bab ii kajian teori 2.1 hakikat peranan guru 2.1.1...

32
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Hakikat Peranan Guru 2.1.1 Pengertian Peranan Guru Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama.Peranan menurut Levinson (dalam Soekamto, 1999:22) sebagai berikut: Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sangsi dan lain-lain. Efektivitas dan efisiensi belajar dan pembelajaran anak di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Dalam hal ini, terdapat sejumlah peran yang diemban guru. Abin Syamsuddin (dalam Yusriana, 2012:17) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai: 1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan; 2) Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan; 3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik; 4) Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik; 5) Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan

Upload: vodat

Post on 07-Mar-2019

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Hakikat Peranan Guru

2.1.1 Pengertian Peranan Guru

Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang

pimpinan yang terutama.Peranan menurut Levinson (dalam Soekamto, 1999:22) sebagai berikut:

Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi

struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi

atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran adalah serangkaian rumusan yang

membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya

dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi

penilaian, memberi sangsi dan lain-lain.

Efektivitas dan efisiensi belajar dan pembelajaran anak di sekolah sangat bergantung

kepada peran guru. Dalam hal ini, terdapat sejumlah peran yang diemban guru. Abin

Syamsuddin (dalam Yusriana, 2012:17) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan

secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai:

1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;

2) Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;

3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;

4) Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam

pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;

5) Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat

dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan

menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang

menciptakannya).

Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin (dalam

Yusriana, 2012:17), mengemukakan bahwa peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik,

yang mencakup :

1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan

di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems);

2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin,

merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan

rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan

kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama

proses berlangsung (during teaching problems).

3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan

dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan

proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek

keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Surya (2004:45),

menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru

dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam

belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus

membantu pemecahannya (remedial teaching).

Di lain pihak, Surya (2004:45), mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga

dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola

pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing

peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family

educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social

developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent). Lebih

jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran

dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.

Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru

berperan sebagai :

1) Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;

2) Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan

kepentingan masyarakat dalam pendidikan;

3) Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;

4) Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;

5) Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat

berlangsung dengan baik;

6) Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan

perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa

depan; dan

7) Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.

Dipandang dari segi diri pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai : (1)

Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada

masyarakat; (2) Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus

menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya; (3) Orang tua, artinya guru adalah

wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah; (4) model keteladanan, artinya

guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan (5) Pemberi

keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam

didikan gurunya.

Secara psikologis, Yusriana (2012:20) guru berperan sebagai :

1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi

pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;

2. seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah

orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia,

khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;

3. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok

dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;

4. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan

suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan

5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi

terciptanya kesehatan mental para peserta didik.

Sementara itu, Doyle (dalam Danim, 2002:67) mengemukan dua peran utama guru dalam

pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses

belajar (facilitating learning). Keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau

tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta

didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam

masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan

bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar,

dan lain-lain.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa

mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan

berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih

dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa

mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai

informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di

jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah

peserta didiknya.

Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian

cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan

baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan

profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus

melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping

itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran

yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada

praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru

mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang

mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun,

disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang

berlangsung.

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa guru bermakna sebagai pendidik

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,

menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. Sejalan dengan itu, guru

memiliki peran yang bersifat multi fungsi, lebih dari sekedar yang tertuang pada produk hukum

tentang guru, seperti UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 tentang

Guru. Mujtahid (2010: 77), mengemukakan bahwa guru berperan sebagai perancang, penggerak,

evaluator, dan motivator dideskripsikan seperti berikut ini :

1. Guru sebagai Perancang

Guru sebagai perangcang yaitu menyusun kegiatan akademik atau kurikulum dan

pembelajaran, menyusun kegiatan kesiswaan, menyusun kebutuhan sarana prasarana dan

mengestimasi sumber-sumber pembiayaan operasional sekolah, serta menjalin hubungan

dengan orangtua, masyarakat, pemangku kepentingan dan instansi terkait.

2. Guru sebagai Pendidik

Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik,

dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu,

yang mencakup tanggung jawab, wibawa dan disiplin. Berkenaan dengan wibawa; guru harus

memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, intelektual

dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dan pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi dan

seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan. Sedangkan disiplin dimaksudkan bahwa guru

harus mematuhi berbagai peraturan dan tata tertib secara konsisten, atas kesadaran profesional

karena mereka bertugas untuk mendisiplinkan peserta didik didalam sekolah, terutama dalam

pembelajaran. Oleh karena itu menanamkan disiplin guru harus memulai dari dirinya sendiri,

dalam berbagai tindakan dan perilakunya.

3. Guru sebagai Penggerak

Guru dikatakan sebagai penggerak, yaitu mobilisator yang mendorong dan menggerakkan

system organisasi sekolah. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, seorang guru harus

memiliiki kemampuan intelektual, misalnya mempunyai jiwa visioner, creator, peneliti, jiwa

rasional, dan jiwa untuk maju. Kepribadian seperti luwes, wibawa, adil dan bijaksana juga

jujur. Untuk mendorong dan menggerakkan system sekolah yang maju memang

membutuhkan kemampuan brilian tersebut guna mengefektifkan kinerja sumber daya manusia

secara maksimal dan berkelanjutan. Sebab itu pola ini dapat terbangun secara kolektif dan

dilaksanakan dengan sungguh oleh guru, maka akan muncul perubahan besar dalam sistem

manajemen sekolah yang efektif. Melalui cita-cita dan visi benar inilah guru sebagai agen

penggerak diharapkan mempunyai rasa tanggungjawab, rasa memiliki, serta rasa ingin

memajukan lembaga sekolahnya sebagai tenda besar mendedikasikan hidup mereka.

4. Guru sebagai Evaluator

Guru menjalankan fungsi sebagai evaluator, yaitu melakukan evaluasi/penilaian terhadap

aktivitas yang telah dikerjakan dalam system sekolah. Peran ini penting, karena guru sebagai

pelaku utama dalam menentukan pilihan serta kebijakan yang relevan demi kebaikan system

yang ada di sekolah, baik menyangkut kurikulum, pengajaran, sarana-prasarana, sasaran dan

tujuan. Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena

melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variabel yang mempunyai arti apabila

berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi

penilaian. Sebagai suatu proses, penilaian dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dan dengan

teknik yang sesuai, mungkin tes ataupun non tes. Teknik apapun yang dipilih, penilaian harus

dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi 3 tahap yaitu persiapan, pelaksanaan dan

tindak lanjut. Selain menilai peserta didik, guru harus pula menilai dirinya sendiri baik

sebagai perencana maupun penilai program pembelajaran. Oleh karena itu ia harus memiliki

pengetahuan yang memadai tentang penilaian program sebagai mana memahami penilaian

hasil belajar.

5. Guru sebagai Motivator

Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan penentu keberhasilan. Seorang guru

memerankan diri sebagai motivator murid-muridnya. Guru sebagai motivator artinya guru

sebagai pendorong anak dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan

belajar anak. Sering terjadi anak yang kurang berprestasi, hal ini bukan disebabkan karena

memiliki kemampuan yang rendah, akan tetapi disebabkan tidak adanya motivasi belajar dari

anak sehingga ia tidak berusaha untuk mengerahkan segala kemampuannya.

Dari penjelasan tentang beberapa peran guru, maka dapat disimpulkan bahwa tugas guru

adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan

kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini

meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan

keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan

generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap

eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional. keberhasilan seorang anak sangat besar

peran dari seorang guru begitu pun dengan kemajuan sekolah baik itu mengenai pembelajaran,

sarana dan prasarana dan lain sebagainya.

2.1.2 Perluasan Peran Guru dalam sekolah

Menurut Trainer (2012 : 97), bahwa di masa depan, peran guru akan menjadi makin sangat

strategis, meski tidak selalu dapat ditafsirkan paling dominan dalam kerangka pembelajaran.

Guru tidak lagi hanya sebatas bisa bekerja secara manual, melainkan sudah harus makin akrab

dengan instrumen teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini berimplikasi pada perubahan

sikap dan perilaku mereka dalam melaksanakan tugasnya. Karenanya guru masa depan harus

mampu memainkan peran seperti berikut :

1. Guru sebagai Penasehat

Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua meskipun mereka

tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap

untuk menasehati orang. Agar dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan

penasehat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu

kesehatan mental.

2. Guru sebagai Pembaharu (innovator)

Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi

peserta didik. Dalam hal ini terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu

dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua yang lebih banyak daripada nenek

kita. Tugas guru disini adalah memahami bagaimana keadaan jurang pemisah ini, dan

bagaimana menjembataninya secara efektif. Jadi yang menjadi dasar adalah pikiran-pikrian

tersebut dan cara yang digunakan untuk mengekspresikan dibentuk oleh corak waktu yang

dipergunakan.

3. Guru sebagai Pribadi

Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki keperibadian

yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-

kadang dirasakan lebih berat dibandingkan profesi lainnya. Ujian terberat bagi guru dalam hal

kepribadian adalah rangsangan yang memancing emosinya. Kestabilan emosi amat

diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan perasaan,

dan memang diakui bahwa tiap orang mempunyai tempramen yang berbeda. Kemarahan guru

terungkap dalam kata-kata yang dikeluarkan, dalam raut muka, dan mungkin dengan gerakan-

gerakan tertentu, bahkan yang yang dilahirkan dalam bentuk hukuman fisik.

4. Guru sebagai Model dan Teladan

Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang

mengganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap

bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Menjadi teladan merupakan

sifat dasar kegiatan pembelajaran, dan ketika seorang guru tidak mau menerima ataupun

menggunakannya secara konstruktif maka telah mengurangi keefektifan pembelajaran. Peran

dan fungsi ini patut dipahami dan tidak perlu menjadi beban yang memberatkan sehingga

dengan keterampilan dan kerendahan hati akan memperkaya arti pembelajaran.

2.1.3 Pengertian Karakater

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan

memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah

laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang

berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut

dengan berkarakter mulia. (Rukiyanto, 2009:44).

Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Dekdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa,

kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun

berkarakter, adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak. Karakter mulia berarti

individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti

reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,

bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya,

jujur, menempati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia,

bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif,

visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,

pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetiso, sportif,

tabah, terbuka, tertib). Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul,

dan individu juga mampu bertidak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakter adalah

realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan

perilaku) Rukiyanto (2009:44).

Karakter disiplin yang ada pada penelitian ini difokuskan pada karakter disiplin dalam hal

kehadiran anak didik, karena masih ada beberapa orang guru yang dengan begitu saja

membiarkan anak didiknya datang terlambat kesekolah begitu pula dengan orang tua mereka

banyak yang belum paham bahwa kehadiran anak disekolah sangat perlu, karena sejak awal anak

harus ditanamkan karakter disiplin diantaranya disiplin kehadiran untuk datang ke sekolah dan

lain sebagainya.

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-

hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta

dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan

disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

2.1.4 Nilai-Nilai Karakter

Menurut Suparno (2004:66), bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma

sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, telah

teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai

perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama

manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang

dimaksud dan deskripsi ringkasnya (Rukiyanto, 2009:44) :

1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan

yaitu religius; pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan

pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.

2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri (personal) antara lain; (1) Jujur, (2)

Bertanggung jawab, (3) Bergaya hidup sehat, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Percaya diri,

(7) Berjiwa wirausaha, (8) Berpikir logis, kritis, dan inovatif, (9) Mandiri, (10) Ingin tahu,

(11) Cinta ilmu

3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama

4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan

2.2 Pentingnya Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini

Menurut Rukiyanto (2009:46), bahwa pendidikan karakter pada anak usia dini di nilai

sangat penting karena anak-anak adalah generasi yang akan menentukan nasib bangsa di

kemudian hari. Karakter anak-anak yang terbentuk sejak sekarang akan sangat menentukan

karakter bangsa di kemudian hari. Pada usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli

psikologi sebagai usia emas (golden age) terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam

mengembangkan potensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang

dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun. Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi

pada usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.

Pada usia inilah proses pendidikan karakter di mulai proses pendidikan yang ditujukan untuk

mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti

luhur (Rukiyanto, 2009:46).

Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang

luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat

benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa,

berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja,

bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana,

cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria,

komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi,

mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai

pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian,

berpengendalian diri, produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang,rasa keterikatan, rasa

malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan,

setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila,

taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan

sejenisnya (Rukiyanto, 2009:46).

2.2.1 Peran Guru dalam Membentuk Karakter Anak

Menurut Isjoni (2006:32), bahwa pendidik itu bisa guru, orang tua atau siapa saja, yang

penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak, Peran guru

pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral.

Peran guru dalam pendidikan karakter untuk peserta didik di sekolah ialah , guru memiliki

posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang bisa ditiru atau menjadi

idola bagi peserta didik. Guru bisa menjadi sumber inpirasi dan motivasi peserta didiknya. Sikap

dan perilaku seorang guru sangat membekas dalam diri siswa, sehingga ucapan, karakter dan

kepribadian guru menjadi cermin siswa. Dengan demikian guru memiliki tanggung jawab besar

dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas

manusiawi itu merupakan transpormasi, identifikasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang

harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.

Beberapa pemikiran tentang peran pendidik atau guru, di antaranya: 1) Pendidik perlu

terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun

pendidikan karakter, 2) Pendidik atau guru bertanggungjawab untuk menjadi model yang

memiliki nilai- nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi anak-anaknya.

Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup

bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan

peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut, 3) Pendidik perlu memberikan

pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam

mengambil keputusan 4) Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa

pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa anak didiknya mengalami perkembangan

karakter, 5) Pendidik perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara

terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk.

Peran guru dalam membentuk karakter anak menurut Isjoni (2006:32), yakni suatu sikap

yang merupakan kecenderungan perasaan terhadap suatu objek yang dimiliki seseorang terhadap

suatu pekerjaan yang bisa dipakai sebagai alat untuk memprediksi perilaku orang tersebut dalam

bekerja. Peran guru dalam menjalankan profesinya disebut profesionalisme dan tentunya sangat

beragam. Sikap professional guru memiliki komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Kognitif yang

berkenaan dengan keyakinan, ide, konsep. Afeksi berkenaan dengan perasaan/ emosional.

Konasi berkenaan dengan tingkah laku atau perbuatan guru. Ada empat sikap guru dalam

pembelajaran yaitu: sikap otoriter, sikap permissive, dan sikap riil. Bila guru mengajarkan suatu

mata pelajaran, ia tidak hanya mengutamakan mata pelajaran akan tetapi harus juga

memperhatikan anak itu sendiri sebagai manusia yang harus dikembangkan pribadinya.

Pada hakikatnya, manusia memiliki kemampuan untuk meningkatkan kehidupannya, baik

untuk meningkatkan pengetahuan, maupun untuk mengembangkan kepribadian dan

keterampilannya. Untuk meningkatkan kehidupannya itu, manusia akan selalu berusaha

mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Usaha itu disebut dengan pendidikan. Dalam

GBHN 1973, dikemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang disadari untuk

mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun

diluar sekolah.

Pendidikan lebih idealnya didapatkan dalam keluarga, karena lingkungan pertama yang

didapati oleh anak setelah lahir adalah lingkungan keluarga. Dalam masa tumbuh kembang anak,

peran keluarga sangat menentukan keberhasilan anak dalam meningkatkan kemampuan yang ada

pada dirinya, baik kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan maupun

kemampuan untuk mengembangkan kepribadian. Namun, pendidikan keluarga saja tidak cukup

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan luar keluarga juga dibutuhkan

dalam meningkatkan kemampuan tersebut, salah satunya adalah pendidikan sekolah. Pendidikan

sekolah merupakan salah satu sarana untuk membantu keluarga dalam meningkatkan

kemampuan yang ada pada anak. Salah satu unsur terpenting dari pendidikan di sekolah adalah

adanya pendidik atau guru (Nasution, 2008:5).

Menurut Isjoni (2006:37), pendidik atau guru adalah orang yang bertanggung jawab

terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peran guru dari segi ilmu adalah

memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik. Dengan adanya peran tersebut,

guru harus memiliki wawasan kependidikan yang luas dan menguasai berbagai strategi belajar

mengajar sehingga pengetahuan dan keterampilan tersebut dengan mudah diberikan kepada

peserta didik. Peran ini baru dilihat dari segi ilmu yang diberikan kepada peserta didik,

bagaimana dilihat dari segi prilaku dan kepribadian peserta didik.

Guru belum bisa dikatakan sukses mendidik, jika peserta didik hanya memiliki kecerdasan

intelektual saja. Guru dikatakan sukses, jika peserta didiknya memiliki kecerdasan intelektual,

emosional, dan spiritual. Oleh sebab itu, pendidikan sekolah juga diharapkan memiliki program

yang bisa dijadikan sebagai sarana pembentukan karakter peserta didik.

Menurut Nasution (2008:6), pembentukan karakter anak memang semestinya dilakukan

oleh orang tua. Namun, ketika anak berada di sekolah, maka yang menjadi orang tua anak adalah

guru. Sehubungan dengan perannya sebagai pembentuk karakter anak di sekolah, maka guru

dituntut untuk sungguh-sungguh menjalankan peran tersebut, karena salah membentuk karakter

anak akan berakibat fatal bagi kehidupan anak. Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa

guru adalah orang tua kedua dari peserta didik, sehingga ketika peserta didik jauh dari orang

tuanya, peserta didik masih mendapat bimbingan dari guru seperti halnya mereka dapatkan dari

orang tua.

Pendidikan pancasila dapat dijadikan sebagai sarana dalam pembentukan karakter peserta

didik, karena pancasila mengandung nilai-nilai kehidupan yang bisa dijadikan pedoman dalam

menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Peserta didik yang pada hakikatnya adalah

warga negara Indonesia. Dengan demikian, peserta didik diharapkan memiliki kepribadian yang

sesuai dengan nilai-nilai pancasila sehingga terciptalah generasi bangsa yang cerdas dan

bermoral.

Ada beberapa hal yang harus diupayakan oleh guru dalam pembentukan karakter peserta

didik sesuai dengan nilai-nilai pancasila, antara lain sebagai berikut: (1) Memperkuat dasar

keimanan dan ketakwaan peserta didik. (2) Membiasakan peserta didik untuk berprilaku baik. (3)

Menanamkan nilai persatuan kepada peserta didik. (4) Menanamkan sikap toleransi dan

tenggang rasa. (5) Membiasakan untuk bermusyawarah dalam menyelasaikan masalah. (6)

Menumbuhkan sikap jujur, adil, dan bertanggung jawab kepada peserta didik.

Sebenarnya, upaya pembentukan karakter anak merupakan hal yang tidak mudah

dijalankan oleh seorang guru. Guru akan kesulitan dalam membentuk karakter anak, jika tidak

ada dukungan dari keluarga dan masyarakat yang ada di lingkungan peserta didik. Pembentukan

karakter merupakan tanggung jawab bersama antara guru, keluarga dan masyarakat.

Guru harus memikul tanggung jawab besar dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan

menciptakan generasi penerus yang dapat memajukan kehidupan bangsa.Tanggung jawab yang

besar dari seorang guru hendaklah dibalas dengan penghargaan yang besar pula karena memikul

tanggung jawab dan amanah yang besar merupakan suatu hal yang sulit dijalani. Penghargaan

besar hendaklah diberikan kepada para guru yang berjuang untuk kesejahteraan negeri.

Penghargaan terhadap guru merupakan wujud dari penghargaan terhadap negeri karena jasa guru

dapat menciptakan generasi bangsa yang cerdas dan berkarakter (Nasution, 2008:8).

2.2.2 Keteladanan Guru dalam Pembentukan Karakter Anak.

Menurut Sinamo (2010:8), guru sebagai teladan dalam pembentukan karakter memiliki

karakteristik sebagai berikut: 1) Guru harus mengetahui karaketr apa saja yang harus dimiliki

oleh setiap peserta didik, 2) Guru harus meneladani teladan seluruh alam yaitu Allah sang

pencipta. Ketika guru mengikut teladan Kristus maka guru tersebut akan mampu menjadi teladan

yang baik bagi anak didiknya, 3) Guru harus benar-benar mengetahui prinsip-prinsip

keteladanan. Bahwa keteladanan dimulai dari diri sendiri, 4) Guru harus mengetahui tahapan

perkembangan siswa sehingga mampu memilih metode pembelajaran yang tepat untuk mendidik

karakter anak didiknya.

Pembentukan karakter anak juga dipengaruhi kesadaran guru tentang visi, profesinya

sebagai guru. Jika seseorang mendengar panggilan jiwanya dan mengetahui visinya sebagai

seorang pendidik, ia akan bekerja dengan sukacita menjalankan profesinya, mengusahakan

segala yang terbaik yang dapat dilakukannya supaya tercipta generasi yang tidak hanya cerdas

tetapi juga berkarakter. Seseorang itu akan bekerja secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan,

karena baginya kekayaan sebenarnya adalah murid-muridnya. Ketika murid-muridnya berhasil

maka terbalaslah jerih payahnya selama mengajar.

Menurut Zuriah ( 2007: 7), pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing

berlari” memang benar adanya untuk menunjukkan besarnya pengaruh seorang guru untuk

menjadi teladan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Apa yang dilakukan oleh guru

akan ditiru oleh anak. Keselarasan antara kata-kata dan tindakan dari guru akan sangat berarti

dalam pembentukan karakter anak.

Pendapat lama banyak pihak, juga para pendidik masih berpendapat bahwa kekerasan

masih diperlukan untuk membentuk disiplin sebagai salah satu karakter yang diharapkan melekat

dalam diri siswa, ataupun semacam rasa patuh kepada guru oleh anak. Kekerasan dianggap

sebagai hukuman seperti memarahi, mengumpat, bentuk perlakuan kasar secara fisik, dan

melarang anak masuk ruangan selama pelajaran tertentu berlangsung. Mereka beranggapan

bahwa kekerasan dapat digunakan untuk membentuk karakter anak. Jika seorang guru hendak

membentuk karakter peserta didik yang berbudi luhur, tentunya sang guru pun harus berkarakter.

Modal dasar bagi penyelenggaraan pendidikan karakter meliputi profesionalisme pendidik yang

berkarakter.

Semua penjelasan di atas dimaksudkan untuk memperjelas kedudukan guru dan bagaimana

peranannya dalam membentuk karakter anak. Guru yang professional pasti mengetahui batasan

hak dan kewajibannya. Guru tersebut akan melakukan yang terbaik agar siswanya memperoleh

ilmu, dan guru tersebut akan menanamkan nilai-nilai karakter dalam pembelajarannya.

Pembentukan karakter pada dasarnya sangat dekat kepada setiap mata pelajaran. Karena pada

dasarnya setiap mata pelajaran memiliki nilai-nilai karakter yang harus dilalui dan dicapai anak.

Hanya saja, sebagian besar guru tidak menyadari bahwa ada nilai-nilai yang dapat membentuk

karakter siswa karena guru hanya melihat sisi kognitif dari mata pelajaran tertentu tanpa

memperhatikan sisi afektifnya.

2.2.3 Pembentukan Karakter Bagi Anak Usia Dini

Menurut Megawangi (2007:49) bahwa membentuk karakter anak tidak bisa dilakukan

dalam sekejap dengan memberikan nasihat, perintah, atau instruksi, namun lebih dari hal

tersebut. Pembentukan karakter memerlukan teladan/role model, kesabaran, pembiasaan, dan

pengulangan. Dengan demikian, proses pendidikan karakter merupakan proses pendidikan yang

dialami oleh anak sebagai bentuk pengalaman pembentukan kepribadian melalui mengalami

sendiri nilai-nilai kehidupan, agama, dan moral.

Proses pembentukan karakter akan menjadi lebih mengena dan anak akan berbuat baik

karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri. Megawangi mengungkapkan ada Sembilan

nilai pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri anak yakni: 1) Cinta pada Allah SWT,

dengan segenap ciptaan-Nya, 2) Kemandirian dan tanggung jawab, 3) Kejujuran, bijaksana, 4)

Hormat, santun, 5) Dermawan, suka menolong, gotong royong, 6) Percaya diri, kreatif, bekerja

keras, 7) keadilan, 8) Baik hati, rendah hati, 9) Toleransi, Kedamaian, kesatuan.

Pengertian Nilai-nilai karakter menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini,

Nonformal, Dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional dalam Pedoman Pendidikan

Karakter pada Pendidikan Anak Usia Dini (dalam Isjoni 2006:36), nilai-nilai karakter adalah

sikap dan perilaku yang didasarkan pada norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, yang

mencakup aspek spiritual, aspek personal/kepribadian, aspek sosial, dan aspek lingkungan.

Karakter adalah tabiat atau kebiasaan untuk melakukan hal yang baik. Pendidikan karakter

adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter kepada anak didik yang meliputi

pengetahuan,kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan

dan kebajikan, kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesame, lingkungan maupun

kebangsaan agar menjadi manusia yang berakhlak. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat

ditanamkan pada anak usia dini (0-6 tahun), mencakup empat aspek, yaitu: (1) Aspek Spiritual,

(2) Aspek Personal/kepribadian, (3) Aspek Sosial, dan (4) Aspek lingkungan (Isjoni, 2006:39).

Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang melibatkan penanaman pengetahuan,

kecintaan dan penanaman perilaku kebaikan yang menjadi sebuah pola/kebiasaan. Pendidikan

karakter tidak lepas dari nilai-nilai dasar yang dipandang baik. Pada pendidikan anak usia dini

nilai-nilai yang dipandang sangat penting dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam perilaku

mereka dalam.

Mengembangkan Pembentukan karakter menurut Isjoni (2006:39), adalah Membangun

karakter ibarat mengukir. Sifat ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir, tidak

mudah usang terelakan waktu atau aus karena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan

menghilangkan benda yang diukir itu, karena ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya.

Demikian juga dengan karakter yang merupakan sebuah pola, baik itu pikiran, perasaan, sikap,

maupun tindakan, yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan.

Proses membangun karakter pada anak juga ibarat mengukir atau memahat jiwa

sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda antara satu dengan yang lain.

Setiap orang memiliki karakter berbeda-beda. Ada orang yang berperilaku sesuai dengan nilai-

nilai, ada juga yang berperilaku negatif atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam

budaya setempat (tidak/belum berkarakter atau berkarakter tercela) Prasetyo (2011:7-8).

Menurut Singh dan Agwan ( 2000:175 ) pengertian karakter adalah tabiat atau kebiasaan.

Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang

mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter

seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan

bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan

akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan

yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata

lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.

Unsur terpenting dalam pembentukan karakter menurut Byrne (2007:17) adalah pikiran

karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman

hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan

yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika

program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka

perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa

ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-

prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan.

Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.

Tentang pikiran menurut Murphy (2002:6) mengatakan bahwa di dalam diri manusia

terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka

istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran

bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif.

Menurut Penjelasan Gunawan (2005:27-30) mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah

sadar menarik untuk dikutip. Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak

bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak.

Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk

ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi

tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak

jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif. Untuk memahami cara kerja

pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang

berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat

pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran

subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat

membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar

semakin minimal.

Menurut Gunawan (2006:38) bahwa Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi.

Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem

kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang

diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka

pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti

awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini,

pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh

objek luar.

Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian

pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah

kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya,

jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita

akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.

Menurut Setyono (2006:50), secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau

mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga

pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan

stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan

lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun.

Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang

tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri

bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling

menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata

pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.

Membangun karakter menurut Arikunto (2004:1) berarti mendidik. Untuk berpikir tentang

pendidikan dapat kita mudahkan dengan membuat analogi sebagaimana seorang petani yang

hendak bertanam di ladang. Anak yang akan dididik dapat diibaratkan sebagai tanah, isi

pendidiklah sebagai bibit atau benih yang hendak ditaburkan, sedangkan pendidik diibaratkan

sebagai petani. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, seorang petani harus jeli menentukan

jenis dan kondisi lahan, kemudian menentukan jenis bibit yang tepat, serta cara yang tepat,

setelah mempertimbangkan saat yang tepat pula untuk menaburkan bibit. Setelah selesai

menabur, petani tidak boleh diam, tetapi harus memelihara, dan merawatnya jangan sampai kena

hama pengganggu.

2.3 Pengertian Disiplin

Disiplin berasal dari kata yang sama dengan “disciple”, yakni seorang yang belajar dari

atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Orang tua dan guru merupakan pemimpin

dan anak merupakan murid yang belajar dari mereka cara hidup yang menuju ke hidup yang

berguna dan bahagia. Jadi disiplin merupakan cara masyarakat mengajar anak perilaku moral

yang disetujui kelompok. Tujuan seluruh disiplin ialah membentuk perilaku sedemikian rupa

hingga ia akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan kelompok budaya, tempat individu itu

diidentifikasikan. Karena tidak ada pola budaya tunggal, tidak ada pula satu falsafah pendidikan

anak yang menyeluruh untuk mempengaruhi cara menanamkan disiplin. Jadi metode spesifik

yang digunakan di dalam kelompok budaya sangat beragam, walaupun semuanya mempunyai

tujuan yang sama, yaitu mengajar anak bagaimana berperilaku dengan cara yang sesuai dengan

standar kelompok sosial, tempat mereka diidentifikasikan (Hurlock, 1999: 82).

Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 28) mengartikan kata

disiplin adalah latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perhatian anak selalu

mentaati tata tertib di sekolah. Sedangkan menurut Hurlock (1999: 82) dalam bukunya

Perkembangan Anak mengartikan disiplin yakni perilaku seseorang yang belajar dari atau secara

sukarela mengikuti seorang pemimipin. Dalam hal ini anak merupakan murid yang belajar dari

orang dewasa tentang hidup menuju kearah kehidupan yang berguna dan bahagia dimasa

mendatang. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah tata

tertib atau peraturan yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk melatih watak

anggota yang ada dalam lembaga kependidikan. Pokok utama dari disiplin adalah peraturan.

2.3.1 Pentingnya Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah

Keyakinan bahwa anak-anak memerlukan disiplin dari dahulu sudah ada, tetapi terdapat

perubahan dalam sikap mengenai mengapa mereka memerlukannya. Pada masa lampau,

dianggap bahwa disiplin diperlukan untuk menjamin bahwa anak akan menganut standar yang

telah ditetapkan dan harus dipatuhi agar anak tidak ditolak oleh masyarakat. Sekarang telah

diterima bahwa anak membutuhkan disiplin bila mereka ingin bahagia dan menjadi orang yang

baik penyesuaiannya (Hurlock, 1999: 82).

Melalui disiplinlah mereka belajar berperilaku dengan cara yang diterima masyarakat dan

sebagai hasilnya mereka diterima oleh anggota kelompok sosial mereka. Disiplin diperlukan

untuk perkembangan anak karena ia memenuhi beberapa kebutuhan tertentu. Dengan demikian,

disiplin memperbesar kebahagiaan dan penyesuaian pribadi dan sosial anak. Beberapa kebutuhan

masa kanak-kanak yang dapat diisi oleh disiplin antara lain; (1) Disiplin memberikan rasa aman

dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, (2) Disiplin membantu

anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat perilaku yang salah. Perasaan yang

pasti mengakibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian yang buruk. Disiplin memungkinkan

anak hidup menurut standar yang disetujui kelompok sosial dan dengan demikian memperoleh

persetujuan social, (3) Dengan disiplin, anak belajar bersikap menurut cara yang akan

mendatangkan pujian, yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan.

Hal ini esensial bagi penyesuaian yang berhasil dan kebahagiaan, (4) Disiplin yang sesuai

dengan perkembangan berfungsi sebagai motivasi bagi anak untuk mencapai apa yang

diharapkan darinya, (5) Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani yang merupakan

pembimbing dalam pengambilan keputusan dan pengendalian perilaku (Hurlock, 1999: 82).

Menurut Isjoni (2006:40), secara psikososial, setiap anak memiliki kebutuhan dasar yang

dapat dilayani melalui disiplin. Bahkan dapat dikatakan bahwa disiplin sesungguhnya adalah

kebutuhan intrinsik dan kebutuhan ekstrinsik bagi perkembangan anak. Kebutuhan intrinsik

artinya melalui disiplin anak dapat berpikir, menata dan menentukan sendiri tingkah laku

sosialnya sesuai dengan tata tertib dan kaedah-kaedah tingkah laku dalam masyarakat.

Sedangkan kebutuhan ekstrinsik artinya dalam kehidupannya, anak akan bertanya dan meminta

petunjuk tentang arah tingkah lakunya.

Disinilah disiplin berfungsi memberi penerangan agar tingkah laku anak tidak tersesat

dan menimbulkan suasana hidup yang tidak menyenangkan bagi anak. Dengan adanya disiplin,

anak akan memperoleh penyesuaian pribadi, sosial dan institusional yang lebih baik.

Penyesuaian pribadi artinya anak dapat mengembangkan kemampuan pribadinya secara optimal

dan mewujudkan kemampuan itu sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat (Isjoni,

2006:40).

Menurut Suparno (2004:77-79), bahwa pentingnya disiplin ini sebanding dengan dampak

disiplin yang cukup nyata. Adapun pengaruh disiplin ini pada anak meliputi beberapa aspek,

misalnya:

1. Pengaruh pada perilaku

Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila

dihadapan orang-orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan

anak yang orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak

menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin

yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan

mempertimbangkan hak-hak orang lain.

2. Pengaruh pada sikap

Baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah,

memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang diperlakukan

dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang

tuanya lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang

dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis akan menyebabkan kemarahan

sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai

akibat dari metode pendidikan anak yang cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju

kepada semua orang yang berkuasa.

3. Pengaruh pada kepribadian

Semakin banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras kepala dan

negativistik. Ini memberi dampak penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga

memberi ciri khas dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak

dibesarkan dengan disiplin yang demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi

dan penyesuaian sosial yang terbaik.

2.3.2 Langkah - Langkah Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah

Orang tua dan guru selalu memikirkan cara yang tepat untuk menerapkan disiplin bagi

anak sejak mereka balita hingga masa kanak-kanak dan sampai usia remaja. Tujuan disiplin

adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan

bagi masa dewasa, saat mereka sangat bergantung kepada disiplin diri. Diharapkan, kelak

disiplin diri akan membuat hidup mereka bahagia, berhasil dan penuh kasih sayang. Rasa senang

melihat keberhasilan anak dan kekecewaan melihat sikap buruk anak merupakan alat paling

efektif dalam menerapkan disiplin pada anak. Orang tua yang realistis menyadari, ada kalanya

mereka perlu meninggikan nada suara serta bersikap tegas dalam memberikan batasan kepada

anak agar rasa percaya diri bisa tumbuh dalam diri anak. Dalam teknik disiplin yang orang tua

terapkan, harus selalu ada penekanan positif (Isjoni, 2006:44).

Menurut Isjoni (2006:46), bahwa berikut ada berbagai macam bentuk umum

mendisiplinkan anak-anak dan remaja, antara lain :

1. Disiplin Otoriter

Adalah bentuk disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno “menghemat

cambukan berarti memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau pengasuh

memberikan anak peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada penjelasan

pada anak mengapa ia harus mematuhi dan anak tidak diberi kesempatan untuk

mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mentaati peraturan itu, jika tidak

mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan pun agak kejam dan keras karena dianggap

merupakan cara terbaik agar anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari.

2. Disiplin yang lemah

Disiplin model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin

otoriter yang dialami orang dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka

diperlakukan dengan model disiplin yang otoriter, maka ketika ia memiliki anak, dididiknya

dengan cara yang sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar

bagaimana berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian anak

tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila salah, namun juga tidak diberi

hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena

tidak mengandung 3 unsur penting disiplin.

3. Disiplin Demokratis

Disiplin jenis ini, menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat

dan memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap

bahwa peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat muda, tetapi daripadanya tidak

diharapkan kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya

aturan-aturan itu dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yang

dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan dan tidak lagi dengan cara hukuman fisik.

Sedangkan perilaku sosial yang baik dan sesuai dengan harapan, dihargai terutama dengan

pemberian pengakuan sosial dan pujian.

2.4 Kajian Yang Relevan

Mardiya, tahun penelitian 2009, Peranan Orang Tua dalam Pembentukan Karakter dan

Tumbuh Kembang Anak, hasil penelitiannya menguraikan bahwa Tahun-tahun pertama

kehidupan manusia merupakan periode yang sangat penting dan kritis. Keberhasilan tumbuh

kembang anak di tahun-tahun pertama akan sangat menentukan hari depan anak. Kelainan atau

penyimpangan apapun kalau tidak diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, apalagi

yang tidak terdeteksi akan mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak di kemudian hari.

Untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat

trcapainya berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan bio-psiki-

sosial dan perilaku. Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau

tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi

bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Proses yang unik dengan hasil akhir

yang berbeda-eda memberikan ciri tersendiri pada setiap anak.. Untuk itu orang tua mempunyai

peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter dan tumbuh kembang anak secara

optimal.

Nirmala Dwiputri, tahun penelitian 2012, Penanaman Karakter dan Nilai-nilai Karakter

pada Anak Usia Dini, hasil penelitiannya menerangkan bahwa Penanaman karakter sejak usia

dini penting dalam membentuk karakter anak dengan memanfaatkan masa emas

pertumbuhannya. Lima tahun pertama pertumbuhan anak atau yang sering dikenal dengan the

golden age merupakan masa yang baik untuk mengarahkan dan mengembangkan potensi yang

dimilikinya. Pada masa ini anak dapat menyerap informasi hampir 80% yang terjadi di

sekitarnya, sehingga sangat baik memanfaatkan perkembangan tersebut dengan menanamkan

nilai-nilai karakter yang positif berupa pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya

kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai spiritual yang mengarahkan seseorang

untuk mengerti tentang hubungan dirinya dengan Sang pencipta. Penelitian ini dilakukan di

lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun yang merupakan yayasan yang memberikan

layanan pendidikan untuk anak usia dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendidikan

karakter pada anak usia dini dilembaga tersebut.

Penelitian ini diklasifikasikan dalam penelitian deskriptif melalui analisis kuantitatif.

Penelitian ini bersifat penelitian populasi. Populasi dari penelitian ini yaitu kepala sekolah dan

pendidik dilembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun Malang. Jumlah populasi

keseluruhan yaitu 36 responden. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa

angket dan wawancara, dan teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis persentase.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa (1) Tujuan dari pendidikan karakter

dilembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun yaitu menanamkan nilai religious sejak dini

sebagai fondasi terbentuknya nilai-nilai karakter yang lain. Menggali bakat dan minat peserta

didik, menumbuhkan wawasan yang luas melalui eksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi,

namun tetap dibarengi dengan IMTAQ. (2) Metode yang digunakan cukup beragam namun yang

paling dominan yaitu metode keteladanan, mendongeng, bernyanyi, bermain dan metode

demonstrasi. (3) Media yang digunakan telah memenuhi kriteria media pembelajaran untuk anak

usia dini. (4) Materi pendidikan karakter mengandung nilai-nilai karakter yang menjadi prioritas

utama dalam pengembangan nilai karakter terhadap anak. (5) Peran pendidik telah sesuai dengan

kriteia pendidikan anak usia dini dan tergolong sangat baik. (6) Lingkungan belajar yang menjadi

perhatian bukan hanya lingkungan yang bersifat fisik namun lingkungan belajar yang bersifat

non fisik. (7) Evaluasi pendidikan karakter meliputi, indikator karakter yang dikembangkan dan

tingkat efektivitas proses pembelajaran yang dialami oleh anak. (8) Hambatan yang dialami oleh

lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A’yun yaitu masalah sarana dan prasarana serta kualitas

sumber daya manusia, sehingga diperlukan solusi yang tepat dan efektif untuk mengatasi

hambatan tersebut.

Pelaksanaan pendidikan karakter memerlukan kerjasama antara pendidik dan orangtua.

Metode yang digunakan lebih variatif dengan menciptakan metode pendidikan karakter yang

lebih efektif dan efisien, sehingga nilai-nilai karakter dapat tertransformasikan dengan baik.

Peran pendidik sangat diperlukan dalam pendidikan karakter Oleh karena itu pendidik

diharapkan mempunyai kemampuan dalam menanamkan nilai-nilai karakter terhadap anak usia

dini. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya, mengenai

kajian dengan tema yang serumpun dengan mengkaji hasil penelitian ini lebih lanjut.

Dari hasil penelitian yang relevan jika dikaitkan dengan penelitian ini maka dapat

disimpulkan bahwa dalam pembentukan karakter pada anak maka peranan orang tua dan peranan

guru sangat penting agar anak memiliki karakter yang baik jika dewasa nanti.