bab ii landasan teori
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kecelakaan Kerja
Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan.
Tidak terduga karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan,
dan tidak diharapkan karena peristiwa kecelakaan disertai dengan kerugian
material ataupun penderitaan dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berkaitan dengan hubungan kerja
pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat diartikan bahwa kecelakaan terjadi
dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan (Suma’mur,
1981).
Kecelakaan selalu ada penyebabnya, dan cara penggolongan sebab-sebab
kecelakaan diberbagai negara juga tidak sama. Namun secara umum, sebab-sebab
kecelakaan kerja dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Tindak perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe
human acts).
Umumnya bahaya-bahaya kecelakaan yang disebabkan oleh faktor ini
antara lain:
a. Bekerja pada mesin yang bukan haknya, melupakan keamanan atau
peringatan.
b. Bekerja dengan kecepatan dan berbahaya (terlalu cepat, terlalu lambat
atau tergesa-gesa).
9
c. Tidak memperhatikan peraturan, mengganggu orang lain, marah-
marah dan bercanda.
d. Lupa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) misalnya sumbat
telinga, masker, helm, topi dan sebagainya.
2. Keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe conditions).
Sebab-sebab kecelakaan yang ditimbulkan oleh keadaan lingkungan yang
tidak aman meliputi: kendaraan, mesin, debu, bahan kimia dan lain-lain.
Antara lain dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Perkakas, alat-alat dan bahan-bahan yang rusak, misalnya karena
sudah tua, pecah dan lain-lain.
b. Pengamanan mesin yang tidak baik atau alat-alat perkakas yang sama
sekali tanpa alat pengaman, misal gir, ban berjalan, mata pisau, pisau,
rantai dan lain-lain.
c. Keadaan lingkungan kerja yang tidak diinginkan. Misalnya banyak
timbunan, suhu yang tidak tepat, pertukaran udara yang kurang, tidak
ada penghisap debu, keadaan lingkungan yang tidak sehat dan lain-
lain.
d. Tata rumah tangga yang tidak baik.
Keadaan sakit atau gangguan kesehatan pada tenaga kerja akan
menurunkan kemampuan kerja fisik, ketajaman berpikir untuk mengambil
keputusan yang cepat dan tepat, kewaspadaan dan kecermatan yang dapat
10
mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhadap terjadinya
kecelakaan kerja (Ridya, 2006).
Kerugian-kerugian yang disebabkan kecelakaan akibat kerja adalah
kecelakaan, kekacauan organisasi, keluhan dan kesedihan, kelainan dan cacat,
bahkan kematian. Kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dapat dicegah, antara lain
dengan:
1. Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan
mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, perawatan dan
pemeliharaan, kontruksi, pengawasan, pengujian dan cara kerja peralatan
industri, tugas pengusaha dan tenaga kerja, latihan, supervisi medis, PPPK
dan pemeriksaan kesehatan.
2. Standarisasi, yaitu penerapan standar-standar resmi, setengah resmi atau
tidak resmi mengenai misalnya kontruksi yang memenuhi syarat-syarat
keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek-praktek
keselamatan dan higiene umum, atau alat perlindungan diri.
3. Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-ketentuan
perundangan yang diwajibkan.
4. Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan
berbahaya, pengujian alat-alat perlindungan diri, penelitian tentang
pencegahan peledakan gas dan debu, atau penelaahan tentang bahan-
bahan dan desain paling tepat untuk tambang-tambang pengangkat dan
peralatan pengangkat lainnya.
11
5. Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek fisiologis
dan patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan keadaan fisik
yang mengakibatkan kecelakaan.
6. Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan yang
terjadi, korban, pekerjaan yang dilakukan dan sebab-sebabnya.
(Suma’mur, 1981).
2.2 Ergonomi Kerja
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu Ergos yang berarti bekerja dan
Nomos yang berarti hukum, sehingga ergonomi dapat diartikan sebagai ilmu yang
meneliti tentang hubungan antara orang dengan lingkungan kerjanya (the
scientific study of the relationship between man and his working environment).
Menurut Sutalaksana (2003), manfaat ergonomi adalah meningkatkan efektifitas
dan efisiensi industri pada saat yang sama dengan menyediakan tempat kerja yang
aman, sehat dan nyaman. Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga kerja, baik
sektor modern, sektor tradisional, dan informal agar dapat mencapai prestasi kerja
yang efektif dalam suasana yang tenteram, aman dan nyaman (Suma’mur, 1989).
Dalam ergonomi dikandung makna penyerasian pekerjaan dan lingkungan
terhadap orang atau sebaliknya. Lebih jauh lagi, keserasian tenaga kerja dengan
pekerjaannya merupakan suatu segi penting dalam pembinaan kualitas kehidupan
(Suma’mur, 1989).
12
Pada dasarnya ada dua cara melihat ergonomi sebagai ilmu. Pertama,
ergonomi mengkaji manusia dalam menjalankan berbagai aktifitasnya, yang
meliputi:
1. Anthropometri, yaitu mengenai dimensi tubuh manusia.
2. Faal kerja, terutama tentang metabolisme tubuh mengeluarkan energi
untuk bekerja dan reaksi fisiologis tubuh terhadap lingkungan.
3. Biomekanika yang berkaitan dengan kekuatan, arah dan kecepatan gerak
otot tubuh serta daya tahan jaringan tubuh terhadap beban-beban mekanik,
penginderaan, yaitu tentang bagaimana manusia mengindera isyarat-
isyarat dari lingkungannya.
4. Psikologi kerja yaitu tentang berbagai aspek kejiwaan manusia dalam
bekerja.
5. Sosiologi kerja khususnya yang berkaitan dengan segi-segi manusia
sebagai makhluk sosial dalam berbagai aktifitas kerjanya.
Kedua, ergonomi adalah pemanfaatan pengetahuan tentang manusia untuk
merancang sistem-sistem kerja yang melibatkan manusia. Tujuannya adalah agar
sistem-sistem tersebut tidak membebani manusia dan agar manusia terberdayakan
penuh untuk efektifitas (E) dan efisiensi (E) sistem sementara manusia itu sendiri
dapat beraktifitas dengan aman (A), sehat (S), dan nyaman (N). Dengan konsep
ini tujuan akhir ergonomi adalah EASNE (efektif, aman, sehat, nyaman dan
efisien) (Sutalaksana, 2003).
13
2.3 Faktor Fisik Lingkungan Kerja
Manusia dan lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang tidak
mungkin dipisahkan. Manusia dan lingkungan terjalin dalam suatu interaksi
secara terus-menerus dan hasil interaksi ini tercermin dalam keadaan dan tingkat
hidup manusia serta kondisi dan sifat lingkungan itu sendiri. Interaksi demikian
diharapkan berfungsi positif dan menghasilkan manusia dan lingkungan yang
memiliki kualitas tinggi.
Lingkungan adalah totalitas dari seluruh faktor secara keseluruhan yang
berada dalam lingkungan hidup manusia. Kondisi lingkungan kerja sangat
mempengaruhi kesehatan tenaga kerja sehingga dalam melakukan pekerjaannya
perlu dipertimbangkan adanya berbagai faktor dan potensi bahaya dan resiko di
tempat kerja yang dapat mengganggu kesehatan tenaga kerja.
Yang dapat dikategorikan sebagai faktor fisik lingkungan kerja antara lain
adalah kebisingan, debu, suhu panas atau dingin, radiasi, penerangan, vibrasi dan
lain-lain. Faktor-faktor tersebut dalam lingkungan pekerjaan bukan saja sangat
mempengaruhi produktivitas karyawan dan keselamatan jiwa mereka, tetapi juga
mempengaruhi kelangsungan dan keberhasilan perusahaan (Ridya, 2006).
2.3.1 Kebisingan
2.3.1.1 Pengertian Kebisingan
Kebisingan merupakan faktor bahaya fisik yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan serta kerusakan pada indera pendengaran yang dapat
14
menimbulkan ketulian. Kebisingan juga dapat didefinisikan sebagai bunyi yang
tidak disukai, suara yang mengganggu atau bunyi yang menjengkelkan.
Mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
KEP-48/MENLH/11/1996, kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki
karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan
gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia.
Di Inggris, ada kurang lebih satu juta pekerja telah kehilangan
pendengaran akibat kebisingan. Kehilangan pendengaran mengurangi kualitas
hidup. Akibat kebisingan seseorang sering terpengaruh pada suatu keadaan,
dimana dia tidak bisa lagi menikmati musik kegemarannya atau mendengar
televisi kesukaannya. Bahkan dalam komunikasi dengan orang lain seringkali
salah arti atau salah tangkap.
Bunyi yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber suara yang
bergetar. Getaran sumber suara ini mengganggu keseimbangan molekul-molekul
udara di sekitarnya sehingga molekul-molekul udara itu ikut bergetar (Ridya,
2006).
2.3.1.2 Sumber dan Kriteria Kebisingan
Kebisingan berasal dari bunyi-bunyi yang tidak dikehendaki yang mana
didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui medis
elastis. Sedangkan yang menentukan kualitas bunyi adalah frekuensi dan
intensitasnya.
15
Sumber kebisingan yang bernada tinggi lebih berbahaya daripada sumber
kebisingan dengan frekuensi rendah, dan kebisingan adalah suara yang kadang
kala lebih berbahaya daripada suara yang kontinyu (Ridya, 2006).
Menurut Suma’mur (1986), jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan
adalah:
1. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas, misal mesin-
mesin, kipas angin dan lain-lain.
2. Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit, misal gergaji,
sirkuler, katup gas dan lain-lain.
3. Kebisingan yang terputus-putus, misal lalu lintas, suara pesawat di
lapangan udara.
4. Kebisingan implusif, misal ledakan, tembakan bedil atau meriam.
5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-51/MEN/1999
tentang nilai ambang batas faktor-faktor fisik di tempat kerja disebutkan Nilai
Ambang Batas (NAB) kebisingan adalah 85 dB untuk kerja tidak melebihi 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu, yang masih dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan pendengaran.
Dari sudut pandang lingkungan, kebisingan adalah masuknya energi
(suara) ke dalam lingkungan hidup sedemikian sehingga mengganggu lingkungan
hidup. Kebisingan termasuk kategori pencemaran yang dapat menimbulkan
gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Munculnya kebisingan
16
biasanya akan memberi dampak, baik terhadap pekerjaan maupun penduduk yang
bermukim di sekitar sumber kebisingan.
Identifikasi sumber kebisingan merupakan tahap awal yang penting untuk
melakukan dan evaluasi dampak kebisingan terhadap lingkungan serta
rekomendasi saran dan tindakan (Ridya, 2006).
2.3.1.3 Pengaruh Kebisingan
Di tempat kerja, kebisingan sering timbul dalam intensitas yang sangat
tinggi akibat penggunaan mesin dan peralatan kerja. Getaran mesin dan peralatan
kerja berubah menjadi kebisingan yang pada dasarnya adalah energi yang
terbuang. Kebisingan dengan intensitas tinggi ini dapat menimbulkan resiko
bahaya bagi kesehatan dan keselamatan pekerja.
Kebisingan di bawah 85 dB bersifat mengganggu kenyamanan kerja,
berpengaruh buruk terhadap komunikasi dan tidak menguntungkan terhadap
efisiensi. Oleh karena itu intensitas kebisingan pada suatu tempat kerja harus
sesuai dengan persyaratan kebisingan yang diperkenankan (Suma’mur, 1989).
Beberapa bentuk gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan adalah
sebagai berikut:
1. Gangguan pendengaran
Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan
dengan komunikasi audio. Alat pendengaran yang berbentuk telinga
berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespon suara pada kisaran
antara 0 – 140 dB tanpa menimbulkan rasa sakit. Frekuensi yang dapat
17
diterima oleh telinga manusia antara 20 – 20.000 Hz dan sangat sensitif
pada frekuensi 1000 – 4000 Hz.
Sensitivitas pendengaran manusia dengan suara paling lemah yang masih
bisa didengar disebut ambang pendengaran sedangkan suara paling tinggi
yang masih dapat didengar tanpa menimbulkan rasa sakit disebut ambang
rasa sakit. Kerusakan pendengaran dalam bentuk ketulian merupakan
penurunan sensitivitas yang berlangsung secara terus-menerus. Tindak
pencegahan terhadap ketulian akibat kebisingan memerlukan kriteria yang
berhubungan dengan tingkat kebisingan maksimum dan lamanya
kebisingan yang diterima.
Bising yang keras dan berulang-ulang, bisa menimbulkan hilang
pendengaran (hearing loss) sementara. Tapi kalau rangsangan itu berjalan
terus bias mengakibatkan rusak pendengaran yang tak tersembuhkan.
Contoh kriteria yang dikeluarkan oleh The Occupational Safety and
Health Administration (OSHA) disajikan pada table berikut ini:
18
Tabel 2.1
Kriteria Resiko Kerusakan Pendengaran
(Kriteria OSHA)
No.
Lama kebisingan yang diperbolehkan
Per hari (jam)
Tingkat
Kebisingan (dB)
1 8 90
2 6 92
3 4 95
4 3 97
5 3 100
6 1,5 102
7 1 105
8 0,5 110
9 0,25 115
2. Gangguan percakapan
Kebisingan dapat mengganggu percakapan sehingga mempengaruhi
komunikasi yang sedang berlangsung baik tatap muka maupun melalui
perantara. Tingkat kenyaringan suara yang dapat mengganggu percakapan
perlu diperhatikan secara seksama karena suara yang mengganggu
percakapan sangat bergantung pada konteks suasana.
19
Tabel 2.2
Kriteria Gangguan Percakapan di Dalam Ruangan
No. Jenis ruangan untuk keperluan
Tingkat
Kebisingan (dB)
1 Pertunjukan musik, opera 21 – 30
2 Auditorium besar, pertunjukan drama,
gereja (kondisi mendengar baik) ≤ 30
3 Studio rekaman, televise, broadcast ≤ 34
4 Auditorium kecil, kapel, konferensi ≤ 42
5 Rumah sakit, kamar tidur, pemukiman,
apartemen, hotel, motel 34 – 47
6 Kantor, rapat, kuliah, perpustakaan 38 – 47
7 Ruang tamu dan sejenisnya untuk
percakapan atau mendengarkan televisi dan
radio
34 – 47
8 Toko, kafetaria, restoran, kantor besar 42 – 52
9 Lobi, laboratorium, ruang gambar teknik 47 – 56
10 Ruang reparasi, dapur, penatu 52 – 61
11 Bengkel, ruang control pembangkit 56 – 66
20
3. Gangguan tidur
Kualitas tidur seseorang dapat dibagi menjadi beberapa tahap mulai
keadaan terjaga sampai tidur lelap. Kebisingan dapat menyebabkan
gangguan dalam bentuk perubahan tahap tidur. Gangguan yang terjadi
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain motivasi bangun,
kenyaringan, lama kebisingan, fluktuasi kebisingan dan umur manusia.
Gangguan kebisingan terhadap tidur juga berhubungan dengan
karakteristik individual.
Batas dari kemampuan adaptasi psikologilah yang dapat menentukan
apakah kebisingan dapat ditoleransi atau tidak, dan rumusan dari batasan
itu masih sulit ditetapkan baik oleh pemerintah, pengadilan, maupun oleh
ahli yang ada. Sebagai pegangan dapat dipakai bahwa rasa terganggu akan
timbul bila kebisingan pada malam hari melebihi 3 dB dan pada malam
hari melebihi 5 dB lebih tinggi daripada tingkat bising latar belakang
(background noise) (Suma’mur, 1989).
4. Gangguan psikologis
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan psikologis seperti jengkel,
cemas dan takut. Hal ini tergantung pada intensitas, frekuensi, periode saat
dan lama kejadian, kompleksitas spektrum atau kegaduhan dan
ketidakteraturan kebisingan. Faktor-faktor tersebut digabungkan dalam
suatu skala kebisingan yang disebut perceived noiseness level (PNL) dan
dinyatakan dalam satuan PN dB.
21
5. Gangguan produktivitas kerja
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan terhadap pekerjaan yang sedang
dilakukan seseorang melalui gangguan psikologi dan konsentrasi sehingga
menurunkan produktivitas kerja.
6. Gangguan kesehatan
Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia apabila
manusia berada pada level suara dalam periode yang lama dan terus
menerus. Level suara 75 dB selama 8 jam per hari jika hanya berlangsung
selama satu hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan,
tetapi apabila berlangsung setiap hari terus menerus maka suatu saat akan
melewati suatu batas dimana kejadian tersebut akan menyebabkan
hilangnya pendengaran seseorang. Resiko dampak kebisingan terhadap
ketulian bervariasi terhadap musim, iklim, kondisi lingkungan dan usia
anggota populasi.
Kebisingan juga dapat menimbulkan gangguan mental emosional, yang
berupa terganggunya kenyamanan hidup, mudah marah dan menjadi lebih peka,
mudah tersinggung, serta sistem jantung dan peredaran darah yang dapat
meningkatkan frekuensi detak jantung dan tekanan darah sebagai akibat
terpicunya mekanisme hormon adrenalin.
22
2.3.2 Pencahayaan
2.3.2.1 Pengertian
Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja melihat objek-objek
yang dikerjakannya secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu.
Lebih dari itu, penerangan yang memadai akan memberikan kesan pemandangan
lebih baik dan lingkungan yang menyegarkan.
Permasalahan penerangan meliputi kemampuan manusia untuk melihat
sesuatu, sifat-sifat indera penglihatan, usaha-usaha yang dilakukan untuk melihat
objek lebih baik dan pengaruh penerangan terhadap lingkungan. Dalam ruang
lingkup pekerjaan, faktor yang menentukan adalah ukuran objek, derajat kontras
antara objek dan sekelilingnya, silau, dan lama waktu melihat.
Upaya mata yang melelahkan menjadi sebab kelelahan mental. Gejala-
gejalanya meliputi sakit kepala, penurunan kemampuan intelektual, daya
konsentrasi dan kecepatan berpikir. Lebih dari itu, apabila pekerja mencoba
mendekatkan matanya terhadap objek untuk memperbesar ukuran benda, maka
akomodasi lebih dipaksa dan mungkin terjadi penglihatan rangkap atau kabur,
yang disertai pula dengan sakit kepala di daerah atas mata (Suma’mur, 1986).
2.3.2.2 Sifat-sifat penerangan yang baik
Sifat-sifat penerangan yang baik ditentukan oleh:
1. Sinar atau cahaya yang cukup
Penerangan yang cukup merupakan satu fungsi dari beberapa variabel
yang sulit mempengaruhi dalam menentukan kemampuan untuk melihat.
23
2. Sinar atau cahaya yang tidak berkilau atau menyilaukan
Objek yang dilihat harus bebas dari cahaya yang menyilaukan. Cahaya
yang menyilaukan dapat datang langsung dari sumber cahaya atau dari
pemantulan/pengembalian cahaya. Sinar yang berasal dari benda-benda
yang karena sifat-sifat atau pembawaan dari benda-benda yang terkena
cahaya itu sendiri, yaitu: mengkilap, licin, halus, atau berkilau. Hal inilah
yang mengganggu pekerjaan karena ia melihat langsung kepada benda itu
untuk menyelesaikan pekerjaannya. Keadaan ini dapat ditanggulangi
dengan menempatkan kembali pekerjaan-pekerjaan dan sumber-sumber
penerangan untuk mengurangi cahaya pantulan yang menuju kepada apa
yang sedang dikerjakan.
3. Tidak terdapat kontras yang tajam
Setiap kita melihat objek harus diusahakan adanya kekontrasan objek yang
satu dengan yang lain, serta latar belakang yang terdekat untuk lebih
mudah membedakannya. Bila terdapat kontras yang kurang baik maka
keadaan ini dapat diperbaiki dengan jalan menambah tingkat terang cahaya
yang diperlukan. Peningkatan kontras mungkin salah satu yang lebih
efektif dalam upaya meningkatkan kemampuan daya lihat.
4. Terangnya cahaya (Brighteness)
Terangnya cahaya yang diperlukan oleh suatu objek tergantung pada
banyaknya cahaya yang dipantulkan dari objek tersebut ke mata kita.
Penglihatan ke suatu bagian sering tergantung dari perbedaan cahaya di
antara bagian tersebut dengan latar belakangnya. Perbedaan terangnya
24
cahaya dapat dinyatakan sebagai rasio atau perbandingan terangnya
cahaya, makin besar perbedaan rasio makin cepat tugas dilaksanakan.
5. Distribusi cahaya, bayangan dan pemancaran atau penyebaran cahaya
Pada umumnya distribusi penerangan yang merata untuk bagian-bagian
yang lebih diinginkan dalam industri, karena ini akan memungkinkan
fleksibilitas dalam lay-out dan akan membantu adanya perataan dari
terangnya cahaya.
6. Warna
Warna juga penting untuk penerangan dan penglihatan yang cukup baik.
Pengaruh adanya warna akan jelas dalam keselamatan dan kemudahan
dalam melihat. Warna juga merubah secara psikologis suatu ruangan.
Akibat yang ditimbulkan dari penerangan yang kurang baik (Suma’mur, 1986):
1. Kelelahan mata
2. Kelelahan mental
3. Keluhan-keluhan di daerah mata dan sakit kepala
4. Kerusakan alat penglihatan
5. Meningkatnya angka kecelakaan kerja
25
Tabel 2.3
Tabel Rekomendasi Illuminansi Pelayanan Untuk Berbagai Macam Pekerjaan
Class of visual taskRecomended
Illuminance lux Typical examples
Exceptionallydifficult task
2400 or moreInspection of minute work (very small instrument); jewelry; watchmaking; hosiey and knitwear.
Normal range of task and
work places
Very difficult 1600
Extra fine bench and machine work, tool, and die making; examining and hand finishing of dark goods; dye works final perching.
Difficult
1200Clothing trade inspection; hand tailoring; hat manufacture inspection; dye works color matching.
800
Fine bench and machine work; inspection of fine work (calibrate scale, precision mechanism and instrument); extra fine painting, spraying and finishing; paint color matching.
Moderatellydifficult 600
Office work with poor contrast; drawing office boards; fine painting, spraying and finishing; proof reading; motor vehicle manufacture-final inspection; computer rooms input and output terminal.
Ordinary
400
Medium bench and machine work; routine office work typing, filling, reading, writing; inspection of medium workmotor vehicle manufacture car and chasis assembly; woodworking fine and bench machine work; enquery desks.
300
Schoolroom calkboards and charts; laundries receiving and dispatch; pharmaccutical stores; beverage manufacture-bottling and canning; bookhinding-pasting; punching and stitching; kitchens-food
26
preparation; cooking; washing-up; staff canteens-counters.
Simple
200
Rough bench and machine works; rough visual inspection; counting; rough checking of stock part, structural steel fabrication-general areas; waiting rooms; staff canteens-general; warehouses and bulkstores-packing and dispatch.
100Live storage-rough bulky material; loading bays; office strongrooms; staff changing; locker rooms; dead storage medium.
Rough interment task 50Corridors with heavy traffic; indoor carparks; walkways and movement areas in industrial paint; stairs; restroom.
Movement and orientation
20 Corridors with light traffic
2.3.3 Temperatur
Rasa tidak nyaman penting dalam biologis, karena menyebabkan orang
mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan keseimbangan suhu.
Penyimpangan dari batas kenyamanan suhu menyebabkan perubahan secara
fungsional meluas.
Dalam rancangan suatu ruangan, lembab mempunyai pengaruh yang
sangat kecil terhadap perasaan atau suhu dalam zona nyaman asalkan waktu
berlakunya tidak terlalu lama. Walaupun demikian, mutu bangunan harus tetap
dijaga agar air tanah tidak sampai merembes melalui dinding-dinding. Lembab
tidak berpengaruh dalam menentukan perasaan atau suhu, tetapi lebih berperan
dalam menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit.
27
Ketidaknyamanan dapat menjadi sebuah gangguan atau bahkan akan
menimbulkan efek-efek psikologis ataupun salah satu nyeri fisiologis tergantung
pada level dari pertukaran proses panasnya. Ketidaknyamanan tersebut merupakan
suatu proses biologi yang sederhana untuk semua jenis makhluk yang berdarah
panas. Hal itu adalah untuk menstimulasi agar melakukan suatu langkah utama
untuk membangun kembali proses pertukaran panas yang benar.
Ketidaknyamanan akan mengakibatkan perubahan fungsional pada organ
yang bersesuaian pada tubuh manusia. Kondisi panas yang berlebihan akan
menyebabkan lelah dan mengantuk yang dapat mengurangi prestasi dan
meningkatkan frekuensi kesalahan, mengurangi kestabilan dan meningkatnya
jumlah angka kesalahan kerja. Hal ini akan menurunkan daya kreasi tubuh
manusia untuk menghasilkan panas dengan jumlah yang lebih sedikit. Sedangkan
terlalu dingin akan menyebabkan ketidaktenangan dan mengurangi daya atensi
yang berpengaruh pada kerja mental. Di Indonesia yang menjadi masalah dalam
ketidaknyamanan temperatur adalah karena Indonesia merupakan daerah tropis
sehingga temperatur dimana-mana relatif tinggi. Di banyak tempat terasa lebih
panas karena banyaknya orang yang berdesak di ruang yang sempit atau karena
panas yang timbul dari proses produksi.
Rentang temperatur yang nyaman bagi manusia sangatlah bervariasi
tergantung pada jenis pakaian yang dipakai dan aktifitas fisik yang dilakukan.
Menurut Suma’mur (1986), suhu nikmat kerja bagi orang Indonesia adalah sekitar
24° - 26° C dengan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk cuaca atau iklim kerja
adalah 21° - 30° C dan kelembaban yang diperkenankan adalah 65% - 95%.
28
2.3.4 Debu
Yaitu partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan
alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, peleburan, pengepakan
yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan, baik organik maupun
anorganik, misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir zat dan
sebagainya. Sebagai contoh debu batu, debu asbes, debu kapas dan lain-lain.
2.4 Statistical Safety Control
Dalam beberapa tahun terakhir, para ahli keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) telah mengungkap konsep-konsep statistik seperti safety sampling, Safe-T-
Score, dan grafik pengendali untuk melakukan pengendalian atau analisa terhadap
kinerja atau permasalahan K3. Namun cara-cara demikian dalam pelaksanaannya
belum dikombinasikan dengan teknik-teknik lainnya untuk menjadikan bagian
yang terintregasi dalam sistem K3 yang memadai, sehingga hasilnya pun belum
mencapai sasaran yang diinginkan. Dengan adanya hal ini, maka konsep tersebut
dikembangkan kembali oleh Dr. W. Edwards Demings, seorang ahli statistik
Amerika menjadi Stastical Safety Control (SSC).
Berdasarkan pengalaman Dr. Demings bahwa pendekatan statistik sangat
tepat dipakai dalam konsep pengendalian perubahan manajemen dibeberapa
perusahaan, mulai deteksi sampai pada pencegahan. Pendekatan statistik dapat
memberikan suatu metode evaluasi yang logis dan sistematis, terutama sekali
untuk menentukan kestabilan proses, kemampuan, penyebab-penyebab
29
kecelakaan dan masalah lainnya, yang kesemuanya dibutuhkan secara
berkesinambungan oleh para konsumen (Ridya, 2006).
2.4.1 Diagram Pareto
Diagram Pareto adalah grafik yang mengurutkan klasifikasi data dengan
skala yang menurun dari kiri ke kanan. Diagram Pareto merupakan alat perbaikan
kualitas yang sangat baik, dan sangat mudah diaplikasikan untuk identifikasi
permasalahan dan pengukuran proses.
Data-data diurutkan berdasarkan klasifikasi masing-masing permasalahan.
Diagran bar ini bisa dipakai untuk menilai penurunan atau peningkatan yang
mencolok terhadap penyebab-penyebab yang teridentifikasi. Dengan diagram ini
akan diketahui permasalahan yang frekuensi kejadiannya menonjol.
Ridya (2006) mengungkapkan bahwa diagram pareto dibuat untuk
menemukan atau mengetahui masalah atau penyebab yang merupakan kunci
dalam penyelesaian masalah dan perbandingan terhadap keseluruhan. Dengan
mengetahui penyebab-penyebab yang dominan maka akan bisa menetapkan
prioritas perbaikan. Kegunaan Diagram Pareto adalah:
1. Menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi.
2. Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan yang ada dan
kumulatif secara keseluruhan.
3. Menunjukkan tingkat perbaikan setelah koreksi dilakukan pada daerah
yang terbatas
30
4. Menunjukkan perbandingan masing-masing persoalan sebelum dan
sesudah perbaikan.
Diagram Pareto dapat diaplikasikan untuk proses perbaikan dalam
berbagai aspek permasalahan, antara lain:
1. Mengatasi problem pencapaian efisiensi/produktivitas kerja yang lebih
tinggi lagi.
2. Problem keselamatan kerja (safety).
3. Penghematan/pengendalian material, energi dan lain-lain.
4. Perbaikan sistem dan prosedur kerja.
Langkah-langkah pembuatan Diagram Pareto:
1. Menentukan metode penggolongan data: berdasarkan masalah, sebab, tipe-
tipe kesalahan dan sebagainya.
2. Menentukan frekuensi yang akan digunakan untuk mengurutkan
karakteristik.
3. Mengumpulkan data yang tepat untuk jangka waktu yang diperlukan.
4. Meringkas data dan mengurutkan kategori dari yang terbesar sampai yang
terkecil.
5. Membuat diagram, dan akan ditemukan faktor dominannya.
31
2.4.2 Diagram Sebab Akibat
Diagram sebab akibat adalah suatu kombinasi dari garis dan simbol-
simbol yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat merepresentasikan hubungan
antara suatu akibat dan penyebab-penyebabnya. Diagram ini digunakan untuk
menganalisa dan menemukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan
dalam menentukan karakteristik output kerja. Selain itu juga digunakan untuk
menyelidiki akibat-akibat yang tidak baik dan mengambil langkah pebaikan
terhadap penyebabnya, atau akibat yang baik dan mempelajari penanganan
terhadap penyebabnya (Ridya, 2006).
Akibatnya adalah karakteristik kualitatif yang membutuhkan perbaikan,
sedangkan untuk penyebabnya masih perlu penguraian lebih lanjut dari penyebab
umumnya, misal metode kerja, material, tenaga kerja dan lingkungan kerja.
Diagram ini sangat bermanfaat dalam:
1. Menganalisis kondisi nyata dengan tujuan meningkatkan kualitas produk
atau pelayanan.
2. Mengeliminasi kondisi-kondisi yang menyebabkan keluhan dari konsumen
dan produk-produk yang gagal.
3. Standarisasi operasi yang telah ditetapkan.
4. Pendidikan dan pelatihan personil dalam pengambilan keputusan dan
mengkoreksi aktivitas yang dilakukan.
32
Langkah-langkah membuat Diagram Sebab Akibat:
1. Tetapkan karakteristik kualitas yang akan dianalisis. Quality
Characteristics ini adalah kondisi yang ingin diperbaiki atau dikendalikan.
2. Tulis faktor-faktor penyebab utama (main causes) yang diperkirakan
merupakan sumber terjadinya penyimpangan atau yang mempunyai akibat
permasalahan yang ada tersebut.
3. Cari lebih lanjut faktor-faktor yang terperinci yang secara nyata
berpengaruh atau mempunyai akibat pada faktor-faktor penyebab utama
tersebut.
4. Pastikan bahwa semua item yang berkaitan dengan karakteristik output
benar-benar sudah dicantumkan dalam diagram.
5. Carilah faktor-faktor penyebabyang paling dominan. Dari diagram yang
sudah lengkap, yang dibuat pada langkah 3 dicari faktor-faktor penyebab
yang dominan secara berurutan dengan menggunakan diagram pareto.
2.5 Uji Validitas dan Reliabilitas
Setelah memilih untuk ukuran variabel, maka timbul sekurangnya dua
pertanyaan lain, yaitu:
1. Bagaimana reliabilitas alat pengukur?
2. Bagaimana validitasnya?
Jika validitas dan reliabilitas tidak diketahui maka akibatnya menjadi fatal
dalam memberikan kesimpulan ataupun dalam memberi alasan terhadap
hubungan-hubungan antara variabel. Bahkan secara luas, validitas dan reliabilitas
33
mencakup mutu seluruh proses pengumpulan data sejak konsep disiapkan sampai
data siap dianalisis (Ridya, 2006).
2.5.1 Uji Validitas
Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan
data yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur.
Pengujian validitas tiap butir digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan skor
tiap butir dengan skor total yang merupakan junlah skor tiap butir.
2.5.2 Uji Reliabilitas
Instrumen yang reliabel berarti instrumen tersebut bila digunakan untuk
mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama pula (Ridya,
2006).
Reliabilitas menyangkut ketepatan alat ukur. Pengertian reliabilitas dapat
lebih mudah dipikirkan jika pertanyaan berikut dijawab:
1. Jika satu objek yang sama diukur berkali-kali dengan alat ukur yang sama,
apakah akan diperoleh hasil yang sama?
2. Apakah ukuran yang diperoleh dengan alat ukur tertentu adalah ukuran
yang sebenarnya dari objek tersebut?
3. Berapa besarnya error yang kita peroleh dengan menggunakan ukuran
tersebut terhadap objek?
34
Suatu alat ukur disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat dipercaya
jika alat ukur itu mantap, dalam pengertian alat ukur tersebut stabil, dapat
diandalkan (dependability) dan dapat diramalkan (predictability). Suatu alat ukur
yang mantap tidak berubah-ubah pengukurannya dan dapat diandalkan karena
dengan menggunakan alat tersebut berkali-kali akan memberikan hasil yang
serupa.
Pertanyaan kedua memberikan aspek ketepatan dan akurasi. Suatu
pertanyaan atau ukuran yang akurat adalah ukuran yang cocok dengan yang ingin
diukur. Jika kedua aspek di atas digabungkan maka dapat disimpulkan bahwa alat
ukur tersebut mantap dan dapat mengukur secara cermat dan tepat. Suatu alat ukur
juga harus sedemikian sifatnya sehingga error yang terjadi, yaitu error
pengukuran yang random sifatnya, dapat ditolerir.
2.6 Uji Regresi dan Korelasi
2.6.1 Uji Regresi
Analisis regresi mempunyai tiga kegunaan yaitu deskripsi, kendali, dan
peramalan. Dalam analisis regresi dikenal dua macam variabel atau peubah, yaitu
variabel bebas, yaitu suatu variabel yang nilainya telah diketahui dan variabel
tergantung atau tidak bebas, yaitu suatu variabel yang nilainya belum diketahui
dan akan diramalkan. Suatu variabel dapat diramalkan dari variabel yang lain
apabila antara variabel yang diramalkan dengan variabel yang nilainya diketahui
terdapat hubungan atau korelasi yang signifikan.
35
Korelasi antara kedua variabel tersebut dapat dilukiskan dalam suatu garis
yang disebut sebagai garis regresi. Garis regresi ini merupakan garis lurus (linier)
yang disebut regresi linier tetapi mungkin juga berupa garis lengkung misal
parabolik, hiperbolik dan sebagainya yang disebut regresi non linier.
Secara matematis, regresi linier dapat dituliskan dalam bentuk persamaan
sebagai berikut:
Ŷ = …………………………………………………. (2.1)
dimana:
Ŷ = variabel yang diramalkan (dependent variable)
= variable yang diketahui (independent variable)
= besarnya nilai Ŷ pada saat 0, disebut koefisien regresi
= besarnya perubahan nilai Ŷ bila nilai bertambah satu satuan,
disebut juga koefisien regresi
Untuk mencari nilai koefisien regresi menggunakan metode Least Square
sebagai berikut:
= ....................................................... (2.2)
= .................................................................. (2.3)
dimana:
= variabel yang diramalkan (dependent variable)
= variable yang diketahui (independent variable)
36
2.6.2 Uji Korelasi
Apabila persamaan regresi telah diperoleh dan persamaan tersebut
signifikan atau ada pengaruh antara variabel bebas dan variabel tidak bebas,
langkah selanjutnya adalah menentukan sejauh mana hubungan antar variabel
tersebut dan koefisien korelasi dapat menentukan sejauh mana hubungan tersebut.
Secara matematis koefisien korelasi didapat dengan rumus:
= ......................... (2.4)
dimana:
= +1, berarti ada korelasi positif sempurna antara dan
= 0, berarti tidak ada korelasi
= -1, berarti ada korelasi negatif sempurna antara dan
2.7 Uji Normalitas Data
Untuk mengetahui apakah sebuah distribusi normal, mendekati normal
atau bisa dianggap normal, dapat dilakukan prosedur-prosedur sebagai berikut
(Ridya, 2006):
1. Melakukan uji statistic tertentu, misalnya uji Kolmogorov Smirnov, uji
Shapiro-Wilk dan sebagainya.
2. Membuat grafik dengan prosedur tertentu dan mengamati pola plot grafik
tersebut.
37
Karena data yang digunakan adalah ordinal atau berjenjang, maka uji
normalitas yang digunakan adalah Uji Non Parametrik Kolmogorov Smirnov
yang tidak mengharuskan data berdistribusi normal. Uji Kolmogorov Smirnov
digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independent bila
datanya berbentuk ordinal yang tersusun pada table distribusi frekuensi kumulatif
dengan menggunakan kelas-kelas interval. Uji goodness of fit antara frekuensi
hasil pengamatan dengan frekuensi yang diharapkan yang tidak memerlukan
anggapan tertentu tentang bentuk distribusi populasi dari suatu sampel.
38