bab ii ketentuan-ketentuan jenis perjanjian kerja, … · khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat...

36
1 BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian Kerja Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Perburuhan sekarang ini disebut dengan istilah ketenagakerjaan, sehingga hukum perburuhan sama dengan hukum ketenagakerjaan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian ketenagakerjaan lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Sekalipun demikian, pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dirumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan, yaitu segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelumnya, selama, dan sesudah masa kerja. 1. Pengertian Perjanjian Kerja Perjanjian kerja menurut Pasal 1601 (a) KUHPerdata ialah suatu “Persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu tertentu”. Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para

Upload: others

Post on 08-Nov-2020

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

1

BAB II

KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA,

HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

A. Ketentuan-ketentuan Jenis Perjanjian Kerja Berdasarkan Undang-Undang

Ketenagakerjaan

Perburuhan sekarang ini disebut dengan istilah ketenagakerjaan, sehingga hukum

perburuhan sama dengan hukum ketenagakerjaan. Menurut Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian ketenagakerjaan lebih luas

dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Sekalipun

demikian, pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan

masih mempergunakan beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum

dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan dirumuskan pengertian istilah ketenagakerjaan, yaitu segala hal

yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelumnya, selama, dan sesudah

masa kerja.

1. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja menurut Pasal 1601 (a) KUHPerdata ialah suatu “Persetujuan

bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya

kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu tertentu”. Sedangkan

menurut Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan

bahwa: “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha

atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para

Page 2: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

2

pihak”. Prinsip yang menonjol dalam perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan

seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah

perintah dengan menerima upah. Jadi, apabila seseorang telah mengikatkan diri

dalam suatu perjanjian kerja, berarti ia secara pribadi otomatis harus bersedia bekerja

di bawah perintah orang lain.

Mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian kerja, maka pembuatannya harus

memenuhi syarat materiil (Pasal 52, 55, 58, 59, dan Pasal 60 Undang-Undang

Ketenagakerjaan) dan syarat formil (Pasal 54 dan 57 Undang-Undang

Ketenagakerjaan). Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang

Ketenagakerjaan secara materiil perjanjian kerja dibuat atas dasar:

a. Kesepakatan kedua belah pihak;

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam huruf a dan b merupakan syarat subjektif, sedangkan dasar huruf c dan

d merupakan syarat objektif. Dalam hal terjadi di mana perjanjian kerja itu tidak

memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu

pihak (yang tidak cakap) memiliki hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan

oleh hakim. Kemudian, apabila perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif,

perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula dianggap tidak pernah ada

Page 3: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

3

perjanjian atau perikatan sehingga para pihak tidak memiliki dasar untuk saling

menuntut di muka sidang pengadilan.

Mengenai bentuk dan isi perjanjian kerja berarti membahas tentang syarat

formil suatu perjanjian kerja. Walau tidak ada satu pun peraturan yang mengikat

tentang bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan adanya “asas kebebasan

berkontrak”, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya

boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apa pun asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam

praktik masih ada pihak yang sengaja dan salah menafsirkan penerapan “asas

kebebasan berkontrak”. Dianggapnya asas ini perjanjian kerja dapat dibuat dengan

semuanya dan tanpa mematuhi rambu-rambu hukum yang berlaku. Beberapa contoh

di antaranya perjanjian yang mencantumkan:

a. Masa percobaan yang melebihi 3 bulan atau masa percobaan berulang-

ulang;

b. Masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tertentu;

c. Hubungan kerja melanggar ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu;

d. Upah di bawah ketentuan upah minimum;

e. Melanggar atau meniadakan ketentuan perhitungan upah lembur;

f. Melanggar atau meniadakan program jamsostek;

g. Membatasi kegiatan serikat pekerja/serikat buruh;

h. Melebihi periode kerja 10 minggu berturut-turut bekerja tanpa hari

istirahat untuk daerah operasi tertentu;

Page 4: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

4

i. Pekerja perempuan ditekan harus mengundurkan diri apabila hamil,

melahirkan, atau menyusi; dan

j. Pembayaran uang pesangon kurang dari ketentuan Pasal 156 Undang-

Undang Ketenagakerjaan.

Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur

bahwa perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan, ini berarti memungkinkan

perjanjian kerja dapat dibuat secara tidak tertulis. Guna kepentingan pembuktian jika

suatu saat diperlukan para pihak atau pihak lain yang berkepentingan, menurut

penulis perjanjian kerja itu harus berbentuk atau dibuat secara tertulis. Khusus untuk

perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil

sebagaimana ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:

a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Page 5: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

5

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,

perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang

kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama,

serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu)

perjanjian kerja.

2. Perjanjian Kerja Melahirkan Hubungan Kerja

Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja dan perjanjian kerja

merupakan peristiwa hukum sehingga konsekuensi suatu hubungan kerja

menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi para pihak, yakni

pengusaha dan pihak pekerja/buruh. Hak adalah suatu peranan yang boleh atau tidak

dilakukan oleh subjek hukum. Karenanya, apabila hak dilanggar, tidak berakibat

sanksi apapun bagi pelakunya. Sedangkan kewajiban adalah suatu peranan yang harus

atau tidak harus dilakukan oleh subjek hukum. Karenanya, apabila kewajiban

dilanggar, berakibat sanksi bagi setiap pelakunya.

Pada dasarnya hubungan kerja merupakan hubungan yang mengatur/memuat

hak dan kewajiban antara pelaku/buruh dan pengusaha. Takaran hak dan kewajiban

masing-masing pihak haruslah seimbang. Dalam konteks hubungan kerja, kewajiban

para pihak berlangsung secara timbal balik. Artinya, “Kewajiban pengusaha

Page 6: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

6

merupakan hak pekerja/buruh” dan sebaliknya “Kewajiban pekerja/buruh merupakan

hak pengusaha”. Untuk itu, jika terjadi pelanggaran kewajiban yang telah diatur

peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja, masing-masing pihak dapat

menuntut pihak lainnya.

3. Ciri-ciri Hubungan Kerja

Dalam perjanjian kerja terdapat ciri-ciri agar suatu perjanjian kerja dapat

dijalankan. Ketiga ciri-ciri tersebut adalah (1) ada pekerjaan, (2) ada upah, (3) di

bawah perintah.1

1. Ada Pekerjaan

Pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh buruh untuk

kepentingan majikan sesuai dengan isi perjanjian kerja. Hal ini merupakan

pokok dari klausula “buruh mengikatkan diri untuk bekerja”. Pada

dasarnya buruh sendiri yang harus melakukan pekerjaan sebagaimana

tercantum dalam perjanjian. Akan tetapi, apabila ia berhalangan

melakukan pekerjaan tersebut, atas izin majikan, buruh dapat menyuruh

orang ketiga (orang lain) untuk menggantikan melakukan pekerjaan. Hal

ini ditegaskan dalam pasal 1603(a) KHUPerdata, yaitu: “Buruh wajib

melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin melakukan sendiri

pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh orang

ketiga menggantikannya”.

1 Abdul Rachman Budiono, Hukum Perburuhan Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm 34-38

Page 7: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

7

2. Ada Upah

Di dalam Pasal 1 Angka 30 Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan

bahwa: “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan

dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja

kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu

perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,

termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu

pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Pada dasarnya

tidak ada upah apabila tidak ada pekerjaan (No Work, No Pay). Dalam

KUHPerdata hal ini ditegaskan dalam Pasal 1602 b, yang berbunyi:

“Tidak ada upah dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan

yang diperjanjikan”.

3. Di Bawah Perintah

Unsur yang paling khas dari perjanjian kerja adalah bahwa pekerjaan yang

dilakukan oleh buruh berada di bawah perintah majikan. Mengenai

seberapa jauh unsur “di bawah perintah” ini diartikan, tidak ada kriteria

yang pasti, tetapi bahwa dalam perjanjian kerja, unsur tersebut harus ada.

Apabila sama sekali tidak ada ketaatan kepada pemberi kerja, maka tidak

ada perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1603(b), yaitu:

“Buruh diwajibkan menaati peraturan-peraturan tentang hal melakukan

perkerjaan serta aturan-aturan yang ditujukan pada perbaikan tata-tertib

dalam perusahaan majikan, yang diberikan kepadanya oleh atas nama

Page 8: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

8

majikan di dalam batas-batas aturan-aturan undang-undang atau

perjanjian maupun reglemen, atau jika itu tidak ada menurut kebiasaan”.

4. Jenis-jenis Perjanjian Kerja

Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 56 ayat (1) dan (2),

menyatakan bahwa:

1. Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau tidak tertentu.

2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) didasarkan atas:

a. Jangka waktu; atau

b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Perjanjian kerja yang dikaitkan dengan jangka waktunya sesuai dalam

Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)

antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang dibuat untuk pekerjaan tertentu yang

menurut jenis dan sifat kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,

sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), di mana jangka waktu

tidak ditentukan. Baik dalam perjanjian, undang-undang, maupun kebiasaan, atau

terjadi secara hukum karena pelanggaran pengusaha terhadap ketentuan perundang-

undangan yang berlaku. Pengertian tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1603 q ayat

(1) KUHPerdata dan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam

Page 9: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

9

Pasal 1603 q ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa: “Waktu lamanya hubungan

kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam

peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan, maka hubungan kerja

itu dipandang diadakan untuk waktu tidak tertentu”.

Sedangkan Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan

bahwa: “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis

bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan

sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu”. Perjanjian kerja waktu tertentu

pengusaha/pemberi kerja tidak dapat mensyaratkan adanya masa pencobaan kerja

bagi pekerja. Dalam hal ini pencobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tertentu

yang dijadikan syarat maka akan batal demi hukum. Perjanjian kerja waktu tertentu

hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau

kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau

produk tambahan yang masih dalam pencobaan atau penjajakan.

Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu

dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1

Page 10: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

10

(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.2 Pengusaha yang

bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari

sebelum perjanjian kerja waktu tertentu telah memberitahukan maksudnya secara

tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu

tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari

berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja

waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

Di samping itu, di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

No. 100/MEN/IV/2004 diatur lebih lanjut mengenai persyaratan PKWT atas 4 jenis

pekerjaan. Misalnya mengenai PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau

sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun diatur dalam

Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut sebagai berikut:3

1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah

PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.

2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3

(tiga) tahun.

3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari

yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat

selesainya pekerjaan.

2 Pasal 59 Angka 4 UU Ketenagakerjaan 3 R. Joni Bambang S, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, Hlm 113

Page 11: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

11

4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus

dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.

5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun

karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat

dilakukan pembaharuan PKWT.

6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah

melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh ) hari setelah berakhirnya

perjanjian kerja.

7. Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam

ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.

8. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan umum ayat (5) dan ayat (6)

yang dituangkan dalam perjanjian.

Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pada umumnya menurut ketentuan

yang telah diatur merupakan perjanjian kerja yang bersifat musiman yang bergantung

pada musim atau cuaca. PKWT dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan saja, yang

tujuannya untuk memenuhi pesanan atau target tertentu. Pekerjaan yang berhubungan

dengan produk baru secara tidak langsung akan berhubungan dengan perjanjian kerja

waktu tertentu. Ketentuan PKWT dan PKWTT sudah jelas di dalam UU

Ketenagakerjaan, akan tetapi ketentuan PKWT demi hukum dapat berubah menjadi

PKWTT bila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha/pemberi kerja.

Perubahan perjanjian kerja tersebut termuat di dalam Pasal 15

KEP.100/MEN/VI/2004 yang menyatakan bahwa:

Page 12: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

12

1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah

menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)4, atau Pasal 5 ayat (2)5, maka PKWT

berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.

3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan

produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2)6 dan ayat (3)7,

maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.

4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30

(tiga puluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWTT dan tidak

diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka PKWT

berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.

5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh

dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2),

ayat (3), dan ayat (4), maka hak-hak pekerja/buruh dan prosedur

penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

bagi PKWTT.

4 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 4 ayat (2), “PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjan pada musim tertentu”. 5 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 5 ayat (2), “PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan”. 6 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (2), “PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun”. 7 KEP.100/MEN/VI/2004, Pasal 8 ayat (3), “PWKT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan”.

Page 13: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

13

Adapun mengenai perjanjian waktu tidak tertentu diatur dalam Undang-

Undang Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini memberikan kesempatan kepada

pengusaha/pemberi kerja untuk memberlakukan masa percobaan paling lama 3 bulan.

Salah satunya dilatarbelakangi oleh karena sifat perjanjian yang bersifat berkelanjutan

dan jangka panjang maka perusahaan memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja

tersebut menjadi pekerja tetapnya. Sekalipun demikian, menurut Pasal 61 tersebut,

walaupun diberlakukan masa percobaan selama 3 bulan, perusahaan tidak

diperkenankan membayar upah di bawah upah minimum.

Berhubungan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan

KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mengenai

perjanjian kerja. Perjanjian kerja berkaitan dengan jenis dan sifat pekerjaan yang

dijalankan, hal ini termuat di dalam Pasal 2 KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis Dan

Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Secara Terus Menerus yang menyatakan bahwa:

“Pengusaha dapat memperkerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk

pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara

terus menerus”. Lebih lanjut lagi mengenai jenis pekerjaan yang dijalankan terus

menerus termuat di dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa:

1. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, yakni:

a. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;

8 KEP.233/MEN/2003, Pasal 2, “Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan”.

Page 14: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

14

b. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;

c. Pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;

d. Pekerjaan di bidang usaha pariwisata;

e. Pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;

f. Pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air

bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;

g. Pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;

h. Pekerjaan di bidang media masa;

i. Pekerjaan di bidang pengamanan;

j. Pekerjaan di lembaga konversi;

k. Pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses

produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat

produksi.

B. Hasil Penelitian

1. Perselisihan Hubungan Industrial antara Warsito dan PT. Jogja Tugu Trans.

Dalam perkara gugatan Warsito yang beralamat di Jogokerten RT 005 RW

013 Trimulyo Sleman menggugat PT. Jogja Tugu Trans (PT JTT) yang beralamat di

Jl. Raya Jogja – Wonosari Km 4,5 No 24 B Yogyakarta. Warsito mengajukan Surat

Gugatan pada tanggal 06 Oktober 2014 dengan melampirkan Risalah Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial melalui Mediasi pada tanggal 02 April 2014

melalui Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten

Bantul. Kemudian pada tanggal 07 Juli 2014 diterima dan didaftarkan di Pengadilan

Negeri Yogyakarta pada tanggal 09 Oktober 2014 dalam Register Nomor 7/Pdt.Sus-

Page 15: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

15

PHI/2014/PN/Yyk. Gugatan yang diajukan Warsito melewati proses bipartiet dan

mediasi tripartiet, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 02 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam gugatan yang

diajukan Warsito selaku karyawan yang bekerja pada PT. Jogja Tugu Trans yang

bekerja selama lima tahun sejak 20 Februari 2008 sampai dengan 20 maret 2013

dengan nemerima upah terakhir sebesar Rp. 2.074.000.00 (dua juta tujuh puluh empat

ribu rupiah). Gugatan ini juga mengenai Perselisihan Pengakhiran Hubungan Kerja,

dimana PT. JTT telah mengakhiri hubungan kerja dengan Warsito secara sepihak dan

semena-mena serta tidak berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dengan adanya Pengakhiran Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan

PT. JTT, Warsito merasa dirugikan. Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian

hukum, Warsito mengajukan gugatan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Warsito adalah karyawan yang bekerja sebagai PRAMUDI pada PT. Jogja

Tugu Trans sejak 20 Februari 2008 dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) yang selalu diperpanjang setiap tahunnya tanpa jeda waktu tertentu serta

tanpa adanya masa percobaan. PT. JTT adalah sebuah perusahaan yang bergerak

dibidang jasa transportasi angkutan orang sesuai dengan “Perjanjian Kerja Sama

Antara Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan PT. Jogja Tugu Trans

Nomor : 4/PERJ/GUB/II/2008 | Nomor : 31/JTT/II-2008 Tentang Pengelolaan Sistem

Pelayanan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum Wilayah Perkotaan

Dengan Sistem “Buy The Service” di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Salinan

PKS Antara Pemerintah DIY dengan PT. Jogja Tugu Trans)”. Sejak tanggal 20

Page 16: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

16

Februari 2008 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :

145/PKWT/JTT/II/2008 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung

sejak tanggal 20 Februari 2008 hingga tanggal 20 Februari 2009 dengan gaji sebesar

Rp. 2.050.000.00 (dua juta lima puluh ribu rupiah) untuk setiap bulannya. Pada

tanggal 02 Maret 2009 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :

145/PKWT/JTT/III/2009 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung 02

Maret 2009 sampai dengan 02 Maret 2010, dengan gaji sebesar Rp. 1.814.000.00

(satu juta delapan ratus empat belas ribu rupiah) untuk setiap bulannya.

Pada tanggal 02 Maret 2010 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja

Nomor : 145/PKWT/JTT/III/2010 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja

terhitung 02 Maret 2010 sampai dengan 02 Maret 2011, dengan gaji sebesar Rp.

1.814.000.00 (satu juta delapan ratus empat belas ribu rupiah) untuk setiap bulannya.

Pada tanggal 02 Maret 2011 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :

145/PKWT/JTT/III/2011 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung 02

Maret 2011 sampai dengan 02 Maret 2012, dengan gaji sebesar Rp. 2.074.000.00

(dua juta tujuh puluh empat ribu rupiah), untuk setiap bulannya. Pada tanggal 02

Maret 2012 Warsito menandatangani Surat Perjanjian Kerja Nomor :

145/PKWT/JTT/III/2012 dengan Status Kerja PKWT dengan masa kerja terhitung 02

Maret 2012 sampai dengan 02 Maret 2013, dengan gaji sebesar Rp. 2.074.000.00

(dua juta tujuh puluh empat ribu rupiah), untuk setiap bulannya. Berdasarkan

perjanjian kerja yang dijalankan Warsito upah yang diterima oleh Warsito selama

bekerja ditempat PT. JTT berbeda-beda setiap tahunnya dan tidak sesuai dengan

ketentuan rincian kesepakatan perjanjian kerja sama di BOK (Biaya Operasional

Page 17: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

17

Kendaraan) antara Pihak Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan

Pihak PT. JTT.

Setelah menjalankan perjanjian kerja terus menerus tanggal 02 Maret 2013

Warsito secara tiba-tiba mendapatkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

sepihak dari pihak PT. JTT tanpa ada alasan yang jelas dan prosedur yang ada, dan

Warsito tidak merasa pernah melakukan kesalahan apapun dengan PT. JTT kemudian

Warsito berusaha menemui pihak managemen PT. JTT untuk menanyakan hal

tersebut, akan tetapi pihak managemen tidak mau ditemui dan menjelaskan alasan

pemutusan hubungan kerja kepada Warsito. Warsito pada tanggal 21 Maret 2013

mendapat surat dari PT. JTT yang intinya “Ucapan Terimakasih” terhadap jasa-jasa

Warsito selama bekerja di PT. JTT tanpa memberikan kompensasi hak-hak normatif

seperti, Pesangon, Uang Penghargaan masa kerja serta hak-hak normatif lain sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Warsito pada tahun 2013

melakukan upaya mediasi tripartiet dengan PT. JTT yang difasilitasi Dinas

Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Dinaskertrans) Kabupaten Bantul. Dari hasil

Tripartiet tersebut tidak ada kesepakatan dari pihak Warsito maupun PT. JTT dan

Dinaskertrans menerbitkan Surat Anjuran Nomor : 565/1028.

Surat Anjuran dari Dinaskertrans Kabupaten Bantul pada pokok isinya

menyatakan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dijalankan oleh PT. JTT

terhadap Warsito sebagai PRAMUDI yang selalu diperpanjang setiap tahunnya secara

berturut-turut dan tidak pernah ada jeda waktu bertentangan dengan ketentuan Pasal

59 Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 serta Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/VI/2004. Pemutusan

Page 18: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

18

hubungan kerja yang dilakukan PT. JTT merupakan murni keinginan PT. JTT dan

sesuai Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, PT. JTT diwajibkan

membayar hak Warsito berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Menurut Dinaskertrans setelah dikeluarkannya Surat Anjuran tersebut PT.

JTT tidak mempunyai itikad baik untuk menjalankan Anjuran Penyelesaian

Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja.

Menurut Warsito, PT. JTT sebagai Perusahaan yang menjalankan produksi

secara terus menerus dan bersifat tetap pekerjaan yang dilakukannya, maka tidak

dibenarkan melakukan perjanjian kerja waktu tertentu, karena hal ini bertentangan

dengan ketentuan Pasal 58, Pasal 59 ayat (2) dan (7) Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 15 ayat (4) Keputusan Menteri

Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu, serta Pasal 3 huruf k Keputusan Menteri Nomor 233 Tahun 2003 tentang

Pengaturan Jenis dan Sifat Pekerjaan Yang Dijalankan Terus Menerus, sehingga

perjanjian kerja waktu tertentu demi hukum berubah menjadi perjanjian kerja waktu

tidak tertentu. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh PT. JTT

merupakan murni keinginan PT. JTT, dan sesuai Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang

Ketenagakerjaan PT. JTT diwajibkan membayar hak-hak Warsito yang belum

dipenuhi selama bekerja di PT. JTT dengan berdasarkan dengan ketentuan

Perundang-undangan yang berlaku, sebagai berikut :

a. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2008-2009 Rp. 289.247.00 X 12 =

Rp. 3.470.964.00;

Page 19: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

19

b. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2009-2010 Rp. 525.247.00 X 12 =

Rp. 6.302.964.00;

c. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2010-2011 Rp. 525.247.00 X 12 =

Rp. 6.302.964.00;

d. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2011-2012 Rp. 265.2473.00 X 12 =

Rp. 3.182.964.00;

e. Upah yang tidak terbayar pada tahun 2012-2013 Rp. 265.2447.00 X 12 =

Rp. 3.182.964.00;

f. Pesangon 6 X Rp. 2.339.247.00 = Rp. 144.035.4482.00

g. Uang Penghargaan masa kerja 2 X Rp. 2.339.247.00 = Rp. 44.678.494.00

h. Uang Penggatian Hak (f+g) = Rp. 2.807.069.00

i. Cuti yang belum diambil 3 hari X (Rp. 233.9247.00 : 25) =Rp.

44.244.601.00

= Rp. 44.244.601.00

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan PT. JTT secara sepihak

membuat Warsito mengalami kerugian immaterial yang jika dinominalkan sebesar

Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). Atas kerugian yang dialami Warsito dan

PT. JTT tidak mempunyai itikad baik maka Warsito merasa perlu meletakkan sita

jaminan atas aset PT. JTT berupa Bus Trans Jogja plat Nomor AB 7058 AS yang

dimiliki PT. JTT.

Dalam pokok perkara yang diajukan sebagai gugatan Warsito, PT. JTT

menolak seluruh dalil gugatan untuk seluruhnya kecuali yang PT. JTT akui

kebenarannya. Warsito telah bekerja di PT. JTT dengan status perjanjiian kerja waktu

Page 20: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

20

tertentu (PKWT) sebagaimana Pasal 1 Angka (4), (5) dan dievaluasi setiap tahunnya

karena hal ini didasarkan pekerjaan yang dilakukan tidak tetap dan terbatas oleh

waktu tertentu yaitu berdasarkan MOU/Perjanjian dengan Pemerintah Daerah

Provinsi DIY dengan PT. JTT berdasarkan kontrak pertahun antara

pemerintah/regulator melalui DISHUBKOMINFO Provinsi DIY yang dievaluasi

setiap tahun sehingga sewaktu-waktu kontrak tersebut dapat dihentikan oleh

DISHUBKOMINFO. Pekerjaan yang dijalankan Warsito merupakan program

pelayanan umum dan merupakan pilot projek pemerintah yang sewaktu-waktu

dievaluasi dan dapat dihentikan, karena merupakan kegiatan baru, hal ini dibuat

sesuai Pasal 59 Ayat (1) a dan (1) d Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dijalankan Warsito dan

diterapkan di PT. JTT yang selalu diperpanjang dan diperbaharui, hal ini menurut PT.

JTT sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan

serta Pasal 3 Ayat (5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :

KEP.100/MEN/VI/2004. Dalam hal mengenai jeda waktu perjanjian kerja waktu

tertentu (PKWT) yang diterapkan di PT. JTT menurut PT. JTT para pihak telah

sepakat untuk mengesampingkan masa jeda 30 hari, seperti diatur dalam Pasal 59

Ayat (6) Undang-Undang Ketenagakerjaan serta Pasal 3 Ayat (6) Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004. Menurut PT. JTT

apabila dilakukan masa jeda maka pekerja yang ingin bekerja kembali tidak dapat

diakomodir karena lowongan atau kesempatan tersebut sudah diisi oleh orang lain,

akan tetapi telah disepakati agar pekerja mengajukan lamaran baru ke PT. JTT, hal ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Ayat (8) KEP.100/MEN/VI/2004 yang berbunyi :

Page 21: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

21

“Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) yang

dituangkan dalam perjanjian”.

Kemudian mengenai upah/gaji yang diterima Warsito merupakan kesepakatan

bersama antara Warsito dengan PT. JTT yang dituangkan dalam Surat Perjanjian

Kerja, adapun besarnya upah/gaji merupakan hasil evaluasi tahun sebelumnya,

dimana besarnya gaji/upah tersebut juga dipengaruhi adanya kenaikan bahan bakar

minyak, sehingga upah yang diterima Warsito setiap tahunnya akan berbeda-beda

akan tetapi masih diatas Upah Minimun Regional Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut PT. JTT pada tanggal 02 Maret 2013 Warsito tetap masih masuk kerja

sebagaimana biasanya sampai tanggal 15 Maret 2013, sehingga apa yang didalilkan

Warsito di PHK pada tanggal 02 Maret 2013 senyatanya tidak masuk kerja

sebagaimana biasanya karena sudah mengetahui apabila perjanjian kerja waktu

tertentu tidak diperpanjang lagi. Kemudian pada tanggal 21 Maret 2013 menerima

surat “ucapan terimakasih” atas jasa-jasa selama bekerja di PT. JTT, karena masa

kontraknya Warsito senyatanya telah habis dan tidak diperpanjang lagi kontraknya

sehingga diberi ucapan terimakasih atas jasa-jasanya, adapun yang berkaitan dengan

hak-hak Warsito setelah berhenti bekerja hak tersebut sudah dapat diambil.

Mengenai perundingan Tripartiet yang dilakukan pada tanggal 02 April 2014

di kantor Dinaskertrans Kabupaten Bantul Nomor 565/1028 berupa Surat Anjuran

dari Dinaskertrans sangat tidak berdasar menurut PT. JTT sehingga perundingan

tersebut ditolak dengan tegas. Menurut PT. JTT sebagaimana sudah diuraiankan di

atas mengenai dasar-dasar hukum perjanjian kerja sehingga kontrak Warsito hanya

sebagai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), demikian juga Warsito berhenti

Page 22: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

22

tidak bekerja karena kontraknya habis dan tidak diperpanjang senyatanya tidak

pernah masuk bekerja lagi untuk memenuhi kewajibannya demikian juga sebaliknya

PT. JTT sudah tidak memberikan hak-haknya Warsito karena Warsito sudah tidak

bekerja lagi. Berkaitan dengan hak-hak Warsito yang sudah tidak bekerja lagi,

senyatanya Warsito telah mengambil hak-haknya melalu istrinya, dengan demikian

membuktikan antara Warsito dan PT. JTT berkaitan dengan hak-hak karyawan

berhenti bekerja sudah tidak ada permasalahan lagi. Warsito pun telah memenuhi

hak-hak upah/gajinya sebagaimana yang telah diperjanjikan antara kedua belah pihak

sehingga tidak ada upah/gaji yang belum terbayarkan, demikian juga berkaitan

dengan hak-hak lainnya senyatanya masa kontrak Warsito sudah habis dan tidak

diperpanjang lagi hal ini dipersamakan dengan karyawan keluar.

Warsito yang telah tidak bekerja lagi di PT. JTT maka cukup beralasan hukum

apabila Warsito tidak menerima upah/gaji dari PT. JTT, hal demikian disesuaikan

dengan ketentuan Pasal 93 Ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun

mengenai hak-hak Warsito sudah diambil oleh istrinya pada tanggal 30 Maret 2013

berdasarkan surat kuasa dari Warsito, sehingga tidak beralasan hukum apabila

Warsito melakukan gugatan terhadap PT. JTT sedangkan hak-haknya sudah dipenuhi.

Kerugian immaterial yang di tambahkan Warsito dalam gugatannya sebesar Rp.

50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) haruslah dalilnya ditolak, selain perlu adanya

pembuktian terlebih dahulu, kerugian imateriil yang mendasarkan kehilangan

pekerjaan merupakan konsekuensi logis yang diakibatkan Warsito melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perusahaan maupun kinerjanya tidak memenuhi

standar operasional yang telah ditetapkan. Mengenai dalil gugatan yang menyatakan

Page 23: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

23

sita jaminan terhadap Armada Bus Trans Jogja dengan Plat Nomor Polisi AB 7078

AS yang dimohonkan Warsito haruslah ditolak, selain data Bus yang dimohonkan

datanya tidak lengkap dikawatirkan terjadi salah objek apabila dilakukan eksekusi,

demikian juga Bus tersebut merupakan alat transportasi yang masih dioperasikan

untuk menunjang kelangsungan operasional perusahaan untuk melayani kepentingan

publik akan jasa transportasi, oleh karenanya sita jaminan yang dimohonkan Warsito

bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 Ayat (8) HIR.

2. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat I dalam Putusan No. 7/Pdt.Sus-

PHI/2014/PN.Yyk.

Putusan Majelis Hakim pada Tingkat I yang terkait dengan jenis perjanjian

kerja antara Warsito dengan PT. JTT yang dimuat dalam diktum dalam pokok perkara

sebagaimana tercantum pada diktum yang ke dua dan ke tiga sebagai berikut :

a. Menyatakan bahwa Tergugat telah melanggar ketentuan Pasal 58, Pasal 59

Ayat (2) dan (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dan Pasal 15 Ayat 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang

Dijalankan secara Terus Menerus;

b. Menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara

Penggugat dan Tergugat demi Hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak

Tertentu (PKWTT) sejak tanggal 02 Maret 2011 pada saat dimulainya

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ke 4.

Dasar Pertimbangan Majelis Hakim terhadap Putusan di atas tersebut, yaitu:

a. Menimbang, bahwa pada Pasal 4 tentang Penerimaan Karyawan Baru ayat 3

Peraturan Perusahaan Tergugat Periode 2012-20149 menyatakan bahwa bagi

calon karyawan yang memenuhi persyaratan harus memahami dengan baik

9 Vide bukti T-15 : Fotokopi Peraturan Perusahaan periode 2012-2014 yang telah disahkan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabuupaten Bantul.

Page 24: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

24

segala peraturan dan tata tertib yang berlaku. Setelah yang bersangkutan

menyetujui segala peraturan dan tata tertib tersebut, harus menjalani magang

selama 2 (dua) tahun;

b. Menimbang, bahwa dengan diaturnya keharusan magang tersebut, Majelis

Hakim berpendapat Tergugat telah melanggar Pasal 58 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa : (1)

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa

percobaan kerja, (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam

perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja

yang disyaratkan batal demi hukum;

c. Menimbang, bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan Tergugat di bidang

transportasi sehingga jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan Tergugat terus

menerus dan merupakan pekerjaan yang bersifat tetap, bukan merupakan

pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya

akan selesai dalam waktu tertentu seperti yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Majelis

Hakim berpendapat bahwa Tergugat telah melanggar isi Pasal 59 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan Pasal 3

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang

Dijalankan secara Terus Menerus;

d. Menimbang, bahwa Penggugat dan Tergugat telah melakukan hubungan kerja

dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tanpa jeda waktu 30 (tiga

puluh) hari sejak 20 Februari 2008 sampai dengan 02 Maret 2013 (vide bukti:

P-310,P-411,P-512,P-613, dan P-714 dan T-315 dan keterangan Saksi P ke-116

Soliqin dan Saksi P ke-317 Arsiko Danuwidho A., Saksi T ke-118 Totok

Yulianto, Saksi T ke-219 Taufik Hendroyono, Saksi T ke-320 Ambar

Barunangrum, dan Saksi T ke-421 Andang Siswanto);

10 P-3 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2008 No. 145/PKWT/JTT/II/2008 antara Penggugat dan Tergugat. 11 P-4 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2009 No. 145/PKWT/JTT/III/2009 antara Penggugat dan Tergugat. 12 P-5 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2010 No. 145/PKWT/JTT/II/2010 antara Penggugat dan Tergugat. 13 P-6 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2011 No. 145/PKWT/JTT/III/2011 antara Penggugat dan Tergugat. 14 P-7 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja waktu tertentu tahun 2012 No. 145/PKWT/JTT/III/2012 antara Penggugat dan Tergugat. 15 T-3 : Fotokopi Perjanjian Kerja waktu tertentu No. 145/PPKWT/JTT/III/2012 tanggal 02 Maret 2012 antara PT. Jogja Tugu Trans (Tergugat) dengan Warsito (Penggugat). 16 P ke-1 : “bahwa kontrak diperpanjang secara terus-menerus sejak tahun 2008 tanpa ada jeda waktu”. 17 P ke-3 : “bahwa Perjanjian yang dilaksanakan PKWT untuk masa 1 (satu) tahun sebagai sopir dan diperpanjang setiap tahun tanpa jeda waktu” 18 T ke-1 : “bahwa tiap tahun ada perpanjangan tanpa jeda waktu dari awal kurang lebih 5 kaii” 19 T ke-2 : “bahwa kontrak Penggugat dari 2008 dan berakhir pada 02 Maret 2013”.

Page 25: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

25

e. Menimbang, bahwa persyaratan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang

dilaksanakan oleh Tergugat, dan persyaratan lamanya waktu dan jeda waktu

seperti diuraikan di atas tidak dilaksanakan oleh Tergugat sebagai hubungan

kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, menurut hemat Majelis

Hakim Tergugat telah melanggar isi Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 15 ayat (4) Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu;

f. Menimbang, bahwa persyaratan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang

dilaksanakan oleh Tergugat, dan persyaratan lamanya waktu dan jeda waktu

seperti tidak dilaksanakan oleh Tergugat, demi hukum Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu (PKWT) antara Penggugat dan Tergugat berubah menjadi Perjanjian

Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Dalam mempertimbangkan pendapat, Majelis Hakim Deden Fine Laksana, SH

sebagai Hakim Anggota Majelis I memberikan pendapat berbeda (Dissenting Opinion).

Dalam pertimbangan Menurut hemat Anggota Majelis Hakim I, Warsito tidak memiliki

kapasitas selaku Penggugat karena Warsito tidak memiliki persona standi in judicio di depan

pengadilan. Anggota Majelis Hakim (Deden) berpendapat mengenai perjanjian kerja waktu

tertentu (PKWT) antara Warsito dengan PT. JTT Nomor : 0145/PKWT/JTT/III/2012

tertanggal 02 Maret 2012 sampai dengan 02 Maret 2013, oleh karena masa kontrak kerja

Warsito telah berakhir pada tanggal 02 Maret 2013 dan senyatanya Warsito tidak memenuhi

standar operasional yang telah di tetapkan perusahaan, dengan demikian juga Warsito telah

melanggar peraturan perusahaan sehingga Warsito tidak di perpanjang lagi kontraknya.

3. Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Kasasi dalam Putusan No. 83K/Pdt.Sus-

PHI/2015

Putusan Majelis Hakim pada Tingkat Kasasi mengenai perjanjian kerja antara

Warsito dengan PT. JTT menyatakan:

a. Mengabulkan Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi (PT. Jogja Tugu

Trans).

b. Membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Yogyakarta, Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk.

20 T ke-3 : “ bahwa Penggugat bekerja dari tahun 2008 sampai 2012, tiap tahun kontrak diperpanjang tanpa jeda waktu”. 21 T ke-4 : ” bahwa saksi statusnya kontrak, karena PT. Jogja Tugu Trans juga statusnya kontrak”.

Page 26: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

26

Dasar Pertimbangan Majelis Hakim terhadap Putusan di atas tersebut, yaitu:

a. Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh

Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya pada pokoknya adalah:

I. Dissenting Opinion

Bahwa Putusan Perkaran Nomor 7/Pdt.Sus/PHI/PN.Yyk., tanggal 22

Desember 2014 senyatanya terdapat perbedaan pendapat dalam pertimbangan

hukumnya (dissenting opinion);

Bahwa Anggota Majelis I yang bernama Deden Fine Laksana, S.H., sebagai

Hakim Ad-Hoc dalam pertimbangan hukumnya telah mengabulkan eksepsi

Tergugat (Pemohon Kasasi) untuk seluruhnya;

Bahwa Pemohon Kasasi sependapat dengan pertimbangan hukum tersebut

karena, jelas-jelas Penggugat sudah tidak memiliki persona standi in judicio

di Pengadilan yaitu saat melakukan gugatan senyatanya Penggugat sudah

tidak terikat hubungan kerja dengan Tergugat sebagaimana pertimbangan

hukum Anggota Hakim I (putusan halaman 68 sampai dengan 74);

Bahwa apabila dihubungkan dengan Surat Kuasa tanggal 30 Maret 2013 yang

diberikan Warsito kepada istrinya untuk mengambi hak-haknya (bukti T-13)22

bilamana dicermati sangat jelas tertulis Warsito (Penggugat) telah mengakui

mengundurkan diri dari pekerjaannya (keluar) sehingga pengakuan Penggugat

tersebut merupakan bukti sempurna apabila Penggugat benar-benar sudah

tidak ada hubungan hukum dengan Tergugat, oleh karenanya gugatan yang

diajukan mengandung diskualifikasi;

Demikian juga berkaitan dengan eksepsi Obscuur libel telah dipertimbangkan

dengan tepat dan benar oleh Anggota Hakim I sebagaimana Putusan halaman

74 sampai dengan 79, sehingga pertimbangan hukum yang telah tepat dan

benar tersebut dapat diambil alih dan digunakan sebagai pertimbangan hukum

Mahkamah Agung dalam mengambil Keputusan mengabulkan eksepsi

Tergugat untuk seluruhnya;

II. Tidak Cermat Dalam Pertimbangan Hukumnya

Bahwa Pemohon Kasasi (Tergugat) keberatan dengan pertimbangan hukum

Hakim Pengadilan Tingkat Pertama (Ketua Majelis dan Anggota Hakim II),

karena telah mempertimbangkan mengabulkan gugatan Penggugat untuk

sebagian, karena tidak sesuai fakta yang ada, selain itu dengan adanya

dissenting opinion maka membuktikan Penggugat benar-benar sudah tidak

berhak untuk mengajukan gugatan karena sudah tidak mempunyai kapasitas

selaku Penggugat, hal demikian karena saat mengajukan gugatan senyatanya

22 T-13 : Fotokopi bukti kas keluar PT. Jogja Tugu Trans, tanggal 13 Juni 2013 atas nama Warsito.

Page 27: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

27

Penggugat sudah tidak memiliki hubungan kerja dengan Tergugat karena

sudah tidak diperpanjang lagi kontraknya;

Bahwa selain itu Penggugat juga sudah mengetahui dan menyadari saat

melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;

Bahwa Hakim Pengadilan Tingkat Pertama tidak cermat dalam pertimbangan

hukumnya karena telah mempertimbangkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) Penggugat menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

(PKWTT);

Bahwa sebagaimana bukti T-323 berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

antara Tergugat (Pemohon Kasasi) dengan Penggugat (Termohon Kasasi)

terutama pada Pasal 1 angka 4 telah disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa

Penggugat (Termohon Kasasi) tidak akan menuntut untuk diangkat menjadi

Pegawai Tetap;

bahwa seharusnya Hakim Pengadilan Tingkat Pertama mempertimbangkan

ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata dimana para pihak yang membuat

kesepakatan/perjanjian terikat dengan perjanjian tersebut dan berlaku sebagai

Undang-Undang, termasuk terhadap Penggugat (Termohon Kasasi) harus

mentaati Perjanjian Kerja Waktu Tertentu terutama tidak akan menuntut untuk

diangkat menjadi Pegawai Tetap, dengan Penggugat (Termohon Kasasi)

menuntut menjadi Pegawai Tetap (PKWTT) melakukan gugatan merupakan

pelanggaran kesepakatan bersama yang telah dituangkan dalam Perjanjian

Kerja (bukti T-3), sehingga gugatan Penggugat (Termohon Kasasi) haruslah

ditolak.

III. Salah Pertimbangan Hukumnya

Bahwa pertimbangan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama yang

mempertimbangkan mengabulkan gugatan Penggugat berkaitan dengan uang

pesangon, penghargaan, dan penggantian hak, yang dipertimbangkan sebagai

berikut. Tergugat mempunyai kewajiban untuk membayar kompensasi

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Penggugat berdasarkan Pasal 156 ayat (1)

Undanag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (putusan

halaman 59);

Bahwa pertimbangan hukum tersebut di atas adalah salah pertimbangan

hukumnya, hal tersebut dapat dilihat apabila dikaitkan dengan perkara dalam

rekonvensi senyatanya Hakim Pengadilan Tingkat Pertama telah mengabulkan

gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian (putusan halaman 81) yaitu

mengenai: poin 2. Menyatakan sah secara hukum Surat Kuasa tanggal 30

23 T-3 : Fotokopi Perjanjian Kerja waktu tertentu No. 145/PKWT/JTT/III/2012 tanggal 02 Maret 2012 antara PT. JOGJA TUGU TRANS (Tergugat) dengan Warsito (Penggugat).

Page 28: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

28

Maret 2013 dari Tergugat Rekonvensi yang diberikan kepada istrinya

Tergugat Rekonvensi untuk mengambil hak-hak Tergugat Rekonvensi;

Bahwa bilamana dicermati, Tergugat Rekonvensi (Penggugat) telah memberi

kuasa kepada istrinya yang isinya Tergugat Rekonvensi (Penggugat)

mengakui telah mengundurkan diri dari Penggugat Rekonvensi (Tergugat),

sehingga pengakuan pengunduran diri tersebut, membuktikan Tergugat

Rekonvensi sudah tidak bekerja lagi dan dengan pengunduran diri secara

sukarela tersebut tidak ada kewajiban yang dibebankan kepada Penggugat

Rekonvensi sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, demikian juga dengan pengunduran diri dari tempat

kerjanya sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Kuasa tanggal 30 Maret

2013 (bukti T-13);

Bahwa dengan telah terbukti pertimbangan Hakim Pengadilan Tingkat

Pertama salah dalam menerpakan hukumnya, sehingga gugatan Penggugat

haruslah ditolak untuk seluruhnya;

b. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah

agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan

kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. JOGJA TUGU TRANS (PT.JTT) tersebut

dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial padaa Pengadilan

Negeri Yogyakarta, Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk., tanggal 22

Desember 2014, selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri

dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan.

C. Analisis

1. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat 1 dengan Ketentuan-ketentuan

Jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketengakerjaan.

Penulis sependapat dengan apa yang telah di Pertimbangan Hakim I mengenai

hal PT. Jogja Tugu Trans telah melanggar Pasal 58 dan Pasal 59 Ayat (2) dan (7)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan

bukti pada Pasal 4 tentang Penerimaan Karyawan Baru Ayat (3) Peraturan

Perusahaan PT. JTT Periode 2012-2014 yang menyatakan, “Bagi calon karyawan

yang memenuhi persyaratan harus memahami dengan baik segala peraturan dan

tata tertib yang berlaku”. Dengan adanya peraturan perusahaan tersebut sudah

Page 29: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

29

sangat jelas bahwa PT. JTT melanggar Pasal 58 Undang-Undang Ketenagakerjaan

mengenai persyaratan masa percobaan kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu (PKWT).

Penulis juga sependapat terhadap Pertimbangan Hakim yang menyatakan

bahwa PT. JTT melanggar Pasal 59 Ayat (2) dan (7) Undang-Undang

Ketenagakerjaan. Menurut Penulis status perjanjian kerja yang dijalankan Warsito

sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak sesuai dengan pekerjaan yang

dijalankan Warsito sebagai PRAMUDI. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanyalah

perjanjian kerja yang diadakan untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat

kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu dan tidak dapat diadakan untuk

pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu juga didasarkan

atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan

hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)

tahun. Kemudian dalam penerapan jangka waktu yang diterapkan PT. JTT kepada

Warsito selama bekerja 5 (lima) tahun sejak 20 Februari 2008 – 02 Maret 2013 (P-

324,P-425,P-526,P-627,P-728 dan T-329) dengan status Perjanjian Kerja Waktu

24 Vide bukti P-3 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2008 No. 145/PKWT/JTT/II/2008. 25 Vide bukti P-4 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2009 No. 145/PKWT/JTT/III/2009. 26 Vide bukti P-5 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2010 No. 145/PKWT/JTT/II/2010. 27 Vide bukti P-6 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2011 No. 145/PKWT/JTT/III/2011. 28 Vide bukti P-7 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tahun 2012 No. 145/PKWT/JTT/III?2012. 29 Vide bukti T-3 : Fotokopi Surat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No. 145/PKWT/JTT/III/2012 tanggal 02 Maret 2012 antara PT. Jogja Tugu Trans dengan Warsito.

Page 30: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

30

Tertentu bertentang dengan Pasal 59 Ayat (4)30, semestinya merupakan Perjanjian

Kerja Waktu Tidak Tertentu. Berdasarkan ketentuan yang diterapkan PT. JTT

kepada Warsito yang sejak awal telah bertentangan dengan ketentuan yang

terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan mengenai Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu, maka demi hukum perjanjian kerja tersebut berubah menjadi

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.

Dalam hal Pembaharuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang diterapkan

PT. JTT terhadap Warsito tidak dijalankan PT. JTT. Seharusnya hal Pembaharuan

perjanjian kerja diadakan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari

setelah berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang lama, dan pembaharuan

Perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling

lama 2 (dua) tahun. Akan tetapi, dalam hal ini PT. JTT telah mengesampingkan

ketentuan tersebut yang telah tertera di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Menurut Penulis jelas sekali bahwa PT. JTT telah mengetahui akan hal tersebut

dan tetap tidak menerapkan ketentuan yang telah di atur. Maka dalam hal ini

Penulis sangat setuju bahwa PT. JTT telah melanggar Pasal 15 Ayat (4) Keputusan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu

Tertentu. Dengan demikian status perjanjian kerja Warsito yang semula Perjanjian

30 Pasal 59 Ayat (4), “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun d0an hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun”.

Page 31: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

31

Kerja Waktu Tertentu (PKWT) demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja

Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Perjanjian kerja yang dijalankan Warsito sebagai PRAMUDI yang bergerak di

jasa transportasi dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, menurut Penulis

tidaklah sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian kerja dalam Undang-

Undang Ketenagakerjaan. Kemudian selain status dan jenis sifat pekerjaan yang

dijalankan Warsito dalam hal Pembaruan perjanjian kerja juga disesuai dengan

ketentuan yang telah ada di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pekerjaan

yang dijalankan Warsito merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus

menerus. Penulis berpendapat mengenai perjanjian kerja yang dijalankan Warsito

sebagai PRAMUDI sejak awal merupakan jenis Perjanjian Kerja Waktu Tidak

Tertentu, karena pekerjaan yang dijalankan Warsito merupakan pekerjaan yang

bersifat tetap dan sifatnya tidak bersifat sementara karena harus melayani

masyarakat.

Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang

Dijalankan Secara Terus Menerus. Pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi

termasuk dalam pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan

dijalankan secara terus menerus. Dengan demikian Penulis setuju dengan

Pertimbangan Hakim mengenai PT. JTT telah melanggar ketentuan perjanjian

kerja.

Page 32: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

32

2. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Tingkat Kasasi dengan Ketentuan-

ketentuan Jenis Perjanjian Kerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Penulis berpendapat Pertimbangan Hakim pada Tingkat Kasasi mengenai

Permohonan yang diajukan mengenai keberatan-keberatan PT. Jogja Tugu Trans

tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan jenis perjanjian kerja dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan. Dalam hal keberatan-keberatan yang diajukan mengenai Dissenting

Opinion, Tidak Cermat Dalam Pertimbangan Hukumnya, dan Salah Pertimbangan

Hukumnya yang keberatan tersebut dapat dibenarkan Mahkamah Agung oleh karena

setelah meneliti secara seksama memori kasasi dan kontra kasasi yang dihubungkan

dengan pertimbangan Judex Facti. Keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon

Kasasi dikarenakan Warsito tidak memiliki persona standi in judicio di depan

Pengadilan dan mengenai eksepsi obscuur libel menurut Penulis tidaklah tepat. Jika

dicermati secara seksama mengenai Dissenting Opinion dan Obscuur libel dalam

perjanjian kerja antara Warsito dengan PT. Jogja Tugu Trans menurut Penulis

perjanjian kerja yang dijalankan Warsito sebagai PRAMUDI yang pekerjaannya

bergerak di jasa transportasi merupakan jenis perjanjian kerja yang dijalankan secara

terus menerus.

Dalam hal ini Warsito mengajukan gugatannya untuk menuntut status

pekerjaannya yang semula Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Penulis melihat dari apa yang

diterapkan PT. Jogja Tugu Trans dalam menjalankan kegiatan Perusahaannya telah

melanggar isi Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Page 33: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

33

Ketenagakerjaan dan Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor : KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan

yang Dijalankan secara Terus Menerus. Berdasarkan bukti-bukti yang telah ada dan

telah diperiksa oleh Majelis Hakim Tingkat I dan kebenarannya diakui PT. Jogja

Tugu Trans, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berlangsung selama 5 (lima)

tahun. Penulis berpendapat hubungan kerja antara Warsito dengan PT. Jogja Tugu

Trans seharusnya pada tahun yang ke-3 (tiga) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

(PKWTT). Oleh sebab itu menurut Penulis mengenai persona standi in judicio dan

Obscuur libel terhadap Warsito tidaklah tepat karena dalam hal gugatan perkara ini

Warsito mempunyai kapasitas untuk menuntut status perjanjian kerjanya.

Mahkamah Agung dalam mengadili sendiri telah membatalkan Putusan pada

Tingkat I. Menurut Penulis dengan membatalkan Putusan pada Tingkat I sangatlah

merugikan pihak Termohon Kasasi, dimana dalam hal perjanjian kerja yang telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sangat

jelas bahwa PT. Jogja Tugu Trans telah melanggar beberapa Pasal yang terdapat di

dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Penulis berpendapat mengenai Putusan

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor :

7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk sudahlah tepat. Dalam hal Pertimbangan Hakim pada

Tingkat I merupakan pertimbangan yang mendasarkan atas perjanjian yang ada,

kebiasaan, dan keadilan. Penulis melihat dari status perjanjian kerja yang dijalankan

Warsito sebagai PRAMUDI yang bergerak di jasa transportasi dengan status kerja

Page 34: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

34

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dijalankan selama 5 (lima) tahun

dalam hal perjanjian kerja tersebut sangat jelas PT. Jogja Tugu Trans telah melanggar

ketentuan Pasal 59 Ayat (2) dan (7) Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Pasal 15

Ayat (4) KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu, serta Pasal 3 huruf (k) KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat

Pekerjaan yang Dijalankan secara Terus Menerus, dengan demikian Perjanjian Kerja

Waktuu Tertentu(PKWT) yang dijalankan Warsito demi hukum berubah menjadi

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sejak terjadinya ketidaksesuaian

dengan ketentuan yang ada.

Mengenai Pasal 1338KUHPerdata dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT) merupakan perjanjian yang berhubungan dilihat dari definisi perjanjian kerja

menurut Pasal 1 angka 14 UUK yang berbunyi sebagai berikut: “Perjanjian kerja

adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja

yang memuat syarat – syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. Dengan adanya

perjanjian kerja ini maka timbulah hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, dalam

hal ini pengusaha dan buruh. Perjanjian kerja ini haruslah ditaati oleh pengusaha dan

buruh karena perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya, seperti yang tertera dalam Pasal 1338 KUHPerdata: “Semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. Sesuai ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata di atas, maka jelas bahwa

perjanjian kerja merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya yaitu

pengusaha dan buruh atau pekerja. Untuk itu, setiap hal yang diatur dalam perjanjian

Page 35: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

35

mengikat kedua belah pihak. Adapun kebebasan dalam membuat perjanjian yang

dibuat oleh para pihak yang kemudian mengesampingkan ketentuan peraturan

perundang-undangan Menurut Penulis tidak menjadi masalah asalkan perjanjian

tersebut dianggap telah sesuai baik dari sudut kepatutan, kebiasaan, dan Undang-

Undang.

Dalam hal mengenai keberatan yang diajukan Pemohon dan telah diperiksa

oleh Mahkamah Agung mengenai keberatan I, ke II, dan ke III yang dihubungkan

dengan pertimbangan Judex Facti, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Warsito

dianggap telah mengundurkan diri. Menurut Penulis, Mahkamah Agung telah salah

dalam mempertimbangkan keberatan-keberatan yang diajukan Pemohon. Dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai

ketentuan-ketentuan pekerja yang melakukan pengunduran diri yang termuat di dalam

Pasal 162 sebagai berikut:

1. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri,

memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4);

2. Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang

tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara

langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal

156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya

diatur dalam perjanjian kerja;

3. Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran

diri;

b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai

pengunduran diri.

4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas

kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial.

Page 36: BAB II KETENTUAN-KETENTUAN JENIS PERJANJIAN KERJA, … · Khusus untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis telah diatur syarat-syarat formil sebagaimana ketentuan Pasal 54

36

Mengenai penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (4), sebagai

berikut :

a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke

tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan

15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang

penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;

d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Dalam hal ini jelas sekali bahwa untuk pekerja/buruh yang mengundurkan diri

harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam perkara antara

Warsito dengan PT. Jogja Tugu Trans di Tingkat Kasasi, Mahkamah Agung

menyatakan bahwa Warsito dianggap telah mengundurkan diri. Bila dicermati

dalam Putusan Nomor 7/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Yyk tidak ada bukti-bukti

mengenai Warsito telah mengundurkan diri. Menurut Penulis jika Warsito

dianggap mengundurkan diri seharusnya hak-hak Warsito seluruhnya

dipenuhi secara penuh oleh PT. Jogja Tugu Trans, akan tetapi mengenai hak-

hak Warsito yang diambil oleh istrinya hanya mendapatkan uang pesangon,

gaji Warsito yang belum dipenuhi, tabungan hari tua, dan uang jaminan

seragam. Penulis berpendapat mengenai pengunduran diri yang diajukan

Pemohon Kasasi yang diperiksa oleh Mahkamah Agung dan dapat dibenarkan

sangatlah tidak tepat. Dengan demikian, dalam hal ini Penulis berpendapat

bahwa Mahkamah Agung dalam memeriksa Permohonan Kasasi tidak cermat.

Untuk itu dari penjelasan diatas Penulis tidak sependapat atas Pertimbangan

Hakim Tingkat Kasasi.