bab ii landasan teorilibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/tsa-2012-0104... · 2012-11-19 ·...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Potensi internet sebagai media pemasaran dan perdagangan telah banyak
dibicarakan akhir-akhir ini, khususnya bagi para pemasar. Pembicaraan tersebut
menghasilkan suatu pandangan mengenai e-commerce, khususnya perdagangan
melalui internet, yang umumnya dikenal sebagai e-commerce, sebagai suatu bisnis
dengan berbagai kemungkinan (Raghav Rao et al., 1998). Menurut pandangan ini,
e-commerce menawarkan sejumlah karakteristik nilai tambah baru, misalnya
disebutkan bahwa suatu saat e-commerce akan menggantikan cara melakukan
bisnis konvensional secara keseluruhan. Ramalan menunjukkan bahwa 20% dari
seluruh pembelanjaan di supermarket selama dekade berikutnya akan dilakukan
melalui saluran elektronik (Burke, 1997). Harga yang lebih murah juga dihasilkan
melalui e-commerce, salah satu alasannya adalah misalnya penggunaan tempat
yang lebih murah, yang dimungkinkan karena cara ini tidak memerlukan lokasi
yang tersentralisasi. Selain itu penggunaan sejumlah perantara juga dapat diku-
rangi (Peterson, 1997). Awalnya belanja melalui internet kurang diminati. Banyak
alasan yang melatar belakangi yang membuat orang tidak tertarik untuk
melakukan pembelian secara online diantaranya adalah faktor kepercayaan, dan
keamanan.
12
Kontribusi penelitian ini terdapat pada pengaruh informational social
influence yang positif yang dapat mempengaruhi keputusan konsumen untuk
berbelanja online. Adanya kebutuhan untuk memasukkan faktor-faktor sosial,
seperti pengaruh sosial, dalam studi perilaku belanja online. lebih lanjut
menunjukkan bahwa pengaruh sosial secara signifikan mempengaruhi keyakinan,
sikap, dan repurchase intention dari individu untuk berbelanja online (Lee et al,
2011) . Penelitian ini menganalisis lebih lanjut mengenai hasil penelitian empiris
yang dari Lee et al (2011) yang menekankan peran moderasi dari pengaruh
informasi sosial yang positif antara keyakinan dan sikap, serta sikap dan
repurchase intention. Pesan positif dalam forum diskusi online memperkuat
kepercayaan konsumen yang sudah ada sebelumnya pada atribut yang relevan
dengan belanja online dan meningkatkan kepercayaan diri konsumen dalam
berbelanja
2.1.1 The Theory Planned Behavior
The theory planned behavior (TPB) (Azjen, 1985, 1991) merupakan
pengembangan dari the theory reasoned action (TRA) (Azjen and Fishbein, 1980).
Inti dari the theory planned behavior dan the theory reasoned action, adalah niat
individu untuk melakukan perilaku tertentu. Dalam the theory reasoned action
dan the theory palnned behavior, sikap terhadap perilaku dan norma subyektif
pada perilaku dinyatakan mempengaruhi niat, tapi the theory palnned behavior
memasukkan unsur kontrol perilaku yang dirasakan dalam mempengaruhi
perilaku sebagai faktor tambahan yang mempengaruhi niat konsumen untuk
bertransaksi secara online.
13
Gambar 2.1 Model The Theory Plane Behavior, Azjen 1975
Menurut the theory planned behavior, tindakan individu pada perilaku
tertentu ditentukan oleh niat individu tersebut untuk melakukan perilaku. Niat itu
sendiri dipengaruhi sikap terhadap perilaku, norma subyektif yang mempengaruhi
perilaku, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Menurut Azjen (1985), sikap
terhadap perilaku merupakan evaluasi positif atau negatif dalam melakukan
perilaku. Sikap terhadap perilaku menunjukkan tingkatan seseorang mempunyai
evaluasi yang baik atau yang kurang baik tentang perilaku tertentu. Norma
subyektif menunjukkan tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan, sedangkan kontrol keperilakuan yang dirasakan menun-
jukkan mudahnya atau sulitnya seseorang melakukan tindakan dan dianggap
sebagai cerminan pengalaman masa lalu disamping halangan atau hambatan yang
terantisipasi. The theory reasoned action juga telah digunakan pada banyak
penelitian tentang sistem informasi, kebanyakan digunakan sebagai dasar dalam
penelitian mengenai penerimaan pengguna dan model penerimaan teknologi
(TAM) (Davis, 1989).
Attitude toward behavior
Percieved behavior Control
Behavior IntentionSubjektif Norm
14
2.1.2 Technology Acceptance Model ( TAM )
TAM diperkenalkan oleh Davis (1986), yang merupakan adaptasi
dari TRA (Theory of Reasoned Action) yang disesuaikan untuk memodelkan
penerimaan pengguna terhadap sistim informasi. Tujuan dari TAM adalah
untuk menyediakan penjelasan mengenai penerimaan komputer secara umum,
sehingga mampu menjelaskan perilaku pengguna meliputi cakupan dan populasi
yang luas. Idealnya satu model dapat membantu bukan hanya untuk memprediksi
akan tetapi juga menjelaskan, sehingga para peneliti dan praktisi dapat
mengidentifikasi mengapa sistim tertentu bisa tidak diterima dan mengejar
langkah-langkah perbaikan. Tujuan kunci dari TAM adalah untuk menyediakan
sebuah dasar untuk melacak dampak dari faktor-faktor luar terhadap keyakinan
intern, sikap, dan niat. TAM diformulasikan dalam sebuah usaha untuk
mencapai tujuan-tujuan ini dengan mengidentifikasi sejumlah kecil variabel
mendasar yang disarankan oleh penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
penentu kognitif dan penentu afektif penerimaan komputer dan menggunakan
TRA sebagai teori latar belakang untuk memodelkan hubungan teoritikal
diantara variabel-variabel ini. Beberapa adaptasi terhadap dasar pendekatan TRA
dibuat, didukung oleh teori dan bukti-bukti yang tersedia, berdasarkan tujuan
untuk TAM
TAM berpendapat bahwa dua keyakinan tertentu, perasaan manfaat
(Perceived Usefulness) dan kemudahan penggunaan (Ease Of Use) adalah
relevansi utama untuk perilaku penerimaan komputer.
15
Gambar 2.2 Technology Acceptance Model
Perasaan manfaat (U) didefinisikan sebagai kemungkinan pandangan pengguna
bahwa menggunakan sistim aplikasi khusus akan meningkatkan kinerja dia
dalam konteks organisasinya. Kemudahan penggunaan (EOU) mengacu pada
derajat dimana pengguna prospektif mengharapkan target sistim yang akan
digunakan bebas upaya / masalah. Sebagaimana akan dibahas lebih
lanjut, beberapa penelitian telah menemukan variabel yang sama dan bisa
dikaitkan dengan sikap dan penggunaan. Selain itu, analisis faktor
menyarankan bahwa U dan EOU secara statistic berada di dimensi yang
berbeda (Swanson, 1974).
Menurut penelitian, telah ditemukan kaitan antara sikap
pengguna terhadap penerimaan akan teknologi baru. (Venkatesh & Davis,
1996). Dan para peneliti telah mencoba untuk menemukan faktor yang
mempengaruhi penerimaan individual terhadap teknologi informasi (IT)
dengan tujuan untuk meningkatkan pengguannya. TAM adalah salah model
yang paling banyak digunakan dalam penelitian dalam penerimaan teknologi
informasi (Gahtani, 2001) dan telah dibuktikan mampu untuk menjelaskan
keinginan dan sikap terhadap sistim informasi dibandingan dengan teori
16
penerimaan teknologi lainnya seperti TRA (Theory of Reasoned Action)
dan TPB (Theory of Planned Behaviour) (Mathieson, 1991).
Pada penelitian mengenai pengukuran penerapan ERP di perusahaan
(Gyampah & Salam, 2003), TAM digunakan karena merupakan model
penerapan teknologi yang sudah cukup mapan dibandingkan dengan model
penerapan teknologi yang lain.
Contoh yang lebih detail mengenai penggunaan TAM dalam mengukur
bagaimana penerimaan sebuah teknologi dijelaskan pada gambar dibawah ini
(Al- Somali, Gholami, & Clegg, 2009) :
Gambar 2.3. Extended Technology Acceptance Model
Pada gambar, terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi Perceived
Ease of Use ( PEOU), Perceived Usefulness (PU) dan Attitude Toward Use
(ATT), sehingga faktor ini yang menjadi sasaran untuk meningkatkan
penerimaan terhadap teknologi.
17
2.1.3 Perceived Value
Menurut Wooduff (1997), konsep perceived value dapat berbeda
keadaannya tergantung pemikiran customer tentang value. Pada penelitian ini,
customer dapat mempertimbangkan value di waktu yang berbeda, seperti saat
keputusan pembelian atau saat sebelum/sesudah menggunakan suatu produk. Lalu
digambarkan juga, customer dapat berimajinasi mengenai apa yang mereka
inginkan (nilai yang dikehendaki). Customer belajar untuk berpikir tentang value
dalam bentuk pilihan dan kinerja yang dikehendaki, konsekuensi atau resiko dari
penggunaan produk dalam sebuah situasi dan pendapat mereka atau perasaan
tentang experience value (nilai pengalaman) dalam menggunakan sebuah produk
(nilai yang diterima).
Menurut Kotler (2008), nilai yang dipikirkan pelanggan (perceived value)
adalah selisih antara evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua
biaya tawaran tertentu dan alternatif-alternatif lain yang dipikirkan. Nilai
pelanggan total (total customer value) adalah nilai moneter yang dipikirkan atas
sekumpulan manfaat ekonomis, fungsional, dan psikologis, yang diharapkan oleh
pelanggan atas tawaran pasar tertentu. Sedangkan biaya pelanggan total (total
customer cost) adalah sekumpulan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan untuk
mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan, dan membuang tawaran pasar
tertentu, termasuk biaya moneter, waktu, energi, dan psikis. Proses evaluasi
tersebut melibatkan suatu pertukaran antara apa yang diterima untuk konsumen
(yaitu customer total value, product value, service value, employees value dan
image value) dan apa yang telah dikorbankan (yaitu customer total cost, monetary
18
cost dan non-monetary cost yang mencakup biaya waktu, biaya energi dan biaya
mental).
Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, memperoleh value yang tinggi
adalah tujuan dasar dan titik tumpuan untuk segala transaksi jual beli (Hollbrook,
1994 pada Patterson, 1997). Untuk itu, penting bagi para manajer jasa untuk
memahami keinginan konsumen serta memberikan pelayanan jasa yang
berkualitas sehingga jasa yang diberikan dapat menghasilkan value yang positif.
Menurut Vargo dan Lusch’s (2004), nilai (value) yang digunakan adalah
evaluasi dari suatu pengalaman pelayanan, yaitu penilaian dari individu atau
konsumen dari seluruh total fungsional dan hasil pengalamam emosional. Value
tidak dapat ditetapkan dari operator selular, tetapi value merupakan definisi atau
persepsi dari konsumen pengguna layanan.
Zeithaml (1988) telah menyelidiki konsep mengenai value, dan
mengemukakan empat definisi konsumen mengenai product value, yaitu: 1).
Value berarti produk yang memiliki harga rendah, 2). Value berarti apapun yang
konsumen inginkan ada di dalam produk, 3). Value berarti kualitas yang
konsumen dapat dari harga yang mereka bayar, 4). Value berarti apa yang
konsumen dapat dari apa yang telah mereka berikan. Jadi, perceived value dapat
didefinisikan sebagai penilaian konsumen secara keseluruhan terhadap kegunaan
suatu produk, berdasarkan persepsi atas apa yang telah dirasakan dan apa yang
telah konsumen berikan (Caruana and Fenech, 2005).
Menurut Sheth et al. (1991) dalam Cheng et al. (2009), consumption value
didefinisikan sebagai faktor yang menjelaskan atau menyatakan alasan konsumen
dalam memilih suatu produk atau jasa dan menggunakannya. Lima kategori
19
consumption value: functional, social, emotional, epistemic, dan conditional value
yang mempengaruhi customer choice behavior (perilaku pilihan konsumen).
Namun dalam penelitian ini conditional value tidak digunakan, karena dianggap
sudah mewakili teori atau kasus keempat nilai lainnya. Sweeney dan Soutar
(2001) mengembangkan model perceived value untuk memahami persepsi
konsumen dengan lebih baik mengenai nilai yang dirasakan atas barang dan jasa
yang dibeli melalui empat dimensi, yaitu:
1. Customer Perceived Sacrifices (pengorbanan yang dirasakan) mengacu
pada hasil yang diperoleh dari barang atau jasa yang dikonsumsi dalam
kaitannya dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan.
2. Emotional Value (Nilai Emosional)
Nilai yang mengacu pada kegunaan yang diperoleh dari perusahaan yang
menghasilkan produk atau jasa tersebut dan melibatkan hal-hal yang
terkait dengan tingkatan emosi yang dirasakan secara langsung, seperti
timbulnya perasaan senang dan bahagia selama mengkonsumsi barang
atau jasa tersebut.
3. Functional Value ( Nilai Fungsional)
Nilai yang mengacu pada kegunaan yang diperoleh dari kualitas yang
dirasakan dan kinerja yang diharapkan dari produk atau jasa.
4. Social Value (Nilai Sosial)
Nilai yang mengacu pada kegunaan social yang diperoleh dari produk atau
jasa, misalnya adanya persepsi dan kesan yang baik yang ditimbulkan dari
penggunaan barang atau jasa tersebut serta keberadaan perusahaan
penghasil barang atau jasa tersebut diakui secara baik oleh masyarakat.
20
Pada akhirnya sampailah pada satu kesimpulan, nilai yang dipikirkan atau
dirasakan oleh konsumen diperoleh dari pemikiran konsumen apakah yang
diberikannya sesuai dengan apa yang telah diterimanya. Persepsi nilai dari
masing-masing konsumen berbeda-beda, karena masing-masing konsumen
mempunyai harapan atau keinginan yang berbeda-beda dari suatu produk.
2.1.4 Perceived usefulness
Perceived usefulness merupakan salah satu faktor dari Technology
Acceptance Model (TAM). TAM dikembangkan berdasarkan pada Theory of
Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein (1980;
Fishbein dan Ajzen, 1975). Theory of Reasoned Action (TRA) merupakan model
yang sangat berpengaruh di bidang psikologi sosial mengasumsikan bahwa
pembentukan behavioral intention (yang menentukan terjadinya perilaku nyata)
dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku dan norma-norma subyektif. Sikap
terhadap perilaku mengacu pada kepercayaan bahwa suatu perilaku membawa
pada suatu hasil tertentu. Contohnya, memakai telepon genggam bisa membuat
seseorang mudah berkomunikasi dengan orang lain. Norma subyektif
menggambarkan kepercayaan individu akan opini orang lain ataupun pengaruh
orang lain yang mendorong untuk melakukan suatu perilaku.
Perceived usefulness pada model Technology Acceptance Model (TAM)
merujuk pada kesadaran dan pandangan subjektif individu terhadap manfaat yang
didapatkan dengan menggunakan sebuah teknologi baru. Dengan demikian,
perceived usefulness didefinisikan sebagai derajat keyakinan individu bahwa
penggunaan teknologi baru akan meningkatkan produktivitas, performa, tingkat
efektivitas kerja (Davis, 1989).
21
2.1.5 Perceived ease of Use
Perceived ease of use merupakan salah satu faktor dari Theory Acceptance
Model (TAM). Theory Acceptance Model (TAM) dikembangkan berdasarkan
pada Theory of Reasoned Action (TRA) yang dikembangkan oleh oleh Ajzen dan
Fishbein (1980; Fishbein dan Ajzen, 1975). Theory of Reasoned Action (TRA)
yang merupakan model yang sangat berpengaruh di bidang psikologi sosial
mengasumsikan bahwa pembentukan behavioral intention (yang menentukan
terjadinya perilaku nyata) dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku dan norma-
norma subyektif. Sikap terhadap perilaku mengacu pada kepercayaan bahwa suatu
perilaku membawa pada suatu outcome tertentu. Contohnya, memakai handphone
bisa membuat seseorang mudah berkomunikasi dengan orang lain. Norma
subyektif menggambarkan kepercayaan individu akan opini orang lain ataupun
pengaruh orang lain yang mendorong untuk melakukan suatu perilaku.
Penyederhanaan yang dilakukan membuat model Theory Acceptance
Model (TAM) yang dihasilkan menjadi sangat umum dan terbatas kemampuannya
dalam menjelaskan pendapat dan perilaku terhadap suatu sistem informasi atau
teknologi baru (Davis, Bagozzi, Warshaw., 1989). Lebih dari itu, model ini
kurang bermanfaat dalam konteks penerimaan terhadap teknologi dalam
masyarakat luas, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi lebih banyak dan lebih
kompleks.
2.1.6 Trust
Lau dan Lee (1999) mendefinisikan kepercayaan sebagai kesediaan
individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain dengan resiko tertentu.
Kesediaan ini mencul karena adanya pemahaman individu tentang pihak lain yang
22
didasarkan pada masa lalunya, adanya harapan piha lain akan memberikan
sumbangan yang positif (walaupun ada juga kemungkinan pihak lain memberikan
sumbangan yang negatif). Literatur kepercayaan di identifikasi dari berbagai
dimensi. Dari dimensi ini rasa kejujuran (kredibilitas) mengindikasikan kepastian
konsumen dalam bisnis, ketulusan, kenyataan, dan janji (Gundlach dan Murphy,
1993). Gefen (2002) mendefinisikan kepercayaan sebagai kesediaan untuk
membuat dirinya peka kedalam tindakan yang diambil oleh pihak yang dipercaya
yang didasarkan pada keyakinan. Kepercayaan suatu multidimensi yang kompleks
dan spesifik (McKnight dan Chervany, 2002). Sebagai tambahan manfaat untuk
bisnis secara umum, kepercayaan telah ditunjukan untuk mempunyai arti penting.
Sebagai contoh kepercayaan adalah stau faktor kritis dalam stimulant transaksi
secara online.
Kepercayaan muncul hanya ketika mereka yang terlibat “dipastikan oleh
pihak lainnya, mau dan bisa memberikan kewajibannya". Banyak konsumen tidak
cukup mempercayai situs yang ada, untuk memberikan informasi pribadi mereka,
dalam rangka melakukan transaksi (Hoffman et al., 1999). Kepercayaan telah
digambarkan sebagai suatu tindakan kognitif (misalnya, bentuk pendapat atau
prediksi bahwa sesuatu akan terjadi atau orang akan berperilaku dalam cara
tertentu), afektif (misalnya masalah perasaan) atau konatif (misalnya masalah
pilihan atau keinginan). Mereka yang setuju bahwa termasuk kognifit, tidak setuju
jika kepercayaan adalah perhitungan rasional berbasis bukti yang tersedia, atau
praktek/perilaku di luar alasan bersama-sama (Alpern, 1997). Banyak definisi
yang ternyata tidak akurat. Kepercayaan jelas tidak hanya kepercayaan dimana
suatu pihak memiliki keyakinan (walaupun setiap kepercayaan mungkin memiliki
23
elemen kepercayaan seperti halnya kecenderungan orang untuk menempatkan
tingkat keyakinan yang tinggi pada kepercayaannya).
2.1.7 Niat Bertransaksi secara online
E-commerce di dalam penelitian ini digambarkan sebagai hubungan
pertukaran secara online antar konsumen dan toko online, atau web vendor.
Penelitian ini mempertimbangkan niat untuk bertransaksi secara online, yaitu
membeli barang atau jasa secara online, demikian memanfaatkan Business ke
Consumer (B2C) model e-commerce.
Satu hal penting dalam penelitian sistem informasi bagaimana dan
mengapa individu menerima dan mengadopsi teknologi informasi baru (Agarwal
dan Karahanna 2000). Pada tingkatan individu, pemakaian informasi teknologi
dipelajari dengan meneliti peran niat sebagai peramal perilaku (Liu et al. 2004;
Malhotra et al., 2004). Penelitian ini fokus pada faktor penentu niat seperti sikap,
dan pengaruh sosial. Penelitian ini didasarkan pada model psikologi sosial seperti,
the theory reasoned action (Ajzen dan Fishbein 1980) dan the theory planned
behavior (Ajzen 1985; Ajzen 1991). Niat, sebagai faktor penentu perilaku telah
ditetapkan di dalam acuan sistem informasi dan disiplin lain (Ajzen 1991; Taylor
dan Todd 1995). Menurut the theory reasoned action, niat meramalkan perilaku.
Niat dibentuk oleh sikap dan norma subjektif, yang pada gilirannya adalah
membentuk kepercayaan. The theory reasoned action berdasarkan model untuk
meramalkan aktivitas perilaku yang di bawah kendali volitional. Volitional
mengendalikan alat-alat yang digunakan secara penuh mampu mengendalikan
capaian dari suatu aktivitas. Dalam hal nonvolitional mengendalikan aktivitas, the
theory reasoned action cocok karena mempunyai komponen tambahan dari
24
kendali tingkah laku dirasa sebagai faktor penentu niat. Model penerimaan
teknologi (TAM) suatu adaptasi theory reasoned action menjadi populer di antara
peneliti sistem inormasi untuk menentukan antecedent pemakaian sistem melalui
kepercayaan tentang dua faktor: penggunaan, dan kemudahan suatu sistem
informasi (Davis 1989). Awal Penelitian adopsi E-Commerce secara luas
menggunakan technology acceptance model (Gefen et al. 2003; Liu et al. 2004;
dan Malhotra et al. 2004).
2.1.8 Konsep Repurchase Behavior
Hawkins (2004) berpendapat bahwa pelanggan yang melakukan pembelian
ulang berlanjut untuk terus membeli merek yang sama walaupun mereka tidak
memiliki keterikatan emosi terhadap merek tersebut. Lebih lanjut, Hawkins
(2004) mengungkapkan bahwa pelanggan yang melakukan pembelian ulang
memang diinginkan, hanya saja pelanggan yang melakukan pembelian ulang
tersebut rawan terhadap tindakan kompetitor. Hal ini dikarenakan mereka
membeli merek tertentu hanya dikarenakan suatu kebiasaan atau karena merek
tersedia di toko tempat mereka membeli. Pelanggan seperti ini tidak memiliki
komitmen terhadap merek. Mereka bukan pelanggan yang loyal terhadap merek.
Dengan kata lain, seperti yang dikemukakan Mowen dan Minor (1998), perilaku
pembelian ulang berarti konsumen hanya membeli barang secara berulang tanpa
ada perasaan tertentu terhadap barang tersebut. Akan tetapi, Aaker (1991)
berpendapat bahwa para pemasar perlu mengetahui tingkat pembelian ulang para
pelanggannya yang dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk
menentukan loyalitas.
25
2.1.9 Konsep Repuchase Intention
Menurut Hume et al (2006) definisi niat pembelian ulang (repurchase
intention) adalah keputusan konsumen untuk terlibat dalam aktivitas di masa
depan dengan seorang penyedia jasa dan bentuk aktivitas tersebut di masa depan.
Lebih lanjut, Hume dkk (2006) berpendapat bahwa niat pembelian ulang
merupakan hasil dari sikap (attitude) konsumen terhadap performa jasa yang
dikonsumsinya. Dari penelitian Hume dkk (2006) diketahui pada konsumen yang
memiliki kebutuhan yang kuat terhadap kebutuhan emosional terhadap suatu jasa,
maka kebutuhan emosionalnya tersebut akan menjadi kunci pendorong terhadap
pembelian ulang dan frekuensinya melakukan pembelian ulang. Hume dkk (2006)
berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa kunci pendorong dari pembelian
ulang konsumen adalah kepuasan dan persepsi konsumen terhadap nilai-nilai
(values).
2.2 Internet
Menurut sejarah keberadaan internet pertama kali berasal dari ARPA
(United States Department of Defense Advanced Research Projects Agency) pada
tahun 1963 yang merupakan jaringan eksperimen milik pemerintah Amerika
Serikat berbasis komunikasi data paket. Jaringan ini dinamakan ARPANET
dengan tujuan diciptakan untuk menhubungkan para periset ke pusat-pusat
komputer di departemen tersebut sehingga mereka dapat bersama-sama
memanfaatkan sarana komputer seperti disk space, data base, serta fungsi lainnya.
Dengan terus berkembangnya zaman dan teknologi, jaringan yang tadinya dikenal
26
dengan nama ARPANET berganti menjadi Interconnection Networking atau yang
biasa kita sebut dengan Internet.
Internet merupakan sebuah jaringan komputer yang terdiri dari berbagai
macam jaringan komputer yang terdapat di seluruh dunia yang menghubungkan
jaringan yang satu dengan jaringan lainnya dan komputer yang satu dengan
komputer lainnya (Hornby, 2000, pp.680). Internet saat ini merupakan
sumberdaya informasi terbesar di dunia yang berisikan berbagai macam bentuk
terobosan dalam komunikasi, interaksi sampai berbisnis sehingga secara langsung
perkembangan internet telah mempengaruhi perkembangan ekonomi saat ini.
Berbagai transaksi jual beli yang sebelumnya hanya bisa dilakukan konvensional
atau tatap muka, kini sangat mudah dan sering dilakukan secara online melalui
internet. Transaksi jual beli yang dilakukan secara online ini disebut e-commerce.
2.2.1 Website
Website adalah kumpulan file World Wide Web (WWW) yang merupakan
kumpulan situs-situs internet secara global yang terdapat pada halaman utama
suatu web browser. Sederhananya adalah website merupakan kumpulan halaman
informasi yang disediakan melalui jalur internet sehingga bisa diakses di seluruh
dunia selama kita terkoneksi dengan jaringan internet. Komponen dari website ini
terdiri dari gambar-gambar, teks, animasi ataupun suara-suara yang biasanya
dikemas secara menarik yang bertujuan untuk menarik perhatian para pengguna
internet agar mengunjungi situs tersebut. Pada dasarnya situs internet berfungsi
sebagai media untuk menyampaikan suatu informasi baik berupa berita, ekspresi
kreatifitas, maupun info-info komersil. Penggunaan situs internet sebagai media
27
promosi suatu produk barang/jasa menjadi pilihan yang sangat baik saat ini yang
dimana perkembangan teknologi informasi terus meningkat setiap tahunnya.
2.2.2 Teknologi Web
Teknologi web diawali dengan web 1.0 merupakan teknologi yang pertama
kali digunakan pada aplikasi World Wide Web. Pada awalnya teknologi ini hanya
berupa web statis menggunakan Hyper Text Markup Language (HTML) yang
bersifat kaku, satu arah dan tidak interaktif yang sangat berbeda dengan berbagai
web yang sedang berkembang saat ini.
Teknologi web yang kita rasakan saat ini adalah teknologi web 2.0 yang
dimana merupakan generasi ke-2 dari generasi web sebelumnya. Dalam Maness
(2008) istilah web 2.0 pertama kali dicetuskan dan diperkenalkan oleh Tim
O’Reilly dan Dale Dougherty pada tahun 2004 untuk menggambarkan model tend
dan bisnis yang bertahan dari kehancuran pasar sektor teknologi pada masa tahun
1990an. Sedangkan Fountain dan Constantinides (2008) mendefinisikan web 2.0
kepada sekumpulan aplikasi open-source, interaktif dan aplikasi usercontrolled
online yang memperluas pengalaman, pengetahuan dan kekuatan pasar dari para
pengguna sebagai peserta dalam proses bisnis dan sosial. Pada intinya teknologi
web 2.0 membuat kita sebagai user dapat berinteraksi dengan apa yang sedang
kita kerjakan didalam browser secara langsung dan dapat disampaikan secara
realtime kepada pengguna lainnya. Beberapa contoh website yang menggunakan
teknologi web 2.0 saat ini seperti, Youtube, Wikipedia, Facebook, Myspace,
Scribd, dan Twitter.
Teknologi web yang selanjutnya akan kita masuki adalah teknologi web
3.0 yang biasa disebut juga dengan web semantic. Web semantic adalah
28
sekelompok metode dan teknologi yang memungkinkan mesin untuk mengerti
makna (semantic) informasi pada world wide web. Konsep ini pertama kali
ditemukan oleh Tim Barners-Lee sang penemu World Wide Web pada tahun 2001.
Saat itu Tim Barners-Lee menggambarkan web 3.0 sebagai mesin yang dapat
memiliki kemampuan membaca web sama seperti layaknya yang dilakukan
manusia saat ini. Walaupun masih belum sepenuhnya terealisasi, web 3.0 telah
memiliki beberapa standar operasional untuk bisa menjalankan fungsinya dalam
menampung metadata seperti Resource Description Framework (RDF) dan Web
Ontology Language (OWL).
2.3 E-commerce
2.3.1 Definisi E-commerce
E-commerce merupakan konsep dagang berupa prosedur dan mekanisme
jual-beli yang terdapat pada internet. Menurut definisinya, e-commerce
merupakan suatu konsep yang menjelaskan proses pembelian, penjualan dan
pertukaran produk, servis dan informasi melalui jaringan komputer yaitu internet
(Turban, 2002). Menurut Kalakota, dalam Handojo (2009) e-commerce dapat
dilihat dari 4 macam sudut pandang, antar lain :
1. Sudut pandang komunikasi, e-commerce merupakan pengiriman barang,
servis, informasi atau pembayaran melalui jaringan komputer.
2. Sudut pandang bisnis proses, e-commerce merupakan aplikasi teknologi
yang dapat melakukan transaksi bisnis dan arus kerja yang otomatis.
3. Sudut pandang servis, e-commerce merupakan peralatan yang dapat
memenuhi keinginan perusahaan, pelanggan dan manajemen untuk
29
memotong biaya servis selama pengembangan kualitas barang dan
peningkatan kecepatan layanan pengiriman.
4. Sudut pandang online, e-commerce menyediakan kemampuan untuk
memebeli dan menjual produk dan informasi melalui internet dan layanan
online lainnya.
Selain itu Turban dan King (2002, menyebutkan terdapat dua sudut pandang lain
yang dapat digunakan untuk mendefinisikan e-commerce, yaitu :
1. Sudut pandang kolaborasi, e-commerce sebagai fasilitator yang digunakan
untuk memungkinkan terlaksananya proses kolaborasi pada suatu
organisasi baik antar organisasi maupun inter organisasi.
2. Sudut pandang komunitas, e-commerce merupakan tempat berkumpul bagi
anggota suatu komunitas untuk saling belajar, berinteraksi, bertransaksi
dan berkolaborasi.
2.3.2 Klasifikasi E-commerce
E-commerce dapat diklasifikasikan kedalam beberapa aspek. Tetapi
menurut Handojo, Yulia dan Gunadi (20009), secara umum e-commerce dapat
diklasifikasikan kedalam tiga tipe, antara lain :
• B2C (Business to Customer), dalam tipe ini transaksi online
berhubungan langsung antara pelaku bisnis dengan pelanggan secara
individual, contoh : pesanan buku online, pembelian tiket pesawat
terbang.
• B2C (Business to Business), dalam tipe ini bisnis membuat transaksi
online dengan bisnis lainnya., contoh : layanan online, pembelian
bahan bakar.
30
• B2E (Business to Employee), dalam tipe ini informasi dan servis
dibuat secara online untuk para pekerja, contoh : pelatihan online dan
perbankan online.
2.3.3. Belanja Online
Belanja online atau belanja daring pertama kali dilakukan di Inggris pada
tahun 1979 oleh Michael Aldrich dari Redifon Computers. Aldrich
menyambungkan televisi berwarna saat itu dengan komputer yang mampu
memproses transaksi secara realtime melalui sarana kabel telepon. Mulai saat itu
Aldrich menjual sistem belanja daring yang ia temukan ke seluruh penjuru
Inggris. Dalam jangka waktu setahun belanja daring secara luas digunakan di
Inggris dan beberapa negara di Eropa seperti Perancis.
Pada awal tahun 1990-an, belanja daring mulai dikenal di dunia, berberapa
pelopor dalam internet shopping saat itu seperti Books.com, Amazon.com serta
Pizza Hut mulai memanfaatkan internet sebagai media untuk berjualan. Dimana
saat itu para pelanggan mulai dapat melakukan pilihan terhadap barang,
pemesanan sampai pembayaran dapat dilakukan secara online. Pada tahun-tahun
berikutnya sistem belanja daring memiliki beberapa peningkatan terutama pada
sistem keamanannya yang dimana pembobolan dan pencurian digital semakin
marak. Pada tahun 1996, eBay mulai lahir dan sampai saat ini telah berkembang
menjadi salah satu situs transaksi online terbesar di dunia.
Untuk awal masuknya di Indonesia, belanja daring tidak memiliki catatan
historis yang pasti, tetapi saat ini perkembangan belanja daring mulai terasa
disekitar kita. Berbagai pemanfaatan media di dunia maya menjadikan Indonesia
31
sebagai marketplace online yang patut diperhitungkan di mata dunia terutama
untuk kawasa Asia Tenggara.
Dari berbagai sejarah dan perkembangan belanja online, dapat kita tarik
sekimpulan bahwa belanja daring merupakan suatu bentuk perdagangan
elektronik yang dimana tempat bertemunya penjual dan calon pembeli terdapat
dalam media internet.
2.3.4 Social commerce
Social commerce merupakan fenomena baru dalam dunia e-commerce.
Dulu pada saat pertama kali muncul peran sosial media merupakan tempat untuk
berinteraksi antar sesama pengguna internet. Tetapi kali ini peran sosial media
dapat dimanfaatkan sebagai tempat berdagang secara online. Peleburan antara
sosial media ini dengan e-commerce disebut social commerce. Menurut Paul
Marsden (2010), social commerce merupakan gabungan dari social media dan e-
commerce yang lebih kepada kegiatan e-commerce yang menggunakan peran
sosial media, media online yang mendukung interaksi sosial dan kontribusi
pengguna untuk meningkatkan pengalaman berbelanja online.
Gambar 2.4. Diagram Pengertian Social commerce
32
Sederhananya konsep social commerce mengadaptasi dari konsep word of
mouth yang telah diaplikasikan kedalam e-commerce. Pelanggan saat ini mencari
cara untuk memanfaatkan keahlian masing-asing, memahami apa yang mereka
beli, dan membuat lebih banyak menerima informasi yang akurat untuk keputusan
pembelian. Sebagaimana penggunaan internet yang telah berkembang, pembeli
telah meningkatkan ekspektasi mereka dari pengalaman interaksi ritel ( Dennison,
Bourdage-Braun, Chetuparambil, 2009). Karena itu, para pembeli saat ini mencari
keterbukaan dari para penjual. Memberikan kesempatan untuk berbagi
pengalaman, wawasan, pikiran dan opini untuk memastikan bahwa penjual
menampilkan lebih pada pengalaman sosial dan menambah kredibilitas yang
signifikan untuk website tersebut.
Menurut DR. Paul Marsden (2010), terdapat 6 dimensi dari social
commerce, yaitu :
1. Social Shopping
Sosial shopping tools memberikan kemudahan bagi orang-orang untuk
membagi/menyebarkan tindakan mereka untuk berbelanja online bersama
(synchronous shopping).
2. Ratings & Reviews
Merupakan alat social commerce sesungguhnya, rating dan review
memberikan kemudahan bagi orang-orang untuk saling bertukar informasi
produk serta memberikan informasi kepada orang lain dengan pandangan
dan pengalaman kita terhadap produk tersebut.
33
3. Recommendation & Referrals
Berbeda dengan rating dan review yang disajikan untuk semua, dari segi
kebaikan suatu produk ataupun kekurangannya, recommendation dan
refferal lebih kepada mengarahkan orang lain dengan nilai positif baik
pengalaman berbelanja maupun produk tersebut sehingga orang dapat
menilai ukuran keuntungan dari berbelanja online.
4. Forum & Communities
Merupakan pioneer dari sosial media, forum sangatlah populer, berguna
dan efektif. Forum terkair dengan e-commerce platform membantu
menelusuri produk, pemilihan dan rujukan dengan menyediakan
lingkungan yang moderat pada berbagai kategori yang ada.
5. SMO (Social Media Optimization)
Toolset yang dirancang dalam konteks social commerce untuk menarik
pengunjung ke tujuan e-commerce dengan mempromosikan dan
mempublikasikan tujuan dan kontennya melalui sosial media.
6. Social Ads & Apps
Paid-for ads pada platform sosial media atau berupa aplikasi promosi atau
widget yang terdapat pada sosial media tersebut. dalam hal social
commerce mengarahkan orang-orang kepada e-commerce