bab ii kajian teori - teori perilaku...
TRANSCRIPT
42
BAB II
KAJIAN TEORI - TEORI PERILAKU KEBERAGAMAAN
DAN KULTUR SOSIOLOGI AGAMA
Bab ini akan menguraikan teori-teori yang menjadi kata kunci dalam
penulisan ini sesuai dengan judul bahasan, yaitu perilaku keberagamaan dan
kultur sosiologi agama masyarakat.
A. Teori Perilaku Agama dan Keberagamaan
1) Teori asal usul Agama ( kepercayaan )
Sedikitnya para sarjana antropologi banyak yang mencatat dan
merumuskan berbagai teori dengan pendektan dan latar belakangnya masing
masing sesuai keilmuanya. Ada dua teori pokok tentang asal usul agama,
diantaranya:
Pertama, bersumberkan pada ajaran-ajaran wahyu bahwa asal muasal
agama adalah dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia,
Kedua, tinjauan teoritis yang lebih menitik beratkan pada tinjauan
antropologis, sosiologis, historis, maupun psikologis yang intinya sama, yaitu
agama merupakan suatu evolusi dari bentuknya sederhana (natural religion)
ke bentuk yang lebih sempurna yang ada pada sekarang ini.1
Dengan demikian, asal usul agama dalam kajian teologis tentu
berdasarkan wahyu yang diyakini para penganut agamanya. Oleh karena itu,
―kebenaran‖ asal-usul agama adalah kebenaran berdasarkan ajaran dan
keyakinan tiap-tiap agama. Asal usul agama dalam kajian teoritis didasarkan
1 E.E Pritchcard, theories of Primitief Religion, Clarendon Press, Oxpford, 1989, hlm.viii dalam
Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.
Pustaka Setia tahun 2004, Hal. 32.
43
pada kajian-kajian empirik berdasarkan teori-teori keilmuan tertentu yang
dihasilkan melalui penelusuran fakta-fakta keagamaan yang ditemukan di
lapangan.
Abbas Mahmoud Al-Akkad,2 untuk kalangan orang primitif mitos-mitos
merupakan bagian dari asal-usul agama. Teori animisme mula dipelopori pada
kurun ke-19 masehi oleh Sir Edawrd Burnett Tylor.3 Menurut beliau,
animisme adalah suatu gambaran kepada bentuk kepercayaan masyarakat
primitif. Teori ini dibina berdasarkan pengamatan beliau kepada kepercayaan-
kepercayaan yang wujud dalam komuniti manusia yang masih primitif.
Hasilnya, beliau telah mempelopori dua teori signifikan. Pertama, kepercayaan
manusia primitif adalah animisme. Kedua, teori evolusi agama yaitu animisme
sebagai kepercayaan tertua dan menjadi asas kepada agama-agama dunia.4
Spencer lebih cenderung asal mula kepercayaan (agama) adalah
pemujaan terhadap roh nenek moyang yang merupakan bentuk ibadah yang
2 Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan sepanjang Ajaran-ajaran Agama dan Pemikiran
Manusia, terjemahan A. Hanafi, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm.14. dalam Muhtar Ghazali
Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun
2004, Hal.33. 3 Edward Burnett Tylor (2 Oktober 1832 - 2 Jan 1917), adalah seorang ahli antropologi
Inggeris dan seorang profesor antropologi di Universiti Oxford, digelar bapa kepada bidang
antropologi moden. Beliau adalah pelopor kepada suatu teori yang menggambarkan kepercayaan
masyarakat primitif, iaitu animisme. Beliau juga pendukung kepada teori evolusi agama dan
menjadikan animisme sebagai batu asas kepada semua kepercayaan-kepercayaan manusia di
dunia. Lihat William H. Swatos dan Peter Kivisto, ―Tylor Edward B.‖ dalam Encyclopedia of
Religion and Society (California: Rowman Altamira, 1998), 528 dan Paul A. Erickson dan Liam D.
Murphy, Readings for a History of Anthropological Theory (Canada: University of Toronto Press,
2013), 29. Dalam Mohd Khairulnazrin bin Mohd Nasir Muhammad Syafee Salihin Hasan Ishak
bin Haji Suliaman KEPERCAYAAN ANIMISME MENURUT PERSPEKTIF SUNNAH
NABAWI DAN AHLI ANTROPOLOGI BARAT: SATU KAJIAN AWAL - JURNAL
PENGAJIAN ISLAM Fakulti Pengajian Peradaban Islam ISSN 1823-7126 / e-ISSN 0127-
8002 - BIL 9, ISU II: 2016. 4 Teori animisme telah dipelopori oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917) dalam bukunya
Primitive Culture: Research Into Development Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art
and Custom yang diterbitkan buat pertama kali pada April 1871.
44
paling tua. Pemujaan terhadap roh nenek moyang ini sulit untuk diterima,
karena pada kenyataanya tidak berlaku untuk setiap masa, sehingga hilang
kehawatiran bentuk penghambaan pada roh-roh itu, namun kepercayaan itu
akan muncul pada orang-orang yang lemah keimanannya.
Presiden de Brosses,5 seorang ahli jiwa menyatakan bahwa kepercayaan
(agama) berasal dari Fetisisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda dan
binatang-binatang oleh orang-orang negro Pantai Afrika Barat, kemudian
berkembang menjadi politeisme dan akhirnya menjadi monoteisme. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh para ahli ilmu jiwa asosiasi pada masa itu, yang
menggambarkan teori roh dan teori jiwa yang meyakini bahwa manusia
primitif pun pada dasarnya dianggap bersifat rasional, sekalipun dalam upaya
menjelaskan fenomenanya masih tanda tanya karena dianggap mentah.
Menurut teori tersebut, semua pengetahuan manusia datang lewat indra. Oleh
karena itu, agama artinya ―tiada kepercayaan sebelum pengindraan‖. Ya‘ni
sentuhan yang memberikan kesan yang paling mendalam tentang kenyataan.
Adapun hal yang tidak dapat diraba oleh manusia seperti matahari dan langit,
memberikan arti infinite ( keterbatasan). Akan tetapi bisa melengkapi materi-
materi untuk memberikan pemahaman tentang ketuhanan.
Selanjutnya, Harun Nasution6 menyajikan beberapa definisi agama
sebagai berikut:
a. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib
5 Dikutip oleh E. Pritchard, Op.Cit,hlm.26 dalam Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan
Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV. Pustaka Setia tahun 2004, Hal.34. 6 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, Jilid I, hlm. 10.
Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm. 66.
45
yang harus di patuhi.
b. Pengikatan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang
mempengaruhi perbuatan manusia.
c. Kepercayaan pada sesuatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup
tertentu.
d. Pengakuan adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
kekuatan gaib.
e. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan
perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam
sekitar manusia.
Dari definisi diatas dapat dipahami dan dicermati bahwa agama bukan
wujud yang berdiri sendiri melainkan melekat dan menyatu pada wujud lain,
yaitu pada diri manusia yang beragama. Kata-kata seperti kepercayaan, sikap,
penerimaan, pengakuan, pengikatan, pemujaan dan kata kata lain yang sering
dipakai untuk merumuskan definisi agama menunjuk sesuatu yang melekat
pada manusia. Agama tidak dipandang sebagai kata benda, tetapi kata sifat atau
kata kerja karena semua definisi ini menunjuk pada keadaan atau aktifitas yang
melekat pada diri manusia.7
Oleh karena itu, setiap definisi pada akhirnya menunjukan teori-teori
realitas dan tempat bahwa agama-agama dipegang dan dipertahankan dalam
pemikiran dan kehidupan manusia.Yang paling menarik atau ditonjolkan dalam
definisi ini adalah pengakuan garis pemisah antara manusia dan dewa, atau
7 Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm.67.
46
pada waktu bersamaan manusia sangat dekat dengan sesuatu yang absolute,
yaitu suatu ketergantungan terhadap kekuatan tertinggi.
Semua itu menggambarkan ketergantungan terhadap Ulittimate Reality,
yang dialami manusia dari waktu ke waktu. Pengalaman agama ini hampir
terdapat pada semua agama, bahkan dialami pula oleh orang-orang yang tidak
beragama8. Wajarlah kalau Dr. Radhakrisnan, seorang professor dari
Universitas Oxford dan mantan presiden India serta pemikir terkemuka dari
monisme Vedanta, menyatakan bahwa: ―semua agama adalah satu dalam
“pengalaman” tetapi bertentangan dalam ―pengungkapan‖ teologinya.‖9
Dengan mengacu pada dasar pemikiran ini, ada dua kategori dalam
mendefinisikan agama.
Kategori Pertama, definisi yang mengacu pada berbagai pandangan
(definisi nominal), ya‘ni ―agama‖, atau dalam pembendaraan Eropa: religion (
Inggris), La religion (Prancis) de religie ( Belanda), die religion (Jerman)
dipergunakan sebagai istilah umum yang mencakup minat-minat manusia
tertentu di seluruh dunia.10 Secara harfiyah, ada yang mendefinisikan religion
“sebagai suatu hubungan‖, ya‘ni suatu hubungan antara manusia dan yang
‗diluar‘(diatas) manusia. Bagi kebanyakan orang-orang Eropa, religion berarti
― hubungan tetap antara diri manusia dan wujud diluar dirinya, yang suci, yang
maha tahu, yang wujud dengan dirinya sendiri, atau dengan istilah populernya
8 Ismail R Alfaruqi, Pengalaman Keagamaan dalam Islam, Terjemahan, PLP2M, Yogyakarta,
1985, hlm. 115. Dikutip Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek
Perbandingan Agama”.hlm.27 9 Robert Brow, Asal Usul Agama, Terjemahan, Tonis, Bandung, 1986, hlm. 116.
10 Depag RI, Ilmu Perbandingan Agama, Proyek Pembinaan PT/IAIN, Jakarta, 1981, hlm.48—
51. Dikutif oleh : Gghazali,Adeng Mukhtar ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek
Perbandingan Agama”.
47
adalah tuhan11. Ada juga yang berpandangan bahwa “agama” bagian
terjemahan dari religion-tersusun dari dua kata, ya’ni “a” tidak “gama”
artinya pergi; jadi agama artinya “tidak pergi‖. Ada yang berpandangan
agama berarti ―teks atau kitab suci‖. Dalam bahasa sansekerta, agama berarti:
―a‖ tidak dan gama ―kacau‖, jadi agama adalah ―tidak kacau atau teratur‖.
Pengertian lain religion adalah ―dien‖ (bahasa Semit) yang mempunyai arti
ganjaran, perhitungan kepatuhan‖ dan lain-lain. Dalam bahasa Arab kata ini
mengandung arti ―menguasai, patuh, utang, balasan dan kebiasaan.‖12
Kategori kedua, mengacu pada definisi riil (teoritis). Banyak yang
mendefinisikan agama berdasarkan hasil survey, yang melihat gejala-gjala
individual maupun kelompok yang mengungkapkan rasa keagamaannya.
Diantaranya adalah pendapat Elizabeth K. Nottingham, seorang sosiolog
mengatakan bahwa agama dan keberagamannya yang hampir tidak
dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi
(batasan) sehingga tidak ada definisi yang memuaskan. Karena “agama
merupakan gejala yang sering terdapat dimana-mana, sehingga sedikit
membantu kita untuk membuat abstraksi ilmiah”. Disamping itu, agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari
keberadaanya sendiri dan keberadaan alam semesta.13 Sementara itu pendapat
11
Lihat, Ugo Bianchi, the History of Religions, E.J. Brill Leiden, 1974, hlm. 201; Juga lihat
Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan Pemikiran Agama, Alhusna, Jakarta, 1984 , hal. 49. Dikutif
oleh Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan
Agama”. 12
Depag, Op. Cit. hlm. 49. 13
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1984,
hlm.3 dalam Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan
Agama”.hlm.26.
48
Edward Burnet Tylor, seorang pelopor antropologi Modern, sejak lama
membatasi agama dengan paham ―animisme‖, secara minimum mendefinisikan
agama sebagai “the beliefs in spiritual beings” (kepercayaan terhadap adanya
roh)14. Pratt mengemukakan bahwa agama sebagai the serious and social
attitude of individuals or communities to ward the power or powers which they
conceive as heving ultimate control ov er their interests and destinies ( sikap
yang serius dan sosial dari individu atau komunitas pada satu atau lebih
kekuatan yang mereka anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap
kepentingan dan nasib mereka).15 Sekalipun tiap-tiap agama memiliki ajaran
dan cara membahasakan diri yang berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari,
kesadaran umum melihat tujuan yang sama. Dalam bahasa teologis-ya‘ni bagi
agama-agama wahyu atau teistis – agama berpretensi untuk membimbing
manusia menuju Tuhan. Agama adalah erivasi normative dari teologi yang
berisi petunjuk-petunjuk menuju Tuhan.16
Wilayah kerja agama adalah kehidupan manusia-manusia konkret historis
dari sejak lahir sampai matinya. Semua agama menjanjikan kebahagiaan
apapun arti perkataan tersebut, namun tidak semua menuju Tuhan karena ada
agama yang atheistis, sekalipun ia seorang atheis pada dasarnya adalah
beragama.17
14
Dikutip oleh Charles J. A Reader‘s Guide to the Great Religion‘s Second Edition, Mac Millan,
New York, hlm. 6-7. dalam Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam kontek
Perbandingan Agama”.hlm.27. 15
Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm.66. 16
Ibid. Hlm.28 17
Imam Ahmad dalam mengantarkan buku, Seri Prisma, Agama dan Tantangan Zaman, LP3S,
Jakarta, 1985, hlm. Viii. Dikutip Gghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan dalam
kontek Perbandingan Agama”.
49
Ada pula satu pendapat tentang agama dari Barbara Hargrove18, seorang
sosiolog menyatakan bahwa definisi agama secara sosiologis akan memberikan
impresi yang betul, kalau tidak, akan jatuh dalam bentuk kesalahan di dalam
pengenalan. Para sosiologis memiliki pokus yang khusus. Mempertimbangkan
terhadap data empiris, seperti tingkah laku, terutama terhadap struktur social
atau perilaku kelompok. Agama merupakan fenomena manusia yang berfungsi
menyatukan kesatuan ritual, social, dan sistem-sistem personality kedalam
suatu lingkungan yang berarti. Secara umum, di sini termasuk komponen-
komponen agama, di antaranya:
1. Komunitas para pengikut (jama‘ah).
2. Mitos-mitos umum yang menafsirkan abstraksi dari nilai-nilai cultural
dalam realitas historis.
3. Tingkah laku ritual, dan Suatu dimensi dari pengalaman yang diakui
karena mencakup sesuatu yang lebih daripada realitas sehari-hari, yakni
‗The Sacred‘ yang suci.19
Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa unsur perilaku yang
ditunjukkan oleh individu dalam menunjukkan keberagamaan di lingkungan
tempat ia hidup bersama masyarakat merupakan hal penting, yang dalam
penulisan ini penulis akan meneliti sikap dan perilaku kelompok Muslim dalam
kehidupan multikultural masyarakat kampung Cibunut desa Cirukem
Kuningan, dengan harapan ditemukan temuan-temuan yang meneguhkan
perlunya pendidikan dan pemahaman agama agar dapat menjalankan fungsinya
18
Barbara Hargrove, The Sosiology of Religion, Classical and Temporary Approaches, Harlan
Davidson USA, 1979, hlm.3. Dikutip Ghazali, Adeng Mukhtar, ―Agama dan Keberagamaan
dalam kontek Perbandingan Agama”. 19
Ibid.hal.29
50
sebagai pemandu kehidupan seorang, khususnya muslim, di mana seluruh
aspek kehidupan seorang muslim yang terkait dengan kehidupannya
sesungguhnya sudah diatur oleh ajaran-ajaran Islam.
Dengan demikian dapat dijelaskan dalam perspektif sosio antropologis
bahwa wujud agama yang sesungguhnya akan dapat dilihat dari sistem perilaku
yang ditunjukan oleh para penganut agama yang bersangkutan. Action,
tindakan amal nyata sebagai wujud perilaku ummat beragama sehari-hari,
seperti halnya bagaimana ummat muslim Cibunut Cirukem dalam
melaksanakan ajaran Islam yang dianutnya serta bagaimana mengamalkan
ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, itulah realitas agama yang
sesungguhnya dapat diteliti, di observasi dan di kaji secara ilmiah, sehingga
dapat menjelaskan makna agama yang sebenarnya.20
Apabila semua definisi dicermati seksama, seperti kata-kata
kepercayaan, sikap, penerimaan, pengakuan, pengikatan, pemujaan dan kata-
kata lain yang sering jadi rujukan definisi agama, maka dipahami bahwa
agama bukan berdiri sendiri melainkan melekat dan menyatu pada wujud lain,
yaitu : pada diri individu manusia yang beragama dan bermasyarakat.
2) Arti Keberagamaan dan Tingkatannya.
Secara bahasa, agama bukanlah kata sifat, keadaan, atau kata kerja.
Kata yang mengandung makna sifat atau keadaan adalah keberagamaan,
yaitu kata dasar agama yang dibentuk menjadi beragama, lalu diberi imbuhan
ke- dan -an sehingga menjadi keberagamaan. Dalam bahasa Indonesia, kata
20
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Penerbit STAIN PRESS
CIREBON/CAKRAWALA Yogyakarta, Oktober 2007.hal. 106
51
kata yang mendapat imbuhan ke- dan –an mengandung makna, sebagai sifat
atau keadaan, seperti kebekuan (keadaan membeku), kebesaraan (keadaaan
membesar), kerajinan, kepekaan, dan lain lain. Keberagamaan berarti keadaan
atau sifat sifat orang beragama, yang meliputi keadaan, corak atau sifat
pemahaman semangat dan tingkat kepatuhannya untuk melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, dan keadaan perilaku hidupnya sehari-hari setelah ia
menjadi penganut suatu agama. Dari sinilah muncul istilah Islam abangan,
Islam santri, Islam liberal dan lain-lain.
Pandangan lebih jauh, dapat dicermati bahwa penerimaan, kepercayaan,
pengakuan, sikap, dan lain-lain, yang ada pada sekelompok orang tidak pernah
sama meskipun mereka seagama. Perbedaan itu tidak membuat mereka
berbeda agama. Agamanya tetap satu. Yang berbeda pada mereka bukan
agamanya, melainkan keberagamaanya, yaitu corak dan kadar pemahaman
serta cara dan kualitas pengamalannya. Perbedaan keberagamaan bisa saja
terjadi pada setiap individu dalam suatu kelompok penganut agama yang
sama.21
Menurut dister,22 keberagamaan berarti religiusitas, karena adanya
internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Oleh karena itu, Berbicara tentang
tingkat keberagamaan berarti berbicara tentang religiusitas seseorang dalam
kehidupannya. Religiusitas berasal dari bahasa latin religio, akar katanya
religure yang berarti mengikat. Mengandung makna pada umumnya religi
21
Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.
Hlm.86 22
Dister, N.S., Pengalaman dan motivasi Beragama, yoyakarta: kanisius, 1988, hlm.5. dalam
Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015.Hlm.87
52
(agama) memiliki aturan dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh pemeluknya dan semua itu untuk mengikat seseorang atau sekelompok
orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Keberagamaan atau religiusitas berasal dari Bahasa Inggris ―religiosity”
dari akar kata ―religy‖ yang berarti agama. Religiusity merupakan bentuk
kata dari ―religius” yang berarti taat kepada agama.23
Menurut Glock dan Stark,24 dimensi keberagamaan (religiusitas) terdiri
dari lima, yaitu : dalam bukunya American Piety: “The Nature of Religion
Commitmen”, menyebut ada lima dimensi agama dalam diri manusia, yakni
(1) dimensi keyakinan (ideologis), (2) dimensi peribadatan dan praktek
keagamaan (ritualistic),(3)dimensi penghayatan (eksperensial), (40) dimensi
pengamalan (konsekuensial) dan (5) dimensi pengetahuan agama
(intelektual). Oleh karena itu agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan,
sistem nilai, sistem perilaku yang terlembagakan. Semuanya berpusat pada
persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Seluruh
sistem tersebut berpusat pada satu konsep, yaitu ketuhanan. Maksudnya agama
merupakan sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan kekuatan
adikodrati, yang dipandang sakral (suci atau kudus).
23
E. Pino dan Twittermalls, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris, cet XII
(Jakarta : PT. Prandnya Paramita, 1980), hlm. 37 24
Dalam Roland Robertson, op.cit.,hlm.291 dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan
Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015. Hlm.87. Dan dalam Robert H. Thoules,
Pengantar Psikologi Agama,hlm.10.
53
Jalaluddin Rakhmat mendefinisikan keberagamaan sebagai perilaku
yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash.25 Nash
merupakan sumber ajaran yaitu berupa teks baik lisan maupun tulisan yang
sakral dan menjadi sumber rujukan bagi pemeluk agama. Untuk agama
Islam Nashnya adalah al-Qur‘an dan al-Hadits.
Keberagamaan dapat di definisikan sebagai segala perwujudan dari
pengakuan seseorang terhadap sesuatu agama, tetapi keberagamaan
bukanlah semata-mata karena seseorang mengaku beragama melainkan
bagaimana agama yang dipeluk itu mempengaruhi seluruh hidup dan
kehidupannya. Dengan kata lain keberagamaan dapat diartikan sebagai
realisasi dari ketaatan dan keterikatan manusia kepada aturan atau hukum yang
tertuang dalam ajaran agama.
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fitrah adalah sesuatu
yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Fitrah
merupakan bagian dari internal yang mampu membedakan hakiki manusia dan
hewan, baik manusia yang lahir di negara komunis, maupun beragama, lahir
dari kalangan primitif maupun modern, lahir dari orang tua shalih maupun
orang jahat, menurut fitrahnya mempunyai potensi beragama.26 Beragama
berarti mengadakan hubungan dengan sesuatu yang kodrati, hubungan
makhluk dengan kholiknya, hubungan ini mewujudkan dalam sikap batinnya
serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam
25
Jalaluddin Rakhmat, Metodologi Penulisan Agama dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed) Metodologi Penulisan Agama Sebuah Pengantar,( Yogyakarta : Tiara Wacana, 1989), hlm. 93. (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), 26
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 32.
54
sikap kesehariannya.27 Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia.
Bicara real dalam konteks kehidupan sehari-hari, terkadang sulit untuk
membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau
interpretasi dari agama. Kalau sesuatu yang murni agama, berarti berasal dari
Tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas, tapi kalau hasil pemikiran
manusia, agama berarti berasal dari selain Tuhan (manusia), bersifat temporal,
suatu waktu akan berubah, dan tidak mengandung nilai sakral. Pada aspek
realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi
tumpang tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan
hasil pemikiran manusia yang di jadikan nilai agama, baik sangaja atau tidak.
Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah
berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap
berdosa bagi yang berusaha merubahnya.28
Pengingkaran terhadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor
tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-
masing, karena kembali kepada fitrah beragama. Jiwa beragama atau
kesadaran beragama menuju kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan
dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan
kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallaah maupun
27
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 375. 28
Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN SAKRAL
MENURUT EMILE DURKHEIM), http://downloaded.portalgaruda.org/article.php.
55
hablumminannaas.29 Namun untuk meniadakan sama sekali dorongan rasa
keberagamaan yang a moral tampaknya sulit sekali dilakukan, sekalipun
manusia memiliki unsur batin yang cenderung untuk mendorongnya tunduk
kepada dzat yang ghoib. Kedudukan ini merupakan bagian dari faktor
internalisasi nilai agama manusia yang dalam psikologi kepribadian
dinamakan personality (diri) atau hati nurani (fitrah beragama atau
conciensues of man religiusitas). Artinya : membutuhkan proses
pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap
nilai-nilai agama.30 Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Ar-Rum ayat
30 Allah SWT berfirman:
هكفأقم ينوج رةحنيفاللد ذلكالللخل قتب ديللاعلي هاالناسفطرالتياللفط
ين ثرولكنال قي م الد ونلاالناسأك يع لم
Artinya : ‖Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui‖.
Inti dari kehidupan beragama adalah penghayatan hubungan manusia
dengan Allah, SWT. Secara psikologis, penghayatan ini membawa manusia
kedalam pengalaman transendental, pengalaman yang mengatasi dunia realnya
sendiri. Pengalaman transendental, secara pisikologis membawa manusia pada
29
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 31. 30
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 31.
56
paham pundamental tentang agamanya. Selama nilai pundamental tersebut
memperdalam penghayatan iman seseorang terhadap agamanya tidak
mengganggu eksistensi orang lain, maka hal itu, termasuk dalam positif.
Orang yang memiliki religiusitas beragama baik cenderung memiliki
fanatisme agama kuat. Namun sikap fanatisme agama yang berlebihan akan
menimbulkan sikap sentimen agama yang tinggi. Ia hanya beranggapan agama
dialah yang paling suci dan beranggapan sementara agama lain adalah musuh
bahkan sering tidak berprikemanusiaan.
Oleh karena itu, melihat kondisi tersebut, ada tiga pola atau klasifikasi
tentang klaim kebenaran yang diperankan oleh para pemeluk agama, yaitu
sebagai berikut.31
a. Eksklusivisme, yaitu kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu
secara eklusif. Artinya sikap ini beranggapan bahwa ajaran yang paling
benar hanyalah agama yang dianutnya. Sedangkan agama lainya sesat
dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan
penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan.32
b. Inklusivisme, Yaitu klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Klaim
Inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah antara eksklusivisme
dan pluralisme. Arinya berpandangan diluar agama yang ia peluknya
pun juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh agama yang ia
31
Raimundo Panikar, Dialog Intra Religius, Yogyakarta : Kanisius, 1994, hlm.18 dan jhon Hick
dalam bukunya Problems of Religious Pluralism, Houndmills, B asingstoke: The Macmillan Press,
1985. Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober
2015. Hlm.88-90. 32
. Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.
Pustaka Setia tahun 2004, Hal.152. Dalam Adon Nasrullah Jamaluddin, Agama dan Konflik
Sosial,PT. Pustaka Setia,Oktober 2015. Hlm.88-90.
57
peluknya.
c. Pluralisme, Yaitu sama istilah dengan paralelisme, artinya
penggabungan. Sikap teologi terekpresikan dalam macam-macam
rumusan, misalnya : ―agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama
syah untuk mencapai kebenaran yang sama‖. ―Setiap agama
mengekpresikan bagian penting sebuah kebenaran‖.33
Dari ketiga pola diatas, menurut hemat penulis bahwa persoalan apa
yang terjadi di masyarakat Cibunut Cirukem merupakan bagian dari pola
pluralisme. Karena satu bagian kelompok dalam mengekpresikanya masing
masing memiliki kebenaran dan memiliki perilaku keberagamaan dalam
penyikapan para penganut agama terhadap ajaran Tuhan.
B. Konsep Sosiologi Agama.
1. Pengertian Sosiologi Agama.
Pendekatan sosiologis dibedakan dari pendekatan studi agama lainya
karena fokus perhatiannya pada interaksi antara agama dan masyarakat.34 Studi
sosiologis terhadap agama tidak hanya memberi perhatian pada dependensi
keyakinan dan komunitas keagamaan terhadap kekuatan dan proses sosial,
melainkan juga kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaan dalam
dunia sosial. Lebih lanjut, agamawan sendiri dalam menyandarkan pembahasan
dan penjelasan sosiologis tentang naik turunnya beragam model keagamaan di
33
Muhtar Ghazali Adeng, Agama dan Keberagamaan dalam kontek Perbandingan Agama, CV.
Pustaka Setia tahun 2004, Hal.158. 34
Peter Connolly (ed), ―Aneka Pendekatan Studi Agama” PT LkiS Printing Cemerlang Cemerlang
Yogyakarta, hal.271.
58
dunia modern, dan yang belum modern dan sekte-sekte kecil kecil atau
gerakan-gerakan keagamaan baru yang mncari legitimasi sosiologis atas
kebebasan keberagamaan yang mereka upayakan dalam menghadapi serangan
terhadap integritasnya, pembatasan-pembatasan birokratis, atau legal terhadap
aktivitas mereka.35 Untuk lebih jelasnya penulis definisikan terlebih dahulu
arti Sosiologi Agama untuk lebih memahaminya, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, sebagai landasan kerja, penulis pakai definisi Dr. W. Goddijn
yang berbunyi sebagai berikut: Sosiologi Agama ialah bagian dari Sosiologi
Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan
positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari
struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan
dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.36
Kedua, Seorang ahli Sosiologi Agama di Indonesia, Hendropuspito,
menyatakan : ―Sosiologi Agama ialah suatu cabang dari Sosiologi
Umum yang mempelajari masyarakat agama secara Sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.‖37 Segi-segi penting
yang hendak ditonjolkan dalam definisi itu antara lain:
a) Sosiologi Agama adalah cabang dari Sosiologi Umum.
35
Peter Connolly (ed), ―Aneka Pendekatan Studi Agama” PT LkiS Printing Cemerlang Cemerlang
Yogyakarta, hal.273. 36
D. Hendro Puspito, O. C. Sosiologi Agama, Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta, dan B. P. K. Gunung Mulia, Jakarta, 1983, Cetakan I, halaman 7. 37
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Penerbit P. T. Rosda Karya, Bandung, 2000, hal.46.
59
b) bahwa Sosiologi Agama adalah sungguh ilmu sebagaimana Sosiologi
Umum adalah benar-benar suatu ilmu.
c) Tugasnya, mencari keterangan ilmiah.
Ketiga, Menurut kamus Sosiologi adalah Sociology of Religion atau
Sosiologi Agama adalah Sosiologi yang melibatkan analisa yang
sistematik mengenai fenomena agama dengan menggunakan konsep dan
metode Sosiologi.38
Secara sederhana, sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang
hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat
secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi
berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan
yang berbeda. Sosiologi agama dapat diartikan juga sebagai studi tentang
fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi
agama selalu berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip umum mengenai
hubungan agama dengan masyarakat. Di lain pihak, ada juga yang mengatakan
bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang
mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-
keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri
dan masyarakat luas pada umumnya.39
38
Hartini,G.Kartasapoetra,Kamus Sosiologi dan Kependudukan,BumiAksara,Jakarta,1992,hlm
397. 39
D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1979, hlm.8. dalam
Yesmil Anwar, SH., M.si dan Adang, SH., MM. dalam ―sosiologi untuk universitas” PT Refika
Aditama, Cetakan Kesatu, Maret 2013. Hal.305 dan dalam Thomas F. O‘dea, Sosiologi Agama
Suatu Pengenalan Awal, Raja Wali Press, Jakarta, 1990, hal.28
60
Dari pengertian di atas dapat menjelaskan: apa itu Sosiologi Agama; apa
fungsinya; bagaimana cara bekerjanya. Kalau Sosiologi Umum
bertugas mencapai hukum kemasyarakatan yang (berdaya laku) seluas
mungkin bagi kehidupan masyarakat umumnya; maka Sosiologi Agama
bertugas mencapai keterangan-keterangan ilmiah tentang masyarakat agama
khususnya.40
Keberadaan sosiologi agama bisa dikatakan untuk mencari dan
menentukan apa sebenarnya sosiologi agama itu. Emile Durkheim dapat
memberikan jawabanya dari karyanya, yaitu The Elementary Forms of
Religious Life (1961). Dalam studinya, Durkheim berusaha memasukan
keanekargaman agama ke dalam sebuah bentuk kesatuan agama. Kajian klasik
sosiologi bersifat pengantar dan memuat beberapa kesimpulan untuk
membantah definisi-definisi agama yang telah ada sebelumnya. Definisi-
definisi tersebut cenderung memandang agama sebagai usaha salah kaprah
manusia memahami dunia dengan merujukan segala sesuatu kepada konsep-
konsep semisal ―Tuhan‖, ―roh‖, atau ―jiwa‖.41
Emile Durkheim, mengatakan bahwa agama hanya bisa dipahami dengan
melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas
masyarakat dibawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum.42 Maka
agama didefinisikan sebagai sesuatu yang membagi dunia menjadi yang sakral
40
Hendropuspito, Op. Cit., halaman 8. 41
Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, cetakan pertama April 2012 (Edisi
Baru), PT. IRCiSoD Wonosari Yogjakarta, Hal. 33. 42
Idem, Hal.33.
61
dan yang profan; konsekuensi sosial praktek-praktek yang diarahkan kearah
yang sakral adalah penciptaan dan reproduksi kesadaran kolektif (consciense
collective), sebuah kesatuan sosial yang mengikat seluruh anggotanya ke dalam
unit-unit yang homogen.
Berdasarkan definisi ini, agama-agama manusia dapat saja berbeda-beda
rupanya, tapi tetap mendasarkan diri pada satu tema sentral, karena agama-
agama tersebut dibangun diatas dasar ―struktur elementer‖ tadi. Dengan
menerima definisi agama ini sebagai “fakta sosial” kolektifitas manusia,
masalah agama yang lebih mendalam nampaknya hilang dari sosiologi
Durkheim, seolah-olah tidak ada yang rumit dalam persoalan agama.43
Sosiologi lahir karena keinginan untuk memahami kehidupan sosial
dan bagaimana orang bertindak di dalamnya. Ilmu ini berkembang seiring
dengan berlangsungnya evolusi sosial, politik dan budaya. Melalui obyeknya
pula (di atas segala ilmu lainnya) menjadi cermin zamannya: ia mereflesikan
nilai-nilai, kekhawatiran, hubungan-hubungan sosial, perma salahan
ekonomi dan politik yang dihadapi pada masanya.44 Sisi pertama
perubahan ini menyangkut sifat dasar masyarakat itu sendiri. Sosiologi juga
bertujuan mendeskripsikan masyarakat dan fungsinya sekonsisten mungkin.
Para sosiolog pertama berusaha memberi ciri terhadap kedua hal yang silih
43
Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, cetakan pertama April 2012 (Edisi
Baru), PT. IRCiSoD Wonosari Yogjakarta, Hal.34. 44
Anthony Giddens dkk., Sosiologi Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Terj. Ninik Rochani
Sjams, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004, Cetakan I, halaman 12.
62
berganti berlangsung di depan mata mereka.45 Yaitu antara komunitas
masyarakat dan masyarakat itu sendiri.
Menurut pandangan sosiolog, agama yang terwujud dalam kehidupan
masyarakat adalah fakta sosial. Sebagai suatu fakta sosial, agama
dipelajari oleh sosiolog dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Disiplin
ilmu yang dipergunakan oleh sosiolog dalam mempelajari masyarakat
beragama itu disebut Sosiologi Agama. Sosiologi Agama adalah suatu
cabang ilmu yang otonom, muncul sekitar akhir abad ke 19. Pada
prinsipnya ilmu ini sama dengan Sosiologi Umum, yang membedakannya
adalah obyek materinya. Sosiologi Umum membicarakan semua fenomena
yang ada pada masyarakat umum, sedangkan Sosiologi Agama
membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial, yaitu agama
dalam perwujudan sosial. Seorang ahli Sosiologi Agama di Indonesia
Hendropuspito menyatakan, ―Sosiologi Agama ialah suatu cabang dari
Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara Sosiologis guna
mencapai keterangan-keterangan ilmiah yang pasti demi kepentingan
masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.‖46
Sosiologi mampu mempelajari masyarakat secara umum, baik
masyarakat agama ataupun masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Selain ilmu sosiologi, ilmu antropologi juga mempelajari masyarakat, tapi
lebih cendrung kepada kebudayaannya dan biasanya ilmu antropologi
lebih mempelajari masyarakat yang masih primitif, sedangkan ilmu sosiologi
45
Ibid,. halaman 16. 46
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Penerbit P. T. Rosda Karya, Bandung, 2000, hal. 46.
63
mempelajari masyarakat yang sudah maju atau masyarakat modern. Pada
awalnya, pengertian sosiologi hanyalah ilmu yang mengkaji masyarakat.
Pembelaan dan pengaruh Durkheimlah yang menyebabkan Sosiologi
mendapat tempat dalam kehidupan modern, mulai dari masalah pemerintah,
ekonomi, pendidikan ataupun forum-forum diskusi umum yang lain, mulai
dari kampus sampai acara talk show di televisi.47 Menurutnya, hanya
sosiologilah yang akan bisa membantu memahami gejolak masyarakat yang
bergerak di atas kaki mereka sendiri. Durkheim meyakini bahwa moralitas
yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dan menjadi
patokan bagi seluruh anggota kelompok tidak bisa dipisahkan dari agama.
Moralitas dan agama bahkan juga tidak bisa dipisahkan dari kerangka sosial.
Kita tidak bisa memahami keduanya tanpa memperhatikan konteks sosial,
sehingga setiap kali konteks tersebut berubah, maka agama dan moralitas
pun akan berubah.48
Fokus Sosiologi Agama Durkheim adalah fungsi yang dimainkan
agama dalam menjembatani ketegangan itu dan dalam menghasilkan
solidaritas sosial, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada
tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya baik dari suku lain,
orang-orang yang menyimpang atau pemberontak dari dalam suku itu sendiri,
maupun dari bencana alam. Agama menyatukan anggota suatu masyarakat
melalui deskripsi simbolik umum mengenai kedudukan mereka dalam
kosmos, sejarah dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu.
47
Daniel L. Pals, Dekonstriksi Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama, Terj. Inyiak Ridwan Muzir,
M. Syukri, IRCiSoD, Yogyakarta, 2001, halaman 130-131 48
Ibid., halaman 138.
64
Agama juga mensakralkan kekuatan atau hubungan-hubungan yang
terbangun dalam suku.
Oleh karena itu, agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral,
mengikat anggota masyarakat ke dalam suatu proyek sosial
bersama, sekumpulan nilai dan tujuan bersama.49
2. Obyek Kajian Sosiologi Agama.
Tempat Sosiologi Agama sudah diterangkan dalam definisi Sosiologi
Agama sendiri. Ia merupakan cabang Sosiologi Umum. Maka Sosiologi
Agama merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia
bukanlah ilmu yang sakral; bukan ilmu teologi, tetapi ilmu profan, yang
positif dan empiris; ilmu yang dilakukan dan dibina oleh sarjana ilmu
sosial entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan
untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan
untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat
agama.50 Jadi, dapat dikatakan bahwa Sosiologi Agama sebenarnya adalah
sebuah ilmu yang mempelajari segala bentuk masyarakat agama khususnya
dan masyarakat modern umumnya.
Maksudnya adalah institusi-institusi yang sebenarnya bisa diamati
secara obyektif. Institusi tersebut bisa hidup karena adanya individu-individu
tersebut. Namun, satu hal yang esensial adalah bahwa representasi itu bersifat
kolektif atau berkelompok.
Menurut Durkheim, sosiologi agamanya memiliki tiga prinsip obyektif.
49
Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Pen. LkiS,
Yogyakarta, 1999, halaman 275. 50
Hendropuspito, Op. Cit., halaman 10.
65
1. Sosiologi agamanya hendak menganalisa agama yang paling
sederhana yang pernah diketahui manusia, yaitu totemis suku
amborigin di Australia. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan
bentuk-bentuk paling ―elementer‖ bukanlah asal usul primer secara
historis, akan tetapi bentuk-bentuk secara struktural menjadi basis dan
landasan.
2. Tujuan studinya untuk menempatkan asal mula terciptanya konsep-
konsep pemikiran atau katagori fundamental. Sebagai contoh,
Durkheim mengatakan bahwa kategori-kategori dasar seperti waktu,
ruang dan sebab akibat lahir dari bentuk-bentuk organisasi sosial,
bukan dari pengalaman dan penyelidikan individual. Dalam konsep-
konsep tertentu merupakan ―representasi kolektif dan kekuatan
otoritatif tadi bersifat sosial‖, ―cara pikir kita adalah cara hidup kita‖.
3. Menganalisa terhadap totemisme untuk membentuk generalisasi
hakikat dan fungsi universal dari agama dalam setiap bentuk
hubungan sosial.51
Secara umum obyek studi Sosiologi Agama dibagi menjadi dua yaitu
sasaran langsung (obyek material) dan sudut pendekatan (obyek formal).
a. Sasaran Langsung (Obyek Material)
Sosiologi Agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya
yang langsung. Seperti masyarakat non agama umumnya, demikian
pula masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitutif seperti
51
Bryan S. Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, cetakan pertama April 2012 (Edisi
Baru), PT. IRCiSoD Wonosari Yogjakarta, Hal.92.
66
misalnya kelompok-kelompok keagamaan, institusi-institusi religius yang
mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri baik ke dalam maupun ke luar
menurut norma-norma dan peraturan-peraturan yang ditentukan oleh agama.
Masyarakat agama yang demikian itu akan disoroti secara berturut-turut
struktur dan fungsinya, pengaruhnya terhadap masyarakat luas umumnya dan
atas stratifikasi sosial khususnya, teristimewa mengingat adanya kesadaran
dan kohesi kelompok religius yang mempunyai sifat tersendiri. Sudah tentu
tidak akan dilupakan untuk mengkaji perubahan-perubahan yang disebabkan
oleh agama baik yang positif maupun yang negatif, seperti kerukunan antar
golongan agama dan konflik-konflik yang sering terjadi. Demikian juga
fenomena jenuhnya organisasi lembaga-lembaga keagamaan yang tidak selalu
membawa berhati-hati, bahkan sering menghambat laju modernisasi para
penganutnya.
Bila dikatakan bahwa yang menjadi sasaran adalah masyarakat agama.
Sesungguhnya yang dimaksud bukanlah agama sebagai suatu sistem ajaran
(dogma dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ini sudah mengejawantah
dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata atau dengan kata lain agama
sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan
dialami banyak orang. Demi jelasnya Sosiologi Agama tidak membuat
evaluasi mengenai ajaran dogma dan moral yang diyakini pemeluk-
pemeluknya sebagai berasal dari ―dunia luar‖, dunia sakral yang jauh
berbeda secara esensial dengan dunia empiris dan oleh karenanya juga tidak
dapat disentuh oleh pengkajian empiris. Sebab memberi penilaian atas
67
nilai-nilai adikodrati (supra empiris) adalah tugas khusus dari teologi
dogmatik dan teologi moral dan bukan kompetensi Sosiologi Agama. Ilmu
yang terakhir ini hanya mengkonstatasi (menyaksikan) akibat empiris
kebenaran-kebenaran ―supra empiris‖, yaitu yang disebut istilah masyarakat
agama dan itulah sasaran langsung dari Sosiologi Agama. Masyarakat
agama ialah suatu persekutuan hidup (entah dalam lingkup sempit atau luas)
yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.52
b. Sudut Pendekatan (Obyek Formal).
Kalau ilmu Ketuhanan (teologi) mempelajari agama dan masyarakat
agama dari kaca mata ―supra empiris‖ (baca menurut kehendak
Tuhan), maka Sosiologi Agama mempelajarinya dari sudut empiris
sosiologis. Dengan kata lain, yang hendak dicari dalam fenomena agama itu
adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai
keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi
masyarakat manusia.
Lebih kongkrit misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan
mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut
mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan; mewarnai
dasar dan haluan negara; mempengaruhi terbetuknya partai-partai politik
dan golongan non politik; memainkan peranan dalam munculnya strata
(lapisan) sosial, dalam lahirnya organisasi-organisasi; seberapa jauh agama
ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, sekularisasi, fanatisme,
52
Ibid., halaman 8-9.
68
bentrokan dan lain sebagainya. Jadi hal-hal yang disebut dalam contoh di atas
yang berkaitan erat dengan masalah agama, Sosiologi Agama
menyorotinya dari sudut sosiologis. Sosiologi Agama melalui
pengamatan dan penulisan mau mencari keterangan-keterangan ilmiah
untuk dipergunakan sebagai sarana meningkatkan daya guna dan fungsi
agama itu sendiri demi kepentingan masyarakat agama yang bersangkutan
khususnya dan masyarakat luas umumnya.53
Konsep agama berangkat dari latar belakang yang sama dan dari dasar
yang sama pula bahwa agama harus adanya sebuah keyakinan pada agama
dengan adanya pengakuan manusia terhadap kekuatan yang berada di luar
dirinya, yang disebut Tuhan. Pengakuan itu mendorong manusia untuk
melakukan hubungan spiritual dengan zat Tuhan yang diyakininya. Sepanjang
aktivitas masyarakat mengandung unsur kepercayaan terhadap kekuasaan
Tuhan, sepintas saja sudah dikatakan itu adalah agama. Tetapi tidak cukup
sampai sebatas keyakinan semata. Karena menuntut konsekuensi dari
keyakinan, pengakuan, dan hubungann dengan Tuhan, melahirkan berbagai
bentuk pengabdian dan persembahan. Wujudya di kenal dengan ibadah. Oleh
karena itu, ada faktor-faktor penting yang dimiliki agama,54 yaitu :
a) Adanya sistem keyakinan/kepercayaan pada Tuhan sebagai pencipta.
b) Adanya sistem / peraturan tata cara yang mengatur pelaksanaan
persembahan pada Tuhan yang ia yakini.
c) Adanya kitab suci sebagai pedoman bagi para pemeluknya.
d) Adanya Rasul yang menyampaikan ajaran Tuhan agar dipatuhi segala
53
Ibid., halaman 9-10. 54
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN
PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal.285.
69
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Banyaknya klasifikasi agama dilihat dari berbagai segi, tentunya punya
arti penting fungsi agama bagi manusia dalam menjalani kehidupanya,
diantaranya :
a) Agama satu keharusan bagi masyarakat karena manusia sebagai
mahkluk sosial.
b) Agama bagi manusia merupakan kendali dari perilaku kebablasan.
c) Agama memelihara hak azasi, mencegah penganiyayaan dan
merampas hak-hak orang lain.
d) Agama membantu lahirnya kesejahtraan individu dan masyarakat.
e) Agama menjaga masyarakat untuk kebaikan dan ketentramannya.55
Searah dengan teori positivisme,56 secara sosiologi antropologis bahwa
cara berpikir manusia mengalami perkembangan. Proses berpikir manusia
dalam menafsirkan dunia berkembang secara evolusi, melalui tahapan religius,
metafisika dan positivisme. Pada awal perkembangannya akal budi manusia
menggunakan gagasan-gagasan yang bersumber dari agama untuk
menerangkan gejala-gejala kejadian alam. Seperti berkembangnya pengetahuan
manusia tentang zat Tuhan. Awalnya manusia hidup dalam kesederhanaan,
kemudian diawali dengan rasa takut yang luar biasa pada benda-benda alam,
seperti angin taufan dapat menumbangkan pohon-pohon, api yang menjilat
dan membakar hangus, air bah tsunami yang bergelombang menimbulkan
banjir, gunung-gununng berapi menyemburkan kawah panas. Maka rasa takut
55
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN
PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal.286.dan hal 99. 56
Aguste Comte [1798-1857] adalah seorang filosof Perancis yang menjelaskan evolusi
peradaban manusia dalam tiga tahapan, yaitu : teologi, metafisik dan positivisme. Teori
Positivisme, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh hanya melalui pengamatan
mendalam terhadap realitas fakta.
70
manusia mendorong hatinya untuk melakukan persembahan terhadap kekuatan
alam, agar alam tidak murka dan menimbulkan bencana. Maka lahirlah agama
dengan basis kepercayaan pada dewa angin, dewa api, dewa gunung, dan lain-
lainya. Secara filosofis pengetahuan masyarakat dengan kepercayaan pada
benda, melahirkan faham materialisme, kalau pemujaan pada roh-roh halus
dianggap mampu memberikan keberkahan, maka lahirlah faham animisme,
atau kepercayaan pada benda-benda alam, maka lahirlah faham dinamisme.57
Dengan demikian, secara sosiologis Antropologi adalah ilmu tentang
manusia, masa lalu dan masa kini, yang menggambarkan manusia melalui
pengetahuan ilmu sosial dan ilmu hayati (alam), dan juga humaniora.
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti
"manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian
"bernalar", "berakal") atau secara etimologis antropologi berarti ilmu yang
mempelajari manusia).58
Agama yang mengandung kepercayaan dengan berbagai praktek
pengamalan ibadahnya dalam kehidupan masyarakat adalah merupakan hal
sosial. Agama bagian dari masyarakat, tidak ada agama tanpa masyarakat,
begitu pula sebaliknya secara antropologis tidak ada masyarakat yang tidak
beragama. Karena itu, kajian agama tidak bisa lepas dari rumpun kajian ilmu-
ilmu sosial yang pada awalnya berinduk pada ilmu sosiologi, Psikologi dan
57
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN
PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal.287. 58
https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
71
Antropologi.59
3. Pendekatan Sosiologi Ala Durkheim tentang Agama.
Pendekatan-pendekatan sosiologi yang digunakan Durkheim, sangat
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran August Comte (1798-1857),
selanjutnya ditulis Comte. Selain Comte, Durkheim juga dipengaruhi dan
mengikuti tradisi yang digariskan oleh Saint Simon (1760-1825), Ernets
Renan, dan gurunya sendiri Fustel de Coulanges. Saint Simon, seorang
pemikir sosialis awal abad ke-18 yang berpendirian bahwa semua milik
pribadi harus diserahkan kepada negara. Ernest Renan, seorang kritikus Bibel,
juga memiliki keterkaitan terhadap masalah sosial kemasyarakatan pada
zaman Yahudi kuno maupun masyarakat Kristen kontemporer. Fustel de
Coulanges, seorang sejarawan Perancis, menegaskan bahwa sejarah
merupakan ilmu tentang fakta sosial. Studi klasiknya The Ancient City
[1864], memfokuskan pada hubungan antara agama dan kehidupan sosial pada
zaman klasik. Selain itu, situasi dan kondisi Perancis modern yang mengalami
revolusi besar pada akhir tahun 1800-an,60 juga ikut memberikan pengaruh
tersendiri bagi perkembangan pemikiran Durkheim itu sendiri.
Durkheim, sebenarnya seorang murid yang ragu-ragu terhadap
pemikiran August Comte (yang menggambarkan bahwa proses berpikir
59
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN
STAIN PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hal 86 dan hal 289. 60
Revolusi Perancis yang terjadi pada akhir tahun 1800-an yang ditandai dengan terjadinya
perubahan besar, baik pada sector ekonomi, sosial, budaya, percayaan, agama, moral dan nilai-
nilainya. Artinya masyarakat Perancis pada waktu itu mulai mempersoalkan tentang hak-
hak keistimewaan yang dimiliki kaum ningrat. Dari sini memunculkan ide-ide untuk
mewujudkan prinsip-prinsip umum tentang keadilan dan kebebasan. Masyarakat Perancis
mulai menyadari bahwa kekeliruan atas paham individualisme yang dianut selama ini. KJ.
Veeger, , Realitas Sosial, (Gramedia, Jakarta, 1993)hlm. 140.
72
manusia dalam menafsirkan dunia dengan segala isinya berkembang secara
evolusi, melalui tahapan religius, metafisika dan vositivisme.61 Sebagai
seorang murid, Durkheim tetap setia pada ajaran Comte yang merupakan
perintis teori evolusionis positivisme Perancis dan juga sekaligus
sebagai pencipta istilah ‖sosiologi‖.62 Pengaruh Comte, pada pemikiran-
pemikiran Durkheim, di antaranya yang tampak pada pola ‖reorganisasi
masyarakat‖ yang dikemukan oleh Comte yang kemudian disempurnakan
oleh Durkheim. Durkheim, melihat konsep Comte cenderung bersifat
‖spekulatif‖ dan ‖pragmatis‖. Artinya bahwa :63 pendekatan positivisme
bersifat spekulatif hanya mempelajari hubungan-hubungan diantara fenomena
yang bisa diamati, dan menurut positivisme, pengetahuan terbatas pada apa
yang tampak oleh panca indra. Durkheim berusaha membenahi kelemahan-
61
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN
PRESS CIREBON, Tahun 2007. Hlm 42. 62
Comte, filsafat positif-nya, berakar pada kekaguman yang mendalam akan presisi kuantitatif dari ilmu-ilmu alam, khususnya matematika, fisika dan biologi. Comte, berusaha menerapkan metode-metodeini untuk menemukan prinsip-prinsip keteraturan dan perubahan di dalam masyarakat, sehingga menghasilkan sebuah susunan pengetahuan baru yang dapat dipakai untuk mereorganisasikan masyarakat demi perbaikan manusia. Pendekatan ilmiah dan rasionalis Comte, dikombinasikan dengan sebuah perspektif sejarah, terutama dalam ―Hukum Kemajuan Manusia‖ yang menyatakan bahwa semua masyarakat melewati tiga tahapan, yakni : [1] tahapan teologis atau khayal, [2] tahapan metafisik atau abstak, dan [3] tahapan ilmiah atau positif. Masing-masing tahapan tersebut mencakup sikap intelektual yang berbeda-beda. Dalam tahapan teologis, manusia mencari pengetahuan yang absolut dari sifat hakiki kenyataan dan sebab-sebab pertama dan terakhir yang memuncak pada penjelasan segala sesuatu sebagai hasil kehendak Tuhan. Comte, menyatakan bahwa susunan mental yang pada mulanya emosional akan membuka jalan ke sikap metafisis, di mana kekuatan-kekuatan abstrak mengganti kekuatan-kekuatan adi kodrati, tetapi penjelasan-penjelasan masih ditulis dalam pengertian sifat-sifat hakiki, misalnya apabila nilai ekonomi dijelaskan dengan nilai intrinsik benda-benda. Maka, menurutnya, tahapan yang sebagian besar destruktif ini pada gilirannya akan menggiring kepada gaya ilmiah atau positivis di mana pikiran dengan mengesampingkan pencarian penjelasan-penjelasan akhir, memakai observasi atas fenomena untuk menetapkan hukum-hukum dinamika yang mirip dan berbeda-beda. Jadi, menurut Comte, positivisme pengetahuan terbatas pada apa yang tampak oleh panca indera dan dengan demikian pengetahuan hanya menangani hubungan-hubungan antasedens dan konsekwens di antara fenomena yang teramati [Lihat : Tom Campbell, Seven Theories,…hlm.149-51]. 63
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, PT.CAKRAWALA, Yogyakarta DAN STAIN
PRESS CIREBON, Tahun 2007, hlm 42.
73
kelemahan pemikiran Comte tersebut dengan berusaha tetap menjaga
tujuan umum yang dikehendaki oleh Comte.
Pengaruh lain yang tampak pada kepercayaan Durkheim, yang
menganut sesuatu yang diyakini terlebih dahulu oleh Comte, yakni
kepercayaan akan kemungkinan untuk menunjukan bahwa masyarakat tunduk
pada sebab-sebab alamiah, walaupun Durkheim kurang meyakini rasional
total gurunya tersebut akan posisi organisasi ilmiah masyarakat.
Dengan dasar ini, Durkheim menolak penafsiran ketat dari hukum Comte
tentang kemajuan manusia yang ia anggap sebagai sangat dogmatis dan tidak
tepat. Namun Durkheim tetap menyetujui campuran ilmu pengetahuan dan
pembaharuan ala comte. Menurut Durkheim, secara khusus ilmu sosial dapat
diterapkan pada masalah penetapan kembali tatanan sosial diambang
pergolakan-pergolakan revolusioner abad ke-18 dan efek-efek industrialisasi
yang merugikan masyarakat. Durkheim berharap untuk memperlihatkan
bagaimana sebuah konsensus sosial baru dapat menciptakan kembali nilai-
nilai komunitas dan tatanan sosial, tanpa mengorbankan emansipasi manusia
yang berasal dari keambrukan feodalisme.64 Dengan mengadopsi kerangka
organis yang dikemukakan Comte yang berwatak positivis, maka pemikiran
Durkheim-pun kental dengan nuansa positivis. Namun tanpaknya pandangan
Durkheim berbeda dengan pemikiran Comte. Sebab ciri khas pemikiran
positivisme Durkheim adalah usaha satu-satunya untuk mendekati masyarakat
sebagai sebuah kenyataan organis yang independen yang memiliki hukum-
64
Emile Durkheim,Sosiologi dan Filsafat, terj. Soedjono Dirdjosiswono,(Jakarta
Erlangga,1989),hlm 76.
74
hukumnya sendiri. Holisme metodologi Durkheim berkaitan dengan sebuah
pendirian yang sangat deterministik yang berpendapat bahwa individu-
individu tidak berdaya dihadapan pembatasan-pembatasan dari kekuatan-
kekuatan sosial yang menghasilkan penyesuaian diri dengan norma-norma
sosial atau tingkah laku yang disebabkan oleh norma sosial tersebut.
Durkheim, juga mengkombinasikan pengambilan jarak ilmiah dan
determinisme kausal dengan kepercayaan bahwa ilmu masyarakat memberi
semacam jawaban untuk masalah-masalah etis normatif dari filsafat
tradisional.
Implikasi pandangan ‖positivistik‖ Durkheim terhadap‖ moral dalam
terapan‖, dikategorikan sebagai sebuah ‖fakta sosial‖. Fakta sosial tersebut
didefinisikan sebagai ‖cara-cara bertindak, berpikir dan merasa‖, yang ‖berada
di luar individu‖ dan dilengkapi atau dimuati dengan sebuah kekuatan
memaksa yang dapat mengontrol individu. ‖Fakta sosial‖ itulah yang akan
mempengaruhi setiap tindakan, pikiran dan rasa dari individu. Durkheim,
menyatakan apa yang dipikirkan adalah kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat
dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung dalam
institusi, hukum, moral dan ideologi-ideologi politis. Semua itu dapat saja
bekerja dalam kesadaran individu, tetapi menurutnya semua itu merupakan
fenomena-fenomena yang dapat dibedakan dan ditemukan dengan mengamati
tingkah laku manusia pada umumnya dan bukan dengan memeriksa isi
75
pikiran individu tersebut.65 Durkheim, juga menjelaskan ‖fakta sosial‖ yang
berada ‖di luar‖ diri individu dalam arti bahwa ‖fakta itu datang kepadanya
dari luar dirinya sendiri‖ dan dapat menguasai tingkah lakunya. Ciri
‖idealistis‖ atau ‖moral‖ yang diakui berasal dari ‖fenomena sosial‖,
Durkheim tetap berusaha untuk menemukan cara-cara menjelaskan ‖fakta
sosial‖ tersebut yang dapat teramati dan terukur. Durkheim menyamakan
‖kepadatan sosial‖ dengan konsentrasi populasi dengan memakai statistik.
Misalnya, Durkheim menggunakan angka-angka perceraian untuk membuat
sebuah ‖pernyataan faktual umum‖ mengenai masyarakat sebagai keseluruhan
dan menganggap proses teramati dari berbagai jenis sanksi hukum sebagai ciri-
ciri permukaan dari kenyataan-kenyataan sosial yang mendasarinya. Walaupun
‖fakta sosial‖ dengan cara ini dijelaskan terbuka pada observasi masyarakat,
tetapi bagi Durkheim, semuanya itu pada dasarnya merupakan sebuah
‖fenomena moral‖ atau sesuatu yang ‖bersifat normatif‖ berkaitan dengan
pengaturan tingkah laku individu, melalui ‖sebuah sistem‖ yang dipaksakan
atau merupakan sebuah‖sistem eksternal‖ yang memaksakan nilai-nilai
atau aturan-aturan sebagai sebuah ‖sistem moral‖ atau dengan kata lain
penampilan khasnya berupa kewajiban-kewajiban. Menurut Durkheim,
bagaimanapun sadarnya individu ia harus tetap melaksanakan kewajiban-
kewajiban itu menurut bahasa, adat istiadat, kebiasaan dan hukum
masyarakatnya, di mana kesemuanya itu merupakan ‖fakta-fakta sosial‖ yang
65
Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi
Pendidikan, terj. Lukas Ginting (Jakarta, Erlangga, t.t), hlm. 35 dalam Kamiruddin, FUNGSI
SOSIOLOGI AGAMA (STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM),
http://download.portalgaruda.org/article.php.
76
tidak di rekayasa atau tidak diciptakannya melainkan ia terpaksa
menjalankan dan menyesuaikan dirinya dengan fakta sosial tersebut. Jika
individu tidak menyesuaikan diri dengan ‖fakta sosial‖ tersebut - maka
individu tersebut akan menderita konsekuensi-konsekuensi penolakan sosial
dan menerima hukuman. Maka dari sini, ada sebuah unsur idealisme sosiologis
yang jelas dalam teori Durkheim.
4. Konsep Dasar Durkheim Tentang Agama.
Durkheim, mempunyai pandangan bahwa fakta sosial jauh lebih
fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Tetapi individu sering
disalah pahamkan ketika pengaruh masyarakat yang begitu kuat terhadapnya
dan di kesampingkan atau tidak diperhatikan dengan teliti.
Menurut Durkheim adalah sia-sia belaka apabila menganggap mampu
memahami apa sebenarnya individu itu hanya dengan mempertimbangkan
faktor biologis, psikologis atau kepentingan pribadinya. Seharusnya individu
dijelaskan melalui masyarakat dan masyarakat dijelaskan dalam konteks
sosialnya. Inilah pemikiran sosiologi Durkheim yang akhirnya membawa
penulis untuk mencermati pemikiran Durkheim, tentang :
a. Agama : sebagai Sacred dan Profan,
Pengertian Sakral dan Profan.
Pengertian sakral yaitu hal yang lebih dirasakan dari pada yang
dilukiskan. Misalnya suatu benda mengandung nilai sakral atau nilai
profan, dalam masyarakat terdapat pandangan yang berbeda,
contohnya seekor lembu, masyarakat yang bukan beragama Hindu
77
beranggapan bahwa lembu itu sebagai hewan yang biasa. Tetapi orang yang
beragama Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan.
Dalam hal ini Zakiah Daradjat berpendapat sebagai berikut:
Pengertian sakral merupakan suatu hal yang lebih mudah
dirasakan daripada dilukiskan. Bilamana terdapat suatu anggapan bahwa
suatu benda sakral tersebut mengandung zat yang suci, dan di dalamnya
mengandung pengertian misteri yang mengerikan tetapi mengagungkan. Di
dalam masyarakat, terdapat pandangan yang berbeda-beda mengenai mana
benda yang suci, dan benda yang biasa, atau yang sering dikemukakan
orang benda sakral dengan profan. Selain dari pada itu yang suci ada yang
terdapat di dunia ini dan ada di surga. Orang Hindu menghormati dan
mensucikan lembu, Hajar Aswad di Makkah disucikan oleh orang-orang
Islam, Salib di atas dasar disucikan oleh orang Kristen, masyarakat primitif
membakar mati binatang-binatang totem mereka.66
Implikasi analisis penulis pada sakral dan profan dalam pemujaan
seluruh penganut Hindu terhadap lembu/sapi. Maka yang menjadi nilai
keagamaannya adalah bentuk pemujaan, sedangkan yang menjadi nilai-nilai
moral adalah yang menjadi sumber pada fakta yaitu keharusan untuk tidak
memakan daging sapi/lembu, karena dijadikan kesakralan untuk penganut
Hindu, lain halnya dengan penganut muslim atau yahudi yang makan daging
sapi dan tidak makan daging babi.
Untuk itu, perlu dicermati konsep Emile Durkheim tentang agama yang
mengklaim bahwa agama adalah “sesuatu yang amat bersifat moral”.
Sumber agama adalah masyarakat itu sendiri yang akan menilai sesuatu
66
Nurdinah Muhammad:‖Sakral dan Profan dalam Agama‖...........Jurnal Subtantia Vol.15, No.2, Oktober 2013 dalam Zakiah Darajat, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1985), 167-168.
78
itu bersifat sakral atau profan. Durkheim menemukan karakteristik paling
mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-
elemen “supernatural”, melainkan terletak pada konsep tentang “yang
sakral” (secred), dimana keduanya yaitu supernatural.67 Di samping itu ada
pula yang tampak dan tidak dapat diraba, wujud yang suci tersebut ialah seperti
Tuhan, Roh, malaikat, setan, hantu yang semuanya itu dikeramatkan dan
dikagumi, Yesus Kristus serta Santa Maria, Budha dan Budhisatwa disucikan
oleh penganutnya dan dikeramati dalam upacara keagamaan.68
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat
disucikan atau dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang
terpatri di dalam jiwanya dan rasa ketakutan. ―Perasaan kagum inilah
untuk menarik mereka untuk cinta dan ingin terhindar dari bahaya‖.
Dalam hal tinjauan mengenai agama tentang dikotomi Sakral dan Profan
dianggap penting, menurut dua teoritikus agama ya‘ni : Emile Durkheim,
seorang sosiolog yang identik dengan studi-studi kemasyarakatan, dan Mircea
Eliade, seorang filusuf dan sejarawan agama yang menolak segala bentuk
reduksi keilmuan dalam studi agama.69
Konsep Durkheim tentang agama, juga tidak terlepas dari
argumentasinya tentang agama sebagai bagian dari fakta sosial. Artinya,
Durkheim mempunyai pandangan bahwa ‖fakta sosial‖ jauh lebih
fundamental dibandingkan dengan fakta individu. Pemikiran-pemikiran
67
http://webcomche. Google intercontent.Com/ search ?g= cache: s7HH20 vf (s): que.
Indeskripsi.com/mode/798+sakral+dan+profane. diakses tanggal 10 September 2013. 68
Zakiah Darajat, Perbandingan Agama, 168. 69
http://www.appuntidiscienzesociali.it/Immagini/Durkheim.jpg
79
Durkheim dalam bidang agama banyak dimuat dan dipublikasikan terutama
dalam buku The Elementary Form of Religious Life (dipublikasikan pada
tahun 1912). Buku ini, merupakan karya fenomental yang memuat inti teori-
teori pemikiran Durkheim tentang agama70.
Durkheim, mengemukakan beberapa pertanyaan klasik tentang
keyakinan dan pemeluk agama: Apakah sebenarnya agama itu? Kenapa agama
begitu penting dalam kehidupan manusia? Bagaimana pengaruh agama
dalam kehidupan individu dan sosial? Durkheim, berbeda dengan penulis
yang lain seperti: Tylor, Frazer dan Freud yang lebih disibukan dengan ide
konvensional bahwa agama merupakan kepercayaan kepada kekuatan
supernatural seperti Tuhan atau dewa-dewi.
Untuk mengeksplorasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Durkheim
tersebut di atas, Durkheim memilih agama ‖paling primitif‖ dan paling
sederhana sebagai subjek penulisannya. Sejak awal Durkheim, telah
mengklaim bahwa masyarakat primitif sebenarnya tidak pernah berpikir
tentang ‖dua dunia‖ yang berbeda, yaitu ‖natural‖ dan ‖supernatural‖
sebagaimana yang dipikirkan oleh masyarakat beragama yang memiliki
kebudayaan lebih maju (masyarakat modern) dari mereka. Sebab menurut
Durkheim pada kenyataannya masyarakat modern masih dipengaruhi oleh
asumsi-asumsi sains, sedangkan masyarakat primitif tidak dipengaruhi oleh
70
Lihat : Emile Durkheim, Sejarah Agama, terj. Inyiak Ridhwan Muzir, (Ircisod, Yogyakarta,
2003).
80
asumsi-asumsi sains.71 Menurut Durkheim, kata primitif mengandung
pengertian bahwa sistem agama tersebut terdapat dalam organisasi
masyarakat-masyarakat yang paling sederhana, serta sistem agama tersebut
dapat dijelaskan tanpa harus terlebih dahulu menjelaskan elemen-elemen lain
dari agama yang labih tua darinya. Durkheim, mengatakan agama primitif
tampak lebih dapat membantu dalam menjelaskan hakekat religius
manusia, dibandingkan dengan bentuk agama lain yang datang setelahnya,
sebab agama primitif mampu memperlihatkan aspek kemanusiaan yang paling
fundamental dan permanen. Selain itu Durkheim menegaskan bahwa
agama-agama primitif memenuhi kebutuhan yang sama, memainkan peranan
yang sama dan bertolak dari sebab yang sama dengan agama-agama lainnya
dan agama primitif mampu menjelaskan hakekat kehidupan religius
dengan baik.72 Tetapi, menurut Durkheim tidak semua agama mempercayai
adanya Tuhan ataupun dewa-dewi, walaupun mereka meyakini adanya
sebuah kekuatan yang superanatural. Berdasarkan pada pemikiran ini,
maka Durkheim menyatakan sebagai langkah awal dalam mendiskusikan
permasalahan agama, terlebih dahulu perlu dijelaskan apa definisi agama
itu sendiri. Maka pada posisi ini, tampaknya Durkheim tidak mau
mendefinisikan agama secara spesifik dari sudut pandang superanatural dan
menolak definisi agama yang dikemukakan Tylor bahwa ‖agama adalah
71
Baca: Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Dalam Islam,
Kristen dan Yahudi, terj. Satrio Wahono, dkk., (Mizan & Serambi Ilmu Semesta, Bandung &
Jakarta, 2000). hlm.123 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (STUDI PROPAN
DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php. 72
Emile Durkheim, Op.Cit. hlm.1-3 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (
STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.
portalgaruda. org/ article.php.hlm.8
81
keyakinan pada ‖ada‖ spritual (spritual being)”. Menurutnya Budhisme
adalah agama, tetapi ‖tidak memiliki ide tentang Tuhan dan roh‖ dan
beberapa sekte dalam agama Budha yang juga ”menolak eksistensi Tuhan
dan dewa-dewi”. Selain itu, juga terdapat beberapa jenis ritual kelompok yang
tidak ada sama sekali keterkaitannya dengan unsur Tuhan ataupun roh-roh.
Agama tidak lebih dari ”sekedar gagasan tentang Tuhan dan roh”.
Konsekuensinya, agama tidak dapat didefinisikan semata-mata dalam
kaitannya dengan kedua hal tersebut.73 Durkheim mendefinisikan agama dari
sudut pandang ‖yang sakral‖ (Sacred). Ini berarti ”agama adalah kesatuan
sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu
yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-
keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral
yang disebut Gereja, di mana semua orang tunduk kepadanya”74 atau
sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiannya.
Dari definisi Durkheim ini, terlihat yang menjadi kata kunci adalah
‖komunitas‖ dan ‖gereja‖. Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan
karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah
terletak pada elemen-elemen ‖supernatural‖, melainkan terletak pada
konsep tentang ‖yang sakral‖ (Sacred), di mana keduanya yaitu supernatural
dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim,
73
Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer, Yogyakarta,
AK Group, 2003, hlm. 139-140. 74
Emile Durkheim, Op.Cit. hlm.44 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (
STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM) http://download.
portalgaruda. org/ article.php.hlm.8.
82
seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang
kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan
antara ‖yang sakral‖ (Sacred) dan ‖yang profan‖ (profane),75 yang selama
ini dikenal dengan ‖natural‖ dan ‖supernatural‖. Durkheim menambahkan
bahwa hal-hal yang bersifat ”sakral” selalu diartikan sebagai sesuatu yang
superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak
tersentuh dan selalu di hormati. Hal-hal yang bersifat ”profan” merupakan
bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.
Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada
‖yang sakral‖, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki
pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari
setiap individu. Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang ‖yang
sakral‖ dan ‖yang profan‖ hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep
pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai ‖kebaikan‖ dan yang profan
sebagai ‖keburukan‖. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama
ada dalam ‖yang sakral‖ ataupun ‖yang profan‖. Hanya saja yang sakral tidak
dapat berubah menjadi profan dan begitu pula sebaliknya yang profan tidak
dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak
pada hal-hal yang sakral.
75
Ibid, 34-35. dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN
SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php. Hlm.
hlm.9.
83
Durkheim, menjelaskan kata ‖komunitas‖ (community) dan Gereja
(church), mempunyai arti yang signifikan. Menurutnya fungsi sosial dan
komunal agama merupakan inti dalam pemikiran dan teori agamanya. Agama
pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif, bahkan Durkheim
membedakan agama dari magic dengan menyatakan. Magic merupakan
upaya individual, sedangkan agama tidak dapat dipisahkan dari ide
komunitas peribadatan atau moral. Magic dan agama dapat saja hidup
berdampingan, sebab yang pertama (magis) berusaha dengan hal-hal yang
bersifat personal, sedangkan yang kedua (agama) menyangkut dengan
hal-hal yang bersifat sosial. Maka, menurutnya seseorang yang berkemampuan
magic dapat saja memiliki beberapa klien, tetapi tidak akan pernah memiliki
jama‘ah dan mungkin tidak pernah ada yang dinamakan gereja magic.
Dalam mendefinisikan agama, Durkheim mengkritik beberapa teori
agama yang tersohor, seperti teori animisme yang dikemukakan E.B. Tylor
dan teori naturisme yang dikemukakan oleh F. Max Muller yang berpendapat
bahwa masyarakat menjadi yakin akan dewa-dewi, karena mereka mencoba
menjelaskan beberapa fenomena alam yang dahsyat, seperti matahari, langit
dan badai. Tylor, menyatakan ide kepercayaan muncul dan berawal dari ide-
ide tentang roh. Durkheim, melihat pada prinsipnya teori-teori tersebut sama,
karena berusaha menderivasikan ide tentang yang sakral merupakan sensasi
yang muncul dari fenomena natural, baik fenomena fisik maupun biologis.
Bagi kelompok animis, asal-usul agama diderivasikan dari pengalaman mimpi.
Kelompok naturis, asal-usul agama diderivasikan dari fenomena kosmis.
84
Durkheim, mengkritik emperisme yang demikian, baginya teori agama seperti
ini tampak benar-benar merupakan ciptaan yang didasarkan dari ketiadaan dan
memberikan status ilusif kepada gagasan keagamaan. Maka Durkheim,
merumuskan apa yang sebenarnya inti dari emperis agama, yakni bukan
peribadatan nenek moyang dan bukan pula pendewaan fenomena natural yang
memainkan peranan penting dalam sistem keagamaan dalam budaya
kesukuan. Durkheim mengatakan penyembahan terhadap orang yang telah
mati merupakan ‖bentuk penyembahan yang hanya berkembang dalam
masyarakat yang telah maju seperti masyarakat Cina, Mesir, Yunani
serta kota-kota Latin. Pendewaan terhadap alam dalam budaya preliterate atau
masyarakat sebelum memiliki budaya baca-tulis, tidak difokuskan pada
kekuatan kosmis, tetapi kepada tumbuhan dan binatang sederhana, seperti
kelinci atau kanguru.76 Dengan pandangan ini, akhirnya Durkheim
menegaskan bahwa di luar ‖animisme‖ dan ‖naturisme‖ ada pemujaan
yang lebih primitif dan fundamental yang merupakan asal dari animisme dan
naturisme tersebut atau menurutnya keduanya adalah sebagian aspek
darinya, yaitu ‖totemisme‖.77
b. Agama sebagai Totemisme
76
Barian Morris, Op.Cit.hlm. 140-141 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (
STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.
portalgaruda.org/article.php. Hlm.8. 77
Emile Durkheim, Op.Cit.hlm. 85. dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA (
STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM),
http://download.portalgaruda.org/article.php. Hlm8.
85
Teori-teori yang dikemukakan Durkheim tentang agama dilandaskan
pada hasil penulisan sosiologi antropologi terhadap kehidupan masyarakat
primitip Aborigin di benua Australia. Durkheim, tertarik untuk melakukan
penulisan terhadap sistem relegius penduduk asli Australia, karena Durkheim
merasa bahwa apa yang telah dihasilkan para penulis terdahulu belum mampu
memunculkan apa sebenarnya yang paling penting dari masyarakat Aborigin
tersebut. Anggapan Durkheim bahwa tidak satupun dari mereka yang
berhasil mengungkapkan apa sebenarnya makna totemisme bagi masyarakat
suku tersebut. Menurutnya, penulis terdahulu hanya dapat menggambarkan
masyarakat “tribal” terbagi dalam beberapa klan, di mana setiap klan
memiliki binatang dan tumbuhan serta benda lain sebagai totem masing-
masing. Setiap totem, entah berupa kijang, kangguru ataupun pohon teh,
dianggap sakral oleh suku yang memilikinya.
Durkheim, mengatakan bahwa mereka belum berhasil mengetahui hal
yang lebih penting lagi, yakni kenapa totem-totem itu dapat menggambarkan
konsep yang sakral dan yang profan dalam masyarakat. Durkheim, mengamati
bahwa dalam masyarakat primitif, setiap binatang ‖yang bukan totem‖ boleh
diburu dan dimakan karena binatang tersebut termasuk ‖yang pofan‖.
Sebaliknya, binatang yang dijadikan sebagai ―totem” adalah bagian sakral
bagi seluruh anggota klan dan tentu saja terlarang bagi seluruh anggota klan
untuk membunuh dan memakannya, kecuali untuk dijadikan sebagai
korban atau sebagai sesajian dalam upacara-upacara keagamaan. Durkheim,
berhasil menemukan lambang atau simbol-simbol binatang totem tersebut
86
sangat berarti bagi klan yang memujanya, karena binatang tersebut bukan
hanya dianggap sebagai bagian dari ‖yang sakral‖, akan tetapi juga merupakan
perwujudan dan contoh yang sempurna dari yang sakral. Sikap tersebut dapat
dilihat ketika klan tersebut mengadakan upacara-upacara keagamaan yang
selalu menggunakan simbol-simbol dari totem mereka, terbuat dari ukiran
kayu atau batu dan diletakkan ditengah-tengah mereka dalam upacara tersebut.
Bagi klan, totem tersebut adalah hal yang paling sakral dan dapat
mengkomunikasikan kesakralannya itu kepada mahkluk yang ada di
sekelilingnya. Durkheim, menyimpulkan kepercayaan terhadap totemisme
adalah hal yang paling penting dalam masyarakat yang sangat sederhana ini,
karena seluruh aspek kehidupan mereka yang lainpun sangat dipengaruhi
totem-totem ini. Durkheim,78 menyatakan bila diamati sepintas lalu, totemisme
ini tidak lebih dari bentuk keyakinan agama atau sekedar tipe lain dari agama
yang selama ini diketahui sebagai bentuk pemujaan terhadap binatang atau
tumbuhan tertentu. Tetapi jika dicermati secara teliti, maka yang akan muncul
adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Artinya, para penganut kepercayaan
totem tersebut sebenarnya tidaklah sedang ‖memuja seekor binatang‖ ataupun
‖tumbuhan yang ukirannya‖ ada di tengah-tengah mereka, akan tetap mereka
memuja suatu kekuatan yang ‖anonim‖ dan ‖impersonal‖ yang dapat
ditemukan dalam binatang-binatang tersebut, namun tidak dapat disamakan
dengannya bintang tersebut. Tidak seorangpun dapat memiliki dan
78
Emile Durkheim, “Sejarah Agama The Elementary Forms of the Religious Life”, Oktober
2005, PT. IRCiSoD Jl. Nogorojo No. 208-C Gowok Yogyakarta 55281. Hal.280. Totemisme
adalah agama yang menyembah semacam kekuatan anonim dan impersonal yang bisa dikenali.
87
menguasainya, namun semua orang harus berpartisipasi dalam
menyembahnya.
Menurut Durkheim, dalam kepercayaan totem ini juga terdapat Tuhan
yang mereka sembah, namun Tuhan itu berbentuk ”impersonal”, artinya
Tuhan yang tanpa nama atau sejarah, imanen ke dalam dunia dan
mengejewantah ke berbagai benda yang ada di alam ini.79 Pandangan ini,
kemudian dapat diketahui kenapa Durkheim menyalahkan pada penulis-
penulis terdahulu, yang mengartikan agama sebagai kepercayaan terhadap
kekuatan supernatural.
Durkheim, menjelaskan bahwa Tuhan yang diyakini masyarakat,
yakni prinsip-prinsip totem bisa jadi merupakan sesuatu yang lain dari klan itu
sendiri, yang di personifikasikan dan di presentasikan secara imajinatif
menjadi binatang atau tumbuhan yang terlihat yang dijadikan totem.80 Dari
79
Ibid.hlm.191 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN
SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php.hlm.9.
Dan dalam Emile Durkheim, “Sejarah Agama The Elementary Forms of the Religious Life”,
Oktober 2005, PT. IRCiSoD Jl. Nogorojo No. 208-C Gowok Yogyakarta 55281. Hal.281. Bahwa
pengaruh yang menyebabkan mereka memandang kekuatan ada pada binatang atau tumbuhan
(dalam bentuk benda-benda material). Dengan benda-benda inilah totem dianggap meleburkan
diri. Totem adalah hal-hal yang kasat mata dimana subtansi yang kasat mata mempresentasikan
diri dalam imajinasi. Sementara yang dijadikan objek riil pemujaan adalah energi yang
dimilikinya. Seperti halnya dipahami masyarakat primitif tentang masyarakat phratri gagak.
Mereka maksudkan bukanlah gagak dalam pengertian empiris kata ini, tetapi tentunya ada
kesamaan prinsip yang terdapat dalam diri mereka masing-masing. Prinsip itu membentuk
hakekat kedirian mereka, terdapat di dalam diri manusia dan binatang secara bersama-sama
karena ada persaamaan nama dan di konseptualisasikan sebagai wujud yang lahir dari gagak,
sebagai mana dipahami totemisme dipenuhi dan dihidupi oleh kekuatan yang direpresentasikan
imajinasi dipinjam dari wujud binatang gagak. 80
Ibid.hlm.208 dalam Kamiruddin, FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA ( STUDI PROPAN DAN
SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php.
Hlm9.
88
pandangan ini, totem adalah simbol klan dan Tuhan sekaligus, karena klan
dan Tuhan pada dasarnya sama.
Oleh karena itu, penyembahan terhadap Tuhan atau dewa-dewa
sebenarnya adalah bagaimana masyarakat primitif mengekspresikan dan
memperkuat kepercayaan mereka kepada klan. Maka, ketika mereka
melakukan ritual-ritual keagamaan selalu bersifat komunal, anggota
masyarakat Aborigin akan mengganggap sama-sama memuja beberapa
Tuhan baik yang berupa binatang ataupun tumbuhan yang terdapat di luar
alam nyata ini yang akan memberi kemakmuran kepada mereka.
Durkheim, menyatakan sebuah masyarakat pasti membutuhkan
komitmen individu yang terdapat di dalam dan melalui kesadaran. Menurutnya
prinsip-prinsip totem selalu menyusup dan mengatur serta memiliki
kekuasaan dalam kesadaran diri individu. Masyarakat harus menghormatinya
dan merasa punya tanggung jawab moral untuk melaksanakan upacara-upacara
penyembahan. Maka dengan melakukan ritual-ritual keagamaan yang selalu
bersifat komunal, masyarakat semakin merasa mempunyai ikatan satu sama
lain dan memiliki kesetiaan serta loyalitas tinggi.
Akhirnya, Durkheim beralih dari pemaparan kepercayaan agama
masyarakat Australia, kepada proses penyelenggaraan ritual-ritual agama
tersebut. Di sini yang perlu selalu diingat adalah pengamatan Durkheim yang
paling awal, yakni bahwa persamaan-persamaan keagamaan pertama kali
muncul bukan dari momen-momen pribadi, akan tetapi dari upacara-upacara
89
klan yang bersifat komunal. Konsekuensinya, asumsi semacam ini
membawa pada kesimpulan bahwa keyakinan yang ditemukan dalam
totemisme itu bukanlah hal yang penting, tetapi ritual-ritual keagamaanlah
yang jauh lebih penting. Ritual dalam totemisme diwujudkan melalui
pemujaan, di mana pemujaan terbagi menjadi dua bentuk yakni ‖negatif‖ dan
‖positif‖. Di samping itu, juga terdapat bentuk ketiga yang disebut dengan
“piacular” yang berarti penebusan dosa atau kesalahan. Posisi bentuk ketiga
berada diwilayah bentuk pemujaan yang pertama. Dengan demikian, tugas
utama ritual-ritual yang tergabung ke dalam pemujaan negatif adalah ‖menjaga
yang sakral agar selalu terpisah dari yang profan‖. Maka, pemujaan
bentuk pertama ini biasanya berisi tentang ‖larangan-larangan‖ atau ‖taboo‖.
Sedangkan pemujaan bentuk kedua ‖merupakan ritual paling utama‖ bagi
masyarakat Australia adalah “ intichiuma”, yakni ritual yang
menggambarkan prosesi penyerahan hidup manusia kepada Tuhan, kemudian
tuhan memberikannya kembali kepada mereka.
c. Agama sebagai Fungsi Sosial.
Dalam masyarakat Aborigin Australia, kepercayaan terhadap
totemisme diwujudkan dengan melakukan upacara-upacara pemujaan atau
ritual-ritual agama yang bersifat komunal. Dari sinilah perasaan-perasaan
keagamaan pertama kali muncul, bukan dari momen-momen yang bersifat
pribadi dan individu. Durkheim, mengatakan bahwa ―pemujaan‖ (cult,
worship) yang terdiri dari perasaan-perasaan anggota upacara dan timbul dalam
waktu-waktu tertentu merupakan inti kehidupan klan secara keseluruhan.
90
Keyakinan-keyakinan yang ditemukan dalam totemisme bukanlah hal yang
penting, akan tetapi ritual-ritual keagamaanlah yang jauh lebih penting. Di
manapun dan bagaimana pun bentuk perasaan yang muncul, perilaku-perilaku
anggota klan saat melakukan upacara ini adalah perasaan yang paling penting
yang pernah mereka alami. Perasaan yang timbul saat itu adalah bagian dari
yang sakral, sedangkan perasaan lain adalah bagian dari yang profan. Maka,
tujuan ritual-ritual agama tersebut adalah untuk memberikan kesadaran tentang
arti penting klan, memberikan suatu perasaan mereka adalah bagian dari klan
dan memastikan bahwa yang sakral selalu terhindar dari segala sesuatu yang
profan. Dalam praktek totemisme masyarakat Aborigin Australia, ritual yang
paling utama bagi mereka adalah intichiuma. Ritual ini dapat ditemukan
di hampir setiap suku Australia, namun bentuk pemujaan antara satu suku
dengan suku yang lain tidaklah selalu sama, karena masing-masing kelompok
totemik memiliki ucapan intichiumanya sendiri-sendiri.81 Dalam ritual
tersebut, masyarakat yang melakukan pemujaan menyerahkan hidup mereka
kepada Tuhan kemudian Tuhan memberikannya kepada mereka kembali.
Kegiatan ritual ini, yang oleh Durkheim diistilahkan dengan ‖pertukaran
sakral‖ (sacred exchange) dan kegiatan ritual semacam ini biasanya dilakukan
di awal musim hujan dan dimulai dari tempat-tempat tertentu di sekitar
‖sebuah batu‖ kemudian diikuti oleh suka cita keagamaan dan kemudian
81
Emile Durkheim, Op.Cit..h.331 dalam Kamiruddin, “FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA” (
STUDI PROPAN DAN SAKRAL MENURUT EMILE DURKHEIM),
http://download.portalgaruda.org/ article.php.hlm.10.
91
dipertengahan upacara, binatang totem ditangkap, kemudian disembelih dan
dimakan dalam sebuah perjamuan sakral. Dalam pengamatan Robertson Smith,
upcara intichiuma ini sangat mirip dengan perjamuan suci dalam tradisi
Kristen. Bahkan dia menyatakan bahwa upacara ini merupakan bentuk paling
awal dari prosesi kurban yang dalam beberapa agama di kemudian hari
menempati posisi yang sangat penting. Maka dalam penyembelihan terhadap
totem ini, Durkheim menyatakan bahwa setiap orang merayakan keberadaan
totem tersebut dan menyatakan kesetiaan kepadanya. Maka, pada
gilirannya dengan ‖memakan daging totem‖ tersebut setiap orang akan
menerima kembali pancaran ilahiyah dari Tuhan dan mempengaruhi kehidupan
ilahiyah dalam jiwa mereka. Durkheim, tertarik untuk menjelaskan apakah
pelaksanaan upacara intichiuma di atas murni ritual keagamaan. Bila
dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya yang menjadi inti dari upacara ini tidak
lain adalah usaha untuk ‖memperbaharui klan ini sendiri‖. Menurut Durkheim,
sebenarnya di bawah permukaan teologis ini terdapat ‖lapisan dasar
sosiologis‖. Akhirnya, dalam analisis Durkheim menyatakan bahwa keyakinan
dan ritual-ritual agama adalah suatu ‖ekspresi simbolis dari realitas sosial‖.
Oleh sebab itu, pemujaan terhadap totem sesungguhnya sebagai suatu
pernyataan kesetiaan kepada klan dan diwujudkan dengan memakan binatang
totem adalah suatu tindakan atau sikap untuk menegaskan dan mengukuhkan
kelompok atau pernyataan setia pada klan. Hal ini, sebagai sebuah cara
simbolis dari setiap anggota kelompok untuk menyatakan bahwa kepentingan
klan lebih utama dari kepentingan individu. Dengan ritual-ritual totem tersebut
92
akan menjelaskan perilaku-perilaku keagamaan yang sama dengan ide-ide
tentang totem yang dapat menjelaskan keyakinan religius. Maka dalam hal ini,
konsep masyarakat sekali lagi akan menjadi kunci utama dalam ritual-ritual
tersebut. Dengan demikian, fungsi ritual jauh akan lebih penting dari pada
keyakinan yang akan memberikan kesempatan bagi setiap anggota
masyarakat untuk memperbaharui komitmen mereka kepada komunitas dan
mengingatkan bahwa dalam keadaan apapun, diri mereka akan selalu
bergantung kepada masyarakat, sebagaimana masyarakat juga bergantung
kepada keberadaan mereka sebagai anggota klan. Telah dikemukakan di
atas, bahwa Durkheim mengatakan selain ritual dalam totemisme yang
diwujudkan melalui pemujaan yang terbagi menjadi negatif dan positif, juga
terdapat bentuk ritual yang disebut piacular yang merupakan pemujaan penting
bagi masyarakat Aborigin Australia. Perlu diketahui bahwa istilah piacular ini
pertama kali diperkenalkan Durkheim dalam ‖kajian sosiologi agama‖ yang
dilakukannya. Tentu saja, kata ini merujuk kepada ritual-ritual yang
dilaksanakan dalam kondisi-kondisi yang penuh ketidakpastian dan
kesedihan, seperti kematian atau berbagai cobaan lainnya atau ritual ini
dilakukan untuk menebus kesalahan atau karena duka cita yang biasanya
dilakukan setelah kematian seseorang atau setelah terjadi bencana besar.
Durkheim, menjelaskan secara sosiologis mengapa upacara ini perlu diadakan.
Menurutnya, dalam kebudayaan masyarakat yang memiki kebisaan meraung-
raung dan memukul-mukul tubuh yang dilakukan oleh keluarga si mati di saat
upacara penguburan berlangsung merupakan hal yang biasa dan selalu
93
terjadi. Tetapi perlu diketahui, kebiasaan ini tidak begitu saja muncul dan
bersifat spontan, tetapi tindakan ini memiliki bentuk yang agak formal yang
dilakukan oleh seluruh anggota klan sebagai ujud komitmen pada klan,
walaupun dia tidak mengenal atau tidak ada hubungan keluarga dengan si mati.
Dengan demikian, refleksi dari perasaan kehilangan ini, bukan hanya terjadi
pada keluarga yang ditinggalkan saja, tetapi seluruh anggota klan merasakan
akibatnya, kerena kurang atau hilang pula satu bagian dari kekuatan klan
mereka. Maka, pada saat itulah perlu dilakukan pemujaan untuk menyatukan
dan menghidupkan kembali kekuatan klan setelah beberapa saat terguncang
dengan kematian atau hilangnya seorang anggota klan. Jadi, apapun yang
dirasakan oleh sebuah masyarakat, ritual-ritual agama pasti akan merefleksikan
dan memperkuat perasaan dalam suatu kelompok atau anggota klan tersebut.
Demikianlah pendapat Durkheim tentang agama sebagai fungsi sosial dalam
kajian sosiologinya.
5. Analisis penulis tentang Pemahaman Agama Antara Simbol-Ritual dan
Makna Esensial.
Dalam J.A. Barnes, Durkheim’s Division of Labour in Society, The
Australian National University, Royal Antropological Institute of Great
Brittain and Irelannd, dalam http// www. Jstor.org/stable/ 2796343 hlm.163.
dalam Syaripullah.
Menurut Durkheim, sebenarnya di bawah permukaan teologis ini terdapat
‖lapisan dasar sosiologis‖. Dalam analisis Durkheim menyatakan bahwa
94
keyakinan dan ritual-ritual agama adalah suatu ‖ekspresi simbolis dari realitas
sosial‖. Artinya, bahwa dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian dari
seluruh kehidupan sosial. Dengan mengikuti profan dan sakral, agama
melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual, dan perasaan-perasaan
yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.82
Menurut penulis memakai perspektif Islam. Berawal dari konsep ayat
208 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
لم في ادخلىا آمنىا الذين اأيه يا بعىا ولا كافة الس مبين عدو لكم إنه الشيطان خطىات تت
Artinya : ― Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam
Islam secara utuh, keseluruhan (jangan sebagian-sebagian) dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah (sikap dan perilaku) syaithan, karena
sesungguhnya syaithan itu musuh nyata bagimu‖.
Dalam ayat ini Allah menyerukan kepada orang yang beriman agar
memeluk agama-Nya, yaitu Islam, dengan tidak setengah-tengah tetapi utuh,
terintegrasi antara pemahaman tentang aqidah, ibadah, dan akhlak, dalam
kehidupan sehari-hari dengan keterpaduan antara“hablumminallah (sakral )
dan hablumminannaas (profan).”
Beragama ke-kaaffah-an bagi ummat Islam dalam beraktivitas
kehidupanya sudah dicontohkan rosulullah SAW mulai hal masalah sederhana
sampai masalah hal kompleks urusan negara, beliau menampilkan wujud
82
dalam Kamiruddin, ―FUNGSI SOSIOLOGI AGAMA‖ ( STUDI PROPAN DAN SAKRAL
MENURUT EMILE DURKHEIM), http://download.portalgaruda.org/article.php.hlm.14.
95
Islam dalam bentuk sikap dan perilakunya dimanapun dan kapanpun. Beliau
paling utama dan sempurna dalam beribadah baik mahdlah (ritual sakral
maupun ghoiir mahdlah ritual profan).
Untuk ritual sakral sekalipun beliau mendapat jaminan masuk surga,
tetapi justru ibadahnya semakin meningkat, baik yang wajib maupun yang
sunnahnya. Untuk profannya (berinteraksi sosial), beliau menampilkan sosok
pribadi yang sangat agung dan mulia dengan memperhatikan setiap orang tak
pilih kasih, senantiasa bersikap hormat, santun dan pema’af, mau menolong,
dan mendo’akan keselamatannya.
Apabila introfeksi kepada uswah nabi dengan sikap dan perilaku kita,
nampaknya masih jauh antara bumi dan langit (amat berbeda). Ummat Islam
masih banyak menampilkan perilaku dan sikap yang tidak selaras dengan
nilai-nilai Islam sebagai agama yang dianutnya. Dalam kehidupan sehari-hari
sering ditemukan ketidak konsistenan dalam mempedomani Islam sebagai
agamanya.83
Dengan menyimak persoalan umat Islam diatas, timbul persoalan dalam
hati mengapa bisa terjadi? Mengapa mengaku beragama Islam? Karena
masalahnya bersifat kompleks, maka jawabanpun bisa beragam. Menurut
analisis rasional diantaranya :
1. Kalangan umat Islam masih ada yang beragama sebatas pengakuan,
beragamanya hanya bersifat formalitas, Islam hanya saat nikah atau
dikhitankan. Padahal tujuan asal(awal) syari‘at untuk ke-syah-an dalam
beribadah berikutnya.
83
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 25-26.
96
2. Dalam beragamanya masih disertai kepercayaan hal-hal khurafat atau
tahayul yang masih bertentangan dengan Islam itu sendiri, seperti dewi
sri, nyai roro kidul, datang ke dukun-dukun, percaya jurig, dedemit.
3. Masih ada orang Islam yang memahami ajaran Islam itu secara serpihan,
sebagian-sebagian (separatis); belum secara integralis, kaaffah (sebagai
contoh ada orang Islam mengamalkan shalat, tetapi saat bagi warits tidak
mau mengikuti hukum warits Islam; wanita muslimat rajin shalat sudah
naik haji tetapi tidak berpakaian muslimat masih penmpilan porno, dsb).
4. Dikalangan ummat Islam masih ada yang bersifat sekuler, memisahkan
antara kehidupan duniawi dengan ukhrowi ( seperti aspek ekonomi,
politik, sosial budaya dan seni dari nilai-nilai agama. Padahal Islam
mentawazunkan, mengintegrasikan antara dua kehidupan. Islam mengtur
semua aspek kehidupan, baik urusan pribadi, masyarakat dan kenegaraan.
Dampaknya banyak yang melecehkan nilai-nilai Islam dan diprakarsai
oleh orang Islam itu sendiri.
Kondisi ummat Islam diatas, semakin diperparah dengan merabaknya
sikap dan perilaku a moral (degradasi) nilai-nilai keimanannya.84 Terlebih saat
sekarang ini kondisi ummat Islam banyak yang mempengaruhi dalam
menjalani kehidupannnya, tentunya kerugian ummat yang di dapatkan dan
hancurnya Islam sebagai agama yang di anutnya.
Oleh karena itu, agar Islam bangkit kembali menjadi kekuatan untuk
mewujudkan “rahmatan lil alamiin”, diantaranya :
1. Seyogianya harus memiliki pemahaman secara utuh (kaaffah) tentang
Islam itu sendiri.
2. Mampu mengintegrasikan antara pengamalan Ibadah Ritual (sebagian
berpedapat sebagai simbolik dari kesadaran orang beragama) dengan
84
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 27-28.
97
makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti : sikap toleransi, pengendalian diri,
saling menghormai, tidak suka menyakiti. Umat Islam mampu
menyatu padukan antara nilai-nilai ibadah mahdlah dengann ibadah
ghair mahdlah.
3. Menjaga keutuhan dalam mengamalkan ajaran agama Islam, antara
ibadah ritual-mahdlah (habluminallah, kesalehan personal) dengan
ibadah ghair mahdlah (hablumminannas, kesalehan sosial) merupakan
tuntutan agama bagi pribadi seorang muslim. Karena akan terdapat
kepicangan, bila seseorang hanya mementingkan ritual semata,
sementara hubungan sesama kurang atau tidak diperhatikan. Maka
tidak menghasilkan pahala ibadah ritualnya, karena terganjal oleh
keburukan akhlaknya.
Berdasarkan paparan diatas, ummat Islam mestinya komitmen dan
istiqomah dalam melaksanakan esensi dari setiap ibadah-ibadah yang
dikerjakanya. Diantara makna esensial dari setiap ibadah adalah sebagai
berikut :
a. Ibadah sebagai perwujudan iman seseorang.
b. Ibadah sebagai bentuk ta‘abud, taqorub, dan mahabbah hamba
sebagai makhluk kepada Allah sebagai khaliq.
c. Ibadah yang mengandung nilai-nilai harus direfleksikan dalam
sikap dan perilakunya (akhlak) sehari-hari dalam berhubungan
dengan orang lain.85
C. Teori Tindakan
Teori tindakan social banyak diungkapakan oleh Talcott Parson, sebagai
tokoh utama aliran fungsionalisme structural modern, yang banyak dipengaruhi
85
Syamsu Yusuf, LN. “Psikologi Belajar Agama Persfektif Agama Islam”, Penerbit Pustaka Bani
Quraisy, Revisi: Desember 2005. Hlm 29-30.
98
oleh pemikiran Durkheim, disamping tokoh lain seperti Alfred Marshall,
Vilfredo Pareto dan Max Weber. Dalam analisinya, Parson banyak
menggunakan kerangka atas tujuan (means and framework). Inti pemikirannya
ialah bahwa tindakan social itu :
1. Memiliki suatu tujuan.
2. Jika terjadi dalam sesuatu hal, maka dilihat situasi dalam bertindak
kemudian mencari alat penuju agar mencapai tujuan.
Secara normative mesti tindakan itu diatur sehubungan sebagai
penentuan alat dan tujuan. Maka komponen dari tindakan social itu adalah :
tujuan, sifat, kondisi, dan norma. Kebudayaan manusia dilahirkan dari tindakan
dan aktifitasnya. Hal ini tidak bisa terlepas dari latar belakang pengetahuan,
kepercayaan, norma serta nilai-nilai yang dianutnya, dan dapat dibuktikan
berdasarkan konsep teori tindakan yang dikemukakan oleh Max Weber (1854-
1920).86
Dari sini weber sangat tertarik pada masalah-masalah sosiologi yang luas
mengenai struktur social dan kebudayaan. Weber melihat fakta kenyataan
social yang hakikatnya bersumber dari individu-individu dengan melakukan
tindakan-tindakan social yang punya ma‘na. Akhirnya weber mendefinisikan
sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha mencari pemahaman
interpretative mengenai tindakan social, sehingga mampu menjelaskan arah
dan akibat-akibatnya secara kausalitas. Menurut Johnson (1956:214-215)87
―Tindakan social dalam konsep Weber adalah semua perilaku manusia yang
86
Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A. Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Penerbit CAKRAWALA,
Cetakan Pertama, Okt. 2007.Hal.36-37. 87
Ibid.36-37.
99
mengandung makna subyektif, karena berkaitan dengan individu yang
melakukan suatu tindakan bermakna‖.88 Konsep kunci teori tindakan Marx
Weber adalah rasionalitas individu. Bahwa tindakan social individu selalu di
latar belakangi oleh motif-motif yang bermakna, meskipun makna itu dipahami
secara subyektif, hanya oleh individu yang bersangkutan. Contoh, misal
seseorang bisa memamfaatkan waktu senggang dan peluang untuk melakukan
hal itu dianggap bermakna bagi dirinya, meskipun mungkin ada orang yang
sama punya waktu senggang tetapi sama sekali peluang waktu itu tidak
bermakna bagi diri orang tersebut. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa
rasionalitas orang itu bisa berbeda-beda meskipun tindakan sosialnya bisa
sama. Nah, untuk memahami makna tindakan social seseorang, perlu ada
(empati) yaitu sikap menempatkan diri pada posisi orang lain. Artinya kita bisa
memahami makna dari tindakan social seseorang, mana kala kita sendiri bisa
menempatkan diri kita pada posisi orang lain itu. Mengapa seringkali ada
kecenderungan orang miskin bertindak berutal, tidak beraturan atau mau
menang sendiri? Tentu ini tidak bisa dinilai bahwa orang tersebut telah
bertindak irasional padahal mungkin belum tentu. Apalagi dikaitkan dengan
prediksi Nabi Muhammad Saw bahwa ada kecenderungan orang faqir itu akan
terjerumus pada tindakan yang kafir. Jadi tindakan-tindakan orang miskin itu
yang kemungkinan lebih banyak menjurus kepada perilaku ―irasional‖, secara
empati bisa dipahami jika kita menempatkan diri sebagai orang miskin juga.
Hal ini sesuai dengan komentar singkat dari Weber tentang Nabi Muhammad
88
Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A. Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Penerbit CAKRAWALA,
Cetakan Pertama, Okt. 2007.Hal.36-37
100
serta kelahiran ajaran agama Islam yang memperlihatkan faham determinisme
ekonomi ternyata juga berpengaruh besar dalam analisa-analisa sosiologis.
Weber dalam Turner (1983:35) meneggaskan bahwa pandangan hidup dari
Nabi Muhammad Saw tentang tindakan social orang miskin itu, bisa
memberikan signifikansi social sesuai dengan cara hidup serta kebutuhan
ekonomi‖.
Dengan demikian symbol-simbol dalam sistem budaya mempengaruhi
dan mengatur interaksi dalam sistem social. Sedangkan dalam sistem social
membatasi tindakan atau memberikan control terhadap sistem kepribadian
(personality sistem) yang terakhir ini menginternalisasi control terhadap sistem
perilaku (organismic sistem). Begitu pula sebaliknya, sistem-sistem yang
berbada dibawahnya secara kondusif memiliki energy yang tinggi memberikan
dukungan dan sumber daya terhadap sistem-sistem diatasnya, seperti
diungkapkan Turner (1979:80) ―Lower sistem in energy provid the condition
and energic resources for sistem higher in information”.89
Secara konsisten Parson melihat kenyataan social sebagai suatu
perspektif yang sangat luas, yang tidak terbatas pada tingkat struktur social
saja, ia menunjuk pendekatan sebagai suatu teori mengenai tindakan yang
bersifat umum, sistem social hanya salah satu dari sistem-sistem yang
termasuk dalam perspektif keseluruhan, sistem kepribadian dan sistem budaya
merupakan sistem-sistem yang secara analisis dibedakan. Dalam analisisnya
89
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.38.
101
yang terakhir, Person melihat bahwa sistem social terbentuk dari tindakan
social individu. Teori Parson mengenai tindakan social menekankan orientasi
subjektif yang mengendalikan pilihan individu, pilihan ini secara normative
diatur atau dikendalikan oleh nilai dan standar normative bersama. Selain
kebutuhan individu yang terpenuhi melalui interaksi, ada juga persyaratan
tambahan yang harus dipenuhi jika ingin tetap bertahan hidup dan
mempertahankan identitasnya serta strukrur sebagai sistem yang terus
bergerak. Pernyataan ini disebut sebagai persyaratan fungsional, yang akan
dianalisis melalui variable pola dan akan ditetapkan tingkat individu, budaya,
dan struktur social.
Pendekatan fungsional yang lebih dekat dengan dunia empiris juga
diungkapkan oleh Robert Merton. Merton menekankan tindakan yang
berulang-ulang atau yang baku berhubungan dengan bertambahnya suatu
sistem, tempat tindakan itu berakar. Merton tidak menaruh perhatian pada
orientasi subyektif individu, melainkan pada konsekuensi-konsekuensi
manifest atau laten. Menurut Merton (1968:105) “Fungsi manifes adalah
konsekuensi obyektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari sistem;
sedangkan fungsi laten adalah fungsi yang tidak dimaksudkan atau disadari.‖
Pada hakekatnya teori sistem adalah manifestasi dari teori
fungsionalisme Talcott Parson yang dilahirkan tahun 1902 Colorado Springs
Amerika Seilkat, sebagai kelanjutan dan pengembangan teori Spenser, Weber,
dan Durkheim mewakili para sosiolog, serta Radcliffe Brown dan Bronislaw
Malinowski mewakili tokoh antropologi. Teori sistem Parsons, berasal dari
102
pemahaman konsep kebudayaan seperti diungkapkan oleh James Spreadley
(1972:6) ―Two other definitions are special interest because they have come to
be associated with major theoretical approaches in anthropology. These are
the behavioral and cognitive definition of culture”.
Sistem budaya yang berisi gagasan dan bersifat abstrak (cognitive)
menurut parson harus diwujudkan dalam bentuk sistem social, sebagai
manifestasi dari seluruh sistem gagasan atau ide, sebagai wujud kebudayaan
dianggap lebih konkret dalam bentuk tindakan manusia di tengah kehidupan
social masyarakat. Sistem social adalah refleksi kebudayaan yang diwujudkan
dalam bentuk tindakan, peran-peran status, abstraksi, dan lain-lain. Konsep
sistem social sebagai refleksi kebudayaan sebenarnya merupakan kelanjutan
dari pemikiran Parsons tentang teori tindakan sosialnya dalam The Structure of
Sosial Action. Lebih lanjut Turner (1979:80) menegaskan bahwa ―konsep
sibernatika Parsons menggambarkan adanya sistem keterkaitan secara
structural yang saling mendukung terciptanya mekanisme keseimbangan dalam
kehidupan masyarakat, meskipun masing-masing sub-sistem mempunyai
fungsi yang berbeda-beda‖. Selain berfungsi sebagai mekanisme
keseimbangan, teori sistem yang dikembangkan oleh Parsons juga
mengandung banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendukung
terwujudnya “social action “ sehingga dapat melakukan perubahan social
budaya. Menurut Talcott Parsons (1960) bahwa : Masyarakat sebagai suatu
sistem social harus memenuhi empat syarat fungsional, agar setiap sistem
dalam kebudayaan berfungsi sesuai dengan maknanya. Diantaranya :
103
1.) Setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkunganya
(adaptation),
2.) Setiap sistem harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumber
daya untuk mencapai tujuan dan gratifikasi (goal attainment),
3.) Setiap sistem harus mempertahankan koordinasi internal dari bagian-
bagianya serta membangun cara-cara terkait secara deviasi untuk
mempertahankan kesatuanya (intergration),
4.) Setiap sistem harus mempertahankan dirinya untuk memelihara
keseimbangan (pattern maintenance).
Berdasarkan konsep teori sistem yang telah dikemukakan, dapatlah
dimengerti bahwa sebenarnya Parson adalah juga termasuk salah seorang tokoh
fungsionalis structural yang melihat masyarakat sebagai suatu jaringan
kelompok yang berkerja sama secara terorganisasi, sesuai norma dan nilai-nilai
social. Dalam perspektif fungsionalis masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan
kelompok yang kerja sama secara terorganisasi, secara teratur menurut norma
dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat itu sendiri. Masyarakat
dipandang sebagai suatu sistem social, yang berfungsi melaksanakan sistem
budaya yang berisi gagasan-gagasan atau ide pengetahuan, kepercayaan,
norma, serta nilai-nilai social budaya yang telah disepakati bersama.
Sebagaimana ditegaskan oleh Schweder (1980:116) bahwa ―masing-masing
sub-sistem dalam social itu, satu sama lain saling terkait, saling memberikan
kontrol dan mendukung untuk mewujudkan perubahan social.
Pendekatan social budaya adalah salah satu perspektif atau paradigma
sosiologi antrologi yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan social
masyarakat dan sistem budayanya. Dalam hal ini Paul Harton (1996:16)
104
menjelaskan beberapa model perspektif sosiologi terdiri dari Perspektif
Evolusionis, Interaksionis, Fungsionalis dan Persepektif Konflik. Sedangkan
dalam teori ilmu-ilmu social, khususnya antropologi digunakan juga model-
model positivism, fenomenologis, structural fungsionalis, pendekatan sistem
dan integrasi.
Pola dakwah dan Pendidikan secara ―evolusionis positivisme‖ dilakukan
berdasarkan contoh-contoh historis yang pernah dilakukan oleh para nabi, para
wali, para dai atau para pendidik pada umunya, yang telah dianggap berhasil
menyampaikan misi dakwah dan pendidikan sesuai visi ajaran agama.
Pola dakwah dan pendidikan “evolusionis positivisme‖ adalah model-
model dakwah dan pendidikan yang secara positif sudah pernah dilakukan,
jelas hasilnya, melalui tahapan-tahapan atau periode sejarah dalam
pengembangan dakwah dan pendidikan Islam. Paradigma “evolusionis
positivism” ini sebagaimana diungkapkan oleh August Comte (1798-1857) dan
Herbert Spencer (1820-1903) berorientasi pada fakta social (social fact) dan
cenderung bersifat materialisme kuantitatif. Perspektif ini menjelaskan
bagaimana masyarakat manusia berkembang dan tumbuh secara evolusi,
berlangsung tahap demi tahap mengikuti hukum alam yang universal berlaku
bagi seluruh manusia kapan dan dimanapun adanya. Menurut positivisme,
pengetahuan terbatas pada apa yang tampak oleh pancaindra karena itu
pendekatan positivisme bersifat spekulatif, hanya mempelajari hubungan-
hubungan diantara fenomena yang bisa diamati.
105
Pola dakwah dan pendidikan ―interaksionis-fenomenologis‖ dapat
diterapkan melalui berbagai macam media informasi dan komunikasi,
pengajian, ceramah agama, diskusi, pendidikan, penyuluhan, majlis ta‘lim,
dialog, dll. Sehingga ajaran agama dapat dikomunikasikan dengan baik
melalui interaksi social budaya. Model pembelajaran interaktif dalam dunia
pendidikan, memberikan penghargaan kepada peserta didik, bukan hanya
diposisikan sebagai objek tetapi bisa juga dijadikan subjek. Peserta didik
diberikan kesempatan lebih banyak untuk aktif mencari symbol-simbol belajar
yang mereka fahami, untuk dikomunikasikan dan dikonsultasikan kepada guru.
Jadi dalam proses pendidikan ini, guru lebih banyak berperan sebagai mediator
dan fasilitator yang meluruskan kemungkinan-kemungkinan kekeliruan
pemahaman siswa. Model-model dakwah dan pendidikan “interaksionis-
fenomenologis” adalah model yang sangat memperhatikan aspek pemahaman
masyarakat, aspek rasionalitas dan aspek kebermaknaan dari symbol-simbol
yang digunakan serta dipahami oleh masyarakat dalam konteks kegiatan
dakwah dan pendidikan. Guru misalya selaku pendidik, harus memahami apa
yang sedang dialami dan dirasakan oleh siswanya. Secara sosio antropologis
pendidik turut merasakan penuh empati dalam kehidupan remaja dan tantangan
social budaya terhadap dunia pendidikan. Menurut Alfred Schutz (1899-1959),
ia sebagai pelopor teori penomenologis dalam karya klasiknya berjudul ―The
Penomenology of the Sosial World”, mengatakan bahwa menggabungkan
pandangan-pandangan fenomenologis dalam sosiologi secara kritis. 90 Dalam
90
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.44.
106
konteks ini, sosiologi fenomenologis memiliki kemampuan tertentu yang
bersifat sangat menarik, karena dapat digunakan untuk memperjelas serta
memahami makna suatu tindakan, atau makna dibalik suatu peristiwa melalui
interaksi simbolik.
Peter Berger dan Thomas Luckman dalam “ Social Contruction of
Reality” yang memadukan analisis holistic dan karakteristik social yang
bersifat inualistik, secara etnometodologi menggambarkan bahwa fenomena
adalah hal-hal yang kita sadari sebagai aliran yang bersifat pengalaman yang
berdasarkan pengamatan indrawi (hasil observasi). Identifikasi terhadap gejala-
gejala social, menumbuhkan kesadaran bertindak, bahwa dalam interaksi social
ada makna, norma, serta nilai-nilai yang dapat dikontruksikan, sehingga
fenomena itu menjadi symbol yang bermakna. Secara kualitatif, paradigma
fenomenologis melihat bahwa dibalik tindakan seseorang ada makna tersirat,
tidak bisa diukur secara matematis hanya melihat hitam putihnya kejadian,
karena fenomena sebagai gejala-gejala social yang didasari bersifat dinamis.
Paradigma fenomenologis menggunakan konsep kebermaknaan yang bersifat
simbolis (interaksi simbolik) dalam memahami tindakan seseorang. Bahwa
manusia memiliki naluri yang stabil dan khusus dalam memandang kehidupan
serta lingkungan social, dimana didalamnya terkandung nilai-nilai dan makna-
makna yang selalu berkembang. Berger dan Luckman tertarik dengan cara
dimana makna-makna ini berkembang di‖obyektivikasikan‖ institusi-institusi
107
social, sehingga mensosialisasikan dalam masyarakat. (Ian Craib, 1994:128-
136).
Pola dakwah dan pendidikan “fungsionalis-sistemik” adalah model
penerapan dakwah bil hal yang sistemtik, proses pendidikan yang melibatkan
semua elemen terstruktur dalam dunia pendidikan. Sesuai fungsinya dakwah
harus dapat merubah suatu situasi dalam kehidupan masyarakat yang kurang
kondusif, menjadi situasi masyarakat yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai
social budaya Islam. Pendidikkan harus dapat melakukan perubahan pada diri
peserta didik atau masyarakat yang lebih baik, perilaku yang lebih positif
dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Banyak kasus pendidikan di mana
guru agama tidak bisa melibatkan guru-guru lain untuk turut serta
berpartisipasi secara structural dan sistematik, menangani masalah-masalah
moralitas dikalangan siswa. Tanggung jawab moral dan agama, seakan hanya
monopoli menjadi tanggung jawab guru agama. Dalam konteks inilah pelaku
Pendidikan Agama Islam harus melakukan perubahan, inovasi, dan pembaruan
terhadap kurikulum dan strategi pedekatan secara sosio antropologis. Model
dakwah dan pendidikan fungsionalis-sistematik adalah pendekatan dakwah dan
pendidikan yang memperhatikan fungsi-fungsi social budaya yang saling
terkait secara structural, memperhatikan keterkaitan antar sub-sistem secara
keseluruhan sehingga dapat mendukung keberhasilan dakwah dan pendidikan.
Tema utama model pendekatan sistem.
Tema utama model pendekatan sistem melihat dunia social dalam
hubunganya dengan ide-ide masyarakat, sesuai norma dan nilai yang
108
dianutnya. Norma dan berbagai peraturan yang secara social diterima serta
berguna sebagai dasar untuk mengambil atau memutuskan tindakan, berfungsi
memberikan control terhadap perilaku individu yang melakukan tindakan
tersebut. Sperti apa yang telah diungkapkan parsons bahwa sistem tindakan
dalam wujud perilaku individu secara holistic tidak bisa terlepas dari sistem-
sistem lain secara keseluruhan, termasuk sistem budaya dan sistem social.
Teori tindakan yang diebut Voluntaristik Parsons menegaskan bahwa orang
bebas memilih tujuan dan alat, tetapi ia dibatasi oleh lingkungan serta norma
yang telah disepakati bersama.
Teori sistem yang dikembangkan oleh parsons, berangkat dari
pemahaman terhadap konsep kebudayaan sebagaimana telah diungkapkan oleh
James Spradley (1972:6) ―Two other definitions are special interest because
they have come to be associated with major theoritcal approaches in
anthropology. These are the behavioral and cognitive definitions of culture”
sistem budaya yang berisi gagasan dan bersifat abstrak (cognitive) menurut
Parsons harus diwujudkan dalam bentuk sistem social, sebagai manifestasi dari
seluruh sistem gagasan atau ide, sehingga wujud kebudayaan dianggap lebih
konkrit dalam bentuk tindakan, peran-peran status, abstraksi, dll. Konsep
sistem social sebagai refleksi kebudayaan sebenarnya merupakan kelanjutan
dari pemikiran parsons tentang teori tindakan sosialnya dalam The Structure of
social Action. Kemudian pada tahun 1951. Parsons memunculkan konsep
sistem social yang menganalisis tiga sistem tindakan, diantaranya : Cultural,
Sosial, dan personality. Konsep sistem yang dikembangkan oleh parsons bukan
109
hanya mengerjakan pengambilan fakta social, tetapi juga berinteraksi
membentuk stabilitas susunan hubungan social kemasyarakatan. Sistem
kepribadian adalah suatu sistem karakter atau sifat-sifat individu, seperti
kebutuhan, disposisi, pernyataan sikap, serta kecakapan individu para actor
yang berproses dan tergambar ketika mereka berinteraksi dengan individu lain.
(Jonathan Turner, 1979:71)91
Setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi, keyakinan, cara pandang
yang mungkin saling berbeda. Dalam konteks inilah setiap individu dipaksa
untuk berlaku, bergaul, dan bertindak sesuai norma dan nilai-nilai social
budaya yang dianut oleh masyarakat. Itulah sebabnya penerapan pendidikan
dan dakwah juga harus memperhatikan latar belakang social budaya yang
berkembang dimasyarakat. Pendidikan dan masyarakat secara terstruktur
merupakan satu sistem yang saling terkait. Aktifitas pendidikan tidak bisa
terlepas dari masyarakat dan lingkungan kehidupan disekitarnya, karena tidak
mungkin ada pendidikan tanpa masyarakat, sebaliknya juga tidak ada
masyarakat yang tanpa membutuhkan pendidikan, sesuai dengan
perkembangan kebutuhan akal manusia. Oleh karena itu manager pendidikan
harus memperhatikan kondisi social budaya masyarakat disekitarnya, agar
pengelolaan pendidikan memperoleh dukungan masyarakat, dapat
diorganisasikan dengan baik, sesuai komunitas yang berada dalam
lingkunganya. Secara sosiologis pendidikan harus dapat mengakomodasikan
norma dan nilai-nilai agama, aspirasi politik, latar belakang social ekonomi,
91
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.47.
110
situasi dan kondisi keamanan, baik dilingkungan masyarakat desa ataupun
masyarakat kota.92
D. Teori Kultural Perilaku Sosial.
1. Definisi Perilaku Sosial
Membicarakan agama, berarti mengkaji masalah yang bersifat abstrak.
Karena wujudnya agama akan dilihat dari kultural sistem perilaku sehari-hari
(action, tindakan, dan amal nyata) yang ditunjukan oleh para penganut agama
yang bersngkutan.93 Dan itulah realitas agama yang dapat diteliti, di observasi
dan dikaji secara ilmiah, sehingga dapat menjelaskan makna agama yang
sebenarnya. Sebagaimana konsep Clifford Geertz94 menyebutkan agama
sebagai Cultur Sistem atau sistem sosial dalam perspektif sosio antropologis,
karena salah satu yang paling essensial dari kultural sistem adalah kajian aspek
kemanusiaan. Suatu sistem yang tidak bisa lepas dari kenyataan-kenyataan
adanya hubungan antara manusia dengan Zat Tuhan yang dianggap sakral.
Oleh karena itu berdasarkan maknanya agama sebagai sistem budaya yang
mengandung gagasan atau idiologi, maka agama bisa juga di sebut sistem
idiologi (Idiological Sistem). Sekalipun tidak mesti identik dengan
kebudayaan; karena kebudayaan murni hasil gagasan dan perilaku manusia,
sedangkan agama tidak seluruhnya hasil gagasan manusia (khususnya agama
wahyu).95
92
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.52 93
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.106 94
Ibid. Hal 87 95
Ibid. Hal.96.
111
Studi agama sebagai sistim (kultural) budaya berarti penulisan dan
pengkajian terhadap perilaku agama, yang secara fenomenologis dapat diamati
dari gejala-gejala tingkah laku seseorang atau masyarakat, kaitannya dengan
sistem kepercayaan, pengetahuan, norma, dan nilai-nilai sosial budaya serta
agama yang dianutnya.96 Dalam Islam misalnya hubunngan manusia dengan
Allah swt. Diwujudkan dalam bentuk perilaku keagamaan, tata cara
peribadatan, baik secara individu atau bersama-sama dalam masyarakat
manusia. Hal ini menunjukan bahwa agama bukanlah elemen tersendiri tanpa
manusia, melainkan sebagai keseluruhan organisame dan kehidupan yang
mendasari manusia untuk beragama.
Upaya selanjutnya, untuk memahami perilaku manusia baik secara
individual maupun kelompok, maka di kaji dari perpektif Psikologi Sosial.
―Social Psychology‖ ditulis oleh William Mc Dougall - seorang psikolog - dan
‖Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross -
seorang sosiolog.97
Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa
psikologi sosial bisa di‖claim‖ sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga
sebagai bagian dari sosiologi. Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan
Psikologi ?
Kajian utama ―psikologi” adalah pada persoalan ke pribadi an, mental,
perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai
96
Ali Abdullah, Sosiologi Pendidikan & Dakwah, Okt. 2007.Hal.96. 97
Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011), , ⃝c 2011 Center for Business Studies. FISIP
- Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249), hlm.47-48
112
individu. Sedangkan kajian ―Sosiologi” lebih mengabdikan kajiannya pada kultur
– kultur (budaya) dan struktur sosial yang keduanya mempengaruhi interaksi,
perilaku, dan kepribadian. Dunia Psikologi adalah dunia yang berkaitan
persoalan perasaan, motivasi, keperibadian, dan yang sejenisnya. Kalau
berpikir sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan
kemasyarakatan.98 Perilaku sosial adalah aktifitas fisik dan psikis
seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri
atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan social.99 Menurut John Dewey,100
mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman
masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh
lingkungan-―situasi kita”-termasuk tentunya oleh orang lain.
Untuk lebih memahami psikologi sosial ada empat perspektif mengenai
perilaku sosial, diantaranya yaitu :101 perspektif perilaku (behavioral)
perspektif kognitif (cognitive perspektives) artinya bahwa untuk menjelaskan
dan memahami perilaku seseorang harus adanya proses mental guna
memperoleh informasi yang bisa dipercaya, bagaimana mereka berpikir dan
mempersepsikan lingkungannya, perspektif stuktural (structural perspektives)
artinya perspektif yang menekankan bahwa perilaku seseorang dapat
dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya dan hal ini
terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang
98
Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011) ⃝c 2011 Center for Business Studies. FISIP -
Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249),hlm 49. 99
Hurlock, B. Elizabeth.1995. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga,hal 262 100
Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011), , ⃝c 2011 Center for Business Studies.
FISIP - Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249), hlm 145. 101
Hasan Mustafa, Jurnal Administrasi Bisnis (2011), ⃝c 2011 Center for Business Studies.
FISIP - Unpar , Vol.7, No.2: hal. 143–156, (ISSN:0216–1249), hlm 145.
113
lain, perspektif interaksionis (interactio-nist perspectives) artinya bahwa
manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri
dan mereka membangun harapan-harapan sosial. Manusia satu sama lain
bernegosiasi satu sama lain untuk membenttuk interaksi dan harapannya.
Menurut Sarlito102 perilaku dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Perilaku sosial (social behavior).
Yang dimaksud perilaku sosial adalah perilaku ini tumbuh dari orang-
orang yang ada pada masa kecilnya mendapatkan cukup kepuasan akan
kebutuhan inklusinya. Ia tidak mempunyai masalah dalam hubungan antar
pribadi mereka bersama orang lain pada situasi dan kondisinya. Ia bisa
sangat berpartisipasi tetapi bisa juga tidak ikut-ikutan, ia bisa melibatkan
diri pada orang lain, bisa juga tidak, secara tidak disadari ia merasa dirinya
berharga dan bahwa orang lain pun mengerti akan hal itu tanpa ia
menonjol-nonjolkan diri. Dengan sendirinya orang lain akan melibatkan
dia dalam aktifitas-aktifitas mereka.
b. Perilaku yang kurang sosial (under social behavior).
Timbul jika kebutuhan akan inklusi kurang terpenuhi, misalnya:
sering tidak diacuhkan oleh keluarga semasa kecilnya. Kecenderungannya
orang ini akan menghindari hubungan orang lain, tidak mau ikut dalam
kelompok-kelompok, menjaga jarak antara dirinya dengan orang lain, tidak
mau tahu, acuh tak acuh. Pendek kata, ada kecenderungan introvert dan
menarik diri. Bentuk tingkah laku yang lebih ringan adalah: terlambat
102
Sarwono Wirawan Sarlito. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta P.T Grafindo Persada,hal:150.
114
dalam pertemuan atau tidak datang sama sekali, atau tertidur di ruang diskusi
dan sebagainya. Kecemasan yang ada dalam ketidak sadarannya adalah
bahwa ia seorang yang tidak berharga dan tidak ada orang lain yang mau
menghargainya.
c. Perilaku terlalu sosial (over social behavior).
Psikodinamikanya sama dengan perilaku kurang sosial, yaitu
disebabkan kurang inklusi. Tetapi pernyataan perilakunya sangat berlawanan.
Orang yang terlalu sosial cenderung memamerkan diri berlebih-lebihan
(exhibitonistik). Bicaranya keras, selalu menarik perhatian orang,
memaksakan dirinya untuk diterima dalam kelompok, sering menyebutkan
namanya sendiri, suka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mengagetkan.
Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang
hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata
lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai
dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan
naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai
aktivitas individu dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.
Seseorang agar bisa memenuhi tuntutan sosial maka perlu adanya
pengalaman sosial yang menjadi dasar pergaulan.
1. Pentingnya pengalaman sosial.
115
Banyak peristiwa atau pengalaman sosial yang dialami pada masa anak-
anak. Beberapa pandangan pengalaman.103
a. Pengalaman yang menyenangkan.
Pengalaman yang menyenangkan mendorong anak untuk mencari
pengalaman semacam itu lagi.
b. Pengalaman yang tidak menyenangkan.
Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan sikap
yang tidak sehat terhadap pengalaman sosial dan terhadap orang
lain. Pengalaman yang tidak menyenangkan mendorong anak
menjadi tidak sosial atau anti sosial.
c. Pengalaman dari dalam rumah (keluarga).
Jika lingkungan rumah secara keseluruhan memupuk perkembangan
sikap sosial yang baik, kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi
yang sosial atau sebaliknya.
d. Pengalaman dari luar rumah.
Pengalaman sosial awal anak di luar rumah melengkapi
pengalaman di dalam rumah dan merupakan penentu penting bagi
sikap sosial dan pola perilaku anak. Berdasarkan pemahaman diatas,
pengalaman sosial pada masa anak-anak baik itu yang
menyenangkan, tidak menyenangkan, diperoleh dari dalam rumah
atau dari luar rumah adalah sangat penting.
2. Mulainya perilaku sosial
Perilaku sosial dimulai pada masa bayi bulan ketiga.104 Karena pada waktu lahir,
bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Selama kebutuhan fisik mereka
terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai minat terhadap orang lain.
Sedangkan pada masa usia bulan ketiga bayi sudah dapat membedakan antara
manusia dan benda di lingkungannya dan mereka akan bereaksi secara berbeda
terhadap keduanya. Penglihatan dan pendengaran cukup berkembang sehingga
103
Hurlock, B. Elizabeth. 1995, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Hlm.156. 104
Hurlock, B. Elizabeth. 1995, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga. Hlm.259.
116
memungkinkan mereka untuk menatap orang atau benda juga dapat mengenal
suara. Perilaku sosial pada masa bayi merupakan dasar bagi perkembangan
perilaku sosial selanjutnya.