bab ii kajian teoritis a. pengertian jumlah pencari kerja

30
15 BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Jumlah Pencari Kerja 1. Pencarian Kerja Salah satu alasan mengapa selalu ada pengangguran dalam perekonomian adalah pencarian kerja. Pencarian kerja (job search) adalah proses yang mempertemukan pekerja dengan pekerjaan yang sesuai dengannya. Apabila semua pekerja dan semua jenis pekerjaan sama, sehingga semua pekerja cocok dengan semua jenis pekerjaan, maka pencarian kerja tidak akan menjadi masalah. Pekerja-pekerja yang diberhentikan akan secepatnya menemukan pekerjaan baru yang sesuai dengannya. Tetapi, pada kenyataannya, para pekerja mempunyai selera yang berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan yang ada sangat berbeda satu sama lain, dan informasi mengenai calon pekerja dan lowongan pekerjaan tersebar dengan lambat diantara berbagai perusahaan serta rumah tangga dalam perekonomian 1 2. Kebijakan Publik dan Pencarian Kerja Meskipun pengangguran friksional tidak dapat dihindari, jumlah tepatnya masih bisa diperkirakan. Semakin cepat penyebaran informasi lowongan pekerjaan dan ketersediaan pekerja, semakin cepat suatu perekonomian dapat mempertemukan pekerja dengan perusahaan yang membutuhkannya. Internet, 1 N. Gregory Mankiw, Pengantar Teori Ekonomi Makro Edisi 3 (Jakarta: Salemba Empat, 2006), 141

Upload: others

Post on 03-Dec-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Pengertian Jumlah Pencari Kerja

1. Pencarian Kerja

Salah satu alasan mengapa selalu ada pengangguran dalam

perekonomian adalah pencarian kerja. Pencarian kerja (job search)

adalah proses yang mempertemukan pekerja dengan pekerjaan yang

sesuai dengannya. Apabila semua pekerja dan semua jenis

pekerjaan sama, sehingga semua pekerja cocok dengan semua jenis

pekerjaan, maka pencarian kerja tidak akan menjadi masalah.

Pekerja-pekerja yang diberhentikan akan secepatnya

menemukan pekerjaan baru yang sesuai dengannya. Tetapi, pada

kenyataannya, para pekerja mempunyai selera yang berbeda-beda,

pekerjaan-pekerjaan yang ada sangat berbeda satu sama lain, dan

informasi mengenai calon pekerja dan lowongan pekerjaan tersebar

dengan lambat diantara berbagai perusahaan serta rumah tangga

dalam perekonomian1

2. Kebijakan Publik dan Pencarian Kerja

Meskipun pengangguran friksional tidak dapat dihindari,

jumlah tepatnya masih bisa diperkirakan. Semakin cepat

penyebaran informasi lowongan pekerjaan dan ketersediaan

pekerja, semakin cepat suatu perekonomian dapat mempertemukan

pekerja dengan perusahaan yang membutuhkannya. Internet,

1 N. Gregory Mankiw, Pengantar Teori Ekonomi Makro Edisi 3 (Jakarta:

Salemba Empat, 2006), 141

16

misalnya, dapat menolong mempercepat proses pencarian kerja dan

mengurangi pengangguran friksional. Selain itu kebijakan publik

memainkan peranan penting. Jika suatu kebijakan dapat

mengurangi waktu yang dibutuhkan orang-orang yang menganggur

untuk mendapatkan pekerjaan baru, maka kebijakan tersebut dapat

mengurangi tingkat pengangguran alamiah dalam suaru

perekonomian.

Program-program pemerintah berusaha untuk memudahkan

pencarian kerja dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah

melalui badan tenaga kerja pemerintah, yang memberikan informasi

lowongan pekerjaan. Cara lainnya adalah melalui program-program

pelatihan publik, yang bertujuan mempermudah penyaluran tenaga

kerja dari perusahaan-perusahaan yang mengalami penurunan ke

perusahaan-perusahaan yang mengalami pertumbuhan dan untuk

menolong kelompok-kelompok tertentu keluar dari kemiskinan.

Pendukung program-program ini yakin bahwa hal ini akan

membuat perekonomian berjalan lebih efesien dan menjaga

angkatan kerja terus bekerja dan megurangi ketidakadilan

sehubungan perekonomian pasar yang senantiasa berubah.

Para pengkritik program ini mempertanyakan apakah

pemerintah harus terlibat dalam proses pencarian kerja. Mereka

berpendapat bahwa lebih baik membiarkan pasar tenaga kerja

mempertemukan para pekerja dengan pekerjaannya. Pada

kenyataannya, kebanyakan pencari kerja di AS berlangsung tanpa

campur tangan pemerintah. Iklan surat kabar, situs-situs lowongan

kerja di internet, kantor-kantor penempatan tenaga kerja bagi

mahasiswa yang baru lulus, pemburu kerja, dan iklan dari mulut ke

17

mulut membantu penyebaran informasi lowongan pekerjaan dan

calon tenaga kerja.

Demikian pula, kebanyakan pendidikan pekerja dilakukan

secara mandiri, baik melalui sekolah-sekolah maupun melalui

pelatihan kerja. Para pengkritik ini berpendapat bahwa pemerintah

tidak lebih baik bahkan lebih buruk dalam menyebarkan informasi

yang tepat kepada calon pekerja dan memutuskan pelatihan tenaga

kerja apa yang paling baik. Mereka berpendapat bahwa keputusan-

keputusan ini lebih baik diambil oleh pencari kerja dan perusahaan-

perusahaan yang bersangkutan.2

3. Lapangan Kerja

Luasnya lapangan kerja yang tersedia akan ditentukan oleh

kebijakan investasi, produksi yang dihasilkan dan cara

pembangunan yang diterapkan apakah labour intensive atau capital

intensive serta besarnya modal yang diinvestasikan. Lapangan kerja

yang ada di negara-negara sedang berkembang (under developing

countries) sangat terbatas akibat daripada kebijaksanaan investasi

yang dilakukan pada masalalu ditujukan kepada sektor pertanian

(perkebunan, peternakan dan perikanan) demi kepentingan negara

penjajah, sedangkan lapangan kerja yang tercipta pada sektor ini

sangat kecil. Produksi yang dihasilkan adalah produksi primer dari

pertanian dan ektraktip mineral dari pertambangan yang proses

produksinya pendek sehingga lapangan kerja yang tercipta sedikit.

Modal yang diinvestasikan relatif kecil sehingga

perusahaan, pabrik-pabrik yang berdiri kecil-kecil akibatnya

2 N. Gregory Mankiw, Pengantar Teori Ekonomi Makro Edisi 3..., 143

18

lapangan kerja yang tercipta sedikit. Situasi perekonomian Dunia

yang tidak menentu sedangkan negara-negara sedang berkembang

(under developing countries) sangat tergantung pada ekspor barang-

barang produksi yang primer, yang harus diproses lebih lanjut

supaya nilai pakai dan niali tukarnya lebih besar.

Untuk memperluas lapangan kerja ini hendaknya proses

produksi diperpanjang dengan jalan mendirikan beraneka ragam

industri. Produksi primer dari sektor pertanian diolah menjadi

barang jadi dengan mendirikan serangkaian pabrik. Untuk

memperluas lapangan kerja ini negara sedang berkembang (under

developing countries) mengalami kesulitan karena kekurangan

modal, kekurangan tenaga ahli dan kurangnya perintis-perintis

wiraswasta.

Lapangan kerja yang banyak adalah pada sektor

perindustrian, karena itu hendaknya pemerintah membangun

beraneka amcam industri atau memberikan dorongan kepada

masyarakat untuk membangun industri karena industrilah yang

menjadi harapan untuk menyerap tenaga kerja yang banyak. Sistem

pembangunan yang diterapkan juga sangat mempengaruhi luasnya

lapangan kerja. Jika pembangunan diterapkan secara labour

intensive atau padat karya akan tercipta banyak lapangan kerja

tetapi produktivitas, kualitas produksi yang dihasilkan rendah.

Tetapi bila mana pembangunan yang diterapkan berdasarkan capital

intensive atau utama modal lapangan kerja yang tercipta sedikit,

tetapi produktivitas dan kualitas produksi yang dihasilkan banyak

serta baik mutunya.

19

Masalah perluasan tenaga kerja ini mulak harus dilakukan

bilamana hal ini tidak berhasil, maka akan timbul banyak

pengangguran, kejahatan-kejahatan dan gejolak-gejolak sosial yang

dapat mempengaruhi kestabilan pemerintah.

Usaha-usaha untuk memperluas lapangan kerja dapat

dilakukan dengan cara:

1. Memperbanyak modal yang diinvestasikan baik kepada sektor

pertanian maupun pada sektor industri lain-lainnya.

2. Memperpanjang proses produksi sehingga produksi yang

dihasilkan menjadi barang-barang setengah jadi. Ini berarti

harus mendirikan beraneka macam pabrik yang akan dapat

menyerap tenaga kerja dengan banyak.

3. Memberikan bimbingan, latihan-latihan dan bantuan modal,

pemasaran kepada home industry supaya berkembang dan

lapangan kerja semakin banyak.

4. Menciptakan situasi dan memberikan dorongan kepada para

tenaga ahli/terampil supaya mereka jangan hanya mencari

pekerjaan tetapi hendaknya mereka itu pencipta pekerjaan

dengan jalan berwiraswasta.3

B. Konsep-Konsep yang Berlaku di Pasar Kerja

Konsep dasar pasar kerja tidak jauh berbeda dengan konsep

dasar pasar barang dan modal. Inti dari konsep tersebut adalah

bahwa setiap pasar selalu mempunyai pembeli dan penjual.

Demikian pula dengan pasar kerja, pembelinya adalah para

3 Julius R. Latumaerissa, Perekonomian Indonesia dan Dinamika Ekonomi

Global (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015), 62

20

pengusaha/ produsen/ majikan, sedangkan penjualnya adalah para

tenaga kerja yang mencari pekerjaan.

Dewasa ini banyak dijumpai para pembeli dan penjual di

pasar kerja terutama di negara-negara sedang berkembang seperti

Indonesia. Oleh sebab itu, keputusan yang terjadi dipasar kerja

sangat dipengaruhi oleh seorang pengusaha baru akan menaikkan

tingkat upah yang diberlakukan di perusahaannya apabila

pengusaha dari perusahaan lain yang sejenis melakukan juga

kenaikan tingkat upah bagi para tenaga kerjanya.

Jadi jelas bahwa pasar kerja merupakan seluruh aktifitas

dari para pelaku yang tujuannya adalah mempertemukan pencari

kerja dan lowongan kerja. Sifat dari pasar kerja itu sendiri

ditentukan oleh para pelaku tersebut. Misalnya, suatu instansi

pemerintah memerlukan tenaga kerja (sebagai pengganti pensiun),

maka akan dilaksanakan pembukaan lowongan kerja di seluruh

negara yang bersangkutan. Keadaan ini menumbulkan adanya pasar

kerja yang sifatnya nasional. Akan tetapi, apabila seorang

pengusaha membuntuhkan tenaga kerja (misalnya seorang

pengetik) maka ia akan dapat dengan mudah mencari di wilayah

sekitar tempat berusaha.

Keadaan ini menyebabkan adanya pasar kerja lokal. Kedua

bentuk pasar kerja di atas (nasional dan lokal) dapat disebut juga

sebagai pasar kerja ekstern (external labour market). Tetapi apabila

perusahaan mengisi lowongan pekerjaan yang ada dalam

perusahaan dengan melaksanakan promosi dari dalam itu sendiri,

maka disebut sebagai pasar kerja intern (internal labour market).

Selain itu ada dua bentuk lain dari pasar kerja yang dikenal dengan

21

“dual labour market” yaitu pasar kerja primer (primary labour

market) dan pasar kerja sekunder (secondary labour market).4

C. Etos Kerja dalam Perspektif Islam

Membicarakan etos kerja dalam Islam, berarti menggunakan

dasar pemikiran bahwa Islam, sebagai suatu sistem keimanan,

tentunya mempunyai pandangan tertentu yang positif terhadap

masalah etos kerja. Adanya etos kerja yang kuat memerlukan

kesadaran pada orang bersangkutan tentang kaitan suatu kerja

dengan pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh, yang

pandangan hidup itu memberinya keinsafan akan makna dan tujuan

hidupnya. Dengan kata lain, se-seorang agaknya akan sulit

melakukan suatu pekerjaan dengan tekun jika pekerjaan itu tidak

bermakna baginya, dan tidak bersangkutan dengan tujuan hidupnya

yang lebih tinggi, langsung ataupun tidak langsung.

Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam Islam adalah

hasil suatu kepercayaan seorang Muslim, bahwa kerja mempunyai

kaitan dengan tujuan hidupnya, yaitu memperoleh perkenan Allah

SWT.

Toto Tasmara, dalam bukunya Etos Kerja Pribadi Muslim,

menyatakan bahwa:

“Bekerja” bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang

sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh asset, fikir dan

zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya

sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan

menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik

(khaira ummah), atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa

4 Afrida BR, Ekonomi Sumber Daya Manusia........, 202

22

dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. Dalam bentuk

aksioma, Toto meringkasnya dalam bentuk sebuah rumusan:

KHI = T, AS (M,A,R,A)

KHI = Kualitas Hidup Islami

T = Tauhid

AS = Amal Shaleh

M = Motivasi

A = Arah Tujuan (Aim and Goal/Objectives)

R = Rasa dan Rasio (Fikir dan Zikir)

A = Action, Actualization.

Dari rumusan di atas, Toto mendefinisikan etos kerja dalam

Islam (bagi kaum Muslim) adalah: “Cara pandang yang diyakini

seorang Muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan

dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu

manifestasi dari amal shaleh dan oleh karenanya mempunyai nilai

ibadah yang sangat luhur.”

Sementara itu, Rahmawati Caco, berpendapat bahwa:

Bagi orang yang ber-etos kerja islami, etos kerjanya

terpancar dari sistem keimanan atau aqidah islami berkenaan

dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerja sama dengan

akal. Sistem keimanan itu, menurutnya, identik dengan sikap hidup

mendasar (aqidah kerja). Ia menjadi sumber motivasi dan sumber

nilai bagi terbentuknya etos kerja Islami.

Etos kerja Islami di sini digali dan dirumuskan berdasarkan

konsep iman dan amal shaleh. Tanpa landasan iman dan amal

shaleh, etos kerja apa pun tidak dapat menjadi islami. Tidak ada

amal saleh tanpa iman dan iman akan merupakan sesuatu yang

mandul bila tidak melahirkan amal shaleh. Kesemuanya itu

mengisyaratkan bahwa iman dan amal shaleh merupakan suatu

rangkaian yang terkait erat, bahkan tidak terpisahkan.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka dapat

dipahami bahwa etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-

nilai (values) yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan al-Sunnah

23

tentang “kerja” – yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh

setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang

kehidupan. Cara mereka memahami, menghayati dan mengamalkan

nilai-nilai Al-Qur‟an dan al-Sunnah tentang dorongan untuk bekerja

itulah yang membentuk etos kerja Islam.5

D. Pengertian Pendapatan

1. Pendapatan Perkapita

Salah satu ukuran yang sering digunakan sebagai indikator

pembangunan adalah pendapatan perkapita. Selain dapat

membedakan antara negara-negara maju dan negara-negara yang

sedang berkembang, pendapatan perkapita (walaupun sangat kasar)

dianggap pula dapat memberikan gambaran tentang perubahan

tingkat kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara atau antar

negara.

Suatu negara dianggap berhasil melaksanakan pembangunan

bila pertumbuhan ekonomi masyarakatnya cukup tinggi, yakni

dilihat dari produktivitas negara tersebut setiap tahunnya. Dalam

bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk

Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) dan

Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP).

Oleh karena GNP atau GDP mengukur hasil keseluruhan

dari suatu negara, padahal besar negara ( dalam arti jumlah

penduduknya ) berlainan, maka digunakan ukuran per kapita GNP

atau per kapita GDP. Dengan mengetahui produksi rata-rata setiap

5 Mohammad Irham, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam” Jurnal Substantia,

Vol. 14, No. 1, (April 2012), 15

24

orang dapatlah diperbandingkan GNP per kapita atau GDP

perkapita yang satu dengan negara yang lain.

Pendapatan perkapita sebagai indikator keberhasilan

pembangunan tidak luput dari kelemahan. Segera menjadi jelas

bahwa GNP tau GDP yang dihasilkan sebuah bangsa, tidak berarti

bahwa GNP atau GDP yang dimiliki oleh semua penduduknya

secara merata. Mungkin terjadi, sebagian kecil orang di dalam

negara tersebut memiliki kekayaan yang melimpah sedangkan

sebagian besar lainnya hidup dalam kemiskinan. Kalau kekayaan ini

diratakan dalam perkapita GNP atau perkapita GDP akan diperoleh

nilai yang tinggi. Kemiskinan akan tertutup oleh adanya kekayaan

yang luar biasa yang dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat tadi.6

Dalam bentuk yang lebih spesifik, nilai pendapatan

perkapita sebagai indeks untuk menunjukkan perbandingan tingkat

kesejahteraan dan jurang tingkat kesejahteraan dikritik karena

perbandingan secara demikian mengabaikan adanya perbedaan-

perbedaan dalam hal-hal berikut diantara berbagai negara:

a. Komposisi umur penduduk

Di negara berkembang proporsi penduduk yang dibawah

umur dan orang-orang muda adalah lebih tinggi dari negara

maju. Dengan demikian, perbandingan pendapatan setiap

keluarga dikedua golongan negara itu tidaklah seburuk seperti

yang digambarkan dengan membandingkan tingkat pendapatan

perkapita mereka.

6 Santi R. Siahaan, dkk, Pengantar Ekonomi Pembangunan (Medan:

Universitas HKBP Nommensen, 2001), 39

25

b. Distribusi pendapatan masyarakat

Disamping tingkat pendapatan, distribusi pendapatan

merupakan faktor penting lainnya yang menentukan keadaan

kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Faktor ini tidak

diperhatikan dalam membandingkan tingkat kesejahteraan

masyarakat dan perubahannya dari masa ke masa, jika indeks

yang digunakan adalah tingkat pendapatan perkapita.

Pada akhir-akhir ini, dari pengamatan atas hasil-hasil

pembangunan di negara berkembang, makin luas kesadaran

bahwa walupun dalam sejarah pembangunan negara maju telah

terbukti pembangunan ekonomi pada akhirnya akan diikuti oleh

distribusi pendapatan yang lebih merata, pada tingkat

permulaan dari pembangunan ekonomi keadaan yang

sebaliknya akan berlaku.

Perkembangan dibanyak negara berkembang

menunjukkan bahwa dalam proses tersebut distribusi

pendapatan keadaannya menjadi lebih tidak merata. Keadaan ini

telah menimbulkan ketidakpuasan terhadap usaha-usaha

pembangunan dibeberapa negara berkembang karena dianggap

usaha tersebut hanya menguntungkan sebagian kecil

masyarakatnya.

Pembangunan ekonomi bukanlah melulu bertujuan

untuk menciptakan modernisasi dalam suatu masyarakat, tetapi

yang lebih penting lagi adalah menciptakan kehidupan yang

lebih baik kepada seluruh masyarakat tersebut. Secara adil

selalu diinginkan agar usaha-usaha pembangunan akan dapat

dikecap oleh seluruh masyarakat secara merata. Tujuan ini tidak

26

akan tercapai apabila pembangunan ekonomi mengakibatkan

distribusi pendapatan masyarakat menjadi semakin memburuk.

Dalam hal ini hanya segolongan kecil saja masyarakat yang

menikmati hasil pembangunan.

c. Pola pengeluaran masyarakat

Pola pengeluaran masyarakat di berbagai negara

kadang-kadang sangat berbeda dan perbedaan ini menyebabkan

dua negara yang sama pendapatan perkapitanya belum tentu

menikmati kesejahteraan yang sama. Misalnya dua orang yang

berpendapatan sama, tetapi salah seorang diantaranya harus

mengeluarkan biaya pengangkutan yang lebih tinggi untuk

bekerja, harus berpakaian rapih, dan sebagainya, tidak dapat

dikatakan sebagai mencapai tingkat kesejahteraan yang sama

tingginya.

Perbedaan iklim menimbulkan perbedaan dalam corak

pengeluaran masyarakat di negara maju dan negara

berkembang. Orang-orang di negara maju harus mengeluarkan

uang lebih banyak untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan

yang sama dengan di negara berkembang. Kebanyakan negara

maju iklimnya lebih dingin dari negara sedang berkembang.

Oleh sebab itu, penduduknya harus membuat

pengeluaran yang lebih banyak untuk perumahan, pemanasan,

pakaian, dan makanan untuk menikmati suatu tingkat

kehidupan yang sama yang dapat dikecap di negara

berkembang. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa perbedaan

dalam corak dan pola pengeluaran masyarakat menyebabkan

perbandingan tingkat kesejahteraan di antara berbagai

27

masyarakat yang didasarkan kepada tingkat pendapatan

perkapita adalah kurang sempurna.

d. Komposisi pendapatan nasional

Demikian pula, dua masyarakat dengan pendapatan per

kapita yang sama, tingkat kesejahteraannya akan sangat berbeda

apabila komposisi produksi nasionalnya sangat berlainan. Suatu

masyarakat akan mengecap tingkat kesejahteraan yang lebih

rendah dari yang dicerminkan oleh pendapatan perkapitanya

apabila proporsi pendapatan nasional yang berupa pengeluaran

untuk pertahanan dan untuk pembentukan modal lebih tinggi

daripada di negara lain yang sama pendapatan per kapitannya.

Komposisi produksi nasional seperti ini tidak

memberikan kepada penduduk negara itu kepuasan yang sama

besarnya seperti apabila komposisinya lebih banyak berupa

produksi barang-barang yang akan dikonsumsikan oleh

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan.

e. Perbedaan masa lapang

Ketidaksempurnaan pendapatan per kapita sebagai alat

pembanding kesejahteraan masyarakat bersumber pula dari

perbedaan masa lapang yang dinikmati berbagai masyarakat.

Dalam hal ini, pendapatan per kapita sebagai indeks tingkat

kesejahteraan dikritik dengan alasan bahwa dua masyarakat

yang berpendapatan rata-rata sama besarnya, tidak dapat

dianggap mempunyai kesejahteraan yang sama apabila masa

bekerja untuk memperoleh pendapatan itu berbeda.

28

f. Keadaan pengangguran

Akhirnya, pembangunan ekonomi yang digambarkan

berdasarkan kepada lajunya tingkat pertambahan pendapatan

perkapita dianggap kurang sempurna karena cara demikian

tidak memberikan gambaran mengenai perubahan-perubahan

dalam masalah pengangguran yang dihadapi.

Di samping kenaikan tingkat pendapatan masyarakat,

tujuan penting lain dari pembangunan ekonomi adalah untuk

menciptakan kesempatan kerja. Pembangunan ekonomi yang

dilaksanakan bukan saja harus berusaha agar pendapatan

masyarakat bertambah, tetapi juga harus sanggup mengurangi

jumlah pengangguran yang terdapat di negara berkembang.

Tujuan ini hanya akan dicapai apabila pertambahan kesempatan

kerja berkembang lebih cepat dari pertambahan tenaga kerja.

Menilai kesuksesan usaha pembangunan berdasarkan

kepada data perkembangan pendapatan perkapita saja tidak

akan menunjukkan apakah tujuan menciptakan kesempatan

kerja sebanyak seperti yang diharapkan tersebut dapat dicapai.

Dengan demikian adalah kurang sempurna untuk menunjukkan

hasil-hasil yang dicapai dalam usaha-usaha pembangunan

dengan hanya menunjukkan tingkat pertumbuhan pendapatan

perkapita yang tercapai.7

7 Sadono Sukirno, Ekonomi Pembanguan Proses, Masalah, dan Dasar

Kebijakan (Jakarta: Kencana, 2011), 58

29

2. Pendapatan Pribadi

Pendapatan pribadi dapatlah diartikan sebagai semua jenis

pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa

memberikan suatu kegiatan apapun, yang diterima oleh penduduk

suatu negara. Dari istilah pendapatan pribadi ini dapatlah

disimpulkan bahwa dalam pendapatan pribadi itu telah masuk juga

pendapatan yang tidak tergolong di dalam pendapatan nasional.

Salah satu dari pada pendapatan yang bersifat demikian dalah

pembayaran pindahan.

Setiap tahun berbagai negara terutama negara-negara maju

seperti Amerika Serikat, banyak membuat pengeluaran berupa

pembayaran pindahan. Pembayaran tersebut merupakan pemberian-

pemberian yang dilakukan oleh Pemerintah kepada berbagai

golongan masyarakat dimana para penerimanya tidak perlu

memberikan suatu balas jasa atau usaha apapun sebagai

imbalannya.

Pengeluaran pemerintah yang dapat digolongkan sebagai

pembayaran pindahan antara lain adalah bantuan-bantuan yang

diberikan kepada para penganggur, uang pensuin yang dibayarkan

kepada pegawai pemerintah yang tidak bekerja lagi, bantuan-

bantuan kepada orang cacat, bantuan kepada bekas prajurit, dan

berbagai macam beasiswa yang diberikan Pemerintah. Penerima-

penerima berbagai jenis pendapatan ini tidak perlu melakukan suatu

pekerjaan kepada Pemerintah untuk memperoleh bantuan-bantuan

tersebut. Dengan demikian pembayaran itu bukanlah pendapatan

yang tercipta sebagai akibat dari penggunaan suatu jenis faktor

produksi.

30

Di dalam perhitungan pendapatan nasional didapati pula

suatu bentuk lain dari pembayaran pindahan, dan ia lebih lazim

disebut dengan istilah: subsidi atau bantuan, yaitu bantuan

pemerintah kepada perusahaan-perusahaan yang penting artinya

dalam perekonomian, dan bantuan kepada para petani. di banyak

negara maju para petani dibantu oleh Pemerintah dengan cara

memberikan pembayaran tambahan kepada mereka apabila harga

penjualan produksi mereka di pasar sangat rendah sekali.

Subsidi atau bantuan adalah juga tergolong sebagai

pembayaran pindahan karena penerima subsidi tidak perlu

membayar kembali bantuan-bantuan yang Pemerintah berikan

kepada mereka. Akan tetapi berbeda dengan pembayaran pindahan

yang disebutkan terdahulu, subsidi adalah termasuk kedalam

pendapatan nasional karena subsidi yang diterima oleh perusahaan-

perusahaan dan para petani dari Pemerintah adalah termasuk

kedalam pendapatan nasional yang dihitung menurut harga faktor

(cara produksi). Apabila suatu perusahaan menerima subsidi dari

Pemerintah maka subsidi ini pada akhirnya akan diterima oleh

faktor-faktor produksi, maka ia harus merupakan bagian dari

pendapatan nasional. Ini berarti subsidi bukan saja termasuk dalam

pendapatan pribadi tetapi juga termasuk pendapatan nasioanal.

Pendapatan masyarakat lain yang tidak tergolong kepada

pendapatan nasional tetapi termasuk di dalam pendapatan pribadi

adalah pendapatan yang berupa bunga ke atas hutang negara dan

bunga ke atas pinjaman untuk konsumsi. Sebab-sebabnya kedua-

dua jenis bunga tersebut tidak termasuk sebagai pendapatan

nasional lah diterangkan dalam bagian yang lalu. Karena

31

pendapatan pribadi meliputi semua pendapatan masyarakat tanpa

menghiraukan apakah pendapatan itu diperoleh dari menyediakan

faktor-faktor produksi atau tidak, maka wajiblah kedu-dua jenis

bunga di atas dimasukkan ke dalam pendapatan pribadi.

Uraian yang baru dilakukan menerangkan tentang jenis

pendapatan yang tidak termasuk kedalam pendapatan nasional tapi

merupakan bagian dari pendapatan pribadi. Sekarang baiklah dilihat

pula keadaan yang sebaliknya, yaitu melihat pendapatan yang

tergolong adalam pendapatan nsional tetapi tidak masuk sebagai

pendapatan pribadi. Pendapatan yang dimaksud adalah: (1)

keuntungan perusahaan yang tidak dibagikan, (2) pajak yang

dikenakan pemerintah ke atas keuntungan perusahaan, dan (3)

kontibusi yang dilakukan oleh perusahaan dan para pekerja kepada

dana pensiun.8

E. Pemerataan Pendapatan

Selain pendapatan perkapita, distribusi pendapatan

merupakan faktor penting lainnya yang menentukan kesejahteraan

masyarakat. Faktor ini sering tidak diperhatikan dalam

membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan

perubahannya dari waktu ke waktu. Berdasarkan pengalaman

sejarah negara-negara maju, pada tahap awal pembangunan

ekonomi, distribusi pendapatan cenderung menurun. Akan tetapi

pada akhirnya distribusi pendapatan itu menjadi lebih baik. Namun

demikian, pengalaman negara-negara maju tersebut berbeda dengan

8 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi (Jakarta: Lembaga

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1981), 62

32

apa yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang.

Pengalaman banyak negara-negara sedang berkembang

menunjukkan bahwa dalam proses pembangunan tersebut justru

menyebabkan distribusi pendapatannya menjadi lebih buruk.

Terjadi peningkatan jumlah penduduk yang hidup diabawah “garis

kemiskinan” dan meningkatnya jumlah tenaga yang menganggur.

Keadaan di atas tentu akan menimbulkan ketidakpuasan

terhadap usaha-usaha pembangunan di beberapa negara sedang

berkembang, karena hasil-hasil pembangunan tersebut dianggap

hanya dinikmati oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Ini berarti

bahwa pembangunan ekonomi belum tercapai sepenuhnya. Oleh

karena itu timbul keinginan untuk memasukkan aspek pemerataan

dalam ukuran keberhasilan pembangunan.

Dalam perencanaan pembangunan, masalah yang perlu

mendapatkan perhatian bukan hanya bagaimana mencapai

produktivitas yang tinggi tetapi juga bagaimana agar distribusi

pendapatan relatif merata sekaligus memperhatikan nasib penduduk

yang berada dibawah garis kemiskinan. Tidak semua negara yang

berhasil meningkatkan GNP perkapitanya berhasil juga dalam

memeratakan hasil-hasil pembangunannya. Terdapat “trade off”

antara pertumbuhan dengan distribusi pendapatan, yang membawa

implikasi bahwa pemerataan dalam pembagian pendapatan dapat

dicapai apabila laju pertumbuhan diturunkan. Demikian juga

sebaliknya, pertumbuhan yang tinggi akan disertai kemerosotan

dalam pembagian pendapatan.

Dengan demikian dapat dikatakan, bangsa atau negara yang

berhasil melakukan pembangunan adalah mereka yang disamping

33

tinggi pertumbuhan (produktivitasnya), pendapatan juga

terdistribusi relatif merata. Profesor Dudley Seers, misalnya

menemukakan bahwa : Suatu periode dikatakan sebagai periode

pembangunan jika distribusi atau pemerataan pendapatan menjadi

bertambah baik dari waktu-waktu sebelumnya.9

F. Kesenjangan Pendapatan

Kesenjangan pendapatan bisa diidentifikasi dalam tiga

kelompok besar yaitu:

1. Perbedaan dalam alokasi kepemilikan sumber daya dan faktor

produksi seperti tenaga kerja, modal tanah, dan teknologi.

Mereka yang memiliki sumber daya faktor produksi tersebut

relatif lebih mampu mengakumulasi kekayaan dibandingkan

dengan mereka yang kurang atau tidak memiliki sama sekali

faktor produksi.

2. Ketidaksempurnaan pasar akibat adanya kebijakan ekonomi

yang diskriminatif seperti praktik monopoli, proteksi, subsidi,

bias informasi dan lain-lain. Akibat dari distorsi pasar tersebut

pihak produsen pemilik fasilitas akan menerima keuntungan

yang lebih besar dari yang seharusnya didapat (di atas

kewajaran), sementara dilain pihak produsen tanpa hak istimewa

dan konsumen berada pada posisi yang selalu dikalahkan.

3. Ketimpangan pendapatan juga bisa diakibatkan oleh struktur

perekonomian yang tidak seimbang, baik antar sektor maupun

antar pelaku ekonomi. Adanya kenyataan nilai tukar (term of

trade) antara sektor pertanian dan sektor industri yang timpang

9 Santi R. Siahaan, dkk, Pengantar Ekonomi Pembangunan..., 41

34

dan disparitas gaji antara buruh dengan manajer puncak adalah

sebagian contoh dari rapuhnya struktur perekonomian sehingga

mengakibatkan ketimpangan yang semakin menganga.10

Adelman dan Morris dalam Lincolin mengemukakan

delapan penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan yaitu :

1. Pertambahan penduduk yang tinggi akan memicu penurunan

pendapatan perkapita.

2. Inflasi dimana pendapatan atas uang bertambah namun tidak

diikuti secara proporsional oleh pertambahan produksi

barang-barang.

3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang

padat modal (capital intensive) sehingga presentase

pendapatan dari tambahan modal lebih besar dari pada

presentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga

angka pengangguran pun bertambah.

5. Rendahnya mobilitas sosial.

6. Pelaksaan kebijakan industri subtitusi impor yang

mengakibatkan kenaikkan pada harga barang-barang hasil

industri guna melindungi usaha –usaha golongan kapitalis.

7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang

berkembang dalam perdagangan dengan negara –negara

maju, sebagai akibat adanya ketidakelastisan permintaan

terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang.

8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti

pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.

Masalah pemerataan merupakan suatu hal yang kompleks,

karena sering kali sering berkaitan dengan nilai-nilai sosial suatu

masyarakat. Sebagian masyarakat memandang pemerataan sebagai

suatu tujuan yang bernilai karena adanya implikasi moral dan

hubungan yang erat dengan unsur kelayakan dan keadilan sosial.

10

Ahmad Eran Yustika, Pembangunan dan Krisis Memetakan

Perekonomian Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2002), 97

35

Selain itu, masalah pemerataan juga berkaitan juga dengan upaya

pengentasan kemiskinan, sehingga dapat meningkatkan

kesejahteraan sosial masyarakat.

Dalam setiap upaya pencapaian pemerataan oleh pemerintah

terdapat berbagai rintangan yang harus dihadapi antara lain:

1. Pendanaan yang diperlukan sangatlah besar. Adanya kendala

anggaran disebagian besar negara sedang berkembang kiranya

akan membatasi ruang gerak bagi upaya-upaya pengurangan

tingkat kesenjangan.

2. Upaya tersebut sering kali tidak tepat sasaran karena tidak

mampu menjangkau golongan miskin di negeri tersebut. Hal ini

disebabkan oleh terbatasnya interaksi antara perdesaan dan

sektor-sektor informal (yang merupakan representasi golongan

miskin) dengan institusi-institusi formal, misalnya institusi

keuangan dan tentu saja pemerintah terkait.

3. Adanya hambatan politik, dimana golongan masyarakat

berpendapatan rendah sering kali memiliki kekuatan politik

yang lebih kecil dari pada golongan masyarakat berpendapatan

tinggi. Hal ini tentu saja akan menghalangi setiap upaya

pengalokasian pengeluaran yang ditujukan untuk golongan

miskin.11

11

Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: Unit penerbit dan

Percetakan STIM YKPN Yogyakarta, 2010), 284

36

G. Distribusi Ekonomi Islam: Upaya Mewujudkan Keadilan

Distributif

Keadilan distributif adalah prinsip utama dalam ekonomi

Islam. Sistem ekonomi Islam menghendaki bahwa dalam hal

penditribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan

dan keadilan. Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai

oleh nilai-nilai tauhid dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum

kapitalis, yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan

manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak

mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan

unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara

individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan

masyarakat lainnya.

Sedangkan keadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari

larangan dalam al-Qur‟an (QS. Al-Hasyr [59]: 7) yang berbunyi :

Artinya: Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan

Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari

penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum

kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang

yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara

orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul

kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,

37

Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya

Allah Amat keras hukumannya.(QS Al-Hasyr : 7)12

Maksudnya agar supaya harta kekayaan tidak hanya beredar

di antara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi

kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu

keseluruhan. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi Islam,

penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang harus dihindarkan

dan langkah-langkah dilakukan secara otomatis untuk

memindahkan aliran kekayaan kepada masyarakat yang lemah.

Selain itu, sendi kebebasan sistem ekonomi Islam

memberikan peluang dan akses yang sama dan memberikan hak-

hak alami kepada semua orang. Kepemilikan individu dilindungi

tetapi perlu diimbangi dengan rasa tanggung jawab dan dibatasi

oleh landasan moral dan hukum. Dalam kerangka moral Islam

setiap individu tidak akan melalukan monopoli, tindakan korupsi,

mengabaikan kepentingan orang lain untuk diri sendiri, keluarga

atau kerabat. Semua individu memiliki peluang dan kesempatan

yang sama untuk berusaha dan mengalokasikan pendapatannya

secara efisien tanpa mengganggu keseimbangan ekonomi

masyarakat.

Melalui prinsip-prinsip ekonomi Islam pula, tidak

memungkinkan individu menumpuk kekayaan secara berlebihan

sementara mayoritas masyarakat berada dalam kemiskinan dan

tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Keberhasilan sistem

ekonomi Islam terletak pada sejauh mana keselarasan dan

12 Tim Penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an

Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung, CV

Penerbit Diponogoro,2008)

38

keseimbangan dapat dilakukan antara kebutuhan material dan

kebutuhan akan pemenuhan etika dan moral itu sendiri. Islam

memandu nilai kebebasan dan keadilan ini dalam kerangka tauhid,

yaitu menyadari potensi yang ada pada diri manusia adalah

anugerah ilahi yang harus digunakan untuk pengabdian dan

menjalankan misi moral yang tidak berkesudahan di muka bumi

ini.13

H. Hubungan Antar Variabel

Terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengangguran

yang tinggi dengan semi pengangguran di satu pihak dan

kemiskinan yang meluas dengan distribusi pendapatan yang tidak

adil (tidak merata) dipihak yang lain. Mereka yang bekerja tidak

secara teratur atau hanya bekerja serabutan paro-waktu biasanya

digolongkan diantara mereka yang berpenghasilan sangat miskin.

Mereka yang bekerja dan dibayar secara teratur di sektor

pemerintah maupun swasta termasuk kelompok berpenghasilan

menengah (sedang) atau atas. Akan tetapi kita akan keliru bila

berasumsi bahwa setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan

adalah sama sekali miskin, sedangkan mereka yang bekerja purna

waktu relatif mempunyai penghasilan yang cukup baik. Ini

disebabkan karena banyaknya pekerja di wilayah kota secara

„sukarela‟ menganggur, dalam arti bahwa mereka sedang mencari-

cari pekerjaan yang sesuai atau khusus.

13

Anita Rahmawati, “Distribusi dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan

Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif” Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Kudus, Volume 1, No.1, (Juni 2013), 10

39

Pengharapannya yang tinggi itu barangkali didasarkan pada

kualitas kecakapan atau keterampilan dan pendidikan yang telah

diperolehnya. Mereka menolak menerima pekerjaan yang mereka

anggap kurang sesuai atau bahkan „memalukan‟ dan tidak bersedia

melakukannya, karena mereka merasa memiliki dukungan

keuangan dari sumber-sumber lain (misalnya saudara, kenalan atau

dari tukang-tukang kredit setempat). Orang-orang demikian ini

menurut definisinya digolongkan sebagai pengangguran tetapi tidak

miskin.

Demikian pula, ada banyak individu yang barangkali telah

bekerja secara purna waktu, yaitu bila dilihat dari jumlah jam kerja

perharinya, tetapi walaupun demikian memperoleh penghasilan

yang teramat kecil. Banyak pekerja yang bekerja untuk dirinya

sendiri dibidang-bidang yang dinamakan sektor „informal‟ kota

(misalnya para pedagang, penjaga kaki lima, penyedia jasa kecil-

kecilan, para pekerja dibengkel dan sebagainya) dapat

diklasifikasikan demikian juga. Orang-orang seperti itu, menurut

batasan definisinya dapat digolongkan bekerja penuh (fully

employed) tetapi seringkali tetap miskin.

Walaupun terdapat kekecualian seperti tersebut diatas, yang

menyangkut hubungan antara pengangguran dan kemiskinan, satu

hal tetap benar yaitu bahwa salah satu mekanisme menurunnya

kemiskinan dan ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan di

negara-negara yang sedang berkembang adalah berupa ketentuan-

ketentuan mengenai pengupahan yang cukup serta pemberian

kesempatan bagi si miskin untuk bekerja produktif.

40

Penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih banyak tidak

harus dipandang sebagai satu-satunya jalan keluar untuk

memecahkan permasalahan kemiskinan. Yang lebih diperlukan

adalah langkah-langkah kongkret di bidang sosial maupun ekonomi

yang menjangkau kawasan lebih luas. Namun, ketentuan mengenai

perlunya membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak serta

kesempatan yang lebih luas untuk bekerja harus diusahakan dalam

rangka memecahkan masalah itu. Oleh karena itu, pekerjaan harus

merupakan unsur yang paling penting bagi setiap strategi

pembangunan yang sasarannya adalah mengurangi kemiskinan.14

I. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Menurut penelitian yang dilakukan M. Lukmanul Hakim

tentang kesenjangan dan pengaruh Aglomerasi, PDRB perkapita,

pertumbuhan ekonomi, serta tenaga kerja terhadap kesenjangan

pendapatan di wilayah Tapal Kuda Provinsi Jawa Timur Tahun

2001-2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar

kesenjangan pendapatan di Wilayah Tapal Kuda relatif rendah, hal

ini bisa dilihat dari nilai rata-rata indeks Williamsonnya yang

kurang dari 0,5 di tiap Kabupaten/Kota. Kota Surabaya merupakan

satu-satunya kota yang memiliki nilai indeks Williamson tinggi

diatas 0,5 yang berarti kesenjangannya tinggi dan Kota Probolinggo

adalah Kota dengan tingkat kesenjangan paling rendah yaitu 0,01.

14

Michael P. Todaro, Ekonomi Untuk Negara Berkembang...., 308

41

Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi pada masing-

masing kabupaten/kota di Wilayah Tapal Kuda yang berbeda-beda,

tidak semua variabel bebas dalam penelitian ini signifikan. Secara

parsial variabel aglomerasi dan PDRB berpengaruh signifikan

secara statistik terhadap variabel kesenjangan pendapatan karena

nilai probabilitas t hitung lebih kecil dari α (5%), sedangkan

variabel pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja berpengaruh tetapi

tidak signifikan secara statistik karena nilai probabilitas thitung

lebih besar dari α (5%).

Dari uji F hitung variabel aglomerasi, PDRB, pertumbuhan

Ekonomi, dan Tenaga Kerja secara simultan berpengaruh dan

signifikan secara statistik, karena nilai F hitung lebih kecil dari α

(5%). Variabel independen dalam model ini mampu menjelaskan

variasinya dari variabel dependen sebesar 98,64%. Sedangkan

sisanya 1,36% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model

dalam penelitian. 15

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hadi Sasana,

Universitas Diponogoro Semarang, tentang analisis pengaruh

desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan

kesenjangan antar daerah serta penyerapan tenaga kerja dan

kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa

Tengah, dapat ditarik simpulan bahwa : pertumbuhan ekonomi

berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif

15

M. Lukmanul Hakim, “Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi

Kesenjangan Pendapatan di Wilayah Tapal Kuda Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-

2011,” Skripsi Universitas Jember, 2014

42

terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota di Provinsi

Jawa Tengah.

Lalu kesenjangan ekonomi antar daerah berpengaruh

signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap

kesejahteraan masyarakat di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa

Tengah. Dan tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan

mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan

masyarakat dikabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.16

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Trio Kurnawan dari

Universitas Muhammadiah Malang tentang analisis kesenjangan

pendapatan Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur 2008-2012,

dengan data-data yang digunakan adalah data sekunder yang yang

tidak diambil secara langsung dari lapangan, tetapi data yang sudah

diolah sebelumnya dan dipublikasikan oleh instansi yang

berkompeten bersumber dari data base Badan Pusat Statistik,

seperti data PDRB, data pendapatan perkapita, data jumlah

Penduduk.

Data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis

pertumbuhan, Indeks Williamson Tipologi Klassen Hasil analisis

menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata dari kurun

waktu tahun 2008-2012. Dimana rata-rata pertumbuhan ekonomi

untuk seluruh Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Timur tahun 2009

16

Hadi Sasana “ Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan

Antar Daerah dan Tenaga Kerja Terserap Terhadap Kesejahteraan di Kabupaten/Kota

Provinsi Jawa Tengah Dalam Era Desentralisasi Fiskal,” Jurnal Bisnis urnal Bisnis

Ekonomi (JBE), Vol. 16, No.1, (Maret 2009)

43

sebesar 8.23 %, Tahun 2010 sebesar 7.36 % Tahun 2011 sebesar

7.23 %, tahun 2012 sebesar 7.15.

Analisis kesenjangan pendapatan memakai Indeks

Wiliamson menghasilkan koefisien yang berkisar antara 1.07

hingga 1.14. Nilai indeks tersebut sebenarnya memberikan indikasi

bahwa kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/ kota di Jawa

Timur relatif tinggi dalam kurun waktu tahun 2008 sampai tahun

2012. Pembagian wilayah menurut tipologi Klassen terrdapat 4

tipologi yaitu Tipologi I: Daerah maju dan berkembang pesat yaitu

Kabupaten Gresik. Tipologi II : Daerah berkembang cepat yaitu

Bojonegoro Kota Batu. Tipologi III : Daerah Daerah maju tetapi

tertekan yaitu Sidoarjo, Kota Kediri, Kota Malang, Kota

Probolinggo, Kota Mojokerto, Kota Madiun dan Kota Surabaya,

Tipologi IV: Daerah relatif tertinggal yaitu Pacitan, Ponorogo,

Trenggalek, Tulungangung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang,

Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo,

Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan,

Ngawi, Tuban, Lamongan, Bangkalan, Sampang, Pamekasan,

Sumenep, Kota Blitar, Kota Pasuruan.17

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sebelumnya

karena dalam penelitian sebelumnya tidak meneliti tentang

pengaruh jumlah pencari kerja dan di penelitian ini penulis

bermaksud untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah

17

Trio Kurniawan, “Analisis Kesenjangan Pendapatan Kota/Kabupaten di

Provisi Jawa Tengah Tahun 2008-2012,” Skripsi Universitas Muhammadiah Malang,

2014

44

pencari kerja terhadap kesenjangan pendapatan antar daerah di

Provinsi Banten.

J. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang

perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau

akan terjadi. Hipotesis merupakan pernyataan peneliti tentang

hubungan antar variabel-variabel dalam penelitian, serta merupakan

pernyataan yang paling spesifik.

Hipotesis berupa pernyataan mengenai konsep yang dapat

dinilai benar atau salah jika menunjuk pada suatu fenomena yang

diamati atau diuji secara empiris. Fungsi hipotesis adalah sebagai

pedoman untuk mengarahkan penelitian agar sesuai dengan apa

yang kita harapkan.18

Ho: Diduga tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara X

(Jumlah Pencari Kerja) terhadap Y (Kesenjangan Pendapatan

Antar Daerah di Provinsi Banten).

Ha: Diduga terdapat pengaruh yang signifikan antara X (Jumlah

Pencari Kerja) terhadap Y (Kesenjangan Pendapatan Antar

Daerah di Provinsi Banten)

18

Mudrajad Kuncoro, Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi : Bagaimana

Meneliti dan Menulis Tesis? (Jakarta: Erlangga, 2013), 59