bab ii kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

106
43 BAB II KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton, Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper, Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi, modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama, dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking). Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang unsur-

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

43 43

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

tujuan dan cara-cara mencapai tujuan. Kebijakan publik dibuat

oleh pemerintah. Analisis kebijakan mempelajari apa yang

dikerjakan oleh pemerintah, mengapa pemerintah

melakukannya, dan apa akibat atau konsekuensi dari kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan

umumnya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan dan

kebahagiaan bagi masyarakat. Dalam mengkaji kebijakan, dalam

bagian berikut disajikan pandangan dari Dye, Laswell, Easton,

Simon, dan Lindblom. Dalam kerangka perspektif filsafat juga

diketengahkan pandangan dari Machiavelli, Bacon, Popper,

Hayek, Etzioni, dan Habermas. Tahap yang cukup penting dari

proses kebijakan adalah implementasi kebijakan, karenanya

dalam bagian ini juga dipaparkan konsep implementasi

kebijakan, termasuk di dalamnya dibahas rekomendasi

kebijakan yang dipandang baik dan dampak dari kebijakan yang

diambil oleh pemerintah.

Dalam pembangunan ekonomi terdapat beberapa modal

atau kapital yang dapat digunakan. Modal tersebut di antaranya

modal manusia, modal ekonomi, modal kultural, modal

spiritual, dan modal sosial. Seperti halnya kapital ekonomi,

modal sosial juga dapat diperlakukan sebagai stok yang dapat

diinvestasikan dan digandakan. Dalam bab ini dijelaskan

pandangan modal sosial menurut Coleman, Putnam, Fukuyama,

dan Bourdieu. Pandangan mereka sangat mewarnai alur

disertasi ini, utamanya perspektif yang berkaitan dengan

kepercayaan (trust), norma (norm) dan jaringan (networking).

Dalam bagian berikut dibahas secara singkat tentang unsur-

Page 2: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

44

unsur modal sosial tersebut dan bagian selanjutnya membahas

jenis modal sosial, yaitu bonding social capital dan bridging social capital.

Unit analisis penelitian ini adalah pedagang kaki lima

(PKL), karenanya dalam bagian berikut dikemukakan konsep

sektor informal dan pedagang kaki lima, termasuk di dalamnya

pandangan tentang sektor informal dan pedagang kaki lima

(PKL), urbanisasi dan sektor informal, serta dinamika

perkembangan sektor informal dan pedagang kaki lima (PKL).

Sebelum sampai pada kerangka berpikir penelitian sebagai road map penelitian, dalam bagian akhir dari bab ini dibahas konsep

resistensi, yang memuat materi tentang apa yang menyebabkan

terjadinya resistensi dan apa bentuk-bentuk dari resistensi.

A. Tinjauan tentang Kebijakan Publik

Pengaturan mengenai bagaimana PKL harus beraktivitas di

kota, demikian pula mengapa pemerintah kota melakukan

perencanaan terhadap kotanya agar terlihat tertib, rapi, indah,

dan nyaman bagi warganya, merupakan bagian dari kebijakan

publik yang disusun dan akan diimplementasikan. Dalam bagian

berikut dijelaskan uraian tentang konsep kebijakan publik,

khususnya berkaitan dengan proses, pendekatan, dan model

yang digunakan. Kebijakan publik bukan merupakan konsep

yang baru dikenal selama ini. Sudah banyak pakar yang

melakukan kajian dan riset tentang kebijakan publik. Kata

“publik” dalam kebijakan publik dapat dipahami ketika

dikaitkan dengan istilah “privat”. Istilah publik dapat dirunut

dari sejarah negara Yunani dan Romawi Kuno. Bangsa Yunani

Kuno mengekspresikan kata publik sebagai koinion dan privat

disamakan dengan idion. Sementara bangsa Romawi Kuno

menyebut publik dalam bahasa Romawi res-publica dan privat

sebagai res-priva. Saxonhouse sebagaimana dikutip Parsons

Page 3: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

45

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

(2005:4) melakukan pemilahan antara kata publik dan privat

sebagai berikut.

Publik Privat

Polis Rumah tangga

Kebebasan Keharusan (necessity)

Pria Wanita

Kesetaraan Kesenjangan

Keabadiaan Kesementaraan

Terbuka Tertutup

Pemilahan publik dan privat dalam konteks ruang, dalam

praktik kehidupan tidaklah mudah. Saxonhouse (dalam Parsons

2005) menyadari bahwa batas-batas keduanya tidaklah absolut.

Hubungan antara ruang publik dengan ruang privat sangat

kompleks dan mencerminkan interdependensi. Kepentingan

publik dan privat pun bisa saling bertentangan. Untuk

memecahkan ketegangan antara kepentingan publik dan privat

adalah dengan memasukkan gagasan pasar. Sebagaimana

dikemukakan Habermas, bahwa pada awal abad 19, ruang

publik yang berkembang di Inggris, berasal dari perbedaan

antara kekuasaan publik dan dunia privat.

Cara memaksimalkan kepentingan individu dan sekaligus

mempromosikan kepentingan publik adalah dengan

menggunakan kekuatan pasar (Parsons 2005). Berfungsinya

kebebasan individu (konsep publik dalam telaah Saxonhouse di

atas) dalam menentukan pilihan dapat memenuhi kepentingan

individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik

dan kesejahteraan publik. Dalam kaitan ini, peran negara dan

politik adalah menciptakan kondisi di mana kepentingan publik

dapat dijamin. Itulah sebabnya, pemerintah tidak boleh banyak

mencampuri urusan individu. Kepentingan publik dalam hal ini

akan terlayani dengan baik jika kepentingan kebebasan

ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, tetapi tidak diatur

dan dikendalikan oleh negara. Intervensi negara bisa dipahami

Page 4: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

46

sejauh intervensi tersebut untuk menjamin penegakan hukum

dan hak asasi manusia, namun tidak mencampuri keseimbangan

alami yang muncul dari kepentingan diri. Untuk kepentingan

kajian terhadap eksistensi pedagang kaki lima (PKL), dalam

bagian berikut perlu diketengahkan dikotomi antara sektor

publik dan sektor privat, karena hal ini juga berkaitan dengan

posisi dan peran negara di dalamnya.

Baber sebagaimana dikutip Parsons (2005) dari Masey,

menyebutkan sepuluh ciri penting dari sektor publik, yaitu (1)

sektor publik lebih kompleks dan mengemban tugas-tugas yang

lebih mendua, (2) sektor publik lebih banyak problem dalam

mengimplementasikan keputusan-keputusannya, (3) sektor

publik memanfaatkan lebih banyak orang yang memiliki

motivasi yang sangat beragam, (4) sektor publik lebih banyak

memperhatikan usaha mempertahankan peluang dan kapasitas,

(5) sektor publik lebih memperhatikan kompensasi atas

kegagalan pasar, (6) sektor publik melakukan aktivitas yang

lebih banyak mengandung signifikansi simbolik, (7) sektor

publik lebih ketat dalam menjaga standar komitmen dan

legalitas, (8) sektor publik mempunyai peluang yang lebih besar

untuk merespon isu-isu keadilan dan kejujuran, (9) sektor

publik harus beroperasi demi kepentingan publik, dan (10)

sektor publik harus mempertahankan level dukungan publik

minimal di atas level yang dibutuhkan dalam industri swasta.

Sektor publik tidak selalu hanya mengejar keuntungan

finansial. Sektor ini bisa mengejar keuntungan finansial, tetapi

dapat juga mengutamakan kesejahteraan sosial. Jika yang dikejar

adalah kesejahteraan sosial, maka sektor publik ini tergolong

sektor nonprofit, yang ciri-cirinya adalah (1) sektor ini tidak

mengejar keuntungan, (2) cenderung menjadi organisasi

pelayanan, (3) ada batasan yang lebih besar dalam tujuan dan

strategi yang mereka susun, (4) lebih tergantung kepada klien

untuk mendapatkan sumberdaya finansialnya, (5) lebih

didominasi oleh kelompok profesional, (6) akuntabilitasnya

Page 5: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

47

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

berbeda dengan akuntabilitas organisasi privat atau provit, (7)

manajemen puncak tidak mempunyai tanggung jawab yang

sama atau imbalan finansial yang sama, (8) organisasi sektor

publik bertanggung jawab kepada elektorat dan proses politik,

dan (9) tradisi kontrol manajemennya kurang (Parsons 2005).

Istilah kebijakan atau kebijaksanaan memiliki banyak

makna. Hogwood dan Gunn, seperti dikutip Parsons (2005:15)

menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yaitu sebagai

label untuk sebuah bidang aktivitas, sebagai ekspresi tujuan

umum atau aktivitas negara yang diharapkan, sebagai proposal

spesifik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otorisasi formal,

sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil

(outcome), sebagai teori atau model, dan sebagai sebuah proses.

Makna modern dari gagasan kebijakan dalam bahasa Inggris

adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan

politik.

Istilah kebijakan memiliki makna yang tidak jauh berbeda

dengan kata kebijakan. Kebijaksanaan sebagai suatu kumpulan

keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh

kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-

cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu (Budiarjo 1992:12).

Friedrich mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan

yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu

sehubungan dengan adanya hambatan seraya mencari peluang

untuk mencapai tujuan atau sasaran yang dinginkan (Widodo

2007:13).

Post, et al (1999) memaknai kebijakan publik sebagai

rencana tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah

untuk mencapai tujuan yang lebih luas yang memengaruhi

kehidupan penduduk negara secara substansial.

Page 6: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

48

Kebijakan memiliki arti umum dan spesifik. Dalam arti

umum, kebijakan menunjuk pada jaringan keputusan atau

sejumlah tindakan yang memberikan arah, koherensi, dan

kontinuitas. Dalam kaitan ini, Greer and Paul Hoggett (1999)

memaknai kebijakan sebagai sejumlah tindakan atau bukan

tindakan yang lebih dari sekedar keputusan spesifik. Dalam arti

spesifik, ide kebijakan berkaitan dengan cara atau alat (means) dan tujuan (ends), dengan fokus pada seleksi tujuan dan sarana

untuk mencapai sasaran yang diinginkan.

Ide kebijakan di atas melibatkan apa yang disebut Easton

sebagai alokasi nilai-nilai (the allocation of values) dan

memiliki konsekuensi distribusional. Kebijakan dalam arti

khusus, berkaitan dengan ruang publik. Kebijakan berada pada

ruang hidup di luar kepentingan privat individu atau kelompok.

Namun demikian, sebagaimana dicatat Ranson and Steward

(dalam Greer and Paul Hoggett 1999), domain publik yang

mewarnai kebijakan publik memiliki peran esensial dalam

mengklarifikasi, menyatakan, dan mewujudkan tujuan-tujuan

publik, yang juga menjadi tujuan para individu atau kelompok

secara keseluruhan.

Apa yang dikemukakan Budiardjo, Friedrich, serta Greer

and Paul Hoggett mengenai konsep kebijakan terdapat

kesamaan, yaitu mereka sama-sama memfokuskan diri pada

suatu tindakan atau keputusan yang dimaksudkan untuk

mencapai tujuan tertentu. Tujuan atau sasaran dimaksud

tentunya adalah tujuan publik, bukan tujuan orang per orang

atau kelompok tertentu.

Ketika istilah kebijakan dan publik digabung menjadi satu,

yaitu kebijakan publik, memiliki makna yang lebih luas

daripada ketika diartikan secara sendiri-sendiri. Kebijakan

publik merupakan salah satu komponen negara yang tidak

boleh diabaikan. Menurut Nugroho (2009:11), negara tanpa

komponen kebijakan publik dipandang gagal, karena kehidupan

Page 7: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

49

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

bersama hanya diatur oleh seseorang atau sekelompok orang

saja, yang bekerja seperti tiran, dengan tujuan untuk

memuaskan kepentingan diri atau kelompok saja. Kebijakan

publik, termasuk di dalamnya adalah tata kelola negara

(governance), mengatur interaksi antara negara dengan

rakyatnya. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana

signifikansi kebijakan publik sebagai komponen negara.

Sebagaimana dijelaskan Nugroho (2009), setiap pemegang

kekuasaan pasti berkepentingan untuk mengendalikan negara,

sekaligus juga mengelola negara. Mengelola berarti

mengendalikan dengan menjadikannya lebih bernilai.

Pemerintah suatu negara dalam mengelola negara, tidak hanya

mengendalikan arah dan tujuan negara, tetapi juga mengelola

negara agar lebih bernilai melalui apa yang disebut dengan

kebijakan publik. Inilah tugas pemerintah atau negara

sesungguhnya. Gambar berikut memperjelas ilustrasi di atas.

Gambar 1. Dimensi Tugas Negara

Sumber: Nugroho (2009:12)

Kekuasaan yang dimiliki negara tidak dapat dipertahankan

hanya dengan kekuatan paksa, tetapi juga memerlukan

kebijakan (Parsons 2005). Negara merupakan pemegang

kekuasaan yang sah, tetapi tidak akan efektif tanpa ada

Memimpin

Mengelola Mengendalikan

Page 8: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

50

kebijakan publik yang dibuat. Sebagaimana dikatakan Santoso

(2010:4), negara merupakan pemegang kekuasaan yang sah dan

karena kebijakan publik pada dasarnya merupakan kebijakan

negara, maka kebijakan publik dimaknai sebagai sebuah

tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan, untuk

memastikan tujuan yang sudah dirumuskan dan disepakati oleh

publik dapat tercapai.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak hanya

dipahami sebagai persoalan teknis administratif saja, tetapi juga

dimengerti sebagai sebuah persoalan politik. Kebijakan publik

berkaitan dengan penggunaan kekuasaan, oleh karenanya

kebijakan publik berlangsung dalam latar (setting) kekuasaan

tertentu. Dalam konteks ini, berarti ada pihak yang berkuasa

dan pihak yang dikuasai.

Pedagang kaki lima (PKL) dalam perspektif kebijakan

publik, berada pada posisi pihak yang seharusnya dilayani,

sedangkan pemerintah kota Semarang beserta aparaturnya

merupakan pihak yang sudah semestinya memberi pelayanan

melalui kebijakan yang diambil. Sebagaimana dikatakan Ndraha

(2003), pemerintah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat sebagai konsumen atas produk-produk pemerintah,

dengan melakukan pelayanan publik dan pelayanan sipil.

Pemerintah melakukan pelayanan publik, karena

pemerintah merupakan badan publik yang diadakan tidak lain

adalah untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam

hal layanan sipil, pemerintah setiap saat harus siap sedia

memberikan layanan kepada setiap orang yang membutuhkan.

Dalam realitasnya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya,

masyarakat yang melayani dan pemerintah sebagai pihak yang

dilayani. Itulah sebabnya, dalam praktik pemerintahan acapkali

menimbulkan abuse of power sehingga terciptanya praktik

korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Page 9: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

51

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Sebagai pihak yang menguasai sumber daya politik,

ekonomi, budaya, dan militer, pemerintah berada pada posisi

superordinat, yakni pihak yang sangat berkuasa dalam

mengatur dan mengendalikan warga masyarakat, termasuk di

dalamnya pedagang-pedagang kecil seperti halnya PKL. Dalam

posisinya ini, pemerintah kota dengan segala kebijakannya

harus ditaati dan dipatuhi oleh PKL. Perda nomor 11 tahun

2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima,

merupakan salah satu wujud dari kebijakan pemerintah kota

Semarang yang harus ditaati pedagang kaki lima. PKL sebagai

pihak subordinat, harus siap diatur dan dikendalikan oleh

pemerintah. Dalam konteks relasi kuasa, yang dikhawatirkan

adalah jika kebijakan publik yang ditempuh Pemkot merupakan

perencanaan yang cerdik (scheming), sebagaimana ditulis

Marlowe (dalam Parsons 2005), yaitu menciptakan atau

merekayasa sebuah ceritera yang masuk akal dalam rangka

mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa.

Perda nomor 11 tahun 2000 lebih bersifat mengatur PKL

daripada membina dan memberdayakannya. Hal ini dapat

dilihat dari judul peraturan daerah yang mengatur PKL, yaitu

Perda nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan

Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang ditetapkan

pemerintah kota Semarang ini berbeda dengan Perda nomor 3

tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang

dikeluarkan pemerintah kota Surakarta. Perda nomor 3 tahun

2008 ini menunjukkan bagaimana pemerintah Surakarta

berkewajiban mengelola PKL agar mereka dapat hidup

sejahtera. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 3, yang

menyatakan bahwa pengelolaan PKL bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan PKL, menjaga ketertiban umum

dan kebersihan lingkungan. Konsiderans Perda nomor 3 tahun

2008 juga menguatkan ketentuan pasal 3 tersebut.

“ pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha perdagangan sektor informal yang merupakan perwujudan hak

Page 10: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

52

masyarakat dalam berusaha dan perlu diberi kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan PKL ini perlu dikelola, ditata, dan diberdayakan sedemikian rupa agar keberadaannya memberikan nilai tambah atau manfaat bagi pertumbuhan perekonomian dan masyarakat kota serta terciptanya lingkungan yang baik dan sehat”.

Substansi dari Perda nomor 3 tahun 2008 menunjukkan

adanya keberpihakan kepada pedagang kaki lima. Hal ini

diperlihatkan oleh pasal tentang hak PKL dan pemberdayaan

terhadap PKL. Pasal 8 Perda tersebut menyatakan bahwa untuk

menjalankan kegiatan usahanya, pemegang izin penempatan

PKL berhak: (1) mendapatkan perlindungan, kenyamanan, dan

keamanan dalam menjalankan usaha, (2) menggunakan tempat

usaha sesuai dengan izin penempatan.

Perda nomor 3 tahun 2008 mewajibkan walikota untuk

memberikan pemberdayaan kepada PKL. Sesuai dengan

ketentuan pasal 12 ayat (1), pemberdayaan terhadap PKL

berupa: (a) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (b)

pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku

ekonomi yang lain, (3) bimbingan untuk memperoleh

peningkatan permodalan, dan (4) peningkatan sarana dan

prasarana PKL.

Wujud pemberdayaan tersebut gayut dengan hak yang

dimiliki oleh PKL. Hak untuk mendapatkan perlindungan,

kenyamanan, dan keamanan dalam menjalankan usaha

sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) tersebut, akan dapat

dinikmati secara optimal, ketika PKL juga dibantu dalam

manajemen usaha, pengembangan usaha, peningkatan

permodalan dan peningkatan sarana prasarana. Ketentuan

tentang pemberdayaan dalam Perda PKL yang dibuat

pemerintah kota Surakarta tersebut tidak dijumpai dalam Perda

PKL yang ditetapkan pemerintah kota Semarang.

Page 11: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

53

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Perda nomor 11 tahun 2000 hanya mengatur 1 pasal tentang

hak PKL, yaitu pada pasal 6, selebihnya mengatur masalah

kewajiban, larangan, serta ketentuan pidana dan sanksi

administrasi. Dalam pasal 6 tersebut, setiap PKL mempunyai

hak untuk mendapatkan pelayanan perizinan, penyediaan lahan

lokasi PKL, dan mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Pasal

tersebut belum menyentuh persoalan hakiki PKL, yaitu

kenyamanan dan keamanan dalam berusaha.

Perda nomor 11 tahun 2000 juga tidak mengatur tentang

kewajiban pemberdayaan yang harus dilakukan oleh

pemerintah kota Semarang. Itulah sebabnya, dalam praktik

kebijakan yang berkaitan dengan penataan PKL di Semarang,

pihak eksekutor kebijakan hanya melaksanakan apa yang telah

ditentukan oleh Perda, tidak lebih dari itu. Kebijakan penataan

PKL di Semarang lebih bersifat mengatur dan menertibkan,

sehingga tidak jarang dalam implementasinya menggusur PKL

tanpa adanya hak banding yang seharusnya dimiliki PKL.

Realitas ini menyebabkan hubungan antara Pemkot dengan

PKL menjadi tidak harmonis. Hal ini juga membawa implikasi

pada ketaatan PKL terhadap Perda dan kebijakan pemerintah

lainnya. Sementara itu, Perda nomor 3 tahun 2008 yang

digunakan Pemkot Surakarta untuk mengelola PKL, yang di

dalamnya ada ketentuan bahwa walikota berkewajiban

memberdayakan PKL, membawa implikasi pada hubungan yang

dekat antara Pemkot dengan pedagang kaki lima. Hubungan

yang dekat tersebut dapat memengaruhi tingkat kepatuhan PKL

terhadap Perda.

Kebijakan berkaitan dengan apa yang dilakukan

pemerintah. Dalam kaitan ini, Dye (2002:1) mengartikan

kebijakan publik sebagai “whatever government choose to do or not to do”. Kebijakan publik merupakan sebuah pilihan

pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu. Dalam buku berjudul Public Policymaking, Anderson

(2000) pun setuju dengan pandangan Dye tentang makna

Page 12: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

54

kebijakan publik sebagai “apapun yang dipilih pemerintah

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”.

Sesuai dengan konsep kebijakan publik di atas, pemerintah

dapat melakukan banyak hal, mulai dari mengelola konflik

dalam masyarakat, mengorganisasikan masyarakat untuk

berkonflik dengan masyarakat lain, mendistribusikan berbagai

penghargaan atau hadiah dan layanan material kepada anggota-

anggota masyarakat, hingga menarik uang dari masyarakat yang

sering diwujudkan dalam bentuk pajak.

Individu atau masyarakat mengharapkan pemerintah

melakukan banyak hal untuknya. Semua kelompok masyarakat

pasti menginginkan pemerintah dapat melayani kepentingan

mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka

hadapi. Kebijakan publik harus didesain untuk menghilangkan

atau setidaknya mengurangi ketidaknyamanan dan

ketidaksenangan individu dan kelompok-kelompok masyarakat

(Dye 2002). Sejalan dengan pandangan Dye tersebut,

pemerintah kota Semarang suka atau tidak suka, melalui

kebijakan yang diambil mestinya dapat mengatasi konflik

penggunaan ruang publik yang selama ini banyak digunakan

oleh para PKL dan melalui kebijakannya pula, semua warga

kota Semarang harus dapat dibuat nyaman, aman, tenang dan

senang, termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang kaki

lima (PKL).

Kebijakan publik dalam pandangan Dye dan Anderson,

bukan sekedar keputusan yang menghasilkan aktivitas-aktivitas

yang terpisah. Sebagaimana dilihat Richard Rose, kebijakan

dipandang sebagai serangkaian panjang aktivitas yang saling

berhubungan (Anderson 2000). Makna kebijakan Dye maupun

Anderson, tidak semata-mata berkaitan dengan apa yang dapat

atau tidak dapat dilakukan pemerintah, tetapi lebih dari itu,

kebijakan menyangkut sejumlah aktivitas yang berkaitan

dengan kepentingan publik. Hal ini sejalan dengan apa yang

Page 13: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

55

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

digagas Carl J. Friedrich tentang kebijakan publik. Menurut

Friedrich (dalam Anderson 2000), kebijakan adalah sejumlah

tindakan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu

lingkungan tertentu yang menyediakan rintangan sekaligus

kesempatan di mana kebijakan yang diajukan dapat

dimanfaatkan untuk mengatasi usaha mencapai tujuan atau

merealisasikan tujuan dan sasaran.

Ide utama kebijakan memang terkait dengan sejumlah

tindakan. Kebijakan sebagai tindakan, dalam pandangan

Friedrich (dalam Anderson 2000), diarahkan untuk memenuhi

sejumlah maksud dan tujuan, meskipun diakui bahwa tidak

mudah untuk melihat maksud dan tujuan tindakan pemerintah.

Hanya melalui pejabat-pejabat atau agen pemerintah, kebijakan

publik dapat diketahui ke mana arahnya.

Perkembangan masyarakat industri dengan bentuk-bentuk

administrasinya, telah mengubah makna kebijakan tidak

sekedar sebagai apa yang dilakukan oleh negara, tetapi juga

memiliki kaitan dengan persoalan politik dan administrasi

birokrasi. Gagasan kebijakan sebagai politik dijalankan oleh

sebuah alat administrasi yang canggih, yang disebut dengan

birokrasi. Mereka yang berkecimpung di ruang birokrasi

dinamakan birokrat, sedangkan mereka yang berkutat pada

arena politik disebut politisi.

Birokrat memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai

badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya

berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau platform

mereka oleh elektorat (Parsons 2005). Para pelaksana kebijakan

ini memiliki apa yang oleh David Easton (dalam Parsons 2005)

disebut dengan otoritas atau kewenangan. Mengapa birokrat

dan politisi memiliki otoritas tersebut? Jawabannya adalah

sistem politik menentukan apa-apa yang dilakukan oleh para

politisi dan urusan-urusan keseharian dalam sistem politik

dilakukan oleh birokrat. Konstitusi dan Undang-undang pun

Page 14: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

56

mengakui bahwa merekalah yang dipandang bertanggungjawab

terhadap persoalan dan agenda kebijakan yang telah disusun.

Dengan berkembangnya sistem kepartaian dan pemilu

modern pada era masyarakat industri, maka diskursus kebijakan

menjadi sarana utama bagi elektorat untuk terlibat dalam

kegiatan politik dan persaingan antara elit politik. Politisi

diharapkan memiliki kebijakan sebagaimana halnya sebuah

toko semestinya mempunyai barang dagangan. Dalam

pandangan Schumpeter (dalam Parsons 2005), kebijakan atau

pokok-pokok platform merupakan mata uang penting dalam

perdagangan demokratik.

Apa yang digagas Schumpeter ini berbeda dengan ide

Lasswell tentang kebijakan. Lasswell tidak setuju jika kebijakan

disamakan dengan politik. Menurut Laswell (dalam Parsons

2005), kebijakan harus bebas dari konotasi politik, sebab politik

diyakini mengandung makna keberpihakan dan korupsi.

Terlepas dari persoalan apakah kebijakan berkaitan dengan

politik atau tidak, kebijakan publik tetap merupakan sesuatu

yang terniscaya dalam masyarakat modern. Kebijakan publik

bisa melahirkan keuntungan atau pun kerugian, bisa

menyebabkan kenikmatan, iritasi, dan rasa sakit dan dalam arti

kolektif, memiliki konsekuensi penting terhadap kesejahteraan

dan kebahagiaan (Anderson 2000).

Kebijakan melibatkan tiga komponen utama, yaitu society,

political system, dan public policy itu sendiri. Ketiga komponen

ini saling memengaruhi. Dalam studi tentang kebijakan publik

di Amerika Serikat, Thomas R. Dye (2002:5) menggambarkan

kaitan tiga komponen di atas seperti dalam gambar berikut.

Page 15: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

57

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Gambar 2. Studi Kebijakan: Penyebab dan Konsekuensinya.

Berdasarkan gambar di atas, kondisi sosial ekonomi

masyarakat meliputi kesejahteraan dan pendapatan, inflasi,

resesi, dan pengangguran, pencapaian pendidikan, kualitas

lingkungan, kemiskinan, komposisi rasial, profil agama dan

etnik, kesehatan dan usia hidup, ketidaksamaan dan

diskriminasi. Kelembagaan, proses, dan perilaku dalam sistem

politik mencakupi federalisme, pemisahan kekuasaan, sistem

perimbangan kekuasaan, kepartaian, kelompok kepentingan,

perilaku voting, birokrasi, struktur kekuasaan, serta kongres,

Presiden, dan pengadilan. Kebijakan publik yang dihasilkan dari

kondisi masyarakat yang direspon dan diolah dalam sistem

politik, dapat berupa hak-hak sipil, kebijakan pendidikan,

kebijakan kesejahteraan, kebijakan pemeliharaan kesehatan,

keadilan kriminal, perpajakan, belanja dan defisit anggaran,

kebijakan pertahanan, dan peraturan-peraturan.

Garis panah yang ditunjukkan oleh garis A, B, C, D, E, dan

F pada gambar di atas, menunjukkan adanya pengaruh atau

dampak dari satu komponen terhadap komponen lainnya,

misalnya garis A menggambarkan tentang pengaruh kondisi

sosial ekonomi masyarakat terhadap lembaga, proses, dan

perilaku politik dan pemerintahan. Demikian pula, garis B

menggambarkan pengaruh dari lembaga-lembaga politik dan

Institutions, Processes,

Behaviors

Social and Economic

Conditions Public Policy

Society Political System Public Policy

A B

C

D

E F

Page 16: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

58

pemerintah, proses, dan perilakunya terhadap kebijakan publik

yang diambil.

Segitiga kebijakan Dye dapat juga dipakai untuk memotret

bagaimana kebijakan publik di Indonesia dirancang dan

diimplementasikan. Di Indonesia, kebijakan publik yang

ditetapkan dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi

masyarakatnya, baik berkaitan dengan tingkat pendidikan,

tingkat pendapatan masyarakat, tingkat kemiskinan, kualitas

hidupnya, maupun tingkat daya saingnya. Kelembagaan dan

sistem politik Indonesia memengaruhi dan juga dipengaruhi

oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia.

Kelembagaan tersebut sangat rumit, mencakupi sistem hukum,

sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem kultural.

Dalam kelembagaan ini turut bermain partai politik,

pemerintah (pusat dan daerah), birokrasi, parlemen, dan

organisasi. Mereka menentukan kebijakan apa yang diambil

oleh pemerintah. Output kebijakan bisa berupa Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau pun

Peraturan Daerah, baik menyangkut bidang pendidikan,

kesehatan, finansial, maupun bidang-bidang lain yang

menyentuh kehidupan masyarakat atau publik. Partai politik

dan birokrasi dinilai yang paling menonjol dalam menentukan

suatu kebijakan publik. Partai Golkar pada masa Orde Baru,

partai PDI-P pada masa pemerintahan Megawati, dan partai

Demokrat pada masa pemerintahan SBY merupakan contoh dari

partai politik yang secara dominan menentukan corak kebijakan

yang diambil oleh pemerintah.

Umumnya dalam ide kebijakan publik, pemerintah berada

pada posisi yang dominan. Artinya bahwa, kebijakan publik

tidak akan berjalan tanpa peran pemerintah. Perda PKL yang

dibuat pemerintah kota Semarang bersama DPRD juga lebih

banyak melibatkan peran Pemkot Semarang. Naskah atau draft

Raperda sudah disiapkan oleh Dinas Pasar kota Semarang. Pihak

Page 17: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

59

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

PKL yang umumnya berpendidikan SMA ke bawah, tidak

terlibat dalam penyusunan draft Perda yang mengatur

kehidupan mereka. Mereka tinggal menerima saja apa yang

sudah diputuskan oleh pemerintah kota bersama DPRD. Kalau

pun ada perwakilan PKL yang diajak bicara, itu pun hanya

perwakilan dari Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonsia (APKLI)

Semarang, yang tidak mewakili sepenuhnya kepentingan

pedagang kaki lima.

Wacana tentang peran pemerintah dalam merumuskan dan

mengimplementasikan kebijakan publik, melalui agen-agennya,

dapat ditelusuri dari paradigma Keynesian. Dunia penuh dengan

ketidakpastian dan teka-teki. Masalah yang dihadapi hanya

dapat dipecahkan melalui penerapan akal dan pengetahuan

manusia. Pandangan ini membentuk latar belakang

pertumbuhan pendekatan kebijakan. Pemetaan perkembangan

ilmu kebijakan dapat dilakukan melalui keinginan untuk

mendapatkan pengetahuan mengenai tata kelola yang mampu

merumuskan problem dengan baik. Keinginan untuk

memperoleh pendekatan yang lebih rasional untuk dapat

menganalisis masalah sosial dan persoalan lainnya, terwujud

dalam bentuk perkembangan kapasitas negara untuk

mendapatkan dan menyimpan informasi, misalnya melalui

riset-riset dan survei sosial. Ide bahwa pemerintah dapat

memecahkan persoalan, setidaknya masalah ekonomi, dengan

menentukan kebijakan, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial

mulai membangun hubungan dengan ilmu politik dan

pemerintahan (Parsons 2005).

John Maynard Keynes sebagaimana dikutip Parsons (2005)

meyakini bahwa jika pemerintah memiliki kemampuan dalam

mengatasi persoalan, maka pemerintah harus mengakui

perlunya kajian pendekatan pemerintahan yang lebih kaya dan

berlandaskan teori. Keynes meramalkan bahwa di masa depan,

kajian tersebut akan muncul berdasarkan ide-ide dari para

Page 18: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

60

ekonom, bukan dari kepentingan politik yang menentukan

pengambilan keputusan (Parsons 2005).

Laswell (dalam Parsons 2005) menunjukkan bahwa

kebijakan hanya dapat dipahami jika penjelasan tujuan-tujuan

sosial diberikan berdasarkan bidang keilmuan. Kebijakan

sebagai ilmu, menurut Laswell mencakupi (1) metode penelitian

proses kebijakan, (2) hasil dari studi kebijakan, dan (3) hasil

temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting

untuk memenuhi kebutuhan inteligensia di era kita sekarang

(Parsons 2005). Pendek kata, kebijakan dalam kajian ilmiah

Laswell, mengandung ciri khas, yaitu berorientasi pada

problem, sehingga kebijakan sebagai ilmu harus bersifat

kontekstual, multimetode, dan berorientasi problem. Dalam

kaitan ini, Laswell mengibaratkan ilmuwan kebijakan seperti

dokter sosial yang menyembuhkan dirinya sendiri, sembari

belajar untuk menyembuhkan pemerintahan. Pemerintah

dalam analisis kebijakan ini bertindak sebagai problem solver.

Perumusan kebijakan berbasis teori atau ilmu politik, selain

merujuk pada pandangan Laswell, dapat pula dikaji dari

pandangan David Easton, Herbert Simon, dan Charles

Lindblom. Ketiga-tiganya juga mengkaji kebijakan berdasarkan

pendekatan rasional. Semua pengkaji kebijakan tersebut

termasuk dalam kelompok pendekatan tahapan atau stagist. Easton misalnya, membuat model tahapan sederhana dari proses

kebijakan publik, dimulai dari input, dimediasi melalui saluran

input, yaitu kebijakan, dan diakhiri dengan output. Model

tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Page 19: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

61

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Sumber: Parsons (2005:26)

Gambar 3. Proses Kebijakan sebagai Input dan Output

Pandangan Almond dan Powell tentang proses kebijakan

tidak jauh berbeda dengan pendapat Easton, yang menjelaskan

model sistem politik sebagai model yang terdiri dari tiga

komponen atau fungsi, yaitu (1) fungsi input, berupa artikulasi

kepentingan, (2) fungsi proses, yakni berupa agregasi

kepentingan, pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan,

dan keputusan kebijakan, serta (3) fungsi kebijakan (output), berupa ekstraksi, regulasi, dan distribusi.

Kebijakan publik sebagai sebuah tahapan membawa ide,

keyakinan, dan asumsi yang berbeda-beda. Latar (setting)

institusional, orientasi akademik, kepentingan kebijakan, dan

relasi terhadap proses kebijakan sangat beragam, maka

kerangka teoritis yang digunakan para teoretisi berbeda-beda

pula. Bobrow dan Dryzek mengemukakan lima kerangka

analisis utama dalam kebijakan publik, yaitu ekonomi

kesejahteraan, pilihan publik, struktur sosial, pengolahan

informasi, dan filsafat politik (Parsons 2005).

Perspektif ekonomi kesejahteraan merupakan turunan

langsung dari utilitarianisme Mill dan Bentham (Parsons 2005).

Analisis kebijakan dalam perspektif ini merupakan aplikasi teori

dan model ekonomi kesejahteraan untuk meningkatkan

rasionalitas dan efisiensi pembuatan keputusan.

Page 20: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

62

Pilihan publik (public choice) sebagai perspektif kebijakan,

diartikan sebagai ilmu ekonomi yang membahas pengambilan

keputusan nonpasar atau aplikasi ilmu ekonomi pada ilmu

politik. Pokok persoalan yang dikaji perspektif pilihan publik

adalah negara, perilaku memilih, partai politik, dan birokrasi.

Pendekatan pilihan publik juga memiliki kaitan erat dengan

institusionalisme ekonomi atau kelembagaan baru, yang

berhubungan dengan analisis pasar, perilaku organisasi, dan

pembangunan dilihat dari sudut pandang pilihan rasional.

Pendekatan struktur sosial memahami kebijakan publik dari

sudut pandang teori sosiologi. Sosiologi berkontribusi dalam

memahami kekuasaan dalam masyarakat, organisasi, institusi,

dan yang lain. Kontribusi sosiologi cukup signifikan terhadap

analisis kebijakan, utamanya adalah analisis problem sosial.

Pendekatan daur hidup untuk problem sosial merupakan

contoh dari model stagist untuk proses kebijakan.

Pendekatan pengolahan informasi menganalisis tentang

bagaimana individu dan organisasi memberikan penilaian,

membuat pilihan, menangani informasi, dan memecahkan

persoalan. Pendekatan yang dipakai di antaranya Psikologi

Sosial, Ilmu Keputusan, Ilmu Informasi, dan Perilaku

Organisasi.

Filsafat banyak memberikan kontribusi terhadap analisis

kebijakan publik. Beberapa filsuf yang pemikirannya

memengaruhi kebijakan publik dan analisis kebijakan, di

antaranya adalah Machiavelli, Bacon, Karl Popper, Hayek,

Etzioni, dan Habermas.

Sebagai seorang filsuf politik, Machiavelli (dalam Parsons

2005) mengkaitkan teori-teori pemerintahan dengan

pengalamannya dalam politik aktual. Pihak penguasa, menurut

Machiavelli harus memahami bagaimana kekuasaan bisa

bekerja. Pemerintahan merupakan sebuah keterampilan. Studi

pemerintahan dapat disebut sebagai ilmu pemerintahan.

Page 21: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

63

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Machiavelli tertarik pada seni keterampilan bernegara. Ia yakin

bahwa dengan pemahaman yang cukup mengenai realitas

politik dan kekuasaan, maka pembuat keputusan dapat

menjalankan kekuasaan secara lebih baik dan memiliki

kemampuan lebih besar dalam mengatasi setiap persoalan yang

dihadapi.

Machiavelli tertarik pada pemanfaatan kebijakan untuk

meraih tujuan yang dikejar oleh pemegang kekuasaan.

Pandangan Machiavelli relevan dengan analisis kebijakan pada

abad 20 karena adanya alasan Machiavellian, yakni keinginan

untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di

pemerintahan dan bagaimana kinerja pemerintahan memenuhi

janji-janjinya. Kriteria untuk menilai kesuksesan para elit yang

bekerja di pemerintahan adalah kinerja dan hasil yang telah

dicapai. Kebijakan dalam hal ini, merupakan strategi untuk

mewujudkan tujuan. Dalam kaitan ini, tidak menjadi soal

apakah kebijakan yang dibuat benar atau salah, yang terpenting

adalah kebijakan mana yang menurut si pembuat paling bisa

dilaksanakan.

Bacon (dalam Parsons 2005) memiliki titik pandang yang

berbeda dengan Machiavelli. Dalam hal kebijakan, Bacon

mengusulkan gagasan jalan tengah (res mea), bahwa kebijakan

yang baik sebagai implementasi pelaksanaan kekuasaan,

memerlukan kemampuan untuk mempertahankan otoritas dan

legitimasi dengan membangun dukungan dan persetujuan,

ketimbang harus menciptakan permusuhan sebagaimana

diyakini Machiavelli. Jika Machiavelli memandang kebijakan

sebagai aktivitas untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan

Bacon memahami kebijakan sebagai aktivitas untuk menjaga

keseimbangan dan otoritas. Bacon memiliki diktum terkenal,

yakni pengetahuan adalah kekuasaan.

Kebijakan dalam hal ini dipahami Bacon sebagai

penggunaan pengetahuan untuk tujuan pemerintahan. Sebagai

Page 22: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

64

seorang politisi, Bacon berkeinginan agar kekuasaan dan

pengetahuan dalam tatanan politik baru dapat digabungkan.

Regenerasi dunia pengetahuan penting menurut Bacon,

karenanya ia menyarankan kepada para pengelola negara agar

kegiatan belajar dipandang sebagai tujuan praktis tertinggi

mereka. Masyarakat yang baik harus diatur dengan tertib,

religius, dan bersih, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika

masyarakat mengutamakan pembelajaran.

Filsuf yang berseberangan pandangan dengan Bacon adalah

Karl Popper. Kontribusi utama Popper (dalam Parsons 2005)

terhadap filsafat kebijakan publik adalah (1) pada level

metodologi, ia menentang validitas ide ilmu pengetahuan

Baconian sebagai induksi, yakni observasi terhadap fakta-fakta

sebagai dasar pendeduksian teori atau hukum umum, (2)

sebuah metode kebijakan publik yang bertujuan membuat

pengambilan keputusan politik mendekati pendekatan ilmiah

untuk memecahkan masalah. Metode ilmiah, menurut Popper

(dalam Parsons 2005), tidak terdiri dari proses pembuktian logis

berdasarkan akumulasi fakta dan bukti, melainkan lebih berada

pada latar (setting) teori yang dapat difalsifikasi. Ia berpendapat

bahwa masalah ada pada struktur pengetahuan dan dia menolak

gagasan Baconian bahwa eksistensi fakta terpisah dari persepsi,

nilai, teori, dan solusi.

Kebijakan publik tidak semata-mata dipahami dalam

kerangka ilmiah sebagaimana yang diyakini oleh para penganut

paradigma positivistik. Hayek merupakan salah satu dari filsuf

dari kelompok kanan baru yang mengkritik penggunaan

paradigma positivistik dalam analisis kebijakan publik. Salah

satu kontribusi penting dari Hayek terhadap studi kebijakan

adalah apresiasinya terhadap politik ide dan pentingnya

promosi ide melalui organisasi (Parsons 2005).

Hayek bersama sejawatnya mendirikan think-thank

pertama, yaitu Mont Pelerin Society pada tahun 1947, yang

Page 23: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

65

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

menjadi sumber inspirasi bagi terbentuknya beberapa think-thank lainnya, seperti Institute of Economic Affairs. Hayek

menolak positivisme logis dari kelompok Vienna dan ia

mengkritik gagasan yang menyatakan bahwa pengetahuan

objektif eksis dan dapat berfungsi sebagai basis untuk

mendeduksi hukum atau merencanakan masyarakat secara

ilmiah.

Pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga pendapat

yang mengatakan bahwa negara, pemerintah atau birokrasi

dapat menyatukan dan mengkoordinasikan semua informasi

yang tidak terbatas dalam rangka membuat keputusan sosial dan

mencampuri kebebasan pasar dan pilihan individu, merupakan

pandangan yang keliru dan menyesatkan. Bagi Hayek,

masyarakat bukan hasil dari desain manusia, tetapi merupakan

tatanan spontan (Parsons 2005).

Gagasan untuk membuat tatanan tersebut menjadi lebih

baik melalui campur tangan penerapan teori kebijakan oleh

pemerintah adalah sebuah gagasan yang secara epistemologis

tidak tepat. Hayek (dalam Parsons 2005) percaya bahwa

pemerintah atau pembuat kebijakan tidak dapat memecahkan

masalah atau memperbaiki apa-apa yang muncul secara spontan

dari interaksi antara individu bebas dengan pasar bebas. Itulah

sebabnya, Hayek mengusulkan bahwa peran kebijakan publik

harus terbatas pada bagaimana memastikan agar tatanan

spontan dalam masyarakat dan perekonomian bisa berjalan

tanpa campur tangan negara.

Negara berfungsi untuk mempromosikan kebebasan

personal dan pasar serta menegakkan aturan undang-undang

untuk terwujudnya kemaslahatan semua individu. Apabila

pembuatan kebijakan harus melibatkan negara, harus dijamin

bahwa kebijakan tersebut tidak sampai menciptakan monopoli

(Hayek dalam Parsons 2005)

Page 24: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

66

Pada era 1990-an berkembang paradigma komu-

nitarianisme. Etzioni merupakan salah satu pendukung utama

paradigma tersebut. Etzioni (dalam Parsons 2005) menunjukkan

jalan tengah antara penggunaan regulasi dan kontrol negara di

satu pihak dengan penggunaan kekuatan pasar murni di pihak

lainnya. Bagaimana negara mengambil peran dalam kehidupan

masyarakat, berikut ini pandangan Etzioni.

Menurut pandangan komunitarian, inti negara kesejahteraan yang kuat, tetapi terbatas harus dipertahankan. Tugas-tugas lain yang selama ini dilaksanakan negara harus diserahkan kepada individu, keluarga, dan komunitas. Dasar filosofisnya adalah kita perlu mengembangkan rasa tanggung jawab personal, sekaligus tanggung jawab bersama. Bagaimana kita melaksanakan aktivitas yang harus ditangani pada level masyarakat? Jawabannya adalah dengan menerapkan prinsip subsidiary. Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk setiap situasi pertama-tama jatuh pada mereka yang paling dekat dengan persoalan. Hanya ketika solusinya tidak bisa ditemukan oleh individu, maka keluarga harus ikut terlibat. Jika keluarga tidak bisa mengatasinya, barulah komunitas lokal boleh terlibat. Jika memang persoalannya terlalu besar untuk komunitas, barulah negara diperbolehkan terlibat (Parsons 2005:54).

Paradigma kebijakan yang diusulkan Etzioni ini

menunjukkan adanya garis tanggung jawab yang jelas, yaitu

perorangan, keluarga, komunitas, dan masyarakat secara

keseluruhan. Kebijakan publik harus ditujukan untuk

mempromosikan dan membangkitkan kembali institusi-institusi

yang berdiri di antara individu dan negara, yaitu keluarga,

organisasi relawan, sekolah, gereja, lingkungan rukun tetangga,

dan komunitas. Pembuat kebijakan, menurut Etzioni, harus

mau mengubah kebijakan dalam rangka memberi penekanan

yang lebih besar kepada tanggung jawab personal ketimbang

pada hak-hak personalnya. Nilai moral harus menjadi batu

pijakan bagi kebijakan untuk mengatasi semakin luasnya

fragmentasi masyarakat modern.

Page 25: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

67

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Merujuk pada pandangan Etzioni ini, pemerintah kota

Semarang dalam membuat kebijakan penataan PKL, seyogyanya

lebih menitikberatkan pada pemberian rasa tanggung jawab

kepada PKL untuk mengelola aktivitas ekonomi dan lingkungan

di mana mereka berdagang. Pemberian tanggung jawab ini tidak

cukup efektif kalau hanya diserahkan kepada individual PKL,

tetapi lebih banyak diserahkan kepada asosiasi PKL di masing-

masing lokasi PKL. Diyakini bahwa dengan pemberian otonomi

tanggung jawab ini, diperkirakan PKL dapat menjalankan

aktivitas ekonominya dengan baik dan dampak pengiringnya

adalah ruang publik kota menjadi terawat, rapi, dan bersih

karena adanya simbiosis mutualisme antara PKL dan

pemerintah kota Semarang.

Kebijakan publik sebagai upaya pemecahan masalah

berdasarkan rasionalitas atau akal manusia dikritik oleh

Habermas. Seperti halnya Hayek, Habermas (dalam Parsons

2005) mengakui adanya dominasi rasionalitas dalam

memecahkan problem. Habermas memperkuat ide rasionalitas

dalam analisis kebijakan, dengan mengusulkan konsep

rasionalitas komunikatif. Habermas (dalam Parsons 2005)

berpendapat bahwa “daripada meninggalkan nalar sebagai

informing principle bagi masyarakat kontemporer, kita

sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang

terbentuk dalam pengertian subjek-objek yang

terindividualisasikan ke konsep penalaran yang terbentuk

dalam komunikasi intersubjektif”.

Penalaran seperti itu, diperlukan ketika kehidupan bersama

yang berbeda-beda dalam ruang dan waktu yang sama

mendesak kita untuk mencari cara menemukan kesepakatan

tentang bagaimana menangani persoalan kolektif (Habermas

dalam Parsons 2005). Upaya membangun rasa memahami

sebagai fokus aktivitas penalaran akan menggantikan filsafat

kesadaran yang berorientasi subjek yang menurut Habermas

telah mendominasi konsep barat tentang nalar sejak era

Page 26: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

68

pencerahan. Gagasan Habermas menimbulkan dampak luas bagi

teori dan praktik kebijakan publik. Pada level teori misalnya,

ide-idenya menyarankan perlunya perhatian yang lebih besar

kepada bahasa, wacana, dan argumen. Dalam tataran praktis,

teori Habermas, seperti situasi perbincangan yang ideal,

mengajak para perumus kebijakan untuk mencari metode

analisis baru dan proses institusional baru yang dapat

mempromosikan pendekatan interkomunikatif guna

merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik.

Dalam teori kebijakan publik terdapat pendekatan dan

model yang dapat digunakan baik untuk merumuskan maupun

mengimplementasikan kebijakan publik. Sebagaimana sudah

dijelaskan pada uraian sebelumnya bahwa kerangka analisis

kebijakan yang dominan adalah pengambilan keputusan yang

rasional, namun pendekatan tahapan (stagist) atau siklus tetap

menjadi basis untuk melakukan proses analisis kebijakan. Dye

(2002) menawarkan beberapa model analisis kebijakan, yaitu

institutional model, process model, rational model, incremental model, group model, elite model, public choice model, dan game theory model. Model-model yang ditawarkan tersebut

memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Salah satu

model kebijakan yang sering digunakan analis adalah rational model. Model rasional (rational model) adalah model kebijakan

publik yang tujuannya ingin mencapai keuntungan sosial

maksimum (Dye 2002:16).

Dalam model ini, pemerintah memilih kebijakan yang dapat

menghasilkan keuntungan bagi masyarakat melebihi biaya yang

harus ditanggung masyarakat. Dalam model tersebut terdapat

konsep kunci, yaitu keuntungan sosial maksimum. Konsep

keuntungan sosial maksimum (maximum social gain) memiliki

dua makna, yaitu (1) tidak ada kebijakan yang diadopsi jika

biaya yang ditanggung melebihi keuntungan yang diperoleh, (2)

di antara alternatif kebijakan, pengambil keputusan seharusnya

Page 27: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

69

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

memilih kebijakan yang menghasilkan keuntungan lebih besar

daripada biaya yang dikeluarkan.

Untuk menyeleksi kebijakan rasional, pembuat kebijakan

harus (1) mengetahui seluruh pilihan nilai-nilai masyarakat dan

pertimbangan relatif mereka, (2) mengetahui seluruh alternatif

kebijakan yang tersedia, (3) mengetahui seluruh konsekuensi

dari masing-masing alternatif kebijakan, (4) mengkalkulasi rasio

antara keuntungan dan biaya dari masing-masing alternatif

kebijakan, (5) menyeleksi alternatif kebijakan yang paling

efisien.

Dye (2005) menjelaskan proses kebijakan berdasarkan

model rasional seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4. Model Rasional dari Sistem Keputusan

Suatu kebijakan publik pada prinsipnya berisi kepentingan

publik, bukan kepentingan negara, pemerintah atau pun elit

politik. Selama kebijakan publik memiliki nilai dan manfaat

1.establishment of complete set of

operational goals

with weights

3.preparation of complete set of

alternative

policies

2.establishment of complete inventory of other values and of resources with

weights

4. preparation of complete set of predictions

of benefits and costs for each

alternative

5.calculation of net

expectation for each

alternative

6.comparison of net

expectations and

identification of

alternatives with highest

net

expectation

Output Pure

rationality

policy

Input all

resources

needed for

pure

rationality

process

All data

needed for

pure

rationality

process

Page 28: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

70

bagi kepentingan publik, maka ia dapat disebut kebijakan

publik. Dalam kebijakan publik terdapat tiga nilai pokok, yaitu

(1) kebijakan publik bersifat cerdas, artinya mampu

memecahkan masalah yang sesungguhnya dialami, (2) kebijakan

bersifat bijaksana, artinya butir kebijakan yang telah ditetapkan

tidak menimbulkan masalah baru yang lebih besar, dan (3)

kebijakan publik memberikan harapan kepada seluruh

masyarakat bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik

daripada hari ini (Nugroho 2009:329). Secara teoretik, kebijakan

yang ditetapkan pemerintah cenderung baik dan ideal, tetapi

dalam implementasinya sering tidak sesuai dengan cita-cita

yang dikandung dalam kebijakan tersebut.

Sebaik-baiknya suatu perencanaan, jika pelaksanaan atau

implementasinya tidak maksimal apalagi menyimpang dari

perencanaan, maka kebijakan yang diambil juga dinilai tidak

baik. Implementasi kebijakan merupakan kelanjutan dari

politik dengan berbagai sarana (Dye 2002). Artinya bahwa,

tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebagai keputusan

politik harus dapat dicapai dengan berbagai tindakan yang

melibatkan cara, strategi atau taktik tertentu. Dalam kalimat

yang singkat, Anderson (2000) menjelaskan implementasi

kebijakan sebagai “what happens after a bill becomes law”,

artinya bahwa implementasi kebijakan berkaitan dengan apa

yang terjadi setelah Rancangan Undang-Undang menjadi

Undang-Undang.

Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar memiliki

dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2007). Menurut

van Meter dan van Horn, sebagaimana dikutip Nawawi (2009),

implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan

oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintah dan swasta

yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan

dalam keputusan kebijakan. Implementasi juga dimaknai

sebagai suatu proses atau serangkaian keputusan dan tindakan

yang ditujukan agar keputusan-keputusan yang diterima oleh

Page 29: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

71

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

lembaga legislatif dapat dijalankan (Winarno 2007). Tugas

implementasi, menurut Grindle (1980) adalah membentuk

suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa

direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

kegiatan implementasi bukan sekedar kegiatan akhir dari suatu

kebijakan, tetapi merupakan proses atau aktivitas yang dapat

memastikan bahwa kebijakan atau keputusan yang telah

ditetapkan dapat dijalankan dengan baik. Implementasi

kebijakan bukan sekedar dilihat dari bagaimana pelaksanaan

programnya, tetapi diukur dari bagaimana program tersebut

dapat mewujudkan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

oleh kebijakan. Dalam kaitan ini, van Meter dan van Horn,

sebagaimana diungkapkan kembali oleh Winarno (2007)

menyarankan agar tujuan dan sasaran suatu kebijakan yang

akan dilaksanakan harus dapat diidentifikasi dan diukur. Hal ini

penting, karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil jika

tujuan-tujuan yang ditetapkan tidak dapat diukur.

Ukuran tujuan dan sasaran kebijakan dapat dilihat pada

pernyataan dari pembuat kebijakan atau dalam dokumen

regulasi yang ditetapkan. Untuk mengetahui bagaimana sasaran

pembangunan pendidikan dapat dicapai atau telah dilaksanakan

dengan baik, seorang analis kebijakan dapat mengkaji dokumen

UUD 1945 hasil amandemen pasal 31 ayat (4). Dalam pasal

tersebut ditetapkan bahwa negara memprioritaskan anggaran

pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari

anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran

pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional. Jika ada suatu daerah

provinsi atau kabupaten belum mencantumkan anggaran

pendidikan sebesar 20%, berarti kebijakan pendidikan tidak

berjalan sebagaimana mestinya.

Page 30: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

72

Guna memahami kebijakan pemerintah dalam melakukan

perlindungan tenaga kerja, utamanya anak-anak dan

perempuan, seorang analis kebijakan harus mengkaji Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-

pasal yang dapat dikaji di antaranya pasal 68 sampai dengan 85.

Pasal 68 misalnya, mengamanatkan bahwa pengusaha dilarang

mempekerjakan anak. Jika ada pengusaha mempekerjakan anak,

maka ia dapat dikenai sanksi karena telah melanggar ketentuan

undang-undang ketenagakerjaan. Namun demikian, pasal 69

Undang-undang ini memberi kelonggaran kepada pengusaha,

bahwa ia dapat mempekerjakan anak yang berusia antara 13

hingga 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang

tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental

dan sosial anak.

Dari dua contoh kebijakan tersebut, dapat disimpulkan

bahwa suatu kebijakan dapat diimplementasikan dan dapat

diukur jika sasaran dan tujuannya jelas. Jika tidak, maka

inplementasi kebijakan wajib dipertanyakan.

Masalah yang paling penting dalam implementasi kebijakan

adalah bagaimana memindahkan suatu keputusan ke dalam

kegiatan atau pengoperasian dengan cara tertentu (Jones 1991).

Implementasi suatu program kebijakan dilakukan melalui tiga

pilar, yaitu:

(1) organisasi, yakni menyangkut pembentukan atau penataan

kembali sumber daya, unit-unit dan metode untuk

membuat program dapat berjalan,

(2) interpretasi, yakni menafsirkan agar program dapat menjadi

rencana dan pengarahan yang tepat, dapat diterima dan

dilaksanakan,

(3) penerapan, yakni ketentuan rutin dari pelayanan,

pembayaran dan lainnya yang disesuaikan dengan tujuan

program (Jones sebagaimana dikutip Nawawi 2009).

Page 31: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

73

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Berhasil tidaknya aktivitas implementasi kebijakan

tergantung pada apa yang dilakukan oleh badan-badan

pelaksana. Kegiatan implementasi kebijakan yang dilakukan

oleh badan-badan pelaksana mencakupi berbagai jenis kegiatan,

yaitu:

(1) badan-badan pelaksana yang ditugasi oleh undang-undang

dengan tanggung jawab menjalankan program harus

mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan agar

implementasi berjalan lancar,

(2) badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggaran

dasar menjadi arahan-arahan konkret, regulasi, serta

rencana dan desain program,

(3) badan-badan harus mengorganisasikan kegitan-kegiatan

mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan

rutinitas untuk mengatasi beban kerja,

(4) badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau

pembatasan kepada para pelanggan atau kelompok-

kelompok target (Winarno 2007).

Pembuatan kebijakan publik tidak berakhir pada telah

dirumuskannya hukum atau peraturan oleh lembaga yang

berwenang. Implementasi kebijakan melibatkan seluruh

aktivitas yang didesain untuk membawa kebijakan kepada

lembaga legislatif untuk dijadikan undang-undang. Aktivitas-

aktivitas tersebut juga menciptakan organisasi baru, seperti

departemen, agensi dan birokrasi. Organisasi-organisasi tersebut

harus mampu menterjemahkan hukum dan undang-undang ke

dalam peraturan dan regulasi yang operasional.

Dalam rangka fungsi ini, organisasi harus mampu

menetapkan personil, menyusun kontrak, menggunakan dana,

dan melakukan tugas. Seluruh aktivitas tersebut melibatkan

keputusan yang dibuat oleh birokrat. Dalam masyarakat yang

makin kompleks permasalahan dan kebutuhannya, posisi

birokrasi makin menonjol sebagai lembaga pengambilan

Page 32: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

74

keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dalam

praktiknya, birokrasi melakukan tugas-tugas rutin dan dalam

keadaan tertentu ia dapat melakukan diskresi atau mengambil

suatu kebijaksanaan yang berbeda, yang menguntungkan

kepentingan publik atau setidak-tidaknya tidak merugikan

publik.

Pada umumnya birokrat memiliki keyakinan kuat tentang

nilai-nilai dalam program dan tugas-tugas mereka (Dye 2002).

Para pejabat Environmental Protection Agency (EPA) memiliki

komitmen yang kuat terhadap gerakan lingkungan, pejabat-

pejabat di CIA juga memiliki keyakinan yang kuat mengenai

pentingnya kecerdasan yang bagus untuk keamanan nasional,

dan pejabat-pejabat di Social Security Adminsitration (SSA)

memiliki komitmen kuat untuk memelihara keuntungan dari

sistem pengunduran diri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

di Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menciptakan

Indonesia bersih dari korupsi. WALHI sangat berkepentingan

terhadap terjaganya lingkungan hidup di Indonesia. Demikian

pula, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) memiliki

komitmen untuk memberdayakan pedagang kaki lima (PKL).

Dalam kaitannya dengan eksistensi PKL di Semarang, Persatuan

Pedagang Kaki Lima Semarang (PPKLS) memiliki komitmen

dan kepedulian yang tinggi terhadap nasib dan masa depan

PKL.

Salah satu unsur yang harus diperhatikan para pelaksana

kebijakan (birokrat) adalah komunikasi. Implementator

kebijakan yang efektif harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan. Keputusan kebijakan dan perintah harus diteruskan

kepada personil yang tepat, sebelum keputusan dan perintah

tersebut dapat diikuti. Dalam kaitan ini, komunikasi dipandang

memegang peranan penting. Edwards (dalam Winarno 2007)

mengusulkan tiga hal penting dalam proses komunikasi

kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi.

Page 33: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

75

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Dalam hal transmisi, seorang pejabat yang akan

mengimplementasikan keputusan hendaknya menyadari bahwa

suatu keputusan telah dibuat dan perintah telah dikeluarkan.

Dalam transmisi ini memang terdapat kendala yang harus

diperhatikan dengan seksama oleh pelaksana kebijakan.

Kendala itu di antaranya (1) adanya pertentangan pendapat

antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh

pengambil kebijakan, (2) informasi melewati hierarkhi birokrasi

yang berlapis-lapis, (3) penerimaan komunikasi juga dihambat

oleh persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk

mengetahui persyaratan-persyaratan kebijakan (Winarno 2007).

Kebijakan yang baik tidak hanya mensyaratkan adanya

petunjuk-petunjuk pelaksanaan dan petunjuk-petunjuk teknis,

tetapi juga ditentukan oleh adanya komunikasi kebijakan yang

jelas. Acapkali instruksi yang diteruskan ke pelaksana sangat

kabur, tidak jelas kapan pelaksanaannya serta cara bagaimana

program dapat dilaksanakan. Ketidakjelasan komunikasi ini

akan menyebabkan terjadinya interpretasi yang bermacam-

macam mengenai kebijakan yang akan ditindaklanjuti.

Konsistensi merupakan faktor ketiga dari komunikasi

kebijakan. Jika implementasi kebijakan berlangsung efektif,

maka perintah atau instruksi pelaksanaannya harus konsisten.

Perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana

kebijakan bertindak longgar dalam menafsirkan dan

mengimplementasikan program kebijakan. Penafsiran yang

keliru ini akan menyebabkan implementasi program tidak

efektif, sehingga tujuan yang telah ditetapkan tidak dapat

dicapai.

Setiap kebijakan harus memiliki dampak atau konsekuensi

yang diinginkan. Dampak atau konsekuensi adalah perubahan

yang bisa diukur dalam masalah yang luas, berkaitan dengan

program yang telah ditetapkan, berdasarkan undang-undang

atau keputusan yudisial (Winarno 2007). Keputusan yang baik

Page 34: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

76

sudah semestinya menghasilkan konsekuensi yang baik (Parsons

2005). Dalam realitasnya, tidak semua kebijakan memiliki

dampak baik dan menguntungkan bagi pihak yang dikenai

kebijakan. Kebijakan yang baik dapat dianalisis dari sejauhmana

kebijakan tersebut memberi manfaat bagi mereka yang dikenai

kebijakan tersebut. Dalam kaitan ini, Dunn (dalam Nugroho

2009) menyarankan lima prosedur umum dalam analisis

kebijakan yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan

suatu kebijakan.

(1) Definisi, yaitu menghasilkan informasi mengenai kondisi-

kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan,

(2) Prediksi, yakni menyediakan informasi mengenai

konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif

kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu,

(3) Preskripsi, yakni menyediakan informasi mengenai nilai

konsekueksi alternatif di masa mendatang,

(4) Deskripsi, yaitu menghasilkan informasi tentang

konsekuensi sekarang dan masa lalu dari penerapan

alternatif kebijakan,

(5) Evaluasi, yaitu kegunaan alternatif kebijakan dalam

memecahkan masalah.

Dalam analisis kebijakan harus dapat dibuat rumusan

masalahnya, peramalan masa depan kebijakan, dan rekomendasi

kebijakan. Dalam hal yang terakhir, seorang analis kebijakan

harus mampu menentukan alternatif kebijakan yang terbaik

dan alasan mengapa alternatif tersebut dipilih. Rekomendasi

kebijakan yang baik memuat enam kriteria, yaitu:

(1) Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif

mencapai hasil yang diharapkan,

(2) Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan

untuk menghasilkan tingkat efektivitas yang dikehendaki,

Page 35: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

77

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

(3) Kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat

efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan

yang menimbulkan masalah,

(4) Perataan, berkenaan dengan pemerataan distribusi manfaat

kebijakan,

(5) Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu

kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau

nilai kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi target

kebijakan,

(6) Kelayakan, berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan

tersebut tepat untuk suatu masyarakat.

Siapapun menyadari bahwa konsekuensi dari tindakan

kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, dan oleh

karenanya pemantauan kebijakan merupakan suatu keharusan

(Dunn 2003). Rekomendasi kebijakan dapat dipandang sebagai

suatu hipotesis tentang hubungan antara tindakan dan hasil

kebijakan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t¹, maka hasil

O akan muncul pada t². Setiap hipotesis ini didasarkan pada

pengalaman dan asumsi tentang sebab dan akibat, sehingga

hipotesis tidak lebih dari sekadar suatu terkaan sampai ketika

hipotesis tersebut diuji oleh pengalaman berikutnya.

Pemantauan kebijakan penting bagi implementasi suatu

kebijakan. Pemantauan ini penting karena memberikan

informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik (Dunn

2003). Pemantauan kebijakan memiliki empat fungsi dalam

pandangan analis kebijakan, yaitu:

1. Kepatuhan. Pemantauan berguna untuk menentukan,

apakah tindakan administratur, staf dan pelaku lain sesuai

dengan standar dan prosedur yang dibuat oleh legislator

dan pemerintah,

2. Pemeriksaan. Pemantauan membantu menentukan, apakah

sumberdaya dan pelayanan yang dimaksudkan untuk

kelompok sasaran telah sampai kepada mereka,

Page 36: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

78

3. Akuntansi. Monitoring menghasilkan informasi yang

bermanfaat untuk melakukan akuntansi atas perubahan

sosial ekonomi yang terjadi setelah dilaksanakan sejumlah

kebijakan dalam kurun waktu tertentu,

4. Eksplanasi. Pemantauan dapat menghimpun informasi

yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan

publik dan program bisa berbeda.

B. Tinjauan tentang Modal Sosial

Sebelum konsep modal sosial tumbuh dan berkembang,

yang lebih dahulu muncul dalam literatur ekonomi adalah

konsep modal atau kapital. Modal (kapital) pada awalnya

dipahami sebagai sejumlah uang atau faktor-faktor produksi

yang dapat diakumulasi dan diinvestasikan, yang pada suatu

ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberi manfaat

atau layanan produktif (Dasgupta dan Serageldin 1999; Field

2008). Modal atau kapital bukan sekedar uang. Menurut Adam

Smith, kapital adalah sejumlah aset yang diakumulasikan untuk

tujuan produktif (de Soto 2006).

Modal (kapital) merupakan sebuah keajaiban yang akan

meningkatkan produktivitas dan menciptakan nilai tambah.

Modal (kapital) dalam ekonomi mempunyai fungsi yang sangat

penting dalam proses produksi barang dan jasa dalam jangka

panjang. Umumnya aktivitas ekonomi melibatkan tiga kapital

penting, yaitu kapital finansial, kapital fisik, dan kapital

manusia (Lawang 2005). Kapital personal, budaya, politik, dan

sosial juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

pembangunan ekonomi. Dari semua kapital tersebut, yang

relevan dikaji dalam kaitannya dengan perlawanan atau

resistensi PKL di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono adalah

kapital atau modal sosial.

Konsep modal sosial sudah lama dibicarakan oleh para ahli

ekonomi, kira-kira pada abad 19 yang lalu (Castiglione,

Page 37: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

79

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

et.al.2008:2). Istilah modal sosial itu sendiri baru muncul untuk

pertama kalinya pada tahun 1916 ketika Lyda Hudson Hanifan

menulis tentang The Rural School Community Center.

Perbincangan tentang modal sosial ini mengemuka,

dikarenakan para ahli ekonomi menyadari bahwa untuk

menggerakkan aktivitas ekonomi, tidak semata-mata bertumpu

pada modal manusia, modal fisik, maupun modal finansial,

tetapi ada jenis modal lain yang ternyata efektif dalam

melumasi kegiatan ekonomi, bahkan dapat memperoleh hasil

yang lebih baik daripada hanya mengandalkan modal manusia,

fisik, dan finansial, yaitu modal sosial. Literatur tentang modal

sosial cukup banyak, bahkan dapat dikatakan melimpah. Dari

semua pandangan tentang modal sosial, sumber yang sering

digunakan oleh para penulis dan peneliti modal sosial adalah

Coleman, Putnam, Fukuyama dan Bourdieu. Penelitian disertasi

ini juga mengacu pada pandangan keempat penulis tersebut.

1. Pandangan Coleman tentang Modal Sosial

James Coleman seorang sosiolog Amerika banyak

memberikan perhatian pada persoalan pendidikan. Coleman

menggunakan konsep modal sosial dalam penelitiannya tentang

pendidikan. Dalam penelitiannya, Coleman ingin melihat

apakah terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

prestasi akademik siswa di sekolah. Salah satu temuannya

adalah bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh yang

signifikan dalam menentukan prestasi anak.

Dalam studinya tentang perbandingan prestasi sekolah

swasta dan sekolah negeri, Coleman (dalam Field 2010)

melaporkan bahwa prestasi siswa di sekolah swasta berafiliasi

agama Katolik lebih baik daripada di sekolah negeri. Temuan

lainnya adalah di sekolah-sekolah Katolik tersebut tingkat drop out dan membolos lebih rendah dibandingkan murid-murid

yang bersekolah di negeri. Organisasi keagamaan, menurut

Page 38: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

80

Coleman (dalam Field 2010), ada di antara organisasi yang

masih tersisa di dalam masyarakat, di luar keluarga dan lintas

generasi. Organisasi tersebut ada di antara organisasi yang di

dalamnya modal sosial komunitas dewasa tersedia bagi anak-

anak dan pemuda. Demikian pula, norma komunitas pada

orangtua dan siswa berfungsi memperkuat harapan para guru.

Komunitas ternyata menjadi sumber modal sosial yang dapat

menetralisasi dampak dari tidak menguntungkannya kondisi

sosial ekonomi dalam keluarga (Field 2010).

Dalam serangkaian penelitian mengenai pendidikan pada

masyarakat di perkampungan kumuh, Coleman sampai pada

kesimpulan bahwa modal sosial tidak terbatas pada mereka yang

kuat, tetapi juga memberikan manfaat riil bagi orang miskin dan

orang yang terpinggirkan (Field 2010). Modal sosial merupakan

sumber daya yang berisikan harapan akan reprositas,

melibatkan jaringan yang lebih luas, yang hubungan-

hubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan

nilai-nilai bersama.

Coleman (2000) menemukan bahwa modal sosial, baik

berupa harapan dan kewajiban, jaringan dan informasi, serta

norma sosial, berpengaruh secara positif dalam menambah

volume modal kemanusiaan baik dalam lingkup keluarga

maupun komunitas. Intensitas relasi dalam keluarga dan di luar

keluarga memperkuat modal sosial dan turut menciptakan

modal manusia di masa depan. Dalam kaitan ini, Coleman

(2000) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut.

Seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia mereka.

Page 39: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

81

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Konsep modal sosial yang dielaborasi dalam penelitian

Coleman tersebut adalah relasi sosial. Menurut Coleman, relasi

sosial menggambarkan suatu struktur sosial di mana individu

bertindak sebagai sumber bagi individu lainnya (Castiglione, et

al. 2008). Struktur sosial ini memfasilitasi semua tindakan

individu atau aktor yang bekerjasama dalam struktur tersebut

(Field 2010).

Coleman dianggap sebagai pendorong utama di belakang

lahirnya teori pilihan rasional dalam sosiologi kontemporer.

Dalam teori pilihan rasional terdapat keyakinan bahwa semua

perilaku berasal dari individu yang berusaha mengejar

kepentingan mereka sendiri. Menurut Coleman (dalam Field

2010), perilaku individu sangat individualistik. Setiap orang

secara otomatis melakukan hal-hal yang akan melayani

kepentingan mereka sendiri, tanpa memperhitungkan nasib dan

kepentingan orang lain. Atas dasar ini, Coleman memahami

masyarakat sebagai sekumpulan sistem sosial perilaku individu.

Dengan demikian, konsep modal sosial dipahami sebagai sarana

untuk menjelaskan bagaimana orang berusaha bekerjasama.

Coleman (dalam Field 2010) memberikan contoh yang sangat

bagus mengenai bagaimana melihat kesejajaran antara

kerjasama (modal sosial) dengan individualisme.

Dalam game theory, Coleman sebagaimana dikutip kembali

oleh Field (2010), memberikan contoh mengenai dilema

tahanan. Dalam dilema tahanan ini, dua individu ditempatkan

dalam sel yang terpisah, kemudian diberitahu bahwa orang

pertama yang mengetahui akan memperoleh perlakuan yang

baik. Dilemanya adalah apakah akan tetap diam, dengan

harapan agar tidak ada bukti lainnya untuk membuktikan

kesalahannya dan tidak menerima hukuman sama sekali jika

pemain kedua bertindak serupa atau mengakui dan menerima

pengurangan hukuman.

Page 40: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

82

Teori pilihan rasional meramalkan bahwa pilihan kedua

akan dipilih, karena masing-masing tahanan mengetahui bahwa

tahanan yang lain cenderung mengaku ketika dihadapkan pada

pilihan yang sama. Dalam teori ekonomi, Coleman melihat

bahwa majikan akan bertindak sebagai penumpang gelap (free-rider) ketika harus membayar pelatihan ketimbang diharuskan

berinvestasi pada keterampilan masa depan bagi karyawan-

karyawannya. Dalam hal ini, majikan dapat membuat kalkulasi

bahwa merupakan kepentingan mereka untuk membayar

pekerja yang telah dididik orang lain. Teori pilihan rasional

meramalkan bahwa setiap individu akan menuruti kepentingan

terbesar mereka, termasuk dalam kasus ini, perusahaan harus

membayar deviden yang lebih besar dalam jangka panjang. Hal

ini dilakukan demi kemajuan perusahaan yang ia miliki.

Dari kedua kasus tersebut, tampak bahwa kerjasama seakan-

akan dapat berdampingan dengan kompetisi individual, tetapi

sesungguhnya semua itu karena adanya kalkulasi mengenai

keuntungan yang dapat diraih individu melalui aktivitas

kerjasama. Hal ini mirip dengan peran invisible hand dari pasar,

sebagaimana digagas Adam Smith. Konsep kerjasama dari

Coleman tidak bertentangan dengan individualitas yang

cenderung mengejar kepentingan sendiri, dikarenakan

kerjasama yang tercipta melalui hubungan sosial telah

membantu menciptakan kewajiban dan harapan para aktor,

membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran

informasi, dan menetapkan norma yang menopang bentuk-

bentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi bagi calon-

calon penumpang gelap (free rider). Namun demikian, Coleman

(dalam Field 2010:41) mengakui bahwa para aktor individual

tidak membangun modal sosial dengan mengadakan kerjasama

dengan lainnya, tetapi modal sosial tersebut lahir sebagai

konsekuensi yang tidak dikehendaki dari upaya mengejar

kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, modal sosial

tidak lahir karena aktor mengkalkulasikan pilihan untuk

Page 41: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

83

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

berinvestasi di dalamnya, namun sebagai produk sampingan

dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

Dalam kaitan dengan penelitian tentang modal sosial

pedagang kaki lima (PKL) di kota Semarang, ditemukan bahwa

para PKL yang diteliti pada umumnya bersedia bekerjasama

dengan PKL lainnya, dikarenakan adanya kepentingan yang

sama agar mereka dapat bekerja dan mencari penghasilan untuk

menghidupi keluarganya di lokasi yng selama ini mereka

tempati. Mereka tetap bertahan di lokasi yang dilarang oleh

pemerintah kota, dikarenakan dua hal. Pertama, mereka

bertahan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Kedua, mereka bertahan karena adanya perasaan bersatu

dengan PKL lainnya di bawah perlindungan paguyuban dan

organisasi lain yang mendukungnya.

Coleman meyakini bahwa analisis tentang formasi modal

sosial menyediakan suatu jalan tengah antara perspektif pilihan

rasional yang memandang tindakan sosial sebagai hasil tindakan

berbasis kepentingan diri yang bertujuan dari individu dan

perspektif norma sosial yang menjelaskan perilaku sosial sebagai

tergantung pada batasan-batasan eksternal yang dipaksakan

oleh norma (Castiglione, et al. 2008; Field 2008). Pendek kata,

modal sosial adalah cara mendamaikan tindakan individu dan

struktur sosial.

Tindakan yang mengarah pada terbentuknya modal sosial

tersebut rasional, meskipun diakui bahwa individu tidak selalu

bertindak secara rasional. Namun hampir sebagian besar

tindakan individu bersifat rasional bertujuan, sebab dalam

konteks sosial, ilmuwan sosial bertujuan memahami organisasi

sosial yang berasal dari tindakan individu dan karena

memahami tindakan seorang individu biasanya berarti melihat

alasan di balik tindakan itu, maka tujuan teoritis dari ilmu sosial

mestinya adalah memahami tindakan itu dengan cara yang

menjadikannya rasional dari sudut pandang si pelaku (Coleman

Page 42: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

84

2009). Dengan kata lain, apa yang biasanya dianggap irasional

hanyalah karena si pengamat belum mengetahui sudut pandang

si pelaku, yang bagi pelaku, tindakan yang diambil sudah

rasional.

2. Pandangan Putnam tentang Modal Sosial

Putnam (2000) terkenal dengan bukunya Bowling Alone.

Buku tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana pemain

bowling yang kesepian. Metafora ini tidak dimaksudkan untuk

mendeskripsikan bahwa bangsa Amerika bepergian sendiri

untuk bermain menyendiri, namun yang hendak dinyatakan

adalah bahwa terdapat semakin sedikit kecenderungan untuk

bermain dalam tim formal untuk berhadapan dengan lawan

reguler dalam liga bowling yang terorganisasi dan lebih banyak

lagi kecenderungan untuk bermain dengan sekelompok

keluarga atau sahabat.

Masyarakat yang terus menerus menonton televisi

menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian

terhadap orang lain. Berdasarkan penelitiannya di Italia utara

dan selatan, Putnam (2000) menyimpulkan bahwa kinerja

institusional di Italia utara relatif sukses dikarenakan adanya

hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat

sipil. Di Italia utara, gilda-gilda yang otonom, dapat mengatur

sendiri, menyumbang kematangan masyarakat sipil, yang pada

gilirannya bermanfaat mendukung kebijakan dan program

pemerintah Italia bagian utara.

Dalam artikel berjudul Economic Growth and Social Capital in Italia, Helliwel and Putnam (2000) menunjukkan pula bahwa

dukungan masyarakat sipil ditambah efektivitas institusi

pemerintah daerah Italia utara memiliki tingkat kemakmuran

yang lebih baik daripada pemerintah Italia wilayah selatan.

Modal sosial, seperti tingkat pendidikan, keterbukaan, dan

Page 43: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

85

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

institusi yang efektif memberi kontribusi signifikan bagi

kepuasan warga negara kepada pemerintah daerah. Menurut

Helliwel (2006:38), kepuasan hidup (life satisfaction)

berhubungan dengan berbagai jenis kepercayaan (trust) dan

jaringan (networks) yang menelurkan kepercayaan. Kepuasan

warga negara terhadap kinerja pemerintah Italia utara yang

pada gilirannya memberi kemakmuran kepada mereka,

menimbulkan kepercayaan (trust) yang tinggi kepada

pemerintah.

Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam memahami

modal sosial sebagai bagian dari organisasi sosial, seperti

kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan

efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan

terkoordinasi (Field 2010:49). Dalam politik, modal sosial

memberikan sumbangsih kepada tindakan kolektif dengan

meningkatkan biaya potensial bagi pengkhianat politik,

mendorong norma-norma reprositas, memfasilitasi aliran

informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para aktor,

memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu dan

bertindak sebagai penguat bagi kerjasama di masa yang akan

datang (Field 2010:50).

Pandangan Putnam tentang modal sosial berbeda dengan

pendapat Coleman. Jika Coleman lebih percaya akan pengaruh

gereja dan keluarga sebagai bagian dari bonding social capital, Putnam hanya memberikan sedikit perhatian pada institusi

gereja dan keluarga serta lebih percaya pada organisasi yang

terkonstruksi secara longgar atau bridging social capital.

Setelah mengkaji bagaimana modal sosial berpengaruh

terhadap kesuksesan pemerintah di Italia utara, Putnam

mengalihkan penelitiannya ke Amerika Serikat. Dalam

telaahnya, Putnam melihat kemerosotan besar modal sosial di

Amerika Serikat sejak tahun 1940-an, padahal sebelum ini,

Amerika Serikat memiliki asosiasi-asosiasi politik yang

Page 44: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

86

bermanfaat bagi perkembangan demokrasi. Sebagaimana dilihat

oleh de Tocqueville (dalam Field 2010:48), melalui asosiasi-

asosiasi politik yang dimiliki oleh bangsa Amerika, warga

Amerika terbiasa berkumpul dalam jumlah banyak, mereka

berbicara dan mendengar satu sama lain, dan secara timbal balik

bergerak untuk berbuat sesuatu. Kehidupan asosiasional ini

merupakan landasan penting tatanan sosial dalam suatu sistem

yang relatif terbuka. Tingginya tingkat keterlibatan warga

mengajarkan orang bagaimana bekerjasama dalam kehidupan

bermasyarakat.

Pada tahun 1960-an, modal sosial Amerika semakin

menurun dan Putnam menggambarkan Amerika pada masa itu

sebagai telah terpecah satu sama lain dan terpisah dari

komunitas. Bukti-bukti menurunnya modal sosial Amerika, di

antaranya adalah persepsi orang Amerika tentang menurunnya

kejujuran dan keterpercayaan, meningkatnya kecenderungan

para pengemudi Amerika mengabaikan tanda berhenti di

persimpangan jalan, dan tajamnya peningkatan laporan

kejahatan. Putnam (2000) menunjukkan empat sebab utama

dari merosotnya modal sosial di Amerika Serikat.

Pertama, begitu banyaknya kesibukan dan besarnya tekanan

yang diasosiasikan dengan keluarga dengan dua karir telah

mengurangi jumlah waktu dan sumber-sumber lain yang

khususnya dapat digunakan perempuan untuk terlibat dalam

komunitasnya.

Kedua, para penghuni kawasan luas metropolitan

mengalami sesuatu yang disebutnya dengan begitu besarnya

akibat buruk warga di kawasan pinggiran, karena mereka harus

menghabiskan waktu untuk nongkrong, sehingga ikatan mereka

cenderung terfragmentasi. Mobilitas urban dan pertumbuhan

berlebih sebagai faktor yang memengaruhi hal tersebut.

Hiburan elektronik berbasis rumah, yaitu televisi

merupakan sebab utama ketiga dari merosotnya modal sosial.

Page 45: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

87

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Penonton berat televisi hampir memutuskan hubungan

kehidupan warga dan tidak banyak menghabiskan waktu

dengan teman atau tetangga. Dampak lainnya adalah

masyarakat yang terus menerus menonton televisi

menyebabkan terjadinya apatisme politik dan ketidakpedulian

terhadap orang lain.

Penyebab keempat adalah terjadinya perubahan generasi.

Putnam memandang bahwa orang yang lahir pada tahun 1920-

an menjadi anggota asosiasi hampir dua kali lebih banyak

daripada anak cucu mereka yang lahir pada tahun 1960-an.

Mereka yang lahir pada tahun 1960-an lebih sedikit yang

berorientasi kepada warga.

Dalam tahun 1990-an, Putnam mengubah definisinya

tentang modal sosial. Menurut Putnam (dalam Field 2010:51;

Suharto 2008), modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial,

yaitu berupa jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong

partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk

mencapai tujuan-tujuan bersama.

Putnam membedakan dua bentuk modal sosial, yaitu modal

sosial mengikat atau ekslusif dan modal sosial menjembatani

atau inklusif (Field 2010:52). Modal sosial yang mengikat

mendorong identitas ekslusif dan mempertahankan

homogenitas. Modal sosial mengikat ini merupakan kapital yang

baik untuk menopang reprositas spesifik dan mobilisasi

solidaritas serta memperkuat identitas dan kesetiaan kelompok.

Sebaliknya, modal sosial yang menjembatani cenderung

menyatukan orang dari beragam ranah sosial. Hubungan yang

menjembatani ini baik untuk menghubungkan aset eksternal

dan untuk penyebaran informasi.

Putnam (dalam Field 2010) sangat yakin akan kemujaraban

modal sosial dalam mengkonstruksi tindakan kolektif. Namun

sayangnya, ia terlalu yakin akan pengaruh modal sosial dan

kurang memperhatikan peran aktor dalam struktur sosial,

Page 46: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

88

utamanya aktor dominan. Demikian pula, karena landasan

berpikirnya bertumpu pada aspek sosial dan ekonomi, maka ia

kurang memperhatikan peran politik, khususnya peran yang

dimainkan oleh negara.

3. Pandangan Fukuyama tentang Modal Sosial

Fukuyama (1995) dalam artikelnya tentang Scale and Trust, menemukan bahwa kepercayaan merupakan modal sosial

berharga yang menentukan keberhasilan perusahaan. Modal

sosial dipahami Fukuyama sebagai kemampuan yang timbul dari

adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas (Suharto 2008).

Kepercayaan, menurut Fukuyama, dibangun dengan kejujuran,

kesetiaan, dan kerjasama. Kepercayaan (modal sosial) ini

ternyata tidak terbagi secara merata di masyarakat. Dalam

masyarakat individualistik, kepercayaan berada pada asosiasi

sukarela (misalnya di Amerika Serikat) yang menentukan

berkembangnya perusahaan-perusahaan besar, sedangkan pada

masyarakat tipe familistik (seperti di Korea, Taiwan, dan

Hongkong), kepercayaan berada pada jalur keluarga, sehingga di

sana berkembang perusahaan-perusahaan kecil berbasis

keluarga.

Dalam buku berjudul Guncangan Besar Kodrat Manusia dan

Tata Sosial Baru, Fukuyama (2005) menemukan adanya

kemunduran hierarki birokratis dalam bidang politik dan

ekonomi seiring dengan berkembangnya teknologi informasi.

Produksi berbasis industri pun mengalami transisi ke arah

bentuk produksi berbasis informasi. Sistem kepemimpinan

hierarkis mengalami erosi dan model jaringan yang bertandakan

hubungan informal dan persekutuan antar organisasi,

sebagaimana dapat disaksikan pada sistem keiretsu di Jepang,

persekutuan perusahaan di Italia, dan hubungan Boeing dengan

pemasoknya, dapat menutup kelemahan dari sistem hierarki.

Page 47: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

89

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Pertukaran dalam model jaringan, menurut Fukuyama

(2005) bersifat timbal balik, tidak semata-mata berdasarkan

prinsip untung rugi. Hal ini terjadi karena pertukaran dalam

jaringan berbasis norma bersama bersifat informal, tidak

mengharapkan balasan langsung, tetapi mendambakan manfaat

jangka panjang. Jaringan ini merupakan bagian penting dari

modal sosial. Jaringan atau jejaring sosial, dalam pandangan

Christakis dan Flower (2010) memuat dua aspek penting, yaitu:

(1) ada hubungan, yakni siapa tersambung dengan siapa, (2)

penularan (contagion), yang merujuk kepada apa saja yang

mengalir sepanjang ikatan.

Pada level individual, anggota jaringan akan memperoleh

keuntungan, misalnya meningkatkan akses pada pertukaran

informasi, penegakan kontrak, dan fokus pada visi dan tujuan

kolektif (Beugelsdijk 2002). Dalam konteks demikian, modal

sosial dipahami sebagai norma timbal balik dan jaringan atau

asosiasi yang dapat mempromosikan tindakan kerjasama dan

yang dapat digunakan sebagai sumberdaya sosial untuk manfaat

yang saling menguntungkan (Woolcock 2000).

4. Pandangan Bourdieu tentang Modal Sosial

Berbeda dengan Coleman, Putnam, dan Fukuyama, Pierre

Bourdieu dalam penelitiannya di Aljazair pada tahun 1960-an

menggambarkan perkembangan dinamis struktur sosial dan cara

berpikir yang membentuk suatu habitus, yang menjadi

jembatan antara agensi subjektif dan posisi objektif (Field

2010:21). Habitus merupakan wahana bagi kelompok untuk

menggunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda,

yang menandai dan membangun posisi mereka dalam struktur

sosial.

Bourdieu (dalam Field 2008) memasukkan modal budaya

sebagai bagian dari modal sosial. Modal sosial ini merupakan

Page 48: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

90

milik ekslusif elit yang didesain untuk mengamankan posisi dan

status mereka. Atas dasar inilah, Bourdieu yakin bahwa tidak

ada tempat bagi individu dan kelompok lain yang kurang

istimewa (bukan elit) yang dapat memperoleh keuntungan

dalam ikatan sosial mereka.

Pendapat Bourdieu berbeda dengan pandangan Coleman.

Coleman berkeyakinan bahwa modal sosial tidak terbatas pada

mereka yang kuat (kelompok elit), tetapi juga dapat

dimanfaatkan oleh kelompok miskin dan komunitas marginal

(Field 2008). Modal budaya sebagaimana dipahami Bourdieu,

dimiliki orang atau kelompok bukan sekedar mencerminkan

sumber daya modal finansial mereka, tetapi melalui keluarga

dan pendidikan di sekolah, modal budaya pada batas-batas

tertentu dapat beroperasi secara independen dari tekanan uang

dan bahkan memberikan kompensasi ketika kekurangan uang

sebagai bagian dari strategi individu atau kelompok untuk

meraih kekuasaan dan status (Field 2010:22).

Ketika mengkaji keanggotaan klub golf yang diyakininya

sebagai pelumas dalam memperlancar jalannya roda bisnis,

Bourdieu mulai mengenali apa itu modal sosial. Pada tahun

1973, yakni pada tahap awal dia mengkaji modal sosial,

Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai modal hubungan

sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan

bermanfaat yakni modal harga diri dan kehormatan, yang

seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke

dalam posisi-posisi yang penting secara sosial dan yang bisa

menjadi alat tukar, misalnya dalam karir politik. Dalam

pergulatannya dengan konsep modal sosial, akhirnya ia

memperbaiki pandangannya tentang modal sosial.

“Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya yang terkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama, berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan” (Field 2010:23).

Page 49: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

91

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Bourdieu (dalam Field 2010) meyakini bahwa modal

merupakan akumulasi kerja. Modal tidak semata-mata dilihat

dari aspek ekonomi, sebab dalam ekonomi motif utamanya

adalah mencari laba, yang diarahkan untuk memenuhi

kepentingan diri. Modal budaya dan modal sosial harus

diperlakukan sebagai aset yang merepresentasikan produk

akumulasi kerja. Volume modal sosial yang dimiliki agen

tergantung pada jumlah koneksi yang dapat dimobilisasi.

Melalui koneksi, modal sosial dibarengi kehormatan dan harga

diri dapat digunakan untuk memperoleh kepercayaan diri

sebagai anggota kelompok masyarakat kelas atas atau bahkan

dipakai untuk berkarir pada bidang politik. Ini berlaku bagi

mereka yang memiliki ijazah dengan profesi tertentu, seperti

pengacara atau dokter. Namun mereka yang mengandalkan

kualifikasi ijazah tanpa ada koneksi, mereka hanya punya modal

manusia, tetapi tidak memiliki modal budaya dan sosial.

Bourdieu (dalam Field 2010) mengakui bahwa koneksi tidak

berjalan dengan sendirinya, ia memerlukan kerja. Solidaritas

dalam jaringan hanya mungkin terjadi ketika anggota di

dalamnya meningkatkan laba, baik yang bersifat material

maupun simbolik. Hal ini memerlukan strategi investasi, secara

individual maupun kolektif, yang bertujuan untuk

mentransformasikan hubungan-hubungan yang terus

berlangsung, seperti hubungan di kampung atau tempat kerja

atau dalam hubungan kekerabatan, menjadi hubungan sosial

yang secara langsung dapat digunakan dalam jangka pendek

atau pun jangka panjang.

Sebagaimana dijelaskan Bourdieu (dalam Field 2010), modal

sosial hanya dapat dimiliki oleh kaum elit, yang dirancang

untuk mengamankan posisi relatif mereka. Pendidikan dan

kekayaan misalnya, dapat digunakan oleh kelompok tertentu

untuk menjaga status dan posisi mereka, serta dapat digunakan

untuk melakukan kekerasan simbolis terhadap kelompok

lainnya yang kurang atau tidak memiliki pendidikan dan

Page 50: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

92

kekayaan. Dalam tulisan berjudul Kekerasan Simbolis dan

Reproduksi Sosial, Bourdieu (dalam Jenkins 2004), percaya

bahwa elit atau penguasa dapat menggunakan kekerasan

simbolis, yaitu suatu pemaksaan sistem simbolisme dan makna

terhadap kelompok sedemikian rupa, sehingga hal itu dialami

sebagai sesuatu yang sah.

Legitimasi dibangun untuk meneguhkan relasi kekuasaan

yang menyebabkan pemaksaan tersebut berhasil. Dalam hal ini,

kebudayaan dipakai sebagai sistem makna untuk memperkuat

dirinya melalui relasi kekuasaan yang memberikan kontribusi

kepada reproduksi sistematis mereka. Hal ini dilakukan melalui

proses misrecognition, yaitu proses di mana relasi kekuasaan

tidak dipersepsikan secara objektif, namun dalam bentuk yang

menjadikan mereka (elit) absah di mata penganutnya.

Penggunaan kekerasan simbolis pada prinsipnya merupakan

tindakan pedagogis, berwujud pendidikan yang tersebar luas,

pendidikan keluarga, dan pendidikan institusional. Ketika

mereproduksi kebudayaan dalam segala kesemrawutannya,

tindakan pedagogis juga mereproduksi relasi kekuasaan yang

menjamin keberlangsungannya. Tindakan pedagogis ini

mencerminkan kepentingan kelompok atau kelas dominan yang

cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak

merata antarkelompok atau antarkelas yang hidup dalam ruang

sosial, sehingga mereproduksi struktur sosial.

Tindakan pedagogis memerlukan otoritas pedagogis sebagai

prasyarat keberhasilan tindakan pedagogis. Otoritas ini

merupakan kekuasaan arbitrer untuk bertindak tanpa disadari

oleh pelaku dan para penganutnya sebagai sesuatu yang

legitimate. Tindakan pedagogis dihasilkan oleh kerja pedagogis,

yaitu suatu proses indoktrinasi yang berlangsung cukup lama

melalui apa yang oleh Bourdieu disebut dengan habitus. Kerja

pedagogis ini merupakan pengganti kerja fisik dan koersi.

Page 51: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

93

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Konsep kekerasan simbolik Bourdieu ini mirip dengan

konsep hegemoni Gramsci. Konsep hegemoni menawarkan

gagasan tentang bagaimana kekuasaan bisa diterima oleh pihak

yang dikuasai (Sugiono 1999). Melalui hegemoni, pihak ruling class atau siapapun yang ingin memiliki kekuasaan

menancapkan hegemoni melalui kepemimpinan moral dan

intelektual secara konsensual. Konsep hegemoni ini berbeda

dengan dominasi. Kekuasaan dalam dominasi ditopang oleh

kekuatan fisik, sedangkan dalam hegemoni, kekuasaan

kelompok atau elit diperoleh secara konsensual. Dari

strateginya yang tidak mengandalkan kekuatan fisik dan koersi,

maka dapat disimpulkan bahwa konsep hegemoni Gramsci tidak

berbeda secara substansial dengan konsep kekerasan simbolis

Bourdieu.

Pemkot Semarang dan kebanyakan pemerintah daerah

lainnya dalam melaksanakan pembangunan ditengarai

menggunakan kekerasan simbolik (dalam bentuk peraturan

daerah atau peraturan bupati/walikota) untuk menjinakkan

warganya. Kekerasan simbolis (Bourdieu) atau hegemoni (Gramsci) dilakukan dengan dalih untuk kepentingan

pembangunan, yang pada gilirannya dapat memperteguh

keabsahan kekuasaan para penguasa.

5. Unsur-unsur Modal Sosial

Modal sosial memiliki unsur-unsur yang jika semuanya

berfungsi akan memiliki manfaat besar dalam bidang ekonomi,

politik, dan sosial. Unsur-unsur modal sosial meliputi

kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan (network).

Kepercayaan atau trust (dalam bahasa Inggris) bisa bermakna

sebagai kata benda dan kata kerja (Lawang 2005:45). Sebagai

kata benda, trust berarti kepercayaan, keyakinan, atau rasa

percaya; sedangkan sebagai kata kerja, trust berarti proses

mempercayai sesuatu yang jelas sasarannya. Kepercayaan (trust)

Page 52: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

94

antar manusia memiliki tiga komponen penting, yaitu (1)

hubungan sosial antara dua orang atau lebih, (2) harapan yang

akan terkandung dalam hubungan tersebut, yang jika

direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah

pihak, (3) interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan

harapan tersebut terwujud (Lawang 2005:45-46).

Hubungan sosial berlangsung melalui struktur sosial, mulai

dari yang paling kecil (mikro) hingga yang paling besar (makro).

Dalam hubungan sosial ini, harapan yang ada pada seseorang

bisa berupa dari yang kurang mengharapkan dan sangat

mengharapkan atau bisa berupa rumusan hipotetik, semakin

kuat dan baik hubungan sosial semakin tinggi harapan yang

ingin diperoleh. Harapan menunjuk pada sesuatu yang masih

akan terjadi di masa yang akan datang, baik dalam jangka

pendek maupun dalam jangka panjang (Lawang 2005:46).

Bagi seseorang, harapan berkaitan dengan sesuatu yang

menjadi cita-cita untuk diwujudkan. A percaya kepada B

dengan harapan ia akan memperoleh sesuatu yang berguna

dirinya dan mungkin juga bagi B. Jika harapan tersebut hanya

berguna bagi A saja, harapan tersebut bersifat unilateral.

Orangtua (A) berharap agar anaknya (B) bisa menjadi “wong”

(dalam bahasa Jawa, orang yang berhasil ketika sudah besar).

Apabila anaknya (B) mengetahui bahwa itulah harapan

orangtua dan bersikap dan bertindak sesuai dengan harapan

orangtua, maka harapan tersebut berubah sifatnya menjadi

bilateral atau saling mengharapkan.

Selain komponen hubungan sosial dan harapan, aspek

interaksi sosial merupakan bagian penting dari kepercayaan.

Salah satu konsep yang memiliki kaitan erat dengan interaksi

sosial adalah tindakan sosial. Tindakan sosial menunjuk pada

apa yang dilakukan oleh individu dalam mewujudkan sebuah

kepercayaan atau harapan, yang sifatnya unilateral; sedangkan

interaksi sosial merujuk pada apa yang dilakukan oleh kedua

Page 53: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

95

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

belah pihak yang secara bersama-sama sadar dalam

mewujudkan harapan dari masing-masing pihak terhadap satu

sama lainnya (Lawang 2005:47).

Dalam hubungan kepercayaan, terdapat dua pihak, yaitu

pihak yang mempercayai atau trustor dan pihak yang dipercayai

atau trustee. Kedua-duanya memiliki tujuan untuk memenuhi

kepentingan mereka (Coleman 2009). Seorang pemberi

kepercayaan (trustor) harus memutuskan apakah akan menaruh

kepercayaan atau tidak dan juga trustee memiliki pilihan untuk

memutuskan apakah akan menjaga kepercayaan atau akan

mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Seorang pemberi

kepercayaan (trustor) umumnya adalah agen rasional. Biasanya

ia akan memberikan kepercayaan kepada penerima kepercayaan

(trustee) ketika rasio peluang perolehan dengan peluang

kekalahannya lebih besar daripada rasio jumlah potensi

kerugian dengan jumlah potensi keuntungan.

Trustee yang menerima kepercayaan akan mengubah relasi

asimetris menjadi relasi simetris, ketika ia merasakan ada

keuntungan timbal balik yang dapat diperoleh dan diharapkan

dari si trustor. Ketika penerima kepercayaan (trustee)

melakukan tindakan yang jauh lebih menguntungkan daripada

sekadar membalas kewajiban, maka penerima kepercayaan

(trustee) telah menunaikan kewajiban dan sekaligus

menciptakan kewajiban bagi pemberi kepercayaan (trustor).

Kewajiban ini tercipta jika balasan kewajiban tersebut tidak

hanya bernilai dan menguntungkan si pemberi kepercayaan

(trustor), tetapi juga menuntut pengorbanan dari si penerima

kepercayaan (trustee) melebihi nilai kebaikan awal yang

diterimanya (Coleman 2009).

Resiko merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari dalam

hubungan kepercayaan. Dalam kaitannya dengan resiko,

muncul suatu hipotesis bahwa semakin tinggi saling percaya

antara mereka yang bekerjasama, semakin kurang resiko yang

Page 54: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

96

ditanggung dan semakin kurang pula biaya (uang atau sosial)

yang dikeluarkan. Dalam pandangan Mollering (sebagaimana

dikutip Lawang 2005), konsep kepercayaan berkaitan dengan

suatu keadaan yang mengharapkan orang lain bertindak dan

bermaksud baik bagi kita. Demikian pula, Torsvik

mengungkapkan bahwa dalam kepercayaan terkandung

kecenderungan perilaku tertentu yang dapat mengurangi resiko

yang muncul dari perilakunya (Lawang 2005).

Fungsi kepercayaan menurut Torsvik adalah (1) sebagai

aset, kalau A dan B saling percaya dan masing-masing dari

mereka merasa yakin bahwa tak seorang pun dari antara mereka

bertindak oportunistik, (2) kepercayaan ini berawal dari

harapan saja. A berharap jika dia melakukan transaksi

perdagangan dengan B, tidak akan merugikannya, karena dia

yakin bahwa B tidak akan bertindak oportunistik, (3) dengan

kondisi seperti ini, maka proses transaksi yang diharapkan A

dari B tergantung pada resiko yang muncul dari perilaku B

(Lawang 2005).

Dari studi empirik yang dilakukan Beugelsdijk (2009:68)

dilaporkan bahwa kepercayaan (trust) eksis dalam

mempromosikan pertumbuhan dan berperan mengurangi biaya

transaksi. Ini adalah trust dalam level makro. Kepercayaan

(trust) seperti ini, menurut Beugelsdijk (2009:70) tergantung

pada bagaimana janji dipelihara dan ditepati serta bagaimana

pula dapat diperoleh informasi yang terpercaya. Pada level

mikro, trust dipahami sebagai sifat-sifat individu atau

karakteristik hubungan antar individu.

Perusahaan-perusahaan misalnya, membangun trust berdasarkan norma keadilan dan kepercayaan berbasis

pengetahuan dalam interaksi yang sedang berlangsung. Trust sebagaimana dipahami Beugelsdijk ini tidak hanya berlangsung

di antara pengusaha yang memiliki kapital, tetapi juga pada

pedagang kecil (PKL). Dalam berbagai aktivitas jual beli para

Page 55: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

97

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

pedagang kecil, menjadi hal biasa ketika ada pedagang yang

kehabisan stok barang, ia dapat mengambil (meminjam) barang

pedagang lainnya untuk memenuhi kebutuhan pembeli.

Pedagang batik di pasar Klewer Surakarta misalnya, ia dapat

mengambil atau meminjam baju batik yang dibutuhkan pembeli

ketika ia kehabisan stok. Barang atau uang akan dibayarkan

setelah baju tersebut terjual. Dalam penelitian Handoyo, Eko

Prasetyo, dan Siti Maesaroh (2009) tentang Peran Penguatan

Modal Sosial Melalui Usaha Ekonomi Rakyat Untuk

Pemberdayaan Masyarakat Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta

ditemukan adanya kerjasama, berbagi informasi, dan saling

percaya di antara pengrajin keris di Imogiri Yogyakarta. Dalam

pembuatan keris, tidak ada pengrajin yang memonopoli semua

komponen keris. Ada orang yang ahli dalam membuat keris

atau “wilah”, ada yang pandai membuat pegangan, dan lainnya

terampil dalam membuat wadah atau “warongko”.

Adanya bantuan promosi melalui web, pesanan keris baik

dari dalam maupun luar negeri menjadi bertambah.

Bertambahnya pesanan ini mengharuskan pengrajin harus

meningkatkan produksinya, tetapi karena satu kelompok

pengrajin tudak mampu memenuhi seluruh permintaan

tersebut, pengrajin yang kelebihan order akan meminta

pengrajin lain untuk ikut memproduksi keris. Hal ini dilakukan

atas dasar perasaan saling percaya di antara pengrajin. Aktivitas

jual beli atau transaksi ekonomi ini tidak akan terjadi jika tidak

ada trust atau perasaan saling percaya di antara para pedagang.

Praktik ekonomi pedagang kecil ini berkaitan dengan nilai

budaya Jawa yang selama ini “diugemi” (dipegang teguh), yaitu

“tuno satak bati sanak”, artinya tidak memperoleh untung

banyak tidak apa-apa, asalkan masih banyak saudara atau teman

yang dapat dimintai bantuan ketika ada persoalan yang

dihadapi.

Page 56: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

98

Herreros (2004) memandang trust sebagai konsep yang

abstrak, lalu ia membahas konsep yang lebih konkrit, yaitu

keputusan untuk percaya (decision to trust). Keputusan untuk

percaya berhubungan dengan resiko. Individu biasanya

dihadapkan pada keputusan untuk percaya atau tidak percaya.

Berkaitan dengan konsep trust, Herreros (2004) mengemukakan

konsep penting dari trust, yaitu keuntungan potensial

(potential gains) dan biaya potensial (potential cost). Individu

akan percaya orang lain jika ada kemungkinan memperoleh

potensi keuntungan darinya, sebaliknya ia tidak menghargai

kepercayaan tersebut apabila ia justru mendapatkan biaya

potensial dari kepercayaan yang telah ia berikan kepada orang

lain. Seseorang berani mengambil resiko jika keuntungan

potensial lebih tinggi daripada biaya potensial yang

dikeluarkan. Keputusan untuk percaya tersebut merupakan

sesuatu yang rasional, karena keputusan tersebut mengkalkulasi

antara keuntungan potensial dan biaya potensial.

Herreros (2004) tidak memandang kepercayaan sebagai

unsur atau bentuk modal sosial. Modal sosial merupakan

kewajiban timbal balik dan informasi, yang kedua-duanya

diperoleh dari keanggotaannya dalam jaringan sosial. Meskipun

kepercayaan bukan bentuk dari modal sosial, tetapi kepercayaan

dapat memainkan peran antara di antara anggota jaringan sosial

dan membangkitkan modal sosial. Keanggotaan dalam jaringan

sosial tersebut, menghasilkan hubungan yang didasarkan atas

kepercayaan.

Simmel mengemukakan konsep yang berbeda tentang

kepercayaan (trust). Menurut Simmel (dalam Lawang 2005:50),

tanpa adanya saling percaya yang merata antara satu orang

dengan orang lainnya, masyarakat itu sendiri akan disintegratif

dan kepercayaan itu merupakan salah satu kekuatan sintetik

yang paling penting dalam masyarakat. Kepercayaan menjadi

basis bagi tindakan individu. Kepercayaan menurut Simmel

Page 57: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

99

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

(dalam Lawang 2005:50-51) memiliki tiga bentuk sebagai

berikut.

Uang yang bersifat material dan kredit merupakan bentuk

pertama dari kepercayaan. Lembaga (A) percaya bahwa uang

yang dipinjam B pasti akan dikembalikan dengan jaminan,

artinya bahwa kepercayaan lembaga itu muncul karena tahu

akan jaminan yang nilainya paling kurang sepadan dengan nilai

pinjaman yang secara riskan sudah diperhitungkan.

Kepercayaan seperti itu disebut sebagai kepercayaan berbasis

pengetahuan, kepercayaan bersyarat, kepercayaan strategis,

kepercayaan penuh perhitungan sama-sama untung dan adil

atau kepercayaan materialistik. Kepercayaan tersebut menurut

Simmel lebih tepat disebut sebagai kepercayaan moralistik.

Bentuk kedua dari kepercayaan Simmel adalah confidence.

Kepercayaan ini mengantarai pengetahuan dan ketidaktahuan

seseorang. Menurut Simmel (dalam Lawang 2005:51),

confidence bermakna percaya antar orang dengan dirinya

sendiri, tetapi mungkin juga menyangkut percaya pada orang

lain, tetapi dalam hubungan yang sangat rahasia (confidential).

Bentuk kepercayaan yang ketiga menurut Simmel adalah

apa yang disebut dengan masyarakat rahasia (secret society).

Hubungan internal utama yang khas dalam masyarakat rahasia

adalah kepercayaan timbal balik antara para anggotanya. Tujuan

kerahasiaan adalah perlindungan. Dari semua tindakan

perlindungan, yang paling mendasar adalah membuat seseorang

itu tidak kelihatan. Masyarakat rahasia menurut Simmel, dalam

kenyataannya terdiri atas elemen-elemen. Masing-masing

elemen mungkin hidup dalam suatu bentuk interaksi yang

intensif, tetapi hubungan tersebut pada dasarnya penuh dengan

rahasia. Contoh yang paling jelas dari masyarakat rahasia adalah

kelompok atau geng penipu, mafia, atau kelompok seks bebas,

yang pada prinsipnya satu sama lain tidak saling mengetahui,

tetapi keseluruhannya merupakan masyarakat penuh rahasia.

Page 58: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

100

Contoh lainnya adalah kerahasiaan nasabah Bank yang dijamin

dan dilindungi oleh Bank yang bersangkutan. Kerahasiaan

masyarakat seperti itu menjadi perlindungan tidak saja bagi

individu yang merupakan anggota dari elemen-elemen itu,

tetapi juga bagi elemen kelompok itu sendiri yang

mengembangkan dan mungkin hidup dalam penuh kerahasiaan.

Bukan individu yang disembunyikan, melainkan kelompok

yang mereka bentuk, demikian kata Simmel.

Kepercayaan tidak tumbuh dengan sendirinya. Ada

mekanisme atau alasan-alasan mengapa kepercayaan muncul.

Mengapa A percaya B? Lawang (2005:54) mengemukakan

beberapa kemungkinan mengapa A bisa percaya kepada B.

Pertama, karena A mengenal B. Kepercayaan ini muncul

berbasis pengetahuan (knowledge based trust). Mengenal tidak

selalu menimbulkan kepercayaan. Kenal yang menghasilkan

kepercayaan adalah kenal orang menurut penilaian si pengenal.

Rumusan hipotetiknya adalah A mengenal B, lalu percaya,

karena nilai A dianut oleh B. Ini artinya, mengenal berarti

menilai orang menurut nilai si pengenal. Penilaian seperti itu

masih bersifat sepihak, karena memang belum terjadi interaksi

antar keduanya.

Kedua, mengenal orang berarti mengetahui semua data

pribadi yang dapat diperoleh , baik secara fisik, psikologis,

maupun sosial. Data pribadi tersebut dapat diperoleh dengan

berbagai cara, bisa lewat facebook, twitter, blog pribadi, dan

yang lain, namun data tersebut belum tentu akurat, bisa kurang

lengkap atau bahkan manipulatif. Pengenalan seseorang

terhadap lainnya bersifat terbatas. Seperti diungkapkan Simmel

(dalam Lawang 2005), setiap individu tetap menjadi rahasia

bagi orang lain. Namun demikian, untuk mengetahui lebih

dekat tentang pribadi orang lain, yang paling baik adalah

dengan mengetahui kehidupannya sehari-hari.

Page 59: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

101

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Ketiga, kenal tentu ada batas-batas cakrawalanya. Keluarga

adalah lingkaran yang paling dalam, menyusul persahabatan

sebagai lingkaran luarnya, lapis luar berikutnya adalah orang

yang dikenal secara sepintas, dan lingkaran terakhir adalah

orang asing yang tidak dikenal.

Keempat, proses kenal pasti bersifat personal, sehingga

kepercayaan yang muncul dari proses ini bersifat personal pula.

Kelima, keputusan bahwa seseorang layak dipercaya dengan

dasar yang terbatas, masih harus diuji melalui interaksi sosial.

Berbagai alasan dan kemungkinan di atas berkaitan dengan

bagaimana A percaya kepada B atau kepercayaan yang sifatnya

linier. Untuk menjawab pertanyaan mengapa A dan B saling

percaya atau kepercayaan timbal balik, Lawang (2005:55)

mengemukakan enam jawaban berikut.

(1) Keduanya saling kenal. Diakui bahwa tidak semua orang

yang saling kenal, menghasilkan saling percaya, tetapi

saling kenal adalah salah satu variabel penting dalam proses

terjadinya saling percaya, yang oleh beberapa ahli disebut

sebagai pelumas.

(2) Keduanya memiliki nilai yang sama. Nilai yang sama

muncul karena interaksi sosial yang dapat dilihat dalam

hubungan persahabatan atau keluarga. Sosialisasi yang

dilakukan masyarakat juga dapat menciptakan nilai

bersama.

(3) Keduanya memiliki kepentingan yang sama yang tanpa

kehadiran salah satunya akan mendatangkan kegagalan.

(4) Karena percaya saja. A percaya B, karena B percaya A.

Kepercayaan seperti ini merupakan kepercayaan asumtif,

yakni percaya karena percaya saja. Misalnya orang Jawa

bertemu dengan orang Jawa di Papua, keduanya langsung

percaya, karena keduanya dari suku yang sama, yaitu Jawa.

Saling percaya ini oleh Uslaner (dalam Lawang 2005)

disebut dengan generalized trust.

Page 60: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

102

(5) Kepercayaan di antara keduanya akan timbul, kalau

ekspektasi masing-masing terpenuhi. A memperoleh apa

yang diharapkan dari B karena kepercayaan yang diberikan

dan B memperoleh apa yang diharapkannya, karena

pelaksanaan tugas kepercayaan.

(6) Karena keduanya setia pada janji memenuhi kewajiban dan

melaksanakan tugas serta setia pada nilai dan norma.

Dalam hal ini, kesetiaan dan komitmen merupakan bagian

dari saling percaya yang sangat fundamental.

Saling percaya bukanlah sesuatu yang statis sifatnya.

Pertanyaan yang muncul adalah untuk apa A dan B saling

percaya? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, Lawang

(2005:56-57) mengutarakan tiga kemungkinan berikut.

Pertama, A dan B saling percaya adalah untuk

meningkatkan percaya diri (self confidence). Kalau A percaya

kepada B untuk melakukan sesuatu hal, dan B sungguh-sungguh

memenuhi kewajibannya dan malah bertindak lebih, maka

kepercayaan yang semula bersifat sepihak menjadi dua belah

pihak. Hasilnya adalah A memanen hasil kepercayaan yang

diberikan kepada B, sehingga dia lebih percaya diri lagi dan

bahwa percaya kepada orang yang tepat tersebut merupakan

suatu keputusan yang tepat. Sebaliknya, percaya diri B juga

meningkat, karena dia membuktikan bahwa harapan A

terhadapnya tidak sia-sia. Dengan demikian, kepercayaan yang

bersifat unilateral berubah menjadi kepercayaan bilateral.

Kedua, saling percaya juga dipakai untuk meningkatkan

kerjasama, kebersamaan, sehingga rumusan A percaya B untuk

melakukan X menjadi A percaya B untuk tujuan bersama.

Ketiga, karena A dan B saling butuh. Kepercayaan yang

diberikan A kepada B merupakan refleksi dari keterbatasan A

yang tidak mungkin mampu melakukan semua dengan

kekuatan sendiri. Kepercayaan seperti ini bersifat sosial

antropologi.

Page 61: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

103

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Setiap jenis interaksi dan kerjasama mensyaratkan adanya

norma bersama (Sztompka 2004). Norma secara relatif bersifat

stabil dan menentukan perilaku individu. Norma lahir dari

proses sosialisasi yang terjadi dalam suatu struktur sosial. Norma

(norm) berbeda dengan aturan (rule). Norma bersifat intrinsik,

sedangkan aturan (rule) bersifat ekstrinsik. Norma terasimilasi

dalam proses belajar sosial, sedangkan aturan (rule)

mengandaikan adanya pihak yang mengontrol dan

menginterpretasikan norma (Titov 2006). Aturan berkaitan

dengan proses implementasi, ketika norma gagal berfungsi

sebagai regulasi.

Norma bersama dan simbol yang bermakna sama dapat

digunakan seseorang dalam suatu struktur sosial untuk

memprediksi perilaku orang lain dalam struktur tersebut.

Norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan

(Lawang 2005:70). Asumsinya adalah jika dalam pertukaran

pertama, keduanya saling menguntungkan, akan muncul

pertukaran kedua, dan seterusnya dengan harapan akan

diperoleh keuntungan timbal balik. Jika pertukaran saling

menguntungkan terjadi berulang-ulang dan bersifat tetap, maka

akan muncul norma kewajiban sosial, yang membuat hubungan

pertukaran saling menguntungkan keduanya dan dengan

demikian, hubungan pertukaran terpelihara dengan baik.

Norma juga bersifat resiprokal, dalam arti isi norma

menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang dapat

menjamin keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan

tertentu. Orang yang melanggar norma resiprokal ini, akan

berkurang keuntungannya, bahkan bisa juga ia terkena sanksi.

Akhirnya, jaringan yang terbina lama dan mampu menjamin

keuntungan kedua belah pihak, akan melahirkan norma

keadilan.

Norma merupakan bagian dari suatu kelembagaan, yakni

suatu norma kaidah peraturan atau organisasi yang

Page 62: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

104

memudahkan organisasi melakukan koordinasi dalam

membentuk harapan masing-masing yang mungkin dapat

dicapai dengan saling bekerjasama (Rintuh 2005:3).

Kelembagaan memiliki tiga komponen, yaitu aturan formal,

aturan informal, dan mekanisme penegakan. Kelembagaan

memiliki tiga fungsi, yaitu (1) memberikan pedoman,

bagaimana seseorang harus bersikap dan berperilaku dalam

menghadapi masalah kehidupan, (2) menjaga keutuhan

masyarakat, (3) memberikan pegangan kepada masyarakat

untuk melakukan pengendalian sosial atau menjadi sistem

pengawasan tingkah laku (Sukmana 2005:23).

Selain sebagai pedoman tingkah bagi anggota suatu struktur

sosial, norma atau kelembagaan juga menjadi aturan yang

membatasi perilaku menyimpang manusia, meminimalisasi

perilaku manusia yang menyimpang, menciptakan ketertiban,

dan mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran

(North 1994:360).

Jaringan (network) merupakan unsur modal sosial selain

kepercayaan dan norma, yang berperan penting dalam

membangun modal sosial. Jaringan dalam teori modal sosial

memiliki enam makna (Lawang 2005:62).

Pertama, ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok)

yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan

sosial tersebut diikat oleh kepercayaan dan kepercayaan

tersebut dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah

pihak.

Kedua, ada kerja antar simpul (orang atau kelompok), yang

melalui media hubungan hubungan sosial menjadi satu

kerjasama, bukan kerja bersama-sama.

Ketiga, seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus),

kerja yang terjalin antar simpul pasti kuat menahan beban

bersama.

Page 63: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

105

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Keempat, dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang

tidak dapat berdiri sendiri. Jika salah satu simpul putus, maka

akibatnya keseluruhan jaring tidak bisa berfungsi lagi, sampai

simpul tersebut diperbaiki lagi.

Kelima, media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat

dipisahkan atau antara orang-orang yang berada dalam dan

terhubung oleh jaringan, tidak dapat dipisahkan.

Keenam, ikatan atau pengikat (simpul) dalam modal sosial

merupakan norma yang mengatur dan menjaga bagaimana

ikatan dan medianya dipelihara dan dipertahankan.

Jaringan terjadi dalam tiga bentuk, yaitu jaringan antar

personal, jaringan antara individu dengan institusi, dan jaringan

antar institusi (Lawang 2005). Jaringan mulanya terjadi antar

personal. Meskipun orang membuka jaringan dengan organisasi

atau sebuah yayasan, tetap saja yang berkomunikasi adalah

orang yang mewakilinya, bukan organisasinya. Inilah yang

dimaksud dengan jaringan antar personal. Jaringan antar

personal memiliki beberapa bentuk.

Pertama, jaringan duaan (dyadic) tunggal, menunjuk pada

jaringan yang terbentuk antara dua orang saja, tanpa ada

jaringan lainnya. Jaringan ini membentuk struktur yang paling

sederhana, yaitu struktur duaan. Gambar berikut adalah

jaringan duaan tunggal.

Gambar 5. Hubungan Jaringan Duaan

Kedua, jaringan duaan ganda, menunjuk pada jaringan yang

terbentuk antara A dengan B, C, D, dan E; tanpa ada saling

hubungan antara B, C, D, dan E. Seorang pengusaha restoran di

Bali (A) membuka jaringan dengan pemasok sayur (B) dari

Malang, dengan pemasok daging dari beberapa desa di Bali (C)

B A

Page 64: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

106

dan beberapa pemandu wisata lokal (D dan E). Hubungan

antara A dan jaringan duaan ganda tersebut dapat dilihat pada

gambar berikut.

Gambar 6. Jaringan Duaan Ganda

Ketiga, jaringan duaan ganda berlapis, menunjuk pada

hubungan antara A dengan beberapa satuan hubungan duaan

ganda lainnya. Hubungan tersebut dinamakan hubungan

berlapis, karena B, C, dan D masing-masing dapat

mengembangkan hubungan duaannya sendiri. Mengacu pada

contoh pengusaha restauran di Bali, maka pola hubungan yang

terjadi menghasilkan (1) A menjadi pusat utama, yang saling

tergantung secara langsung dengan B, C, dan D dan secara tidak

langsung dengan B1, B3, D1, D3, C1, dan C3; (2) A menjadi

utama, karena usaha restaurannya secara tidak langsung

berjalan melalui B, C, dan D dan mendorong petani di Malang,

di Bedugul, atau di tempat lainnya untuk menanam sayur dan

memelihara ternak yang dibutuhkan untuk memasok sayuran;

(3) A menjadi utama, karena B, C, dan D menjadi utama untuk

hubungan duaannya di masing-masing tempat; (4) A menjadi

sentral, tetapi sentralitas tersebut tidak membuatnya berkuasa,

karena hubungan dengan B, C, dan D didasarkan pada

hubungan pertukaran yang saling menguntungkan; (5)

hubungan antara A dengan B, C, dan D menjadi hubungan

duaan, sehingga tidak terjadi koalisi antara B, C, dan D untuk

menghancurkan A; dan (6) B, C, dan D adalah pusat-pusat kecil

yang berkembang karena A. Gambar berikut ini menunjukkan

hubungan duaan ganda berlapis.

A

B

C

D

E

Page 65: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

107

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Gambar 7. Hubungan Duaan Ganda berlapis

Keempat, secara matematis, jaringan tigaan, empatan, atau

limaan dapat saja terbentuk. Jika ini terjadi, strukturnya

menjadi lain dan lebih rumit.

Meskipun institusi atau lembaga sering diwakili oleh orang,

namun institusi tetap dipandang penting, sebab sebagaimana

dikatakan Putnam, keanggotaan warga dalam beberapa institusi

memungkinkannya mampu mengatasi berbagai masalah

(Lawang 2005:67). Apa yang dilakukan institusi terhadap

individu dan apa yang harus dikerjakan individu untuk

institusi? Agama adalah salah satu contoh institusi yang berlaku

bagi setiap orang. Orang bisa saja selesai dari kuliah, orang bisa

berhenti berorganisasi, orang bisa berhenti bekerja atau

pensiun, tetapi tidak ada orang yang berhenti dari beragama.

Wujud agama yang paling menonjol adalah organisasinya,

yakni bagaimana kehidupan beragama dikelola dan diatur

menjadi sejumlah kegiatan riil. Misalnya, jika ada yang

meninggal, orang diminta untuk memandikan, mengafani,

menyolati, dan menguburkannya. Apabila di suatu kampung,

belum ada masjid yang representatif, maka warga diminta untuk

mencari dan mengumpulkan dana untuk membangun masjid

yang layak untuk tempat beribadah. Institusi agama tanpa orang

Page 66: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

108

tidak mungkin akan berfungsi. Demikian pula, dibangun sebuah

masjid yang megah atau gereja yang besar, tetapi tidak ada

jamaahnya, maka fungsi institusi agama tidak akan berjalan.

Jadi, yang penting bukan gedung tempat beribadahnya,

melainkan adalah orang-orang yang berdoa dan menjalankan

ibadahnya di tempat ibadah tersebut. Atas dasar inilah, Putnam

(2000) sampai pada kesimpulan bahwa jaringan yang terbentuk

antara orang dan institusi, sesungguhnya merupakan jaringan

hubungan antara orang dengan orang.

Jaringan antar institusi sudah banyak terbentuk di

Indonesia, misalnya jaringan masyarakat anti korupsi, yang

mempertemukan elemen-elemen masyarakat yang peduli

terhadap masa depan Indonesia yang bersih dari korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan contoh nyata

dari jaringan anti korupsi, yang sering menjadi rujukan dan

tempat memperoleh informasi bagi organisasi anti korupsi di

daerah-daerah mengenai tindak korupsi yang dilakukan oleh

pejabat atau oknum pemerintah. Dahulu pernah dibentuk

sebuah Forum Demokrasi, yang merupakan forum kajian

terhadap masa depan demokrasi di Indonesia. Forum ini

diketuai oleh mantan Presiden Indonesia, yakni Gus Dur.

Jaringan atau forum tersebut berbicara atas nama

institusinya, tetapi memiliki visi dan misi yang sama. Dalam

jaringan atau forum tersebut akan terbentuk modal sosial yang

menjembatani (bridging social capital) di antara anggota

jaringan atau forum.

Jaringan (network) ada yang bersifat positif, misalnya

jaringan bisnis perhotelan dan ada juga yang bercorak negatif,

misalnya jaringan perdagangan obat bius dan jaringan teroris.

Jaringan juga ada yang bersifat tertutup, seperti jaringan mafia

hukum dan jaringan teroris dan ada yang terbuka, seperti

jaringan relawan anti perdagangan perempuan dan anak.

Page 67: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

109

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Jaringan sosial umumnya memiliki fungsi ekonomi dan

kesejahteraan sosial (Lawang 2005:68). Fungsi ekonomi jaringan

terletak pada produktivitas, efisiensi, dan efektivitasnya yang

tinggi; sedangkan fungsi kesejahteraan sosial menunjuk pada

dampak partisipatif dan kebersamaan yang diperoleh dari suatu

pertumbuhan ekonomi. Jaringan seperti ini termasuk unsur

penting dari kapital atau modal sosial. Menjadi modal sosial,

karena fungsinya positif bagi masyarakat. Sebagai pelumas

kegiatan ekonomi, jaringan bersifat terbuka, yang memberi

kesempatan kepada publik untuk menilai fungsinya yang

mendukung kepentingan masyarakat. Jaringan klik dalam

birokrasi yang tertutup yang di dalamnya sarat dengan aroma

korupsi, tidak termasuk jaringan dalam modal sosial.

Jaringan atau network dimasuki orang atau kelompok tentu

saja memiliki fungsi yang beragam, tidak hanya semata-mata

berkaitan dengan masalah ekonomi. Mengacu pada berbagai

pandangan para ahli, Lawang (2005:69) mencatat ada tiga fungsi

jaringan, yaitu fungsi informasi, fungsi akses, dan fungsi

koordinasi.

Fungsi informasi atau media informasi dari jaringan,

memungkinkan setiap stakeholder dalam jaringan itu dapat

mengetahui dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan

masalah, peluang atau apa pun mengenai kegiatan usaha. Fungsi

informasi ini disebut juga fungsi pelumas atau fungsi peluang.

Fungsi akses menunjuk pada kesempatan yang dapat

diberikan oleh adanya jaringan dengan orang lain, dengan

menyediakan suatu barang atau jasa yang tidak dapat dipenuhi

secara internal oleh organisasi.

Fungsi koordinasi dari jaringan lebih banyak dijumpai

dalam kegiatan-kegiatan informal, yang oleh Fukuyama, justru

membantu mengatasi masalah kebuntuan yang disebabkan oleh

keterbatasan birokrasi pemerintah (Lawang 2005:69). Fungsi

koordinasi ini berkaitan dengan fungsi jaringan lainnya, seperti

Page 68: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

110

informasi dan akses, sehingga modal sosial memiliki kontribusi

yang signifikan utamanya dalam kegiatan ekonomi.

Berdasarkan tesis Putnam, pada level individual, jaringan

memiliki peran potensial sebagai sumber-sumber keuntungan

dan batas-batas bagi tindakan individu (Beugelsdijk 2009:66).

Pada jaringan tebal dari asosiasi dapat meningkatkan artikulasi

kepentingan dan agregasi kepentingan, serta memberikan

kontribusi membangun efektivitas kolaborasi sosial (Beugelsdijk

2009:72). Jaringan hubungan dan interaksi juga menyediakan

berbagai keuntungan, seperti mendapatkan pekerjaan,

memperoleh informasi, dan meningkatkan akses pada sumber-

sumber (Beugelsdijk 2009:74).

6. Jenis-jenis Modal Sosial

Modal sosial memiliki tipologi yang memberikan karakter

pada suatu kelompok atau komunitas. Ada dua tipe modal

sosial, yang dalam realitasnya dapat diamati di suatu organisasi,

kelompok, atau komunitas. Dua tipe modal sosial ini diduga

melekat pada kelompok PKL yang akan diteliti. Pertama, adalah

modal sosial terikat atau bonding social capital. Kedua, modal

sosial yang menjembatani atau bridging social capital (Hasbullah 2006).

Modal sosial terikat atau bonding social capital cenderung

bersifat ekslusif dan berorientasi ke dalam (inward looking).

Individu yang menjadi anggota kelompok cenderung homogen

dan bersifat konservatif. Solidarity making lebih diutamakan

daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan

kelompok sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma

masyarakat. Kelompok yang lebih banyak memiliki modal

sosial jenis bonding ini, para anggotanya terhubung secara kuat,

positif, dan bersifat timbal balik (Oh, et.al. 2006). Ikatan

hubungan yang negatif relatif kurang dan jaringan yang

dibentuk cenderung sangat padat atau tebal. Kepercayaan yang

Page 69: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

111

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

dibangun diantara anggota sangat kuat dan dalam kelompok

seperti itu, jaringan pertukaran sosial tercipta dengan baik.

Kelompok yang tertutup sangat kuat ini memiliki

kelebihan, seperti kerjasama yang lebih besar, konformitas yang

lebih besar untuk menyetujui norma bersama, berbagi

informasi lebih besar, tetapi cenderung kurang terlibat dalam

kaitannya dengan sesuatu yang berada di luar kelompok.

Namun terlepas dari semua itu, kelompok bertipe bonding

cenderung memiliki efektivitas yang lebih baik.

Tipologi kelompok tertutup dengan modal sosial terikat ini

tampak pada karakter PKL yang ada di kota Semarang. Dari

hasil observasi awal, tampak bahwa kelompok PKL cenderung

loyal dan solider dengan kelompoknya sendiri dan kurang

perhatian atau pun terlibat dengan kelompok PKL lainnya. PKL

terorganisasi atau resmi cenderung kurang apresiatif terhadap

kelompok PKL tidak terorganisasi atau yang sering disebut PKL

liar. Sebaliknya, PKL liar, juga memiliki persepsi yang tidak

jauh berbeda dengan kelompok PKL terorganisasi. Meskipun

tidak ada rivalitas diantara kelompok-kelompok PKL tersebut,

tetapi jika ada PKL yang sedang digusur, PKL lain bukannya

sedih dengan menunjukkan perasaan empati dan simpati, tetapi

justru senang karena kompetitornya berkurang.

Bonding social capital ini mirip dengan thick trust, yaitu

modal sosial yang terbentuk akibat adanya rasa percaya

antarkelompok orang yang saling mengenal (Hasbullah 2006).

Kelompok dengan bonding social capital sebagaimana dijumpai

pada komunitas PKL Basudewo dan PKL Sampangan memiliki

resistensi kuat terhadap perubahan, misalnya berkenaan dengan

kebijakan relokasi.

Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) merupakan bentuk modern dari suatu pengelompokan,

grup, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip yang dianut

didasarkan pada nilai-nilai universal, seperti persamaan,

Page 70: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

112

kebebasan, kemajemukan, kemanusiaan, terbuka, dan mandiri

(Hasbullah 2006). Mekanisme perantara dalam hubungan yang

menjembatani ini memutus kesenjangan (gap) diantara

anggota-anggota yang tidak terkoneksi. Lubang struktural

(structural holes) dalam bridging social capital mengandaikan

adanya tipe dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi

vertikal (Oh, et.al. 2006).

Dimensi pertama menunjukkan apakah individu secara

vertikal terdiferensiasi, misalnya antara mereka yang berposisi

sebagai pemimpin dan yang berkedudukan sebagai pengikut

dan menunjukkan apakah individu secara horizontal

terdiferensiasi, misalnya individu-individu yang memiliki

fungsi yang berbeda di dalam kelompok atau subkelompok.

Kedua, dimensi yang berbeda antara hubungan dalam

kelompok dan hubungan antar kelompok. Modal sosial yang

menjembatani ini dalam realitasnya memberikan kontribusi

besar bagi perkembangan, kemajuan, dan kekuatan masyarakat,

misalnya terkontrolnya perbuatan korupsi, pekerjaan

pemerintah makin efisien, penanggulangan kemiskinan makin

efektif, kualitas hidup manusia makin meningkat, dan bangsa

menjadi semakin kuat.

Dalam konteks PKL, modal sosial yang menjembatani ini,

sangat dibutuhkan tidak hanya dalam mengakses sumber-

sumber informasi terkait dengan masa depan mereka, tetapi

juga memberikan jalur bagi PKL untuk memperkokoh daya

tawar mereka ketika berhadapan dengan kekuasaan.

7. Manfaat Modal Sosial

Sebagaimana sudah dijelaskan di depan bahwa dalam

pembangunan ekonomi terdapat beragam jenis modal atau

kapital yang dapat dimanfaatkan, di antaranya adalah modal

fisik, modal personal, modal ekonomi, modal spiritual, modal

Page 71: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

113

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

budaya, dan modal sosial. Seperti halnya modal ekonomi, modal

sosial dapat dipandang sebagai stok yang dapat diperbanyak

atau dilipatgandakan untuk kepentingan sosial dan ekonomi.

Coleman (2009) melihat bahwa modal fisik dan modal manusia

(personal) dalam pemanfaatannya hanya menguntungkan diri

sendiri, sedangkan modal sosial, seperti struktur sosial yang

memungkinkan norma sosial dan sanksi efektif mengatur

tingkah laku masyarakat, akan menguntungkan semua orang

yang menjadi bagian dari struktur sosial tersebut.

Selain yang telah diungkapkan Coleman, masih banyak

literatur atau hasil-hasil penelitian yang menginformasikan

tentang makna atau kontribusi modal sosial terhadap

pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam uraian berikut

dikemukakan beberapa hasil penelitian dan tulisan mengenai

peran atau manfaat modal sosial.

Castiglione, et al. (2008) dalam artikelnya berjudul “Social Capital’s Fortune: An Introduction” meyakini bahwa modal

sosial dapat memengaruhi kehidupan politik, aktivitas ekonomi,

dan kesejahteraan sosial. Dalam aspek politik, modal sosial

dapat mendorong partisipasi politik dan mengembangkan

kinerja kelembagaan. Dalam bidang ekonomi, modal sosial

dapat mengarahkan pembangunan, menggerakkan kerjasama di

antara agen-agen ekonomi, dan mengurangi biaya transaksi.

Dalam hal kesejahteraan sosial, modal sosial dapat memfasilitasi

kohesi sosial, dukungan komunitas, dan kepuasan hidup.

Fafchamps and Minten sebagaimana dikutip Grootaert and

Thierry van Bastelaer (2002) dalam penelitian di Madagaskar

menyimpulkan bahwa modal sosial dapat mengurangi biaya

transaksi dan melalui sarana informal dapat memperoleh

jaminan melawan resiko likuiditas.

Dalam artikelnya tentang Peranan Social Capital dalam

Pemberdayaan Masyarakat, Mawardi J. (2007) menyimpulkan

bahwa modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang

Page 72: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

114

memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat

kewirausahaan di tengah masyarakat, yang pada gilirannya

mendorong berkembangnya dunia industri. Industri besar dan

menengah yang dimiliki investor lokal maupun asing akan

dapat tumbuh besar di tengah masyarakat yang memiliki tradisi

yang mengedepankan nilai kejujuran, keterbukaan dan empati.

Dalam penelitiannya tentang Peranan Modal Sosial dalam

Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada Masyarakat Kasepuhan

Banten Kidul, Suharjito dan Gunarto Eko Saputro (2008)

menyimpulkan bahwa masyarakat Kasepuhan telah

membangun dan memelihara aturan-aturan tentang

pengelolaan sumberdaya kehutanan, dengan membuat zonasi,

pelarangan, dan penegakan aturan tersebut. Dampaknya,

masyarakat mematuhi aturan tersebut dan percaya bahwa

aturan tersebut bermanfaat dalam mengelola sumberdaya hutan

secara efektif.

Warren, et al. (2001) dalam tulisannya percaya bahwa

modal sosial memiliki peran dalam memerangi kemiskinan

meskipun tidak secara langsung. Modal sosial mengacu pada

seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan saling

percaya dan kerjasama antar orang. Aset sosial ini tidak

mengurangi kemiskinan secara langsung, tetapi memengaruhi

investasi dalam modal manusia dan sumber daya keuangan

rumah tangga, yang pada gilirannya rumah tangga miskin

dalam lingkungan ketetanggaan yang memiliki kepedulian

terhadap sesama dapat bertahan hidup.

Dalam risetnya di Amerika Serikat, Warren, et al. (2001)

menemukan bahwa penyebab kemiskinan tidak terletak pada

tatanan sosial yang lemah dari masyarakat miskin, tetapi justru

terletak pada struktur ekonomi, politik, dan ras dari masyarakat

Amerika yang diskriminatif. Di Appalachia dan delta Mississipi,

ditemukan bahwa orang-orang kaya dari kelompok kulit putih

mencegah masyarakat kulit hitam keluar dari kemiskinannya.

Page 73: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

115

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Dalam skala luas, Warren, et al (2001) juga memiliki cukup

bukti bahwa modal sosial berupa aset sosial dalam masyarakat

dapat meningkatkan kesehatan, keamanan, pendidikan,

kesejahteraan ekonomi, partisipasi politik, dan kualitas hidup

penduduk dari masyarakat miskin.

Jupp dan Kay sebagaimana dikutip oleh Bowen (2009)

menjelaskan bahwa modal sosial merupakan perekat bagi

kelompok, organisasi atau komunitas. Kelompok masyarakat

miskin ditengarai memiliki keterbatasan akses terhadap

jaringan sosial. Melalui kelompok atau organisasi yang

memayungi mereka, kelompok masyarakat miskin dapat

mengakses jaringan sosial yang memungkinkan mereka dapat

bertahan hidup. Hal ini dapat dipahami, karena melalui

jaringan sosial, organisasi dapat bergerak, mencapai tujuannya,

dan mengatasi masalah yang mereka hadapi.

Modal sosial, utamanya kohesi sosial yang timbul dari relasi

sosial menjadi perhatian utama dari Komite Eropa untuk Kohesi

Sosial. Dalam strategi untuk kohesi sosial yang direvisi

konsepnya pada tahun 2004, komite ini berkeyakinan bahwa

kohesi sosial merupakan kapasitas masyarakat untuk menjamin

kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat, dapat

meminimalisasi disparitas dan menghindari polarisasi (Hulse

and Wendy Stone 2007). Kohesi sosial ini mendukung

komunitas dari individu-individu bebas untuk mengejar tujuan

bersama melalui cara-cara demokratis.

Dari beberapa artikel dan hasil penelitian di atas, tampak

bahwa modal sosial, baik unsur trust, norm, maupun

networking jika dipelihara dengan baik, memiliki kontribusi

terhadap pengembangan komunitas, misalnya dalam

peningkatan kohesi sosial, maupun pembangunan ekonomi,

sosial dan politik, seperti mendorong etos kewirausahaan,

mengurangi kemiskinan, mengurangi biaya transaksi,

meningkatkan kepedulian, dan meningkatkan partisipasi

Page 74: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

116

politik. Pendek kata, modal sosial bermanfaat tidak saja bagi

individu yang berada dalam struktur sosial, tetapi juga berguna

bagi kelompok, komunitas, masyarakat, dan pemerintah.

C. Tinjauan tentang Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sebelum diuraikan tentang konsep resistensi PKL, berikut

dijelaskan konsep tentang sektor informal dan pedagang kaki

lima, yakni karakteristiknya, kaitan urbanisasi dan sektor

informal, pandangan tentang sektor informal, dan dinamika

pertumbuhan sektor informal atau Pedagang Kaki Lima (PKL).

1. Karakteristik Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima

Eksistensi sektor informal merupakan sesuatu yang wajar

sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan kota. Di

tengah kemajuan ekonomi perkotaan yang mengandalkan

sektor formal, kehadiran aktivitas ekonomi informal menjadi

sesuatu yang tak terelakkan. Sebagaimana dikatakan Williams

and Jan Windebank (1998:29) bahwa dalam ekonomi maju

terdapat pertumbuhan aktivitas ekonomi informal. Sektor

informal ini merupakan bentuk baru dari eksploitasi

kapitalisme maju atau tanggapan terhadap over-regulation oleh

pasar.

Untuk memberikan gambaran tentang eksistensi sektor

informal dalam kaitannya dengan sektor formal, maka dalam

penelitian ini dikemukakan perdebatan konsep mengenai

sektor informal dan dari perdebatan itulah dipilih konsep yang

dipandang relevan dengan karakteristik subjek yang diteliti.

Tidaklah mudah untuk mendefinisikan apa itu sektor

informal. Sebagaimana diakui Mitter (1989), mendefinisikan

sektor informal bukan hal yang mudah, karena para akademisi

Page 75: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

117

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

dan pembuat kebijakan akan menggunakan konsep tersebut

berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Ferman menyebut

informal economy sebagai irregular economy, Guttmann

senang dengan istilah subterranean economy, Simon memakai

istilah the undeground economy, dan Abumere

menggambarkannya sebagai invisible, hidden, shadow, non-official, and imperfectly recorded in the official national acounting systems (Yusuff 2011). Meskipun banyak pendapat

dan diakui sulit menentukan mana aktivitas ekonomi yang

dapat dimasukkan ke dalam sektor formal dan mana pula

kegiatan ekonomi yang dapat digolongkan ke dalam sektor

informal, namun untuk memastikan arah penelitian, perlu ada

konsep yang dipilih. Itulah sebabnya, dalam uraian berikut

disajikan berbagai pandangan tentang sektor informal,

termasuk ciri-ciri atau karakteristiknya.

Sektor informal adalah sektor yang bukan pedesaan dan

bukan pula perkotaan, bukan tradisional dan tidak juga

modern, tetapi adalah sektor kegiatan transisional yang

dibentuk oleh proses urbanisasi (Soetomo 2009:170). Sektor ini

memiliki karakteristik, yaitu menekankan pada keuangan

sendiri, modal kecil, skala kecil, dan produksi intensif dari

tenaga kerja tidak terampil (Pratap and Erwan Quintin 2006:2).

Dalam laporannya mengenai kegiatan sektor informal di

Kenya pada tahun 1972, ILO menegaskan ekonomi informal

sebagai a way of doing things, characterized by : (1)ease of entry, (2) reliance on indigenous resources, (3) family ownership of resources, (4) small scale of operations, (5) labour intencive and adaptive technology, (6) skill acquired outside the formal school system, and (7) unregulated and competitive markes (Pellissery and Robert Walker 2007; Wells 2007).

Sektor informal menurut kategori yang dibuat ILO tersebut

memiliki ciri-ciri, yaitu adanya titik masuk pada kesenangan,

percaya pada sumberdaya asli atau lokal, kepemilikan

sumberdaya keluarga, operasi dalam skala kecil, pekerja intensif

Page 76: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

118

dan teknologi yang adaptif, keterampilan yang diperoleh di luar

sistem sekolah formal, serta pasar tidak teratur dan kompetitif.

Castells and Portes (1989) mengartikan sektor informal

sebagai proses menghasilkan pendapatan (income-generation)

yang diatur oleh institusi-institusi masyarakat dalam

lingkungan sosial dan hukum di mana aktivitas-aktivitas yang

sama diatur. Aktivitas sektor informal ini merupakan aktivitas

dinamis yang di dalamnya tidak hanya aspek ekonomi yang

berperan, tetapi juga teori sosial terutama pertukaran juga

memberi kontribusi dalam memahami kegiatan sektor informal

ini. Aktivitas sektor informal ini memiliki sifat temporal atau

sementara dan dalam pertumbuhannya bisa beralih menjadi

sektor formal.

The International Conference of Labor Statisticians (ICLS)

pada tahun 1993 menghasilkan kesepakatan bahwa yang

dimaksud sektor informal adalah pekerjaan dan produksi dalam

skala kecil dan/atau perusahaan tidak terdaftar (Chen, et al

2005:38). Dalam konferensi ini, sektor informal dibagi dalam

dua bentuk, yaitu informal self-employment dan informal wage employment. Termasuk ke dalam informal self-employment adalah employers in informal enterprises, own account workers in informal enterprises, and unpaid familyworkers; sedangkan

yang tergolong dalam informal wage employment adalah

employees of informal enterprises, casual or day labourers, temporary or part-time workers, paid domestic workers, unregistered or undelared workers, and industrial outworkers (also called homeworkers).

Sektor informal memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan

dari sektor formal. Todaro dan Abdullah, sebagaimana dikutip

Hariyono (2007: 109) menyebutkan 8 ciri-ciri sektor informal.

Pertama, sebagian besar memiliki produksi yang berskala

kecil, aktivitas-aktivitas jasa dimiliki oleh perorangan atau

keluarga, dan menggunakan teknologi yang sederhana.

Page 77: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

119

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Kedua, umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit

yang memiliki pendidikan formal yang tinggi.

Ketiga, produktivitas pekerja dan penghasilannya

cenderung lebih rendah daripada sektor formal.

Keempat, para pekerja sektor informal tidak dapat

menikmati perlindungan, seperti yang diperoleh dari sektor

formal dalam bentuk jaminan kelangsungan kerja, kondisi kerja

yang layak, dan jaminan pensiun.

Kelima, kebanyakan pekerja yang memasuki sektor

informal adalah pendatang baru dari desa yang tidak

mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor formal.

Keenam, motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan

penghasilan, yang bertujuan hanya untuk dapat hidup

(survive), bukan untuk mendapatkan keuntungan dan hanya

mengandalkan pada sumberdaya yang ada pada mereka untuk

menciptakan pekerjaan.

Ketujuh, mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota

keluarga mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang

mendatangkan penghasilan dan meskipun begitu mereka

bekerja dalam waktu yang panjang.

Kedelapan, kebanyakan di antara mereka menempati

gubuk-gubuk yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh

(slum area) dan pemukiman liar (schelter), yang umumnya

kurang tersentuh oleh pelayanan jasa, seperti listrik, air,

transportasi, serta jasa-jasa kesehatan dan pendidikan.

Pandangan Hidayat sebagaimana dikemukakan kembali

oleh Kuncoro (2010:139), menyebutkan 10 ciri-ciri sektor

informal sebagai berikut.

1. Kegiatan usaha tidak terorganisasikan secara baik, karena

timbulnya unit usaha tidak menggunakan fasilitas atau

kelembagaan yang tersedia di sektor formal,

Page 78: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

120

2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha,

3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi

maupun jam kerja,

4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk

membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor

ini,

5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu subsektor ke

subsektor lainnya,

6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif,

7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala

operasi juga relatif kecil,

8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan

formal, karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari

pengalaman sambil bekerja,

9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one man enterprises dan kalau mempekerjakan buruh berasal dari

keluarga,

10. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari

tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak

resmi,

11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh

golongan masyarakat kota atau desa yang berpenghasilan

rendah, meskipun demikian kadang-kadang ada juga yang

berasal dari kalangan berpenghasilan menengah.

Ozveren (2005) menyebutkan enam ciri sektor informal,

yaitu (1) tingkat kompetisinya rendah, (2) mudah dimasuki, (3)

harga produk ditentukan oleh pasar, (4) berkonsentrasi pada

barang-barang eceran dengan harga rendah, (5) proses produksi

bertumpu secara intensif pada tenaga kerja, dan (6)

produktivitas rendah.

Dalam survey di Brazil, Henley (2006) menyebutkan tiga

karakter dari sektor informal, yaitu (1) tidak adanya kontrak

tenaga kerja terdaftar, (2) tidak adanya tunjangan pensiun, dan

(3) aktivitasnya berskala mikro.

Page 79: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

121

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Tidak semua aktivitas informal dapat dimasukkan ke dalam

sektor informal. OECD (2002) mengemukakan tiga kriteria

sektor informal.

Pertama, kerja berada di bawah unit bisnis formal dalam hal

mana subjek mengelola, perlindungan legal, dan pengakuan

dalam ekonomi formal dan di luar itu adalah kerja ekonomi

informal.

Kedua, meskipun kerja di luar aktivitas ekonomi informal,

namun hal itu tidak dikategorikan sebagai ekonomi informal

jika ia memproduksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal.

Aktivitas yang kedua ini dalam terminologi OECD (2002:37)

disebut dengan non-observed economy atau ekonomi tak

teramati. Termasuk dalam ekonomi tak teramati adalah sektor

underground, ilegal, dan informal atau undertaken oleh

rumahtangga untuk tujuan akhir mereka. Produksi

underground biasanya menghindari standar legal, seperti upah

minimum, jam kerja maksimum, keamanan atau standar

kesehatan. Produksi ilegal menghasilkan barang-barang dan

jasa-jasa yang dijual atau kepemilikannya dilarang oleh hukum

atau aktivitas produksinya biasanya legal, tetapi menjadi ilegal

ketika disediakan oleh produser-produser yang tidak

berwenang. Sektor informal mewakili bagian penting dari

ekonomi dan pasar kerja di banyak negara berkembang.

Kebanyakan aktivitas sektor informal menyediakan barang-

barang dan jasa-jasa dimana produksi dan distribusinya legal.

Perusahaan sektor informal biasanya memilih untuk

mengambil barang-barang yang tidak terdaftar dan tidak ada

lisensi agar supaya dapat menghindari peraturan dan

mengurangi biaya produksi (OECD 2002:39).

Ketiga, aktivitas domestik, seperti menjaga atau memelihara

rumah (home-care) tidak dapat dikategorikan sebagai aktivitas

ekonomi informal.

Page 80: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

122

Definisi dan konsep sektor informal yang dikemukakan

para sarjana, peneliti, dan lembaga di atas beranekaragam dan

berbeda-beda dari sudut pandang mereka. Yang menarik dari

semua itu adalah konsep sektor informal tidak berkaitan

dengan produksi barang-barang dan jasa-jasa ilegal sebagaimana

diungkapkan OECD. Penelitian ini sepakat dengan pandangan

OECD, bahwa produksi barang-barang dan jasa ilegal atau

melalui black market tidak termasuk sektor informal. Dari

sejumlah konsep sektor informal di atas, sektor informal yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi yang

memiliki karakteristik, yaitu usaha milik sendiri, berbasis

sumberdaya lokal, skala operasinya kecil, teknologinya

sederhana dan adaptif, tidak terdaftar, jauh dari jangkauan atau

kurang adanya perhatian dari pemerintah, dan pasar kompetitif.

Dalam penelitian ini, tidak semua pekerja sektor informal

diteliti. Karakteristik sektor informal cukup beragam, tidak

hanya dilihat dari jenis usaha yang dijalankan, tetapi juga

lokasi, mobilitas, dan pelakunya. Atas dasar alasan tersebut,

pedagang kaki lima (PKL) dipilih sebagai objek kajian dalam

penelitian ini. Pertimbangan memilih pedagang kaki lima

(PKL) sebagai objek penelitian adalah sebagai berikut.

Pertama, PKL memiliki mobilitas yang cukup tinggi

daripada sektor informal lainnya.

Kedua, PKL ditengarai sering bermasalah dalam relasinya

dengan pemerintah.

Ketiga, di antara pekerja sektor informal lainnya, PKL

paling sering mengalami penertiban dan penggusuran.

Pedagang kaki lima (PKL) acapkali dipandang sebagai

permasalahan dalam penataan ruang publik. Permasalahan

muncul karena, di satu pihak, pemerintah dalam kebijakannya

acapkali menertibkan PKL disertai penggusuran demi

menciptakan kota yang bersih, indah, dan rapi. Pada pihak lain,

Page 81: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

123

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

karena desakan ekonomi dan ketidakberdayaan yang ada pada

dirinya, PKL terpaksa harus bekerja di jalanan atau tempat

terlarang lainnya demi menyambung hidupnya, sehingga

sikapnya cenderung melawan (resisten) terhadap upaya

penertiban yang dilakukan oleh pemerintah.

Pedagang kaki lima (PKL) memiliki sejarah yang unik. Asal

usul PKL dapat ditelusuri pada zaman penjajahan Belanda.

Dahulu Belanda membuat peraturan, bahwa setiap jalan raya

yang dibangun harus menyediakan sarana untuk pejalan kaki

atau trotoar, yang lebarnya adalah lima kaki. Saat Indonesia

merdeka, trotoar untuk pejalan kaki dimanfaatkan oleh

pedagang untuk berjualan, demikian pula emperan toko.

Awalnya mereka disebut pedagang emperan, karena

menempati emperan toko, tetapi lama-kelamaan dijuluki

“pedagang kaki lima” karena trotoar yang berlebar lima kaki

digunakan pula untuk berjualan (Permadi 2007). Istilah PKL

juga dipakai untuk menyebut pedagang gerobak beroda, dimana

jika ditambah dengan kaki pedagangnya, maka jumlah kakinya

lima, sehingga dinamakan pedagang kaki lima. Akronim kaki

lima dimaknai pula sebagai kanan kiri lintas manusia,

maksudnya adalah PKL berada di jalur pejalan kaki (trotoar dan

emperan toko), sehingga banyak orang berlalu lalang di

samping kanan dan kiri PKL.

Dalam perkembangannya, PKL tidak hanya menggunakan

gerobak roda tiga atau berjualan di trotoar dan emperan toko,

tetapi mereka juga berjualan menggunakan kios semi permanen

atau tidak permanen, memakai lapak atau tanpa lapak, memakai

dasaran seadanya, menjual barang, buah-buahan, sayuran,

makanan, atau minuman yang biasanya tidak ada jaminan

mutunya.

Semula aktivitas PKL dibiarkan pemerintah dan tidak

dipajaki, tetapi karena ada sisi positif (misalnya sebagai sumber

pendapatan pemerintah daerah) dan negatif (dipandang

Page 82: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

124

mengganggu kebersihan, keindahan, dan keamanan kota), maka

hampir semua pemerintah daerah di Indonesia membuat Perda

untuk mengatur keberadaan PKL. Pedagang kaki lima atau PKL

yang mudah diatur, dikendalikan, dan bisa diajak kerjasama

(dikooptasi), diatur sedemikian rupa sehingga mereka dapat

berjualan dengan aman. Mereka inilah yang ditarik retribusi

dan mendapatkan perlindungan seperlunya dari pemerintah.

Mereka disebut PKL terorganisasi atau lazim dinamakan PKL

saja. Wijayaningsih (2002) menyebutnya sebagai PKL tertata.

Sementara PKL yang dipandang sulit diatur, sering

membangkang, tidak patuh kepada pemerintah daerah,

melakukan perlawanan ketika ditertibkan; tidak dipajaki, dan

tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dari

pemerintah, bahkan mereka sering mendapat perlakuan kasar

dari aparat. Mereka ini dinamakan PKL liar. Wijayaningsih

(2002) menamakannya PKL terbina. Tipologi dari PKL tersebut

dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 2. Tipologi Pedagang Kaki Lima (PKL)

Tipe PKL Karakteristik

PKL (terorganisasi)

Memiliki organisasi PKL

Ditarik retribusi atau iuran

Tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar

Mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman

Mendapat perlindungan dari pemerintah

Menjadi mitra pemerintah

PKL liar Tidak memiliki organisasi atau jika memiliki hanya sekedar memenuhi formalitas (ada tetapi pasif)

Tidak ditarik retribusi atau iuran

Tidak tercatat dalam statistik PKL oleh Dinas Pasar

Tidak mendapat kios atau tempat berjualan yang nyaman

Tidak mendapat perlindungan dari pemerintah

Menjadi beban bagi pemerintah dan terkadang menjadi musuh pemerintah

(Diolah dari berbagai sumber)

Istilah PKL terorganisasi dan PKL liar, sepertinya tampak

rancu dengan istilah PKL yang merupakan bagian dari sektor

informal. Secara teoretis, semua PKL merupakan bagian dari

Page 83: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

125

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

sektor informal atau termasuk unit kegiatan ekonomi yang

tidak resmi. Namun kenyataan di lapangan atau realitas

objektif, menunjukkan adanya dua tipe PKL, yaitu PKL yang

terorganisasi dan PKL tidak terorganisasi atau liar. PKL

terorganisasi atau disebut PKL adalah PKL yang berada pada

fase transisional dan oleh pemerintah diharapkan dapat

dialihkan menjadi unit kegiatan sektor formal, sedangkan PKL

liar, adalah PKL yang tidak terorganisasi atau jika terorganisasi

sudah tidak aktif lagi, yang dalam realitasnya tetap eksis

menjalankan aktivitas ekonomi, tidak bermaksud untuk beralih

menjadi sektor formal, karena keterbatasan yang mereka miliki,

dan biasanya jauh dari jangkauan perhatian pemerintah. PKL

liar eksis dalam kegiatan ekonomi dan kebanyakan menempati

ruang publik.

Untuk memudahkan dan mengarahkan fokus analisis

penelitian disertasi ini, istilah PKL liar relevan digunakan

sebagai variabel dari penelitian ini. Istilah PKL terorganisasi

dan PKL liar di atas, dimaknai dalam kaitannya dengan

persoalan pengakuan (legitimasi) pemerintah, di mana PKL

yang terorganisasi adalah PKL yang diakui oleh pemerintah

dengan diberi legalisasi secukupnya, sedangkan PKL liar adalah

PKL yang tidak diakui dan tidak memperoleh legalitas dari

pemerintah.

PKL liar, yang menjadi unit analisis penelitian adalah

mereka yang menjalankan usaha atau bisnis warungan (nasi,

mie ayam, rokok, dan lain-lain), menjual pakan burung,

menjual bensin, menjual perkakas rumahtangga dan alat-alat

pertanian, menjual VCD, menjual hand phone bekas, menjual

onderdil sepeda motor dan sepeda bekas maupun baru, menjual

mebel dari kayu sisa ekspor, reparasi radio, tape, dan alat-alat

elektronik lainnya, bengkel sepeda dan sepeda motor, tukang

las, dan sebagainya. Mereka menempati wilayah terlarang atau

tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti di trotoar, badan

jalan umum, tanah atau lahan kosong milik negara atau

Page 84: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

126

masyarakat, lingkungan jalan masuk pasar tradisional dan

modern, serta di tepi bantaran sungai. Para PKL yng diteliti ini

menjalankan usaha di tempat terlarang, yakni di tepi bantaran

sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Mereka berani

berdagang di tempat terlarang tersebut, karena banyak di

antaranya yang memiliki surat izin berdagang dari pemerintah

kecamatan dan kelurahan. Inilah yang menjadi salah satu alasan

mengapa mereka bersikukuh tidak mau direlokasi.

Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi

sungai Banjir Kanal Barat, yang secara fisik meratakan dan

merapikan pinggiran sungai, termasuk lokasi yang digunakan

oleh para PKL, menyebabkan banyak PKL yang pada akhirnya

terpaksa bersedia pindah atau direlokasi ke tempat lain,

meskipun banyak juga di antara mereka yang kembali pindah

ke tempat semula. Kebandelan dan ketidakpatuhan dari PKL

inilah yang membuat mereka disebut dengan PKL liar. Sifat

dinamis, dalam arti PKL mudah berpindah tempat dan tidak

selalu menempati wilayah yang sama dalam melakukan

aktivitasnya, juga menjadi indikator mengapa mereka

digolongkan ke dalam PKL liar.

Di antara ketiga lokasi PKL yang diteliti, satu komunitas

PKL sudah berpindah lokasi, yaitu PKL Basudewo. PKL

Sampangan yang menempati wilayah dekat sungai Kaligarang,

tetap berdagang di sebelah selatan lokasi yang sudah digusur.

Meskipun demikian, ada kemungkinan mereka juga akan

digusur kembali, mengingat pasar Sampangan yang lama telah

dibongkar dan pada akhir Januari 2012 telah dipindah ke lokasi

pasar Sampangan yang baru. Masa depan PKL Sampangan tidak

jelas, mengingat proyek normalisasi sungai Kaligarang dan

sungai Banjir Kanal Barat diperkirakan baru selesai pada tahun

2014. Meskipun sudah dilarang tidak boleh menempati area di

tepi sungai Banjir Kanal Barat, hingga kini PKL liar masih nekat

menjalankan aktivitas ekonomi di tempat tersebut; tetapi pada

Page 85: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

127

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

saatnya mereka pun akan pindah jika pihak proyek normalisasi

sungai merapikan tepi di kanan kiri sungai Banjir Kanal Barat.

2. Pandangan tentang Sektor Informal dan Pedagang Kaki

Lima (PKL)

Dalam penelitian ini, pertanyaan yang mengundang

perdebatan panjang adalah apakah sektor informal merupakan

transisi atau bersifat sementara, yang nantinya akan beralih

menjadi sektor formal ataukah sektor informal tetap ada hidup

berdampingan dengan sektor formal. Berikut ini dijelaskan

pandangan atau pendekatan mengenai sektor informal, dalam

kaitannya dengan sektor formal.

Dalam konteks hubungan dengan sektor formal, terdapat

dua kubu yang memiliki pandangan berbeda mengenai

keberadaan sektor informal. Pandangan atau pendekatan

pertama adalah The Benign Relationship. Pendekatan ini

memahami sektor informal sebagai upaya angkatan kerja yang

tidak tertampung dalam kegiatan produktif, sehingga

menciptakan lapangan kerja sendiri untuk mendapatkan

penghasilan (Mustafa 2008:31). Dalam pendekatan tersebut,

sektor informal dipandang sebagai kegiatan yang perlu

dikembangkan dengan mengintegrasikannya ke dalam sektor

formal. Penganut pendekatan ini adalah ILO, Oshima,

Sethuraman, Weeks, McGee, Webb, dan Mazumbar. Webb dan

Mazumbar misalnya, meyakini bahwa sektor informal

merupakan sumber dan potensi pertumbuhan ekonomi

(Mustafa 2008:32). Sejalan dengan meningkatnya gerak

pembangunan, kegiatan sektor informal dapat meningkat

menjadi sektor formal.

Pendekatan kedua, yaitu Subordination, meletakkan

analisisnya pada skala makro (global), bahwa sektor informal

merupakan subordinasi sektor formal (Mustafa 2008:32).

Page 86: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

128

Sektor informal ini merupakan bagian dari akumulasi skala

dunia atau munculnya proses akumulasi modal dari negara-

negara dunia ketiga kepada negara-negara dunia pertama. Hal

ini terjadi karena struktur perekonomian dunia bersifat

eksploitatif, dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah

(Budiman 1995:41). Modernisasi yang terjadi di berbagai

belahan dunia, menggambarkan adanya rantai eksploitasi

(chain of exploitation) antara negara pusat dan pinggiran serta

sebuah lukisan yang jelas antara negara maju dan belum maju

(Crewe and Elizabeth Harrison 1998:27). Akibatnya, surplus

dari negara-negara dunia ketiga beralih ke negara-negara

industri maju.

Eksistensi sektor informal ditengarai sebagai bentuk

keterasingan ekonomi nasional yang tercipta karena tidak

seimbangnya sistem ekonomi dunia. Penganut pendekatan

subordination adalah Quijano, Nun, Santos, Bose, Gerry,

Bienefeld dan Godfrey. Sebagaimana diyakini Quijano, Nun,

dan Santos bahwa sektor informal berdiri sendiri dan terpisah

dari kegiatan ekonomi perkotaan lainnya. Sektor informal

memiliki kemandirian lebih tinggi dan dapat hidup

berdampingan dengan sektor formal. Selaras dengan

pendekatan kedua ini, Soeroso (1978:3) menyatakan bahwa

sektor informal merupakan sektor ekonomi yang dinamis,

efisien, dan menguntungkan secara ekonomi mengingat pelaku-

pelakunya mempunyai potensi wiraswasta yang kreatif.

Berkaitan dengan dua pendekatan berbeda tentang sektor

informal di atas, Sasono (1982:10) mengemukakan pandangan

dikotomis tentang sektor informal.

Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa sektor

informal memiliki hak penuh untuk hidup dan berkembang

karena dapat membantu proses pembangunan dalam

penyediaan lapangan kerja bagi mereka yang kurang

berpendidikan dan keterampilan.

Page 87: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

129

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa sektor informal

tidak memiliki hak hidup karena hanya akan menghambat

efisiensi pengembangan ekonomi dan pembangunan, terutama

mengganggu ketertiban dan kebersihan kota. Tiadanya hak

hidup bagi sektor informal ini barangkali berkaitan dengan

kecilnya sumbangan penghasilan sektor informal kepada negara

(Sookram and Watson 2008).

Sookram and Watson (2008) mengajukan dua sudut

pandang berkaitan dengan keberadaan sektor informal.

Pandangan tradisional menyatakan sektor informal sebagai

sumber pendapatan bagi kelompok miskin dan juga berkaitan

dengan pekerja tidak produktif yang dikeluarkan dari sektor

formal. Pandangan terbaru menyatakan bahwa sektor informal

memiliki potensi untuk mencapai level produktivitas yang

tinggi melalui karakter kewirausahaan yang dinamis dari

perusahaan mikro. Mereka juga menemukan bahwa sektor

informal tidak hanya menjadi mekanisme kelangsungan hidup

(survival) bagi orang miskin, tetapi juga sarana bagi individu-

individu terpelajar dan terampil untuk menghindari pajak

penghasilan.

Meskipun diakui bahwa sektor informal, utamanya PKL

memiliki sisi positif, tetapi banyak juga yang memandangnya

sebagai hal negatif. Bromley (2000) mencatat 15 alasan yang

dijadikan argumen untuk menolak keberadaan PKL.

Pertama, pedagang kaki lima tidak menyebar rata di

berbagai sudut kota, melainkan terkonsentrasi pada beberapa

lokasi tertentu yang menimbulkan kemacetan lalu lintas dan

mengganggu pejalan kaki.

Kedua, karena terkonsentrasi di lokasi tertentu, pedagang

kaki lima menyebabkan kecelakaan lalu lintas, polusi udara,

menghalangi polisi, pemadam kebakaran, ambulans, dan

kendaraan bermotor darurat lainnya.

Page 88: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

130

Ketiga, pemanfaatan ruang pedestrian oleh pedagang kaki

lima memang dapat mengurangi kebisingan jalan dan polusi,

tetapi hal tersebut juga mengurangi jumlah rute kendaraan

bermotor dan menciptakan problem bagi kendaraan darurat.

Keempat, pedagang kaki lima mungkin menutup akses

gedung-gedung yang penuh kerumunan, seperti gedung teater,

stadion, toko serba ada, dan mengembangkan tragedi dalam

kejadian-kejadian kebakaran, ledakan, penyebaran gas beracun

atau histeria massa.

Kelima, pedagang kaki lima sering mencegah bisnis tepi

jalan dan para pembeli potensial yang berjalan ke arah

konsentrasi aktivitas bisnis sementara di jalanan.

Keenam, pedagang kaki lima sering gagal atau tidak

memberi kuitansi, jaminan harga, pajak, harga jual dan pajak

pertambahan nilai bagi pelanggannya.

Ketujuh, dikarenakan pedagang kaki lima dapat dengan

mudah meninggalkan lokasi atau merelokasi bisnisnya, maka

mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk menipu

pelanggannya dan menghindari peraturan daripada pedagang

eceran yang sudah mapan.

Kedelapan, pedagang makanan dan minuman jalanan

memiliki problem kesehatan, karena barang dagangannya

dengan mudah terkena sinar matahari dan polusi udara.

Kesembilan, pedagang kaki lima tidak memiliki standar

profesi, tidak memiliki komitmen, dan tidak bertanggung jawab

daripada pedagang tepi jalanan, dan biasanya menolak memberi

jaminan dan menukar barang yang jelek serta tidak menerima

keluhan pelanggan dan layanan perbaikan.

Kesepuluh, aktivitas pedagang kaki lima sering berlawanan

dengan peraturan tenaga kerja, misalnya mempekerjakan anak-

Page 89: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

131

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

anak muda, sehingga rawan terkena kekerasan, penculikan, dan

perbuatan buruk lainnya.

Kesebelas, minoritas kecil pedagang kaki lima terlibat

dalam perdagangan ilegal dan buruk, seperti mucikari,

pelacuran, dan narkotika.

Keduabelas, pedagang kaki lima memberi kontribusi bagi

ekonomi underground dan transaksi yang tidak

terdokumentasi, tidak hanya melalui penjualan tetapi juga

penyuapan kepada polisi dan petugas pemerintah kota.

Ketigabelas, melalui aktivitas dan kemacetan yang tercipta,

pedagang kaki lima membantu menyediakan kesempatan bagi

pencopet dan pencuri.

Keempatbelas, pedagang kaki lima tidak sedap dipandang,

sering menciptakan suara ribut (gaduh) dan pelanggannya

sering meninggalkan sampah di jalanan.

Kelimabelas, dalam pandangan kelompok marxis ortodok,

pedagang kaki lima dipandang sebagai lambang surplus tenaga

kerja dan kekurangan pekerjaan, sehingga mempromosikan

konsumsi yang berkelebihan dan mendukung kapitalisme

rendah.

Argumen kontra-PKL datang dari elit urban dan pengusaha

besar, yang memandang PKL sebagai sumber ketidaktertiban,

kemacetan, dan kriminal. Pemerintah kota pun tampaknya

lebih condong berkolaborasi dengan para pengusaha (investor)

untuk membangun kotanya agar lebih berkembang, maju,

bersih, rapi, dan tertib, ketimbang mentoleransi keberadaan

PKL yang umumnya dipandang tidak mendukung terwujudnya

kota yang bersih, rapi, tertib, dan nyaman.

Page 90: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

132

3. Dinamika Pertumbuhan Pedagang Kaki Lima (PKL)

Sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya

bahwa pertumbuhan sektor ekonomi informal berjalan

beriringan dengan kemajuan sektor formal. Pertumbuhan

sektor informal di Indonesia pada tahun 2004 hingga 2008

bahkan mampu melampaui pertumbuhan sektor formal. Krisis

ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997 juga turut

mendorong percepatan pertumbuhan sektor informal.

Percepatan pertumbuhan sektor ini dipicu oleh hilangnya

kesempatan kerja sektor formal dan meningkatnya jumlah

penduduk miskin perkotaan dan pedesaan.

Remi dan Prijono Tjiptoherijanto (2002:6) mengacu data

BPS, membandingkan jumlah penduduk miskin tahun 1996

dan tahun 1998, berturut-turut angkanya adalah 34,5 juta dan

36,5 juta penduduk. Ini artinya, dalam kurun waktu 2 tahun,

jumlah penduduk miskin naik sebanyak 2 juta orang. Harvey

(2009:89) menyajikan data penduduk miskin lebih tinggi

daripada data Remi dan Prijono, yakni pada tahun 1997-1998

penduduk miskin meningkat tajam menjadi 79,4 juta jiwa dari

tahun sebelumnya, sebagai akibat dari krisis ekonomi.

Meningkatnya pengangguran di perkotaan sebagai dampak

pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami para pekerja

sektor formal, menyebabkan mereka jatuh pada lubang

kemiskinan dan jalur satu-satunya untuk bertahan hidup adalah

sektor informal. Data berikut menunjukkan bahwa angka

pengangguran terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir,

yakni dari 5,18 juta orang pada tahun 1997 menjadi 6,07 juta

orang pada tahun 1998, dan berturut-turut meningkat menjadi

8,90 juta orang (1999), 8,44 juta orang (2000), 8,01 juta orang

(2001), 9,13 juta orang (2002), 9,53 juta orang (2003), 10,25 juta

orang (2004), dan 10,9 juta orang pada tahun 2005 (Samhadi

2006:33). Sektor informal menjadi katup penyelamat bagi para

Page 91: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

133

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

penganggur agar tidak terjerembab lebih dalam ke lembah

kemiskinan.

Jumlah orang Indonesia yang bekerja di sektor informal dari

tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tahun 1998 jumlah

pekerja sektor informal adalah 57,3 juta orang dan 4 tahun

berikutnya meningkat menjadi 63,8 juta (Brata 2008:1).

Penduduk yang bekerja pada sektor informal pada tahun 2005

mencapai 61 juta orang atau 64 persen dari seluruh penduduk

yang bekerja (Rachbini 2006). Angka tersebut meningkat dari

waktu ke waktu, karena penyerapan tenaga kerja pada sektor

formal tidak cukup signifikan. Dibandingkan dengan tahun lalu,

angka tersebut sedikit lebih tinggi (tahun 2004 sebesar 63,2

persen).

Berdasarkan data BPS (2006), jumlah penduduk Indonesia

diperkirakan 224 juta orang; 106,28 juta orang termasuk

angkatan kerja produktif; 95,18 juta bekerja dan masih bekerja,

sedangkan 11,1 juta orang tidak bekerja. Dari jumlah itu; 60,77

juta orang bekerja sebagai buruh, sekitar 63,85% diantaranya

bekerja pada usaha ekonomi informal (Zen dan Restu Mahyuni

(ed) 2007:41). Dibandingkan dengan mereka yang bekerja pada

sektor formal, jumlah pekerja sektor informal lebih banyak.

Jumlah pekerja sektor informal dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan. Bahkan sejak tahun 2004 jumlah pekerja sektor

informal di Indonesia mengalami peningkatan luar biasa. Data

perkembangan sektor informal tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut.

Page 92: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

134

Tabel 3. Jumlah Pekerja Sektor Formal dan Informal Tahun 2004, 2005, 2006, dan 2008

Tahun Jumlah Pekerja Formal

Jumlah Pekerja Informal

Angkatan Kerja Produktif

2004 34,50 juta 59,20 juta 93,7 juta 2005 34,50 juta 60,60 juta 94,9 juta 2006 34,40 juta 60,70 juta 95,1 juta 2008 28,97 juta 73,53 juta 102,5 juta

Sumber : BPS (2006, 2008)

Dari data di atas, terlihat bahwa perkembangan sektor

informal yang paling signifikan terjadi pada tahun 2008. BPS

menunjukkan bahwa dari 102,5 juta pekerja Indonesia, 73,53

juta orang atau 72% bekerja di sektor informal. Dibandingkan

mereka yang bekerja pada sektor informal, jumlah orang yang

bekerja pada sektor formal mengalami stagnasi, bahkan pada

tahun 2006 jumlahnya turun dibandingkan tahun 2005 (turun

100.000 pekerja). Sementara itu, jumlah pekerja sektor informal

mengalami peningkatan yang signifikan, dimana pada tahun

yang sama (2006) jumlahnya naik 100.000 orang, dan tahun

2005 kenaikannya cukup tajam yaitu 1.400.000 orang dari tahun

sebelumnya. Bahkan pada tahun 2008, jumlah pekerja sektor

informal naik sangat tajam sebanyak 12,83 juta orang dari dua

tahun sebelumnya.

Faisal Basri dan Haris Munandar memiliki data

perkembangan sektor informal yang tidak jauh berbeda dengan

data BPS. Bedanya, Basri dan Munandar merinci komponen

sektor informal ke dalam 5 komponen, yaitu bekerja sendiri,

bekerja sendiri plus asisten tidak tetap, buruh musiman

pertanian, buruh musiman nonpertanian, dan pekerja tanpa

upah tetap. Seperti halnya data sektor informal yang

diungkapkan BPS, jumlah penduduk yang menjalankan

aktivitas ekonomi pada sektor informal sebagaimana

dikemukakan Basri dan Munandar juga lebih banyak

dibandingkan jumlah pekerja sektor formal. Data

Page 93: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

135

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

perkembangan sektor informal menurut Basri dan Munandar,

selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Indonesia yang menekuni Sektor Formal dan Sektor Informal

Status Ketenagakerjaan

Jumlah Penduduk Indonesia (juta jiwa) 2005 2006 2007

Sektor Formal 28,65 29,67 30,92

Majikan 2,91 2,85 2,88 Pegawai Tetap 25,74 26,82 28,04 Sektor Informal 66,30 65,78 69,00

Bekerja sendiri 17,48 19,50 20,32 Bekerja sendiri plus asisten tidak tetap

21,24 19,95 21,02

Buruh musiman pertanian

4,95 5,54 5,92

Buruh musiman nonpertanian

4,09 4,62 4,46

Pekerja tanpa upah tetap 18,54 16,17 17,28 Jumlah total 94,95 95,46 99,93

Sumber: Basri dan Haris Munandar (2009:66).

Data tentang jumlah pekerja sektor informal tahun 2005

sebagaimana disajikan Basri dan Haris Munandar dalam tabel di

atas memiliki selisih yang cukup tajam dibandingkan dengan

data yang dimiliki BPS, yaitu 5,7 juta pekerja. Demikian pula,

data tahun 2006, menunjukkan selisih 5,08 juta pekerja sektor

informal. Data jumlah pekerja sektor informal yang dimiliki

Basri dan Haris Munandar lebih banyak daripada data BPS,

dapat dipahami karena Basri dan Haris Munandar memperoleh

data dari berbagai sumber dan diolahnya sebagaimana tersaji

dalam tabel 4.

Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada tahun 2010,

BPS (2010:39) melaporkan bahwa hingga bulan Pebruari 2010

sekitar 31,41 persen tenaga kerja bekerja pada kegiatan formal

dan 68,59 persen bekerja pada kegiatan ekonomi sektor

informal. Jumlah tenaga kerja yang bekerja (penduduk yang

berusia 15 tahun ke atas) di sektor formal dan informal pada

saat itu adalah 107.405.570 orang. Jika penduduk yang bekerja

pada sektor informal sebanyak 68,59 persen dari 107.405.570

Page 94: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

136

tenaga kerja, berarti mereka yang bekerja pada sektor informal

sebanyak 73.669.480 orang atau 73,67 juta orang.

Dibandingkan jumlah tenaga kerja sektor informal pada

tahun 2008 (73,53 juta), pekerja yang bekerja pada sektor

informal mengalami peningkatan sebanyak 0,14 juta atau

140.000 orang. Lapangan kerja utama yang mereka masuki

adalah pertanian, industri, konstruksi, perdagangan, angkutan,

pergudangan, komunikasi, keuangan, jasa kemasyarakatan, dan

lainnya. Mishra (2010) mengungkapkan data jumlah pekerja

sektor informal tidak jauh berbeda dengan data pekerja serupa

yang disajikan BPS, yaitu sebanyak 72,4 juta dari 108,2 juta

tenaga kerja Indonesia. Dalam catatan Mishra (2010), jumlah

pekerja sektor formal sebanyak 35,8 juta orang.

Data pekerja sektor informal yang disajikan BPS 1,27 juta

lebih tinggi daripada data Mishra. Barangkali masih ada lagi

data jumlah pekerja sektor informal yang dikemukakan oleh

perorangan atau lembaga. Perbedaan data bisa dipahami,

mengingat sulitnya mendata pekerja sektor informal. Selain

mobilitasnya tinggi, pekerjaan sektor informal cepat tumbuh

dan mati, karena banyak di antara mereka yang menjalankan

usaha atau bisnis di tempat-tempat yang sulit dideteksi dan

dijangkau oleh pemerintah.

Masih banyaknya jumlah pekerja sektor informal dalam

struktur ketenagakerjaan Indonesia, menunjukkan bahwa

kinerja perekonomian Indonesia belum baik. Dominasi

pekerjaan sektor informal di Indonesia, bukanlah kenyataan

ekonomi dan sosial yang menggembirakan. Dalam pandangan

Basri dan Munandar (2009), semakin kecil sektor informal

dalam perekonomian dan semakin besar sektor formalnya, maka

akan semakin baik perekonomian dari negara yang

bersangkutan.

Sektor informal bukan entitas ekonomi yang ideal, karena

pada hakikatnya sektor informal merupakan sebuah entitas

Page 95: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

137

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

yang muncul sekadar untuk bertahan hidup (survival economy)

atau sesuatu yang bersifat darurat (Basri dan Munandar 2009).

Apa yang dikemukakan Basri dan Munandar tentang status

sektor informal tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima.

Memang yang paling ideal adalah jika seluruh struktur

perekonomian Indonesia diisi oleh sektor formal, karena

dengan demikian penghasilan negara dari pajak dapat digenjot

lebih tinggi. Namun, dalam realitasnya, kemampuan negara dan

masyarakat dalam menyediakan lapangan kerja untuk mengisi

sektor formal sangat terbatas.

Pengalaman Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan

hal tersebut. Jumlah penduduk yang memilih bekerja sebagai

pekerja sektor informal melebihi jumlah pekerja sektor formal.

Selain itu, kualitas tenaga kerja Indonesia juga tidak

memungkinkan mereka dapat mengisi seluruh pekerjaan sektor

formal, karena berbagai keterbatasan, seperti rendahnya

pendidikan, keterampilan kurang, modal yang dimiliki kecil,

dan akses terhadap sumber daya rendah karena kemiskinan

yang membelenggu mereka. Faktor-faktor tersebut membuat

sektor informal hingga kini masih mendominasi struktur

perekonomian Indonesia.

Tidak seperti halnya dengan sektor formal yang menuntut

kualifikasi pendidikan tertentu, misalnya serendah-rendahnya

sarjana, sektor informal tidak mensyaratkan kualifikasi

pendidikan dalam jenjang tertentu. Mereka yang terlibat dalam

aktivitas ekonomi informal biasanya berpendidikan rendah dan

yang paling banyak adalah SD, bahkan banyak diantaranya yang

putus sekolah (drop-out). Tabel di bawah ini menginformasikan

hal tersebut.

Page 96: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

138

Tabel 5. Pekerja Sektor Informal dilihat dari Tingkat Pendidikan

No Latarbelakang Pendidikan Jumlah Total (juta)

Persentase

1. Tidak tamat SD 14,337 23,66 2. SD 28,026 46,12 3. SMP 12.031 19,80 4. SMA 5.939 9,78 5. Diploma/Akademi 0,166 0,27 6. Universitas 0,23 0,37

J u m l a h 60,769 100

Sumber: Sakernas (2006)

Area bisnis yang dimasuki sektor informal beraneka macam,

baik yang bergerak pada sektor pertanian, industri pengolahan,

jasa, konsultasi, dan lain-lain. Jumlah angkatan kerja yang

paling banyak ada pada sektor pertanian dan paling sedikit pada

jasa konsultasi. Data selengkapnya dapat dicermati pada tabel di

bawah ini.

Tabel 6. Distribusi Angkatan Kerja Sektor Informal berdasarkan Wilayah Bisnis

No. Sektor Jumlah Angkatan Kerja (dalam juta)

1. Pertanian 39,22 2. Industri Pengolahan 2,84 3. Pelayanan Jasa 10,09 4. Konsultasi 1,93 5. Lain-lain 6,68

Sumber : Zen dan Restu Mahyuni (ed) (2007:42)

Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan banyak pekerja

sektor formal terlempar. Hal ini disebabkan banyak perusahaan

dan pabrik harus melakukan rasionalisasi akibat melemahnya

nilai rupiah terhadap dollar. Akibatnya, banyak pekerja yang

diberhentikan, supaya mereka tetap bertahan hidup. Mereka

yang terlempar dari pekerjaan sektor formal, dengan sebagian

uang yang dipunyai, kemudian terjun bekerja dalam sektor

ekonomi informal.

Pasca krisis ekonomi tahun 1997, perkembangan sektor

informal (PKL) berlangsung cukup pesat, tidak hanya di

ibukota negara, tetapi juga di kota-kota besar di daerah,

termasuk kota Surabaya. Menurut sebuah penelitian, tercatat

Page 97: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

139

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

sekitar 700 ribu lebih PKL yang memenuhi sudut-sudut ruang

kota Surabaya (Alisjahbana 2009:3). Jumlah PKL yang hampir

menyentuh angka 1 juta tersebut merupakan potensi luar biasa

bagi pembangunan ekonomi kota Surabaya, yang jika tidak

ditangani dengan baik akan berubah menjadi malapetaka serius

bagi stabilitas sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kota

Surabaya.

Peran ekonomi sektor informal sebagai penampung pekerja

sektor formal juga terjadi di beberapa kota di negara-negara

sedang berkembang lainnya. Sektor informal justru berfungsi

seperti busa, yakni menyerap luberan para pekerja sektor formal

yang terlempar dari sektor formal, terutama akibat dari krisis

ekonomi, sebagaimana terjadi pada tahun 1997. Di Thailand

misalnya, data statistik menunjukkan bahwa jumlah pekerja

jalanan atau sektor informal berkembang secara subtansial

setelah krisis finansial melanda Thailand pada tahun 1998

(Terravina 2006:2).

4. Resistensi Pedagang Kaki Lima (PKL)

Matsumoto (ed) (2009:442) mengartikan resistensi atau

resistance sebagai suatu proses menentang, melawan, atau

bertahan dari sesuatu atau orang lain. Resistensi atau resistance

diartikan sebagai suatu mekanisme penentangan yang disadari

maupun tidak disadari untuk membuka material bawah sadar.

Resistensi tersebut berkaitan dengan mekanisme pertahanan

psikologis yang mendasar melawan dorongan-dorongan dari id

yang mengancam ego (Bhatia 2009: 352).

Chaplin (2005:431) mendefinisikan resistensi sebagai suatu

oposisi sosial atau negativisme dalam mereaksi terhadap

perintah, peraturan, dan kebijakan politik.

Page 98: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

140

Knowles dan Linn (2004:5) memahami konsep resistensi

dari aspek motivasionalnya, yakni sebagai motivasi untuk

melawan tekanan-tekanan terhadap perubahan.

Lewin sebagaimana dikutip Gravenhorst (2003:4) memaknai

resistensi sebagai reaksi individual terhadap rasa frustrasi karena

adanya tekanan dari suatu kekuasaan yang kuat.

Menurut McFarland (2004:1251), resistensi merupakan tipe

perilaku nonkonformis yang mempertanyakan legitimasi dari

suatu tertib sosial. Tindakan resistensi berusaha untuk

mengubah tertib sosial dan berkembang menjadi proses yang

lebih besar menyerupai suatu drama sosial. Drama sosial ini

merupakan perubahan episode dari tindakan sosial yang

seterusnya dapat meledak dari permukaan kehidupan sosial

yang rutin dan halus. Melalui aktivitas resistensi, tertib sosial

didekonstruksi dan direproduksi dari bentuk lama menjadi

suatu bentuk baru.

Watson memandang resistensi sebagai suatu reaksi alamiah

dari individu untuk menciptakan situasi yang stabil

(Gravenhorst (2003:5). Resistensi ini merupakan reaksi atau

kekuatan melawan perubahan, sebagaimana dilihat Kotter,

Schlesinger, Sathe dan Mullins (Gravenhorst (2003).

Resistensi juga dipahami sebagai reaksi alamiah individu

terhadap sesuatu yang secara signifikan mengancam status quo.

Perubahan yang dipaksakan kepada individu dapat mengganggu

harapan-harapan dan individu bisa kehilangan nilai-nilai

tertentu (Gravenhorst (2003).

Dalam skala yang lebih luas, resistensi dapat berubah

menjadi pemberontakan (rebellion) dan revolusi. Jika resistensi

sangat terorganisasi, sistemik, dan melibatkan banyak

komponen masyarakat, maka resistensi dapat berubah menjadi

pemberontakan (rebellion). Pemberontakan (rebellion) tidak

ditujukan kepada pemerintah lokal, tetapi ia sebagai perlawanan

Page 99: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

141

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

terbuka terhadap kekuasaan, khususnya yang dilakukan oleh

kekuatan bersenjata melawan pemerintah (pusat) yang sah dan

establish. Pemberontakan dapat menjadi suatu revolusi ketika

para pemberontak berhasil melakukan atau mencapai

tujuannya. Revolusi Amerika (1775-1783), revolusi Perancis

(1789-1795) dan revolusi Rusia (1917) merupakan contoh dari

sebuah perlawanan dan pemberontakan yang menghasilkan

suatu revolusi. Resistensi yang dilakukan PKL tidak dapat

dikategorikan sebagai pemberontakan, karena sifatnya hanya

lokal, ditujukan kepada pemerintah kota, dan tidak

dimaksudkan untuk merebut kekuasaan yang sah.

Dari berbagai pandangan tersebut, resistensi dapat dipahami

dalam dua pengertian, yaitu sebagai suatu sikap menentang

perubahan dan sebagai suatu perilaku nonkonformis yang

mengubah suatu tertib sosial. Dalam disertasi ini, resistensi

dipahami sebagai suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan

individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang,

dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain

atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan

ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan posisi

status quo mereka yang selama ini sudah dapat menikmati

aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang oleh PKL

sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup mereka,

yang belum tentu memberi jaminan dengan kepindahannya di

tempat baru, mereka akan menikmati hidup lebih baik. Inilah

yang menyebabkan para PKL bersikap resisten ketika

ditertibkan, digusur, dan dipindahkan.

Resistensi sejatinya merupakan tindakan menolak untuk

tunduk, patuh dan memenuhi perintah atau peraturan yang

ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang. PKL

menolak untuk tidak patuh dan tidak tunduk kepada perintah

relokasi dari Pemkot bisa dipandang sebagai resistensi negatif,

karena tidak patuh terhadap Perda yang mengatur pedagang

kaki lima. Namun pada sisi lain, resistensi yang diperlihatkan

Page 100: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

142

para PKL di tiga lokasi dapat juga berkonotasi positif, karena

penolakan dan perlawanan mereka diduga dapat memengaruhi

cara pandang dan kebijakan Pemkot dalam menata PKL di kota

Semarang.

Gerakan perlawanan Perancis selama Perang Dunia Kedua,

merupakan contoh resistensi yang berkonotasi positif dan

romantik, karena tindakan pemberontak berjuang melawan

kekuasaan tirani. Resistensi pemberontak Perancis ini lebih

cocok disebut “Resistance Fighters” atau “Freedom Fighters”

daripada pemberontakan atau rebellion.

Resistensi atau perlawanan seseorang atau kelompok

berkaitan dengan sikap, tindakan, dan respon terhadap

perubahan. Perubahan bisa membuat orang atau kelompok

cemas dan hilang harapan (hopeless) yang menurut persepsinya

bisa mengancam kelangsungan hidupnya. Seperti halnya yang

dialami pedagang kaki lima di Sampangan, Basudewo, dan

Kokrosono ketika ditertibkan, digusur, dan direlokasi, respon

mereka bermacam-macam. Ada yang bisa beradaptasi

(adaptation) dengan bersedia pindah ke gedung PKL Kokrosono,

meskipun jumlahnya tidak banyak; ada yang bisa menerima

(acceptance) keputusan dan kebijakan Pemkot untuk pindah

atau sama sekali tidak bekerja sebagai PKL; ada yang kaget

(shock), sehingga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah; dan

ada pula yang bersikap defensif (defensive), yakni bertahan di

lokasi untuk melakukan pembelaan diri dengan melawan

kebijakan yang ditempuh Pemkot. Dari empat respon PKL

terhadap kebijakan relokasi, sikap yang terakhir, yaitu defensif

yang paling dominan diperlihatkan PKL. Visualisasi dari respon

Page 101: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

143

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

PKL terhadap kebijakan relokasi dapat dilihat pada gambar

berikut.

Gambar 8. Respon PKL terhadap Kebijakan Relokasi

D. Kerangka Berpikir

Dari uraian kajian teori di atas, dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa kebijakan pemerintah, terutama dalam

menyelenggarakan kegiatan pembangunan lebih berorientasi

kepada neoliberalisme. Paradigma tersebut jelas bertentangan

dengan isi pembukaan UUD 1945, terutama dalam kaitannya

dengan fungsi pemerintah sebagai pihak yang bertanggung

jawab dalam memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah

negara Indonesia yang telah terintegrasi ke dalam kapitalisme

internasional, dalam kegiatan pembangunan nasional lebih

mengutamakan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi.

Dalam praktik kebijakannya, pemerintah lebih banyak

mengambil strategi memacu peningkatan investasi dan

berkolaborasi dengan investor atau produsen yang

1 2

3 4

Adaptation Shock

Defensive Acceptance

Page 102: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

144

sumbangannya besar (well-endowed producer) yang dapat

membantu upaya negara mencapai tujuannya. Tidak

mengherankan jika kebijakan yang diambil oleh pemerintah

pusat diikuti oleh pemerintah daerah dengan lebih banyak

mendorong dan menciptakan iklim yang menguntungkan bagi

pertumbuhan sektor formal daripada perkembangan sektor

informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL).

Mereka yang bekerja pada sektor formal, utamanya para

investor dan produsen well-endowed yang mendapatkan

perhatian besar dari pemerintah daerah. Sementara itu, para

pengusaha atau pekerja sektor informal, yang dinilai

sumbangannya kecil baik untuk GNP, GDP, maupun PAD

kurang mendapatkan dukungan yang memadai. Kebijakan

daerah melalui berbagai peraturan yang diterbitkan cenderung

tidak memihak pada kepentingan para pekerja sektor informal,

sehingga para pekerja sektor informal khususnya PKL tidak

mendapatkan perhatian yang memadai.

Dalam kenyataannya, pemerintah daerah cenderung

menempuh kebijakan yang menyebabkan terjadinya

domestifikasi atau penjinakan terhadap para pekerja sektor

informal, khususnya PKL liar. Tidak jarang cara kekerasan, baik

simbolis maupun langsung, dipakai pemerintah untuk

menertibkan para PKL liar.

Para PKL yang banyak menggantungkan hidupnya dengan

bekerja pada sektor informal tidak tinggal diam. Mereka

melakukan perlawanan (resistensi) terhadap pemerintah.

Perlawanan ini diduga tidak dapat dilakukan sendiri secara

individual, sebab dalam kenyataannya para PKL yang umumnya

Page 103: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

145

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

tidak terdidik (un-educated) dan tidak terampil (un-skill) tidak

memiliki sumberdaya kekuasaan. Dalam relasinya dengan

pemerintah, posisi PKL lemah. Diduga ada suatu modal sosial,

yang lahir dari interaksi sosial dalam struktur sosial yang

dikembangkan oleh PKL yang terbangun melalui bonding

social capital dan bridging social capital, yang mendorong para

PKL bertindak kolektif melakukan perlawanan terhadap

pemerintah. Perlawanan (resistensi) yang dilakukan PKL adalah

perlawanan rakyat kecil, yang tujuannya adalah untuk

menyambung hidup atau mempertahankan kelangsungan

hidupnya (survival). Gambar berikut memperjelas bagaimana

kerangka berpikir dari penelitian ini.

Gambar 9. Kerangka Berpikir Penelitian

Domestifikasi

Kekerasan Simbolik dan

Langsung

PKL liar

Modal Sosial

Resisten terhadap

Kebijakan

Survival

PKL

Kebijakan

Pemerintah

Page 104: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

146

E. Rangkuman

Sektor informal merupakan sektor ekonomi yang eksis tidak

hanya pada masa krisis ekonomi, tetapi juga berlanjut terus

menjadi bagian dari kehidupan ekonomi nasional. Pandangan

bahwa sektor informal merupakan transisi menuju sektor

formal tidak selamanya benar, karena dalam kenyataan di

negara-negara berkembang, sektor ini tumbuh dan berkembang

seperti busa penyerap tenaga kerja yang berasal dari pedesaan

atau pun pekerja urban, yang karena keterbatasannya tidak

mungkin diserap seluruhnya oleh sektor formal.

Pedagang kaki lima (PKL) sebagai salah satu jenis dari

pekerja sektor informal merupakan fenomena riil dari

keberadaan sektor informal yang tidak bisa dilihat semata-mata

sebagai pekerja transisional, yang nantinya diharapkan menjadi

pengusaha sektor formal. Mereka kebanyakan berpendidikan

rendah, tidak memiliki keterampilan yang memadai, modal

kecil, teknologi yang digunakan rendah, pekerjaan sering

ditangani sendiri atau dibantu oleh keluarganya, dan tidak

memiliki akses terhadap lahan atau kredit. Banyak di antara

mereka menjadi PKL sebagai satu-satunya harapan untuk

menggantungkan hidup. Ada di antara mereka yang sukses

secara ekonomi dan mungkin bisa beralih pada pekerjaan sektor

formal, namun jumlahnya tidak banyak. Keterbatasan

pemerintah untuk menyediakan lahan strategis bagi

kelangsungan hidup PKL merupakan salah satu kendala

mengapa banyak PKL yang menempati ruang publik yang

sesungguhnya tidak boleh digunakan untuk berdagang.

Pemerintah kota Semarang, seperti halnya pemerintah

daerah lainnya, menghadapi dilema berkaitan dengan

keberadaan PKL. Di satu sisi, pemerintah harus dapat

menyediakan akses dan fasilitas yang dapat menarik investor,

yakni dengan membangun kota yang dapat dilihat indah, asri,

bersih, nyaman, dan aman untuk iklim usaha; tetapi di sisi lain

Page 105: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

147

BAB II

KEBIJAKAN PUBLIK, MODAL SOSIAL, DAN RESISTENSI

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

banyak PKL menjalankan aktivitas ekonomi di area atau ruang-

ruang publik, seperti di trotoar, di taman, di tepi jalan dekat

sungai, dan ruang publik lainnya, sehingga menyebabkan jalan

dan ruang publik di kota menjadi semrawut, kotor, tidak asri,

tidak tertib, dan tidak terjamin keamanannya.

Dilema ini berkaitan dengan sikap yang harus diambil,

apakah harus pro investor yang dalam jangka pendek dapat

meningkatkan pendapatan daerah, yakni dengan menertibkan

PKL atau membiarkan PKL menjalankan aktivitas ekonominya,

tetapi tidak menjamin upaya mewujudkan kota Semarang

sebagai pusat perdagangan dan jasa.

Kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah, umumnya

berasal dari problem nyata yang dihadapi masyarakat dan

tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan pelayanan

sekaligus kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana pandangan

Hayek, kebijakan yang ditetapkan pemerintah diharapkan dapat

memastikan tatanan masyarakat dan perekonomian dapat

berjalan tanpa banyak campur tangan dari negara atau

pemerintah. Terlalu banyak mengatur keberadaan PKL tentu

saja tidak menguntungkan pemerintah kota Semarang, tetapi

tidak mengatur sama sekali, pemerintah bisa kehilangan potensi

investasi dan pemasukan pendapatan bagi daerah.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah kota Semarang

utamanya dalam menangani PKL tidak utuh, bahkan tidak

mendasarkan pada pedoman yang jelas, sehingga ada kesan

tambal sulam atau bersifat reaktif. Dalam perspektif

Machiavelli, kebijakan yang diambil pemerintah kota Semarang

cenderung hanya untuk meraih tujuan yang dikehendaki

pemegang kekuasaan, yaitu mengejar investasi agar Semarang

dalam waktu dekat setara dengan kota-kota metropolitan

lainnya. Strategi jangka pendek, yaitu dengan melakukan

penertiban dan penggusuran terhadap PKL tidak membuat

mereka akomodatif dan patuh memenuhi keinginan

Page 106: BAB II Kebijakan publik merupakan keputusan yang berisikan

Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

148

pemerintah, tetapi justru menimbulkan perlawanan (resistensi)

di kalangan mereka.

Resistensi PKL terhadap kebijakan relokasi yang disertai

penggusuran merupakan tindakan kolektif, yang hanya terjadi

ketika mereka memiliki perasaan bersatu, senasib dalam suka

dan duka, serta diorganisasikan untuk melakukan tindakan

bersama menentang kebijakan pemerintah. Para PKL yang

sudah lama menempati lokasi berdagang, seperti halnya PKL

Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono telah menyatu

dengan lahan tempat mereka bekerja. Muncullah identitas

bersama, yakni PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL

Kokrosono, yang tidak mudah dilepaskan dari kehidupan

mereka, sehingga memindahkan mereka ke tempat lain

merupakan kesulitan tersendiri bagi pemerintah.

Interaksi sosial yang berlangsung lama menjadikan PKL

seperti sebuah keluarga dengan keintiman hubungan di antara

mereka. Relasi sosial yang sudah terbangun lama, dengan nilai-

nilai kebersamaan, serta jaringan sosial yang dibangun oleh

organisasi atau pun tokoh-tokoh kunci PKL, menguatkan

adanya bonding social capital sekaligus terbangunnya jaringan

interaksi dengan organisasi lainnya atau menampakkan adanya

bridging social capital. Modal sosial inilah yang ditengarai

menjadi faktor penguat resistensi PKL terhadap kebijakan

pemerintah.