingga penelitian ini akan semakin

melengkapi penelitian sebelumnya dalam bidang stilistika.

Penelitian Pradopo (1999: 95) yang berjudul “Analisis Stilistika Genetik

terhadap Gaya Bahasa pada Puisi Balada Orang-orang Tercinta dan Blues untuk

11

Bonnie karya WS. Rendra” mengkaji penggunaan gaya bahasa dalam puisi. Hasil

penelitian tersebut dijelaskan mengenai penggunaan gaya bahasa Rendra yang

khas. Sarana retorika silepsis tidak begitu nampak pada kumpulan cerpen yang

diteliti namun muncul pada kumpulan cerpen yang lain. Silepsis adalah sarana

retorika yang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan mempergunakan

sebuah kata dengan dua buah kata yang lain yang sebenarnya hanya salah satunya

yang memiliki hubungan dengan kata pertama. Persamaan penelitian tersebut

dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis karya sastra dengan

pendekatan stilistika. Sementara itu, perbedaan penelitian tersebut mengkaji

puisi, sedangkan penelitian ini mengkaji cerpen. Selain itu, Pradopo secara khusus

meneliti gaya bahasa yang digunakan oleh penyair sedangkan dalam penelitian ini

dilakukan pengkajian terhadap diksi, gaya bahasa, gaya wacana, dan citraan.

Selain itu, penelitian ini juga melihat relevansinya dengan pembelajaran di SMK.

Dengan demikian, penelitian ini akan saling melengkapi untuk penguatan

penelitian stilistika dengan objek karya sastra.

Hasil penelitian Khusnin (2012: 45) berjudul “Analisis Stilistika pada

Novel Ayat-ayat Cinta (AAC) Karya Habiburahman El Shirazy dan

Implementasinya terhadap Pengajaran Sastra di Sekolah”. Dalam penelitian

tersebut ditunjukkan bahwa terdapat gaya bahasa klimaks, antiklimaks,

paralelisme, antitesis, repetisi, hiperbola, silepsis, aliterasi, litotes, asonansi,

eufemisme, pleonasme, paradoks, retoris, personifikasi, ironi, sarkasme, metafora,

perumpamaan/simile, dan metonimia. Gaya bahasa yang dominan dalam novel

AAC, yaitu gaya bahasa hiperbola. Implikasi gaya bahasa dalam novel AAC

terhadap pengajaran sastra di SMA menitikberatkan pada sumber bahan ajar.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama melakukan

analisis karya sastra dan implementasinya terhadap pengajaran sastra,

perbedaannya dalam penelitian tersebut menganalisis novel dan penelitian ini

menganalisis antologi cerpen. Selain itu dalam penelitian ini kajian stilistika tidak

hanya gaya bahasa, namun juga diksi, gaya wacana, dan citraan. Selain itu juga

dalam penelitian ini melibatkan relevansi hasil penelitian ini terhadap

12

pembelajaran sastra di SMK. Oleh karena itu, penelitian ini akan saling

melengkapi dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

Penelitian Rahmawati (2012: 1) yang berjudul “Gaya Bahasa dalam

Dwilogi Padang Bulan: Kajian Stilistika”. Hasil penelitian menunjukkan ciri khas

Andrea Hirata terlihat pada kemampuannya memadupadankan pilihan leksikal

yang bersifat teknis dengan leksikal lainnya sehingga melahirkan pengucapan

yang puitis. Penggunaan gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna

meliputi gaya bahasa retoris dan dan gaya bahasa kiasan. Persamaan penelitian

tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis stilistika pada karya

sastra. Sementara itu perbedaannya, penelitian tersebut menganalisis novel dan

penelitian ini menganalisis antologi cerpen dan merelevansikannya dengan

pengajaran sastra di SMK. Dengan demikian, penelitian ini akan semakin

melengkapi hasil penelitian sebelumnya mengenai penelitian stilistika dalam

karya sastra.

Hasil penelitian Azhar (2010: 23) berjudul “Style Bahasa SMS”. Azhar

meneliti tentang stilistika pada wacana nonsastra berupa wacana pesan singkat.

Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat style yang berhubungan

dengan gramatika, leksikon, dan grafologi. Persamaan penelitian tersebut dengan

penelitian ini adalah sama-sama melakukan penelitian dengan kajian stilistika,

namun perbedaannya penelitian tersebut menganalisis wacana nonsastra dan

penelitian ini menganalisis wacana sastra. Dengan demikian penelitian ini dapat

memberikan deskripsi terhadap penelitian stilistika dengan dengan sudut pandang

wacana sastra.

Penelitian bidang stilistika memiliki aneka perspektif dari berbagai negara.

Terkait dengan hal tersebut untuk memperkuat penelitian ini, hasil penelitian

Khan (2015: 23) melakukan penelitian dengan tajuk “Stylistic Analysis of Anna

Swell’s Black Beauty: A Poetic Prose”. Khan menemukan bahwa dalam novel

tersebut digunakan gaya bahasa anthropomorphism yang memperindah narasi

penceritaan. Perbedaan penelitian Khan dengan penelitian ini adalah subjek

kajiannya. Khan fokus meneliti gaya bahasa yang digunakan oleh penyair

13

sedangkan dalam penelitian ini dilakukan pengkajian terhadap diksi, gaya bahasa,

gaya wacana, dan citraan serta relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMK.

Sementara itu, penelitian Batool (2015: 194) berjudul “Stylistic Analysis

of Alfread Tennyson's Poem, Tears Idle Tears” dalam International Journal of

Multidisciplinary Research and Development 2015; vol. 2 no. 3 melakukan

penelitian stilistika terhadap puisi Alfred Tennyson yang berjudul “Tears, Idle

Tears”. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa gaya bahasa yang digunakan

dalam puisi bertujuan untuk mempengaruhi emosi pembaca. Persamaan penelitian

Batool dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji karya sastra melalui

pendekatan stilistika. Perbedaannya adalah penelitian tersebut terfokus pada puisi,

dan penelitian ini pada antologi cerpen serta relevansinya dengan pembelajaran

sastra di SMK.

Sejalan dengan penelitian di atas, Cunanan (2011: 25) melakukan

penelitian dengan tajuk “Using Transitivity as a Framework in a Stylistic Analysis

of Virginia Woolf’s Old Mrs. Grey” dalam Asian EFL Journal Professional

Teaching Articles. Vol. 54 Agustus 2011. Dalam penelitian tersebut ditemukan

bahwa kerangka berpikir transitivitas dapat membantu pembaca untuk menangkap

gaya pikiran yang sulit dipahami dan subjektif dari penulis atau persona dengan

memperhatikan pilihan bahasa penulis. Selain itu, hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa sastra dapat juga memberikan informasi linguistik dengan

menggunakan sistem kategorisasi kosa kata, sintaksis, dan semantik. Persamaan

penelitian ini sama-sama meneliti gaya bahasa yang digunakan penulis dalam

berkarya. Sementara itu, perbedaannya dengan penelitian ini bahwa penelitian ini

menegaskan diksi, gaya bahasa, gaya wacana, dan gaya citraan yang digunakan

pengarang dalam menuliskan karya sastranya serta relevasinya dengan

pembelajaran sastra Indonesia.

Penelitian lain dengan kajian stilistika adalah penelitian Yeibo (2012: 180)

bertajuk “Figurative Language and Stylistic Function in J. P. Clark-Bekederemo's

Poetry” yang dimuat di Journal of Language Teaching and Research, Vol. 3, No.

1, Januari 2012. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa bahasa figuratif

yang digunakan berfungsi untuk meningkatkan nilai estetik, terkait dengan situasi

14

dan fungsi tekstual. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah

sama-sama mengkaji stilistika dalam sebuah karya sastra. Perbedaannya,

penelitian tersebut terfokus pada bahasa figuratif yang digunakan, sedangkan

dalam penelitian ini turut dikaji pula mengenai diksi dan citraan serta

relevansinya dalam pengajaran sastra. Dengan demikian, penelitian ini saling

melengkapi.

Sementara itu, Aslam (2014: 56) menganalisis stilistika dengan judul

“Stylistics Analysis of The Poem Bereft by Robert Frost” dalam European Journal

of Research and Reflection in Arts and Humanities Vol. 2 No. 1, 2014. Dalam

jurnal tersebut dikemukakan bahwa puisi “Bereft” yang diteliti menceritakan

tentang perasaan kesendirian seseorang. Orang tersebut merasa sendiri tidak

hanya di rumahnya, namun juga di dunia ini. Semuanya bahkan tampak

memusuhinya, tapi dia mempunyai iman yang kuat pada Tuhan. Penyair

menggunakan metafora dan personifikasi untuk menunjukkan kekejaman alam.

Ada juga sinar harapan dalam puisi ini. Puisi tersebut menyiratkan bahwa

meskipun dibayang-bayangi dengan rasa takut dan kesepian, jika seseorang masih

beriman maka ia tidak akan pernah merasakan ketakutan tersebut. Persamaan

penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji stilistika

dalam sebuah karya sastra. Perbedaannya, penelitian tersebut terfokus pada gaya

bahasa yang digunakan, sedangkan dalam penelitian ini turut dikaji pula mengenai

diksi dan citraan serta relevansinya dalam pengajaran sastra di SMK. Oleh karena

itu, penelitian ini akan sangat melengkapi penelitian sebelumnya bidang stilistika

dalam karya sastra.

Penelitian lain dilakukan oleh Pakri (2014: 40) yang bertajuk “A stylistic

analysis of a Selected Short Story in Agnes Newton Keith’s Land below the Wind:

Narratorial shift, Ambivalence and Mimicry in Colonial Writing”. Journal

Procedia - Social and Behavioral Sciences, Vol. 134 tahun 2014. Gaya bahasa

dalam cerita pendek digunakan oleh pengarang untuk menggambarkan karakter

dan penggambaran setting cerita pendek tersebut. Analisis gaya bahasa juga bisa

digunakan untuk menunjukkan sikap pengarang yang tercermin dalam karyanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Pakri menganalisis biografi Agnes Keith dengan

15

judul Land Below the Wind yang salah satu artikelnya berjudul A Man of the River

Goes Home dengan pendekatan stilistika. A Man of the River Goes Home

merupakan salah satu cerita fiksi dari masa penjajahan di Kalimantan Utara yang

ditulis oleh Agnes Keith. Pakri menganalisis tulisan Keith tersebut dengan analisis

stilistika. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama

meneliti karya sastra dengan pendekatan stilistika. Sementara itu, perbedaaanya

penelitian ini tidak medeskripsikan gaya citraan, dan gaya wacana dalam karya

sastra secara detail. Selain itu, penelitan tersebut tidak melihat relevansinya

dengan pembelajaran sastra di SMK. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan

semakin melengkapi penelitian sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa telah ada penelitian

sebelumnya mengenai stilistika. Penelitian tersebut terdapat dalam berbagai jurnal

nasional maupun internasional. Penelitian stilistika yang dilakukan meliputi kajian

mengenai teks sastra yang berupa cerpen, novel, maupun puisi, serta teks

nonsastra yang berupa penggunaan bahasa dalam pesan singkat. Hasil penelitian

menunjukkan adanya penggunaan gaya bahasa tertentu pada masing-masing teks.

Penelitian yang dilakukan sebagian besar belum direlevansikan dengan

pembelajaran sastra, khususnya di SMK. Dengan demikian, penelitian ini

memiliki persamaan dengan penelitian sebelumnya yakni melakukan kajian

stilistika dalam teks sastra. Perbedaannya, penelitian ini secara khusus mengkaji

sebuah antologi cerpen yang berasal dari surat kabar dan direlevansikan dengan

pembelajaran sastra di SMK.

B. Landasan Teori

1. Hakikat Cerpen

a. Pengertian Cerpen

Karya sastra yang diciptakan oleh pengarang dapat berwujud novel atau

cerpen. Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen

dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang

mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah

dilupakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kosasih (2012: 431) yang

16

menjelaskan bahwa cerpen adalah penceritaan tentang tokoh yang dikisahkan

secara runtut dan dengan konteks peristiwa yang beraneka ragam, baik

menyenangkan maupun mengharukan dalam kehidupan.

Edgar Alan Poe dalam Nurgiyantoro (2007: 10), mengatakan bahwa

cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira

berkisar antara setengah sampai dua jam. Suatu hal yang kiranya tak mungkin

dilakukan untuk sebuah novel. Selain itu dijelaskan pula bahwa cerpen merupakan

cerita yang pendek, akan tetapi berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak

ada aturannya. Dalam hal ini kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuan

mengemukakan masalah yang kompleks dalam bentuk (dan waktu) yang sedikit

(Nurgiyantoro, 2007: 10).

Sementara itu, Sumardjo (2007: 14) menjelaskan bahwa cerpen merupakan

cerita yang pendek, hanya mengisahkan satu peristiwa (konflik tunggal), tetapi

menyelesaikan semua tema dan persoalan secara tuntas dan utuh. Awal cerita

(opening) ditulis secara menarik dan mudah diingat oleh pembacanya. Kemudian,

pada bagian akhir cerita (ending) ditutup dengan suatu kejutan (surprise).

Pendapat yang lain menyatakan bahwa cerita pendek, sesuai dengan namanya,

memperlihatkan ciri bahasa yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan,

isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan (Priyanti, 2010: 5).

Mengacu beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa cerpen

adalah cerita yang berbentuk prosa pendek. Cerpen habis dibaca dalam sekali

duduk, dan berisi sepenggal kehidupan tokoh. Selain itu, cerpen berkonflik

tunggal dan persoalan yang muncul diselesaikan secara tuntas dan utuh.

b. Unsur Intrinsik Cerpen

Cerpen adalah salah satu karya rekaan (fiksi), merupakan satu kesatuan

yang terdiri dari beberapa unsur. Unsur-unsur ini saling berkaitan, tidak

terpisahkan satu sama lain, dan bersama-sama membentuk cerita (Rusyana, 2001:

65). Unsur intrinsik adalah isi dari sebuah karya sastra yang berkaitan dengan

kenyataan-kenyataan di luar karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya

sastra itu hadir (Nurgiyantoro 2007: 23). Unsur intrinsik terdiri dari tema, amanat,

17

tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Bagian-bagian

tersebut saling berkaitan karena merupakan satu rangkaian struktur yang tidak

dapat dipisah-pisahkan.

Sebuah cerita yang baik tentu mempunyai tema. Menurut Zulfahnur

(dalam Wahid, 2010: 74) tema adalah ide yang mendasari karya sastra. Tema

merupakan salah satu dimensi yang amat penting dalam suatu cerita. Karena dasar

itu, pengarang dapat membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan

dibuat. Hendy (2003: 31) menjelaskan bahwa tema adalah pokok pengisahan

dalam sebuah cerita. Cerita atau karya sastra yang bermutu tidak lain karya sastra

yang bermutu baik, yaitu mampu menggugah pandangan dan perilaku negatif

menjadi positif.

Nurgiyantoro (2007: 80) menjelaskan bahwa tema adalah sebuah cerita

dapat dipahami sebagai sebuah makna. Makna yang mengikat keseluruan unsur

cerita sehingga itu hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu. Berbagai unsur fiksi

seperti alur, tokoh sudut pandang, latar dan sebgainya berkaitan secara sinergis

untuk bersama-sama mendukung eksistensi tema. Dalam sebuah cerita tema

jarang diungkap secara eksplisit, tetapi tema mampu menjiwai keseluruhan cerita.

Mengacu beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tema

dalam sebuah cerita adalah ide sentral yang mendasari suatu cerita, merupakan

gagasan dasar umum yang menopang karya sastra. Tema menjadi dasar

pengembangan sebuah cerita dan bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Oleh

karena itu, untuk menentukan sebuah tema karya sastra haruslah disimpulkan dari

seluruh cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu.

Unsur intrinsik yang kedua adalah amanat. Amanat pengarang ini terdapat

secara implisit dan eksplisit di dalam karya sastra. Implisit misalnya disiratkan

melalui tingkah laku tokoh-tokoh ceritanya. Eksplisit, bisa di dalam, di tengah,

dan di akhir cerita pengarang menyampaikan pesan, saran, nasihat, dan pemikiran.

Sutedjo (2010: 28) menyatakan bahwa pesan atau amanat dapat berupa pesan

moral yang ingin disampaikan, pesan religiusitas, nilai dari kritik sosial, dan

sebagainya. Dari paparan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa

amanat cerita adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang.

18

Unsur instrinsik yang ketiga adalah tokoh. Tokoh merupakan unsur cerita

yang sangat penting, sebab tidak ada cerita tanpa kehadiran tokoh. Tokoh-tokoh

dalam cerita berrsifat unik, tokoh yang satu selalu berbeda dengan yang lainnya.

Tokoh inilah yang mengalami peristiwa dalam cerita.

Tokoh merupakan unsur yang paling penting dalam sebuah cerita karena

tanpa kehadiran tokoh, cerita menjadi tidak hidup. Nurgiyantoro (2007: 74)

mengemukakan bahwa istilah tokoh dapat menunjuk pada tokoh dan perwatakan

tokoh. Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi tokoh lain yang ditimpakan

kepadanya. Dalam cerita tokoh bisa berupa manusia, binatang atau makhluk atau

objek lain.

Sutedjo (2010: 12) menjelaskan bahwa tokoh merujuk pada apa yang

disebut karakter atau perwatakan. Secara garis besar perwatakan tokoh atau

penokohan dapat diungkap lewat dua macam cara: (1) cara langsung

(ekspositorik) yakni cara langsung atau uraian (telling), mengungkapkan karakter

tokoh secara langsung dan diuraikan oleh pengarang. Pengarang secara jelas

menguraikan atau mendepskripsikan watak tokoh dan (2) cara tidak langsung

(dramatik) yakni mengungkapkan karakter tokoh-tokoh secara tidak langsung

lewat alur cerita. Jadi watak tidak diuraikan dan didepskripsikan secara serta

merta begitu saja, melainkan diungkap secara terselubung lewat cerita

(Nurgiyantoro, 2005: 79).

Senada dengan hal tersebut, Wahid (2004: 77) menjelaskan bahwa ada

beberapa cara yang digunakan untuk memahami watak pelaku atau pribadi tokoh

cerita, yaitu: tuturan pengarang terhadap karakteristik perilakunya; gambaran yang

diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara

berpakaiannya; menunjukkan bagaimana perilakunya; melihat bagaimana tokoh

itu berbicara sendiri; memahami bagaimana jalan pikirannya; melihat bagaimana

tokoh lain berbicara. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

tokoh adalah aktor utama dalam cerita yang memiliki karakter tertentu dan

mengalami peristiwa di dalam cerita pendek.

Unsur intrinsik yang keempat adalah alur. Saxby (Nurgiyantoro, 2007: 68)

menjelaskan bahwa alur merupakan aspek utama dan utama yang harus

19

dipertimbangkan karena aspek inilah yang menentukan menarik tidaknya cerita

dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total mengikuti cerita.

Alur membuar segala sesuatu yang dikidahkan bergerak dan terjadi. Alur

menghadirkan cerita, dan cerita itulah yang dicari untuk dinikmati oleh pembaca.

Alur berkaitan dengan masalah, urutan penyajian cerita. Menurut Lukens

(dalam Nurgiyantoro, 2007: 68) alur merupakan urutan kejadian yang

memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya. Pembicaraan alur akan

melibatkan peristiwa dan aksi yang dilakukan dan ditimpakan kepada tokoh cerita.

Misalnya, peristiwa atau aksi apa saja yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita atau

sebaliknya yang ditimpakan kepada tokoh cerita, baik peristiwa atau aksi yang

hebat, menarik, menegangkan, menjengkelkan, menakutkan, mengharukan,

maupun untuk kategori yang lain, baik untuk dan oleh tokoh protagonis maupun

antagonis. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2007: 72) kesederhanaan alur cerita

dapat dilihat dari tiga hal yakni masalah dan konflik yang dikisahkan sederhana

berkisar pada permasalahan yang masih bias dijangkau pembaca; hubungan antara

peristiwa harus jelas (misalnya hubungan sebab akibat); urutan peristiwa linear

dan runtut. Sementara itu, Sutedjo (2010: 17) menjelaskan bahwa alur adalah

keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerita.

Dari pemaparan yang dikemukakan di atas, dapatlah dipahami bahwa alur

cerita adalah rangkaian peristiwa yang direka atau diungkapkan dalam sebuah

cerita. Alur tersebut berguna untuk mengharapkan pembaca terhadap jalannya

cerita. Semakin jelas alurnya, semakin menarik juga cerita tersebut. Tetapi

sebaliknya, ketidakjelasan alur cerita yang diuraikan dan pembaca makin tidak

paham dengan apa yang dikisahkan.

Unsur berikutnya adalah latar cerita. Pada dasarnya, setiap karya sastra

yang membentuk cerita selalu memiliki latar. Latar adalah situasi tempat, ruang

dan waktu terjadinya cerita. Dalam hal ini, penggunaan latar sangat mendukung

terciptanya karya sastra dan menarik perhatian para pembaca atau pemikat cerita

(sastra). Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, mengarahkan pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Wahid, 2004: 80). Dalam

20

prosa fiksi, biasanya latar dibedakan empat tipe, yaitu latar alam (geographic

setting), latar waktu (temporal setting), latar social (social setting) dan latar ruang

(spatial setting).

Unsur berikutnya adalah sudut pandang. Sutedjo (2010: 22) menjelaskan

bahwa sudut pandang adalah sebuah cara cerita itu dikisahkan. Sudut pandang

merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana

menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita

dalam sebuah karya fiksi. Sedangkan menurut Wahid (2004:38) sudut pandang

adalah tempat penceritaan dalam hubungannya dengan cerita, dari aspek sudut

mana pencerita menyampaikan kisahnya. Sudut pandang dilihat dari aspek posisi

penceritaan. Sudut pandang ada tiga macam yaitu: 1) Pengarang terlibat (other

participant), pengarang ikut ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama atu

tokoh lama, mengisahkan tentang dirinya. Dalam cerita ini, pengarang

menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau saya) 2) Pengarang sebagai

pengamat (other obsevant), posisi pengarang sebagai pengamat dan mengisahkan

pengamatan di samping sebagi tokoh. Pengarang berada di luar cerita, dan

menggunakan kata orang ketiga (ia atau dia) dalam ceritanya. 3) Pengarang serba

tahu (other omniscient), pengarang berada di luar cerita (impersonal), tetapi serna

tahu tentang apa yang di rasa dan diperkirakan oleh tokoh cerita. Dalam kisah

pengarang memakai nama-nama orang lain (orang ketiga).

Mengacu pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut

pandang merupakan strategi, teknik, dan siasat yang sengaja dipilih pengarang.

Strategi tersebut dipergunakan untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya

dalam menampilkan pandangan hidup tokoh. Selain itu sudut pandang juga

berfungsi sebagai tafsiran terhadap kehidupan melalui sudut pandang tokoh.

2. Hakikat Stilistika

a. Pengertian Stilistika

Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia. Karya sastra

diciptakan untuk dinikmati dan diapresiasi. Dalam hal ini setiap penulis memiliki

21

cara dalam mengemukakan gagasan dan gambarannya serta gaya bahasa untuk

menghasilkan efek-efek tertentu bagi pembacanya.

Stilistika sering dikaitkan dengan bahasa sastra meskipun Chapman

menyatakan bahwa kajian ini dapat ditujukan terhadap berbagai ragam

penggunaan bahasa (Nurgiyantoro, 2007: 279). Adapun Pradopo (2000: 264)

mengartikan stilistika sebagai ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Sementara itu

Nurgiyantoro (2014: 74) menyatakan bahwa stilistika berkaitan erat dengan stile.

Bidang garapan stilistika adalah stile yakni bahasa yang dipakai dalam konteks

tertentu, dalam bahasa tertentu. Melalui kajian stilistika dapat dibedakan tanda-

tanda linguistik, ciri khas, atau tanda khusus dalam bahasa sastra dan nonsastra.

Ratna (2014: 3-5) memaparkan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya

bahasa secara umum. Stilistika dalam karya sastra merupakan bagian dari stilistika

budaya. Meskipun demikian, dengan adanya intensitas penggunaan bahasa, maka

dalam karya sastralah pemahaman stilistika paling banyak dilakukan. Sedangkan

Sutedjo (2010: 5) menjelaskan bahwa stilistika adalah ilmu yang mempelajari

tentang style. Pengertian style dalam hal ini adalah gaya bahasa termasuk di

dalamnya pilihan gaya pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan apa

yang dimaksudkan yang bersifat individual dan kolektif. Style berkaitan dengan

keunikan pengarang dalam memilih bahasa sebagai sarana estetis penulisan

karyanya.

Sementara itu, Satoto (2012: 35) menyatakan bahwa stilistika adalah

cabang ilmu sastra yang meneliti style atau gaya. Dalam hal ini style yang

dimaksud adalah cara khas yang dipergunakan oleh seseorang untuk

mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara pengungkapan

tersebut dapat meliputi setiap aspek kebahasaan yakni diksi, penggunaan bahasa

kias, bahasa pigura (figurative language), struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana

dan sarana retorika yang lain.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa

stilistika adalah ilmu tentang style atau gaya bahasa sebagai pilihan yang

digunakan oleh pengarang sebagai sarana estetis penulisan karyanya. Dalam hal

22

ini, gaya bahasa yang digunakan dapat menunjukkan keunikan atau ciri khas

masing-masing pengarang dalam berkarya.

b. Bidang Kajian Stilistika

Menurut Abrams dalam Ratna (2014: 28), stilistika kesusastraan

merupakan metode analisis karya sastra. Stilistika dimaksudkan untuk

menggantikan kritik sastra yang subjektif dan impresif dengan analisis style teks

kesastraan yang lebih bersifat objektif dan ilmiah. Fitur stilistika (stylistic

features) adalah fonologi, sintaksis, leksikal, dan retorika (rhetorical) yang

meliputi karaktertistik penggunaan diksi, gaya wacana, bahasa figuratif, citraan,

dan sebagainya.

Leech & Short dalam Nurgiyantoro (2014: 75) berpendapat bahwa unsur

stilistika (stylistic categories) meliputi unsur leksikal, gramatikal, figure of speech

serta kontak dan kohesi. Sementara itu menurut Keraf (2007: 112), gaya bahasa

meliputi semua hierarki kebahasaan, yakni pilihan kata (diksi), frase, klausa dan

kalimat, serta wacana. Pradopo (2004: 9-14) mengatakan unsur-unsur gaya bahasa

itu meliputi intonasi, bunyi, kata, kalimat, dan wacana. Sudjiman (1995: 12)

mengartikan style sebagai gaya bahasa dan gaya bahasa itu sendiri mencakup

diksi, struktur kalimat, majas, citraan, pola rima serta matra yang digunakan

seorang pengarang yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Terkait dengan hal di atas, Sayuti (2000: 174) menjelaskan bahwa unsur-

unsur yang membangun gaya bahasa seorang pengarang dalam karya sastranya

pada dasarnya meliputi diksi, citraan, dan sintaksis. Sedangkan Aminuddin (1995:

44) menjelaskan bahwa bidang kajian stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda

baca, gambar serta bentuk tanda lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata.

Merujuk beberapa pendapat tersebut, kajian stilistika karya sastra dapat dilakukan

dengan mengkaji bentuk dan tanda-tanda linguistik yang digunakan dalam

struktur lahir karya sastra sebagai media ekspresi pengarang dalam

mengemukakan gagasannya. Unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda linguistik

itu dapat berupa diksi (diction), gaya kalimat atau bentuk sintaksis, gaya wacana

(discourse), bahasa figuratif (figurative language atau figure of speech) dan

23

citraan (imagery) meliputi citraan penglihatan, pendengaran, perabaan,

penciuman, gerak, pengecapan, dan intelektual.

c. Jenis Kajian Stilistika

Stilistika memiliki berbagai jenis kajian yang digunakan sebagai

pendekatan dalam pengungkapan penggunaan bahasa. Satoto (2012: 37)

menjelaskan bahwa stilistika sebagai cabang ilmu sastra yang meneliti style atau

gaya dibedakan ke dalam stilistika deskriptif dan stilistika genetis. Stilistika

deskriptif adalah pengkajian stilistika sebagai keseluruhan ungkapan psikis yang

terkandung dalam suatu bahasa, dan meneliti nilai-nilai ekspresif khusus yang

terkandung dalam suatu bahasa, yakni secara morfologis, sintaksis, dan semantis.

Pengarang membangkitkan beberapa kemungkinan yang terkandung dalam sistem

bahasa yang bersangkutan. Stilistika genetis adalah pengkajian stilistika individual

sastrawan yang memandang gaya atau style sebagai suatu ungkapan yang khas,

atau pribadi. Melalui analisis terinci mengenai motif dan pilihan kata, dapat

dilacak visi batin seorang pengarang.

Sementara itu, Nurgiyantoro (2014: 80-82) menyampaikan bahwa dalam

stilistika moderen, terdapat dua penggolongan yakni kajian stilistika tekstualitas

dan kajian stilistika kontekstualitas. Kajian tekstualitas stilistika menjadikan teks

yang dikaji sebagai satu-satunya fokus kajian. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam

kajian sebuah teks, tidak perlu mengaitkan hal lain di luar teks itu sendiri. Kajian

stilistika kontekstualitas memandang sebaliknya, bahwa secara umum

pembicaraan tentang bahasa tidak dapat dilepaskan dari faktor konteks, yakni

dalam konteks apa bahasa tersebut dipergunakan. Dijelaskan pula bahwa konteks

akan memengaruhi bentuk bahasa yang dipakai oleh pengarang.

Sedangkan Ratna (2014: 21) menyampaikan bahwa ruang lingkup sastra

amat luas, untuk itu ruang lingkup tersebut dibedakan menjadi dua macam, yakni

ruang lingkup kaitannya dengan objek stilistika itu sendiri, dan ruang lingkup

dalam kaitannya dengan objek yang mungkin dilakukan dalam suatu aktivitas

penelitian. Ruang lingkup yang paling luas adalah keseluruhan khasanah sastra,

24

sebab akibat yang ditimbulkan oleh usaha untuk menciptakan bahasa yang khas,

baik sastra lama maupun modern.

Pada bagian yang lain, Sutedjo (2010: 5-8) menjelaskan bahwa dalam

kajian stilistika dikemukakan tiga pendekatan utama dalam memahaminya, yakni

pendekatan pragmatik, pendekatan sintagmatik, dan pendekatan semantik.

Pendekatan pragmatik menyampaikan kajian stilistika dalam pelibatan semiosis

yang penting untuk memperhatikan pengkodean style yang digambarkan dalam

kategori, penyeleksian, dan pemilihan. Pendekatan sintagmatik memahami ciri-

ciri stilistika dari sebuah kalimat didefinisikan atas dasar aturan transformasional

dalam menjalankan struktur batin yang netral secara stilistika. Pendekatan

semantik menjelaskan bahwa pendekatan ini merupakan sebuah studi tentang

mode-mode alternatif dalam pengekspresian isi yang sama.

Pendapat lain disampaikan oleh Aminuddin dalam Sutedjo (2010: 6-7)

yang menjelaskan bahwa kajian stilistika memuat tiga pendekatan, yakni

monisme, dualisme, dan pluralisme. Pendekatan monisme berupa penyikapan

wujud penggunaan sistem tanda sebagai suatu kesatuan antara bentuk dan isi.

Dalam proses reproduksi sastra, pengolahan bentuk dan gagasan terjadi secara

bersamaan. Pendekatan dualisme memandang antara unsur bentuk dan isi

merupakan sesuatu yang berbeda, sehingga pengkajian terhadap aspek bentuk

harus dibedakan dengan aspek yang menjadi isi dan makna karya. Pendekatan

pluralisme beranggapan bahwa mendekati gejala penggunaan bahasa dengan

menggunakan fungsinya. Fungsi penggunaan bahasa ini yang merujuk pada

penggunaan bahasa itu sendiri dalam berbagai fungsi estetis yang dilakukan oleh

pengarang.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disampaikan bahwa

penelitian ini menggunakan kajian stilistika deskriptif pada konsep tekstualitas

dalam khasanah sastra. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pluralis

karena meneliti bahasa yang digunakan dalam cerpen secara tekstual. Selain itu,

penelitian ini merujuk pada penggunaan bahasa dalam fungsi estetis yang

dilakukan oleh pengarang.

25

3. Stilistika dalam Kajian Sastra

a. Pilihan Kata (Diksi)

Keterbatasan kosakata yang dimiliki seseorang dalam kehidupan sehari-

hari dapat membuat seseorang tersebut mengalami kesulitan mengungkapkan

maksudnya kepada orang lain. Sebaliknya, jika seseorang terlalu berlebihan dalam

menggunakan kosa kata, dapat mempersulit diterima dan dipahaminya maksud

dari isi pesan yang hendak disampaikan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi hal

demikian, seseorang harus mengetahui dan memahami bagaimana pemakaian kata

dalam komunikasi. Salah satu yang harus dikuasai adalah diksi atau pilihan kata

. Menurut Scott dalam Al Ma’ruf (2010: 29) diksi adalah pemilihan dan

penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan. Pendapat lain dikemukakan

oleh Widyamartaya (1990: 45) yang menjelaskan bahwa diksi atau pilihan kata

adalah kemampuan seseorang membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna

sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikannya. Kemampuan tersebut

hendaknya disesuaikan dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki sekelompok

masyarakat dan pendengar atau pembaca.

Sementara itu, Sudjiman (2002: 21) menyampaikan bahwa diksi adalah

pemilihan kata untuk menyampaikan gagasan. Diksi yang baik akan berhubungan

dengan pemilihan kata yang tepat dan selaras, sesuai dengan pokok pembicaraan,

peristiwa, dan khalayak pembaca. Sedangkan pendapat lain disampaikan oleh

Aminuddin (1995: 21) yang menjelaskan bahwa diksi atau pemilihan kata

merupakan cara penggunaan kata-kata dalam sebuah teks sastra sebagai alat untuk

menyampaikan gagasan serta nilai estetis tertentu.

Diksi atau pilihan kata selalu mengandung ketepatan makna dan

kesesuaian situasi dan nilai rasa yang ada pada pembaca atau pendengar. Pendapat

lain dikemukakan oleh Keraf (2004: 24) yang menurunkan tiga kesimpulan utama

mengenai diksi, antara lain sebagai berikut: a). Pilihan kata atau diksi mencakup

pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan gagasan,

bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat. b). Pilihan kata

atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna

dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan menemukan bentuk yang

26

sesuai atau cocok dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok

masyarakat pendengar. c). Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan

penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa. Dari

beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan dan

pemakaian kata oleh pengarang dengan mempertimbangkan aspek makna kata

yaitu makna denotatif dan makna konotatif sebab sebuah kata dapat menimbulkan

berbagai pengertian.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disintesiskan bahwa diksi

atau pemilihan kata adalah pemilihan kata sebagai sarana untuk menyampaikan

gagasan secara tepat sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Selain itu

pemilihan kata juga digunakan sebagai sarana estetika dan penyampaian nilai-nilai

dalam sebuah tulisan secara lebih selaras. Diksi yang akan diteliti dalam antologi

Cerpen pilihan Kompas 2014 terdiri dari kata konkret, kata konotatif, kata serapan

dari bahasa asing, dan sapaan khas dan nama diri.

1) Kata Konkret

Salah satu jenis pilihan kata yang digunakan oleh pengarang adalah kata

konkret. Kata ini dijumpai pada hampir seluruh jenis karangan. Waluyo (2010:

94) menyatakan bahwa untuk membangkitkan imaji pembaca, kata-kata harus

diperkonkret. Apabila pengarang mengkonkretkan kata-kata, pembaca akan

dapat melihat, mendengar, atau merasakan apa yang disampaikan oleh

pengarang.

Sedangkan menurut Keraf (2007: 91) kata konkret adalah kata yang

menunjuk pada sesuatu yang dapat dilihat atau diindera secara langsung oleh

satu atau lebih dari pancaindera. Kata konkret menunjuk kepada barang yang

aktual dan spesifik dalam pengalaman. Kata konkret digunakan untuk

menyajikan gambaran yang hidup dalam pikiran pembaca melebihi kata-kata

yang lain.

Pendapat lain dikemukakan oleh Kridalaksana (2008: 132) yang

menyatakan bahwa kata konkret adalah kata dengan makna yang merujuk

kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah sesuai dengan

konvensi tertentu. Merujuk pada beberapa pendapat tersebut, dapat

27

disimpulkan bahwa kata konkret adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang

dapat dilihat langsung, bertujuan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas

kepada pembaca.

2. Kata Konotatif

Pilihan kata lain yang digunakan dalam teks sastra adalah kata konotatif.

Kata konotatif digunakan untuk memberikan penguatan imajinasi pada

pembaca atau untuk memberikan nilai rasa tertentu. Hal ini diperkuat oleh

pernyataan Keraf (2007: 29) yang menyampaikan bahwa konotatif adalah suatu

jenis makna kata yang mengandung arti tambahan, imajinasi atau nilai rasa

tertentu. Konotasi merupakan kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi, dan biasanya

bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan

kamus atau definisi utamanya. Konotasi mengacu pada makna kias atau makna

bukan sebenarnya.

Sementara itu, Al Ma’ruf (2010: 33) menyatakan bahwa kata konotatif

adalah kata dengan makna komunikatif. Makna tersebut terlepas dari makna

harfiah yang didasarkan pada perasaan, pikiran, atau persepsi pengarang

mengenai sesuatu yang dibahasakan. Sedangkan Leech dalam Keraf (2007: 23)

menjelaskan bahwa arti konotatif adalah nilai komunikatif dari suatu ungkapan

menurut apa yang diacu, melebihi isinya yang murni konseptual.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata konotatif

merupakan suatu jenis makna kata yang mengandung arti tambahan, imajinasi

atau nilai rasa tertentu. Konotatif merupakan kesan-kesan atau asosiasi-

asosiasi, dan biasanya bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di

samping batasan kamus atau definisi utamanya. Konotatif mengacu pada

makna kias atau bukan makna sebenarnya.

3) Kata Serapan dari Bahasa Asing

Kata serapan asing banyak digunakan dalam bahasa Indonesia, baik pada

teks sastra maupun nonsastra. Hal ini disebabkan oleh salah satu sifat bahasa

Indonesia yakni terbuka terhadap bahasa lain, baik asing maupun daerah.

Terkait dengan hal ini, Muslich (2010: 223) berpendapat bahwa kata serapan

asing dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan peng-Indonesiaan istilah.

28

Ada beberapa cara yang dilakukan, yang pertama adalah pungutan utuh

(adopsi) seperti pada kata semester, pilot, radio, dan sebagainya. Cara yang

kedua melalui penyesuaian (adaptasi), seperti yang berlaku pada kata ekspor

(export), pensil (pencil), telepon (telephone), dan sebagainya.

Al Ma’ruf (2012: 56) menyampaikan bahwa kata serapan adalah kata yang

dipungut dari bahasa lain, baik secara langsung maupun mengalami

penyesuaian. Kata serapan merupakan kata dari bahasa asing yang telah

disesuaikan dengan wujud atau struktur bahasa Indonesia. Berdasarkan

pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata serapan adalah kata yang

dipungut dari bahasa asing, secara utuh (adopsi), maupun telah mengalami

penyesuaian (adaptasi).

4) Kata Sapaan Khas dan Nama Diri

Kata sapaan khas dan nama diri banyak digunakan dalam teks sastra,

sebab dalam teks sastra banyak terdapat tokoh yang mendukung alur cerita.

Untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain, digunakan sapaan khas

maupun nama diri agar cerita yang disajikan lebih mudah dipahami pembaca.

Terkait dengan hal ini, Keraf (2007: 90) menyampaikan bahwa nama diri

adalah istilah yang paling khusus sehingga kata-kata tersebut tidak akan

menimbulkan salah paham. Sedangkan Uhlenbeck dalam Al Ma’ruf (2010: 34)

menjelaskan bahwa nama diri yang semata-mata hanya berfungsi sebagai

penanda identitas identik dengan nama diri yang tidak bermotivasi. Sedangkan

nama diri berfungsi sebagai simbol identik dengan nama diri yang bermotivasi.

Sejalan dengan pendapat di atas, Subroto (1999: 74) menyatakan bahwa

kata sapaan dapat berupa kata atau frasa yang digunakan untuk menyapa atau

menyebut seseorang. Penyapaan dapat didasarkan pada hubungan kekerabatan,

gelar kebangsawanan, gelar akademik, jabatan, kepangkatan, serta status sosial

di masyarakat. Pemakaian kata sapaan dapat memberikan gambaran sifat

hubungan atau kedudukan sosial dan peranan antartokoh dalam sebuah karya.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan bahwa kata

sapaan khas dan nama diri adalah kata yang digunakan untuk menyapa yang

29

didasarkan pada hubungan kekerabatan atau hubungan sosial tertentu untuk

menyebut diri seseorang dan menghindarkan dari kesalahpahaman.

b. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa

digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek.

Terkait dengan hal tersebut, Keraf (2004: 6) menyampaikan bahwa dengan

penggunaan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan.

Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara

terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita. Unsur-unsur yang

mendorong ekspresi diri antara lain: agar menarik perhatian orang lain terhadap

kita dan keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi

bahasa, di samping sebagai alat komunikasi, memungkinkan pula manusia

memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil

bagian dari pengalaman tersebut.

Pradopo (2000: 62) mengemukakan bahwa jenis majas meliputi

perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi,

metonimia, sinekdoke (synecdoche), dan alegori. Fananie (2000; 37-40)

menyatakan bahwa jenis majas meliputi persamaan atau simile, metafora,

personifikasi, alusio, eponim, epitet, alegori, sinekdoke, metonimia, hipalase,

inuenda, antifrasis, paranomasia, ironi, sinisme, dan sarkasme. Klasifikasi ini

seperti klasifikasi majas menurut Keraf (2007: 138-145) tetapi masih ada jenis

lain yang dikategorikan Keraf sebagai jenis majas yang tidak terdapat pada

klasifikasi majas menurut Fananie, yaitu antonomasia, parabel dan fabel, serta

satire.

Nurgiyantoro (2007: 298-300) menyatakan bahwa bentuk-bentuk

pemajasan yang banyak digunakan pengarang adalah simile, metafora, dan

personifikasi. Selain itu, gaya pemajasan lain yang kerap ditemui dalam berbagai

karya sastra adalah metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks. Berdasarkan

klasifikasi jenis majas menurut para ahli di atas dapat diketahui bahwa jenis majas

ada bermacam-macam dan masing-masing ahli membuat klasifikasi yang

30

berbeda-beda. Jenis majas yang akan digunakan dalam kajian teori ini meliputi

simile, metafora, personifikasi, paradoks, dan hiperbola. Berikut pembahasan

mengenai jenis majas tersebut.

a. Simile

Salah satu bagian dari majas perbandingan adalah simile. Simile adalah

perbandingan antara dua hal yang berbeda tetapi sengaja dianggap sama atau

menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata

pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan

kata-kata pembanding yang lain (Pradopo, 2000). Majas simile yang berupa

perbandingan, majas yang secara jelas menunjukkan antara kedua hal yang

diperbandingkan.

b. Metafora

Bagian lain dari majas perbandingan adalah metafora. Metafora langsung

menggantikan hal yang dibandingkan dengan pembandingnya, selain itu metafora

memberi arti yang lebih luas dan memberi gambaran yang lebih hidup daripada

majas simile (Pradopo, 2000: 66). Hubungan antara sesuatu yang dinyatakan

pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk

perbandingan eksplisit (Nurgiyantoro, 2007: 299). Oleh karena itu, metafora

disebut sebagai perbandingan antara dua hal yang berbeda secara implisit dengan

menggunakan kalimat yang singkat dan padat. Metafora merupakan gaya bahasa

yang berisi ungkapan secara langsung berupa perbandingan analogis. Metafora

merupakan pemakaian kata bukan dengan arti sebenarnya yang digunakan dalam

persamaan dan perbandingan.

c. Personifikasi

Bagian berikutnya dari majas perbandingan adalah personifikasi. Majas

personifikasi adalah majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang

tidak bernyawa atau disebut penginsanian, yaitu menyamakan benda dengan

manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti

manusia. Dengan kata lain, majas yang menggambarkan benda-benda tak

bernyawa, seolah-olah memiliki sifat-sifat insani (Pradopo, 2000: 75). Bentuk

majas ini hampir serupa dengan metafora dan simile, hanya saja dalam

31

personifikasi perbandingannya langsung dan tertentu, yaitu pemberian sifat-sifat

atau ciri-ciri manusia kepada benda-benda mati, binatang, atau suatu ide.

d. Paradoks

Salah satu bagian dari majas pertentangan adalah paradoks. Paradoks

adalah majas yang menggunakan dua perkataan yang bertentangan. Paradoks

merupakan majas yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya

hal itu tidak sungguh-sungguh bila kita pikirkan atau rasakan atau dengan kata

lain paradoks merupakan penekanan penuturan yang sengaja menampilkan unsur

pertentangan di dalamnya

e. Hiperbola

Bagian lain dari majas pertentangan adalah hiperbola. Hiperbola adalah

majas yang mengandung pernyataan yang berlebih lebihan, baik dalam jumlah,

ukuran maupun sifatnya. Hiperbola adalah cara penuturan yang bertujuan

menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya (Nurgiyantoro, 1995:

300). Menurut Keraf (2007: 135), hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang

mengandung pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.

Hiperbola termasuk jenis majas karena hiperbola tidak mengandung makna

harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan menunjuk makna yang tersirat.

Hiperbola digunakan untuk memperbesar kenyataan atau emosi dan merupakan

suatu cara uatuk menunjukkan pentingnya suatu masalah.

f. Metonimia

Salah satu bagian dari majas pertautan adalah metonimia. Menurut

Nurgiyantoro (2014: 243) metonimia adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan

adanya pertautan atau pertalian yang dekat antara kata-kata yang disebut dengan

makna yang sesungguhnya. Pengungkapan yang dimaksud dapat berupa

penggunaan nama benda yang lain seperti merek, atribut, atau ciri khas.

g. Sinekdoke

Bagian lain dari majas pertautan adalah sinekdoke. Nurgiyantoro (2014:

244) menyampaikan bahwa majas sinekdoke adalah sebuah ungkapan dengan cara

menyebut bagian tertentu yang penting dari sesuatu untuk sesuatu itu sendiri.

Dalam majas sinekdoke terdapat dua kategori penyebutan yang berkebalikan.

32

Pertama, pernyataan yang hanya menyebut sebagian atau bagian tertentu dari

sesuatu, tetapi itu dimaksudkan untuk menyatakan keseluruhan sesuatu tersebut,

dan majas itu disebut pars pro toto. Kedua, penyebutan kebalikannya, yaitu

pernyataan yang menyebut sesuatu secara keseluruhan, namun sebenarnya itu

untuk sebagian dari sesuatu tersebut dan dinamakan totem pro parte.

h. Idiom

Idiom dikenal dengan ungkapan. Idiom memiliki makna yang tidak dapat

dijelaskan menurut kaidah umum yang berlaku dalam suatu bahasa. Terkait

dengan hal ini, Keraf (2007: 109) menyatakan bahwa yang disebut idiom adalah

pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum,

biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak dapat diterangkan secara logis

atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang

membentuknya.

Sementara itu, Djajasudarma (2009: 20) mengungkapkan bahwa makna

idiomatik adalah makna leksikal yang terbentuk dari beberapa kata. Kata–kata

yang disusun dengan kombinasi kata lain dapat pula menghasilkan makna yang

berlainan. Dengan kata lain gabungan kata tersebut sudah memiliki makna

tersendiri yang berlainan dengan makna kata pembentuknya dan jika digabung

dengan kata lain maka maknanya akan berubah. Dari pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa idiom merupakan satuan-satuan bahasa yang yang maknanya

tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna

gramatikal satuan-satuan tersebut, dan memunculkan makna yang baru.

i. Peribahasa

Peribahasa merupakan kalimat atau kelompok kata yang tetap susunannya

dan biasanya mengiaskan suatu maksud tertentu. Terkait dengan hal ini,

Kridalaksana (2008: 189) menyampaikan bahwa peribahasa adalah kalimat atau

penggalan kalimat yang telah membeku bentuk, makna, dan fungsinya dalam

masyarakat, bersifat turun temurun, digunakan untuk penguatan maksud, memberi

nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Sedangkan Sudjiman (1993: 62)

berpendapat bahwa peribahasa merupakan ungkapan atau kalimat-kalimat ringkas,

padat, yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, dan aturan tingkah laku.

33

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peribahasa adalah kalimat yang

bentuknya tetap, ringkas, dan berisi perumpamaan, perbandingan, nasihat, dan

aturan tingkah laku.

c. Gaya Wacana

Wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dalam hirarki

gramatikal sehingga menarik untuk dikaji dari sudut pandang stilistika. Wacana

(discourse) merupakan ungkapan pikiran yang beruntun baik lisan maupun tulisan

mengenai suatu pokok. Al Ma’ruf (2012: 58) menyampaikan bahwa gaya wacana

adalah gaya bahasa dengan penggunaan lebih dari satu kalimat, kombinasi

kalimat, baik dalam prosa maupun puisi.

Pendapat lain disampaikan oleh Pradopo (dalam Al Ma’ruf, 2012: 59)

yang menjelaskan bahwa yang termasuk gaya wacana dalam wacana sastra adalah

pemanfaatan sarana retorika seperti repetisi, paralelisme, klimaks, antiklimaks,

dan gaya wacana alih kode serta campur kode. Gaya wacana campur kode dan

alih kode itu sendiri digunakan untuk memperoleh efek tertentu sesuai dengan

unsur-unsur bahasa yang digunakan.

Sedangkan Kridalaksana (2008: 40) menyatakan bahwa campur kode

adalah penggunaan satuan bahasa yang satu ke satuan bahasa yang lain untuk

memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Ada kalanya penggunaan bahasa

campuran itu menganggu pemahaman bagi pembaca yang pengetahuan bahasanya

terbatas. Akan tetapi, dalam karya sastra campur kode tersebut kadang-kadang

diperlukan atau berfungsi untuk mencapai efek tertentu. Wacana alih kode (code

switching) adalah variasi penggunaan bahasa lain dalam satu peristiwa kebahasaan

sebagai strategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi yang lain.

Gaya alih kode digunakan untuk menciptakan efek atau setting lokal, nasional,

dan universal atau gagasan dalam bidang ilmu tertentu sesuai dengan gagasan

dalam karya sastra. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan

bahwa gaya wacana adalah gaya yang digunakan dalam beberapa kalimat yang

meliputi sarana retorika yakni repetisi, klimaks, antiklimaks, campur kode, dan

alih kode.

34

d. Citraan

Karya sastra banyak memanfaatkan kekuatan citraan untuk melukiskan

sesuatu agar mudah diimajinasikan oleh pembaca atau pendengar. Mitchell (dalam

Nurgiyantoro, 2005: 345) menjelaskan bahwa istilah citraan (pencitraan) dapat

dipakai secara bergantian dengan imajian (pengimajian); citraan atau imajian

(imagery) berkaitan dengan citra atau imaji (image). Imaji itu sendiri dapat

dipahami sebagai gambaran pengalaman indera secara konkret yang dibangkitkan

lewat kata, sedang citraan atau imajian adalah kumpulan citra, imaji. Jadi, dengan

adanya lukisan imaji tersebut kita seolah-olah dapat melihat dan mendengar

sesuatu secara konkret lewat rongga imajinasi, dan bukannya melihat dan

mendengar lewat mata telanjang. Imaji adalah kata-kata yang sengaja

dipergunakan pengarang untuk mengonkretkan pelukisan yang membantu

pembaca untuk melihat, mendengar, merasakan, dan menyentuh berbagai

pengalaman yang diungkapkan.

Citraan sebagai salah satu unsur karya sastra menduduki peranan yang

sangat penting. Bahkan karena pentingnya anggapan bahwa bahasa dan karya

sastra selalu berupa majas. Tentu saja tidaklah demikian. Menurut Abrams

(melalui Nurgiyantoro, 2007: 304) dalam dunia kesastraan dikenal dengan istilah

citra (image) dan pencitraaan (imagery) yang keduanya mengarah pada adanya

reproduksi mental. Citra merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang

diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman sensoris yang

dibangkitkan oleh kata-kata. Pencitraan merupakan kumpulan cerita (the

collection of images) yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan kualitas

tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi

secara harfiah maupun secara kias.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra berkaitan dengan indera

sedangkan citraan adalah representasi gambaran pikiran dalam bahasa, citra

adalah gambaran pikiran dan citraan merupakan gambaran-gambaran pikiran yang

dilukiskan melalui bahasa. Menurut Sayuti (2003: 169-170) munculnya pencitraan

merupakan bagian dari pengalaman keinderaan seorang pembaca dengan ditandai

adanya suatu kesan yang terbentuk dalam rongga imajinasi yang ditimbulkan oleh

35

sebuah kata atau serangkaian kata dan munculnya pencitraan merupakan bentuk

bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyampaikan pengalaman inderanya.

Melengkapi pendapat di atas, Waluyo (2010: 78) mengemukakan bahwa

pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang

dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran,

dan perasaan. Ungkapan pengalaman penyair itu dapat dijelmakan ke dalam

gambaran konkret mirip musik atau gambar sehingga pembaca seolah-olah

merasakan sentuhan perasaannya. Penggunaan citraan dimaksudkan untuk

mengkonkretkan gagasan yang abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang

mudah membangkitkan tanggapan imajinasi, sehingga akan memudahkan

pembaca dalam memahami karya sastra sekaligus untuk memperindah penuturan

(Nurgiyantoro, 2007: 305). Di samping itu juga untuk menimbulkan suasana yang

khusus membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, dan juga

untuk menarik perhatian (Pradopo, 2000: 79).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa istilah

citra sama artinya dengan imaji dan citraan sama dengan pengimajian. Ada

perbedaan yang tersirat antara citra dengan citraan yaitu citra artinya bayangan

atau gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan oleh sebuah kata atau

rangkaian kata (kalimat). Sedangkan citraan adalah upaya penyair untuk

membentuk kombinasi kata atau rangkaian kata yang dapat menimbulkan

bayangan atau gambaran angan terhadap pembaca. Citraan dapat diwujudkan

dengan panca indera, yaitu melalui indera penglihatan, indera pendengaran, indera

perasaan, dalam hal ini pembaca dengan pengalamannya menganggap seolah-olah

melihat, mendengar atau merasakan objek yang diungkapkannya.

Adapun macam pencitraan itu sendiri meliputi, citraan penglihatan (visual

imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan gerak (kinesthetic

imagery), citraan perabaan (tactile imagery), citraan penciuman (olfactory

imagery), citraan pencecapan (gustatory imagery), dan citraan perasaan (feeling

imagery). Uraian mengenai citraan akan dijelaskan sebagai berikut.

36

(1) Citraan Penglihatan

Citraan penglihatan adalah citraan yang ditimbulkan atau dihasilkan oleh

indera penglihatan. Citraan ini memberikan rangsangan kepada indera

penglihatan, sehingga hal-hal yang tidak terlihat, dengan citraan tersebut seolah-

olah dapat dilihat (Pradopo, 2000: 81). Citraan penglihatan dapat memberikan

gambaran kejadian, peristiwa, latar, dan sebagainya untuk memperkuat gambaran

mengenai kisah yang disajikan oleh pengarang.

(2) Citraan Pendengaran

Citraan pendengaran berkaitan dengan bunyi atau suara yang ditangkap

oleh indera pendengaran. Citraan pendengaran merupakan kategori citraan dari

satuan ungkapan yang bercirikan adanya potensi membangkitkan pengalaman

indera pendengaran sehingga seolah-olah kita mendengarkan sesuatu melalui

citraan itu (Pradopo, 2000: 87). Citraan itu dihasilkan dengan menyebutkan atau

menguraikan bunyi suara, sehingga pembaca seolah-olah mendengar sendiri

peristiwa yang digambarkan.

(3) Citraan gerak

Citraan gerak adalah citraan yang menggambarkan sesuatu yang seolah-

olah bergerak nyata. Pradopo (2000: 83) menyatakan bahwa citran gerak

ditimbulkan oleh adanya gerak. Citraan ini menimbulkan gambaran yang dinamis

dan hidup. Pada dasarnya jenis citraan ini dapat ditampilkan dalam dua bentuk.

Pertama, citraan yang menggambarkan gerak sesuatu yang memang dapat

bergerak, kedua citraan yang menggambarkan gerak sesuatu yang sesungguhnya

tidak bergerak, tetapi digambarkan dapat bergerak.

(4) Citraan Perabaan

Citraan perabaan adalah citraan yang dihasilkan oleh tanggapan indera

peraba. Citraan perabaan erat dengan citraan gerak. Citraan ini membangkitkan

pengalaman sensoris indera peraba. Citraan ini berhubungan dengan indera

peraba, rnisal kasar, keras, halus, panas, dingin, basah dan sebagainya (Badrun,

2002: 19).

37

(5) Citraan penciuman

Citraan penciuman berkaitan erat dengan penggambaran yang ditangkap

oleh indera penciuman manusia. Nurgiyantoro (2014: 283) menyatakan bahwa

citraan penciuman (olfaktori) menunjuk pada pelukisan penciuman secara

konkret. Citraan penciuman adalah citraan yang dihasilkan oleh tanggapan indera

penciuman. Citraan ini merupakan citraan yang membangkitkan pengalaman

sensoris indera penciuman. Citraan penciuman ini berkaitan dengan bau,

misalnya: harum, wangi, busuk, dan sebagainya.

(6) Citraan Pencecapan

Citraan pencecapan berkaitan dengan indera perasa manusia. Menurut Al

Ma’ruf (2012: 85) citraaan pencecapan adalah penggambaran imajinasi yang

ditimbulkan oleh indera pencecapan dalam hal ini lidah. Menurut Sayuti (2000:

111) citraan pencecapan adalah gambaran yang dihasilkan oleh tanggapan indera

pencecapan, sehingga pembaca olah-olah merasakan sesuatu yang terasa pahit,

manis, asin dan sebagainya. Dengan demikian dapat disintesiskan bahwa citraan

pencecapan merupakan penggambaran yang menunjukkan hasil olah rasa indera

lidah, misalnya manis, pahit, asam, dan sebagainya.

4. Stilistika dalam Pembelajaran Sastra

Kajian stilistika memiliki keterkaitan dengan pembelajaran sastra di

sekolah. Hal ini dapat diindikasikan pada materi pembelajaran yang berupa

pemahaman terhadap struktur teks sastra. Pemahaman struktur teks sastra tersebut

mencakup pemahaman terhadap unsur intrinsik sastra, salah satunya mengenai

penggunaan gaya bahasa. Pemahaman mengenai penggunaan gaya bahasa akan

mempermudah siswa menginterpretasi teks sastra yang sedang dipelajari.

Sejalan dengan hal di atas, Widdowson (1975: 148) menyampaikan

gagasannya bahwa stilistika merupakan sarana yang penting untuk belajar bahasa

karena menciptakan kesadaran tentang bagaimana sebuah bahasa difungsikan dan

digunakan. Dijelaskan pula bahwa pemahaman terhadap penggunaan gaya bahasa

dapat menghindarkan pembaca dari subyektivitas sebagaimana yang biasa ditemui

dalam kritik sastra. Pendapat tersebut diperkuat oleh Simpson (2004: 3) yang

38

menyampaikan bahwa pemahaman terhadap penggunaan gaya bahasa merupakan

praktik linguistik untuk studi sastra. Stilistika telah memberikan kemudahan

dalam pemahaman kritik sastra, serta memunculkan obyektivitas dan

menghindarkan dari kekakuan analisis dalam karya sastra.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Satoto (2012: 153) yang

menyatakan bahwa tujuan akhir pengajaran bahasa adalah agar siswa terampil

berbahasa. Keterampilan berbahasa menuntut serta membutuhkan kosakata yang

cukup. Kekayaan kosakata akan menentukan mutu keterampilan berbahasa

seseorang. Dengan demikian, upaya pengembangan kosakata bagi para penutur

bahasa sangat penting, dan hal itu dapat ditempuh salah satunya dengan

membelajarkan stilistika menggunakan teks sastra kepada siswa.

Sementara itu, Sutedjo (2010: 203) menyampaikan bahwa dalam

pembelajaran sastra, stilistika dapat digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan

kemenarikan gaya bahasa sastra dalam berkomunikasi. Selain itu, dapat

disampaikan pula manfaat bahasa sastra tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, setelah dipahami dengan baik, bahasa sastra yang telah dipelajari

melalui stilistika dapat digunakan untuk praktik komunikasi. Melengkapi

pendapat tersebut, Sarumpaet (2002: 30) menjelaskan bahwa kebahasaan dalam

sastra dapat memperkaya pengetahuan kebahasaan anak didik. Hal tersebut

merupakan hal yang penting, sebab bukan hanya berkaitan dengan pikiran dan

penalaran, bahasa juga memegang kunci penting dalam berkomunikasi.

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian

stilistika yang dipergunakan dalam pembelajaran sastra sangat penting.

Pemahaman penggunaan bahasa dalam teks sastra dapat mempermudah seseorang

dalam menginterpretasi teks sastra secara objektif. Selanjutnya, pemahaman

kebahasaan tersebut dapat memperkaya kosakata seseorang dan berikutnya akan

mempengaruhi kemampuan dalam berkomunikasi.

5. Pembelajaran Sastra di SMK

Pada tataran SMK, materi pembelajaran sastra termuat dalam pelajaran

bahasa Indonesia. Kurikulum tahun 2013 telah mengakomodasi pembelajaran

39

sastra dengan memberikan alokasi waktu yang cukup banyak dalam pembagian

jam tatap muka. Hal ini terlihat melalui pertambahan jumlah jam pelajaran yakni 4

jam pelajaran per minggu dari kurikulum sebelumnya (KTSP) yang hanya 2 jam

pelajaran per minggu. Selain itu pada kelas XI, dua materi awal secara berturut-

turut berkaitan dengan sastra yakni cerpen dan pantun.

Dalam Permendikbud No. 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan

Struktur Kurikulum SMK/ MAK halaman 64-65 dijelaskan mengenai kompetensi

dasar memahami cerita pendek. Kompetensi Dasar tersebut diuraikan pada KD

3.1-3.5, dan KD 4.1-4.5. Kompetensi Dasar tersebut dijabarkan melalui tabel

berikut ini.

Tabel 1. Kompetensi Dasar Kelas XI SMK

No. KD

Kompetensi Dasar

3.1 Memahami struktur dan kaidah teks cerita pendek, baik melalui lisan

maupun tulisan

3.2 Membandingkan teks cerita pendek, baik melalui lisan maupun

tulisan

3.3 Menganalisis teks cerita pendek, baik melalui lisan maupun tulisan

3.4 Mengidentifikasi teks cerpen baik secara lisan maupun tulisan

3.5 Mengevaluasi teks cerita pendek, berdasarkan kaidah-kaidah teks

baik melalui lisan maupun tulisan

4.1 Menginterpretasi makna teks cerita pendek, baik secara lisan maupun

tulisan

4.2 Memproduksi teks cerita pendek, yang koheren sesuai dengan

karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan mupun tulisan

4.3 Menyunting teks cerita pendek, sesuai dengan struktur dan kaidah

teks baik secara lisan maupun tulisan

40

4.4 Mengabstraksi teks cerita pendek, baik secara lisan maupun tulisan

4.5 Mengonversi teks cerita pendek, ke dalam bentuk yang lain sesuai

dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan

C. Kerangka Berpikir

Hakikat cerpen adalah cerita yang berbentuk prosa yang berisi sekitar lima

ribu kata dan berisi sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian dan

peristiwa yang diselesaikan secara tuntas dan utuh. Cerpen berbentuk prosa

pendek, habis dibaca dalam sekali duduk, berisi sepenggal kehidupan tokoh, dan

berkonflik tunggal. Cerpen terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur

intrinsik tersebut di antaranya adalah gaya bahasa.

Pembelajaran sastra di SMK memuat materi tentang cerita pendek, dan

salah satu unsur di dalamnya adalah mempelajari struktur cerita pendek. Dalam

struktur cerita pendek, terdapat materi pembelajaran mengenai gaya bahasa yang

digunakan dalam cerpen. Dalam ilmu linguistik, kajian mengenai gaya bahasa

dapat dilakukan melalui analisis stilistika.

Dalam perkembangan cerpen Indonesia, Kompas secara rutin

membukukan cerpen-cerpen terbaik yang pernah dimuat sepanjang kurun waktu

satu tahun. Pada tahun 2015 Kompas kembali meluncurkan buku antologi cerpen

pilihannya yang kali ini bertajuk Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon. Tajuk

tersebut diambil dari sebuah cerpen yang dianggap terbaik dari cerpen pilihan

yang dimuat. Buku ini memuat 24 cerpen yang dipilih dari cerpen yang pernah

dimuat dalam edisi Minggu surat kabar Kompas sepanjang tahun 2014.

Penelitian ini dilakukan dengan kajian stilistika untuk mengetahui

penggunaan bahasa yang terdapat dalam buku antologi Cerpen Pilihan Kompas

2014. Kajian stilistika pada buku antologi cerpen Kompas ini menitikberatkan

pada penggunaan diksi, gaya bahasa, gaya wacana dan citraan guna mendapatkan

bukti-bukti yang jelas tentang kajian stilistika yang terdapat dalam antologi cerpen

tersebut, serta memberikan pengertian yang lebih jelas mengenai pentingnya

41

stilistika dalam dunia sastra serta relevansinya dengan pengajaran sastra di SMK.

Berikut disampaikan bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini.

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

Buku Antologi Cerpen Kompas2014

Analisis Stilistika

Diksi Gaya Bahasa Citraan

Relevansi dengan Pembelajaran Sastra di SMK

Gaya Wacana