bab ii kerangka teori a. konsep etika bisnis islam 1 ...digilib.uinsby.ac.id/1354/5/bab 2.pdfetis...
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Konsep Etika Bisnis Islam
1. Pengertian Etika Bisnis Islam
Etika dalam konteks Islam, didasarkan atau dihubungkan dengan etika-etika dalam al-
Qur’an yang disebut dengan ”khuluq.” Al-Qur’an juga menggunakan beberapa istilah
lainnya untuk mendefinisikan etika, yaitu khair (kebaikan), birr (kebajikan),’adl
(keseimbangan dan kebijaksanaan), ¸haqq (kebenaran dan hak), ma’r uˉf (dikenal dan baik),
taqwā (ketakwaan). Selanjutnya perbuatan sholeh (baik) dikenal dengan istilah, şālihāt dan
perbuatan jelek dikenal dengan sayyi’āt.1
Etika dalam pemikiran Islam dimasukkan dalam filsafat praktis (al hikmah al
amaliyah) bersama politik dan ekonomi. Berbicara tentang bagaimana seharusnya etika vs
moral. Moral = nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia (praktiknya akhlāk), etika
= ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk (ilmunya adalah ilmu al- akhlāk).
Subtansi utama penyelidikan tentang etika dalam Islam antara lain (1) hakikat benar
(birr) dan salah; (2) masalah free will dan hubungannya dengan kemahakuasaan Tuhan dan
tanggung jawab manusia; dan (3) keadilan Tuhan dan realitas keadilan-Nya di hari kemudian.
Adapun dalam kaitan dengan penggunaan istilah, di Indonesia studi tentang masalah
etis dalam bidang ekonomi dan bisnis sudah akrab dengan nama “etika bisnis”, sejalan
dengan kebiasaan umum dalam istilah bahasa Inggris yaitu “business ethics”. Variasi lain
adalah “etika ekonomis” atau etika ekonomi”. Selain itu ditemukan juga nama management
1 Rafik Issa, Islamic Training Foundation, Jurnal yang disampaikan oleh Rafik Issa Bekuun dalam tanggal 1
November 2006.
23
ethics atau managerial ethics (etika manajemen), disamping nama organization ethics (etika
organisasi).2
Sedangkan Kamaluddin dalam buku Rahasia Bisnis Rasulullah menyebutkan etika
berasal dari kata “ethos“ yang mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan. Sedangkan etika
bisnis Islam adalah sepak terjang dan sifat yang di contohkan nabi Muhammad dalam
berdagang.3
Etika bisnis sebagaimana dikemukakan dan dipraktikkan oleh Nabi SAW, sudah
banyak dibuktikan kesahihannya oleh teori-teori ekonomi dan manajemen modern. Etika
bisnis yang diajarkan Nabi harus menjadi sumber dari segala sumber nilai yang memotivasi
semangat kerja dan wirausaha, sekaligus menjadi prinsip- prinsip dasar untuk meraih
keberhasilan dalam membangun bisnis.4
Aksioma al-Qur’an tentang paradigma bisnis yang beretika. Muhammad 5
mengatakan paradigma bisnis yang dibangun dan di landasi oleh aksioma- aksioma berikut
ini :
1) Kesatuan (Unity)
Konsep kesatuan disini adalah kesatuan sebagaimana terefleksi dalam konsep tauhid
yang memadukan keseluruhan aspek–aspek kehidupan muslim baik dalam ekonomi, politik,
sosial menjadi satu. Konsep tauhid merupakan dimensi vertikal Islam sekaligus horizontal
yang memadukan segi politik, sosial dan ekonomi kehidupan manusia menjadi kebulatan
yang homogen dan konsisten dari dalam dan luar sekaligus terpadu dengan alam luas. Konsep
tauhid, aspek sosial, ekonomi, politik dan alam, semuanya milik Allah, dimensi vertikal
menghindari diskriminasi di segala aspek dan menghindari kegiatan yang tidak etis.
2) Keseimbangan (Keadilan) 2 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 36. 3 Laode Kamaluddin, Rahasia Bisnis Rosulullah, Wisata Ruhani (Jakarta: t.p., 2007), 65. 4 Muhammad Syafi’i Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW (Jakarta: Tazkia,
2011), 160. 5 Muhammad dkk, Visi AlQuran tentang Etika Bisnis (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 11.
Keseimbangan (keadilan) menggambarkan dimensi horizontal jujur dalam
bertransaksi, tidak merugikan dan dirugikan sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs. Al Ma’idah : 8)
3) Kehendak Bebas (Free Will)
Manusia dianugerahi kehendak bebas untuk membimbing kehidupannya sebagai
khalifah. Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini, dalam bisnis manusia mempunyai
kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, termasuk menepati atau melanggarnya. Dengan
demikian kebebasan kehendak berhubungan erat dengan kesatuan dan keseimbangan.
4) Pertanggung jawaban (responsible)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena
tidak menuntut adanya pertanggung jawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi tuntutan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung jawabkan tindakannya, sebagaimana
firman Allah SWT:
Artinya:”Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. An Nisa’ : 85).
1. Sifat Nabi Dalam Mengelola Bisnis
Menurut Addul Ghani dalam buku The Spirituality in Business6, sifat Rasulullah
secara tekstual yang tercantum dalam al-Qur’an, Hadith dan memiliki konteks manajemen
SCG (Sprituality Corporate Governance) Menurut Syakir Sula dan Kartajaya dalam Syariah
Marketing mengatakan bahwa sifat Nabi dalam mengelola bisnis adalah Siddˉiq, Amānah,
Fatānah dan Tablîgh.7diantaranya adalah :
a. Siddîq (Benar dan Jujur)
Siddîq adalah berkata benar, bersumber dari nurani yang memperoleh hidayah Allah,
di aktualisasikan dalam bentuk kejujuran terhadap diri, orang, makhluk lain dan sang
Pencipta. Yang masuk kategori dalam Siddîq adalah transparan (transparency), akuntabilitas
(accountability), terbuka (disclosure), kredibilitas (credible), benar, jujur dan andal
(reliability).
Siddîq artinya benar dan jujur, jika seorang pemasar memiliki sifat Siddîq (benar dan
jujur) haruslah menjiwai seluruh perilakunya dalam melakukan pemasaran, dalam
berhubungan dengan konsumen, ia senantiasa mengedepankan kebenaran informasi yang
diberikan dan jujur dalam menjelaskan keunggulan produk-produk yang dimiliki. Untuk
menciptakan lingkungan yang siddîq, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat at -Taubah
:
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (Qs At -Taubah:119)
6 Muhammad Abdul Ghani, The Spiritual in Bussiness (Jakarta: PENA, 2005), 140-144. 7 M. Syakir Sula, Syariah Marketing ( Jakarta: Gema Insani Press, 2006),120.
Hal ini juga ditegaskan oleh Hadith Nabi dalam buku Syariah Marketing ditulis oleh Syakir
Sula dan Kartajaya8
b. Amanah (Terpercaya, kredibel)
Amānah artinya dapat dipercaya, bertanggung jawab dan kredibel. Amanah memuat
unsur kejujuran (honesty), keadilan (fairness), open/ memelihara/ menjaga (care), kesadaran
(awareness), terpercaya (trustworthiness), bertanggung jawab (responsibility).
Amanah artinya dapat dipercaya, bertanggung jawab dan kredibel. Amanah juga bisa
diartikan keinginan untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan ketentuan. Seorang pebisnis
haruslah memiliki sifat amanah, karena Allah menyebutkan sifat orang–orang mukmin yang
beruntung adalah yang dapat memelihara amanah yang diberikan kepadanya, Allah SWT
berfirman :
Artinya:”Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya” (Qs Al Mu’minun : 8). c. Fatānah (Cerdas)
Fatānah diartikan sebagai intelektual, kecerdikan atau kebijaksanaan. Komponen
kecerdasan (fatānah) meliputi kompetensi (competency), kredibilitas (credibility), orientasi
kerja (achivment), motivasi (motivation), orientasi pelanggan (customer satisfaction), talenta
bisnis (business friendly).
Dalam bisnis, implikasi ekonomi sifat fatānah adalah bahwa segala aktivitas dalam
manajemen suatu perusahaan harus dengan kecerdasan, dengan mengoptimalkan semua
potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan. Memiliki sifat jujur, benar dan bertanggung
jawab saja tidak cukup dalam mengelola bisnis secara profesional. Para pelaku bisnis syari’ah
juga harus memiliki sifat fatānah, yaitu cerdas, cerdik dan bijaksana, agar usahanya bisa lebih
8 Ibid.,123.
efektif dan efisien serta mampu menganalisis situasi persaingan (competitive setting) dan
perubahan – perubahan (change) dimasa yang akan datang. Sifat fatānah merupakan
perpaduan antara ’alim dan hafidz telah mengantarkan Nabi Yusuf a.s dan tim ekonominya
berhasil membangun kembali negeri Mesir. Salah satu contoh sifat fatānah dalam al Qur’an
adalah sebagai berikut :
Artinya: ”berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan” (Qs Yusuf :55).
Kemudian beliau diberi jabatan sebagai menteri keuangan Mesir. Dengan tim ekonominya,
dia kemudian membangun kembali Mesir yang sudah dijurang kehancuran karena krisis
ekonomi kembali menjadi negara yang surplus dan makmur.
c. Tabligh (Komunikatif)
Tablîgh artinya komunikatif. Tablîgh memuat unsur sosialisasi, internalisasi
(internalized), komunikasi/sistem informasi (SIM), kepemimpinan (leadership), keteladanan,
empaty, jujur, transparan, konsisten, matang (matured).
Tablîgh artinya komunikatif dan argumentatif, jika merupakan seorang pemimpin ia
harus menjadi seseorang yang mampu mengkomunikasikan visi dan misi dengan benar
kepada karyawan dan stake holder. Seorang pebisnis Islami harus memiliki gagasan- gagasan
segar, juga harus mampu mengkomunikasikan gagasan–gagasannya secara tepat dan mudah
difahami oleh siapapun yang mendengarkan. Dalam Al Qur’an disebut dengan bil Al
Hikmah, Allah SWT berfirman :
Artinya:”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs An Nahl :125).
2. Menyikapi Persaingan Bisnis Sesuai Syari’ah
Ismail dan Karabet mengatakan ada tiga unsur yang perlu dicermati dalam membahas
persaingan bisnis menurut Islam. Minimal ada tiga hal sebagai berikut:
a. Pihak – pihak yang bersaing
Manusia merupakan pusat pengendali persaingan bisnis, ia akan menjalankan
bisnisnya dengan pandangan tentang apa yang digelutinya, hal terpenting terkait dengan
manusia adalah segi motivasi dan landasan ketika menjalankan praktik bisnisnya, termasuk
persaingan yang terjadi didalamnya.
Sebagaimana dalam al-Qur’an Allah berfirman :
Artinya:”Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian ,dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (Qs An Naba’ 10-11)
b. Segi cara bersaing
Persaingan bebas yang menghalalkan segala cara merupakan praktik yang harus
dihilangkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah Islami. Dalam berbisnis
setiap orang akan berhubungan dengan pihak–pihak lain seperti rekanan bisnis dan pesaing
bisnis. Sebagai hubungan interpersonal, seorang pebisnis muslim tetap harus berupaya
memberikan pelayanan yang terbaik kepada mitra bisnisnya, hanya saja tidak mungkin bagi
pebisnis muslim bahwa pelayanan terbaik itu diartikan memberikan ”service” dengan hal
yang dilarang syari’ah.
c. Produk (Barang dan Jasa)
Beberapa keunggulan produk yang dapat digunakan dalam meningkatkan daya saing
adalah sebagai berikut :
1) Produk
produk yang dipersaingkan baik barang maupun jasa halal, spesifikasinya harus sesuai
dengan apa yang diharapkan konsumen untuk menghindari penipuan, kualitas
terjamin dan bersaing.
2) Harga
Harga produk kompetitif, tidak diperkenankan membanting harga dengan tujuan
menjatuhkan persaingan.
3) Tempat
Tempat usaha harus baik, sehat, bersih dan nyaman. Harus juga dihindarkan
melengkapi tempat usaha itu dengan hal-hal yang diharamkan untuk sekedar menarik
konsumen.
4) Pelayanan,
Pelayanan diberikan dengan ramah tapi tidak boleh dengan cara mendekati maksiat,
misalnya dengan menempatkan wanita sebagai alat untuk menarik pelanggan
5) Layanan purna jual
Merupakan servis yang akan melanggengkan pelanggan akan tetapi ini diberikan
dengan cuma-cuma atau sesuai dengan akad.
Dalam Islam, istilah yang paling dekat dengan istilah etika adalah “khuluq”
sebagaimana yang tertera dalam surat al- Qalam, ayat 4
Artinya:“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar- benar berbudi pekerti yang
agung”
Perkembangan tentang pemikiran moral sekarang telah terarah kepada masalah-
masalah konkret. Sejak akhir tahun 1960-an teori etika mulai membuka diri bagi topik- topik
konkret dan aktual sebagai objek penyelidikannya. Di Indonesia, studi tentang masalah-
masalah etis dalam bidang ekonomi dan bisnis sudah mulai banyak dilakukan oleh para ahli,
termasuk mereka yang mempunyai minat dibidang ekonomi syariah.9
Perlu disadari bahwa manusia disamping sebagai makhluk individu, juga sebagai
makhluk sosial (homo socius), yang berarti ia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa hidup
bersama dan bantuan oleh sesama (orang lain). Selain itu, sebagai makhluk hidup ia
membutuhkan sarana atau fasilitas untuk hidup yang banyak tersedia di alam lingkungannya.
Fasilitas itu telah dipersiapkan oleh Allah sebagai karunia bagi manusia yang telah mendapat
tugas sebagai wakilNya di bumi.
Ekonomi Islam merupakan sebuah studi tentang masalah- masalah ekonomi dari
setiap individu dalam masyarakat yang memiliki kepercayaan terhadap nilai- nilai kehidupan
islami, yakni homo Islamicus.10
Bertolak dari uraian di atas, dilihat dari perspektif ajaran etika (akhlak) dalam Islam
pada prinsipnya manusia dituntut untuk berbuat baik pada dirinya dan Tuhan selaku
penciptanya. Oleh karena itu, untuk bisa berbuat baik, pada semuanya itu, manusia disamping
di beri kebebasan (free will), hendaknya ia memperhatikan keesaan Tuhan (tawhid), prinsip
keseimbangan (tawazun= balance) dan keadilan (qist). Disamping tanggung jawab
(responsibility) yang akan diberikan di hadapan Tuhan.
B. Konsep Marketing Syari’ah
1. Etika Pemasaran Islam
Prinsip etika pemasaran didasarkan pada konsep nilai keadilan. Miskawayh
berpendapat keadilan mengajarkan seseorang untuk tidak menjadi tamak di dalam 9 Djakfar, Etika Bisnis, 20. 10 Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer, terj.Suherman Rosyidi (Jakarta : Rajawali
Press, 2010), 17.
mendapatkan keuntungan yang sah menurut hukum.11 Lebih lanjut dikatakan, seorang pelaku
bisnis yang jujur dan adil hendaknya mentaati aturan Allah tentang janjinya dan akad
perjanjian pada setiap ucapan kata-katanya dan tiap kedipan matanya. Seseorang pelaku
bisnis tidak harus dari kelompok orang adil jika dia memiliki kecintaan uang yang berlebihan,
karena hasrat memperoleh uang mencegah seseorang bersikap baik, melihat apa yang benar
dan memberi apa yang ia perlu berikan.
Miskawayh dalam Nasuka juga berpendapat jika dorongan praktik pemasaran yang
tak pantas sebagai maksimalisasi keuntungan digeser kearah maksimalisasi nilai kejujuran
sebagai gantinya, dan jika keadilan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari bagian
interaksi-interaksi pemasaran internasional dan saling ketergantungan, suatu suasana
kerjasama global yang harmonis akan tercipta.12
Adapun Saeed menyatakan bahwa etika pemasaran Islam didasarkan pada prinsip
keadilan dan kejujuran.13 Dalam Islam berbeda dengan etika sekuler dalam banyak hal.
Terdapat tiga karakteristik etika pemasaran dari perspektif Islam. Pertama, etika Islam
didasarkan pada perintah-perintah Al-Quran dan tidak meninggalkan ruang untuk perbedaan
interpretasi oleh pelaku pemasaran sesuai dengan kehendak dan keinginan masing-masing.
Kedua, perbedaan utama adalah aspek trensendental mereka secara mutlak dan watak aslinya
yang tidak mudah dipengaruhi. Ketiga, pendekatan Islam menekankan pada memaksimalkan
nilai yang mementingkan kebaikan masyarakat dari pada mengejar keuntungan pribadi
sebanyak mungkin. Sikap seperti itu, menjamin etika Islam memiliki kapasitas yang sangat
besar untuk menembus hati nurani manusia dan mampu mempengaruhi perilaku para pelaku
pemasaran dari dalam.14
11Miskawayh dalam Nasuka “Etika Pemasaran Berbasis Islam”, Mukaddimah, No.1.Vol 17 ( 2011), 92 12 Ibid., 92 13Mohammad Saeed, Zafar U. Ahmed, Seda Masoda Muhtar,”International Marketing Ethics an Islamic
Perspective” Journal of Bisnis Ethics, No.2.Vol.32 (2001), 127-142. 14 Ibid,. 93
Pada tataran ekonomi, konsep keseimbangan/kesejajaran menentukan konfigurasi
aktivitas-aktivitas distribusi, konsumsi serta produksi yang terbaik, dengan pemahaman yang
jelas bahwa kebutuhan seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung dalam masyarakat
Islam didahulukan atas sumber daya riil masyarakat.
Masalah etika sangat erat hubungannya dengan agama. Perilaku tidak etis sangat
bertentangan dengan prinsip- prinsip syariah Islam yang dijadikan dasar bank syariah dalam
menjalankan aktivitasnya, sebagaimana dikemukakan Arifin bahwa prinsip utama yang
dianut oleh bank Islam adalah a) larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi, b)
menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada keuntungan yang sah
menurut syariah, dan c) memberikan zakat.15
Dunfee dan Gunther mengemukakan, etika merupakan isu yang sentral dalam jasa
keuangan.16 Roberston dan Anderson mencatat bahwa perilaku etis sesuai dengan norma-
norma yang diakui masyarakat secara luas (beriman, adil, kejujuran, keterbukaan dan
sebagainya).17
Nilai SDM dalam berbisnis lebih ditekankan pada peningkatan mutu akhlaknya. Ia
harus dapat memberikan nilai tambah (value added) bagi lingkungannya.18
Dengan demikian Islam menuntut keseimbangan / kesejajaran antara kepentingan diri
dan kepentingan orang lain, antara kepentingan si kaya dan si miskin, antara hak pembeli dan
hak penjual dan lain sebagainya.
Istilah etika diartikan sebagai suatu perbuatan standar (standard of conduct) yang
memimpin individu dalam membuat keputusan. Etika ialah suatu studi mengenai perbuatan
yang salah dan benar dan pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang. Etika bisnis kadang-
15 Zaenul Arifin, Dasar- Dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: Pustaka Alvabet, Cet.IV, 2006), 12. 16 T.W.Dunfee and Gunther, R., “Ethical Issues in Financial Services”, Business and Society Review, Vol. 104
(1999), 5-10. 17 D.C. Robertson & Anderson,E., “Control System And Task Environment Effect on Ethical Judgment: An
Exploratory Study of Industrial Sales people”, Organisation Science, Vol.4 (1993), 617-644. 18 Yan Orgianus, Moralitas Islam dalam Ekonomi & Bisnis (Bandung : Marja, 2012), 54.
kadang disebut pula etika manajemen ialah penerapan standar moral ke dalam kegiatan
bisnis.19
Jadi, sebenarnya perilaku yang etis itu ialah perilaku yang mengikuti perintah Allah
SWT dan menjauhi laranganNya. Definisi etika adalah model perilaku yang diikuti untuk
mengharmoniskan hubungan antara manusia meminimalkan penyimpangan dan berfungsi
untuk kesejahteraan masyarakat. Hal- hal yang termasuk ke dalam bidang sensitive etika
bisnis adalah :
a. Dasar kebenaran dan kejujuran.
b. Hubungan saling percaya sesama rekan bisnis.
c. Adil dalam hubungan dengan pelanggan.
d. Etika dan tanggung jawab karyawan dalam melaksanakan pekerjaan.
e. Bertanggung jawab dalam menggunakan sumber daya dan asset perusahaan.
f. Keamanan dan kualitas produk.
g. Keamanan dan kesehatan ditempat kerja.
h. Pelestarian lingkungan.
i. Penghematan dalam penggunaan biaya, tidak ada mark up dan pemborosan.
j. Praktek dalam penjualan, promosi dan pemasaran pada umumnya.
Dalam praktik bisnis ada beberapa nilai etika Islam yang dapat mendorong
tumbuhnya dan suksesnya bisnis yaitu:20
a. Konsep Iman, Islam dan Ihsan dalam bisnis
b. Ketelitian dan keteraturan dalam bisnis
c. Hemat dalam bisnis
d. Kejujuran dan keadilan dalam bisnis
e. Kerja keras dalam bisnis
19 Alma dan Juni Priansa, Manajemen Bisnis, 202. 20 Nawawi, Isu Nalar Ekonomi, 421-423.
Berbisnis secara etis sangat perlu dilakukan karena profesi bisnis pada hakekatnya
adalah profesi luhur yang melayani masyarakat banyak. Usaha bisnis berada di tengah-
tengah masyarakat, mereka harus menjaga kelangsungan hidupnya. Caranya ialah
menjalankan prinsip etika bisnis.21
Merupakan suatu kenyataan bahwa kepercayaan agama tidak dapat dipisahkan
sepenuhnya dari realitas aktivitas manusia sehari-hari, baik yang bersifat komersial maupun
sosial. Demikian juga ajaran-ajaran Islam mengatur semua kegiatan ekonomi, termasuk
pemasaran global maupun domestik. Ajaran ini semua dari dua sumber, al- Qur’an dan al-
Hadith.
Perubahan perilaku yang diantisipasi, perubahan tata nilai dan tujuan yang
diharapkan, kewajiban untuk mengimplementasikan perintah yang jelas dari al- Qur’an dan
Sunnah, demikian pula seluruh struktur sistem Islam, akan menciptakan suatu kerangka
institusional ekonomi Islam yang unik dan berbeda.22
Menurut Naqvi kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subset dari upaya manusia
yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat adil berdasarkan pada prinsip etika Illahiyyah,
yakni al-‘adl wa l-ihsan. Hal ini berarti bahwa etika harus secara eksplisit mendominasi
ekonomi di dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah yang membedakan sistem ekonomi
Islam dari sistem lainnya.23 Lebih lanjut Naqvi menjelaskan al- Qur’an dan Sunnah
meletakkan panduan dan aturan yang luas yang mengatur perilaku manusia. Dalam
membangun kerangka teoretisnya, Naqvi memandang bahwa teori haruslah berisi sejumlah
aksioma agar dapat dikelola secara operasional, harus konsisten secara internal dan harus
memiliki kekuatan prediktif, yakni cukup umum agar dapat menerangkan fenomena yang
21 Mohammad Saeed, Zafar U. Ahmed, Seda Masoda Mukhtar, “ International Marketing Ethics an Islamic Perspective : a Value- Maximization Approach,” Journal of Bisnis Ethics, Vol. 32, No.2 (2001), 127- 142. 22 Mohammed Aslam Haneef, Pemikiran Islam Kontemporer, terj. Suherman Rosyidi (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2010), 45. 23 Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economic: An Islamic Synthesis, dalam The Islamic Foundation (U.K:
t.p, 1981), 18.
bermacam-macam. Ia menetapkan empat aksioama yaitu kesatuan, keseimbangan, kemauan
bebas, dan tanggung jawab (unity, equilibrium, free will and responsibility).24
Jika suatu kerangka teoritis yang didasarkan pada pandangan dunia Islam yang
dicerminkan oleh keempat aksioma di atas telah ditegakkan, maka segala instrument
kebijakan haruslah dioperasionalisasikan untuk mencapai tujuan- tujuan keadilan sosial,
pendidikan universal, pertumbuhan ekonomi, penciptaan employment secara maksimal dan
perbaikan kualitas hidup.
Setiap pelaku bisnis pasti mendambakan keuntungan, kelangsungan usaha dan
jaringan yang luas. Pelaku bisnis yang demikian akan berkembang kuat dan stabil.
Dibawah Ini merupakan prinsip- prinsip utama yang harus diaplikasikan oleh para
pelaku bisnis :
a. Memuliakan pelanggan atau mitra bisnis sebagai saudara,
b. Menawarkan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat,
c. Menawarkan barang atau jasa yang mendorong produktivitas,
d. Menawarkan cara bersaing sehat dengan pelaku bisnis lainnya,
e. Menawarkan barang dan jasa yang halal (mubah),
f. Menawarkan barang dan jasa yang berkualitas,
g. Menawarkan barang dan jasa yang tidak merusak lingkungan,
h. Menawarkan barang dan jasa yang bermanfaat sosial, bukan hanya menguntungkan
secara pribadi,
i. Menawarkan produk dan cara kerja yang menghemat sumber daya dan tidak
menimbulkan maksiat.25
2. Pengertian Marketing Syari’ah
24 Ibid., 65-66. 25 Hasan Aedy, Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam (Bandung: Alfabeta, 2011), 72-79.
Definisi secara sosial menunjukkan peran yang dimainkan oleh pemasaran di
masyarakat. Seorang pemasar mengatakan bahwa peran pemasaran adalah menghasilkan
standar hidup yang lebih tinggi. Sedangkan definisi secara manajerial, pemasaran sering
digambarkan sebagai seni menjual produk. Jadi, yang paling penting dalam sebuah
pemasaran pertama-pertama harus berhubungan dengan adanya pertukaran hak milik
seseorang secara memuaskan.26
Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya ada individu
dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan, mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.27
Anton Ramdan mendefinisikan pemasaran/ marketing adalah nyawa dari suatu bisnis
yang sedang dijalankan. Sederhananya, marketing adalah alat untuk mengenalkan,
memasarkan dan menarik konsumen sehingga membeli produk yang ditawarkan.28
Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan- kegiatan usaha yang
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan
barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada, maupun
pembeli potensial. Sehingga secara umum pemasaran dapat diartikan sebagai suatu proses
sosial yang merancang dan menawarkan sesuatu yang menjadi kebutuhan dan keinginan dari
pelanggan dalam rangka memberikan kepuasan yang optimal kepada pelanggan.
Hermawan Kertajaya mendefinisikan marketing syariah sebagai strategi bisnis, yang
harus memayungi seluruh aktivitas dalam sebuah perusahaan meliputi seluruh proses,
menciptakan, menawarkan, pertukaran nilai dari seorang produsen atau satu perusahaan atau
perorangan yang sesuai dengan ajaran Islam.29
26 Alma dan Juni Priansa, Manajemen Bisnis, 257. 27 Kotler dan Lane Keller, Manajemen Pemasaran, 6. 28 Anton Ramdan, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta: Bee Media Indonesia, 2013), 78. 29 Hermawan Kertajaya, Muhammad Syakir Sula, Marketing Syariah (Bandung: Mizan, 2008), 260.
Lebih lanjut Hermawan menguraikan karakteristik dari syariah marketing ini terdiri
atas beberapa unsur yaitu :30
1. Theistis (Rabbaniyah),
2. Etis (Akhlāk),
3. Realistik (Al-Waqiyah),
4. Humanistis (Al- Insaniyah)
Jika kita tinjau keempat elemen di atas, pertama, berdasarkan Ketuhanan, yaitu satu
keyakinan yang bulat, bahwa semua gerak-gerik manusia selalu berada di bawah pengawasan
Ilahi, Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta, Maha Pengawas. Oleh sebab itu, semua insan harus
berperilaku sebaik mungkin, tidak berperilaku licik, suka menipu, mencuri milik orang lain
suka makan harta orang lain dengan jalan yang bathil. Nilai Rabbaniyah ini melekat atau
menjadi darah daging dalam pribadi setiap Muslim, sehingga dapat mengerem perbuatan-
perbuatan tercela dalam dunia bisnis.
Kedua, etis, artinya, semua perilaku berjalan diatas norma etika yang berlaku umum.
Etika adalah kata hati, dan kata hati ini adalah kata yang sebenarnya, tidak bisa dibohongi.
Oleh sebab itu, hal ini menjadi panduan para marketer syariah agar selalu memelihara setiap
tutur kata, perilaku dalam berhubungan bisnis dengan siapa saja, baik konsumen, penyalur,
toko, pemasok ataupun saingannya.
Ketiga, realistis, artinya, sesuai dengan kenyataan, jangan mengada-ada apalagi yang
menjurus kepada kebohongan. Semua transaksi yang dilakukan harus berlandaskan pada
realita, tidak membeda-bedakan orang, suku dan warna kulit, semua tindakan penuh dengan
kejujuran.
30 Alma dan Juni Priansa, Manajemen Bisnis, 258-259.
Keempat, humanistis, artinya berperikemanusiaan, hormat-menghormati sesama,
marketing berusaha membuat kehidupan menjadi lebih baik. Jangan sampai kegiatan
marketing malah sebaliknya merusak tatanan hidup di masyarakat.31
Menurut Kotler, jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh
satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan
kepemilikan apapun.32Jasa juga merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan
untuk dijual. Berdasarkan pendapat- pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa jasa adalah
setiap kegiatan, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain
dan tidak berakibat pemindahan hak milik benda.
Lembaga pelayanan pembiayaan yang ideal harus mencerminkan prinsip sosial dan
ekonomi. Ciri sosial atau baitul māl (kebersamaan) ditunjukkan dengan adanya kepedulian
lembaga tersebut dengan masyarakat di lingkungannya. Lembaga tersebut harus mampu
menyerap aspirasi masyarakat, merumuskan tujuannya selalu berkaitan dengan tujuan
masyarakat serta berorientasi memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk mencapai
kemakmuran bersama.
3. Marketing Mix
Secara konvensional Kasmir berpendapat bahwa, Marketing mix merupakan strategi
kombinasi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan dalam bidang pemasaran dan kombinasi
tersebut harus dilakukan secara terpadu. Artinya, pelaksanaan dan penerapan komponen ini
harus dilakukan dengan memperhatikan antara satu komponen dengan komponen yang
lainnya.33
Sedangkan, Niazi menyatakan perbankan atau kegiatan komersial dari perspektif
Islam diatur oleh dua prinsip: (1) tunduk pada tatanan moral Allah dan (2) empati dan kasih 31 Buchari Alma dan Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah (Bandung : Alfabeta, 2009), 258-259. 32 Kotler dan Lane Keller, Manajemen Pemasaran, 180. 33 Kasmir, Pemasaran Bank (Jakarta: kencana, 2010), 119.
sayang terhadap ciptaan Allah yang berimplikasi untuk menahan diri dari merugikan orang
lain dan dengan demikian mencegah penyebaran praktik-praktik yang tidak bermoral.34
Lebih lanjut Niazi berpendapat bahwa marketing-mix (bauran pemasaran) untuk
menghindari praktik riba dalam konteks etika pemasaran Islam dikenal dengan istilah lima P
yaitu product, price, promotion, place and people.
a. Product (Produk)
Al-Misri menyatakan bahwa pengembangan produk perbankan Islam harus
divisualisasikan cukup berbeda dibandingkan dengan pemikiran Barat. Dalam perspektif
Islam menggabungkan unsur-unsur moral dan transendental dalam proses pengambilan
keputusan produksi dalam hal pengembangan produk dan dipandu oleh prinsip-prinsip etika
bisnis Islam.35 Prinsip-prinsip tersebut adalah, pertama, produk tersebut harus sah dan tidak
menyebabkan kebodohan pikiran dalam bentuk apapun. Kedua, produk harus menjadi
kepemilikan. Ketiga, produk harus dapat diserahkan, karena penjualan suatu produk tidak sah
jika tidak dapat diserah terimakan. Keempat, perlu identifikasi biaya tambahan ekstra yang
secara material mungkin mengubah produk atau dampak terhadap keputusan pembelian oleh
pembeli. Kelima, apabila diantara pihak berniat untuk menggugurkan terhadap kewajiban
mereka, misalnya terkait masalah keuangan dan masalah lainnya dengan itikad baik dan
harus didasarkan pada prinsip keadilan, kejujuran dan keterbukaan.36
Al-Faruqi mengatakan, dalam pendekatan Islam proses produksi harus dipandu oleh
kriteria nilai dan dampak produk pada seluruh masyarakat. Hal ini disebabkan karena
tingginya kepentingan yang diberikan kepada aktualisasi optimal kesejahteraan manusia dan
masyarakat. Lebih lanjut dikatakan, tujuan utama pengembangan produk perbankan yang
34 L.A.K. Niazi, Islamic Law of Contract (Lahore: Research Cell, Dayal Sing Trust Library, 1996), 93. 35A.N. Al-Misri, The Reminiscences of the Traveler: a Classical Manual of Islamic Sacred Law, Trans. by Noah
Ha Mim Keller (Abu Dhabi: Modern Printing Press, 1991), 93. 36Moh. Nasuka, “Etika Pemasaran Berbasis Islam”, Jurnal Mukaddimah, No.1.Vol 17( 2011), 94.
sesuai adalah untuk memberikan, mengangkat dan memuaskan kebutuhan dasar manusia.37
Miller dan Deiss menyatakan bahwa dorongan utama di balik pengambilan keputusan yang
tidak etis di pihak pengusaha untuk menghasilkan produk yang optimal biasanya dengan
menggunakan bentuk strategi penurunan pembiayaan. Di sisi lain, menurut perspektif Islam,
lebih baik mendorong kearah pendekatan sosial dan kesejahteraan dari pada keputusan yang
didasarkan maksimalisasi keuntungan.38
b. Price (Harga)
Shaw mengatakan, kebijakan terhadap harga, utamanya diformulasikan untuk
mengeksploitasi dan memanipulasi psikologi manusia sebagaimana dapat kita ketahui pada
praktik umumnya dimana harga eceran yang ditetapkan pada sebuah produk sering jauh lebih
tinggi daripada harga sesungguhnya.39 Tujuan dari kebijakan harga tersebut adalah untuk
memberikan kesan palsu bagi pelanggan bahwa mereka sebenarnya mendapatkan tawaran.40
Jenis praktik ini dilarang dalam hukum Islam. Islam melarang mendapatkan sesuatu yang
terlalu mudah tanpa kerja keras, atau menerima keuntungan tanpa bekerja untuk itu.41 Selain
itu, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tidak diperbolehkan untuk perubahan harga tanpa
mengubah kualitas atau kuantitas produk, karena hal ini merupakan kecurangan yang
dilakukan terhadap pelanggan demi perolehan yang tidak sah.42
Dalam Islam, mekanisme operasional terhadap penyesuaian harga dan persaingan
yang sehat harus senantiasa didorong. Menurut Niazi, syarat penting untuk keberhasilan
operasi dari mekanisme tersebut menentukan bahwa seharusnya tidak ada penimbunan, tidak
ada manipulasi harga yang tidak jelas, dan tidak ada batasan perdagangan. Malik,
37 Ismail Raji al-Faruqi, “ Etika Bisnis Islam,” Jurnal At-Tauhid, Vol. 25 No. 4, 2010,63. 38I.J. Miller, “Ethical & Liability Issues Concerning Invisible Rationing”, Professional Psychology: Research &
Practice, Vol. 27 (1996), 583-587. 39M. Shaw,Civil Society and Media in Global Crises, (London: St. Martin Press,1996), 94. 40Ibid., 94. 41Ibid., 95. 42 Ibnu Taymiyah, Public Duties in Islam: The Institution of the Hisbah, translated by Muhtar Holland (The
Islamic Foundation, Leicestershire, 1982).
menyampaikan bahwa suatu ketika, Khalifah kedua, Umar Ibn al-Khattab lewat dan
mendapati Hatib bin Abi Balta’ah sedang menjual kismis dengan harga yang jauh lebih
rendah dengan maksud agar pesaingnya rugi. Khalifah Umar Ibn al-Khattab mengatakan
kepadanya: “Kamu harus meningkatkan harga, atau kamu keluar dari pasar kami.”43
Ibn al-Ukhuwwah membahas berbagai jenis “penyimpangan etika” dalam hal harga.
Contoh-contoh yang diberikan termasuk ketika pemilik produk yang sesungguhnya berpura-
pura bahwa mereka bukan pemiliknya, untuk menaikkan harga dengan membuat konsumen
percaya bahwa harga yang lebih tinggi sekalipun akan dibayar oleh pedagang yang
sebenarnya, atau ketika ada kesepakatan bersama. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jangan
menaikkan harga dalam persaingan”.44Beberapa prinsip yang harus dihindari dalam
menentukan harga adalah: (1) maisir, tindakan yang bersifat spekulasi atau mengandung
unsur perjudian; (2) tatfif, mengubah harga tanpa mengubah kualitas atau kuantitas produk;
(3) riba (bunga); (4) ihtikar atau penimbunan barang dengan tujuan menciptakan kelangkaan
produk untuk meningkatkan harga.45
c. Promotion (Promosi)
Dalam Islam, tidak ada ruang untuk membenarkan perilaku promosi yang menipu. Al-
Qur’an mengutuk segala bentuk pernyataan palsu, tuduhan tidak berdasar dan kesaksian
palsu. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surah Al-
Zukhruf: 9:
43Moh. Nasuka, “Etika Pemasaran Berbasis Islam”, Jurnal Mukaddimah, No.1.Vol 17( 2011), 94. 44Ibid., 96. 45Imam al-Nawawi, Riyadhus-Saleheen, jilid 2, trans., S. M. M. Abasi, IIPH, (Riyadh:t.p,t.t ), 270.
Artinya: “Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu?Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawaban”.
Dalam hal etika pemasaran Islam, Ibn al-Ukhuwwah, menyatakan bahwa adalah tidak
etis bagi penjual atau petugas pemasaran memuji kualitas produk beserta atributnya secara
berlebihan, namun dalam realita mereka tidak memilikinnya.46 Selanjutnya, memberikan
kesan palsu apapun untuk mempromosikan atau menjual produk dilarang keras dalam praktik
etika pemasaran Islam internasional. Oleh karena itu, di bidang promosi produk, etika
pemasaran Islam akan mengikuti aturan berikut: (a) menghindari iklan palsu dan
menyesatkan; (b) penolakan terhadap tekanan manipulasi yang tinggi atau taktik penjualan
yang menyesatkan; (c) penghindaran promosi penjualan yang menggunakan penipuan atau
manipulasi.
Menurut Ibnu Miskawayh praktik-praktik yang menghasilkan keuntungan yang tidak
jujur, tidak terhormat dan memalukan diantaranya adalah melalui penipuan, pengelabuan,
pengkhianatan, pencurian atau ketidak adilan. Ibn al-Ukhuwwah mengemukakan, menurut
prinsip- prinsip Islam, pemasar dituntut untuk “mengungkapkan semua kekurangan yang ada
pada barang-barang mereka, baik yang kelihatan atau yang tersembunyi, sebaliknya, kalau
tidak begitu berarti merupakan perilaku curang.47 Dalam hal ini Niazi juga menegaskan,
wajib bagi penjual untuk mengungkapkan semua yang cacat baik yang diketahui maupun
yang tidak dapat dilihat.48
Selain itu, Tyser menyatakan sebuah penjualan yang tanpa syarat apapun maka barang
yang dijual harus bebas dari cacat. Nabi Muhammad SAW secara tegas mengutuk semua
perilaku promosi manipulatif, dengan menyatakan bahwa, “Orang yang menipu kita bukanlah 46Ibn al-Ukhuwwah, Diya’ al-Din Muhammad, Ma’alim al-Qurbah fi Ahkam al- Hisbah (London ; Luzak,
1983), 44-48. 47 Ibid., 44. 48 Niazi, Islamic Law of, 93.
salah satu dari kami.”49 Dalam etika Islam, teknik promosi tidak harus menggunakan daya
tarik seksual, emosional, penakutan, kesaksian palsu dan hasil penelitian palsu, atau
berdampak lagi, etika Islam melarang keras stereotip perempuan dalam iklan dan
menggunakan fantasi berlebihan. Penggunaan bahasa dan perilaku sugestif serta penggunaan
perempuan sebagai obyek untuk memikat dan menarik pelanggan juga tidak diperbolehkan.
d. Place (Distribusi)
Aspek etika Islam yang berkaitan dengan distribusi merupakan hal yang sangat
penting di bidang pemasaran. Distribusi secara fisik dapat dilihat sebagai pengintregasian
antara informasi, orang, peralatan dan organisasi. Oleh karena itu, dalam hal distribusi
produk, lembaga-lembaga keuangan Islam akan mengikuti prinsip-prinsip berikut: (a) tidak
memanipulasi ketersediaan produk untuk tujuan eksploitasi; (b) tidak menggunakan paksaan
pada saluran pemasaran; (c) tidak menggunakan pengaruh yang tidak semestinya dalam
menyampaikan suatu produk.
Menurut prinsip-prinsip Islam, saluran distribusi tidak seharusnya menciptakan beban
bagi pelanggan akhir (pemakai) yang menjadikan harga yang lebih tinggi dan tidak
menyebabkan penundaan. Ibnu al-Ukhuwwah, mengidentifikasi, khususnya penyimpangan
etika dalam saluran distribusi karena hal itu menyebabkan penundaan yang tidak perlu dalam
pengiriman mereka, upaya dalam menarik pelanggan berulang kali sehingga menyebabkan
mereka mengalami ketidak nyamanan yang tidak perlu terjadi. Dalam kerangka etika Islam,
tujuan utama saluran distribusi seharusnya untuk menciptakan nilai dan meningkatkan
standar hidup dengan memberikan layanan yang memuaskan secara etis.50
e. People (Orang)
Islam menekankan pentingnya kebebasan dan penilaian yang bersifat independen dari
pelanggan. Ahmad, menyatakan kemampuan untuk berpikir rasional saat membuat keputusan
49Nawawi, Riyadhus, 270. 50Al-Ukhuwwah, Diya’ al-Din Muhammad, Ma’alim al-Qurbah, 47.
yang berhubungan dengan kegiatan pemasaran global merupakan prasyarat dalam
Islam.51Masyarakat luas tidak boleh terhalangi kebebasan dan kejujuran dari pemaksaan
informasi pemasaran.
Hak seorang pelanggan untuk mendapatkan informasi yang benar dan merupakan
indikasi status yang diberikan kepadanya oleh Islam, serta hak yang melekat bagi
kekayaannya untuk dibelanjakan dalam pembelian produk dan jasa. Ini adalah tanggung
jawab pemasar untuk tidak berusaha melakukan bentuk paksaan apapun dan dalam situasi
apapun, mereka harus menghargai integritas intelektual dan tingkat kesadaran yang lebih
tinggi dari konsumen untuk memastikan bahwa memperoleh uang dari pelanggan tidaklah
sia-sia.
Pemaksaan atau ”ikrah” (Al-Qur’an 23:7),52 seperti yang didefinisikan oleh Tyser
adalah memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa persetujuannya.53 Maka bila suatu
kekuatan pemaksaan diterapkan untuk memutuskan yang menjadi tujuan dalam pemasaran
global, kondisi fundamental dan vital untuk saling menguntungkan tetap tidak terpenuhi dan
sebagai hasilnya transaksi yang dihasilkan tidak etis dan melanggar hukum.
Nabi Muhammad SAW melarang transaksi yang dilakukan dibawah paksaan, atau
bay’ al- mudtar.54 Menurut prinsip-prinsip Islam, pertimbangan seksual, emosional,
ketakutan, iklan yang indah dan pengakuan ilmiah yang palsu, semua memiliki unsur paksaan
yang menyebabkan mereka dikategorikan sebagai perilaku tidak etis yang digunakan sebagai
sarana pemasaran. Oleh karena itu, wacana terhadap sebuah bauran pemasaran yang beretika,
51M.Ahmad, Busines Ethics in Islam (Islamabad: IIIT, 1995), 126. 52 Quran 23:7 53C.R. Tyser, Demetriades, D.G. And Efendi, I.H. “A Complete Code on Islamic Civil Law,” dalam Turkish of
Majallah (New York: Law Publishing Company, NY. 1967),149-150. 54Ahmad, Business Ethics, 127.
menetapkan bahwa kebebasan pelanggan untuk mengambil keputusan, haruslah dilindungi
dari hal-hal yang bersifat pemaksaan.55
C. Konsep BMT (Baitul Māl wat at-Tamwil)
1. Pengertian BMT (Baitul Māl wat at-Tamwil)/ KJKS (Koperasi Jasa Keuangan
Syariah)
Soemitra berpendapat, Baitul Māl wat at-Tamwil (BMT) adalah kependekan kata
Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Māl wat at-Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro
(LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.56 Secara istilah BMT sesuai
namanya terdiri dari dua fungsi utama, yaitu:
a. Baitul Māl (rumah harta) yaitu menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
b. Baitul Tamwil (rumah pengembangan harta), yaitu melakukan kegiatan pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi usaha mikro
dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan
kegiatan ekonomi.57
Menurut Euis Amalia, Baitul Māl wat at-Tamwil (BMT) merupakan lembaga
keuangan mikro berbasis syariah yang mengembangkan bisnis syariah, terutama dalam
menjangkau pembiayaan usaha menengah, kecil dan mikro yang merupakan segmentasi
terbesar dalam tata perekonomian masyarakat Indonesia.58
Baitul Māl wat at-Tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya
berintikan bayt al-māl wat al-Tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha
55Abdelkader Chachi, Abul Hassan and Salma Abdul Latiff, “Islamic Marketing Ethics and Its Impact on
Customer Satisfaction in The Islamic Banking Industry”, J.KAU, Islamic Econ., Vol. 21, No.2 (2008), 23-40. 56Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Kencana, 2012), 451. 57 Pinbuk Perwakilan Sumatra Utara, Cara Pembentukan BMT ( Medan: t.t.,t.p.), 1. 58 Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 242.
produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil
bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang
pembiayaan kegiatan ekonomi.59
Andri Soemitro, mengatakan keberadaan BMT/ KJKS memiliki dua fungsi utama,
yaitu sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infak, sedekah dan
wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai institusi yang bergerak di bidang investasi yang
bersifat produktif sebagaimana layaknya bank, pada fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa
selain berfungsi sebagai lembaga keuangan BMT/KJKS juga berfungsi sebagai lembaga
ekonomi.60
Adapun status kelembagaan BMT/KJKS merurut Euis adalah koperasi yang berarti
kelembagaan BMT/KJKS tunduk pada Undang-Undang koperasi Nomor 25 Tahun 1992 dan
secara spesifik diatur dalam Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa
Keuangan Syariah.61
2. Produk- Produk KJKS / BMT
Pengertian produk menurut Philip Kotler adalah sesuatu yang dapat di tawarkan ke
pasar untuk mendapatkan perhatian untuk dibeli, untuk digunakan, atau dikonsumsi yang
dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan.62
Disamping menurut Kasmir, menurutnya pengertian umum produk adalah segala
sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan
atau dikonsumsi dan yang dapat memuaskan kebutuhan atau keinginan.63
59 Pinbuk Pusat, Pedoman dan Cara Pembentukan BMT Balai Usaha Mandiri Terpadu (Jakarta: t.t.), 1. 60 Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan, 452. 61 Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 242. 62 Philip Kotler, Marketing Manajemen (New Jersey : Prentice Hall, 2000), 394. 63Kasmir, Pemasaran , 136.
Adapun produk yang dikembangkan pada BMT/ KJKS sesuai dengan Undang-
Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian Pasal 22 adalah tabungan dan simpanan
dengan menggunakan prinsip wadi’ah dan mudhārabah dengan merujuk pada Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI. Perhitungan bagi hasil sesuai dengan pola bagi hasil dilakukan
dengan sistem distribusi pendapatan. Penetapan distribusi pendapatan diperoleh dari
perhitungan saldo rata-rata perklasifikasi dana dibagi total saldo rata-rata seluruh klasifikasi
dana dikalikan komponen pendapatan, dikalikan nisbah bagi hasil masing-masing produk
tabungan/ simpanan berjangka.64
Adapun layanan pembiayaan BMT/KJKS diatur dalam Undang-Undang No.25 Tahun
1992 tentang perkoperasian Pasal 23 yaitu dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk pembiayaan
mudhārabah, musyārakah, piutang murābahah, piutang salam, piutang istisnah, piutang
ijarah dan qardh. Pengembangan bentuk pembiayaan lain dimungkinkan sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan memiliki landasan syariah yang jelas serta telah
mendapatkan fatwa DSN MUI. Berbagai jenis akad dan transaksi ini sekaligus menjadi
pembeda (distingsi) antara koperasi konvensional dengan koperasi syari’ah.65 Dalam kegiatan
operasionalnya, BMT menggunakan prinsip bagi hasil, sistem balas jasa, sistem profit, akad
bersyarikat dan produk pembiayaan.
64Amalia, Keadilan Distributif , 259. 65 Ibid ., 258.