bab ii konsep hukum perjanjian pembiayaan pada …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/bab ii.pdf ·...

37
BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH A. Pembiayaan Syariah 1. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Pembiayaan Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu, Produk Penghimpunan Dana (Funding), Produk Penyaluran Dana (Financing), dan Produk Jasa (Service). 1 Pembiayaan merupakan suatu istilah yang digunakan dalam operasionalisasi perbankan berupa kegiatan yang terkait dengan penyaluran dana oleh bank kepada nasabah (financing). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pembiayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan biaya yaitu uang yang digunakan untuk mengadakan (mendirikan, melakukan, dsb.) sesuatu. 2 Menurut Muhammad, pembiayaan selalu identik dengan aktifitas bisnis, sehingga pengertian pembiayaan itu berhubungan dengan upaya peningkatan nilai keuntungan baik dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri. 3 Secara singkat, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan dalam sebuah aktifitas bisnis. 4 1 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 97 2 Lihat Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 195 3 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hlm. 16-17 4 Ibid. hlm. 17 1

Upload: others

Post on 10-Jun-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

BAB II

KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN

PADA PERBANKAN SYARIAH

A. Pembiayaan Syariah

1. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Pembiayaan

Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan

syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu, Produk

Penghimpunan Dana (Funding), Produk Penyaluran Dana (Financing),

dan Produk Jasa (Service).1 Pembiayaan merupakan suatu istilah yang

digunakan dalam operasionalisasi perbankan berupa kegiatan yang terkait

dengan penyaluran dana oleh bank kepada nasabah (financing).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pembiayaan diartikan sebagai

segala sesuatu yang berhubungan dengan biaya yaitu uang yang digunakan

untuk mengadakan (mendirikan, melakukan, dsb.) sesuatu.2 Menurut

Muhammad, pembiayaan selalu identik dengan aktifitas bisnis, sehingga

pengertian pembiayaan itu berhubungan dengan upaya peningkatan nilai

keuntungan baik dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri.3 Secara

singkat, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung

investasi yang telah direncanakan dalam sebuah aktifitas bisnis.4

1 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2007), hlm. 972 Lihat Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1953 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hlm.16-174 Ibid. hlm. 17

1

Page 2: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

2

Secara khusus, pembiayaan itu jika dikaitkan dengan aktifitas

perbankan, kerap disebut sebagai aktiva produktif. Menurut ketentuan Bank

Indonesia, aktiva produktif pada bank syariah adalah penanaman dana bank

syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan,

piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal,

penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening

administratif, serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.5

Dalam ketentuan terkini yakni mengacu kepada Undang-

Undang Perbankan Syariah, pembiayaan dimaknai sebagai penyediaan dana

atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil

dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa

dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya

bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan

istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi

multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah

dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau

diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka

waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.6

Pada dasarnya, pembiayaan bertujuan secara makro untuk

peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha,

meningkatkan produktivitas, membuka lapangan kerja baru, dan agar terjadi

5 Lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 20036 Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Page 3: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

3

distribusi pendapatan.7 Adapun tujuan pembiayaan secara mikro adalah

dalam rangka untuk memaksimalkan laba, meminimalisasi resiko,

pendayagunaan sumber ekonomi, dan penyaluran kelebihan dana.8

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan aktifitas bank syariah,

maka pembiayaan itu bagi bank syariah itu sendiri bertujuan untuk

menjadikan seluruh kegiatan pembiayaan itu sebagai sumber pendapatan.

Sebab dengan banyaknya pembiayaan yang terlaksana, maka peluang

mendapatkan keuntungan baik dari skema bagi hasil, margin keuntungan,

maupun dari skema akad berbasis jasa.

Dalam skala besar maka kegiatan pembiayaan yang dilakukan

oleh perbankan syariah itu memiliki fungsi sebagai sarana peningkatan daya

guna uang, daya guna barang, peredaran uang, menimbulkan gairah usaha,

stabilitas ekonomi, sarana peningkatan pendapatan nasional.9

2. Konsep dan Falsafah Pembiayaan

Aspek penyaluran dana yang dilakukan dalam mekanisme yang

berlaku perbankan syariah, secara spesifik disebut sebagai pembiayaan

bukan perkreditan. Istilah pembiayaan ini ditegaskan dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, misalnya

dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 9.10 Istilah pembiayaan merupakan suatu

7 Lihat Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, hlm. 17-188 Ibid. hlm. 189 Ibid. hlm.19-2110 Pasal 1 Angka 7; ”Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”. Pasal 1 Angka 9: ”Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”

Page 4: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

4

konsep yang digunakan untuk memberikan pengertian lain selain

perkreditan yang identik dengan riba/bunga. Digunakannya istilah

pembiayaan, asumsi transaksi ribawi dapat dihindarkan.

Perlunya pembedaan ini sebab Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

konvensional menggunakan prinsip bunga dalam kegiatannya, sehingga

dengan demikian sesuai Undang-Undang Perbankan Syariah, tidak lagi

dikenal Bank Perkreditan Rakyat Syariah, melainkan dengan sebutan Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah. Ini berarti semua peraturan perundangan-

undangan yang menyebut BPR Syariah dengan Bank Perkreditan Rakyat

Syariah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).11

Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam

konteks perbankan konvensional digunakan istilah Bank Perkreditan

Rakyat (BPR), sementara dalam konteks perbankan syariah digunakan

istilah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Berdasarkan perbedaan itu, maka hubungan antara bank

syariah dan nasabah adalah hubungan dalam konteks mitra investasi dan

pedagang (pengusaha), sedangkan hubungan bank konvensional dan

nasabah adalah hubungan dalam konteks kreditur dan debitur.12 Hubungan

kemitraan investasi dan usaha yang berlaku dalam pembiayaan bank

syariah ini dengan demikian bersifat menganulir prinsip keuntungan

melalui mekanisme bunga (riba). Itu berarti, nasabah bank syariah tidak

akan terbebani oleh munculnya beban biaya yang tidak rasional hanya

11 Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 712 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, hlm. 16

Page 5: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

5

lantaran menggunakan atau menerima fasilitas pembiayaan (uang) dari

bank syariah.

Menurut Muhammad, prinsip pembiayaan yang bebas riba

sedemikian itu, lahir dari adanya falsafah pembiayaan yang berlaku di

bank syariah yaitu, 1) falsafah syar’iyyah, yang berarti setiap transaksi

pembiayaan harus berpedoman teguh kepada syariat Islam antara lain tidak

mengandung unsur maisir (judi), gharar (ketidakpastian/penipuan), riba,

dan bidang usaha yang harus halal, 2) falsafah tijariyah, yang berarti

pelaksanaan pembiayaan itu selain berbasis pada pedoman syariah juga

merupakan media perolehan keuntungan ekonomi yang halal, dan bukan

pula sekadar bersifat tabarru’ (kegiatan non komersial).13

3. Prinsip-prinsip Pembiayaan

Penyaluran dana oleh bank syariah kepada nasabah, dilakukan

dalam bentuk pembiayaan. Produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam

empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu14,

1) pembiayaan dengan prinsip jual-beli, meliputi akad murabahah, akad

salam, dan istishna’, 2) pembiayaan dengan prinsip sewa, meliputi ijarah

dan ijarah muntahiyah bittamlik, 3) pembiayaan dengan prinsip bagi hasil,

meliputi akad musyarakah dan akad mudharabah, 4) pembiayaan dengan

prinsip akad pelengkap meliputi akad hiwalah (alih utang-piutang), akad

rahn (gadai), akad qardh (pinjaman uang), akad wakalah, dan akad kafalah

13 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, hlm. 1614 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, hlm. 97-107. Bandingkan dengan Pasal 3 huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah

Page 6: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

6

(garansi bank). Hal yang sama juga dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka

25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Selain memiliki pedoman atau prinsip berupa aplikasi akad

syariah, pembiayaan pada bank syariah juga menggunakan prinsip

kelayakan pembiayaan yang diterapkan dalam teknis penerimaan

permohonan pembiayaan dari nasabah. Hal ini secara tegas diatur dalam

ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah yang

menyebut, bahwa bank syariah dan/atau unit usaha syariah harus

mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah

penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya,

sebelum menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. Ayat (2) pun

menegaskan, bahwa untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1), bank syariah dan/atau unit usaha syariah wajib melakukan

penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan

prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas.

Dengan demikian, prinsip pembiayaan dalam praktik

perbankan syariah berhubungan dengan setidak-tidaknya lima prinsip yaitu

prinsip jual beli, bagi hasil, sewa, pinjaman, dan akad pelengkap. Seluruh

prinsip ini kemudian diaplikasikan dalam mekanisme akad-akad syariah.

Bahkan Undang-Undang Perbankan Syariah tidak menutup peluang

adanya aplikasi akad selain yang sudah disebutkan dalam undang-undang

tersebut, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip syariah.15 Di samping

prinsip ini, dalam teknis penyaluran dana, perbankan syariah juga

15 Lihat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Page 7: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

7

menggunakan prinsip kelayakan dengan cara menilai kemampuan dan

prospek usaha nasabah secara proporsional.

B. Aplikasi Akad dalam Pembiayaan Syariah

Jika mengacu kepada uraian pada sub bab di atas, maka

aplikasi akad dalam produk pembiayaan perbankan syariah bergulir

setidaknya dalam 12 bentuk akad syariah yaitu murabahah, salam, dan

istishna’, ijarah, ijarah muntahiyah bittamlik, musyarakah, mudharabah,

hiwalah, rahn, qardh, wakalah, dan kafalah.

Meskipun demikian, tidak tertutup peluang adanya pembiayaan

dengan akad lain sejauh sesuai dengan prinsip syariah. Oleh karena prinsip

syariah itu mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia, maka pembahasan mengenai prinsip syariah itu secara mutlak

harus berpedoman pula kepada ketentuan syariah yang termuat dalam

fatwa-fatwa DSN-MUI.

Dalam penelitian ini selanjutnya hanya akan menguraikan tiga

bentuk akad syariah yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian ini

yaitu pembiayaan modal kerja pada PT. Bank Muamalat Indonesia cabang

Palembang.

1. Akad Musyarakah

Musyarakah merupakan akad yang digunakan dalam

pembiayaan syariah dalam pola bagi hasil. Istilah ini berkonotasi lebih

terbatas dari istilah syirkah yang lebih umum digunakan dalam fikih

Page 8: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

8

Islam. Secara sederhana, syirkah berarti sharing atau berbagi. Secara

etimologi berarti ikhtilath (percampuran) yaitu percampuran antara

sesuatu dengan yang lainnya sehingga sulit dibedakan. Sedangkan

menurut istilah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha

tertentu,di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau

amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan

ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.16

Mekanisme operasional musyarakah adalah perjanjian

kesepakatan bersama antara beberapa pemilik modal untuk menyertakan

modal sahamnya pada suatu proyek yang biasanya berjangka panjang.

Landasan hukum kebolehan bentuk akad musyarakah ini

antara lain adalah:

a. Al Quran .

( ¨bb)bb #bbbbbb. b`bbb bb!bbbb=bbb:b# bbbb6bbb9 bbbbbb÷bb/ 4bb?bb bb÷bb/

bbb) bbbb%©!b# (#bbbbb#bb (#bb=bbbbbb bb»bbb=»¢b9b# bbbb

Artinya: “dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang

berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain

kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”. (QS. Shaad:

24)17

b. Hadits.

16 Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, (Beirut: Dar al Qalam, 1988), jilid II, hlm. 253-25717 Lihat Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 2008), h.431

Page 9: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

9

قال رسول اللييه صييلى اللييه عليييهقال: عن ابي هريرة ان الله يقول انا ثالث الشريكين ما لم يخن احد وسلم:

صا حبه هماArtinya: "Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya

Allah swt berfirman:”Aku pihak ketiga dari dua orang bersyarikat

selama salah satunya tidak menghianati lainnya”18

Syirkah dalam terminologi fikih Islam terbagi dalam dua

jenis:

a. Syirkah al milk atau syirkah amlak atau syirkah

kepemilikan, yaitu kepemilikan bersama dua pihak atau lebih dari

suatu properti. Musyarakah ini tercipta karena warisan, wasiat atau

kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua

orang atau lebih. Dalam musyarakah ini kepemilikan dua orang atau

lebih berbagi aset nyata dann berbagi pula dari keuntungan yang

dihasilkan aset tersebut.

Musyarakah bentuk ini terbagi dalam dua kategori :

1) Syirkah Ikhtiyar adalah perserikatan yang muncul akibat

tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang yang

bersepakat membeli suatu barang atau mereka menerima

hibah, wasiat atau wakaf dari orang lain dimana mereka

menerima pemberian hibah, wakaf ataupun wasiat tersebut dan

menjadi milik mereka secara berserikat.

18 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Buyu’, Hadits No. 2936, (Beirut: Al Maktabah al ‘Ashriyah, tt), h. 576

Page 10: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

10

2) Syirkah Jabar adalah sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua

orang atau lebih tanpa kehendak, artinya perserikatan itu terjadi

secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat,

seperti menerima warisan.

b. Syirkah al ‘aqd atau syirkah al ‘uqud atau syirkah akad

yang berarti kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama,

atau usaha komersial bersama.19 Musyarakah akad tercipta dengan

cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap

orang dari mereka memberikan modal musyarakah, mereka sepakat

untuk berbagi keuntungan dan kerugian.

Musyarakah al ‘aqd ini terdiri empat macam:20

1) Syirkah al amwal atau syirkah al ‘inan yaitu usaha

komersial bersama ketika semua mitra usaha ikut andil

menyertakan modal dan kerja yang tidak harus sama porsinya

kedalam perusahaan. Para ulama sepakat membolehkan bentuk

syirkah ini.

2) Syirkah al mufawadhah yaitu usaha komersial

bersama dengan syarat adanya kesamaan pada penyertaan

modal, pembagian keuntungan, pengelolaan, kerja dan orang.

Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan syirkah ini, sedangkan

mazhab dan Hambali melarangnya karena secara realita sukar19 Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 49-50. Lihat pula Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, cet. IX, hlm. 91

20 Adiwarman A. Karim., Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer. Cet. III. (Jakarta:Gema Insani, 2007), hlm. 81. Lihat pula Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori kePraktek, cet. IX, hlm. 92-93

Page 11: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

11

terjadi persamaan pada semua unsurnya dan banyak

mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan.

3) Syirkah al a’mal atau syirkah abdan yaitu usaha

komersial bersama ketika semua mitra usaha ambil bagian

dalam memberikan jasa kepada pelanggan. Jumhur ulama yaitu

mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan bentuk

syirkah ini, sementara itu mazhab Syafi’i melarangnya karena

mazhab ini hanya membolehkan syirkah modal dan tidak boleh

syirkah kerja.

4) Syirkah al wujuh adalah usaha komersial bersama

ketika mitra tidak mempunyai investasi sama sekali, tetapi

memiliki keahlian dalam bisnis, mereka membeli barang secara

kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara

tunai, mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian

berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh

tiap mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena

pembelian secara kredit berdasar jamainan tersebut, maka

kontrak ini lazim disebut musyarakah piutang.

Mazhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah yang

kelima sebagai salah satu bentuk perserikatan, tetapi Jumhur Ulama

(Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Zahiriyah dan Syiah Imamiya)

Page 12: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

12

tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk

perserikatan, karena akad ini merupakan akad yang tersendiri.21

Istilah musyarakah tidak ada dalam fikih Islam, tetapi baru

diperkenalkan belum lama ini oleh mereka yang menulis tentang skim-

skim pembiayaan Syariah yang biasanya terbatas pada jenis syirkah

tertentu yaitu syirkah amwal yang dibolehkan oleh semua ulama.

Proporsi keuntungan dibagi diantara mereka menurut

kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai porsi modal

yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat

pula berbeda dari porsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam

Ahmad), sementara itu Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi

keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal,

namun demikian mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner,

proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modalnya.22

Adapun ketentuan musyarakah yang diatur di dalam Fatwa

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 08/DSN-MUI/

IV/2000, tanggal 13 April 2000, tentang PEMBIAYAAN

MUSYARAKAH adalah:23

1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),

dengan memperhatikan hal-hal berikut:

21 Lihat Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbakan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait BMI dan Takaful di Indonesia, hlm. 36. Lihat pula Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 50 22 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 51-52 23 Lihat dalam: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=11&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, diakses tanggal 22 Maret 2017

Page 13: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

13

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan

tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau

dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan

memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan

perwakilan.

b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap

mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.

c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam

proses bisnis normal.

d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk

mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi

wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan

memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian

dan kesalahan yang disengaja.

e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau

menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)

a. Modal

1. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau

yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan,

seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal

Page 14: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

14

berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan

disepakati oleh para mitra.

2. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,

menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah

kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.

3. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada

jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan,

LKS dapat meminta jaminan.

b. Kerja

1. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar

pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja

bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan

kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh

menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.

2. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas

nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-

masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

c. Keuntungan

1. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk

menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi

keuntungan atau penghentian musyarakah.

2. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara

proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah

yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

Page 15: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

15

3. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan

melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan

kepadanya.

4. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas

dalam akad.

d. Kerugian

Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional

menurut saham masing-masing dalam modal.

4. Biaya Operasional dan Persengketaan

a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.

b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika

terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya

dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.

Pengaturan tentang syirkah sudah terdapat di Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah (KHES) secara memadai yang dituangkan

dalam dua Bab yaitu Bab VI tentang Syirkah dan Bab VII tentang

Syirkah Milk, yang terdiri Pasal 134 sampai dengan Pasal 230.24

2. Akad Mudharabah

Akad mudharabah yang dalam praktiknya digunakan untuk

bentuk pembiayaan pada bank syariah dengan prinsip bagi hasil sebagai

sistem pendanaan operasional realitas bisnis,25 dimana pemilik modal

atau shahibul maal menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai

24 Lihat lebih lanjut dalam Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, (Jakarta: PPHIMM, 2009), hlm. 50-7125 Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 114

Page 16: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

16

pengelola atau mudharib untuk melakukan aktivitas produktif dengan

syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka

sesuai dengan kesepakatan yang disebutkan dalam akad mereka.26 Dan

jika ada mengalami kerugian setelah adanya pengelolaan usaha oleh

mudharib bukan karena kelalaian yang disengaja maka akan ditanggung

oleh investor atau shahibul maal.27

Mudharabah berasal dari kata dharb, yang artinya memukul

atau berjalan, pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah

proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.28

Di dalam Al-Qur’an secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus

mengenai mudharabah, namun secara umum landasan syariah yang

mencerminkan anjuran untuk berusaha dinyatakan dalam QS. Al

Muzammil (73); 20.29

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al Thabrani

disebutkan bahwa Sayyidina Abbas Ibn Abdul Muthalib jika memberikan

dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar

dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang

berbahaya atau membeli ternak, jika menyalahi peraturan tersebut yang

bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut, disampaikanlah

26 Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum, (Jakarta: PPSK BI, 2005), hlm. 2127 Abdullah Saed, Menyoal Bank Syariah, hlm. 7728 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, hlm. 95.

29 QS. Al Muzammil (73); 20:.... ه )٢٠ ... (وآخرون يضربون في األرض يبتغون من فضل الل

Page 17: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

17

syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. dan beliau pun

membolehkannya.30

Secara umum, mudharabah dapat dibagi ke dalam dua jenis

akad yaitu:31

1. Mudharabah Muthlaqah, yaitu suatu bentuk kerjasama antara

shahibul maal dengan mudharib tanpa membatasi spesifikasi jenis

usahanya, sepanjang usaha tersebut dianggap baik dan bisa memberi

keuntungan.

2. Mudharabah Muqayyadah, yaitu shahibul maal menentukan syarat

atau pembatasan kepada pengelola dana (mudharib) dalam

menjalankan usaha.

Maka inti mekanisme mudharabah itu sendiri pada dasarnya

terletak pada kerjasama yang baik antara pemberi dana dan pengelola

dana dengan dasar kepercayaan, kerjasama inilah yang merupakan

karakter utama dalam pelaksanaan perjanjian mudharabah di perbankan

syariah.

Dengan metode ini bank bertanggung jawab dalam

penyediaan modal sedangkan nasabah bertanggung jawab dalam

manajemen dan pengelolaan dana. Pola ini merupakan profit sharing

basis, yakni keuntungan dibagi berdasarkan persentase yang telah

disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Apabila terjadi kerugian

karena proses normal dari usaha dan bukan karena kelalaian atau

30 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hlm. 9631 Lihat Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, hlm. 212. Lihat pula Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hlm. 97

Page 18: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

18

kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik

modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang

curahkannya. Namun apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan

kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya.32

Adapun ketentuan akad mudharabah yang diatur dalam

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor

07/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 4 April 2000, tentang Pembiayaan

Mudharabah (Qiradh), adalah sebagai berikut:33

Pertama; Ketentuan Pembiayaan:

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh

LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)

membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan

pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola

usaha.

3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian

keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak

(LKS dengan pengusaha).

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah

disepakati bersama dan sesuai dengan syari'ah; dan LKS tidak ikut

32 Irfan Syauqi Beik, Mudharabah dan Musyarakah, Pola Pembiayaan Bank Islam yang Ideal, hlm. 30

33 Lihat dalam: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=8&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, diakses tanggal 22 Maret 2017

Page 19: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

19

serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai

hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam

bentuk tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan

yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,

namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat

meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini

hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan

pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam

akad.

8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme

pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan

fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau

melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak

mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua; Rukun dan Syarat Pembiayaan:

1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap

hukum.

Page 20: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

20

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),

dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan

tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau

dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh

penyedia dana kepada mudharibuntuk tujuan usaha dengan syarat

sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal

diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada

waktu akad.

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan

kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai

dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai

kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh

disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui

dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam

bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan.

Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

Page 21: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

21

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian

apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian,

atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan

(muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus

memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur

tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan

pengawasan.

b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola

sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan

mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari'ah Islam dalam

tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus

mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga; Ketentuan lain:

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.

2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah kejadian di

masa depan yang belum tentu terjadi.

3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada

dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat

dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika

terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka

Page 22: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

22

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah

tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), akad

mudharabah sudah diatur secara proporsional dalam Bab VIII yang

memuat Pasal 231 sampai dengan 254.34

3. Akad Murabahah

Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang

seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati.35 Dalam

hal ini penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan

menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya, misalnya,

seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan

keuntungan tertentu, berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan

dengan nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga

pembeliannya. Jadi singkatnya murabahah adalah akad jual beli barang

dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang

disepakati oleh penjual dan pembeli, karena definisinya disebut adanya

keuntungan yang disepakati.

Dasar syar’i dari legalitas akad murabahah ini antara lain

adalah:

1. QS. al-Nisa' [4]: 29:

ذين آمنوا التأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إال ها ال يآ أي

أن تكون تجارة عن تراض منكم...34 Lihat lebih lanjut dalam Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, (Jakarta: PPHIMM, 2009), hlm. 71-7635 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, vol. II, hlm. 216

Page 23: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

23

Artinya : “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling

memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di

antaramu…”36

2. Hadis Nabi saw.:

ول عن أبي سعيد الخييدري رضييي اللييه عنييه أن رسيي

ييع عن مييا البي م قييال: إن الله صلى الله عليه وآله وسل

تراض، )رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان(

Artinya: “Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW

bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama

suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh

Ibnu Hibban)

Adapun ketentuan akad murabahah yang diatur dalam Fatwa

Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 1 April

2000, tentang Murabahah, adalah sebagai berikut:37

Pertama: Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari'ah Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang

telah disepakati kualifikasinya.

36 Lihat Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, hlm. 12437 Lihat dalam: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=5&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, diakses tanggal 22 Maret 2017

Page 24: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

24

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank

sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan

pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)

dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan

ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada

nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada

jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad

tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan

nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang

dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah

barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Kedua: Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:

1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang

atau aset kepada bank.

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih

dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.

3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan

nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang

Page 25: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

25

telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat;

kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk

membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal

pemesanan.

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil

bank harus dibayar dari uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung

oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada

nasabah.

7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang

muka, maka:

a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia

tinggal membayar sisa harga.

b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank

maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat

pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi,

nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga: Jaminan dalam Murabahah:

1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan

pesanannya.

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang

dapat dipegang.

Page 26: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

26

Keempat: Utang dalam Murabahah:

1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi

murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan

nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah

menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian,

ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran

berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.

3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap

harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak

boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian

itu diperhitungkan.

Kelima: Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda

penyelesaian utangnya.

2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika

salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah

tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keenam: Bangkrut dalam Murabahah:

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya,

bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali,

atau berdasarkan kesepakatan.

Page 27: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

27

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), akad

murabahah (ba’i al murabahah) sudah diatur secara proporsional dalam

bagian ke enam dari Bab V, yang memuat Pasal 116 sampai dengan Pasal

133.38

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja

yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Misalnya,

ulama mazhab Malikiyah membolehkan biaya-biaya yang langsung

terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung

terkait dengan transaksi tersebut, namun memberi nilai tambah pada

barang itu.39

Ulama mazhab Syafi’iyah membolehkan membebankan

biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli,

kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk

dalam keuntungannya. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah

nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.40

Ulama mazhab Hanafiyah membolehkan membebankan

biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli,

namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang

semestinya dikerjakan oleh si penjual.41

Ulama mazhab Hanabilah berpendapat bahwa semua biaya

langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual

38 Lihat lebih lanjut dalam Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hlm. 48-5039Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, hlm.11440 Ibid. hlm. 11441 Ibid. hlm. 114

Page 28: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

28

selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan

menambah harga barang yang akan dijual.42

Dari berbagai pendapat mazhab di atas, maka pada dasarnya

pembebanan biaya pada harga jual itu diukur berdasarkan pada

rasionalitas yang proporsional. Sejauh salah satu atau beberapa

pandangan mazhab itu dianut oleh fatwa DSN-MUI, maka ia berlaku

sebagai prinsip syariah.

C. Perjanjian Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Hukum Perdata Umum

1. Pengertian

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan

mengenai perjanjian pembiayaan menganut kepada ketentuan umum

mengenai hukum perikatan atau verbintenis. Perikatan merupakan suatu

hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana

pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan

pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.43

Subekti memberikan penegasan bahwa sumber dari

perikatan adalah perjanjian. Perjanjian itu sendiri merupakan suatu

peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain, sehingga kedua

orang itu berjanji untuk melakukan suatu hal. Dari peristiwa ini muncullah

hubungan hukum yang disebut sebagai perikatan.44

Selain perikatan itu bersumber dari perjanjian, perikatan juga

dapat lahir dari sesuatu yang lain yang dinamakan undang-undang.

42 Ibid. hlm. 11543 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta; PT. Intermasa, 2010), hlm. 144 Ibid. hlm. 2

Page 29: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

29

Dengan demikian, sumber perikatan itu ada dua macam, yaitu perikatan

yang lahir dari perjanjian, dan perikatan yang lahir dari undang-undang.45

Dari pengertian ini, jika dihubungkan kepada praktik

perbankan syariah yang mengeluarkan produk pembiayaan, maka

hubungan hukum atau perikatan yang terjadi adalah perikatan yang

bersumber dari perjanjian, yaitu antara pihak bank dan nasabah.

Mengenai definisi perjanjian disebutkan pula dalam Pasal

1313 KUH Perdata sebagai berikut :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu)

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain

atau lebih”

Batasan pengertian tersebut oleh para Sarjana Hukum

Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat

disebut rumusan perjanjian yang terdapat dalam ketentuan KUH Perdata,

kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung

kelemahan-kelemahan, sehingga perlu mengemukakan rumusan Rutten

sebagai berikut :

“Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan

formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung

dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang

yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan

salah satu pihak atas beban pihak atau demi kepentingan dan atas

beban masing-masing pihak secara timbal-balik”46

45 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 1-246 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang, Cet. I, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 46-47

Page 30: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

30

Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang

memberi wujud pengertian perjanjian antara lain, hubungan hukum

(rechtsbettrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang

(person) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban

pada pihak lain tentang suatu prestasi. Dengan demikian, perjanjian

(verbintenis) adalah hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang oleh hukum

itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya.47

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan

suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai

dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hukum perjanjian hubungan

hukum tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh

karena adanya tindakan hukum (rechtshandeling). Tindakan/perbuatan

hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan

hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain

untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain pun menyediakan

diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak

memperoleh hak (rechts) dan pihak lain memikul kewajiban (plicht).

2. Keabsahan Perjanjian

Secara umum syarat-syarat sahnya suatu perjanjian

disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk sahnya persetujuan-

persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat: 1) sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya, 2) cakap untuk membuat suatu perikatan, 3) suatu

hal tertentu, 4) suatu sebab yang halal.

47 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet II, hlm. 6

Page 31: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

31

Dua syarat yang pertama,dinamakan syarat-syarat subjektif,

karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan

perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat

objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan

hukum yang dilakukan itu.48

Selanjutnya akan dirinci mengenai syarat-syarat perjanjian

tersebut sebagai berikut:

a. Kata sepakat

Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah

pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam

perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau

kesepakatannya (toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang

disepakati. Mariam Darus Budrulzaman melukiskan pengertian sepakat

sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemande

wilsverklaring) antar para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan

dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima

penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).49

Syarat adanya kesepakatan ini menunjukkan bahwa

perjanjian tidak akan terbentuk secara sah jika ternyata kata sepakat itu

muncul bukan atas kerelaan. Adapun yang menyebabkan syarat

48 Subekti, Aneka Perjanjian, cet. VIII, hlm. 17 49 Lihat dalam Khairandy Ridwan, Hukum Alih Teknologi, Modul II, (Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2004), hlm. 11

Page 32: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

32

kesepakatan ini tidak sah ada tiga hal, 1) paksaan (dwang), 2) penipuan

(bedrog), 3) kekhilafan/kekeliruan (dwaling).50

b. Kecakapan untuk mengadakan perikatan (perjanjian)

Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320

KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene

verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi percampuradukan penggunaan

istilah perikatan dan perjanjian. Dari kata “membuat” perikatan dan

perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang

demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang

merupakan tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut

dicantumkan sebagai unsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin

tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang.

Menurut J. Satrio, istilah yang tepat untuk menyebut

syaratnya perjanjian yang kedua ini adalah kecakapan untuk membuat

perjanjian.51 Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang

adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa

orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni, 1) orang yang

belum dewasa, 2) mereka yang berada di bawah pengampuan, 3) orang-

orang perempuan dalam pernikahan.

Seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 330

KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan

dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun,

50 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 23-2551 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 43

Page 33: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

33

tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedewasaan

seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua

atau wali sampai umur 18 tahun.

Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor

447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18

tahun, bukan 21 tahun.

Henry R. Cheseemen menjelaskan bahwa di dalam sistem

common law, seseorang dikatakan belum dewasa jika belum berumur

18 tahun (wanita) dan 21 tahun (pria). Dalam perkembangannya,

umumnya negara-negara bagian di Amerika Serikat telah menyepakati

bahwa kedewasaan tersebut ditentukan jika seseorang telah berumur 18

tahun yang berlaku baik bagi wanita maupun pria.52

c. Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu

hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUH Perdata

menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu

benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu

perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian haruslah

52 Lihat dalam Khairandy Ridwan, Hukum Alih Teknologi, Modul II, (Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2004), hlm. 23

Page 34: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

34

mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa

yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit

dapat ditentukan jenisnya. Istilah barang dimaksud di sini apa yang

dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa

belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti

yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek

perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. J.

Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu

dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut

harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.53

KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud

tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.

Misalnya mengenai perjanjian panen tembakau dari suatu ladang dalam

tahun berikutnya adalah sah. Perjanjian jual beli teh untuk seribu rupiah

tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.

d. Kausa hukum yang halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya

kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata

oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang

menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi

dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi

53 J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, hlm. 45

Page 35: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

35

dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak

milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila seseorang

membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka

jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud

membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual

pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli

membeli menbunuh orang dengan pisaunya, disini tidak ada kausa

hukum yang halal.

Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUH Perdata bahwa suatu

kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan

dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang

bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan

kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah

kesusilaan ini sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara

daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang

satu dan lainnya.

Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila

bertentangan ketertiban umum, keamanan negara, keresahan dalam

masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah

ketatanegaraan. Di dalam konteks Hukum Perdata International (HPI),

Page 36: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

36

ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas

hukum suatu negara. Kuasa hukum yang halal ini di dalam sistim

common law dikenal dengan istilah legality yang dikaitkan dengan

public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak sah (illegal) jika

bertentangan dengan public policy.54

Jika seluruh syarat itu digabungkan maka tergambar sebuah

kronologi sahnya suatu perikatan yang bersumber dari perjanjian. Bahwa

dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua

subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya

sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa

yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang

lain yang keduanya memiliki kecakapan hukum. Karena itu persetujuan

(overeenkomst) yang mengisi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan

Undang-Undang, kepentingan umum (openbare orde) dan nilai-nilai

kesusilaan (goede zeden). Apa yang menjadi objek atau isi dan tujuan

prestasi yang melahirkan perjanjian harus kausa yang halal.55

Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diuraikan di atas, kini

telah berkembang, tidak hanya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam

KUH Perdata, sebab dalam praktik pengadilan, hakim telah menambah

sahnya suatu perjanjian jika perjanjian tersebut memenuhi asas

keseimbangan berkontrak.56

54 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar), Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 21 55 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet II, hlm. 1156 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Simpanan, Jasa dan Kredit, cet. I, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 19

Page 37: BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf · peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha, meningkatkan

37

Berkaitan dengan hal ini, Sutan Remi Syahdeini,

megemukakan Putusan Esso Petroleum tahun 1968, dalam perkara

tersebut Pengadilan memutuskan bahwa tidak sah suatu perjanjian yang

menetapkan suatu perusahaan minyak setuju untuk memasok minyak

tanah kepada suatu pengecer dan melarang perusahaan pengecer itu untuk

menerima pemasukan dari tempat lain selama 21 tahun. Pengadilan

berpendapat bahwa pembatasan tersebut merupakan unreasonable in the

interest of publik dan mengakui bahwa dalam kasus ini, para pihak tidak

berada dalam kedudukan yang seimbang.57 Disamping itu terdapat teori

Consumer Ignorance, teori ini didasarkan kepada ketidaktahuan

konsumen sehubungan dengan makin majunya teknologi dan makin

beragamnya barang-barang yang diperdagangkan.58

57 Lihat dalam Ibid, hlm. 20 58 Ibid. hlm. 21