bab ii keanekaragaman jenis, persebaran serta...
TRANSCRIPT
4
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
BAB II
KEANEKARAGAMAN JENIS, PERSEBARAN SERTA TINJAUAN
TENTANG BURUNG DAN BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS
A. Keanekaragaman Jenis Burung.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi keanekaragaman
jenis satwa yang sangat tinggi. Indonesia tercatat memiliki sekitar 515 jenis
mamalia (12% dari total mamalia dunia); 511 jenis reptilia (7,3% dari total reptil
dunia); 1666 jenis burung (17% dari total burung dunia); dan terdapat sekitar
38.000 jenis tumbuhan berbunga (Kementerian Kehutanan, 2010; Susanti, 2014).
Gambaran mengenai potensi keanekaragaman tersebut membuat Indonesia
dikenal sebagai negara megabiodiversity (Jonata, 2010). Menurut Mutia (2009),
keanekaragaman jenis yaitu variasi dari berbagai macam makhluk hidup di bumi.
Keanekaragaman jenis merupakan komponen vital dalam beberapa aspek,
beberapa diantaranya dapat meningkatkan nilai keindahan lingkungan alam,
berkontribusi dalam kesejahteraan materil lewat nilai kebermanfaatanya, menjaga
keseimbangan lingkungan dan dapat menentukan keadaan cuaca dunia melalui
peranya sebagai indikator perubahan lingkungan.
Diantara seluruh jenis satwa, burung merupakan salah satu jenis satwa
dengan potensi yang tinggi di Indonesia. Sekitar 17% dari jenis burung di dunia
dapat ditemukan di kepulauan Indonesia. Pada tahun 2014 tercatat bahwa
keanekaragaman jenis burung di Indonesia telah meningkat drastis dibandingkan
tahun sebelumnya yaitu dari 1605 jenis menjadi 1666 jenis burung (Susanti, 2014).
Berdasarkan data burung Birdlife Internatonal 2015, Jawa Barat ditempati oleh
440 jenis burung (Lepage, 2016).
Pada tahun 1758, Carl Linnaeus, mengembangkan sistem klasifikasi bagi
seluruh hewan. Dia membuat sistem atau hierarki organisme hidup sehingga
setiap saintis di seluruh dunia dapat memahami satu sama lain (Birdnature, 1998).
Ilmu yang memelajari tentang penamaan makhluk hidup dinamakan taksonomi.
Taksonomi memiliki dua ciri penting, pertama metode ini memberikan setiap
jenis makhluk hidup dengan nama Latin yang terdiri dari dua kata atau binomial.
5
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
Kata pertama nama itu menunjukan genus (jamak, genera), kata kedua
menunjukan jenis/ spesies. Ciri kedua yaitu taksonomi memakai suatu sistem
pendataan untuk mengelompokkan jenis menjadi kategori yang semakin umum.
Para ahli taksonomi menempatkan genus yang saling berkaitan dalam famili yang
sama, famili ke dalam ordo, ordo ke dalam kelas, kelas ke dalam filum dan filum
ke dalam kingdom (Campbell et al., 2003).
Terdapat berbagai perbedaan dalam pembuatan daftar taksonomi burung
baik itu tingkat nasional, regional maupun global (BirdLife International, 2016).
Contohnya pada tingkat global, Gill (2016), mengelompokan burung menjadi 240
famili sedangkan Boyd (2016), mengelompokan burung menjadi 252 famili.
Berdasarkan hal tersebut, BirdLife International membuat daftar taksonomi
burung dunia sendiri dikarenakan banyaknya perbedaan dalam pengelompokan
jenis burung serta kebutuhan mereka untuk mengevaluasi setiap perubahan
taksonomi yang ada (BirdLife International, 2016). Pada subbab berikutnya akan
dijelaskan mengenai status konservasi dan kelompok makan (feeding guild)
burung.
1. Species Discovery Curve.
Species discovery curve merupakan salah satu metode yang digunakan dalam
penelitian keanekaragaman jenis burung (Bibby et al., 2000). Tujuan dari metode
species discovery curve adalah untuk memprediksi banyaknya jenis burung di
suatu lokasi melalui kurva yang terbentuk antara data akumulasi jenis burung
yang ditemukan terhadap unit satuan waktu hingga penambahan akumulasi jenis
burung mendekati stabil (Gambar 2.1). Unit satuan waktu merupakan waktu yang
dibutuhkan dalam satu kali pengamatan.Waktu yang dibutuhkan setiap satu kali
pengamatan dapat selama satu jam atau bahkan satu hari. Kelebihan dari metode
species discovery curve dibandingkan metode pengamatan burung lainya ialah
metode ini terfokus pada penghitungan jumlah jenis burung yang ditemukan dan
bukan dari jumlah individunya, sehingga tidak perlu khawatir apabila ada
penghitungan ganda.
6
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
Gambar 2.1 species discovery curve.
2. Status Konservasi.
Red List of Threatened Species atau daftar merah spesies terancam
memberikan informasi tentang taksonomi, status konservasi dan penyebaran pada
berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang telah dievaluasi secara global
menggunakan kategori dan kriteria menurut data International Union for
Conservation of Nature (IUCN) Red List. Sistem tersebut dirancang untuk
menentukan resiko relatif kepunahan. Tujuan utama dibuatnya IUCN Red List
adalah untuk mengawasi tanaman dan hewan yang memiliki resiko tinggi dari
kepunahan global. Golongan kategori terancam punah dari yang paling tinggi
resikonya yaitu kritis (Critically Endangered), genting (Endangered) dan rentan
(Vulnerable). Kelompok tersebut dapat dikatakan sebagai jenis terancam dalam
waktu dekat. Kategori resiko rendah (Least Concern) merupakan kategori yang
beresiko rendah setelah dievaluasi dan tidak termasuk ke dalam kategori terancam
punah. Data kurang (DataDeficient) dinyatakan jika ada informasi yang tidak
memadai atau kurang berdasarkan distribusi atau populasi. Oleh karena itu,
kekurangan data bukan termasuk kategori terancam. Tidak dievaluasi (Not
Evaluated (NE)) dinyatakan ketika data jenis belum dapat dievaluasi untuk
0
20
40
60
80
100
120
140
160
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Jum
lah
pe
ne
mu
an je
nis
(je
nis
)
Unit satuan waktu (jam ke-)
7
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
kriteria-kriteria diatas (IUCN, 2012). Hubungan tiap kategori selengkapnya
disajikan pada Gambar 2.1.
Keterangan: EX: Extinct NT: Near Threatened
EW: Extinct in the Wild LC: Least Concern
CR: Critically Endangered DD: Data Deficient
EN: Endangered NE: Not Evaluated
VU: Vulnerable
Gambar 2.2 Kategori dalam IUCN Red List
(Sumber: IUCN, 2012).
Selain itu, di Indonesia terdapat pula Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun
1999 yang berisikan tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan
ini dibuat sebagai upaya pemerintah dalam menjaga keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya agar tidak punah (Pemerintah RI,
1999). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, jenis burung yang
paling banyak dilindungi berasal dari bangsa Passeriformes. Passeriformes
merupakan bangsa burung dengan jenis terbanyak dibandingkan dengan bangsa
lainnya.
3. Kelompok Makan (Feeding Guild).
Perbedaan bentuk paruh burung membuat preferensi jenis makanan burung
berbeda-beda (Maclean, 2013). Menurut Maclean (2013), Beberapa burung
8
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
memiliki kesamaan dengan manusia terkait dengan jenis makananya yaitu sebagai
pemakan segala (omnivore). Namun, banyak dari burung memiliki preferensi
jenis makananya masing-masing yang sesuai dengan morfologi dan perilaku
burung tersebut. Dalam penelitianya, Permadi (2014), mengelompokkan burung
menjadi 7 kelompok makan yaitu burung pemakan segala (omnivore), burung
pemakan nektar (nektarivore), burung pemakan invertebrata seperti serangga
(insectivore), burung pemakan buah (frugivore), burung pemakan biji (granivore),
burung pemakan ikan (piscivore) dan burung pemakan daging vertebrata selain
ikan (carnivore).
Dengan mengetahui kelompok makan burung kita bisa mengetahui peranya
di lingkungan. Sebagai contoh burung pemakan serangga. Mereka adalah
pemangsa alami serangga dan sangat berperan dalam mengendalikan hama
serangga di kebun, di ladang, dan tempat-tempat lain (Aulia, 2016). Kemudian
keberadaan burung pemakan buah memperlihatkan bahwa masih terdapat
tumbuhan berbuah yang buahnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan burung (Hill,
2017). Menurut Hill (2017), keberadaan burung pemakan buah membantu dalam
proses regenerasi hutan, karena burung tersebut dapat membantu dalam
menyebarkan biji dari buah-buahan.
Keberadaan burung pemakan biji memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
memakan biji-bijian. Keberadaan burung pemakan biji juga dapat berperan dalam
proses regenerasi hutan karena dapat menyebarkan biji untuk berkecambah.
Dalam beberapa kasus burung dapat membawa biji lebih dari 40 meter dari
tumbuhan induk (Hill, 2017). Selain itu Burung pemakan nektar juga ikut
berperan dalam penyerbukan bunga (Aulia, 2016), itu karena mereka dapat
memindahkan serbuk sari bunga dari satu bunga ke bunga lain sehingga proses
penyerbukan bunga dapat berlangsung baik.
Burung pemakan daging berfungsi sebagai puncak rantai makanan sehingga
sangat berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Jika terjadi gangguan
terhadap burung pemakan daging tersebut maka keseimbangan rantai makanan
akan terganggu. Menurut Widodo (2013), tercatatnya beberapa jenis burung
pemakan daging menandakan bahwa secara ekologis kondisi hutan cukup bagus.
9
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
B. Persebaran Burung.
Beberapa burung tersebar di habitat yang mereka sukai karena burung
tersebut sangat bergantung pada habitat yang spesifik, sehingga dengan
memahami hubungan antara burung dengan habitatnya dapat membantu kegiatan
konservasi (Hume, 2005). Dalam beberapa kasus, habitat dapat menjadi penentu
penting untuk mengetahui persebaran burung. Habitat merupakan sumber daya
dalam suatu area yang menjadi tempat hunian bagi makhluk hidup untuk bertahan
hidup dan bereproduksi (Krausman, 1999). Dalam penelitianya, Widodo (2015),
membagi habitat burung menjadi dua bagian yaitu habitat hutan dan non-hutan.
Habitat hutan adalah kondisi hutan alam di lokasi penelitian, dengan tumbuhan
lebat, tinggi pohon minimum 5 meter dan kanopi rapat. Sedangkan habitat non-
hutan adalah habitat burung di lahan BPRU yang sebagian besar kondisinya telah
terbuka baik yang sudah dimanfaatkan atau belum (Food and Agriculture
Organization, 2015; Widodo, 2015).
Tipe habitat utama burung sebaran terbatas di Indonesia yaitu hutan. Sekitar
98% dari seluruh jenis burung sebaran terbatas di Indonesia menggunakan hutan
sebagai tempat hidupnya (Sujatnika et al., 1995 dalam Pratiwi, 2015). Vegetasi
hutan digunakan sebagai tempat mencari makan, tempat membuat sarang atau
sekedar tempat berstirahat/bertengger. Pohon sebagai sumber pakan burung bisa
karena buahnya, bunganya atau karena serangga yang hidup di pohon tersebut
(Ichwan, 2009).
Dalam suatu ekosistem hutan, populasi burung memegang peranan yang
utama dalam mempertahankan ekosistem, ada yang berperan sebagai penyebar
biji, pemangsa serangga, dan membantu penyerbukan (MacKinnon, 1995 dalam
Hendrawan, 2004). Keberadaan atau hilangnya suatu spesies di suatu wilayah
menggambarkan daya dukung ekologis wilayah tersebut dikarenakan sekitar
24,9% jenis burung di Indonesia adalah endemik dan sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan (Strange, 2001 dalam Permadi, 2014). Selain itu hubungan
burung dengan makananya juga telah menjadi indikator yang cocok untuk
menggambarkan lingkungan habitatnya (Wielstra et al., 2011).
10
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
Untuk daerah yang tidak dilindungi, habitat dapat berubah, contohnya
akibat penebangan (Bibby et al., 2000). Menurut Santosa (2008), beberapa
penyebab utama kepunahan satwa adalah kerusakan, kehilangan dan
terfragmentasinya tempat hidup satwa. Hilang dan rusaknya habitat satwa
disebabkan oleh perbuatan manusia seperti konversi hutan untuk perkebunan dan
penebangan liar. Bahkan hutan di Pulau Jawa dan Bali sebagai tempat tinggal
satwa sudah banyak mengalami perubahan beberapa tahun terakhir yang membuat
wilayah hutan tersebut hanya 10% dari luas pulau Jawa dan Bali (MacKinnon et
al., 2010).
Perubahan habitat juga dapat disebabkan oleh musim yang berubah,
biasanya pada saat ini banyak burung melakukan migrasi untuk bertahan hidup
(Hume, 2005). Burung raptor Asia contohnya, bermigrasi ke arah selatan pada
awal bulan September saat musim dingin tiba dan bermigrasi ke utara pada awal
bulan Februari saat musim semi tiba (Yamazaki et al., 2012).
C. Tinjauan Umum Tentang Burung dan Bumi Perkemahan Ranca Upas.
1. Burung.
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai burung. Burung merupakan anggota
kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap.
Burung berkembang sedemikian rupa sehingga terspesialisasi untuk dapat terbang
jauh, kecuali pada beberapa jenis burung primitif. Bulu-bulunya terutama di
daerah sayap tumbuh berkembang semakin lebar, ringan, kuat dan tersusun rapat.
Bulu ini juga tersusun sedemikian rupa sehingga mampu menolak air dan
memelihara tubuh agar tetap hangat di tengah udara dingin. Burung memiliki
tulang ringan karena terdapat rongga udara di dalamnya, namun tetap dapat
menopang tubuh. Tulang dadanya besar dan memipih, sehingga cocok sebagai
tempat perlekatan otot-otot terbang yang kuat. Gigi digantikan oleh paruh ringan
dari zat tanduk (Campbell et al., 2012).
Burung memiliki paruh yang merupakan ciri khas hewan tersebut. Paruh
burung terbentuk dari keratin yang terbukti sangat adaptif selama evolusi burung.
Paruh burung terdapat dalam beragam bentuk yang sesuai dengan jenis makanan
yang berbeda (Campbell et al., 2003). Burung pemakan nektar memiliki paruh
11
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
lurus panjang serta lidah yang panjang untuk menghisap nektar yang ada di dalam
bunga. Burung pemakan pemangsa seperti elang memiliki paruh melengkung
dengan ujung tajam, sangat ideal untuk mematahkan tulang dan mencabik otot
mangsanya (Hagge, 2011). Beragam jenis paruh burung disajikan dalam Gambar
2.2.
Gambar 2.3 Berbagai Macam Bentuk Paruh Burung (sumber: Ashari, 2015)
Burung adalah tetrapoda yang dapat terbang. Burung memiliki alat gerak
sebanyak dua pasang, satu pasang termodifikasi menjadi alat gerak untuk terbang
dan satu lagi menjadi kaki (Webb dalam Hendrawan, 2004). Keragaman bentuk
kaki pada burung teradaptasi sesuai dengan habitat serta makananya. Contoh,
burung raptor memiliki bentuk kaki yang tebal dan kuat dengan dilengkapi oleh
kuku melengkung besar untuk mencabik mangsanya. Kaki berselaput dimiliki
oleh burung perenang untuk mempermudah dalam mencari makan didalam air.
Burung bangau tidak memiliki selaput melainkan memiliki bentuk kaki yang
panjang dan kurus seperti ranting sehingga dapat mempermudah saat berjalan
didaerah vegetasi air seperti rawa (MacLean, 2013). Berikut ditampilkan macam-
macam bentuk kaki burung pada Gambar 2.3.
12
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
Gambar 2.4 Berbagai Macam Bentuk Kaki Burung (sumber: Ashari, 2015).
Pola warna bulu pada setiap jenis burung berbeda. Pola warna bulu pada
burung merupakan daya tarik bagi yang lainnya. Salah satu contohnya pada
burung merak, pola warna bulu pada burung tersebut sangat rumit, antara jantan
dan betina sangat berbeda. Pola warna bulu dan struktur pada jantan lebih menarik
dibandingkan dengan yang betina, hal ini berhubungan dengan daya tarik jantan
bagi betina ketika perkawinan, karena ketika musim kawin beberapa jantan akan
bersain dengan jantan yang lainnya untuk memperebutkan satu betina, sehingga
semakin menarik jantan, kemungkinan besar jantan tersebut melakukan
perkawinan akan semakin besar (Hendrawan, 2004). Menurut Forshaw (2005),
untuk mempermudah dalam membedakan pola warna bulu satu jenis burung
dengan yang lain, ada beberapa bagian burung yang perlu diperhatikan,
diantaranya alis (pada daerah supercilium), pinggul, bulu ekor bagian dorsal,
corak sayap. Topografi bulu burung selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.4.
13
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
Gambar 2.5 Topografi bulu burung (sumber: Leach, 2013)
Burung jantan dan betina juga menunjukkan perbedaan antara sifat-sifat
kelamin sekunder yang dikenal sebagai dimorfisme seksual. Dimorfisme seksual
dinyatakan sebagai perbedaan ukuran, umumnya hewan jantan berukuran lebih
besar dan perbedaan warna terlihat pada burung jantan. Kasus dimorfisme seksual
diantara vertebrata burung yaitu hewan jantan memiliki bulu yang lebih mencolok
dibandingkan dengan hewan betina (Campbell et al., 2003).
14
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
Setiap spesies burung tidak hanya dapat dibedakan dari pola warna bulu
ataupun bentuk morfologinya saja, tetapi dapat juga dibedakan berdasarkan
suaranya. Dalam kebanyakan kasus, setiap jenis burung memiliki suara yang
berbeda dikarenakan mereka ingin berkomunikasi dengan individual lain yang
sejenis, agar mereka dapat mengenali satu sama lain serta membedakan dengan
kicauan burung dari spesies lainnya (Hume, 2005). Suara burung berfungsi untuk
memperingatkan bahaya, untuk mempertemukan dengan kelompok, komunikasi,
menarik pasangan dan mengumumkan wilayah bersarang (Hegner dan Stiles
dalam Pratiwi, 2015).
Burung mempunyai peranan penting bagi kelangsungan ekosistem hutan,
contohnya membantu regenerasi hutan secara alami seperti penyebar
biji,penyerbuk bunga dan pengontrol serangga hama (Hernowo, 1989). Selain itu
burung juga dapat berperan sebagai indikator kualitas lingkungan serta dapat
menjamin berjalannya proses regenerasi hutan tropis secara alami di Indonesia
(Utomo, 2010). Menurut Chambers (2008), setidaknya ada 8 hal yang membuat
burung cocok diteliti untuk dijadikan sebagai indikator lingkungan, yaitu:
Burung mudah diketahui keberadaannya dan diobservasi
Taksonomi burung sudah mudah diidentifikasi di lapangan
Burung tersebar luas menempati habitat dan relung ekologi yang bervariasi
Distribusi, ekologi, biologi dan sejarah hidup burung diketahui dengan baik
dibandingkan taksa lain
Menempati posisi teratas pada rantai makanan sehingga lebih sensitif
terharap kontaminasi dan perubahan lingkungan
Banyak burung yang berperan sebagai polinator dan penyebar biji tanaman.
Teknik pengamatan burung mudah dilakukan
Untuk memonitorinya tidak mahal jika dibandingkan dengan taksa lain
seperti reptil dan mamalia.
2. Bumi Perkemahan Ranca Upas.
Bumi Perkemahan Ranca Upas (BPRU) merupakan bagian dari Wana
Wisata bagian dari Wana Wisata Ranca Upas seluas 215 hektar dengan
ketinggian 1700m dpl, terletak di RPH Patrol, BKPH Tambak Ruyung Timur,
15
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
KPH Bandung Selatan. Wana Wisata Ranca Upas adalah salah satu hutan wisata
yang dikelola oleh Perum Perhutani sejak tahun 1991 (Ichwan, 2009). BPRU
memiliki fungsi konservasi sekaligus fungsi wisata. Konsep dasar perencanaan
BPRU adalah kawasan wisata alam yang bermuatan pendidikan terhadap
lingkungan sekaligus sebagai kawasan konservasi (Kastolani, 2010).
Gambar 2.6 Peta Kawasan BPRU (Sumber: Perum Perhutani, 2016).
Secara geografis BPRU terletak pada koordinat 100°-110°26’ BT dan 1°-
1°26’LS. Secara administratif wilayah ini berada di Desa Patenggang, Kecamatan
Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat (Perum Perhutani, 2013). BPRU
mempunyai batas wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Desa Lebak
Muncang, bagian selatan dengan Desa Alam Endah, bagian timur dengan Desa
Cipelah dan bagian barat dengan jalan Desa Patenggang (Ichwan, 2009). Selain
itu Ranca Upas juga dikelilingi hutan lindung dan hutan konservasi yang dikelola
dan dijaga oleh Perhutani.
Kabupaten Bandung memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim
muson dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 mm sampai dengan 4.000 mm
16
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
per tahun (Pemkab Bandung, 2016). Pada tahun 2014 dan 2015, curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Desember, sedangkan curah hujan terendah terjadi
pada bulan Agustus (Gambar 2.6). Suhu udara berkisar antara 12°C sampai 24°C
dengan kelembaban antara 78% pada musim hujan dan 70% pada musim
kemarau.
Gambar 2.7 Rata-Rata Curah Hujan dalam Bulan di Kabupaten Bandung tahun
2014 dan 2015 (mm/ hari)
(Sumber: BPS Kab. Bandung, 2016).
Sejarah BPRU sangat erat kaitannya dengan sejarah Gunung Patuha.
Masyarakat Ciwidey menganggap bahwa Gunung Patuha merupakan gunung
tertua yang ada di daerah Bandung Selatan. Secara terminologi, kata "Ranca
Upas" terdiri dari dua kata, yaitu Ranca yang dalam bahasa Indonesia memiliki
makna rawa, sedangkan Upas sendiri adalah salah satu jenis pohon keluarga
Moraceae. Pohon ini merupakan pohon beracun yang pada jaman dahulu sering
digunakan untuk meracuni anak panah. Sesuai dengan namanya, yaitu "Ranca
Upas" awalnya merupakan sebuah daerah rawa yang pada masa dahulu ditumbuhi
tanaman dan pepohonan yang salah satunya dikenal dengan pohon upas. Hal ini
ada kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Sunda yang memiliki kebiasaan unik
dimana untuk menamakan suatu daerah selalu disesuaikan dengan ciri khas faktor
17
Ahmad Shifauka, 2017 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN PERSEBARAN BURUNG DI BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN JAWA BARAT Universitas Pendidikan Indonesia|repository.upi.edu|perpustakaan.upi.edu
fisik geografis daerah setempat agar mudah untuk mengingatnya, demikian juga
dengan nama Ranca Upas. Secara historis, tidak ada satupun sumber sejarah yang
pasti mengenai asal usul nama Ranca Upas, akan tetapi apabila melihat fenomena
yang ada dilapangan, memang benar bahwa Ranca Upas merupakan interpretasi
sebuah daerah dimana dahulu merupakan area rawa yang berada diantara
perbukitan dengan lereng datar yang luas. BPRU pertama kali dikelola oleh
pengawasan BKPH Tambakruyung, RPH Ranca Upas. Pertama kali dibuka untuk
umum sekitar tahun 1980an sebagai camping ground dan penangkaran rusa jenis
Cervus timorensis dengan jumlah awal sebanyak 8 ekor (Admin Ranca Upas,
2014) .
Penutupan lahan BPRU yaitu hutan, rawa, badan air yang terdiri dari kolam
dan danau, kandang rusa, kawasan perkerasan yang terdiri dari kantor, pondokan,
warung, pemandian dan tempat parkir serta kawasan untuk berkemah yang terdiri
dari hamparan rumput (Ichwan, 2009). Vegetasi alami yang menjadi penutup
lahan jenis pepohonan hutan, seperti Puspa (Schima wallichii), Rasamala (Altingia
excelsa), Saninten (Castanopsis javanica), Balakace (Vaccinium bancanum) dan
Ekaliptus (Eucalyptus sp.). Di samping itu dijumpai pula tumbuhan yang tumbuh
dibawah tegakan hutan, berupa semak belukar dan rumput-rumputan, antara lain
Jukut pahit (Axonopus compressus), Teki (Cyperus kyllingia), Paparean (Carex
remota), Teklan (Eupatorium inufolium), Lampuyang (Panicum repens) dan lain-
lain. Vegetasi budidaya terdapat di sekitar kantor informasi. Vegetasi ini adalah
jenis semak dan perdu seperti Duranta sp., Cupea sp. dan teh-tehan (Ichwan,
2009). Menurut Ichwan (2009), beberapa satwa burung yang sudah tercatat
menempati BPRU antara lain Tekukur biasa (Spilopelia chinensis), Elang hitam
(Ictinaetus malaiensis), Kareo padi (Amaurornis phoenicurus), Kacamata jawa
(Zosterops flavus), Gemak loreng (Turnix suscitator), Kipasan-ekor merah
(Rhipidura phoenicura), Bubut besar (Centropus sinensis), Kapinis rumah (Apus
afinis) dan Kangkok ranting (Cuculus saturatus).