bab ii landasan teori

46
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecelakaan Kerja Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tidak terduga karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan, dan tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan disertai dengan kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berkaitan dengan hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat diartikan bahwa kecelakaan terjadi dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan (Suma’mur, 1981). Kecelakaan selalu ada penyebabnya, dan cara penggolongan sebab-sebab kecelakaan diberbagai negara juga tidak sama. Namun secara umum, sebab-sebab kecelakaan kerja dapat digolongkan sebagai berikut: 9

Upload: susenouty

Post on 18-Jun-2015

1.735 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Landasan Teori

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kecelakaan Kerja

Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan.

Tidak terduga karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan,

dan tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan disertai dengan kerugian

material ataupun penderitaan dari yang paling ringan sampai yang paling berat.

Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berkaitan dengan hubungan kerja

pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat diartikan bahwa kecelakaan terjadi

dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan (Suma’mur,

1981).

Kecelakaan selalu ada penyebabnya, dan cara penggolongan sebab-sebab

kecelakaan diberbagai negara juga tidak sama. Namun secara umum, sebab-sebab

kecelakaan kerja dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe

human acts).

Umumnya bahaya-bahaya kecelakaan yang disebabkan oleh faktor ini

antara lain:

a. Bekerja pada mesin yang bukan haknya, melupakan keamanan atau

peringatan.

b. Bekerja dengan kecepatan dan berbahaya (terlalu cepat, terlalu lambat

atau tergesa-gesa).

9

Page 2: Bab II Landasan Teori

c. Tidak memperhatikan peraturan, mengganggu orang lain, marah-

marah dan bercanda.

d. Lupa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) misalnya sumbat

telinga, masker, helm, topi dan sebagainya.

2. Keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe conditions).

Sebab-sebab kecelakaan yang ditimbulkan oleh keadaan lingkungan yang

tidak aman meliputi: kendaraan, mesin, debu, bahan kimia dan lain-lain.

Antara lain dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Perkakas, alat-alat dan bahan-bahan yang rusak, misalnya karena

sudah tua, pecah dan lain-lain.

b. Pengamanan mesin yang tidak baik atau alat-alat perkakas yang sama

sekali tanpa alat pengaman, misal gir, ban berjalan, mata pisau, pisau,

rantai dan lain-lain.

c. Keadaan lingkungan kerja yang tidak diinginkan. Misalnya banyak

timbunan, suhu yang tidak tepat, pertukaran udara yang kurang, tidak

ada penghisap debu, keadaan lingkungan yang tidak sehat dan lain-

lain.

d. Tata rumah tangga yang tidak baik.

Keadaan sakit atau gangguan kesehatan pada tenaga kerja akan

menurunkan kemampuan kerja fisik, ketajaman berpikir untuk mengambil

keputusan yang cepat dan tepat, kewaspadaan dan kecermatan yang dapat

10

Page 3: Bab II Landasan Teori

mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhadap terjadinya

kecelakaan kerja (Ridya, 2006).

Kerugian-kerugian yang disebabkan kecelakaan akibat kerja adalah

kecelakaan, kekacauan organisasi, keluhan dan kesedihan, kelainan dan cacat,

bahkan kematian. Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah, antara lain

dengan:

1. Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan

mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, perawatan dan

pemeliharaan, kontruksi, pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan

industri, tugas pengusaha dan tenaga kerja, latihan, supervisi medis, PPPK

dan pemeriksaan kesehatan.

2. Standarisasi, yaitu penerapan standar-standar resmi, setengah resmi atau

tidak resmi mengenai misalnya kontruksi yang memenuhi syarat-syarat

keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek-praktek

keselamatan dan higiene umum, atau alat perlindungan diri.

3. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan

perundangan yang diwajibkan.

4. Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan

berbahaya, pengujian alat-alat perlindungan diri, penelitian tentang

pencegahan peledakan gas dan debu, atau penelaahan tentang bahan-

bahan dan desain paling tepat untuk tambang-tambang pengangkat dan

peralatan pengangkat lainnya.

11

Page 4: Bab II Landasan Teori

5. Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis

dan patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan fisik

yang mengakibatkan kecelakaan.

6. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang

terjadi, korban, pekerjaan yang dilakukan dan sebab-sebabnya.

(Suma’mur, 1981).

2.2 Ergonomi Kerja

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ergos yang berarti bekerja dan

Nomos yang berarti hukum, sehingga ergonomi dapat diartikan sebagai ilmu yang

meneliti tentang hubungan antara orang dengan lingkungan kerjanya (the

scientific study of the relationship between man and his working environment).

Menurut Sutalaksana (2003), manfaat ergonomi adalah meningkatkan efektifitas

dan efisiensi industri pada saat yang sama dengan menyediakan tempat kerja yang

aman, sehat dan nyaman. Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga kerja, baik

sektor modern, sektor tradisional, dan informal agar dapat mencapai prestasi kerja

yang efektif dalam suasana yang tenteram, aman dan nyaman (Suma’mur, 1989).

Dalam ergonomi dikandung makna penyerasian pekerjaan dan lingkungan

terhadap orang atau sebaliknya. Lebih jauh lagi, keserasian tenaga kerja dengan

pekerjaannya merupakan suatu segi penting dalam pembinaan kualitas kehidupan

(Suma’mur, 1989).

12

Page 5: Bab II Landasan Teori

Pada dasarnya ada dua cara melihat ergonomi sebagai ilmu. Pertama,

ergonomi mengkaji manusia dalam menjalankan berbagai aktifitasnya, yang

meliputi:

1. Anthropometri, yaitu mengenai dimensi tubuh manusia.

2. Faal kerja, terutama tentang metabolisme tubuh mengeluarkan energi

untuk bekerja dan reaksi fisiologis tubuh terhadap lingkungan.

3. Biomekanika yang berkaitan dengan kekuatan, arah dan kecepatan gerak

otot tubuh serta daya tahan jaringan tubuh terhadap beban-beban mekanik,

penginderaan, yaitu tentang bagaimana manusia mengindera isyarat-

isyarat dari lingkungannya.

4. Psikologi kerja yaitu tentang berbagai aspek kejiwaan manusia dalam

bekerja.

5. Sosiologi kerja khususnya yang berkaitan dengan segi-segi manusia

sebagai makhluk sosial dalam berbagai aktifitas kerjanya.

Kedua, ergonomi adalah pemanfaatan pengetahuan tentang manusia untuk

merancang sistem-sistem kerja yang melibatkan manusia. Tujuannya adalah agar

sistem-sistem tersebut tidak membebani manusia dan agar manusia terberdayakan

penuh untuk efektifitas (E) dan efisiensi (E) sistem sementara manusia itu sendiri

dapat beraktifitas dengan aman (A), sehat (S), dan nyaman (N). Dengan konsep

ini tujuan akhir ergonomi adalah EASNE (efektif, aman, sehat, nyaman dan

efisien) (Sutalaksana, 2003).

13

Page 6: Bab II Landasan Teori

2.3 Faktor Fisik Lingkungan Kerja

Manusia dan lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang tidak

mungkin dipisahkan. Manusia dan lingkungan terjalin dalam suatu interaksi

secara terus-menerus dan hasil interaksi ini tercermin dalam keadaan dan tingkat

hidup manusia serta kondisi dan sifat lingkungan itu sendiri. Interaksi demikian

diharapkan berfungsi positif dan menghasilkan manusia dan lingkungan yang

memiliki kualitas tinggi.

Lingkungan adalah totalitas dari seluruh faktor secara keseluruhan yang

berada dalam lingkungan hidup manusia. Kondisi lingkungan kerja sangat

mempengaruhi kesehatan tenaga kerja sehingga dalam melakukan pekerjaannya

perlu dipertimbangkan adanya berbagai faktor dan potensi bahaya dan resiko di

tempat kerja yang dapat mengganggu kesehatan tenaga kerja.

Yang dapat dikategorikan sebagai faktor fisik lingkungan kerja antara lain

adalah kebisingan, debu, suhu panas atau dingin, radiasi, penerangan, vibrasi dan

lain-lain. Faktor-faktor tersebut dalam lingkungan pekerjaan bukan saja sangat

mempengaruhi produktivitas karyawan dan keselamatan jiwa mereka, tetapi juga

mempengaruhi kelangsungan dan keberhasilan perusahaan (Ridya, 2006).

2.3.1 Kebisingan

2.3.1.1 Pengertian Kebisingan

Kebisingan merupakan faktor bahaya fisik yang dapat menyebabkan

gangguan kesehatan serta kerusakan pada indera pendengaran yang dapat

14

Page 7: Bab II Landasan Teori

menimbulkan ketulian. Kebisingan juga dapat didefinisikan sebagai bunyi yang

tidak disukai, suara yang mengganggu atau bunyi yang menjengkelkan.

Mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

KEP-48/MENLH/11/1996, kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki

karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan

gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia.

Di Inggris, ada kurang lebih satu juta pekerja telah kehilangan

pendengaran akibat kebisingan. Kehilangan pendengaran mengurangi kualitas

hidup. Akibat kebisingan seseorang sering terpengaruh pada suatu keadaan,

dimana dia tidak bisa lagi menikmati musik kegemarannya atau mendengar

televisi kesukaannya. Bahkan dalam komunikasi dengan orang lain seringkali

salah arti atau salah tangkap.

Bunyi yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber suara yang

bergetar. Getaran sumber suara ini mengganggu keseimbangan molekul-molekul

udara di sekitarnya sehingga molekul-molekul udara itu ikut bergetar (Ridya,

2006).

2.3.1.2 Sumber dan Kriteria Kebisingan

Kebisingan berasal dari bunyi-bunyi yang tidak dikehendaki yang mana

didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui medis

elastis. Sedangkan yang menentukan kualitas bunyi adalah frekuensi dan

intensitasnya.

15

Page 8: Bab II Landasan Teori

Sumber kebisingan yang bernada tinggi lebih berbahaya daripada sumber

kebisingan dengan frekuensi rendah, dan kebisingan adalah suara yang kadang

kala lebih berbahaya daripada suara yang kontinyu (Ridya, 2006).

Menurut Suma’mur (1986), jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan

adalah:

1. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas, misal mesin-

mesin, kipas angin dan lain-lain.

2. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit, misal gergaji,

sirkuler, katup gas dan lain-lain.

3. Kebisingan yang terputus-putus, misal lalu lintas, suara pesawat di

lapangan udara.

4. Kebisingan implusif, misal ledakan, tembakan bedil atau meriam.

5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-51/MEN/1999

tentang nilai ambang batas faktor-faktor fisik di tempat kerja disebutkan Nilai

Ambang Batas (NAB) kebisingan adalah 85 dB untuk kerja tidak melebihi 8 jam

sehari atau 40 jam seminggu, yang masih dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa

mengakibatkan penyakit atau gangguan pendengaran.

Dari sudut pandang lingkungan, kebisingan adalah masuknya energi

(suara) ke dalam lingkungan hidup sedemikian sehingga mengganggu lingkungan

hidup. Kebisingan termasuk kategori pencemaran yang dapat menimbulkan

gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Munculnya kebisingan

16

Page 9: Bab II Landasan Teori

biasanya akan memberi dampak, baik terhadap pekerjaan maupun penduduk yang

bermukim di sekitar sumber kebisingan.

Identifikasi sumber kebisingan merupakan tahap awal yang penting untuk

melakukan dan evaluasi dampak kebisingan terhadap lingkungan serta

rekomendasi saran dan tindakan (Ridya, 2006).

2.3.1.3 Pengaruh Kebisingan

Di tempat kerja, kebisingan sering timbul dalam intensitas yang sangat

tinggi akibat penggunaan mesin dan peralatan kerja. Getaran mesin dan peralatan

kerja berubah menjadi kebisingan yang pada dasarnya adalah energi yang

terbuang. Kebisingan dengan intensitas tinggi ini dapat menimbulkan resiko

bahaya bagi kesehatan dan keselamatan pekerja.

Kebisingan di bawah 85 dB bersifat mengganggu kenyamanan kerja,

berpengaruh buruk terhadap komunikasi dan tidak menguntungkan terhadap

efisiensi. Oleh karena itu intensitas kebisingan pada suatu tempat kerja harus

sesuai dengan persyaratan kebisingan yang diperkenankan (Suma’mur, 1989).

Beberapa bentuk gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan adalah

sebagai berikut:

1. Gangguan pendengaran

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan

dengan komunikasi audio. Alat pendengaran yang berbentuk telinga

berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespon suara pada kisaran

antara 0 – 140 dB tanpa menimbulkan rasa sakit. Frekuensi yang dapat

17

Page 10: Bab II Landasan Teori

diterima oleh telinga manusia antara 20 – 20.000 Hz dan sangat sensitif

pada frekuensi 1000 – 4000 Hz.

Sensitivitas pendengaran manusia dengan suara paling lemah yang masih

bisa didengar disebut ambang pendengaran sedangkan suara paling tinggi

yang masih dapat didengar tanpa menimbulkan rasa sakit disebut ambang

rasa sakit. Kerusakan pendengaran dalam bentuk ketulian merupakan

penurunan sensitivitas yang berlangsung secara terus-menerus. Tindak

pencegahan terhadap ketulian akibat kebisingan memerlukan kriteria yang

berhubungan dengan tingkat kebisingan maksimum dan lamanya

kebisingan yang diterima.

Bising yang keras dan berulang-ulang, bisa menimbulkan hilang

pendengaran (hearing loss) sementara. Tapi kalau rangsangan itu berjalan

terus bias mengakibatkan rusak pendengaran yang tak tersembuhkan.

Contoh kriteria yang dikeluarkan oleh The Occupational Safety and

Health Administration (OSHA) disajikan pada table berikut ini:

18

Page 11: Bab II Landasan Teori

Tabel 2.1

Kriteria Resiko Kerusakan Pendengaran

(Kriteria OSHA)

No.

Lama kebisingan yang diperbolehkan

Per hari (jam)

Tingkat

Kebisingan (dB)

1 8 90

2 6 92

3 4 95

4 3 97

5 3 100

6 1,5 102

7 1 105

8 0,5 110

9 0,25 115

2. Gangguan percakapan

Kebisingan dapat mengganggu percakapan sehingga mempengaruhi

komunikasi yang sedang berlangsung baik tatap muka maupun melalui

perantara. Tingkat kenyaringan suara yang dapat mengganggu percakapan

perlu diperhatikan secara seksama karena suara yang mengganggu

percakapan sangat bergantung pada konteks suasana.

19

Page 12: Bab II Landasan Teori

Tabel 2.2

Kriteria Gangguan Percakapan di Dalam Ruangan

No. Jenis ruangan untuk keperluan

Tingkat

Kebisingan (dB)

1 Pertunjukan musik, opera 21 – 30

2 Auditorium besar, pertunjukan drama,

gereja (kondisi mendengar baik) ≤ 30

3 Studio rekaman, televise, broadcast ≤ 34

4 Auditorium kecil, kapel, konferensi ≤ 42

5 Rumah sakit, kamar tidur, pemukiman,

apartemen, hotel, motel 34 – 47

6 Kantor, rapat, kuliah, perpustakaan 38 – 47

7 Ruang tamu dan sejenisnya untuk

percakapan atau mendengarkan televisi dan

radio

34 – 47

8 Toko, kafetaria, restoran, kantor besar 42 – 52

9 Lobi, laboratorium, ruang gambar teknik 47 – 56

10 Ruang reparasi, dapur, penatu 52 – 61

11 Bengkel, ruang control pembangkit 56 – 66

20

Page 13: Bab II Landasan Teori

3. Gangguan tidur

Kualitas tidur seseorang dapat dibagi menjadi beberapa tahap mulai

keadaan terjaga sampai tidur lelap. Kebisingan dapat menyebabkan

gangguan dalam bentuk perubahan tahap tidur. Gangguan yang terjadi

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain motivasi bangun,

kenyaringan, lama kebisingan, fluktuasi kebisingan dan umur manusia.

Gangguan kebisingan terhadap tidur juga berhubungan dengan

karakteristik individual.

Batas dari kemampuan adaptasi psikologilah yang dapat menentukan

apakah kebisingan dapat ditoleransi atau tidak, dan rumusan dari batasan

itu masih sulit ditetapkan baik oleh pemerintah, pengadilan, maupun oleh

ahli yang ada. Sebagai pegangan dapat dipakai bahwa rasa terganggu akan

timbul bila kebisingan pada malam hari melebihi 3 dB dan pada malam

hari melebihi 5 dB lebih tinggi daripada tingkat bising latar belakang

(background noise) (Suma’mur, 1989).

4. Gangguan psikologis

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan psikologis seperti jengkel,

cemas dan takut. Hal ini tergantung pada intensitas, frekuensi, periode saat

dan lama kejadian, kompleksitas spektrum atau kegaduhan dan

ketidakteraturan kebisingan. Faktor-faktor tersebut digabungkan dalam

suatu skala kebisingan yang disebut perceived noiseness level (PNL) dan

dinyatakan dalam satuan PN dB.

21

Page 14: Bab II Landasan Teori

5. Gangguan produktivitas kerja

Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap pekerjaan yang sedang

dilakukan seseorang melalui gangguan psikologi dan konsentrasi sehingga

menurunkan produktivitas kerja.

6. Gangguan kesehatan

Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia apabila

manusia berada pada level suara dalam periode yang lama dan terus

menerus. Level suara 75 dB selama 8 jam per hari jika hanya berlangsung

selama satu hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan,

tetapi apabila berlangsung setiap hari terus menerus maka suatu saat akan

melewati suatu batas dimana kejadian tersebut akan menyebabkan

hilangnya pendengaran seseorang. Resiko dampak kebisingan terhadap

ketulian bervariasi terhadap musim, iklim, kondisi lingkungan dan usia

anggota populasi.

Kebisingan juga dapat menimbulkan gangguan mental emosional, yang

berupa terganggunya kenyamanan hidup, mudah marah dan menjadi lebih peka,

mudah tersinggung, serta sistem jantung dan peredaran darah yang dapat

meningkatkan frekuensi detak jantung dan tekanan darah sebagai akibat

terpicunya mekanisme hormon adrenalin.

22

Page 15: Bab II Landasan Teori

2.3.2 Pencahayaan

2.3.2.1 Pengertian

Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat objek-objek

yang dikerjakannya secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu.

Lebih dari itu, penerangan yang memadai akan memberikan kesan pemandangan

lebih baik dan lingkungan yang menyegarkan.

Permasalahan penerangan meliputi kemampuan manusia untuk melihat

sesuatu, sifat-sifat indera penglihatan, usaha-usaha yang dilakukan untuk melihat

objek lebih baik dan pengaruh penerangan terhadap lingkungan. Dalam ruang

lingkup pekerjaan, faktor yang menentukan adalah ukuran objek, derajat kontras

antara objek dan sekelilingnya, silau, dan lama waktu melihat.

Upaya mata yang melelahkan menjadi sebab kelelahan mental. Gejala-

gejalanya meliputi sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, daya

konsentrasi dan kecepatan berpikir. Lebih dari itu, apabila pekerja mencoba

mendekatkan matanya terhadap objek untuk memperbesar ukuran benda, maka

akomodasi lebih dipaksa dan mungkin terjadi penglihatan rangkap atau kabur,

yang disertai pula dengan sakit kepala di daerah atas mata (Suma’mur, 1986).

2.3.2.2 Sifat-sifat penerangan yang baik

Sifat-sifat penerangan yang baik ditentukan oleh:

1. Sinar atau cahaya yang cukup

Penerangan yang cukup merupakan satu fungsi dari beberapa variabel

yang sulit mempengaruhi dalam menentukan kemampuan untuk melihat.

23

Page 16: Bab II Landasan Teori

2. Sinar atau cahaya yang tidak berkilau atau menyilaukan

Objek yang dilihat harus bebas dari cahaya yang menyilaukan. Cahaya

yang menyilaukan dapat datang langsung dari sumber cahaya atau dari

pemantulan/pengembalian cahaya. Sinar yang berasal dari benda-benda

yang karena sifat-sifat atau pembawaan dari benda-benda yang terkena

cahaya itu sendiri, yaitu: mengkilap, licin, halus, atau berkilau. Hal inilah

yang mengganggu pekerjaan karena ia melihat langsung kepada benda itu

untuk menyelesaikan pekerjaannya. Keadaan ini dapat ditanggulangi

dengan menempatkan kembali pekerjaan-pekerjaan dan sumber-sumber

penerangan untuk mengurangi cahaya pantulan yang menuju kepada apa

yang sedang dikerjakan.

3. Tidak terdapat kontras yang tajam

Setiap kita melihat objek harus diusahakan adanya kekontrasan objek yang

satu dengan yang lain, serta latar belakang yang terdekat untuk lebih

mudah membedakannya. Bila terdapat kontras yang kurang baik maka

keadaan ini dapat diperbaiki dengan jalan menambah tingkat terang cahaya

yang diperlukan. Peningkatan kontras mungkin salah satu yang lebih

efektif dalam upaya meningkatkan kemampuan daya lihat.

4. Terangnya cahaya (Brighteness)

Terangnya cahaya yang diperlukan oleh suatu objek tergantung pada

banyaknya cahaya yang dipantulkan dari objek tersebut ke mata kita.

Penglihatan ke suatu bagian sering tergantung dari perbedaan cahaya di

antara bagian tersebut dengan latar belakangnya. Perbedaan terangnya

24

Page 17: Bab II Landasan Teori

cahaya dapat dinyatakan sebagai rasio atau perbandingan terangnya

cahaya, makin besar perbedaan rasio makin cepat tugas dilaksanakan.

5. Distribusi cahaya, bayangan dan pemancaran atau penyebaran cahaya

Pada umumnya distribusi penerangan yang merata untuk bagian-bagian

yang lebih diinginkan dalam industri, karena ini akan memungkinkan

fleksibilitas dalam lay-out dan akan membantu adanya perataan dari

terangnya cahaya.

6. Warna

Warna juga penting untuk penerangan dan penglihatan yang cukup baik.

Pengaruh adanya warna akan jelas dalam keselamatan dan kemudahan

dalam melihat. Warna juga merubah secara psikologis suatu ruangan.

Akibat yang ditimbulkan dari penerangan yang kurang baik (Suma’mur, 1986):

1. Kelelahan mata

2. Kelelahan mental

3. Keluhan-keluhan di daerah mata dan sakit kepala

4. Kerusakan alat penglihatan

5. Meningkatnya angka kecelakaan kerja

25

Page 18: Bab II Landasan Teori

Tabel 2.3

Tabel Rekomendasi Illuminansi Pelayanan Untuk Berbagai Macam Pekerjaan

Class of visual taskRecomended

Illuminance lux Typical examples

Exceptionallydifficult task

2400 or moreInspection of minute work (very small instrument); jewelry; watchmaking; hosiey and knitwear.

Normal range of task and

work places

Very difficult 1600

Extra fine bench and machine work, tool, and die making; examining and hand finishing of dark goods; dye works final perching.

Difficult

1200Clothing trade inspection; hand tailoring; hat manufacture inspection; dye works color matching.

800

Fine bench and machine work; inspection of fine work (calibrate scale, precision mechanism and instrument); extra fine painting, spraying and finishing; paint color matching.

Moderatellydifficult 600

Office work with poor contrast; drawing office boards; fine painting, spraying and finishing; proof reading; motor vehicle manufacture-final inspection; computer rooms input and output terminal.

Ordinary

400

Medium bench and machine work; routine office work typing, filling, reading, writing; inspection of medium workmotor vehicle manufacture car and chasis assembly; woodworking fine and bench machine work; enquery desks.

300

Schoolroom calkboards and charts; laundries receiving and dispatch; pharmaccutical stores; beverage manufacture-bottling and canning; bookhinding-pasting; punching and stitching; kitchens-food

26

Page 19: Bab II Landasan Teori

preparation; cooking; washing-up; staff canteens-counters.

Simple

200

Rough bench and machine works; rough visual inspection; counting; rough checking of stock part, structural steel fabrication-general areas; waiting rooms; staff canteens-general; warehouses and bulkstores-packing and dispatch.

100Live storage-rough bulky material; loading bays; office strongrooms; staff changing; locker rooms; dead storage medium.

Rough interment task 50Corridors with heavy traffic; indoor carparks; walkways and movement areas in industrial paint; stairs; restroom.

Movement and orientation

20 Corridors with light traffic

2.3.3 Temperatur

Rasa tidak nyaman penting dalam biologis, karena menyebabkan orang

mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan keseimbangan suhu.

Penyimpangan dari batas kenyamanan suhu menyebabkan perubahan secara

fungsional meluas.

Dalam rancangan suatu ruangan, lembab mempunyai pengaruh yang

sangat kecil terhadap perasaan atau suhu dalam zona nyaman asalkan waktu

berlakunya tidak terlalu lama. Walaupun demikian, mutu bangunan harus tetap

dijaga agar air tanah tidak sampai merembes melalui dinding-dinding. Lembab

tidak berpengaruh dalam menentukan perasaan atau suhu, tetapi lebih berperan

dalam menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit.

27

Page 20: Bab II Landasan Teori

Ketidaknyamanan dapat menjadi sebuah gangguan atau bahkan akan

menimbulkan efek-efek psikologis ataupun salah satu nyeri fisiologis tergantung

pada level dari pertukaran proses panasnya. Ketidaknyamanan tersebut merupakan

suatu proses biologi yang sederhana untuk semua jenis makhluk yang berdarah

panas. Hal itu adalah untuk menstimulasi agar melakukan suatu langkah utama

untuk membangun kembali proses pertukaran panas yang benar.

Ketidaknyamanan akan mengakibatkan perubahan fungsional pada organ

yang bersesuaian pada tubuh manusia. Kondisi panas yang berlebihan akan

menyebabkan lelah dan mengantuk yang dapat mengurangi prestasi dan

meningkatkan frekuensi kesalahan, mengurangi kestabilan dan meningkatnya

jumlah angka kesalahan kerja. Hal ini akan menurunkan daya kreasi tubuh

manusia untuk menghasilkan panas dengan jumlah yang lebih sedikit. Sedangkan

terlalu dingin akan menyebabkan ketidaktenangan dan mengurangi daya atensi

yang berpengaruh pada kerja mental. Di Indonesia yang menjadi masalah dalam

ketidaknyamanan temperatur adalah karena Indonesia merupakan daerah tropis

sehingga temperatur dimana-mana relatif tinggi. Di banyak tempat terasa lebih

panas karena banyaknya orang yang berdesak di ruang yang sempit atau karena

panas yang timbul dari proses produksi.

Rentang temperatur yang nyaman bagi manusia sangatlah bervariasi

tergantung pada jenis pakaian yang dipakai dan aktifitas fisik yang dilakukan.

Menurut Suma’mur (1986), suhu nikmat kerja bagi orang Indonesia adalah sekitar

24° - 26° C dengan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk cuaca atau iklim kerja

adalah 21° - 30° C dan kelembaban yang diperkenankan adalah 65% - 95%.

28

Page 21: Bab II Landasan Teori

2.3.4 Debu

Yaitu partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan

alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, peleburan, pengepakan

yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun

anorganik, misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir zat dan

sebagainya. Sebagai contoh debu batu, debu asbes, debu kapas dan lain-lain.

2.4 Statistical Safety Control

Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli keselamatan dan kesehatan kerja

(K3) telah mengungkap konsep-konsep statistik seperti safety sampling, Safe-T-

Score, dan grafik pengendali untuk melakukan pengendalian atau analisa terhadap

kinerja atau permasalahan K3. Namun cara-cara demikian dalam pelaksanaannya

belum dikombinasikan dengan teknik-teknik lainnya untuk menjadikan bagian

yang terintregasi dalam sistem K3 yang memadai, sehingga hasilnya pun belum

mencapai sasaran yang diinginkan. Dengan adanya hal ini, maka konsep tersebut

dikembangkan kembali oleh Dr. W. Edwards Demings, seorang ahli statistik

Amerika menjadi Stastical Safety Control (SSC).

Berdasarkan pengalaman Dr. Demings bahwa pendekatan statistik sangat

tepat dipakai dalam konsep pengendalian perubahan manajemen dibeberapa

perusahaan, mulai deteksi sampai pada pencegahan. Pendekatan statistik dapat

memberikan suatu metode evaluasi yang logis dan sistematis, terutama sekali

untuk menentukan kestabilan proses, kemampuan, penyebab-penyebab

29

Page 22: Bab II Landasan Teori

kecelakaan dan masalah lainnya, yang kesemuanya dibutuhkan secara

berkesinambungan oleh para konsumen (Ridya, 2006).

2.4.1 Diagram Pareto

Diagram Pareto adalah grafik yang mengurutkan klasifikasi data dengan

skala yang menurun dari kiri ke kanan. Diagram Pareto merupakan alat perbaikan

kualitas yang sangat baik, dan sangat mudah diaplikasikan untuk identifikasi

permasalahan dan pengukuran proses.

Data-data diurutkan berdasarkan klasifikasi masing-masing permasalahan.

Diagran bar ini bisa dipakai untuk menilai penurunan atau peningkatan yang

mencolok terhadap penyebab-penyebab yang teridentifikasi. Dengan diagram ini

akan diketahui permasalahan yang frekuensi kejadiannya menonjol.

Ridya (2006) mengungkapkan bahwa diagram pareto dibuat untuk

menemukan atau mengetahui masalah atau penyebab yang merupakan kunci

dalam penyelesaian masalah dan perbandingan terhadap keseluruhan. Dengan

mengetahui penyebab-penyebab yang dominan maka akan bisa menetapkan

prioritas perbaikan. Kegunaan Diagram Pareto adalah:

1. Menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi.

2. Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan yang ada dan

kumulatif secara keseluruhan.

3. Menunjukkan tingkat perbaikan setelah koreksi dilakukan pada daerah

yang terbatas

30

Page 23: Bab II Landasan Teori

4. Menunjukkan perbandingan masing-masing persoalan sebelum dan

sesudah perbaikan.

Diagram Pareto dapat diaplikasikan untuk proses perbaikan dalam

berbagai aspek permasalahan, antara lain:

1. Mengatasi problem pencapaian efisiensi/produktivitas kerja yang lebih

tinggi lagi.

2. Problem keselamatan kerja (safety).

3. Penghematan/pengendalian material, energi dan lain-lain.

4. Perbaikan sistem dan prosedur kerja.

Langkah-langkah pembuatan Diagram Pareto:

1. Menentukan metode penggolongan data: berdasarkan masalah, sebab, tipe-

tipe kesalahan dan sebagainya.

2. Menentukan frekuensi yang akan digunakan untuk mengurutkan

karakteristik.

3. Mengumpulkan data yang tepat untuk jangka waktu yang diperlukan.

4. Meringkas data dan mengurutkan kategori dari yang terbesar sampai yang

terkecil.

5. Membuat diagram, dan akan ditemukan faktor dominannya.

31

Page 24: Bab II Landasan Teori

2.4.2 Diagram Sebab Akibat

Diagram sebab akibat adalah suatu kombinasi dari garis dan simbol-

simbol yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat merepresentasikan hubungan

antara suatu akibat dan penyebab-penyebabnya. Diagram ini digunakan untuk

menganalisa dan menemukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan

dalam menentukan karakteristik output kerja. Selain itu juga digunakan untuk

menyelidiki akibat-akibat yang tidak baik dan mengambil langkah pebaikan

terhadap penyebabnya, atau akibat yang baik dan mempelajari penanganan

terhadap penyebabnya (Ridya, 2006).

Akibatnya adalah karakteristik kualitatif yang membutuhkan perbaikan,

sedangkan untuk penyebabnya masih perlu penguraian lebih lanjut dari penyebab

umumnya, misal metode kerja, material, tenaga kerja dan lingkungan kerja.

Diagram ini sangat bermanfaat dalam:

1. Menganalisis kondisi nyata dengan tujuan meningkatkan kualitas produk

atau pelayanan.

2. Mengeliminasi kondisi-kondisi yang menyebabkan keluhan dari konsumen

dan produk-produk yang gagal.

3. Standarisasi operasi yang telah ditetapkan.

4. Pendidikan dan pelatihan personil dalam pengambilan keputusan dan

mengkoreksi aktivitas yang dilakukan.

32

Page 25: Bab II Landasan Teori

Langkah-langkah membuat Diagram Sebab Akibat:

1. Tetapkan karakteristik kualitas yang akan dianalisis. Quality

Characteristics ini adalah kondisi yang ingin diperbaiki atau dikendalikan.

2. Tulis faktor-faktor penyebab utama (main causes) yang diperkirakan

merupakan sumber terjadinya penyimpangan atau yang mempunyai akibat

permasalahan yang ada tersebut.

3. Cari lebih lanjut faktor-faktor yang terperinci yang secara nyata

berpengaruh atau mempunyai akibat pada faktor-faktor penyebab utama

tersebut.

4. Pastikan bahwa semua item yang berkaitan dengan karakteristik output

benar-benar sudah dicantumkan dalam diagram.

5. Carilah faktor-faktor penyebabyang paling dominan. Dari diagram yang

sudah lengkap, yang dibuat pada langkah 3 dicari faktor-faktor penyebab

yang dominan secara berurutan dengan menggunakan diagram pareto.

2.5 Uji Validitas dan Reliabilitas

Setelah memilih untuk ukuran variabel, maka timbul sekurangnya dua

pertanyaan lain, yaitu:

1. Bagaimana reliabilitas alat pengukur?

2. Bagaimana validitasnya?

Jika validitas dan reliabilitas tidak diketahui maka akibatnya menjadi fatal

dalam memberikan kesimpulan ataupun dalam memberi alasan terhadap

hubungan-hubungan antara variabel. Bahkan secara luas, validitas dan reliabilitas

33

Page 26: Bab II Landasan Teori

mencakup mutu seluruh proses pengumpulan data sejak konsep disiapkan sampai

data siap dianalisis (Ridya, 2006).

2.5.1 Uji Validitas

Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan

data yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur.

Pengujian validitas tiap butir digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan skor

tiap butir dengan skor total yang merupakan junlah skor tiap butir.

2.5.2 Uji Reliabilitas

Instrumen yang reliabel berarti instrumen tersebut bila digunakan untuk

mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama pula (Ridya,

2006).

Reliabilitas menyangkut ketepatan alat ukur. Pengertian reliabilitas dapat

lebih mudah dipikirkan jika pertanyaan berikut dijawab:

1. Jika satu objek yang sama diukur berkali-kali dengan alat ukur yang sama,

apakah akan diperoleh hasil yang sama?

2. Apakah ukuran yang diperoleh dengan alat ukur tertentu adalah ukuran

yang sebenarnya dari objek tersebut?

3. Berapa besarnya error yang kita peroleh dengan menggunakan ukuran

tersebut terhadap objek?

34

Page 27: Bab II Landasan Teori

Suatu alat ukur disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat dipercaya

jika alat ukur itu mantap, dalam pengertian alat ukur tersebut stabil, dapat

diandalkan (dependability) dan dapat diramalkan (predictability). Suatu alat ukur

yang mantap tidak berubah-ubah pengukurannya dan dapat diandalkan karena

dengan menggunakan alat tersebut berkali-kali akan memberikan hasil yang

serupa.

Pertanyaan kedua memberikan aspek ketepatan dan akurasi. Suatu

pertanyaan atau ukuran yang akurat adalah ukuran yang cocok dengan yang ingin

diukur. Jika kedua aspek di atas digabungkan maka dapat disimpulkan bahwa alat

ukur tersebut mantap dan dapat mengukur secara cermat dan tepat. Suatu alat ukur

juga harus sedemikian sifatnya sehingga error yang terjadi, yaitu error

pengukuran yang random sifatnya, dapat ditolerir.

2.6 Uji Regresi dan Korelasi

2.6.1 Uji Regresi

Analisis regresi mempunyai tiga kegunaan yaitu deskripsi, kendali, dan

peramalan. Dalam analisis regresi dikenal dua macam variabel atau peubah, yaitu

variabel bebas, yaitu suatu variabel yang nilainya telah diketahui dan variabel

tergantung atau tidak bebas, yaitu suatu variabel yang nilainya belum diketahui

dan akan diramalkan. Suatu variabel dapat diramalkan dari variabel yang lain

apabila antara variabel yang diramalkan dengan variabel yang nilainya diketahui

terdapat hubungan atau korelasi yang signifikan.

35

Page 28: Bab II Landasan Teori

Korelasi antara kedua variabel tersebut dapat dilukiskan dalam suatu garis

yang disebut sebagai garis regresi. Garis regresi ini merupakan garis lurus (linier)

yang disebut regresi linier tetapi mungkin juga berupa garis lengkung misal

parabolik, hiperbolik dan sebagainya yang disebut regresi non linier.

Secara matematis, regresi linier dapat dituliskan dalam bentuk persamaan

sebagai berikut:

Ŷ = …………………………………………………. (2.1)

dimana:

Ŷ = variabel yang diramalkan (dependent variable)

= variable yang diketahui (independent variable)

= besarnya nilai Ŷ pada saat 0, disebut koefisien regresi

= besarnya perubahan nilai Ŷ bila nilai bertambah satu satuan,

disebut juga koefisien regresi

Untuk mencari nilai koefisien regresi menggunakan metode Least Square

sebagai berikut:

= ....................................................... (2.2)

= .................................................................. (2.3)

dimana:

= variabel yang diramalkan (dependent variable)

= variable yang diketahui (independent variable)

36

Page 29: Bab II Landasan Teori

2.6.2 Uji Korelasi

Apabila persamaan regresi telah diperoleh dan persamaan tersebut

signifikan atau ada pengaruh antara variabel bebas dan variabel tidak bebas,

langkah selanjutnya adalah menentukan sejauh mana hubungan antar variabel

tersebut dan koefisien korelasi dapat menentukan sejauh mana hubungan tersebut.

Secara matematis koefisien korelasi didapat dengan rumus:

= ......................... (2.4)

dimana:

= +1, berarti ada korelasi positif sempurna antara dan

= 0, berarti tidak ada korelasi

= -1, berarti ada korelasi negatif sempurna antara dan

2.7 Uji Normalitas Data

Untuk mengetahui apakah sebuah distribusi normal, mendekati normal

atau bisa dianggap normal, dapat dilakukan prosedur-prosedur sebagai berikut

(Ridya, 2006):

1. Melakukan uji statistic tertentu, misalnya uji Kolmogorov Smirnov, uji

Shapiro-Wilk dan sebagainya.

2. Membuat grafik dengan prosedur tertentu dan mengamati pola plot grafik

tersebut.

37

Page 30: Bab II Landasan Teori

Karena data yang digunakan adalah ordinal atau berjenjang, maka uji

normalitas yang digunakan adalah Uji Non Parametrik Kolmogorov Smirnov

yang tidak mengharuskan data berdistribusi normal. Uji Kolmogorov Smirnov

digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independent bila

datanya berbentuk ordinal yang tersusun pada table distribusi frekuensi kumulatif

dengan menggunakan kelas-kelas interval. Uji goodness of fit antara frekuensi

hasil pengamatan dengan frekuensi yang diharapkan yang tidak memerlukan

anggapan tertentu tentang bentuk distribusi populasi dari suatu sampel.

38