bab ii kerangka teori dan hipotesis 2.1 kualitas...
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Kualitas Audit
Terdapat beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa
ahli di bidang akuntansi, antara lain: Arens dan Loebbeeke (2006:15) :
Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information
to determine and report on the dagree of correspondance between the
information and established criteria. Auditing should be done by a
competent independent person. Kemundian menurut Mulyadi (2002:43):
Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti
secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan
kejadian ekonomis, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian
antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah
ditetapkan serta penyampaian hasil-hasil kepada pemakai yang
berkepentingan.
Berdasarkan pengertian mengenai audit tersebut dapat kita
simpulkan bahwasanya audit merupakan proses sistematik yang dilakukan
oleh seorang yang independen dan kompeten dalam melakukan
pemeriksaan dan memberikan opini terhadap kewajaran dari laporan audit
tersebut. Hasil pemeriksaan tersebut haruslah memiliki kualitas yang baik
sehingga menunjukan bahwa pelaksanaan pemeriksaan tersebut sudah
mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
Tidak mudah untuk menggambarkan untuk menggambarkan dan
mengukur suatu kualitas audit yang dihasilkan secara objektif hal ini
dikarenakan kualitas audit ini merupakan suatu konsep yang komplek dan
sulit untuk dipahami, hal ini yang menyebabkan sering sekali terdapat
kesalahan dalam menentukan sifat dan kualitasnya. Suatu kualitas audit
dijelaskan sebagai probabilitas atau kemungkinan dimana seorang auditor
akan menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran
dalam sistem akuntansi kliennya dengan pengetahuan dan keahlian
auditor (De Angelo, 1981 dalam Efendy,2010).
Deis dan Giroux (1992) dalam Efendy (2010) melakukan penelitian
tentang empat hal yang dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas
audit yaitu (1) lama waktu (tenure) auditor telah melakukan pemeriksaan
terhadap suatu perusahaan, semakin lama seorang auditor telah
melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang
dihasilkan akan semakin rendah; (2) jumlah klien, semakin banya jumlah
klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah
klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya; (3) kesehatan
keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada
kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti
standar; dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat
jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview
oleh pihak ketiga.
Menurut marxen (1990) dalam Efendy (2010), buruknya kualitas
audit disebabkan oleh beberapa perilaku disfungsional, yaitu:
Underreporting of time, premature sign off, alternatif/repalcement of audit
procedure. Underreporting of time menyebabkan keputusan personel yang
kurang baik, menutupi kebutuhan revisi anggaran, dan menghasilkan time
pressure untuk audit dimasa datang yang tidak diketahui. Sama halnya
Sosuktisno (2003) dalam haslinda (2010) yang menjelaskan Premature
sign-off (PMSO) merupakan suatu keadaan menunjukan auditor
menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang diperlukan dalam
prosedur audit tampa menggantikan dengan langkah yang lain.
Sedangkan altering/replacing of audit procedure adalah penggantian
prosedur audit yang seharusnya telah ditetapkan dalam standar auditing.
Kualitas audit adalah kemungkinan auditor menentukan dan
melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien,
begitu juga halnya kualitas audit yang ada didalam sektor swasta
dijelaskan bahwa kualitas audit yang baik jika pelaksanaan audit yang
dilakukan oleh auditor sesuai dengan ketentuan ataupun standar auditing
yang telah berlaku, sehingga dapat disimpulkan kualitas audit atau hasil
pemeriksaan disini adalah kualitas dari kerja seorang auditor yang
ditunjukan dengan laporan hasil pemeriksaan yang dapat diandalkan dan
sesuai dengan peraturan yang ada dimana dalam sektor publik sesuai
dengan SKPN ataupun peraturan lainnya mengenai audit pemerintahan
itu sendiri. Kualitas audit ini juga berhubungan dengan seberapa baik
sebuah pekerjaan diselesaikan dibandingkan dengan kriteria yang telah
ditetapkan, untuk auditor, kualitas kerja dilihat dari kualitas audit yang
dihasilkan yang dinilai dari seberapa banyak auditor memberikan respon
yang benar dari setiap pekerjaan audit yang diselesaikan (Tan dan Alison
dalam Mardisari, 2007). Pada sektor publik khususnya instansi
pemerintahan, kualitas audit diartikan sebagai probabilitas seorang auditor
atau pemeriksa dapat menemukan dan melaporkan suatu penyelewengan
yang terjadi pada suatu instansi pemerintahan (baik pusat maupun
daerah). Probabilitas dari temuan dan penyelewengan tergantung pada
kemampuan teknikal pemeriksa dan probabilitas pelaporan kesalahan
tergantung pada independensi pemeriksa dan kompetensi pemeriksa
tersebut untuk mengungkapkan penyelewengan, dalam meningkatkan
kualitas hasil pemeriksaan itu maka diperlukannya banyak pelatihan-
pelatihan bagi aparat pemeriksa itu sendiri (Djamil, 2008).
Prinsip-prinsip dasar dalam pernyataan standar audit (PSA) No.
1170 menjelaskan, bahwa aparat pengawasan Internal Pemerintahan
(APIP) harus mengembangkan program dan mengendalikan kualitas
audit, pernyataan ini mensyaratkan program pengembangan kualitas
mencakup seluruh aspek kegiatan audit APIP. Program tersebut
dirancang untuk mendukung kegiatan audit APIP, memberikan nilai
tambah dan meningkatkan kegiatan operasi organisasi serta memberikan
jaminan bahwa kegiatan audit dilingkungan APIP sejalan dengan standar
audit dan kode etik.
2.2 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Dalam wikipedia dijelaskan
pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari
oleh seseorang. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai
gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal.
Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk
mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum dilihat atau dirasakan
sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dalam diri
seseorang, diantaranya pendidikan, informasi/media massa, sosial budaya
dan ekonomi, lingkungan, pengalaman, usia, (Anonimous, 2011).
Menurut Ishak (2011: 8) pengetahuan adalah suatu fakta atau
kondisi mengetahui sesuatu dengan baik yang didapat lewat pengalaman
dan pelatihan. Definisi pengetahuan dalam ruang lingkup audit menurut
Sucipto (2007:7) adalah kemampuan penguasaan auditor atau akuntan
pemeriksa terhadap medan audit (penganalisaan terhadap laporan
keuangan perusahaan). Sedangkan menurut Raharjo (1998) dalam
Sucipto (2007: 7) pengetahuan auditor yang berkaitan dengan
pemeriksaan atau audit adalah:
1. Pengetahuan tentang penguasaan teknis dan seluk-beluk kewajiban
audit.
2. Pengetahuan jenis-jenis dokumen dalam operasi perusahaan dan alur
dokumen dalam operasi perusahaan.
3. Pengetahuan atas berbagai indikasi terjadinya kekeliruan dan
kecurangan dan kemampuan auditor untuk menguasai sisi psikologis.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara No.Per/05/M.Pan/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 menyatakan
auditor harus mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kompetensi
lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung jawabnya.
Pimpinan aparat pengawas intern pemerintah harus yakin bahwa latar
belakang pendidikan dan kompetensi teknis dari aparat pengawas intern
pemerintah harus memadai untuk pekerjaan pemeriksaan yang akan
dilaksanakan. Oleh karena itu, pimpinan aparat pengawas intern
pemerintah wajib menciptakan kriteria yang memadai tentang pendidikan
dan pengalaman dalam mengisi posisi di lingkungan aparat pengawas
intern pemerintah.
Aparat pengawas intern pemerintah harus mempunyai tingkat
pendidikan formal minimal Strata Satu (S-1) atau yang setara. Agar
tercipta kinerja audit yang baik maka aparat pengawas intern pemerintah
harus mempunyai kriteria tertentu dari pemeriksa (auditor) yang diperlukan
untuk merencanakan pemeriksaan (audit), mengidentifikasi kebutuhan
profesional pemeriksa (auditor) dan untuk mengembangkan teknik dan
metodologi pemeriksaan (audit) agar sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi unit yang dilayani oleh aparat pengawas intern pemerintah.
Sebagaimana peraturan yang dikeluarkan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Standar Audit Aparat
Pengawas Intern Pemerintah Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 yang
menyatakan bahwa latar belakang pendidikan pemeriksa bagi Aparat
Pengawas Intern Pemerintah harus mempunyai pendidikan formal minimal
adalah strata satu atau yang setara. Dengan latar belakang pendidikan
sarjana, diharapkan memiliki daya nalar dan logika berfikir yang lebih baik.
Pengetahuan teknis harus dimiliki oleh pemeriksa menurut Lubis
(2009) dalam Giu (2011: 14) adalah auditing, akuntansi, administrasi
pemerintahan dan komunikasi. Disamping wajib memiliki pengetahuan
tentang standar audit, metodologi, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik
audit, pemeriksa harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang
lingkungan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit yang
dilayani oleh aparat pengawas intern pemerintah, dalam hal pemeriksa
melakukan audit terhadap sistem keuangan, catatan akuntansi dan
laporan keuangan, maka pemeriksa wajib mempunyai keahlian atau
mendapatkan pelatihan di bidang akuntansi sektor publik dan ilmu-ilmu
lainnya yang terkait dengan akuntabilitas audit. Aparat pengawas intern
pemerintah pada dasarnya berfungsi melakukan audit di bidang
pemerintahan, sehingga pemeriksa harus memiliki pengetahuan yang
berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Selanjutnya menurut Batubara (2009: 16) auditor (pemeriksa) juga
harus memiliki pengetahuan yang memadai di bidang hukum dan
pengetahuan lain yang diperlukan untuk mengidentifikasi indikasi adanya
kecurangan (fraud). Pimpinan aparat pengawas intern pemerintah dan
auditor (pemeriksa) wajib memiliki keterampilan dalam berhubungan
dengan orang lain dan mampu berkomunikasi secara efektif, terutama
dengan objek pemeriksaan (audit). Mereka wajib memiliki kemampuan
dalam berkomunikasi secara lisan dan tulisan, sehingga mereka dapat
dengan jelas dan efektif menyampaikan hal-hal seperti tujuan kegiatan,
kesimpulan, rekomendasi dan lain sebagainya.
Secara umum ada 5 (lima) pengetahuan yang harus dimiliki oleh
seorang auditor menurut Kusharyanti (2003) dalam Giu (2011: 13) yaitu:
(1) Pengetahuan pengauditan umum, (2) Pengetahuan area fungsional,
(3) Pengetahuan mengenai isu-isu akuntansi yang paling baru, (4)
Pengetahuan mengenai industri khusus, (5) Pengetahuan mengenai
bisnis umum serta penyelesaian masalah. Pengetahuan pengauditan
umum seperti risiko audit, prosedur audit dan lain-lain kebanyakan
diperoleh diperguruan tinggi, sebagian dari pelatihan dan pengalaman.
Untuk area fungsional seperti perpajakan dan pengauditan dengan
komputer sebagian didapatkan dari pendidikan formal perguruan tinggi,
sebagian besar dari pelatihan dan pengalaman. Demikian juga dengan isu
akuntansi, auditor biasa mendapatkannya dari pelatihan profesional yang
diselenggarakan secara berkelanjutan. Pengetahuan mengenai industri
khusus dan hal-hal umum kebanyakan diperoleh dari pelatihan dan
pengalaman.
Adapun faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi
perkembangan pengetahuan akuntan pemeriksa menurut Sularso dan
Na’im (1999) dalam Sucipto (2007: 8) antara lain:
1. Pengalaman audit,
2. Diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja,
3. Pengawasan dan review pekerjaan oleh akuntan pemeriksa
pengawas,
4. Program pelatihan,
5. Tindak lanjut perencanaan audit, dan
6. Penggunaan pedoman audit.
Di samping faktor-faktor tersebut, menurut Libby dan Luft (1993)
yang dikutip oleh Thomas, Davis dan Seaman (1998) dalam Sucipto
(2007: 8), partisipasi dalam Continuing Professional Education (CPE) atau
pendidikan profesi berkelanjutan (PPL) juga dapat meningkatkan tingkat
pengetahuan seorang auditor dalam menjalankan tugas pengauditannya.
Dalam penelitian tersebut ternyata Continuing Professional Education
(CPE) atau pendidikan profesi berkelanjutan (PPL) ternyata terbukti dapat
meningkatkan pengetahuan seorang auditor yang kemudian berdampak
pada keahlian dan performance audit tersebut. Dalam penelitian ini
pengetahuan diukur melalui beberapa indikator yaitu pengetahuan
akuntansi dan auditing, pengetahuan standar pemeriksaan, dan
pengetahuan yang diperoleh dari jenjang pendidikan.
Bonner dan Lewis (1990) dalam Herawaty dan Susanto (2009)
mengungkapkan bahwa pengetahuan akuntan publik bisa diperoleh dari
berbagai pelatihan formal maupun dari pengalaman khusus, berupa
kegiatan seminar, lokakarya serta pengarahan dari auditor senior kepada
auditor yuniornya. Pengetahuan juga bisa diperoleh dari frekuensi seorang
akuntan publik melakukan pekerjaan dalam proses audit laporan
keuangan. Selanjutnya, Herawati dan Susanto (2009) menyatakan bahwa
seseorang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya akan memberikan hasil yang lebih baik daripada mereka yang
tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai akan tugasnya. Mereka
juga menambahkan bahwa seorang akuntan publik yang memiliki banyak
pengetahuan tentang kekeliruan akan lebih ahli dalam melaksanakan
tugasnya terutama yang berhubungan dengan pengungkapan kekeliruan.
Dalam penelitian ini pengetahuan diproksikan pada tiga dimensi yaitu
pengetahuan akuntansi dan auditing, pengetahuan standar pemeriksaan
dan pengetahuan yang diperoleh dari jenjang pendidikan.
1) Pengetahuan Akuntansi dan Auditing
Pengetahuan sangat penting untuk dimiliki oleh semua aparat
pengawas intern pemerintah terlebih diantaranya pengetahuan di bidang
akuntansi dan auditing. Pengetahuan akuntansi dan auditing ini
merupakan dasar penting yang mutlak dimiliki oleh aparat pengawas
intern pemerintah sebagai pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan.
Menurut Arens dan Loebbecke (1997: 3) akuntansi adalah proses
pencatatan, pengelompokan dan pengikhtisaran kejadian-kejadian
ekonomi dalam bentuk yang teratur dan logis dengan tujuan menyajikan
informasi keuangan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan.
Fungsi akuntansi bagi badan usaha dan masyarakat adalah menyajikan
informasi kuantitatif tertentu yang dapat digunakan oleh pimpinan entitas
ekonomi maupun pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Agar
penyajian tepat, seorang akuntan harus memiliki pengetahuan yang baik
mengenai prinsip-prinsip dan aturan-aturan dalam penyusunan informasi
akuntansi.
Sedangkan auditing menurut Arens dan Loebbecke (1997: 1),
adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang
informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang
dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat
menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh
seorang yang independen dan kompeten. Selanjutnya Agoes (2004: 3)
mendefinisikan auditing sebagai suatu pemeriksaan yang dilakukan
secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap
laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-
catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk
dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan
tersebut.
Dalam auditing, data akuntansi yang menjadi pokok adalah
menentukan apakah informasi yang tercatat telah mencerminkan dengan
benar kejadian ekonomi pada periode akuntansi. Oleh karena kriterianya
adalah aturan-aturan akuntansi, maka seorang auditor harus memahami
aturan-aturan dimaksud dengan baik. Dalam audit laporan keuangan,
aturan-aturan yang dimaksud adalah prinsip-prinsip akuntansi yang
berlaku umum. Di samping pemahaman mengenai akuntansi, auditor juga
harus memiliki keahlian dalam mengumpulkan dan menafsirkan bahan
bukti audit.
Pengetahuan akuntansi dan auditing yang dimiliki seorang aparat
pengawas intern pemerintah minimal harus mengetahui pemahaman
akuntansi dan auditing yang baik, pemahaman dalam bidang auditing,
pengetahuan praktik akuntansi serta pengetahuan praktik auditing. Dalam
penelitian ini pengetahuan akuntansi dan auditing diukur dengan
menggunakan indikator yang digunakan Ishak (2011) yaitu pemahaman
tentang akuntansi dan auditing, pemahaman di bidang auditing,
pengetahuan dan pengalaman praktik akuntansi, dan pengetahuan dan
pengalaman praktik auditing.
2) Pengetahuan Standar Pemeriksaan
Menurut PSA No. 01 (SA Seksi 150) dalam Agoes (2004: 30)
standar auditing berbeda dengan prosedur auditing. Prosedur berkaitan
dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan standar berkenaan
dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja tindakan tersebut dan berkaitan
dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan prosedur
tersebut. Jadi, berlainan dengan prosedur auditing, standar auditing
mencakup mutu professional (professional qualities) auditor independen
dan pertimbangan (judgement) yang digunakan dalam pelaksanaan audit
dan penyusunan laporan audit.
Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) terdiri dari sepuluh standar yang dikelompokkan
menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
a. Standar Umum
1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki
keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan,
independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor
wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan
seksama.
b. Standar Pekerjaan Lapangan
1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan
asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh
untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup
pengujian yang akan dilakukan.
3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang
diaudit.
c. Standar Pelaporan
1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah
disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia.
2. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan
penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan
periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi
tersebut dalam periode sebelumnya.
3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus
dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat
mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi
bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan.
Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka
alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan
dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat
petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang
dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul
oleh auditor, (IAI, 2001: 150.1 dan 150.2 dalam Agoes 2004: 30-
31).
Dalam melakukan pemeriksaan auditor harus mengetahui dan
memahami standar pemeriksaan agar dapat menghasilkan audit yang
berkualitas. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang
dilakukan auditor dikatakan berkualitas jika memenuhi standar auditing
dan standar pengendalian mutu. Dalam penelitian ini pengetahuan
standar pemeriksaan yang diperlukan diukur dengan menggunakan
beberapa indikator yaitu keahlian dan pelatihan teknis yang memadai,
independensi dalam sikap mental, penggunaan kemahiran professional
dengan cermat dan seksama, rencana pemeriksaan, telaah terhadap
sistem pengendalian intern, pengumpulan bukti kompeten yang cukup,
pernyataan tentang kesesuaian laporan keuangan dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum, pernyataan mengenai ketidakkonsistenan
penerapan prinsip yang berlaku umum.
3) Pengetahuan Yang Diperoleh Dari Jenjang Pendidikan
Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret tentang standar
audit Aparat Pengawas Intern Pemerintah latar belakang pendidikan
pemeriksa adalah auditor APIP harus mempunyai pendidikan formal
minimal adalah Strata Satu (S-1) atau yang setara. Untuk itu diperlukan
teknik dan metodologi pemeriksaan melalui pelatihan dan pelatihan yang
diperlukan harus dievaluasi secara periodik.
Dalam standar umum pertama menegaskan bahwa betapapun
tingginya kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk
dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan
yang dimaksudkan dalam standar umum pertama, jika tidak memiliki
pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.
Pendidikan formal auditor independen dan pengalaman profesionalnya
saling melengkapi satu sama lain.
Pendidikan formal diperoleh melalui perguruan tinggi, yaitu fakultas
ekonomi jurusan akuntansi negeri (PTN) atau swasta (PTS) ditambah
ujian UNA Dasar dan UNA Profesi. Karena untuk menjadi seorang Partner
KAP, yang berhak menandatangani audit report seseorang harus
mempunyai nomor register negara akuntan (registered accountant) dan
mulai tahun 1998 harus mempunyai predikat Bersertifikat Akuntan Publik
(BAP). Di bawah jenjang partner, ada audit manager, supervisor, senior,
asisten yang tidak harus seorang akuntan beregister (registered
accountant) namun harus pernah mempelajari akuntansi, perpajakan dan
auditing. Selain itu seorang auditor harus mengikuti pendidikan berprofesi
berkelanjutan (continuing professional education) baik yang diadakan di
KAP sendiri, oleh IAI atau di seminar dan lokakarya. Dalam setahun
seorang Partner KAP harus mengumpulkan antara 30-40 SKP. Seorang
auditor harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan yang
berkaitan dengan profesinya dan peraturan-peraturan pemerintah
termasuk perpajakan, (Agoes, 2004: 32).
2.3 Indepedensi
Independensi merupakan standar umum nomor dua dari tiga
standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang
menyatakan bahwa dalam semua hal yang berhubungan dengan
penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh
auditor. Keberadaan akuntan publik sebagai suatu profesi tidak dapat
dipisahkan dari karakteristik independensinya. Akuntan publik selalu
dianggap orang yang harus independen. Tanpa adanya independensi,
akuntan public tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil
auditan akuntan public sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa
pengauditan dari akuntan publik.
Masyarakat akan meminta pihak lain yang dianggap independen
untuk menggantikan fungsi akuntan publik. Atau dengan kata lain,
keberadaan akuntan publik ditentukan oleh independensinya. Keeratan
hubungan akuntan publik dengan independensi ini dapat ditinjau dari
posisi penting kata independensi dalam berbagai literatur pengauditan.
Dalam beberapa definisi pengauditan yang dikemukakan oleh pakar
pengauditan terkandung makna independensi, baik secara tersurat
maupun tersirat.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dengan Standar Audit
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah pada Standar Umum Kedua (PSA
APIP No.2100) menyatakan bahwa dalam semua hal yang berkaitan
dengan audit APIP harus independensi dan para auditornya harus obyektif
dalam pelaksanaan tugasnya, dalam standar ini menyatakan bahwa
independensi APIP serta objektivitas auditor diperlukan agar kredibilitas
hasil pekerjaan APIP meningkat. Penilaian independensi dan objektivitas
mencakup dua komponen berikut, yaitu:
1. Status APIP dalam organisasi, dan
2. Kebijakan untuk menjaga objektivitas auditor terhadap objek audit,
Sedangkan menurut Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007, bahwa standar umum kedua
dari Standar Pemeriksa Keuangan Negara, menyatakan dalam semua hal
yang berkaintan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa
dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari
gangguan pribadi, ekstern dan organisasi yang dapat mempengaruhi
independensinya. Pernyataan standar umum kedua ini menyatakan,
organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggungjawab utuk
dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga
pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak
memihak kepada pihak manapun.
Definisi independensi dalam the CPA Handbook menurut E.B
Wilcox yang dijelaskan dalam Mayangsari (2003) adalah suatu standar
auditing yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk
menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen,
jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya
tidak akan memberikan tambahan apapun. Kode Etik Akuntan tahun 1994
menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari
seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam
pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prisnsip integritas dan
objektifitas. Penelitian yang dialakukan oleh Lavin (1976) dijelaskan dalam
Renaldo (2010), dalam Elvira (28: 2012) menunjukan bahwa pembuatan
pembukuan perusahaan atau pelaksanaan fungsi pengolahan data oleh
auditor tidak akan berpengaruh terhadap teknik-teknik yang digunakan
auditor untuk mengaudit, selain itu penggunaan komputer klien untuk
hubungan bisnis dianggap juga tidak merusak independensi auditor.
Kata independensi merupakan terjemahan dari kata
“independence” yang berasal dari bahasa inggris, dalam kamus Oxford
Advanced Leaner’s Dictionary of Corrent English terdapat dari kata
“independence” yang artinya “dalam keadaan independen”. Adapun entri
kata “independence” bermakna “tidak tergantung atau dikendalikan oleh
orang lain atau benda, tidak mendasarkan diri pada orang lain, bertindak
atau berfikir sesuai dengan kehendak hati, bebas dari pengendalian orang
lain”. Makna independensi dalam pengertian umum ini tidak jauh berbeda
dengna makna independensi yang dipergunakan secara khusus dalam
literatur pengauditan (Hutami, 2010) dalam Elvira (28: 2012).
Arens, et al. (2000) mendefinisikan independensi dalam
pengauditan sebagai penggunaan cara pandang yang tidak biasa dalam
pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dan
pelaporan hasil temuan audit. Sedangkan Mulyadi (1992) dalam Elvira
(29:2012) menjelaskan independensi sebagai “keadaan bebas dari
pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak, tidak tergantung pada orang lain”
dan akuntan publik yang independen haruslah akuntan publik yang tidak
terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang barasal
dari luar dari akuntan dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya
dalam pemeriksaan (Hutami,2010).
Menurut Messier, et al. (2005) dalam Efendy (2010), independensi
merupakan suatu istilah yang sering digunakan oleh profesi auditor.
Independensi menghindarkan hubungan yang mungkin mengganggu
objektifitas auditor. BPKP (1998) mengertikan objektifitas sebagai
bebasnya seseorang dari pengaruh pandangan subyektif pihak-pihak lain
yang berkepentingan sehingga dapat mengemukakan pendapat apa
adanya.
Dalam buku Standar Profesi Akuntan Publik 1999 seksi 220 PSA No. 04
alinea 2, dijelaskan bahwa: “Independensi itu berarti tidak mudah
dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan
umum(dibedakan dalam hal berpraktik sebagai auditor intern). Dengan
demikian, ia tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun,
sebab bilamana tidak demikian halnya, bagaimanapun sempurnanya
keahlian teknis yang ia miliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak
yang justru paling penting untuk mempertahankan kebebasan
pendapatnya.”
Menurut Taylor (1997), dalam Susiana (2007) ada dua aspek
independensi, yaitu:
1. Independensi sikap mental. Independensi sikap mental ditentukan oleh
pikiran akuntan publik untuk bertindak dan bersikap independen.
2. Independensi Penampilan. Independensi penampilan ditentukan oleh
kesan masyarakat terhadap independensi akuntan publik.
Selain independensi sikap mental dan independensi penampilan,
Mautz (1961) dalam Trisnaningsih (2007) mengemukakan bahwa
independensi akuntan publik juga meliputi independensi praktisi
(practitioner independence) dan independensi profesi (profession
independence). Independensi praktisi berhubungan dengan kemampuan
praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang wajar atau
tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan
verifikasi, dan penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Independensi ini
mencakup tiga dimensi, yaitu independensi penyusunan program,
independensi investigatif, dan
independensi pelaporan. Independensi profesi berhubungan dengan
kesan masyarakat terhadap profesi akuntan publik.
Dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Pasal 1 ayat 2 menyatakan
bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas, objektivitas dan
independensi dalam melaksanakan tugasnya. Seorang auditor yang
mempertahankan integritas, akan bertindak jujur dan tegas dalam
mempertimbangkan fakta, terlepas dari kepentingan pribadi. Auditor yang
mempertahankan objektivitas, akan bertindak adil tanpa dipengaruhi
tekanan dan permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya.
Auditor yang menegakkan independensinya, tidak akan terpengaruh dan
tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri
auditor dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam
pemeriksaan. Di samping itu dengan adanya kode etik, masyarakat akan
dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan
standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya.
1.4 Standar Umum Profesional Internal Auditor
Standar Audit Aparat Pengawasa Internal Pemerintah (SA-APIP)
merupakan Standar Audit Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah
yang disusun oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Standar ini meluputi standar-standar yang terkait dengan
karakteristik organisasi dan para individu yang melakukan pengawasan
audit kinerja dan audit investigatif. Sistematika standar umum dapat
diuraikan secara singkat sebagai berikut:
a) Visi, Misi Tujuan, kewenangan dan Tanggung Jawab APIP
Setiap APIP terntunya harus memiliki visi, misi dan tujuan yang
searah dengan visi, misi, dan tujuan pemerintah serta instansi
induknya. Kemudian kewenangan dan tanggung jawab APIP harus
diberdayakan secara optimal agar APIP dapat melaksanakan tugasnya
secara independen dan objektif.
Visi pengawasan intern pemerintah adalah terwujudnya Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang profesional dan mampu
mendorong penerapan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik. Misi
Pengawasan Intern Pemerintah adalah melaksanakan pengawasan
intern berdasarkan kode etik dan standar pengawasan yang diakui
bersama dalam rangka memberikan jaminan bagi terwujudnya
penyelenggaraan pemerintah yang efektif, efisien, dan taat terhadap
peraturan perundang-undangan serta terlindungnya kekayaan negara
dari setiap upaya penyimpangan (Ulum ,2009).
Tujuan penyusunan Kebijakan Pengawasan Nasional APIP
tahun 2006 adalah:
a. Menetapkan arah Kebijakan Pengawasan Intern Pemerintah dalam
Tahun 2006
b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan intern
pemerintah melalui sinergi pengawasan fungsional yang dilakukkan
melalui APIP.
c. Menjadi dasar penyusunan Kebijakan Pengawasan Tahunan dan
Program Kerja Pengawasan Tahunan masing-masing APIP.
b) Independensi dan Objektifitas
Dalam semua hal yang berkaitan dengan audit, APIP harus
independen dan para auditornya harus objektif dalam pelaksanaan
tugasnya. Keindependensian dan obyektivitas tersebut dapat dicapai
melalui status APIP dalam organisasi dan penciptaan kebijakan untuk
menjaga obyektivitas auditor terhadap auditee. Independensi pada
dasarnya merupakan state of mind atau sesuatu yang dirasakan oleh
masing-masing menurut apa yang diyakini sedang berlangsung.
c) Keahlian
Auditor harus mempunyai pengetahuan, keterampilan dan
kompetensi lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan
tanggungjawabnya. Agar tercipta kinerja audit yang baik, maka APIP
harus memiliki kriteria tertentu dari setiap auditor yang diperlukan
untuk merancanakan audit, mengidentifikasi kebutuhan profesional
auditor dan untuk mengembangkan teknik dan metodologi audit.
d) Kecermatan Profesional
Auditor harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan
cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati
(prudent) dalam setiap penugasan. Penggunaan keahlian secara
cermat dan seksama (due profesional care) mewajibkan auditor untuk
melaksanakan tugasnya secara serius, teliti, dan menggunakan
seluruh kemampuan dengan pertimbangan profesionalnya dalam
melaksanakan tugas audit.
e) Kepatuhan terhadap kode etik
Auditor harus mematuhi kode etik yang ditetapkan. Auditor tidak
saja harus menggunakan seluruh kemampuan dan kecermatannya
tetapi juga dituntut untuk mematuhi kode etik yang ditetapkan, dengan
demikian kompetensi dan etika harus dipenuhi secara kebersamaan
untuk memperoleh hasil audit yang bisa dipertanggungjawabkan.
2.5 Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)
Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) atau Pejabat
Fungsional Auditor (PFA) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi
tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat
yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan pada instansi
pemerintah. Jabatan Fungsional Auditor (JFA) merupakan jabatan
fungsional yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak
seseorang PNS dalam suatu satuan organisasi pengawasan instansi
pemerintah/Aparat Pengawasan Instansi Pemerintah (APIP) yang dalam
pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian dan/atau keterampilan
tertentu serta bersifat mandiri. Jabatan Fungsional Auditor (JFA) dibentuk
dengan tujuan untuk menjamin pembinaan profesi dan karier,
kepangkatan dan jabatan bagi PNS yang melaksanakan pengawasan
pada instansi pemerintah dalam rangka mendukung peningkatan kinerja
instansi pemerintah, (Inspektorat Jenderal Kementrian Pertanian RI,
2009).
Aparat pengawas intern pemerintah yang terdapat dalam
lingkungan BPKP, inspektorat jenderal departemen, unit pengawasan
LPND, dan inspektorat provinsi, kabupaten, dan kota dalam menjalankan
tugas auditnya wajib menaati kode etik yang berkaitan dengan statusnya
sebagai pegawai negeri dan standar audit sebagaimana diatur dalam
peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No.Per/04/M.PAN/03/2008 dan No.Per/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31
Maret 2008 oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Kode etik aparat pengawas intern pemerintah ditetapkan oleh
peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/04/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 dilandasi oleh ketentuan
hukum sebagai berikut:
1. Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
2. Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara.
3. Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan
negara.
4. Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
5. Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang rencana
pembangunan jangka menengah.
6. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 tentang kedudukan,
tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Kementerian Negara
RI sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 94 Tahun 2006.
7. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi.
8. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/03.1/M.PAN/03/2007 tentang kebijakan pengawasan nasional
aparat pengawasan intern pemerintah tahun 2007-2009.
Agar tercipta kinerja audit yang baik maka aparat pengawas intern
pemerintah harus mempunyai tingkat pendidikan formal minimal strata
satu (S-1) atau yang setara. Selain itu, harus mempunyai kriteria tertentu
yang diperlukan untuk pengembangan teknik dan metodologi
pemeriksaan, sebagaimana peraturan yang telah dikeluarkan oleh
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang standar audit aparat
pengawas intern pemerintah nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 yang
menyatakan bahwa latar belakang pemeriksa bagi aparat pengawas intern
pemerintah harus mempunyai pendidikan formal minimal adalah strata
satu atau yang setara. Dengan latar belakang pendidikan sarjana
diharapkan memiliki daya nalar dan logika berpikir yang lebih baik.
2.6 Pengertian Inspektorat Daerah
Sejalan dengan UU No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah dijelaskan pada pasal 2 ayat 11 bahwa unsur
pengawasan daerah adalah badan pengawasan daerah yang selajutnya
disebut Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten, dan Inspektorat Kota.
Hal ini sejalan dengan UU No.32 tentang pemerintah daerah paragraf 9
mengenai pertanggung jawaban pelaksanaan APBD; maka dalam Pasal
184 ayat (1) disebutkan bahwa Kepala Daerah menyampaikan rancangan
perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD
berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Namun demikian, dalam rangka pembinaan dan pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintah daerah, maka akan senantiasa diadakan
kegiatan pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah,
pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh aparat pengawas
intern pemerintah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,
sesuai dengan pasal 222 UU tentang pemerintah daerah maka telah
diatur bahwa:
1. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
2. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Sebagaimana dimaksud untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh
gubernur.
3. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa
dikoordinasikan oleh bupati/walikota.
4. Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan seibagaimana
dimaksud dapat melimpahkannya kepada camat.
Atas dasar ketentuan diataslah maka aparat pengawasan intern
pemerintah disuatu daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) dilakukan oleh
badan pengawasan daerah (BAWASDA) dulunya tapi dengan adanya
peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 sehingga nama BAWASDA
berganti dengan Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota yang dibentuk
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah
masing-masing.
2.7 Kerangka Pemikiran
Gambar 1: Kerangka Berpikir
Sumber: Data Olahan 2013
Mengamati kerangka pemikiran di atas maka dapat diambil
gambaran bahwa terdapat dua variabel independen (X1, X2) dan satu
variabel dependen (Y) dimana variabel independen adalah X1,
menunjukkan pengetahuan, variabel X2 menunjukkan pengalaman,
sedangkan Y menunjukkan kualitas audit. Ketiga variabel tersebut
mempunyai hubungan causal atau sebab akibat. Variabel independen
secara bersama-sama atau serempak mempengaruhi variabel dependen,
sedangkan secara parsial variabel X1 mempengaruhi Y dan variabel X2
mempengaruhi Y.
Pengetahuan
Independensi
Kualitas Audit
2.8 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh dari tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh auditor
terhadap kualitas audit yang dihasilkan
2. Independensi auditor dalam melakukan audit berpengaruh terhadap
kualitas audit yang dihasilkan
3. Tingkat pengetahuan dan independensi auditor secara bersama-sama
berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan.