bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan hipotesisrepository.unpas.ac.id/36456/5/bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pajak
2.1.1.1 Pengertian Pajak
Definisi pajak yang dikemukakan oleh waluyo (2011:2) yaitu:
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada
pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum) tanpa
adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutupi
pengeluaran-pengeluaran.”
Definisi Pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo
(2016:1) yaitu:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.”
Definisi pajak menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
21
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2013:22), pajak adalah:
“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan
oleh kekuasaan pubik dari penduduk atau dari barang, untuk menutupi
belanja pemerintah”.
Menurut Diana Sari (2013:37) dari berbagai definisi pajak di atas, baik
pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta
ke sektor pemerintah atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat
dipaksakan), maka dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada
pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. “Adanya iuran masyarakat kepada Negara, yang berarti bahwa pajak
antara lain boleh dipungut oleh Negara (pemerintah pusat dan daerah).
2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang. Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan:
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
Negara diatur dalam Undang-Undang”.
3. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
4. Tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang
dapat ditunjukan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar
pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya
dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
5. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah, baik rutin
maupun pembangunan. Apabila ada kelebihan hasil pajak untuk
membiayai pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran rutin maupun
pembangunan), maka sisanya digunakan untuk public investment.
6. Pajak dipungut karena adanya seseuatu keadaan, kejadian, perbuatan
yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang”.
22
Adapun pengertian pajak menurut Gerald E. Whittenburg (2011:05) adalah
sebagai berikut:
“A tax is imposed by a government to raise revenue for general public
purposes, and a fee is a charge with a direct benefit to the person paying the
fee.”
Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa pajak merupakan biaya yang
dikenakan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendapatan untuk tujuan umum,
dan biaya dengan keuntungan langsung kepada orang yang membayar biaya
tersebut.
Adapun pengertian pajak menurut Bruce R. Hopkins (2010:28) adalah
sebagai berikut:
“The tax is imposed on most entities that receive income, and is computed
and assessed on an annual basis.”
Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa pajak merupakan Pajak
dikenakan pada sebagian besar entitas yang menerima pendapatan, dan dihitung
dan dinilai setiap tahun
Dari beberapa definisi di atas menunjukan bahwa pajak merupakan suatu
kewajiban iuran rakyat kepada kas negara yang sifatnya memaksa berdasarkan
Undang-Undang digunakan untuk kepentingan Negara.
23
2.1.1.2 Ciri-ciri Pajak
Menurut Waluyo (2011:3) ciri-ciri pajak adalah sebagai berikut:
1. “Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan
pelaksanaannya yang sifat dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai public Investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.”
2.1.1.3 Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak menurut Siti Resmi (2014:3) yaitu:
1. “Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)
Pajak merupakan fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin
maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah
berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara.
Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun
intensifikasi pemungutan pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain.
2. Fungsi Regulerend (Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial
dan ekonomi serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang
keuangan.”
Menurut Diana Sari (2013:40), selain dua fungsi di atas, pajak juga memiliki
fungsi lain yaitu:
1. “Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi
dapat dikendalikan.
24
2. Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada
akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
3. Fungsi Demokrasi
Pajak yang sudah dipungut Negara merupakan wujud sistem gotong
royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah
kepada masyarakat pembayar pajak”.
2.1.1.4 Syarat Pemungutan Pajak
Syarat pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2016:4) yaitu:
“Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan,
maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang-
Undang, dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam
perUndang-Undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum
dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.
Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi
Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam
pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan
Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis)
di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi
negara maupun warganya.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomi)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi
maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansil)
Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutan.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah
dipenuhi oleh Undang-Undang perpajakan yang baru.”
25
2.1.1.5 Kedudukan Hukum Pajak
Menurut Prof. Dr. Rocmat Soemitro, SH., dalam Mardiasmo (2016:6)
Hukum pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai berikut:
1. “Hukum Perdata, mengatur hubungan antara individu dengan individu
lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum Tata Usaha (Hukum Aministratif)
c. Hukum Pajak
d. Hukum Pidana
Dengan demikian kedudukan pajak merupakan bagian dari hukum publik.”
2.1.1.6 Jenis Pemungutan Pajak
Menurut Waluyo (2012:12), pajak dapat dikelompokan ke dalam 3 (tiga)
kelompok sebagai berikut :
1. “Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi berikut:
a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib
Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut Sifat
Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan
pembagian berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut :
a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan
pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam
arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan
b. Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkat atau berdasarkan pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut Pemungutan dan Pengelolanya, adalah sebagai berikut :
a. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
26
b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
dan digunakan untuk mebiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak
Reklame, Pajak Hiburan, Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan dan
perdesaan.”
2.1.1.7 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal tiga sistem pengolongan pemungutan yang
dapat digunakan, menurut Siti Resmi (2014:11) tiga kelompok sistem pemungutan
tersebut adalah:
a. “Official Assessment System
Sistem ini memberikan kewenangan kepada aparatur perpajakan untuk
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku.
b. Self Assessment System
Sistem ini memberikan wewenang kepada wajib pajak dalam
menghitung, melaporkan, serta menyampaikan kewajiban pajaknya
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
c. With Holding System
Sistem ini memberikan wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk
oleh Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh
Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
2.1.1.8 Asas Pemungutan Pajak
Adapun asas pemungutan pajak yang diungkapkan Waluyo (2011:16)
sebagai berikut:
1. “Asas Tempat Tinggal
Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan
Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh, yang berasal dari Indonesia
atau berasal dari luar negeri.
27
2. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Asas ini
diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia untuk membayar pajak.
3. Asas Sumber
Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang
bersumber pada suatu negara yang memungut pajak. Dengan demikian,
Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.”
2.1.1.9 Hambatan Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2016:10) hambatan terhadap pemungutan pajak
dapat dikelompokkan menjadi:
1. “Perlawanan pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan
antara lain:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan
baik.
2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang dilakukan
oleh wajib pajak dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya
antara lain :
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).”
28
2.1.1.10 Teori-Teori yang Mendukung Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2016:5) terdapat lima teori yang mendukung
pemungutan pajak yaitu :
1. “Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak
rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang
diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar
kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang
harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak
harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk
mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
a. Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki seseorang.
b. Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat
dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus
selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu
kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga
masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan
menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan.”
29
2.1.1.11 Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil
Menurut Mardiasmo (2016:7) hukum pajak mengatur hubungan antara
pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai Wajib Pajak.
Ada dua macam hukum pajak yaitu :
1. “Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan
antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak
(objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak
yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya
utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib
Pajak.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan
hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak
materiil).
Hukum ini memuat antara lain:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang
pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para
Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang
menimbulkan utang pajak
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan
pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib pajak misalnya
mengajukan keberatan dan banding.”
2.1.1.12 Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2016:11) ada 4 macam tarif pajak yaitu :
1. “Tarif sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang
dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional
terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh : Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah
pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%
2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
30
Contoh : Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro nilai
nominal berapapun adalah Rp 3.000,00
3. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar.
Contoh : pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri
Tabel 2.1
Tarif Pajak Progresif
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%
Di atas Rp. 50.000.000,00
250.000.000,00
s.d. Rp 15%
Di atas Rp. 250.000.000,00
500.000.000,00
s.d. Rp. 25%
Di atas Rp. 500.000.000,00 30%
4. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar.”
2.1.2 Pemeriksaan Pajak
2.1.2.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak menurut Siti Kurnia Rahayu (2013:245), yaitu:
“Pemeriksaan pajak yang dilakukan secara profesional oleh Aparat Pajak
dalam kerangka SAS merupakan bentuk penegasan hukum perpajakan.
Pemeriksaan Pajak merupakan hal pengawasan pelaksanaan system SAS
yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan harus berpegang teguh pada Undang-
Undang perpajakan dan dipengaruhi oleh faktor dan kendala”.
31
Pemeriksaan pajak menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:32), yaitu:
“Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara
objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.”
Pemeriksaan pajak menurut Erly Suandy (2014:203), yaitu:
“Serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah data dan/atau
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melaksanakan upaya
penegakan hukum salah satunya dengan tindakan pemeriksaan pajak, maka
mutlak diperlukan tenaga pemeriksa pajak dalam kuantitas dan kualitas
yang memadai. Sedangkan untuk mendapatkan jaminan mutu atas hasil
kerja pemeriksaan selain diperlukan kuantitas dan kualitas yang memadai
diperlukan juga prosedur pemeriksaan, ruang lingkup, norma, pelaksanaan
dan produk dari pemeriksaan”.
Berdasarkan definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Aparat Pajak
yang mencakup kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah dan keterangan atau
bukti lainnya yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
32
2.1.2.2 Tujuan Pemeriksaan Pajak
Menurut Siti Resmi (2014:63) Direktorat Jendral Pajak berwenang
melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak dan tujuan lain, antara lain:
1. “Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusahan Kena Pajak;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Perhitungan Penghasilan
Neto;
6. Pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas
perpajakan dan/atau
11. Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda.”
Tujuan pemeriksaan pajak menurut Waluyo (2012:373), adalah tujuan
pemeriksaan pajak dan kewenangan pihak yang melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimuat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan menyatakan:
“Direktur Jendral Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan
perpajakan”.
33
2.1.2.3 Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:37) ruang pemeriksaan merupakan
cakupan objek pemeriksaan yang meliputi:
1. “Jenis pajak;
a. Satu jenis pajak (single-tax);
b. Beberapa jenis pajak atau
c. Seluruh jenis pajak (all-taxes).
2. Periode pencatatan/pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
a. Satu Masa Pajak;
b. Beberapa Masa Pajak;
c. Bagian Tahun Pajak atau
d. Baik dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.”
2.1.2.4 Kriteria Pemeriksaan Pajak
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:34) :
Terdapat 2 (dua) kriteria yang merupakan alasan dilakukannya pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yaitu Pemeriksaan
Rutin dan Pemeriksaan Khusus. Selain itu terdapat 1 (satu) lagi kriteria
pemeriksaan yaitu Pemeriksaan Tujuan Lain.
1. “ Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan Rutin adalah pemeriksaan yang dilakukan sehubungan
dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak. Adapun Pemeriksaan Rutin meliputi :
a. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan
lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi)
sebagaimana dimaksud dalam :
1) Pasal 17B Undang-Undang KUP atau
2) Pasal 17C Undang-Undang KUP tetapi memilih untuk tidak
dilakukan pengembalian dengan SKPPKP dan meminta untuk
direstitusikan, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan
SKPPKP
34
b. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih
bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagimana
dimaksud dalam :
1) Pasal 17 B Undang-Undang KUP atau
2) Pasal 17C Undang-Undang KUP tetapi memilih untuk dilakukan
pengembalian melalui prosedur biasa, atau tidak dapat diberikan
pengembalian dengan SKPPKP.
c. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN
yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP;
d. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar
Kompensasi;
e. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP;
f. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
g. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran,
likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi
akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya dan
h. Wajib Pajak melakukan:
1) Perubahan tahun buku;
2) Perubahan metode pembukuan dan/atau
3) Penilaian kembali aktiva tetap.
2. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Khusus adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap
Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau
secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan
kewajiban perpajakan. Adapun ketentuan terkait dengan Pemeriksaan
Khusus adalah sebgai berikut:
a. Pemeriksaan Khusus merupakan pemeriksaan yang dilakukan
terhadap Wajib Pajak berdasarkan analisis risiko.
b. Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria Pemeriksaan
Rutin, dapat dilakukan Pemeriksaan Khusus.
c. Analisis risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat
ketidakpatuhan Wajib Pajak yang mengindikasikan potensi
penerimaan pajak.
d. Analisis risiko dibuat dengan mendasarkan pada profil Wajib Pajak
dan/atau data internal lainnya serta memanfaatkan data eksternal
baik secara manual maupun berdasarkan kriteria seleksi berbasis
risiko secara komputerisasi.
e. Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan jenis Pemeriksaan
Lapangan.
f. Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan alasan:
35
1) Persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
2) Instruksi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
3) Instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
3. Pemeriksaan untuk Tujuan Lain
Ruang lingkup pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang
berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dilakukan dengan kriteria
antara lain sebagai berikut:
a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang
dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara
Verifikasi;
b. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan
berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
c. Pengukuhan atau pencabutan pegukuhan Pengusaha Kena Pajak
selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata
cara Verifikasi;
d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e. Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan
penghasilan neto;
f. Pencocokan data dan/atau alat keterangan;
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
i. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
j. Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu
kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas
perpajakan;
k. Memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda.”
36
2.1.2.5 Sasaran Pemeriksaan Pajak
Yang menjadi sasaran pemeriksaan pajak menurut Mardiasmo (2011:41)
adalah:
a. “Interpretasi undang-undang yang tidak benar.
b. Kesalahan hitung.
c. Penggelapan secara khusus dari penghasilan.
d. Pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya, yang dilakukan
Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakannya.”
2.1.2.6 Prosedur Pemeriksaan Pajak
Untuk melakukan pemeriksaan pajak menurut Mardiasmo (2011:54)
Petugas pajak harus melakukan prosedur pemeriksaan sebagai berikut:
1) “Petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan dan harus memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang
diperiksa.
2) Wajib Pajak yang diperiksa harus:
a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, atau objek yang terutang pajak.
b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan.
c. Memberi keterangan yang diperlukan.
3) Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen
serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu
kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban merahasiakan itu
ditiadakan.
4) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau
ruangan tertentu, bila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibannya”.
37
2.1.2.7 Metode Pemeriksaan Pajak
Metode pemeriksaan pajak yang sering digunakan menurut Siti Kurnia
Rahayu (2013:306) adalah sebagai berikut:
1. “Metode langsung
Metode langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan
melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam SPT yang
dilakukan langsung terhadap laporan keuangan dan buku-buku, catatan-
catatan, serta dokumen-dokumen pendukungnya sesuai dengan urutan
proses pemeriksaan.
2. Metode tidak langsung
Metode tidak langsung yaitu teknik dan prosedur pemeriksaan pajak
dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam SPT.
Pendekatan yang dilakukan untuk metode tidak langsung yaitu dengan
perhitungan tertentu mengenai penghasilan dan biaya yang meliputi:
a. Metode transaksi tunai;
b. Metode transaksi bank;
c. Metode sumber dan pengadaan dana;
d. Metode perbandingan kekayaan bersih;
e. Metode perhitungan persentase;
f. Metode satuan dan volume;
g. Pendekatan produksi;
h. Pendekatan laba kotor;
i. Pendekatan biaya hidup”.
2.1.2.8 Jangka Waktu Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:37) jangka waktu untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dibagi menjadi 2 (dua) jangka waktu
yaitu:
1. “Jangka waktu pengujian dan
2. Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan.
Jangka Waktu Pengujian diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Lapangan
38
a. Jangka waktu pengujian paling lama 6 (enam) bulan.
b. Jangka waktu dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai,
atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai
dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota
keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
2. Pemeriksaan Kantor
a. Jangka waktu pengujian paling lama 4 (empat) bulan.
b. Jangka waktu dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari
Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari
Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan dalam rangka
pemeriksaan sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan (SPHP) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Adapun jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan
diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan baik untuk
Pemeriksaan Lapangan maupun Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
2. Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dihitung sejak
tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).
Dengan alasan tertentu, jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dan
Pemeriksaan Lapangan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua)
bulan. Adapun alasan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan
Kantor/Lapangan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Kantor/Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak lainnya.
2. Terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada
pihak ketiga.
3. Ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak.
4. Berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan yang terkait dengan :
1. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
2. Wajib Pajak dalam satu grup; atau
Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau
transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
39
3. lama 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali
sesuai dengan kebutuhan waktu untuk melakukan pengujian.”
2.1.2.9 Jangka Waktu Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:39) terdapat dua jangka waktu
pemeriksaan untuk tujuan lain yaitu :
1. “Pemeriksaan Lapangan
a. Dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan.
b. Dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa,
pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib
Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka
Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal dalam LHP.
2. Pemeriksaan Kantor
a. Dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
b. Dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau
anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang
memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor
sampai dengan tanggal dalam LHP.”
2.1.2.10 Tahapan Pemeriksaan Pajak
Dalam melakukan pemeriksaan pajak, ada tahapan-tahapan yang harus
dilakukan oleh pemeriksa pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
545/KMK.04/2000 dalam Siti Kurnia Rahayu (2013:286) sebagai berikut:
1. “Persiapan Pemeriksaan Pajak
Persiapan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh pemeriksa sebelum melaksanakan tindakan pemeriksaan dan
meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Mempelajari berkas wajib pajak/berkas data
b. Menganalisis SPT dan laporan keuangan wajib pajak
c. Mengidentifikasi masalah
d. Melakukan pengenalan lokasi wajib pajak
e. Menentukan ruang lingkup pemeriksaan
40
f. Menyusun program pemeriksaan
g. Menentukan buku-buku dan dokumen yang akan dipinjam
h. Menyediakan sarana pemeriksaan
2. Pelaksanaan Pemeriksaan
Pelaksanaan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
pemeriksa dan meliputi:
a. Memeriksa di tempat wajib pajak
b. Melakukan penilaian atas system pengendalian intern
c. Memutakhirkan ruang lingkup dan program pemeriksaan
d. Melakukan pemeriksaan atas buku-buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen.
e. Melakukan konfirmasi kepada pihak ketiga
f. Memberitahukan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak
g. Melakukan sidang penutup (Closing Conference)
3. Teknik dan Metode Pemeriksaan
Program pemeriksaan adalah pernyataan pilihan dan urutan metode,
teknik dan prosedur pemeriksaan yang akan dilaksanakan oleh pemeriksa
dalam melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
a. Metode langsung
b. Metode tidak langsung
c. Metode pemeriksaan transaksi afiliasi
4. Penyusunan Kertas Kerja Pemeriksaan dan Laporan Hasil Pemeriksaan
a. Kertas kerja pemeriksaan
b. Laporan hasil pemeriksaan”.
2.1.2.11 Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak
Menurut Siti Kurnia (2010:247) yang melatar belakangi Kebijakan
Pemeriksaan Pajak adalah sebagai berikut:
a. “Konsekuensi Kepatuhan Perpajakan.
b. Meminimalisir adanya Tax Avoidance dan Tax Evasion.
c. Mengurangi tingkat kebocoran pajak penghasilan akibat sistem
pelaporan pajak yang tidak benar.
d. Pengenaan sanksi atau Penalti dari hasil pemeriksaan akan membuat
efek.
e. jera kepada wajib pajak untuk tidak lagi mengulangi pelanggaran
pajak.
41
f. Keberhasilan suatu sistem kebijakan pemeriksaan pajak di tentukan
oleh:
Penentuan utang pajak harus didasarkan pada sistem pencatatan yang memadai.
Adanya sumber daya manusia yang ditugaskan melakukan
pemeriksaan mengusai sistem pembukuan wajib pajak.
Harus ada akses terhadap arsip catatan pihak ketiga yang diharapkan, oleh karena itu ada beberapa hal yang melatar
belakangi Kebijakan Pemeriksaan Pajak.”
Adapun tujuan dari kebijakan pemeriksaan pajak menurut Siti Kurnia
(2010:248) sebagai berikut :
a. “Membuat Pemeriksaan menjadi efektif dan efisien.
b. Meningkatkan kinerja pemeriksaan pajak.
c. Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak sebagai.
d. konsekuensi pemungutan pajak di Indonesia.
e. Secara tidak langsung menjadi aspek pendorong untuk meningkatkan
penerimaan negara dari pajak.”
2.1.2.12 Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:39) dalam rangka menjaga kualitas
hasil pemeriksaan, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan standar pemeriksaan. Standar
Pemeriksaan digunakan sebagai ukuran mutu Pemeriksaan yang merupakan
capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan Pemeriksaan.
Standar Pemeriksaan meliputi:
1. Standar Umum Pemeriksaan;
2. Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dan
3. Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan.
42
Standar Umum Pemeriksaan meliputi:
1. Merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan
persyaratan Pemeriksa Pajak.
2. Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak yang memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta
memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak.
b. Menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama.
c. Jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa
mengutamakan kepentingan negara.
d. Taat tehadap berbagai ketentuan peraturan perUndang-Undangan
di bidang perpajakan.
3. Dalam hal diperlukan, Pemeriksaan dapat dilaksanakan oleh tenaga
ahli dari luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan meliputi:
1. Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik
sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi
kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak,
menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan), dan menyusun program
Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan yang
seksama.
43
2. Pemeriksaan dilaksanakan dengan pengujian berdasarkan metode dan
teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan (audit
program), serta mendapat pengawasan yang seksama.
3. Temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten
yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
4. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri
dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih
anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap
sebagai anggota tim.
5. Tim Pemeriksa Pajak dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang
memiliki keahlian tertentu, baik yang berasal dari Direktorat Jenderal
Pajak, maupun yang berasal dari instansi di luar Direktorat Jenderal
Pajak yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, sebagai tenaga
ahli seperti penerjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi,
dan pengacara.
6. Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-
sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain.
7. Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak,
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang
dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.
44
8. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan
dapat dilanjutkan di luar jam kerja.
9. Pelaksanaan Pemeriksaan di dokumentasikan dalam bentuk Kertas
Kerja Pemeriksaan (KKP) dengan ketentuan:
a. KKP wajib disusun oleh Pemeriksa Pajak dan berfungsi sebagai:
1) Bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar
pelaksanaan Pemeriksaan;
2) Bahan dalam melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
3) Dasar pembuatan LHP;
4) Sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau
banding yang diajukan oleh Wajib Pajak dan
5) Referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.
b. KPP harus memberikan gambaran mengenai:
1) Prosedur Pemeriksaan yang dilaksanakan;
2) Data, keterangan, dan/atau bukti yang diperoleh;
3) Pengujian yang telah dilakukan; dan
4) Simpulan dan hal-hal yang dianggap perlu yang berkaitan
dengan Pemeriksaan.
Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan meliputi:
45
1. Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk LHP yang
disusun sesuai standar pelaporan hasil pemeriksaan.
2. LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-
pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat
simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang
ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perUndang-
Undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain
yang terkait dengan Pemeriksaan.
3. LHP untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
sekurang-kurangnya memuat:
a. Penugasan Pemeriksaan;
b. Indentitas Wajib Pajak;
c. Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
d. Pemenuhan kewajiban perpajakan;
e. Data/informasi yang tersedia;
f. Buku dan dokumen yang dipinjam;
g. Materi yang diperiksa;
h. Uraian hasil Pemeriksaan;
i. Ikhtisar hasil Pemeriksaan;
j. Penghitungan pajak terutang dan
k. Simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
46
2.1.2.13 Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pemeriksaan Pajak
1. Hak Wajib Pajak
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:43) dalam pelaksanaan Pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.Wajib Pajak
berhak:
a. “Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda
Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;
b. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan
dilakukan dengan jenis Pemeriksaaan Lapangan;
c. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang
berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim
Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
d. Meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang
alasan dan tujuan Pemeriksaan;
e. Menerima SPHP;
f. Menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang
telah ditentukan;
g. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim
Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil
Pemeriksaan yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan
Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
h. Memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan
oleh pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuisioner Pemeriksaan.
2. Kewajiban Wajib Pajak
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:44) terdapat beberapa kewajiban
wajib pajak yaitu :
a. “Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan,
Wajib Pajak wajib:
1) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
47
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek
yang terutang pajak;
2) Memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh
data yang dikelola secara elektronik;
3) Memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat
atas ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga
atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen
lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang
pengasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada
Pemeriksa Pajak.
4) Memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan yang dapat berupa:
• Menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak
apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik
memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
• Memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka
barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
• Menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan
Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib
Pajak.
b. Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak
wajib:
1) Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai
dengan waktu yang ditentukan;
2) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau
dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan
dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
3) Memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
4) Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP;
5) Meminjamkan KKP yang dibuat oleh akuntan publik; dan
6) Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.”
48
3. Kewajiban Pemeriksa Pajak
Menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:45) dalam melakukan Pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa
Pajak Wajib:
a. “Menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada
Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis
Pemeriksaan lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka
Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis
Pemeriksaan Kantor;
b. Memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada
Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
c. Memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak
kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa
Pajak mengalami perubahan;
d. Melakukan pertemuan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka
memberikan penjelasan mengenai:
1) Alasan dan tujuan Pemeriksaan;
2) Hak dan kewajban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan
Pemeriksaan;
3) Hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan
pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam
hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara
Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan; dan
4) Kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku,
catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak
e. Menuangkanhasil pertemuan dalam berita acara pertemuan dengan
Wajib Pajak;
f. Menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
g. Memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah
ditentukan;
h. Menyampaikan Kuisioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
i. Melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara
tertulis;
49
j. Mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari
Wajib Pajak; dan
k. Merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu
yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka Pemeriksaan.”
4. Kewenangan Pemeriksa Pajak
Kewenangan Pemeriksa Pajak menurut Ilyas dan Wicaksono (2015:46)
yaitu :
a. “Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan
Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang:
1) Melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen
lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang
terutang pajak.
2) Mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara
elektronik;
3) Memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak
dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan
untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan dokumen lain, uang dan/atau
barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang
diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau
objek yang terutang pajak;
4) Meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna
kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa:
• Menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib
Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara
elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
• Memberikan bantuan kepada Pemeriksa Pajak untuk
membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
• Menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya
Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di
tempat Wajib Pajak.
5) Melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang
bergerak dan/atau tidak bergerak;
50
6) Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
7) Meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak
ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang
diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
b. Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa
Pajak berwenang:
1) Memanggil Wajib Pajak untuk datang ke Kantor Direktorat
Jenderal Pajak dengan menggunakan Surat Panggilan Dalam
Rangka Pemeriksaan Kantor;
2) Melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen
lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang
berhubungan engan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
3) Meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna
kelancaran Pemeriksaan;
4) Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
5) Meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib
Pajak; dan Meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan
dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib
Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana
Pemeriksaan.”
2.1.3 Sosialisasi Perpajakan
2.1.3.1 Pengertian Sosialisasi Perpajakan
Definisi sosialisasi menurut Nurmantu dalam Kartika Ratna Handayani
(2016:63) adalah :
“Sosialisasi perpajakan adalah upaya yang dilakukan oleh Dirjen Pajak
untuk memberikan sebuah pengetahuan kepada masyarakat dan khususnya
wajib pajak agar mengetahui tentang segala hal mengenai perpajakan baik
peraturan maupun tata cara perpajakan melalui metode-metode yang tepat.
Kepatuhan wajib pajak adalah kondisi dimana wajib pajak memenuhi semua
kewajiban perpajakannya dan melaksanakan hak perpajakannya.”
Sosialisasi menurut Rahmawati dalam Yeny Kopong (2016:98) adalah :
51
“Sosialisasi perpajakan adalah pemberian wawasan, dan pembinaan kepada
wajib pajak agar mengetahui tentang segala hal mengenai perpajakan.”
Definisi pajak yang dikemukakan Susanto dalam Sugeng Wahono (2012:
80) yaitu:
“Sosialisasi perpajakan adalah upaya yang dilakukan oleh Dirjen Pajak
untuk memberikan sebuah pengetahuan kepada masyarakat dan khususnya
Wajib Pajak agar mengetahui tentang segala hal mengenai perpajakan baik
peraturan maupun tata cara perpajakan melalui metode-metode yang tepat.”
Dari pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sosialisasi
perpajakan merupakan suatu upaya dari Dirjen Pajak untuk memberikan
pengertian, informasi, dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan
Wajib Pajak mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan dan
perundang-undangan.
2.1.3.2 Strategi Kegiatan Penyuluhan Perpajakan
Dalam rangka mendorong minat dan jumlah peserta penyuluhan, menurut
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-05/PJ/2013 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan, unit kerja dapat melakukan antara
lain :
1. “mengaitkan tema kegiatan Penyuluhan Perpajakan dengan peristiwa
penegakan hukum di bidang perpajakan, sebagai contoh :
a. Peristiwa penangkapan penerbit Faktur pajak fiktif dapat dijadikan
pertimbangan untuk melakukan kegiatan penyuluhan perpajakan
dengan tema makanisme pembuatan Faktur pajak yang benar.
b. Informasi tentang permasalahan perpajakan hasil temuan aparat
pengawasan eksternal (Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan
pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau Inspektorat Jenderal)
52
dapat dijadikan pertimbangan untuk menawarkan dan memberikan
penyuluhan kepada Bendahara Pemerintah.
2. Memberikan informasi tentang pemberian penghargaan (reward) jika
Wajib Pajak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya seperti
pemberian Dana Insentif Daerah (DID) dari pemerintah pusat bagi satuan
kerja yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian atas laporan
keuangan.
3. Memanfaatkan kerjasama dengan pihak lain, misalnya pemberian
Penyuluhan Perpajakan dalam rangka menindaklanjuti kesepatan dalam
Nota Kesepahaman anatara Direktorat Jenderal Pajak dengan pihak lain.”
2.1.3.3 Bentuk-Bentuk Sosialisasi Perpajakan
Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE- 98/PJ./2011 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Kerja dan Laporan Kegiatan Penyuluhan Perpajakan Unit
Vertikal di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, disebutkan bahwa upaya untuk
meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang hak kewajiban
perpajakannya harus terus dilakukan karena beberapa alasan, antara lain:
1. “Program ekstensifikasi yang terus menerus dilakukan Direktorat
Jenderal Pajak diperkirakan akan menambah jumlah Wajib Pajak Baru
yang membutuhkan sosialisasi / penyuluhan.
2. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak terdaftar masih memiliki ruang yang
besar untuk ditingkatkan.
3. Upaya untuk meningkatkan jumlah penerimaan pajak dan
meningkatkan besarnya tax ratio.
4. Peraturan dan kebijakan di bidang perpajakan bersifat dinamis.
Dalam rangka mencapai tujuannya, maka kegiatan sosialisasi atau
penyuluhan perpajakan dibagi ke dalam tiga fokus, yaitu
a. kegiatan sosialisasi bagi calon Wajib Pajak.
Kegiatan sosialisasi bagi calon Wajib Pajak bertujuan untuk
membangun awareness tentang pentingnya pajak serta menjaring
Wajib Pajak baru.
b. kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak baru.
Kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak baru bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman dan kepatuhan untuk memenuhi
53
kewajiban perpajakannya, khususnya bagi mereka wajib pajak
yang belum melakukan penyetoran pajak untuk yang pertama kali.
c. kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak terdaftar.
kegiatan sosialisasi bagi Wajib Pajak terdaftar bertujuan untuk
menjaga komitmen Wajib Pajak untuk terus patuh.
Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan perpajakan dapat dilakukan
dengan dua cara sebagai berikut:
a. Sosialisasi langsung Sosialisasi langsung adalah kegiatan sosialisasi
perpajakan dengan berinteraksi langsung dengan Wajib Pajak atau calon
Wajib Pajak. Bentuk sosialisasi langsung yang pernah diadakan antara
lain Early Tax Education, Tax Goes To School / Tax Goes To Campus,
perlombaan perpajakan (Cerdas Cermat, Debat, Pidato Perpajakan,
Artikel), sarasehan/ tax gathering, kelas pajak / klinik pajak, seminar /
diskusi / ceramah, dan workshop / bimbingan teknis.
b. Sosialisasi tidak langsung Sosialisasi tidak langsung adalah kegiatan
sosialisasi perpajakan kepada masyarakat dengan tidak atau sedikit
melakukan interaksi dengan peserta.”
2.1.3.4 Tugas dan Tanggung Jawab KPP Pratama dan Kanwil DJP yang
Membawahi KPP Pratama
Mardiasmo (2011:16) menerangkan Tugas dan Tanggung Jawab KPP
Pratama dan Kanwil DJP yang Membawahi KPP pratama yaitu :
1. “Kanwil memiliki tugas dan tanggung jawab melakukan kegiatan
penyuluhan Perpajakan dengan fokus Calon Wajib Pajak;
2. KPP mmemiliki tugas dan tanggung jawab melakukan kegiatan
penyuluhan Perpajakan dengan fokus Wajib Pajak Baru dan Wajib Pajak
Terdaftar;
3. Dalam kondisi atau pertimbangan tertentu:
a. KPP dapat melaksanakan kegiatan Penyuluhan Perpajakan kepada
Calon Wajib Pajak;
b. Kanwil dapat melaksanakan kegiatan Penyuluhan Perpajakan
kepada Wajib Pajak Baru dan Wajib Pajak Terdaftar.”
54
2.1.3.5 Indikator Sosialisasi Perpajakan
Dalam melakukan sosialisasi perlu adanya strategi dan metode yang tepat
yang dapat diaplikasikan dengan baik dan menjadi indikator dan komponen dalam
sosialisasi perpajakan Widi Widodo, dkk (2010 : 168), yaitu :
1. “Penyuluhan
a. Metode yang digunakan
b. Tempat, fasilitas dan media yang digunakan
c. Materi yang disampaikan
2. Cara Sosialisasi
a. Seminar (sosialisasi langsung)
b. Iklan (sosialisasi tidak langsung)
3. Media Informasi yang digunakan Sumber informasi mengenai pajak
banyak bersumber dari media masa namun media luar ruang juga
menjadi sumber yang di perhatikan oleh masyarakat meliputi :
a. Media cetak
b. Media elektronik.”
2.1.4 e-Filing
2.1.4.1 Modernisasi Adminstrasi Perpajakan
Semenjak tahun 2002, Direkotorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan
program perubahan (change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang
secara singkat biasa disebut Modernisasi. Modernisasi administrasi perpajakan ini
dapat diartikan sebagai penggunaan sarana dan prasarana perpajakan yang baru
dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi. Adapun jiwa dari
program modernisasi ini adalah pelaksanaan Good Governance, yaitu penerapan
sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan
memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. (Diana Sari
2013: 34).
55
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2013:109) :
“Modernisasi administrasi Perpajakan yang dilakukan merupakan bagian
dari reformasi perpajakan secara komprehensif sebagai suatu kesatuan
dilakukan terhadap tiga bidang pokok yang secara langsung menyentuh
pilar perpajakan yaitu bidang administrasi, bidang peraturan dan bidang
pengawasan.”
Menurut Mendel dan Bevacqua (2010: 243) :
“Over the last two decades, many revenue bodies have taken steps to exploit
the use of modern computing technologies to transform their operations, in
particular those concerned with mainstream tax collection and assessment
processes and the provison of service to taxoayers and their representative.
The main types of online service now being used by large and growing
numbers of taxpayers:
1. Provison of a comprehensive range of tax and other information,
forms and calculators on websites.
2. Electronic filing.
3. A range of electronic payment options for all taxes.
4. Access to secure detailed personal taxpayer information via online
portals
5. Call Centres using modern telephone facilities (including IVR
technologies) to provide more accessible inquiry services.”
Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa Selama dua dekade terakhir,
banyak badan pendapatan telah mengambil langkah untuk memanfaatkan
penggunaan teknologi komputasi modern untuk mengubah operasi mereka,
terutama yang terkait dengan pengumpulan pajak dan proses penilaian utama dan
provisi pelayanan kepada petugas pajak dan perwakilan mereka. Jenis layanan
online utama sekarang digunakan oleh jumlah pembayar pajak yang besar dan terus
bertambah:
1. Provisi berbagai informasi pajak dan informasi lainnya, formulir dan
kalkulator di situs web.
56
2. Pengarsipan elektronik.
3. Berbagai pilihan pembayaran elektronik untuk semua pajak.
4. Akses untuk mengamankan informasi wajib pajak pribadi yang terperinci
melalui portal online
5. Call Center menggunakan fasilitas telepon modern (termasuk teknologi
IVR) untuk menyediakan layanan penyelidikan yang lebih mudah
diakses. "
2.1.4.2 Pengertian e-Filing
Definisi e-filing menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-
88/PJ/2004 tanggal 14 Mei 2004 KEP-05/PJ./2005 tanggal 12 Januari 2005 tentang
Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik (e-filing) melalui
Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yaitu:
“e-filing atau e-SPT adalah Surat Pemberitahuan Masa atau Tahunan yang
berbentuk formulir elektronik dalam media komputer, dimana
penyampaiannya dilakukan secara elektronik dalam bentuk data digital yang
ditransfer atau disampaikan ke Direktorat Jenderal Pajak melalui
Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP)
yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak dengan proses yang
terintegrasi dan real time.”
Definisi e-filing menurut Pasal 1 Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No
47/PJ/2008 Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dan Penyampaian
Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Secara Elektronik (E-
filing) Melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yaitu:
57
“E-filing adalah suatu cara penyampaian SPT dan penyampaian
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik yang
dilakukan secara online dan real time melalui Penyedia Jasa Aplikasi
(ASP)”
Menurut Pasal 1 ayat (6) Peraturan Direktur Jenderal Pajak, Nomor PER-
1/PJ/2014 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan yaitu :
“E-filing merupakan sistem pelaporan SPT yang dibuat oleh Direktorat
Jenderal Pajak yang memberikan kemudahan bagi kita wajib pajak dalam
pembuatan dan penyerahan laporan SPT. Untuk saat ini e-filing hanya
melayani dua jenis SPT saja, yaitu:
a. SPT Tahunan OP Formulir 1770S, Bagi wajib pajak yang mempunyai
penghasilan dari satu atau lebih pemberi kerja dari dalam negeri lainnya;
dan/atau yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final)
.
b. SPT Tahunan OP Formulir 1770SS, Bagi wajib pajak yang mempunyai
penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan
bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali
penghasilan berupa bunga bank dan/atau bunga koperasi).”
Sedangkan menurut Siti Kurnia (2010:132) mendefinisikan e-filing sebagai
berikut :
“Merupakan cara penyampaian SPT melalui sistem online dan Real Time.
Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT melalui perusahaan penyedia jasa
aplikasi (Aplication Service Provider) yang telah ditunjuk DJP sebagai
perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian.”
2.1.4.3 Syarat Mengunakan e-Filing
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor Per-01/PJ/2014
untuk dapat menggunakan fasilitas e-filing Wajib Pajak harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
58
1. “Sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) atau sudah memiliki NPWP
(Nomor Pokok Wajib Pajak).
2. Kartu identitas diri.
3. Nomor telepon yang aktif agar dapat menerima SMS.
4. Alamat email.
5. Dokumen yang digunakan untuk mengisi SPT.
6. Memiliki PC yang memadai dan terkoneksi ke Internet.
Adapun syarat-syarat WP dapat menikmati layanan e-filing atau pengiriman
data / penyampaian SPT secara elektronik adalah seperti berikut:
1. E-FIN yang diperoleh dari KPP.
2. Memiliki aplikasi SPT dan submission data ke ASP Laporpajak.com.
3. Sertifikat Digital (Digital Certificate) yang didapatkan setelah
melakukan registrasi e-filing.”
2.1.4.4 Tata Cara Penyampaian dan atau Perpanjangan SPT Tahunan secara
e-Filing
Sebelum melakukan penyampaian dan atau perpanjangan SPT tahunan
secara e-filing melalui ASP berdasarkan Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor
Per-01/PJ/2014. Wajib pajak mengajukan permohanan untuk memperoleh e-FIN
terlebih dahulu dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk memperoleh e-FIN ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau secara online
melalui website Direktorat Jenderal Pajak.
2. Jika pendaftaran dilakukan melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar maka Wajib Pajak akan diminta mengisi formulir,
Nama dan NPWP sesuai dengan Master File Wajib Pajak, menunjukkan
asli kartu identitas diri, surat kuasa dan fotokopi identitas Wajib Pajak
59
bila dikuasakan yang kemudian e-FIN akan dikirim langsung ke Wajib
Pajak atau kuasanya selama 1 hari kerja.
3. Jika pendaftaran dilakukan secara online melalui website Direktorat
Jenderal Pajak, maka Wajib Pajak diminta melakukan pengisian
formulir secara online yang kemudian e-FIN dikirim ke alamat Wajib
Pajak sesuai yang tercantum pada Master File Wajib Pajak yang
dikirimkan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir
selama 3 hari kerja sejak proses pengiriman.
4. Setelah Wajib Pajak mendapatkan e-FIN, Wajib Pajak mendaftarkan
diri sebagai Wajib Pajak e-filing paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender sejak terbitnya e-FIN dengan cara:
a. Buka menu e-filing di situs DJP www.pajak.go.id
b. Masukkan NPWP dan e-FIN.
c. Isikan data email, nomor handphone, dan password.
d. Lakukan konfirmasi balasan pada email atau handphone.
e. Jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari Wajib Pajak tidak
mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak e-filing maka Wajib Pajak
dapat mengajukan kembali permohonan e-FIN secara online melalui
website Direktorat Jenderal Pajak atau secara langsung ke Kantor
Pelayanan Pajak.
5. Menyampaikan SPT Tahunan secara e-filing melalui www.pajak.go.id:
a. Login aplikasi e-filing menggunakan email sebagai username dan
password.
60
b. Mengisi e-SPT dengan benar, lengkap dan jelas.
c. Meminta kode verifkasi untuk penyampaian SPT.
d. Menandatangani e-SPT dengan mengisi kode verifkasi.
e. Mengirim e-SPT secara e-filing melalui www.pajak.go.id.
f. Menerima verifkasi melalui email atau SMS.
g. Menerima bukti penerimaan elektronik.
2.1.4.5 Keuntungan e-Filing
Indikator e-filing yang digunakan dalam penelitian ini adalah keuntungan e-
filing Menurut (www.pajak.go.id) kelebihan e-filing antara lain:
1. Penyampaian SPT dapat dilakukan secara cepat, aman, dan kapan saja
2. Penghitungan dilakukan secara cepat karena menggunakan sistem
komputer.
3. Lebih mudah karena pingisian SPT dalam bentuk wizard.
4. Data yang disampaikan Wajib Pajak selalu lengkap karena terdapat
validasi pengisian SPT.
5. Lebih ramah lingkungan karena meminimalisir penggunaan kertas.
6. Dokumen pelengkap (potokopi Formulir 1721 A1/A2 atau bukti potong
PPh, SSP Lembar ke-3 PPh Pasal 29, Surat Kuasa Khusus, perhitungan
PPh terutang bagi Wajib Pajak Kawin Pisah Harta dan/atau mempunyai
NPWP sendiri, potokopi Bukti Pembayaran Zakat) tidak perlu dikirim
lagi kecuali diminta oleh KPP melalui Account representative.
61
2.1.5 Kepatuhan Wajib Pajak
2.1.5.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dalam Siti Kurnia
Rahayu (2013:138) didefinisikan sebagai berikut:
“Istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam
perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa Kepatuhan Perpajakan
merupakan ketaatan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan
perpajakan”.
2.1.5.2 Pengertian Wajib Pajak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 Pasal 1 ayat (2) tentang
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang telah diubah dengan UU Nomor
28 tahun 2007 yang dimaksud dengan wajib pajak menurut Siti Resmi (2014:18)
adalah:
“Orang pribadi atau badan, meliputi membayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perUndang-Undang perpajakan”.
Menurut Waluyo (2011:23), wajib pajak adalah:
“Orang pribadi atau badan meliputi pembayaran pajak, dan pemungut pajak,
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan perpajakan”.
Wajib Pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau
badan (subjek pajak) yang mempunyai hak dan kewajiban menurut ketentuan
peraturan perUndang-Undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
62
kewajiban perpajakan.
2.1.5.3 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Moh. Zain (2007:31) Kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu iklim
kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam
situasi dimana :
1. “Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perUndang-Undangan perpajakan.
2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya”
Kepatuhan Perpajakan menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia Rahayu
(2013:138) adalah sebagai berikut:
“Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya”.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan maka pada prinsipnya
Kepatuhan perpajakan adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan
dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku.
63
2.1.5.4 Kriteria Wajib Pajak
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2013:139) kriteria kepatuhan Wajib Pajak
adalah sebagai berikut:
1. Patuh terhadap kewajiban intern, yakni dalam pembayaran atau laporan
masa, SPT masa, SPT PPN setiap bulan.
2. Patuh terhadap kewajiban tahunan, yakni dalam menghitung pajak atas
dasar sistem self assessment, menyampaikan SPT tahunan tepat waktu
serta tidak memiliki tunggakan pajak atau melunasi pajak terutang.
3. Patuh terhadap ketentuan material dan yuridis formal perpajakan
melalui mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, Melaporkan kembali
SPT dengan lengkap dan benar sesuai dengan besarnya pajak terutang
yang sebenarnya, Wajib Pajak menghitung dan membayar pajak
terutang dengan benar, dan Wajib Pajak membayar tunggakan tepat
waktu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
74/PMK.03/2012 Pasal 2, untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. “Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau
menunda pembayaran pajak;
3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga
pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dan
4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.”
64
2.1.5.5 Jenis-Jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Untuk kepatuhan Wajib Pajak secara formal menurut Undang-Undang KUP
dalam Erly Suandy (2011:119) adalah sebagai berikut:
1. “Kewajiban untuk mendaftarkan diri
Pasal 2 Undang-Undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak
wajib mendaftarkan diri pada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Khusus
terhadap pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP menegaskan bahwa setiap Wajib
Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dalam bahasa
Indonesia serta menyampaikan ke kantor pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar.
3. Kewajiban membayar atau menyetor pajak
Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di kas negara
melalui kantor pos atau bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran
lainnya yang ditetapkan Menteri Keuangan.
4. Kewajiban membuat pembukuan dan/atau pencatatan
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan
membuat pembukuan (Pasal 28 ayat (1)). Sedangkan pencatatan
dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usahanya atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
5. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak
Terhadap Wajib Pajak yang diperiksa, harus menaati ketentuan dalam
rangka pemeriksaan pajak, misalnya Wajib Pajak memperlihatkan
dan/atau meminjamkan buku atau catatan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, memberi kesempatan
untuk memasuki tempat ruangan yang dipandang perlu dan memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan, serta memberikan keterangan
yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.
6. Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak
65
Wajib Pajak yang bertindak sebagai pemberi kerja atau penyelenggara
kegiatan wajib memungut pajak atas pembayaran yang dilakukan dan
meyetorkan ke kas negara. Hal ini sesuai dengan prinsip withholding
system.”
Adapun kepatuhan material menurut Undang-Undang KUP dalam Erly
Suandy (2011:120) disebutkan bahwa:
“Setiap Wajib Pajak membayar pajak terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan
pada adanya surat ketetapan pajak dan jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah
pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-
Undangan perpajakan”.
Sementara itu, menurut Safri Nurmantu dalam Widodo (2010:68) terdapat
dua macam kepatuhan yaitu sebagai berikut:
1. “Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi
kewajibannya secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang perpajakan. Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak
secara formal dapat dilihat dari aspek kesadaran Wajib Pajak untuk
mendaftarkan diri, ketepatan waktu Wajib Pajak dalam menyampaikan
SPT tahunan, ketepatan waktu dalam membayar pajak, dan pelaporan
Wajib pajak melakukan pembayaran pajak dengan tepat waktu.
2. Kepatuhan material adalah waktu keadaan dimana Wajib Pajak secara
substantif (hakekat) memenuhi semua ketentuan material perpajakan,
yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan. Jadi Wajib pajak
yang memenuhi kepatuhan material dalam mengisi SPT PPh, adalah
Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, baik dan benar atas SPT tersebut
sehingga sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan
dan menyampaikan ke KPP sebelum batas waktu”
2.1.5.6 Syarat-Syarat Menjadi Wajib Pajak Patuh
Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI No.74/PMK.03/2012 Pasal 3
Syarat-syarat menjadi wajib pajak patuh, yaitu:
66
1. “Yang dimaksud dengan tepat waktu dalam penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun
Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun
sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
dilakukan tepat waktu;
b. Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun
terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria
Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari
3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;
c. Seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum
tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa
Pajak Januari sampai November telah disampaikan dan
d. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud
pada huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
2. Yang dimaksud dengan tidak mempunyai tunggakan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah keadaan Wajib Pajak pada
tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu.
3. Yang dimaksud dengan laporan keuangan yang di audit oleh akuntan
publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah laporan keuangan yang
dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
yang wajib disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai
dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu.”
2.1.5.7 Proses Penetapan Wajib Pajak Patuh
Penetapan Wajib Pajak Patuh diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI
No.74/PMK.03/2012 Pasal 4, yaitu:
1. “Penetapan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan:
a. Berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak atau
b. Berdasarkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak secara jabatan.
67
2. Batas waktu pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
huruf a, diajukan paling lambat tanggal 10 Januari pada tahun penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
3. Berdasarkan hasil penelitian atas pemenuhan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, Direktur Jenderal Pajak:
a. Menerbitkan keputusan mengenai penetapan Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu, dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 memenuhi persyaratan atau
b. Memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak mengenai
penolakan permohonan, dalam hal permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak memenuhi persyaratan.
4. Penerbitan keputusan atas Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu dan
pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf
b, dilakukan paling lambat tanggal 20 Februari pada tahun penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
5. Apabila sampai dengan tanggal 20 Februari pada tahun penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat 4 Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dianggap disetujui dan Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan keputusan mengenai penetapan Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu.
6. Keputusan mengenai penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diterbitkan paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat 4.
7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 3
huruf a berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun kalender, terhitung
sejak tanggal 1 Januari pada tahun penetapan Wajib Pajak Dengan
Kriteria Tertentu.
8. Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 3
huruf a sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam
lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
9. Surat pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat 3
huruf b sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam
lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini. “
2.1.5.8 Pencabutan Wajib Pajak Patuh
Pencabutan Wajib Pajak Patuh diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
RI No.74/PMK.03/2012 Pasal 11, yaitu:
68
1. “Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Dengan Kriteria
Tertentu dicabut penetapannya dalam hal Wajib Pajak:
a. Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau
dilakukan tindakan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
b. Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu
jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
c. Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu
jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender;
atau
d. Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
2. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai pencabutan
penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
3. Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu yang telah dicabut penetapannya
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, tidak dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. “
2.1.5.9 Manfaat Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2013:142), Wajib Pajak yang berpredikat
patuh dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya tentu akan mendapatkan
kemudahan dan fasilitas yang lebih daripada Wajib Pajak yang belum atau tidak
patuh. Fasilitas yang diberikan oleh Dirjen Pajak terhadap Wajib Pajak patuh adalah
sebagai berikut:
1. “Pemberian batas waktu penerbitan Surat Keputusam Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan Wajib
Pajak diterima untuk Pajak Penghasilan dan 1 (satu) bulan untuk Pajak
Pertambahan Nilai, tanpa melalui penelitian dan pemeriksaan oleh
Direktorat Jenderal Pajak.
2. Adanya kebijakan percepatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) menjadi paling lambat 2 (dua)
bulan untuk Pajak Penghasilan dan 7 (tujuh) hari untuk Pajak
Pertambahan Nilai.”
69
2.1.6 Penerimaan Pajak
2.1.6.1 Pengertian Penerimaan Pajak
Definisi penerimaan pajak Menurut Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 4 Tahun
2012 tantang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yaitu:
” Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas
pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.”
Menurut John Hutagaol (2007:325) penerimaan pajak adalah:
“Sumber Penerimaan yang dapat diperoleh secara terus menerus dan dapat
dikembangkan secara optimal sesuai kebutuhan pemerintah serta kondisi
masyarakat”
Dari beberapa pendapat menurut para ahli di atas, maka pengertian
penerimaan pajak adalah semua penerimaan perpajakan dalam negeri dan luar
negeri diperoleh secara terus menerus yang digunakan untuk belanja rutin maupun
pembangunan negara.
2.1.6.2 Sumber Penerimaan Pajak
Terdapat 4 sumber penerimaan pajak antara lain:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 pajak penghasilan
adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
70
kekayaan Wajb Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun. Pajak penghasilan juga merupakan pungutan resmi oleh
pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berdasarkan Undang-Undang No 42 Tahun 2009 PPN adalah pajak
yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi,
perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang Kena Pajak
tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Menurut
Undang-Undang No 42 Tahun 2009 yang dimaksud dengan Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Materai
71
Berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 1985 Bea Materai adalah
pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat
perjanjian, akta notaries, serta kwitansi pembayaran, surat berharga,
dan efek, yang membuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah
tertentu sesuai dengan ketentuan.
2.1.6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2013: 27-29) menyebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah:
1. “Kejelasan, kepastian dan kesederhanaan peraturan perUndang-
Undangan perpajakan Undang-Undang yang jelas, sederhana dan mudah
dimengerti akan memberikan penafsiran yang sama bagi wajib pajak dan
fiskus. Dengan adanya kepastian hukum dan kejelasan Undang-Undang
tidak akan menimbulkan salah interprestasi, selanjutnya akan
menimbulkan motivasi pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana
mestinya. Ketentuan perpajakan yang dibuat sempurna mudah dipahami
tentunya hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak dapat dilaksankan
secara efektif dan efisien. Dengan demikian hal ini akan memperlancar
penerimaan negara dari sektor pajak. Kesadaran dan kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan akan terbentuk dengan peraturan yang
tidak berbelit-belit. Prosedur yang tidak rumit dengan formulir yang
mudah dimengerti pengisiannya oleh wajib pajak
2. Kebijakan pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-Undang
perpajakan Kebijakan pemerintah dalam implementasi Undang-Undang
perpajakan merupakan suatu cara atau alat pemerintah di bidang
perpajakan yang memiliki suatu sasaran tertentu atau untuk mencapai
suatu tujuan tertentu di bidang sosial dan ekonomi. Kebijakan dalam hal
ini adalah dengan adanya keputusan menteri keuangan maupun surat
edaran dari DJP untuk hal-hal tertentu dalam perpajakan yang tidak
dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang. Pemerintah diberikan
asas Freies Ermessen (kebebasan bertindak) dalam bentuk tertulis yang
berupa peraturan kebijaksanaan, berupa peraturan lain yang menjelaskan
petunjuk pelaksanaan peraturan perUndang-Undangan.
3. Sistem administrasi perpajakan yang tepat sistem administrasi hendaklah
merupakan prioritas tertinggi karena kemampuan pemerintah untuk
72
menjalankan fungsinya secara efektif bergantung kepada jumlah uang
yang dapat diperolehnya melalui pemungutan pajak. Sistem administrasi
memegang peran penting. Kantor pelayanan pajak harus memiliki sistem
administrasi yang tepat. Sistem administrasi diharapkan tidak rumit
tetapi ditekankan pada kesederhanaan prosedur. Kerumitan sistem akan
membuat wajib pajak semakin enggan membayar pajak.
4. Pelayanan Kualitas pelayanan yang dilakukan pemerintah beserta aparat
perpajakan merupakan hal yang sangat penting dalam upaya optimalisasi
penerimaan pajak. Kualitas pelayanan yang dimaksud adalah
memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak dalam
mengoptimalkan penerimaan negara.
5. Kesadaran dan pemahaman warga negara rasa nasionalisme tinggi,
kepedulian kepada bangsa dan negara serta tingkat pengetahuan
perpajakan masyarakat yang memadai, maka secara umum akan makin
mudah bagi wajib pajak untuk patuh kepada peraturan perpajakan.
6. Kualitas petugas pajak (intelektual, keterampilan, integritas, moral
tinggi) Kualitas petugas sangat menentukan efektivitas Undang-Undang
dan peraturan perpajakan. Petugas pajak memiliki reputasi yang baik
sepanjang yang menyangkut kecakapan teknis, efisien dan efektif dalam
hal kecepatan, tepat dan keputusan yang adil. Petugas pajak yang
berhubungan dengan masyarakat pembayar pajak harus memiliki
intelektualitas tinggi, terlatih baik, digaji baik dan bermoral tinggi”.
2.1.6.4 Tujuan Penerimaan Pajak
Indikator penerimaan pajak yang digunakan dalam penelitian ini adalah
tujuan dari penerimaan pajak. Menurut Ilyas dan Burton (2013:13) tujuan dari
penerimaan pajak adalah:
1. Membiayai pengeluaran-pengeluaran negara seperti:
a. Pengeluaran rutin dan,
Pengeluaran rutin terdiri dari pengeluaran untuk pembelian barang
dan jasa,pengeluaran untuk biaya gaji pegawai dan transfer payment
yaitu berupa bantuan langsung kepada masyarakat
b. Pengeluaran untuk pembangunan dan,
73
Sementara pengeluaran untuk pembangunan terdiri dari, pengeluaran
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik.
2. Bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah
untuk investasi.
2.1.6.5 Ukuran Penerimaan Pajak
Adapun yang menjadi indikator dalam penerimaan pajak penghasilan
tersebut adalah jumlah pajak penghasilan yang disetor, tercapainya target pajak
penghasilan, kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak penghasilan:
a. Jumlah pajak penghasilan yang disetor adalah seluruh penerimaan
Negara yang bersumber dari pajak penghasilan yang telah dilakukan oleh
wajib pajak.
b. Tercapainya target pajak penghasilan yaitu suatu kondisi yang
menggambarkan tercapainya rencana penerimaan pajak penghasilan.
c. Kekurangan atau kelebihan pemabayaran pajak penghasilan yaitu selisih
antara setoran pajak penghasilan yang telah dilakukan oleh wajib pajak
dengan pajak penghasilan yang seharusnya terutang.
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Pajak adalah suatu iuran wajib/kontribusi wajib yang terutang oleh orang
pribadi/badan kepada kas negara yang sifatnya memaksa berdasarkan ketentuan
74
peraturan perUndang-Undangan, dengan tidak mendapat timbal balik langsung
melainkan dapat dirasakan melalui pembangunan nasional sehingga tercipta
kesejahteraan umum.
Hubungan antara pemeriksaan pajak dengan kepatuhan Wajib Pajak dalam
penelitian ini berdasarkan dari pernyataan Siti Kurnia Rahayu (2013 :245) yang
menyatakan bahwa:
“Kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan merupakan
tujuan utama dari pemeriksaan pajak, sehingga dari hasil pemeriksaan akan
diketahui tingkat kepatuhan wajib pajak , bagi Wajib Pajak yang tingkat
kepatuhannya tergolong rendah, diharapkan dengan dilakukannya
pemeriksaan pajak terhadapnya dapat memberikan motivasi positif agar
untuk masa-masa selanjutnya menjadi lebih baik”
Sedangkan pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak
menurut Widi Widodo, dkk (2010: 212-213) adalah sebagai berikut:
“Pemeriksaan merupakan upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban wajib pajak”.
Sementara menurut Erly Suandy (2014:140) menyatakan bahwa:
“Tujuan Pemeriksaan pajak adalah menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan peraturan perUndang-Undangan perpajakan.”
Menurut Chairil Anwar Pohan (2014:96) mengemukakan bahwasannya:
“Tujuan Pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak, pelaksanaan dilakukan dengan
menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan dan pencatatan,
75
dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.”
Dari berbagai teori yang sudah dijelaskan diatas, mengenai teori
penghubung antara pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak, terdapat
pula dalam tujuan kebijakan pemeriksaan pajak menurut Siti Kurnia Rahayu
(2013:248), antara lain:
1. “Membuat pemeriksaan menjadi lebih efektif dan efisien.
2. Meningkatkan kinerja pemeriksaan pajak.
3. Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sebagai konsekuensi pemungutan
pajak di Indonesia.
4. Secara tidak langsung menjadi aspek pendorong untuk meningkatkan
penerimaan negara sektor pajak.”
2.2.2 Pengaruh Sosialsasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Sosialisasi adalah proses interaksi antara manusia dengan manusia dan
proses interaksi dengan mahkluk hidup lain sepanjang waktu guna memperoleh
informasi. Peran sosialisasi dalam konteks perpajakan sangat penting atau yang
biasa disebut Sosialisasi Perpajakan yang merupakan bagian dari upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu membangun masyarakat khususnya Wajib
Pajak yang cerdas, jujur, dan benar-benar menyadari perannya di dalam
pembangunan bangsa dan negara.
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Gunadi (2007 : 10) yang
menjelaskan bahwa:
76
“Sosialisasi perpajakan sangat diperlukan untuk menambah jumlah wajib
pajak dan dapat menimbulkan kepatuhan dari wajib pajak sehingga secara
otomatis penerimaan pajak juga akan meningkat”.
Pendapat yang senada diungkapkan juga oleh Marisa dan Agus (2013) yang
mengatakan bahwa :
“Untuk meningkatkan penerimaan pajak, bisa dilakukan dengan cara
memberikan penyuluhan kepada masyarakat sebagai wajib pajak agar
kesadaran perpajakannya meningkat.”
Sosialisasi memiliki peran penting untuk meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak, karena dengan adanya Sosialisasi Wajib Pajak mengerti atas kewajibannya
untuk menyetorkan dan melaporkan kewajiban perpajakannya secara rutin. Wirda
Salisa Yuliasari, dkk. (2015:3).
2.2.3 Pengaruh Penerapan e-filing Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pajak. Untuk dapat memaksimalkan sumber penerimaan
negara, dibutuhkan Wajib Pajak yang patuh melaksanakan kewajibannya yaitu
membayarkan pajaknya kepada negara. Maka dari itu, Direktorat Jenderal Pajak
selalu berupaya mengoptimalkan pelayanannya supaya Wajib Pajak tidak enggan
melaksanakan kewajibannya. Salah satu cara mengoptimalkan pelayanan tersebut
adalah dengan memperbarui atau menyempurnakan sistem administrasi perpajakan
atau biasa dikenal dengan istilah sistem administrasi perpajakan modern yang
dilakukan melalui reformasi administrasi perpajakan yang diharapkan dapat
77
memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam pelayanannya kepada Wajib Pajak
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Menurut pendapat yang dikemukakan Husnurrosyidah (2017:99) yaitu :
“E-filing merupakan bagian dari reformasi administrasi perpajakan yang
bertujuan dalam pembuatan dan penyerahan laporan SPT kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Diterapkannya sistem e-filing diharapkan mampu
memberikan kepuasan dan kenyamanan kepada wajib pajak sehingga
meningkatkan kepatuhan wajib.”
Menurut Kartika Ratna Handayani (2016:61) e-filing sangat berpengaruh
untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak tetapi e-filing belum tentu
meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
2.2.4 Pengaruh Pemeriksaan Pajak, Sosialisasi Perpajakan dan Penerapan
e-filing Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (2015) Peningkatan
kepatuhan Wajib Pajak, terutama kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak badan, antara lain melalui pembinaan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak
melalui penggunaan e-filing disertai dengan sosialisasi yang intensif serta
kampanye peniadanaan sanksi keterlambatan untuk Wajib Pajak yang melaporkan
SPT dengan menggunakan e-filing. mengupayakan peningkatan tax ratio dan tax
buoyancy melalui kegiatan ekstensifikasi, intensifikasi, peningkatan efektivitas
penegakan hukum, perbaikan administrasi, penyempurnaan regulasi, termasuk
melalui upaya penagihan dan pemeriksaan pajak, serta peningkatan kapasitas DJP.
78
Salah satu upaya dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak selain
pemeriksaan pajak adalah memberikan pelayanan yang baik kepada wajib pajak
dengan cara peningkatan kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan cara
peningkatan kualitas dan kemampuan teknis pegawai dalam bidang perpajakan,
perbaikan infrastruktur seperti perluasan tempat pelayanan terpadu (TPT),
penggunaan sistem informasi dan teknologi. Strategi seperti ini lebih dikenal
sebagai modernisasi administrasi perpajakan. Siti Kurnia Rahayu (2010: 109)
2.2.5 Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Penerimaan Pajak
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010: 137), kepatuhan wajib pajak
mempunyai pengaruh terhadap penerimaan pajak dijelaskan sebagai berikut:
“Kepatuhan diperlukan dalam self assesment system dengan tujuan pada
penerimaan pajak yang optimal”.
Teori Penghubung yang menghubungkan pengaruh tingkat kepatuhan
Wajib Pajak badan terhadap Penerimaan Pajak yang dikemukakan oleh Irwansyah
Lubis (2011:85) sebagai berikut:
“Kepatuhan Wajib Pajak merupakan elemen penting dalam rangka
peningkatan penerimaan pajak. Sehingga salah satu fondasi dalam
penguatan penerimaan pajak, kepatuhan pajak berperan dalam
meningkatkan animo dan respon masyarakat terhadap kewajiban
perpajakan.”
Bahwa kepatuhan wajib pajak mempunyai pengaruh terhadap penerimaan
pajak menurut Widi Widodo, dkk (2010: 67) sebagai berikut:
79
“Jika angka kepatuhan pajak rendah, maka secara otomatis akan
berdampak pada rendahnya penerimaan pajak”.
Masih menurut Widi Widodo, dkk (2010: 67) kepatuhan wajib pajak
mempunyai pengaruh terhadap penerimaan pajak dijelaskan seperti dibawah ini:
“Faktor kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi penerimaan
pajak”.
2.2.6 Pengaruh Pemeriksaan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Melalui
Variabel Intervening Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Oktaviani (2007), pemeriksaan pajak merupakan instrumen
penting untuk menentukan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, baik formal maupun
material, yang memiliki tujuan untuk menguji dan meningkatkan tax compliance
seorang Wajib Pajak, dimana kepatuhan Wajib Pajak merupaan posisi strategis
dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Setelah kepatuhan wajib pajak, maka faktor yang mempengaruhi
penerimaan pajak selanjutnya adalah pemeriksaan pajak. Pemeriksaan
pajak adalah kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menguji kepatuhan
wajib pajak dengan mengacu pada peraturan perUndang-Undangan
perpajakan (Mardiasmo 2011:52).
John Hutagaol (2007:73) pun memberikan pendapat terkait hubungan
pemeriksaan pajak,kepatuhan Wajib Pajak dan penerimaan pajak, bahwasannya
tujuan pemeriksaan adalah melakukan pengujian terhadap kepatuhan Wajib Pajak
atau untuk tujuan lain. Pemeriksaan pajak memberikan deterrent effect terhadap
80
Wajib Pajak untuk peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak yang secara
langsung memberikan pengaruh atas peningkatan tax coverafe ratio dan
penerimaan negara sektor perpajakan.
2.2.7 Pengaruh Sosialisai Perpajakan Terhadap Penerimaan Pajak Melalui
Variabel Intervening Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Yeny Kopong, SE.,M. Acc.,Ak, CA dan Indah Widyaningrum
(2016) Sosialisasi merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh Direktorat
Jendral Pajak untuk bertujuan memberikan informasi terbaru mengenai hal
perpajakan dan dengan pendekatan kepada masyarakat hal ini dilakukan dengan
tujuan agar masyarakat paham mengenai pajak semakin masyarakat mengetahui
manfaat pajak maka akan semakin banyak masyarakat membayar pajak dan
semakin pula peningkatan dalam penerimaan pajak. Sosialisasi berpengaruh
terhadap penerimaan dan tingkat keptuhan berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan pajak.
Menurut Jounica Zsezsa Sabhatini Warouw, dkk (2015). Proses sosialisasi
dan penyuluhan perpajakan diharapkan berdampak pada pengetahuan perpajakan
masyarakat secara positif sehingga dapat juga meningkatkan jumlah Wajib Pajak,
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, yang pada akhirnya meningkatkan
penerimaan negara dari sektor publik.
81
2.2.8 Pengaruh Penerapan e-Filing Terhadap Penerimaan Pajak Melalui
Variabel Intervening Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Wulandari Agustiningsih (2016) Masih ada beberapa Wajib Pajak
yang tidak sepenuhnya memahami tentang peraturan perpajakan akan berdampak
pada penerimaan pajak di Indonesia. Seorang Wajib Pajak dapat dikatakan patuh
dalam kegiatan perpajakan apabila memahami secara penuh tentang peraturan
perpajakan antara lain: mengetahui dan berusaha memahami Undang-Undang
Perpajakan, cara pengisian formulir perpajakan, cara menghitung pajak, cara
melaporkan SPT dan selalu membayar pajak tepat waktu. E-filing adalah suatu cara
penyampaian SPT atau Pemberitahuan.
Perpanjangan SPT Tahunan yang dilakukan secara online dan real time
melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
Menurut Toma Yanuar Putra, dkk. (2015:4) Tujuan Layanan Pelaporan
Pajak Secara e-filing yaitu:
1. Membantu Wajib Pajak untuk menyediakan fasilitas pelaporan SPT secara
elektronik melalui media internet kepada Wajib Pajak, sehingga Wajib
Pajak dapat melakukannya dimana saja dan kapan saja.
2. Memberikan dukungan kepada KPP dalam hal laporan SPT yang diterima
secara cepat dan perampingan kegiatan administrasi, pendataan, distribusi
dan pengarsipan laporan SPT.
82
3. Meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang melaporkan jumlah pajaknya dan
meningkatkan jumlah pemasukan Negara dari pajak.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Landasan Teori Pajak: Pemeriksaan Pajak: 1. Waluyo (2011:2-3,12) 1. Siti Kurnia Rahayu (2013:245, 286, 306,)
2. Siti Resmi (2014:3,11) 2. Ilyas dan Wicaksono (2015:32, 34, 37, 39)
3. Mardiasmo (2016:1,4,6) 3. Erly Suandy (2014:203)
4. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 4. Siti Resmi (2014:63)
5. Siti Kurnia Rahayu (2013:22) 5. Waluyo (2012:373)
6. Diana Sari (2013:37,40) 6. Mardiasmo (2011:54)
Sosialisasi Perpajakan: Penerapan e-filing:
1. Kartika Ratna Handayani (2016:63) 1. Keputusan DJP No.KEP-05/PJ/2005
2. Yeny Kopong (2016:98) 2. Peraturan DJP No. 47/PJ/2008
3. Sugeng Wahono (2012:80) 3. Peraturan DJP No. PER-1/PJ/2014
4. SE DJP No. SE-05/PJ/2013
5. Mardiasmo (2011:16)
Kepatuhan Wajib Pajak: Penerimaan Pajak:
1. Moh. Zain (2007:31) 1. UU No. 4 Tahun 2012
2. Siti Kurnia Rahayu (2013:138-139, 142) 2. John Hutahaol (2007:325)
3. PeMenKeu 74/PMK.03/2012 3. Siti Kurnia Rahayu (2013:27-29)
4. Erly Suandy (2011:119-120)
5. Widodo (2010:68)
Data Penelitian
1. Pemeriksaan pajak dan Account Representative pada Kantor
Pajak di Kota Bandung
2. Kuisioner 65 responden
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak
83
Premis
1. Husnurrosyidah (2017:99)
2. Kartika Ratna Handayani (2016:61)
Hipotesis 1
Penerapan
e-filing
Kepatuhan
wajib pajak Hipotesis 3
Premis
1. Laporan Tahunan DJP 2015
2. Siti Kurnia Rahayu (2010:109)
Pemeriksaan
pajak
Sosialisasi
Perpajakan
Penerapan
e-filing
Kepatuhan
wajib pajak Hipotesis 4
Premis
1. Oktaviani (2007)
2. Mardiasmo (2011:52)
3. John Hutagaol (2007:73)
Premis
1. Siti Kurnia Rahayu (2010:137)
2. Irwansyah Lubis (2011:85)
3. Widi Widodo,dkk (2010:67)
Kepatuhan
wajib pajak
Premis
1. Siti Kurnia Rahayu (2014:245, 248)
2. Widi Widodo, dkk (2010:212-213)
3. Erly Suandy (2014:140)
4. Chairil Anwar Pohan (2014:96)
Penerimaan
Pajak Hipotesis 5
Pemeriksaan
pajak Hipotesis 6
Premis
1. Gunandi (2007:10)
2. Marisa dan Agus (2013)
3. Wirda Salisa Yuliasari,dkk (2015:3)
Sosialisasi
Perpajakan
Kepatuhan
wajib pajak Hipotesis 2
Pemeriksaan
pajak
Kepatuhan
wajib pajak
Penerimaan
Pajak
84
Premis
1. Yeny Kopong (2016)
2. Jounica Zsezsa Sabhatini
Warouw(2015)
Sosialisasi
Perpajakan
Hipotesis 7
Premis
Sugiyono (2016)(2015)
Arikunto (2014)(2010)
Narimawati (2010)
Ghozali (2011)
Analisis Data Metode Deskriptif dan
Verifikatif dengan
pendekatan Kuantitatif
1. Analisis
Deskriptif
Mean
Uji Validitas
dan Reabilitas
2. Analisis
Verifikatif dengan
menggunakan
Path Analysis
Mengunakan
SPSS vr.20.
Uji Normalitas
Uji Korelasi
Uji Korelasi
Determinasi
Premis
Siti Kurnia Rahayu (2013:93)
Wulandari Agustiningsih (2016)
Toma Yanuar Putra, dkk. (2015:4)
Penerapan
e-filing Hipotesis 8
Penerimaan
Pajak
Penerimaan
Pajak
85
2.3 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2015:93) mengungkapkan bahwa :
“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam
bentuk kalimat pernyataan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada
fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis
juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah
penelitian, belum jawaban yang empirik”.
Berdasarkan Kerangka berpikir yang dijelaskan di atas, maka penulis dapat
menarik hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak
H2 : sosialisasi perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak
H3 : penerapan e-filing berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak
H4 : pemeriksaan pajak, sosialisasi perpajakan dan penerapan e-filing
berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak
H5 : kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak
H6 : pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak
H7 : sosialisasi perpajakan berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak
H8 : penerapan e-filing berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak