bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id bab ii.pdf2.1.3 mekanisme dan fisiologi kelincahan...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kelincahan
2.1.1 Pengertian Kelincahan
Kelincahan adalah kemampuan untuk mengubah arah gerakan dengan
cepat (BruceW, 2004). Kelincahan merupakan kemampuan untuk mengubah
posisi tubuh atau arah gerakan tubuh dengan cepat ketika sedang bergerak cepat,
tanpa kehilangan keseimbangan atau kesadaran orientasi terhadap posisi tubuh
(Nala, 2011). Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kelincahan yang baik
dapat dengan mudah merubah posisi tubuhnya dengan tetap menjaga
keseimbangan.
Di samping itu, menurut Mappaompo (2011) kelincahan adalah suatu
bentuk gerakan yang mengharuskan seorang atau pemain untuk bergerak dengan
cepat dan mengubah arah serta tangkas. Pemain yang lincah adalah pemain yang
bergerak tanpa kehilangan keseimbangan dan kesadaran akan posisi tubuhnya.
Unsur atau komponen biomotorik yang saling terkait dengan unsur kelincahan
terdiri atas koordinasi, keseimbangan, dan kecepatan (Sajoto, 1988).
Kelincahan merupakan persyaratan untuk mempelajari dan memperbaiki
keterampilan gerak dan teknik olahraga, terutama gerakan-gerakan yang
membutuhkan koordinasi gerak. Ditinjau dari keterlibatannya atau perannya
dalam beraktivitas, kelincahan dikelompokan menjadi dua macam yaitu,
kelincahan umum (General Agility) dan kelincahan khusus (Special Agility).
10
Berdasarkan jenis kelincahan tersebut menunjukkan bahwa, kelincahan umum
digunakan untuk aktivitas sehari-hari atau kegiatan olahraga secara umum yang
melibatkan gerakan seluruh tubuh. Sedangkan kelincahan khusus merupakan
kelincahan yang bersifat khusus yang dibutuhkan dalam cabang olahraga tertentu.
Kelincahan yang dibutuhkan memiliki karakteristik tertentu sesuai tuntutan
cabang olahraga yang dipelajari dan hanya melibatkan segmen tubuh tertentu
(Ismaryanti, 2008).
Menurut Joko Purwanto (2004) bahwa seorang pemain yang mempunyai
kelincahan yang baik mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: mudah
melakukan gerakan yang sulit, tidak mudah jatuh atau cedera, dan mendukung
teknik-teknik yang digunakannya terutama teknik menggiring bola. Ciri-ciri
kelincahan dapat dilihat dari kemampuan bergerak dengan cepat, mengubah arah
dan posisi, menghindari benturan antar pemain dan kemampuan berkelit dari
pemain lawan di lapangan. Kemampuan bergerak mengubah arah dan posisi
tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi dalam waktu yang relatif
singkat dan cepat.
Maka berdasarkan beberapa definisi diatas kelincahan adalah kemampuan
seseorang dalam merubah arah dan posisi tubuhnya dengan cepat dan tepat pada
waktu bergerak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapai di lapangan
tertentu tanpa kehilangan keseimbangan tubuh.
2.1.2 Kelincahan Pada Sepak Bola
Dalam pelatihan olahraga, untuk dapat mencapai prestasi yang maksimal
harus memperhatikan beberapa faktor. Salah satunya adalah teknik dasar dalam
11
olahraga tertentu. Begitu juga dalam olahraga sepak bola, apabila kita menguasai
teknik dasar dengan baik maka kita dapat bermain dengan baik.
Menurut Sukatamsi (1984) mengatakan untuk dapat mencapai kerjasama
tim yang baik, semua pemain harus menguasai teknik dasar dan keterampilan
bermain sepak bola. Adapaun teknik dasar dalam permainan sepak bola yang
perlu dikuasai olah para pemain adalah menendang bola, menggiring bola,
menahan dan menghentikan bola, menyundul bola, melempar bola, dan merebut
bola. Hal ini membuktikan bahwa prioritas komponen kondisi fisik pada cabang
olahraga sepak bola yaitu kekuatan, kelincahan, kecepatan, ketahanan aerobik dan
anaerobik dan kelentukan (Sadikun, 1992). Dengan demikian kecepatan dan
kelincahan diperlukan untuk menunjang keterampilan dalam olahraga sepak bola.
Kecepatan dan kelincahan sangat dibutuhkan oleh seseorang pemain sepak
bola dalam menghadapi situasi tertentu dan kondisi pertandingan yang menuntut
unsur kecepatan, kelincahan, kekuatan otot tungkai, dan daya tahan dalam
bergerak untuk menguasai bola maupun dalam bertahan menghindari benturan
yang mungkin terjadi. Bagi seorang pemain sepakbola situasi yang berbeda-beda
selalu dihadapi dalam setiap pertandingan, juga seorang pemain sepak bola
menghendaki gerakan yang indah dan cepat sering dilakukan unsur kecepatan dan
kelincahanlah yang sangat ditentukan untuk gerakan tersebut (Ardona, 2014).
2.1.3 Mekanisme dan Fisiologi Kelincahan
Kelincahan merupakan salah satu komponen biomotorik yang
didefinisikan sebagai kemampuan mengubah arah secara efektif dan cepat.
Kelincahan terjadi karena gerakan tenaga eksplosif (Ruslan, 2012). Kelincahan
12
juga merupakan kombinasi antara power dengan flexibility. Besarnya tenaga
ditentukan oleh kekuatan dari kontraksi serabut otot. Kecepatan otot tergantung
dari kekuatan dan kontraksi serabut otot. Kecepatan kontraksi otot tergantung dari
daya rekat serabut-serabut otot dan kecepatan transmisi impuls saraf.
Seseorang yang mampu mengubah arah dari posisi ke posisi yang berbeda
dalam kecepatan tinggi dengan koordinasi gerak yang baik berarti kelincahannya
cukup tinggi. Elastisitas otot sangat penting karena makin panjang otot tungkai
dapat terulur, makin kuat dan cepat otot dapat memendek atau berkontraksi.
Dengan diberikan pelatihan, otot-otot akan menjadi lebih elastis dan ruang
gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan menjadi sangat lentur
sehingga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan langkah-langkah
menjadi sangat lebar. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-
gerakan otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan
panjang. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih karena dalam pelatihan ini
harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat melakukan pergerakan. Dengan
meningkatnya komponen-komponen tersebut maka kelincahan akan mengalami
peningkatan (Pratama et al., 2014).
Pelatihan fisik yang teratur akan menyebabkan terjadinya hipertropi
fisiologi otot, yang dikarenakan jumlah miofibril, ukuran miofibril, kepadatan
pembuluh darah kapiler, saraf tendon dan ligamen, dan jumlah total kontraktil
terutama protein kontraktil myosin meningkat secara proposional. Perubahan pada
serabut otot tidak semuanya terjadi pada tingkat yang sama, peningkatan yang
lebih besar terjadi pada serabut otot putih (fast twitch) sehingga terjadi
13
peningkatan kecepatan kontraksi otot. Sehingga meningkatnya ukuran serabut otot
yang pada akhirnya akan meningkatkan kecepatan kontraksi otot sehingga
menyebabkan peningkatan kelincahan (Womsiwor, 2014). Selain itu, terjadinya
adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan
seseorang (Sukadiyanto, 2005).
Pemberian pelatihan fisik secara teratur dan terukur dengan takaran dan
waktu yang cukup, akan menyebabkan perubahan fisiologis yang mengarah pada
kemampuan menghasilkan energi yang lebih besar dan memperbaiki penampilan
fisik. Jenis pelatihan fisik yang diberikan secara cepat dan kuat, akan memberikan
perubahan yang meliputi peningkatan subtrak anareobik seperti ATP-PC, kreatin
dan glikogen serta peningkatan pada jumlah dan aktivitas enzim (McArdle, 2010).
Jadi, telah dibuktikan secara teoritis bahwa dengan dilakukan pelatihan
fisik maka unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan,
fleksibilitas sendi lutut dan pinggul, elastisitas otot dan keseimbangan dinamis
akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis sehingga akan berpengaruh
terhadap peningkatan kelincahan kaki.
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelincahan
Faktor yang mempengaruhi kelincahan dapat dikelompokkan menjadi 2
yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari genetik, tipe
tubuh, umur, jenis kelamin, berat badan, kelelahan, motivasi sedangkan faktor
eksternal terdiri dari, suhu dan kelembaban udara, arah dan kecepatan angin,
ketinggian tempat, lingkungan sosial. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut:
14
1. Faktor Internal
a) Genetik
Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen
Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam
menentukan hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau
genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu.
Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot
merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan
atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetik rata-rata tersusun
oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot
yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013).
b) Umur
Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang.
Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan otot, di mana
kekuatan otot merupakan komponen penting dalam peningkatan daya ledak.
Kekuatan otot akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Kamen dan
Roy, 2000).
Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan
oleh aktivitas ototnya. Laki-laki dan perempuan akan mencapai puncak
kekuatan otot pada usia 20-30 tahun. Kemudian di atas umur tersebut
mengalami penurunan, kecuali diberikan pelatihan. Namun umur di atas 65
tahun kekuatan ototnya sudah mulai berkurang sebanyak 20% dibandingkan
sewaktu muda (Nala, 2011).
15
c) Tipe Tubuh
Tipe tubuh umumnya diklasifikasikan berdasarkan tiga konsep utama atau
dimensi-dimensi tipe tubuh, yakni: muscularity, linearity, dan fatness. Tiga
komponen tersebut diistilahkan berturut-turut sebagai: mesomorf, ectomorf,
dan endomorph. Tipe tubuh merupakan kapasitas fisik umum dan hanya
sebagai satu indikasi kecocokan seorang atlet dengan prestasi yang tinggi.
berat badan dan tipe memainkan peranan penting dalam pemilihan cabang
olahraga tertentu.
Orang yang memiliki bentuk tubuh tinggi ramping (ectomorf) cenderung
kurang lincah seperti halnya orang yang bentuk tubuhnya bundar (endomorf).
Sebaliknya, orang yang bertubuh sedang namun memiliki perototan yang baik
(mesomorf) cenderung memiliki kelincahan yang lebih baik (Jensen & Fisher,
979). Secara khusus oleh Craig yang sependapat dengan Bloomfield (dalam
Pyke, 1991) menyatakan bahwa atlet atletik yang bertipe ectomesomorf
cenderung lebih lincah dibanding yang bertipe endomesomorf.
d) Indeks Massa Tubuh
Indeks massa tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat
badan dan tinggi badan seseorang. Rumus menghitung IMT adalah, IMT =
Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2 (Arga, 2008). IMT normal sebesar
18,5-22,9 kg/m2
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki
pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan tes-tes
kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan
16
performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance (daya tahan),
balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya ledak) (Arga,
2008).
e) Jenis Kelamin
Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot
perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi
seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat
daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu
pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan
fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot
wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan
otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua kali lipat daripada perempuan,
sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala,
2011).
f) Kelelahan
Kelelahan dapat mengurangi kelincahan. Karena itu, penting memelihara
daya tahan jantung dan daya tahan otot, agar kelelahan tidak mudah timbul.
g) Motivasi
Motivasi olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif) di
dalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin
kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi yang baik akan
dicapai hasil latihan maksimal.
17
2. Faktor Eksternal
a) Suhu dan Kelembaban Relatif
Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas
menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu
yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan suhu
tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot (Widhiyanti, 2013). Pada
umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia
terhadap suhu tropis sekitar 290-30
0C dan kelembaban relatif antara 85%-95%.
b) Arah dan kecepatan angin
Arah dan kecepatan angin berpengaruh karena pelatihan berlangsung di
lapangan terbuka. Arah angin diukur dengan bendera angin/kantong angin
sedangkan kecepatannya dengan anemometer (Kanginan, 2000). Dalam
penelitian ini, arah dan kecepatan angin berada dalam batas toleransi,
diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilnya atau tempat
pengambilan data berada pada kondisi yang sama atau satu tempat.
c) Ketinggian tempat
Setiap peningkatan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut terjadi
penurunan percepatan gravitasi sebesar 0,3 cm/dtk. Hal ini akan
mempengaruhi penampilan atlet. Tempat yang percepatan gravitasinya rendah
akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding
dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan
kerugian yang lebih besar (Shepard, 1978).
18
d) Lingkungan Sosial
Faktor lingkungan sosial sekitar juga berpengaruh dalam pembentukan
kebiasaan hidup aktif. Komponen utama dalam lingkungan sosial ini adalah
orang tua dan saudara kandung. Orang tua mempengaruhi anak dalam
membuat keputusan. Demikian juga dalam kegiatan berolahraga atau
menjalankan aktivitas jasmani. Selain memberikan dorongan, orang tua juga
bisa tampil sebagai model dari anak-anaknya.
Pelatih olahraga pada khususnya merupakan salah satu kekuatan inti dalam
pembentukan sikap dan kebiasaan hidup aktif. Pelatih yang rajin dan
memperlihatkan semangat akan memancarkan pengaruh kepada para
siswanya.
Media massa merupakan sumber kekuatan yang tersembunyi, namun juga
efektif dalam mempengaruhi kesadaran dan sikap.
e) Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam
peningkatan kelincahan. Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk
memperbaiki sistem organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk
mengoptimalkan penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Tujuan latihan
fisik meningkatkan fungsi potensial yang dimiliki atlet dan mengembangkan
kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai standar tertentu (Nala, 2002).
19
Selain faktor internal dan eksternal di atas komponen biomotorik
kelincahan juga dipengaruhi oleh berbagai unsur. Kelincahan termasuk suatu
gerak yang rumit, di mana dalam kelincahan unsur-unsur yang lain seperti
keseimbangan, kelentukan (flexibility), kecepatan (speed), koordinasi.
Keseimbangan sendiri adalah kemampuan seseorang untuk
mempertahankan posisi tubuh baik dalam kondisi statik maupun dinamik. Dalam
keseimbangan ini yang perlu diperhatikan adalah waktu refleks, waktu reaksi, dan
kecepatan bergerak. Dan biasanya latihan keseimbangan dilakukan bersama
dengan latihan kelincahan dan kecepatan, bahkan kelentukan. Keseimbangan
dapat dibagi menjadi dua yaitu keseimbangan statis adalah mempertahankan sikap
pada posisi diam di tempat. Ruang geraknya biasanya sangat kecil, seperti berdiri
di atas alas yang sempit. Sedangkan keseimbangan dinamis adalah kemampuan
seseorang untuk mempertahankan posisi tubuhnya pada waktu bergerak. Seperti
sepatu roda, ski air, dan olahraga sejenisnya. Kedua keseimbangan ini diperlukan
dalam hal olahraga sepak bola.
Kelentukan adalah kemampuan seseorang untuk dapat melakukan gerak
dengan ruang gerak seluas-luasnya dalam persendiannya. Faktor utamanya yaitu
bentuk sendi, elastisitas otot, dan ligamen. Ciri-ciri latihan kelentukan adalah :
meregang persendian, mengulur sekelompok otot. Kelentukan ini sangat
diperlukan oleh setiap atlet agar mereka mudah untuk mempelajari berbagai
gerak, meningkatkan keterampilan, mengurangi resiko cedera, dan
mengoptimalkan kekuatan, kecepatan, dan koordinasi. Kelentukan dapat
20
dikembangkan melalui latihan peregangan (stretching) yaitu peregangan dinamik
dan peregangan statik.
Menurut Dick (1989) kecepatan adalah kapasitas gerak dari anggota tubuh
atau bagian dari sistem pengungkit tubuh atau kecepatan pergerakan dari seluruh
tubuh yang dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Terdapat dua tipe kecepatan
yaitu kecepatan reaksi adalah kapasitas awal pergerakan tubuh untuk menerima
rangsangan secara tiba-tiba atau cepat, dan kecepatan bergerak adalah kecepatan
berkontraksi dari beberapa otot untuk menggerakan anggota tubuh secara cepat.
Dari kedua tipe kecepatan tipe di atas, tipe yang kedualah yang lebih diperlukan
dalam kelincahan.
Koordinasi adalah suatu kemampuan biomotorik yang sangat kompleks
(Harsono, 1988). Menurut Bompa (1994) koordinasi erat kaitannya dengan
kecepatan, kekuatan, daya tahan, dan kelentukan. Oleh karena itu, bentuk latihan
koordinasi harus dirancang dan disesuaikan dengan unsur-unsur kecepatan,
kekuatan, daya tahan, kelincahan dan kelentukan.
2.1.5 Usia Pelatihan Kelincahan
Kelompok usia yang baik untuk melatih kelincahan adalah kelompok usia
10-12 tahun. Rentang usia ini bisa dikatakan merupakan usia emas untuk belajar
(golden age of learning). Berbagai materi latihan akan mudah sekali diingat oleh
kelompok usia ini. Keberanian juga lebih berkembang hal ini baik terjadi pada
anak laki-laki maupun perempuan. Anak perempuan karena itu harus dibimbing
untuk mengembangkan kekuatan badan bagian atas yang sangat berguna untuk
memelihara berat badannya. Pada rentang usia ini adalah suatu masa dimana
21
anak-anak mengalami keseimbangan antara pertumbuhan jasmani dengan
perkembangan psikologisnya. Itulah sebabnya masa ini sering disebut sebagai
“usia harmonis” dan “usia emas” untuk belajar.
Pada masa ini aktivitas olahraga sangat dianjurkan bagi anak-anak usia
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, pertumbuhan dan koordinasi yang
terus berlanjut akan mengalami penyempurnaan pada usia – usia tersebut tetapi
yang benar-benar menonjol adalah perkembangan keseimbangan dan
keterampilan terutama dalam melakukan olahraga atletik (Ganesha Putera, 2010).
2.1.6 Pengukuran Kelincahan
Kelincahan merupakan suatu kecepatan reaksi seseorang untuk merubah
arah gerakan. Hal ini berkaitan dengan kecepatan, keseimbangan dan koordinasi.
Untuk mengukur komponen kelincahan dilakukan pengukuran terhadap kecepatan
lari hingga ke tempat semula. Dalam penelitian ini digunakan shuttle run test yang
merupakan tes dengan cara lari cepat bolak balik sejauh 10 meter sebanyak 5 kali,
dan dicatat waktu tempuhnya ke tempat semula dalam detik (Nala, 2011). Jarak
antara kedua titik dipilih 10 meter agar jarak tidak terlalu jauh karena ada
kemungkinan setelah lari beberapa kali bolak balik dia tidak mampu lagi untuk
melanjutkan larinya, dan atau membalikkan badannya dengan cepat disebabkan
karena faktor kelelahan. Dan kalau kelelahan mempengaruhi kecepatan larinya.
Jumlah ulangan atau repetisi lari bolak balik jangan terlalu banyak sehingga
menyebabkan atlet lelah. Jika repetisi terlalu banyak maka menyebabkan
seperti diatas. Faktor kelelahan akan mempengaruhi waktu tempuh dari
shuttle run test tersebut (Harsono, 1988).
22
Gambar 2.1 Shuttle run test (Gilang, 2007)
2.2 Kajian Anatomi dan Fisiologi
2.2.1 Anatomi Otot Tungkai
Daerah tungkai memiliki beberapa grup otot besar yang dapat memberikan
kontribusi terhadap kelincahan. Beberapa grup otot besar yang terlibat adalah:
1. Group Otot Ekstensor Knee dan Fleksor Hip (Quadriceps Femoris)
Otot quadriceps femoris adalah salah satu otot rangka yang terdapat pada
bagian depan paha manusia. Otot ini mempunyai fungsi dominan ekstensi pada
knee (Watson, 2002). Otot quadriceps terdiri atas empat otot, yaitu:
23
Gambar 2.2 Grup otot quadriceps femoris (Watson, 2002)
a) Otot Rectus Femoris
Terletak paling superfisial pada facies ventalis berada diantara otot
quadriceps yang lain yaitu otot vastus lateralis dan medialis. Berorigo pada Spina
Illiaca Anterior Inferior (caput rectum) dan pada os ilium di cranialis acetabulum
(caput obliquum) dan mengadakan insersio pada tuberositas tibia dengan
perantaran ligamentum patellae. Otot ini digolongkan ke dalam otot tipe 1
(Watson, 2002).
b) Otot Vastus Lateralis
Tipe otot ini adalah otot tipe II yang berada pada sisi lateral yang
mengadakan perlekatan pada facies ventro lateral trochanter major dan labium
lateral linea aspera femoris (Watson, 2002).
c) Otot Vastus Medial
Melekat pada labium medial linea aspera (dua pertiga bagian bawah) dan
termasuk otot tipe II (Watson, 2002).
24
d) Otot Vastus Intermedius
Mengadakan perlekatan pada facies ventro-lateral corpus femoris juga
merupakan otot tipe II (Watson, 2002).
2. Grup Otot Fleksor Knee dan Ekstensor Hip (Hamstring)
Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai
fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot
tipe II (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu:
Gambar 2.3 Grup otot hamstring (Watson, 2002)
a) Otot Biceps Femoris
Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum
berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan
caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini
pada capitulum fibula (Watson, 2002).
25
b) Otot Semitendinosus
Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada
facies medialis ujung proximal tibia (Watson, 2002).
c) Otot Semimembranosus
Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi
medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus
medialis tibia (Watson, 2002).
3. Grup Otot Plantar Fleksor Ankle
Gambar 2.4 Grup otot plantar fleksor ankle (Watson, 2002)
a) Otot Gastrocnemius
Otot ini merupakan serabut otot fast-twitch yang sangat kuat untuk plantar
fleksi kaki pada ankle joint. Otot gastrocnemius merupakan otot yang paling
superfisial pada dorsal tungkai dan terdiri dari dua caput pada bagian atas calf.
Dua caput tersebut bersamaan dengan soleus membentuk triceps surae. Bagian
lateral dan medial otot masih terpisah satu sama lain sejauh memanjang ke bawah
26
pada middle dorsal tungkai. Kemudian menyatu di bawah membentuk tendon
yang besar yaitu tendon Achilles (Hamilton, 2002).
b) Otot Soleus
Seperti otot gastrocnemius, otot soleus berfungsi pada gerakan plantar
fleksi kaki pada ankle joint. Otot ini terletak di dalam gastrocnemius, kecuali di
sepanjang aspek lateral dari ½ bawah calf, di mana bagian lateral soleus terletak
pada bagian atas dari tendon calcaneus. Serabut otot soleus masuk ke dalam
tendon calcaneal dalam pola bipenniform. Otot ini dominan memiliki serabut
slow-twitch (Hamilton, 2002).
4. Group Otot Dorsi Fleksor Ankle
Gambar 2.5 Grup otot dorsi fleksor ankle (Watson, 2002)
a) Tibialis Anterior
Otot ini terletak di sepanjang permukaan anterior tibia dari condylus
lateral kebawah pada aspek medial regio tarsometatarsal. Sekitar ½ sampai 2/3 ke
bawah tungkai otot ini menjadi tendinous. Tendon berjalan di depan malleolus
medial sampai pada cuneiform pertama. Otot ini berperan dalam gerakan dorsi
fleksi ankle dan kaki, serta supinasi (inversi dan adduksi) tarsal joint ketika kaki
27
dorsi fleksi. Dalam penelitian EMG, otot ini ditemukan aktif pada ½ orang yang
berdiri bebas dan ketika dalam posisi forward lean (Hamilton, 2002).
b) Extensor Digitorum Longus
Otot ini memanjang pada empat jari-jari kaki. Otot ini juga berperan pada
gerakan dorsi fleksi ankle joint dan tarsal joint serta membantu eversi dan abduksi
kaki. Otot ini berbentuk penniform, terletak di lateral dari tibialis anterior pada
bagian atas tungkai dan lateral dari extensor hallucis longus pada bagian
bawahnya. Tepat di depan ankle joint tendon ini membagi empat tendon pada
masing-masing jari-jari kaki (Hamilton, 2002).
c) Extensor Hallucis Longus
Otot ini berperan dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi ibu jari kaki.
Otot extensor hallucis longus juga berperan pada gerakan dorsi fleksi ankle dan
tarsal joint. Seperti otot diatas, otot ini juga berbentuk penniform. Pada bagian
atas otot ini terletak di dalam tibialis anterior dan extensor digitorum longus,
tetapi sekitar ½ bawah tungkai tendon ini menyebar diantara dua otot tersebut di
atas sehingga otot ini menjadi superfisial. Setelah mencapai ankle tendonnya ke
arah medial melewati permukaan dorsal kaki sampai pada ujung ibu jari kaki
(Hamilton, 2012).
Selain otot tungkai, otot yang berperan dalam gerakan kelincahan adalah
otot gluteus maximus, gluteus medius dan minimus, Otot-otot ini berperan sebagai
pembentuk bokong.
28
a. Gluteus maximus
Otot ini merupakan otot yang terbesar yang terdapat di sebelah luar ilium
membentuk perineum. Fungsinya, antagonis dari iliopsoas yaitu rotasi fleksi dan
endorotasi femur. Fungsi utama dari gluteus maximus adalah untuk menjaga
bagian belakang tubuh tetap tegap, atau untuk mendorong kedudukan pinggul ke
posisi yang tepat.
Gambar 2.6 otot gluteus maximus (Watson, 2002)
b. Gluteus medius dan minimus
Otot ini terdapat di bagian belakang dari sendi ilium di bawah gluteus
maksimus. Fungsinya, abduksi dan endorotasi dari femur dan bagian medius
eksorotasi femur.
29
Gambar 2.7 otot gluteus medius dan minimus (Watson, 2002)
2.2.2 Fisiologi Otot Rangka
Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek yaitu: contractility
yaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila dirangsang
(otot polos 1/6 kali; otot rangka 1/10 kali). Exstensibility (distensibility) yaitu
kemampuan otot untuk memanjang bila otot ditarik atau ada gaya yang bekerja
pada otot tersebut bila otot rangka diberi beban. Elasticity yaitu kemampuan otot
untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah mengalami exstensibility atau
distensibility (memanjang) atau contractility (memendek). Exsitability electric
yaitu kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan tertentu dengan
memproduksi sinyal-sinyal listrik disebut tindakan potensi (Tortora dan
Derrickson, 2009).
Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah yang besar dalam
memberi respon terhadap berbagai bentuk latihan (Sudarsono, 2009). Beberapa
unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan. Dengan
latihan yang teratur, akan memberikan beberapa efek positif terhadap otot, bahkan
perubahan adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang
30
memungkinkan untuk respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada
otot (Wiarto, 2013).
2.3 Pelatihan
2.3.1 Pengertian Pelatihan
Pelatihan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaiki sistem
organ alat-alat tubuh dan fungsinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan
penampilan atau kinerja atlet (Nala, 2008). Menurut Bompa (1990), pelatihan
merupakan suatu proses sistematis dari pengulangan, suatu kinerja progresif yang
juga menyangkut proses belajar serta memiliki tujuan memperbaiki sistem dan
fungsi dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal, secara fisiologis
pelatihan fisik merupakan suatu proses pembentukan reflex bersyarat, proses
belajar bergerak serta menghafal gerak.
Kata kunci yang harus dipahami yaitu pelatihan merupakan suatu proses
yang sistematis, repetitif, durasi, progresif dan individual: (1) sistematis adalah
cara atau metode pelatihan terencana secara detail; (2) repetitif adalah suatu
gerakan berulang yang sama dilakukan lebih dari satu kali; (3) durasi adalah
lamanya aktivitas pelatihan (termasuk istirahat) yang harus dilakukan dalam satu
sesi atau sekali pelatihan; (4) progresif adalah peningkatan atau penambahan
beban pelatihan yang dilakukan secara bertahap yang diawali dengan pemberian
beban yang ringan kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan atlet atau dimulai dengan pelatihan yang mudah (sederhana)
kemudian secara bertahap diberikan pelatihan yang semakin berat (pelatihan yang
semakin sulit).
31
Pemberian beban pelatihan tidak dapat disamaratakan untuk setiap atlet,
walaupun mereka dalam satu regu cabang olahraga (Nala, 1998).
Secara garis besar pelatihan dapat dibagi atas : (1) Pelatihan fisik (physical
training); (2) Pelatihan teknik (technical training); (3) Pelatihan taktik atau
strategi (tactical training); (4) Pelatihan mental atau psikis termasuk rohani
(psychological training) (Nala, 2002).
2.3.2 Tujuan Pelatihan
Pelatihan fisik adalah suatu aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematis
dalam jangka waktu yang lama secara individual dengan kian lama kian
bertambah bebannya. Tujuan latihan fisik meningkatkan fungsi potensial yang
dimiliki atlet dan mengembangkan kemampuan biomotoriknya sehingga mencapai
standar tertentu (Nala, 2002). Perkembangan kondisi fisik secara menyeluruh
sangatlah penting, oleh karena tanpa kondisi fisik yang baik tidak akan dapat
mengikuti pelatihan dengan optimal. Dalam olahraga, pelatihan fisik diarahkan
untuk meningkatkan komponen-komponen kondisi fisik. Dengan demikian
pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan fungsi kerja faal tubuh dan
keterampilan kerja.
Tujuan pelatihan fisik meliputi tujuan jangka panjang dan jangka pendek.
Tujuan pelatihan jangka panjang adalah agar tercapainya status juara, sedangkan
tujuan pelatihan jangka pendek berisi aspek yang terkait dengan kinerja olahraga
seperti peningkatan kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan,
reaksi, kelincahan dan sebagainya termasuk keterampilan (Nossek, 1982).
32
Pelatihan fisik bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional fisik
dan penyesuaian diri terhadap pembebanan sehingga dicapai kinerja yang tinggi.
Hal ini juga didukung oleh pendapat Nossek (1982) yang mengatakan bahwa
pelatihan fisik bertujuan untuk peningkatan kesiapan dan kapasitas kinerja
olahragawan. Tujuan pelatihan fisik adalah untuk memperbaiki sistem dan fungsi
dari organ tubuh agar penampilan atlet mencapai optimal (Bompa, 1990). Tujuan
utama pelatihan fisik adalah untuk membantu memaksimalkan peningkatan
keterampilan dan prestasi atlet (Harsono, 1996).
2.3.3 Prinsip Pelatihan
Latihan fisik pada hakikatnya merupakan pemberian tahanan pada tubuh
secara teratur, sistematis, berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan kinerja, oleh karena itu perlu dipahami prinsip-prinsip latihan
(Brooks, 1984).
Ada beberapa prinsip latihan yang perlu dipahami dengan baik dan benar
oleh para atlet yang akan meningkatkan prestasinya. Menurut pendapat beberapa
ahli bahwa prinsip-prinsip pelatihan tersebut adalah:
a) Prinsip beban berlebih (the overload principle). Prinsip latihan ini bertujuan
untuk mendapatkan pengaruh latihan yang baik, organ tubuh harus mendapat
beban yang biasanya diterima dalam aktivitas sehari-hari. Beban yang
diterima bersifat individual, tetapi pada prinsipnya diberi beban sampai
mendekati maksimal.
33
b) Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance). Prinsip
latihan ini adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan
disesuaikan dengan kemampuan fisiologi dan psikologi setiap atlet.
c) Prinsip latihan beraturan (the principle of arrangement of exercise). Dalam
setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu :
pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari
kelompok otot yang besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot yang
kecil.
d) Prinsip kekhususan (the principle of specificity). Kekhususan adalah latihan
satu cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologi dan fungsional
yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut. Kekhususan
tersebut meliputi kelompok otot yang dilatih dan latihan yang diberikan harus
sesuai dengan keterampilan khusus.
e) Prinsip individualisasi (the principle of Individuality). Faktor individu
mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara
psikologis. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kapasitas kerja serta
perkembangan kepribadian, penyesuaian kapasitas fungsional individu dan
kekhususan organisme.
f) Prinsip kembali asal (reversible principle). Kualitas yang diperoleh dari
latihan akan dapat menurun apabila tidak melakukan latihan dalam waktu
tertentu, demikian harus berkesinambungan.
g) Prinsip beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang yang
dilakukan berulang-ulang, hal ini sering menimbulkan kebosanan.
34
Untuk mengatasinya pelatih harus mampu menciptakan suasana yang
menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk latihan.
Dalam melakukan pelatihan harus sesuai dengan prosedur pelatihan, yaitu
sebelum melakukan pelatihan inti perlu dilakukan pemanasan yang berupa
gerakan-gerakan ringan selama 5-10 menit termasuk peregangan otot-otot
(Nala,1986).
Pemanasan adalah suatu latihan yang sangat bersifat fisiologis yang telah
secara luas diterima dalam program olahraga. Pemanasan menghasilkan
penampilan berupa latihan dengan intensitas ringan sampai sedang sebelum
pertandingan dengan intensitas yang lebih tinggi. Pemanasan sangat
menguntungkan penampilan karena meningkatkan suhu otot aktif. Kenaikan suhu
otot memungkinkan otot berkontraksi dan mengendor lebih. Pemanasan juga
mempermudah lepasnya oksigen dari hemoglobin dan menaikkan volume oksigen
sehingga kebutuhan energi aerobik berkurang pada permulaan latihan keras, lagi
pula pemanasan awal dapat mengurangi resiko cedera tendon dan otot.
Pemanasan atau warming up sangat perlu dilakukan oleh setiap atlet baik
sebelum berlatih maupun sebelum pertandingan. Sistema tubuh pada waktu
istirahat berada dalam keadaan inersia atau tidak begitu aktif (Nala, 2002). Dalam
penelitian ini yaitu olahraga sepak bola, dilakukan pemanasan selama kurang
lebih 10 menit, untuk meningkatkan suhu dan aliran darah ke seluruh otot lurik
terutama otot-otot pada anggota gerak bawah sehingga memungkinkan unit
motorik otot tungkai mempersiapkan fungsinya.
35
Untuk mengembalikan kondisi tubuh setelah melakukan pelatihan perlu
dilakukan pendingan. Pendinginan merupakan kegiatan penutupan berisi kegiatan
yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap agar kembali
ke kondisi normal. Kegiatan pendinginan ini bermanfaat untuk mencegah otot
terasa pegal dan kaku. Kegiatannya seperti dengan berbaring, duduk dengan kaki
lebih tinggi. Bisa juga diakhiri dengan jalan kaki lamban selama 3-5 menit, atau
hingga denyut jantung kembali normal (Lutan, 2002). Arti fisiologis yang dapat
ditelusuri dari latihan penutupan ini ialah gerakan-gerakan ringan itu akan
membantu memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena), sehingga akan
membantu mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot
yang aktif pada waktu melakukan olahraga sebelumnya.
Dengan tersingkirnya sampah-sampah sisa olahdaya, maka rasa pegal
setelah olahraga dapat dicegah atau dikurangi. Itulah arti fisiologis dari latihan
pendinginan yang pada hakikatnya berupa auto-massage yaitu memijit oleh diri
sendiri (Giriwijoyo, 1992).
Pendinginan atau cooling down dilakukan setelah selesai melakukan
pelatihan atau aktivitas fisik lainnya. Tujuan dari pendinginan adalah menarik
kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif
sebelumnya ke peredaran darah sentral. Selain itu, berfungsi juga untuk
membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat
yang berada di dalam otot dan darah.
Latihan pendinginan dalam penelitian ini dilakukan kurang lebih 10 menit.
Kegiatan yang dilakukan dalam latihan penutupan ini adalah berjalan kaki lamban
36
selama 3 menit, duduk sambil melakukan peregangan statis dan pelemasan
terutama pada anggota gerak tubuh bagian bawah selama 7 menit.
2.4 Hexagon Drill
2.4.1 Pengertian Hexagon Drill
Hexagon drill merupakan suatu macam latihan kelincahan yang dilakukan
dengan menggunakan bentuk segi delapan. Tujuan latihan hexagon drill adalah
untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan dan kelincahan otot tungkai. Latihan ini
adalah suatu latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat
kuat yang merupakan respons dari pembebanan dinamik atau regangan yang cepat
dari otot-otot yang terlibat (Lubis, 2005).
Latihan hexagon drill yang dijalankan menimbulkan perubahan-perubahan
dalam tubuh yang bersifat fisiologis, juga menimbulkan akumulasi nilai dari
manfaat latihan sehingga akan meningkatkan “dayakarsa” untuk mengikuti
latihan. Perubahan fisiologis yang terjadi akibat latihan ditandai dengan
meningkatnya fungsi organ tubuh dan otot, yang pada gilirannya akan
memberikan efisiensi gerak bagi pelakunya. Perubahan terjadi pada tingkat
jaringan otot akibat latihan yang bersifat anaerobik meliputi: (1) peningkatan
sistem ATP-PC seiring dengan meningkatnya cadangan ATP-PC, (2) peningkatan
cadangan glukosa dan enzim-enzim glikolitik, (3) meningkatnya kecepatan
kontraksi otot, (4) hipertropi pada serabut-serabut otot cepat, (5) meningkatnya
densitas kapiler per serabut otot, (6) meningkatnya kekuatan tendon dan ligamen,
(7) meningkatkan kemampuan rekruitmen motor unit, dan (8) meningkatnya berat
tubuh tanpa lemak (Davis et al., 1989). Perubahan fisiologis yang lain adalah
37
perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur saraf motorik. Oleh Fox (1934)
dinyatakan bahwa kebanyakan riset fisiologis dari latihan terfokuskan pada
perubahan-perubahan dalam otot skelet, namun demikian beberapa riset yang
memusatkan perhatiannya pada neuromuscular junction dan motoneuron tidak
kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting, karena ditemukan bahwa kedua
struktur saraf ini menunjukkan perubahan sebagai akibat hasil latihan. Perubahan-
perubahan ini termasuk adaptasi seluler dalam strukturnya, modifikasi-modifikasi
dari transmisi dan perubahan kecepatan reflek, bahan kimia, respon biokimia dan
yang terakhir dalam motoneuron itu sendiri.
Pelatihan hexagon drill ini menyebabkan perubahan dalam sistem saraf
yang membuat seseorang lebih baik dalam kontrol koordinasi aktivasi kelompok
ototnya, dengan demikian kelincahan dan powernya menjadi lebih tinggi.
Kemungkinan terjadinya peningkatan, kelincahan dan berkaitan dengan “adaptasi
saraf” (Sale, 1992). Perbaikan kontrol motorik dan peningkatan eksplosif
nampaknya berkaitan dengan latihan tipe ini, yang memiliki kaitan langsung
dengan perubahan susunan saraf otot dan jalur sensor motorik yang kompleks
(Radcliffe&Farentinos, 1985). Menurut Sale (1986) mekanisme “adaptasi saraf”
yang terjadi akibat latihan menyebabkan meningkatnya gaya kontraksi otot yang
disadari (MVC) secara langsung. Peningkatan tersebut terjadi karena
meningkatnya aktivasi otot-otot penggerak utama.
Peningkatan aktivasi reflex otot-otot penggerak utama merupakan
peningkatan eksitasi jaringan motoneuron, yang pada gilirannya dapat
menghasilkan peningkatan masukan eksitatori, mengurangi masukan inhibitori
38
atau kedua-duanya. Implikasinya pada atlet yang tidak terlatih tidak dapat
mengaktifkan otot-ototnya secara maksimal dalam kondisi normal. Secara
fungsional simpanan energinya tidak dapat segera digunakan, meskipun diduga
sebagai usaha maksimal yang disadari. Gerakan tolakan seperti yang lerjadi pada
latihan hexagon drill lebih memungkinkan terjadinya kelelahan. Kelelahan
mempunyai pengaruh menurunkan komponen-komponen kelincahan, terutama
hilangnya koordinasi (Jensen & Fisher,1979).
Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan pelatihan
hexagon drill akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya
penurunan waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 0,92 detik dari
sebelum melakukan pelatihan.
2.4.2 Aplikasi Hexagon Drill
Prosedur pelaksanaan hexagon drill untuk meningkatkan kelincahan
sebagai berikut :
a. Cones disusun hingga berbentuk segi delapan dengan
menggunakan 8 buah cones dengan jarak 1 meter.
b. Peserta berdiri di tengah-tengah segi delapan tersebut.
c. Setelah diberi aba-aba, peserta melompat ke satu titik, kemudian
kembali ke tengah dan melompat ke titik yang lain.
39
Gambar 2.8 Latihan hexagon drill (Gilang, 2007)
2.5 Zig-Zag Run
2.5.1 Pengertian Zig-Zag Run
Zig-zag run adalah suatu macam bentuk latihan yang dilakukan dengan
gerakan berkelok-kelok melewati rambu-rambu yang telah disiapkan, dengan
tujuan untuk melatih kemampuan berubah arah dengan cepat. Tujuan latihan lari
zig-zag adalah untuk menguasai keterampilan lari, menghindar dari berbagai
halangan baik orang maupun benda yang ada di sekeliling (Saputra, 2002). Sesuai
dengan tujuannya lari zig-zag dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Latihan lari zig-zag untuk mengukur kelincahan seseorang
2) Latihan lari zig-zag untuk merubah arah gerak tubuh atau bagian tubuh.
Menurut Harsono (1988) keuntungan dan kerugian zig-zag run, yaitu:
1) Keuntungan:
a) Kemungkinan cidera lebih kecil karena sudut ketajaman berbelok arah lebih
kecil (45 dan 90 derajat).
b) Banyak membutuhkan koordinasi gerak tubuh, sehingga mempermudah dalam
tes kelincahan dribbling
40
2) Kerugian:
a) Secara psikis arah lari perlu pengingatan lebih.
b) Atlet tidak terbiasa dengan ketajaman sudut lari yang besar sehingga pada saat
melakukan tes kelincahan dribbling atlet menganggap sudut lari tes kelincahan
dribbling lebih sulit. Akibatnya atlet konsentrasinya terpusat pada arah belok dan
bukan pada kecepatan larinya.
Dalam pelatihan zig zag run ini melibatkan otot tungkai untuk bisa
menyelesaikan semua beban yang diberikan pada saat pelatihan. Gerakan yang
dilakukan dalam pelatihan ini berlari kedepan dan berbelak-belok dengan
secepatnya sehingga pergerakan yang dilakukan tidak semata-mata menekankan
pada gerakan tungkai. Setiap kerja yang dilakukan oleh tubuh merupakan
kontraksi yang terjadi pada otot. Dalam setiap pelatihan, tubuh selalu memberikan
respon dan dalam jangka waktu tertentu tubuh akan mulai beradaptasi dengan
pelatihan yang diberikan.
Pelatihan zig zag run ini akan membuat otot mengalami kontraksi sebagai
bentuk respon terhadap beban yang diberikan. Sebagi efek dari diberikan
pelatihan adalah adanya perubahan sebagai bentuk adaptasi dari tubuh terhadap
pelatihan yang diberikan berupa peningkatan kemampuan kerja otot. Dengan
diberikan pelatihan yang sesuai dengan prinsip pelatihan nantinya akan
memberikan pengaruh secara fisiologis bagi otot khususnya otot tungkai dan
dengan perubahan ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan kecepatan
dan kelincahan. (Nala, 1998).
41
Dengan diberikan pelatihan zig-zag run maka unsur kebugaran jasmani
seperti kekuatan otot tungkai, kecepatan, fleksibilitas sendi lutut dan pinggul,
elastisitas otot dan keseimbangan dinamis akan mengalami peningkatan fungsi
secara fisiologis sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kelincahan
kaki. Kekuatan merupakan kemampuan neuromuskuler untuk mengatasi tahanan
beban luar dan beban dalam. Akan terjadi penigkatan kemampuan dan respon
fisiologis pada pelatihan ini yaitu terjadi hypertrophy (pembesaran otot), dan
adaptasi persyarafan. Terjadinya hypertrophy disebabkan oleh bertambahnya
jumlah myofibril pada setiap serabut otot, meningkatnya kepadatan kapiler pada
serabut otot dan meningkatnya jumlah serabut otot. Terjadinya adaptasi
persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan
seseorang (Sukadiyanto, 2005). Kecepatan sebagai hasil perpanduan dari panjang
ayunan tungkai dan jumlah langkah. Fleksibilitas merupakan kemampuan
persendian untuk bergerak dalam ruang gerak sendi secara maksimal dan
elastisitas merupakan kemampuan otot untuk berkontraksi dan berelaksasi secara
maksimal. Dengan diberikan pelatihan zig-zag run otot-otot akan menjadi lebih
elastis dan ruang gerak sendi akan semakin baik sehingga persendian akan
menjadi sangat lentur sehigga menyebabkan ayunan tungkai dalam melakukan
langkah-langkah menjadi sangat lebar. Keseimbangan dinamis juga akan terlatih
karena dalam pelatihan ini harus mampu mengontrol keadaan tubuh saat
melakukan pergerakan. Otot-otot sinergis berkontraksi lebih tepat, dan
meningkatnya inhibisi otot-otot antagonis. Dengan meningkatnya komponen-
komponen tersebut maka kelincahan akan mengalami peningkatan.
42
Menurut Hanafi (2010) elastisitas otot sangat penting karena makin
panjang otot tungkai dapat terulur, makin kuat dan cepat ia dapat memendek atau
berkontraksi. Dengan otot yang elastis, tidak akan menghambat gerakan-gerakan
otot tungkai sehingga langkah kaki dapat dilakukan dengan cepat dan panjang.
Kelincahan kaki merupakan hal yang sangat penting, sebab pemain tersebut akan
dapat dengan mudah untuk mengontrol keadaannya disaat melakukan teknik-
teknik saat mengontrol bola. Kecepatan reaksi secara fisiologis ditentukan oleh
tingkat kemampuan penerima rangsang penghantaran stimulus ke sistem syaraf
pusat, penyampaian stimulus melalui syaraf sampai terjadinya sinyal,
penghantaran sinyal dari sistem syaraf pusat ke otot, dan kepekaan otot menerima
rangsang untuk menjawab dalam bentuk gerak (Sukadiyanto, 2005). Semakin
singkat waktu yang dibutuhkan untuk mereaksi stimulus maka semakin baik
kecepatan reaksinya. Waktu yang diperlukan untuk mereaksi stimulus akan
menjadi semakin singkat karena terlatihnya kepekaan saraf sensorik dalam
menghantarkan stimulus ke otak dan terlatihnya saraf motorik dalam
menghantarkan perintah/sinyal dari otok ke otot. Dengan meningkatnya
komponen kemampuan fisiologis tersebut maka akan menyebabkan peningkatan
pada kecepatan reaksi.
Secara singkat perjalanan mulai dari ada rangsangan sampai timbul reaksi
secara anatomis fisiologis adalah (1) dimulai dari munculnya rangsangan yang
diterima oleh reseptor, (2) dan reseptor rangsangan ini di alirkan melalui saraf
eferen sensorik menuju ke sistem saraf pusat (otak), (3) perpindahan rangsangan
dari saraf eferen ke sistem saraf pusat dan menghasilkan tanda isyarat yang akan
43
dikirim kepada efektor, (4) menjalarnya tanda isyarat ini dari sistem saraf pusat
melalui syaraf eferen motorik menuju ke otot skeletal (efektor), (5) rangsangan
isyarat ini pada otot skeletal menimbulkan kontraksi, gerakan, aktivitas fisik atau
kerja. Makin cepat atau pendek jalan yang ditempuh oleh rangsangan sejak dan
adanya rangsangan pada reseptor sampai timbulnya reaksi dan otot, akan semakin
baik waktu reaksinya (Hanafi, 2010).
Dari beberapa penelitian, dikatakan bahwa dengan melakukan pelatihan
zig-zag run akan meningkatkan kelincahan. Hal ini ditandai dengan adanya
penurunan waktu tempuh saat melakukan shuttle run test sebanyak 1,24 detik dari
sebelum melakukan pelatihan.
2.5.2 Aplikasi Zig-Zag Run
Prosedur pelaksanaan zig-zag run untuk meningkatkan kelincahan sebagai
berikut :
a. Cones disusun berbentuk garis zig-zag dengan jarak antar titik 2 meter.
b. Peserta berdiri di belakang garis start.
c. Setelah ada aba-aba “ya” peserta berlari secepat mungkin mengikuti
arah/cones yang telah disusun secara zig- zag sesuai dengan diagram
sampai batas finish.
44
Gambar 2.9 Latihan zig-zag run (Gilang, 2007)
2.6 Takaran Pelatihan
Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip latihan. Tanpa
adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit
mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).
1. Intensitas
Intensitas pada latihan hexagon drill dan zig-zag run merupakan ukuran
terhadap aktivitas yang dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Kualitas suatu
intensitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan dari suatu aktivitas
ditentukan oleh besar kecilnya persentase (%) dari kemampuan maksimalnya.
dalam takaran pelatihan kelincahan intensitas yang digunakan adalah intensitas
sub-maksimum sampai maksimum. Intensitas tersebut diukur berdasarkan posisi,
jarak, dan jumlah tiang yang digunakan (Nala, 2011).
Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan intern dari siswa-siswa SSB
Guntur, maka dalam penelitian ini banyaknya tiang yang digunakan sebanyak 5
45
buah dengan jarak setiap tiang sejauh 2 meter. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya kelelahan terhadap pemain tetapi pelatihan yang dilakukan tetap
memberikan efek (Nala, 2011).
2. Volume
Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang paling penting
dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni
satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh, tinggi atau jumlah
suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas :
durasi atau lama waktu pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah
repetisi dan set.
Dalam penelitian ini volume yang digunakan adalah sebagai berikut :
a) Repetisi
Repetisi merupakan pengulangan yang dilakukan tiap set pelatihan. Untuk
latihan kelincahan repetisi yang digunakan adalah 1-3 kali, tetapi untuk
menghasilkan peningkatan yang maksimal repetisi yang sebaiknya digunakan
adalah 3 repetisi untuk tiap set (Nala, 2011).
b) Set
Set adalah satu rangkaian dari repetisi (Nala, 1987). Untuk latihan kelincahan
set yang dianjurkan adalah 3-5 kali, untuk menghasilkan peningkatan yang
maksimal set yang sebaiknya digunakan adalah 5 set (Nala, 2011).
c) Istirahat
Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat
kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan kelincahan. Waktu istirahat yang
46
dianjurkan adalah selama 1-3 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya
waktu istirahat (Nala, 2011).
3. Frekuensi
Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan per-minggu. Dalam
pelatihan kelincahan, frekuensi yang biasa digunakan adalah 3-5 kali seminggu
(Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga menghasilkan peningkatan
kemampuan otot yang baik serta tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti
(Harsono, 1996)
Dengan berbagai pertimbangan teoritis dan terkait intern Sekolah Sepak Bola
Guntur Denpasar, maka dalam penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi
pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari
berturut-turut, ini mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih
dari dua hari dikhawatirkan kondisi fisik atlet akan kembali ke keadaan semula
(Nala, 1998). Latihan ini dilaksanakan 4 minggu agar mengasilkan efek yang
optimal.
8