bab ii. kajian pustaka, kerangka berpikir dan …digilib.unila.ac.id/1260/3/bab ii.pdf · hilgard...

49
BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Belajar dan Pembelajaran 2.1.1.1 Belajar Pandangan seorang guru terhadap pengertian belajar akan mempengaruhi tindakannya dalam membimbing peserta diklat untuk belajar. Berbicara mengenai pengertian belajar tentu banyak konsep yang telah dirumuskan oleh para ahli yang berhubungan dengan teori belajar. Salah satunya teori belajar behaviorisme (tingkah laku) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku. Seseorang dinggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan/input yang berupa stimulus dan keluaran/output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respon itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak dapat diamati. (Uno, dkk., 2008:56) Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stumulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat di tangkap melalui alat indra. Respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta diklat ketika belajar, yang juga

Upload: vuongngoc

Post on 08-Apr-2018

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN

HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Belajar dan Pembelajaran

2.1.1.1 Belajar

Pandangan seorang guru terhadap pengertian belajar akan mempengaruhi

tindakannya dalam membimbing peserta diklat untuk belajar. Berbicara mengenai

pengertian belajar tentu banyak konsep yang telah dirumuskan oleh para ahli yang

berhubungan dengan teori belajar. Salah satunya teori belajar behaviorisme

(tingkah laku) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah

laku. Seseorang dinggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan

perubahan tingkah laku. Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan/input

yang berupa stimulus dan keluaran/output yang berupa respon. Sedangkan apa

yang terjadi diantara stimulus dan respon itu dianggap tidak penting diperhatikan

sebab tidak dapat diamati. (Uno, dkk., 2008:56)

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stumulus dan respon.

Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti

pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat di tangkap melalui alat indra.

Respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta diklat ketika belajar, yang juga

9

dapat berupa pikiran, perasaan atau gerak/tindakan. Dari definisi belajar tersebut

maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu

dapat berwujud konkrit yaitu dapat diamati, atau tidak konkrit yang tidak dapat di

amati. Meskipun aliran behavioristik sangat mengutamakan pengukuran, namun ia

tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang

tidak dapat diamati. (Budiningsih, 2004:21-22)

Burton, dalam (Usman dan Setiawati, 2001:4) mengemukakan hal senada dengan

teori behaviorisme dimana belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku,

pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu, dan

individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan

lingkungannya. Kemudian Witherington (dalam Usman dan Setiawati, 2001: 5)

menyatakan bahwa “Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian

yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap,

kebiasaan kepribadian atau suatu pengertian”. Selanjutnya Gagne (dalam Slameto,

2010:13) memberikan dua definisi belajar, yakni: (1) belajar adalah suatu proses

untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan

tingkah laku; dan (2) belajar adalah penguasaan.

Belajar juga dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari

pengalaman dan latihan. Hilgard dalam Sanjaya (2008:112) mengungkapkan

bahwa “Learning is the process by an activity originates or changed through

training procedurs (wether in the laboratory or in the natural environment) as

distinguished from change by factors not atributables to training”. Bagi Hilgard,

belajar itu adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur latihan baik

latihan didalam loboratorium maupun dalam lingkungan ilmiah. Ada juga

10

pendapat dari Woolfolk (2001:1) dalam bukunya yang berpendapat bahwa belajar

adalah suatu proses tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan

suatu perubahan tingkah lakuyang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

pengalaman individu itu juga sendiri dalam interaksi mereka dengan

pesekitarannya atau dapat juga dikatakan perubahan tingkah laku yang dihasilkan

dari sebuah proses pembelajaran.

Selanjutnya ada teori belajar kognitivisme yang menyatakan bahwa belajar adalah

perubahan persepsi dan pemahaman. (Uno, dkk., 2008:59). Asri Budiningsih juga

(2004:34) berpendapat bahwa teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-

bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan konteks situasi tersebut.

Memisah-misahkan atau membagi-bagi situasi atau materi pelajaran menjadi

komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah

akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu

proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan

aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan

proses berpikir yang sangat kompleks dan suatu kegiatan yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat berlangsung di mana-

mana, misalnya di lingkungan keluarga, di sekolah dan di masyarakat, baik

disadari maupun tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja. Proses belajar

terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan

menyesuikannya dengan struktur kognitif yang telah dimiliki dan terbentuk di

dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman

sebelumnya.

11

Pada tahun 1956 Benjamin S Bloom dan David R Krathwohl (1964) merancang

tujuan pendidikan yang memiliki tiga kemampuan (kompetensi) yaitu ranah

kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali

menjadi beberapa kategori dan sub kategori yang berurutan secara hirarkis

(bertingkat) mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang

paling kompleks. Pada tahun 1990-an, kelompok psikolog kognitif yang dipimpin

oleh Lorin Anderson (mantan mahasiswa Bloom), melakukan revisi terhadap level

kognitif yang dikembangkan oleh Bloom. Revisi dan pengembangan yang terbaru

adalah pengembangan taksonomi Bloom menjadi 4 domain yaitu domain kognitif,

afektif dan psikomotorik dan sosial yang disebut sebagai Developing human

Potential in Four Domains for Learning and Doing yang dikutip oleh penulis dari

Journal Peggy Dettmer (2006) yang berjudul New Blooms in Established Fields:

Developing human Potential in Four Domains for Learning and Doing. (Nur’aini,

2011:1).

Keempat domain dalam taksonomi Bloom yang dikembangkan tersebut lebih

jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1: Developing Human Potential in Four Domains for Learning and Doing.

Domain Cognitive Affective Sensorimotor Social Unified

Process Thinking Feeling Sensing and

Moving

Interacting Doing

Content Intellectual Emotional Physical Sociocultural holistic

Purpose

Expand

Thinking

Enhance

Feeling

Cultivate

Senses and

movement

Enrich

Relationship

Optimize

Potential

Goal

To gain

knowledge

To develop

self-

understanding

To nurture

self-

expression

To cultivate

socialization

To realize

self-

fulfillment

Basic

Learning

Know Receive Observe Relate Perceive

Applied Apply Value Act Participate Use

12

Learning Analyze

Evaluate

Organize

Internalize

Adapt

Authenticate

Negotiate

Adjudicate

Differentiate

Validate

Idetional

Learning

Synthesize

Image

Create

Characterize

Wonder

Aspire

Harmonize

Improvise

Innovate

Collaborate

Initiate

Convert

Integrate

Venture

Originate

(Sumber: Nur’aini, 2011:2)

Pada awalnya ranah kognitif atau domain cognitive menggambarkan perilaku-

perilaku menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian dan

keterampilan berpikir. Menurut taksonomi Bloom (1956), kemampuan kognitif

adalah kemampuan berfikir secara hirarkis yang terdiri dari pengetahuan,

pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada tahun 2000 Anderson

dan Krathwohl’s merevisi taksonomi tersebut menjadi mengingat, memahami,

menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi dikutip dari Leslie Owen

Wilson (2006). Perbedaan utama versi lama dan baru adalah tidak hanya pada

daftar atau rewordings dari nomina ke verba, atau dalam mengubah nama dari

beberapa komponen, atau bahkan di reposisi dari dua kategori terakhir. Perbedaan

utama terletak dalam penambahan lebih bermanfaat dan komprehensif tentang

bagaimana memotong taksonomi dan bertindak atas berbagai jenis dan tingkat

pengetahuan - faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. (Nur’aini, 2011:3)

Versi domain kognitif yang lebih terbaru lagi adalah pengembangan level kognitif

menjadi 8 level. Sesuai pada tabel Developing Human Potential in Four Domains

for Learning and Doing di atas, level kognitif ada 8 yaitu pengetahuan (know),

pemahaman (comprehend), aplikasi (apply), analisis (analyze), evaluasi (evaluate),

sintesis (synthesize), imajinasi (image), dan kreasi (create). Berikut akan

diidentifikasi kata operasional pada setiap level, yaitu :

1. Pengetahuan, mengingat atau mengulang materi pelajaran sebelumnya.

Pada tingkat ini peserta diklat dituntut untuk mengenali atau mengetahui

13

adanya konsep, fakta atau istilah dan lain sebagainya tanpa harus

memahami atau dapat menggunakannya.

2. Pemahaman, kemampuan untuk menangkap atau membangun makna dari

materi. Pada tingkat kemampuan ini peserta diklat dituntut untuk

memahami yang bearti mengetahui sesuatu hal dan dapat melihatnya dari

beberapa segi. Termasuk kemmpuan untuk mengubah bentuk menjadi

bentuk yang lain.

3. Aplikasi, kemampuan untuk menggunakan bahan belajar, atau untuk

menerapkan materi dalam situasi baru. Pada level ini peserta diklat dituntut

untuk mampu memilih dan menggunakan dengan tepat teori, hokum atau

metode jika berhadapan dengan situasi baru.

4. Analisis, kemampuan untuk memecahkan atau membedakan bagian dari

bahan kedalam komponen sehingga struktur organisasi yang mungkin lebih

baik dipahami. Pada level ini kemampuan peserta diklat dituntut untuk

mampu menganalisis atau merinci suatu situasi atau bahan pengetahuan

menurut bagian-bagiannya yang lebih kecil atau lebih terurai dan

menemukan hubungan diantara bagian yang satu dengan yang lain.

5. Evaluasi, kemampuan untuk menilai, memeriksa, dan bahan kritik nilai

bahan untuk tujuan tertentu.

6. Sintesis, kemampuan untuk menempatkan bagian-bagian sama untuk

membentuk unik baru atau koheren.

7. Imajinasi, kemampuan untuk menggabungkan berbagai konsep materi

pelajaran menjadi sebuah imajinasi dalam berkreasi.

8. Kreasi, kemampuan peserta diklat dalam mengaplikasikan konsep materi

pelajaran menjadi suatu produk. (Nur’aini, 2011: 4-7)

14

Untuk ranah afektif atau domain affective berisi perilaku-perilaku yang

menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi dan

penyesuaian diri. Pada versi lama level afektif terdiri dari 5 level yaitu receiving

(attending), responding, valuing, organization, dan characterization by a value or

value complex. Pada versi terbaru, level domain afektif terdiri dari receive

(menerima), respond (menanggapi), value (nilai), organize (mengatur), internalize

(menginternalisasi), characterize (karakter), wonder (keingintahuan), dan aspire

(cita-cita) seperti pada tabel 1 diatas. Berikut akan diidentifikasi kata operasional

pada setiap level, yaitu :

1. Menerima, peserta diklat memiliki keinginan memperhatikan suatu

fenomena khusus atau stimulus misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan

sebagainya.

2. Menanggapi, pada tingkat ini peserta diklat tidak saja memperhatikan

fenomena khusus tapi ia juga bereaksi.

3. Nilai, melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan

derajat internalisasi dan komitmen.

4. Mengatur, pada tingkat ini nilai satu dengan nilai lainnya dikaitkan,

konflik antar nilai diselesaikan dan mulai membangun sistem nilai internal

yang konsisten.

5. Menginternalisasi, pada tingkat ini peserta diklat harus mampu

menginternalisasi nilai-nilai.

6. Karakter, pada tingkat ini peserta diklat memiliki sistem nilai yang

mengendalikan perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya

hidup

15

7. Keingintahuan, pada tingkat ini peserta diklat memiliki rasa keingintahuan

terhadap suatu masalah yang ditawarkan.

8. Cita-Cita, pada tingkat ini peserta diklat memiliki cita-cita atau keinginan

yang ingin dicapai. (Nur’aini, 2011: 9-12)

Untuk ranah psikomotorik atau domain sensorimotor pada versi lama memiliki 7

level yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan

kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas. Pada versi yang terbaru,

level domain sensorimotor adalah sebagai berikut mengamati (observe), bereaksi

(react), bertindak (act), mengadaptasi (adapt), mengotentikasi (authenticate),

menyelaraskan (harmonize), memperbaiki (improvise), dan berinovasi (innovate).

Berikut akan diidentifikasi kata operasional pada setiap level, yaitu :

1. Mengamati, pada tingkat ini peserta diklat harus mampu terampil

melakukan pengamatan, memilih, menjelaskan, mendeteksi, membedakan,

mengidentifikasi, mengisolasi, dll.

2. Bereaksi, pada tingkat ini peserta diklat harus mampu dalam bereaksi,

member reaksi, berpengaruh, menentang, dll

3. Bertindak, pada tingkat ini peserta diklat harus mampu dalam

menjelaskan, medemostrasikan, melanjutkan, dll

4. Mengadaptasi, pada tingkat ini peserta diklat harus mampu dalam

beradaptasi, mengubah, mengatur ulang, reorganisasi, merevisi, dll

5. Membuktikan, pada tingkat ini peserta diklat harus mampu dalam

menunjukkan, menampilkan, dll

6. Menyelaraskan, pada tingkat ini peserta diklat harus mampu dalam

mencocokkan, mempadukan, membuat jadi seimbang, berpadanan, dll

16

7. Memperbaiki, pada tingkat ini peserta diklat mampu mengubah,

mengelola, dll

8. Berinovasi, pada tingkat ini peserta diklat mampu melakukan perubahan

yang baru, memperbarui, menunjukkan sesuatu yang baru, dll (Nur’aini,

2011: 14-15)

2.1.1.2 Pembelajaran

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20, pembelajaran

adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada

suatu lingkungan belajar. Proses interaksi yang terjadi adalah perpaduan dari dua

aktivitas , yaitu aktivitas mengajar dan aktivitas belajar. Aktivitas mengajar

menyangkut peranan seorang guru dalam konteks mengupayakan terciptanya

jalinan komunikasi harmonis antara pengajar itu sendiri dengan si belajar. Sama

halnya dengan pendapat Trianto (2010:17) “Pembelajaran merupakan aspek

kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan”.

Pembelajaran secara simpel dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan

antara pengembangan dan pengalaman hidup. Pembelajaran dalam makna

kompleks adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan peserta

diklatnya (dalam mengarahkan interaksi peserta diklat dengan sumber belajar

lainnya) dalam rangkan mencapai tujuan yang diharapkan.

Dalam bukunya Sugandi, dkk (2004:9) menyatakan bahwa pembelajaran

terjemahan dari kata “instruction” yang berarti self instruction (dari internal) dan

eksternal instructions (dari eksternal). Pembelajaran yang bersifat eksternal antara

lain datang dari guru yang disebut teacing atau pengajaran. Dalam pembelajaran

17

yang bersifat eksternal prinsip-prinsip belajar dengan sendirinya akan menjadi

prinsip-prinsip pembelajaran. Sugandi, dkk (2000:25) menyatakan tujuan

pembelajaran adalah membantu peserta diklat agar memperoleh berbagai

pengalaman, dan dengan pengalaman itu tingkah laku yang dimaksud meliputi

pengetahuan, ketrampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali

sikap dan prilaku peserta diklat. Tujuan pembelajaran menggambarkan

kemampuan atau tingkat penguasaan yang diharapkan dicapai oleh peserta diklat

setelah mereka mengikuti suatu proses pembelajaran.

Ciri–ciri dari terjadinya pembelajaran adalah antara lain:

1. Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncanakan secara sistematis;

2. Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi peserta diklat

dalam belajar;

3. Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan

menantang bagi peserta diklat

4. Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan

menarik;

5. Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan

menyenangkan bagi peserta diklat

6. Pembelajaran dapat membuat peserta diklat siap menerima pelajaran baik

secara fisik maupun psikologis. (Sugandi, 2000:25)

Prinsip-prinsip dalam pembelajaran adalah antara lain:

1. Kesiapan Belajar

Faktor kesiapan baik fisik maupun psikologis merupakan kondisi awal

suatu kegiatan belajar. Kondisi fisik dan psikologis ini biasanya sudah

18

terjadi pada diri peserta diklat sebelum ia masuk kelas. Oleh karena itu,

guru tidak dapat terlalu banyak berbuat. Namun, guru diharapkan dapat

mengurangi akibat dari kondisi tersebut dengan berbagai upaya pada saat

membelajarkan peserta diklat.

2. Perhatian

Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju pada suatu obyek. Belajar

sebagai suatu aktifitas yang kompleks membutuhkan perhatian dari peserta

diklat yang belajar. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui berbagai kiat

untuk menarik perhatian peserta diklat pada saat proses pembelajaran

sedang berlangsung.

3. Motivasi

Motif adalah kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong

orang tersebut melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan.

Motivasi adalah motif yang sudah menjadi aktif, saat orang melakukan

aktifitas. Motivasi dapat menjadi aktif dan tidak aktif. Jika tidak aktif,

maka peserta diklat tidak bersemangat belajar. Dalam hal seperti ini, guru

harus dapat memotivasi peserta diklat agar peserta diklat dapat mencapai

tujuan belajar dengan baik.

4. Keaktifan Peserta Diklat

Kegiatan belajar dilakukan oleh peserta diklat sehingga peserta diklat harus

aktif. Dengan bantuan guru, peserta diklat harus mampu mencari,

menemukan dan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.

5. Mengalami Sendiri

Prinsip pengalaman ini sangat penting dalam belajar dan erat kaitannya

dengan prinsip keaktifan. Peserta diklat yang belajar dengan melakukan

19

sendiri, akan memberikan hasil belajar yang lebih cepat dan pemahaman

yang lebih mendalam.

6. Pengulangan

Untuk mempelajari materi sampai pada taraf insight, peserta diklat perlu

membaca, berfikir, mengingat, dan latihan. Dengan latihan berarti peserta

diklat mengulang-ulang materi yang dipelajari sehingga materi tersebut

mudah diingat. Guru dapat mendorong peserta diklat melakukan

pengulangan, misalnya dengan memberikan pekerjaan rumah, membuat

laporan dan mengadakan ulangan harian.

7. Materi Pelajaran yang Menantang

Keberhasilan belajar sangat dipengaruhi oleh rasa ingin tahu. Dengan sikap

seperti ini motivasi anak akan meningkat. Rasa ingin tahu timbul saat guru

memberikan pelajaran yang bersifat menantang atau problematis. Dengan

pemberian materi yang problematis, akan membuat anak aktif belajar.

8. Balikan Dan Penguatan

Balikan atau feedback adalah masukan penting bagi peserta diklat maupun

bagi guru. Dengan balikan, peserta diklat dapat mengetahui sejauh mana

kemampuannya dalam suatu hal, dimana letak kekuatan dan kelemahannya.

Balikan juga berharga bagi guru untuk menentukan perlakuan selanjutnya

dalam pembelajaran. Penguatan atau reinforcement adalah suatu tindakan

yang menyenangkan dari guru kepada peserta diklat yang telah berhasil

melakukan suatu perbuatan belajar. Dengan penguatan diharapkan peserta

diklat mengulangi perbuatan baiknya tersebut.

9. Perbedaan Individual

Masing-masing peserta diklat mempunyai karakteristik baik dari segi fisik

20

maupun psikis. Dengan adanya perbedaan ini, tentu minat serta

kemampuan belajar mereka tidak sama. Guru harus memperhatikan peserta

diklat tertentu secara individual dan memikirkan model pengajaran yang

berbeda bagi anak didik yang berbakat dengan yang kurang berbakat.

2.1.1.2.1 Pembelajaran Produktif

Kompetensi sebagai substansi/materi pendidikan dan pelatihan yang akan

dipelajari oleh peserta diklat di SMK yang telah diorganisasi dan dikelompokkan

menjadi berbagai mata pelajaran yang telah dirumuskan, dalam pelaksanaannya

telah dipilah menjadi program mata pelajaran normatif, adaptif dan produktif.

Program normatif dijabarkan menjadi mata pelajaran yang memuat kompetensi-

kompetensi tentang norma, sikap dan perilaku yang harus dilatihkan pada peserta

diklat. Program adaptif berupa mata pelajaran yang berfungsi membentuk

kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni serta dasar-dasar kejuruan yang berkaitan dengan

program keahlian yang dipelajari.

Program produktif merupakan program mata pelajaran yang berfungsi membekali

peserta diklat agar memiliki kompetensi standar atau kemampuan produktif pada

suatu pekerjaan/keahlian tertentu yang relevan dengan tuntutan dan permintaan

pasar kerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran produktif

merupakan proses interaksi peserta diklat dengan pendidik atau sumber belajar

pada suatu lingkungan belajar yang berfungsi membekali peserta diklat agar

memiliki kompetensi standar atau kemampuan produktif pada suatu pekerjaan atu

21

keahlian tertentu yang relevan dengan tuntutan dan permintaan pasar kerja.

(Prastiyo, 2010:5-6).

Dalam pembelajaran produktif yang merupakan kelompok mata diklat produktif

pada SMK secara subtantif adalah program-program keahlian produktif yang

memberikan bimbingan pembelajaran yang berbasis kompetensi dan kerja proyek

didalam bidang teknologi yang berguna untuk memecahkan permasalahn dalam

kehidupannya sehari-hari baik ditempat kerja maupun masyarakat serta

membentuk pengetahuan yang menjadi dasar bagi pendidikan selanjutnya. Mata

diklat produktif SMK secara umum bertujuan membekali kemampuan peserta

diklat untuk dapat dalam membuat teknologi sendiri dan mampu menguji teknologi

yang dikembangkan melalui model-model pembelajaran yang terpadu. ( Djohar,

2006: 3).

2.1.1.2.2 Pembelajaran Berbasis Kerja

Work Based Learning (WBL) pada awalnya muncul karena terjadinya

ketidakjelasan link and match antara apa yang dilakukan di perguruan tinggi

dengan apa yang diharapkan di dunia nyata/dunia kerja. Yang menjadi

permasalahan dewasa ini adalah apakah WBL sebagai program yang

mencanangkan kegiatan belajar di tempat kerja, sejalan dengan apa yang

diharapkan di pendidikan. Karena bagaimanapun terjadi pertentangan antara dunia

nyata dengan meningkatnya kebijakan pembelajaran untuk memperoleh

pengetahuan di luar akademik. Mengkaitkan antara pendidikan dan produktivitas

selalu terkait dengan sejumlah kebijakan politik makro dan trend ekonomi, atau

sering disebut dengan globalisasi. Jadi kita harus dapat memahami apa itu

22

globalisasi dan bagaimana dapat menyusun kembali praktek pendidikan dan

kaitannya dengan program WBL.

Dalam kenyataannya mengikuti tuntutan globalisasi di era informasi secara

langsung dan tidak langsung memberikan sumbangan pada pelaksanaan

pendidikan. Dengan adanya era informasi kita harus mulai melihat kembali

kebermaknaan pengetahuan teknologi komunikasi informasi tersebut terhadap

berbagai kemungkinan terjadinya pembelajaran di luar lembaga. Disamping itu

kita juga harus memperhatikan kebijakan yang berlaku di tempat belajar dan

tempat pengetahuan dihasilkan yang terjadi di luar lingkungan pendidikan.

(Liunir, dkk. 2003:2)

Pembelajaran berbasis kerja atau Work Based Learning (WBL) digunakan sebagai

terminologi di berbagai Negara untuk program-program pada sekolah atau

perguruan tinggi untuk memperoleh pengalaman di dunia kerja dan untuk para

remaja agar siap dalam transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja untuk belajar

realitas dunia kerja/pekerjaan dan menjadi siap untuk membuat pilihan yang tepat

dalam pekerjaan (Paris & Mason, 1995) “Work based learning is any training that

relates directly to the requirements of the job on offer in your organization”

(Glass, Higgin Mc.Gregor, 2002). Medhat mendefinisikan program WBL sebagai

“a process for recognizing, creating and applying knowledge through, for, and at

work which from part (credits) or all of a higher education qualification”.

Sedangkan Raelin menyatakan bahwa WBL merupakan pembelajaran aksi (action

learning) yang tidak dapat dilepaskan dari konteks pembelajaran organisasi

(organizational learning) maupun organisasi yang belajar (learning organization).

23

WBL menjadi trend dalam pendidikan, karena mempengaruhi kepuasan

pembelajar dan meningkatkan peran tutor dalam pembelajaran (Woltering, Herrler,

Spitzer & Spreckelsen, 2009). Pembelajaran dapat diperluas dengan

peralatan/lingkungan yang realistic dan didukung model-model pembelajaran yang

luas seperti pembelajaran terkondisi, asosiatif, sistemik, sismulatif, dan

konstruktivistik (Sharpe, 2006). Gray, menyatakan WBL adalah pembelajaran

pada tingkat perguruan tinggi meliputi pembelajaran untuk kerja (misalnya

penempatan kerja), pembelajaran pada tempat kerja (in-house training), dan

pembelajaran melalui kerja. Berbagai bentuk model WBL antara lain:

apprenticeship opportunities, career mentorship, cooperative work experience,

credit for prior learning (CPL), internship, job shadowing, practicum, school-

based enterpreunership, service learning, teacher externship, tech-prep, vocational

student organizations, volunteer service, worksite field trip (Iseek, 2008).

Menurut WBL Guide (2002), WBL adalah koneksi yang direncanakan dan

disupervisi dari pengalaman-pengalaman kelas dengan harapan dan realitas tempat

kerja. Model Work Based Learning yang merupakan kontinum mulai dari ceramah

di kelas (classroom lecture) sampai penempatan kompetitif (competitive

employment). Proses ini berupa siklus dari classroom lecture - informal interview

-industry tour - job visit - entry level work experience - on-the-job (OTJ) training

-approved apprenticeship program - competitive employement.

Model penyelenggaraan Work Based Learning adalah model program WBL yang

sistem penyelenggaraannya sudah baku, kelengkapan sarana pelatihan sudah

memenuhi prasyarat standar minimum untuk melatih kompetensi, instruktur dan

pembimbing lapangan tersedia, organisasi sumber daya manusianya baik, situasi

24

lingkungan dan keselamatan kerjanya aman dan memadai, dan sarana pendukung

lain untuk pembelajaran di tempat kerja lengkap. Semua terpenuhi pada

pusdiklat/training center di berbagai industri otomotif yang dipakai sebagai mitra

kerja sama uji coba. Dengan demikian model pembelajaran WBL seperti ini dapat

dipakai sebagai contoh atau acuan bagi model pembelajaran lainnya. (Siswanto,

2012:12-13)

WBL merupakan pembelajaran yang menggambarkan suatu program lembaga

pendidik di mana antara lembaga pendidik dan organisasi atau perusahaan secara

bersama-sama merancang pembelajaran di tempat kerja, sehingga program ini

memenuhi kebutuhan peserta diklat, dan berkontribusi dalam pengembangan

perusahaan. WBL merupakan program yang diselenggarakan secara formal di

pendidikan tinggi. Ada enam karakteristik WBL (David Boud, 2003:48), yaitu :

1. Hubungan antara mitra DU/DI dengan institusi pendidikan secara khusus

untuk membangun dan membantu pembelajaran. DU/DI ini bisa milik

pemerintah, swasta atau komunitas sector ekonomi lainnya. Hubungan ini

diperlukan untuk memungkinkan membangun infrastruktur dalam

membantu pengembangan pembelajaran. WBL dapat terjadi jika

pembelajaran dilakukan di tempat kerja dan pembelajaran dilaksanakan

dalam kondisi yang cukup kondusif. Di samping itu proyek pelaksanaan

pembelajaran dijalankan dalam bentuk kerjasama sesuai dengan apa yang

dibutuhkan di tempat kerja. Mengapa demikian?, karena WBL memerlukan

rancangan pembelajaran secara individual yang dirancang dalam beberapa

tahun dan pembelajaran diorientasikan agar peserta diklat menjadi siap

untuk memiliki pengalaman belajar keterampilan dan siap untuk bekerja.

25

Oleh karena itu melalui WBL inilah hubungan itu dibentuk dengan

merancang MOU antara perguruan tinggi dan perusahaan. Perjanjian itu

antara lain berkaitan dengan berapa peserta diklat yang akan dilibatkan,

berapa lama program itu akan dijalankan, bagaimana WBL dapat

dilaksanakan sesuai dengan kemampuan perusahaan, dll.

2. Peserta diklat dilibatkan sebagai pekerja. Kebutuhan setiap peserta diklat

berbeda-beda dan berubah setiap waktu. Oleh karena itu rencana

pembelajaran WBL dirancang untuk setiap peserta diklat. Dengan tujuan

bahwa program pembelajaran itu menjamin bahwa dapat didukung dan

menggunakan sumber-sumber yang tersedia dan disepakati oleh pihak-

pihak terkait.

3. Program dalam WBL mengikuti apa yang dibutuhkan di tempat kerja dan

apa yang dibutuhkan oleh peserta diklat, karena asumsi pembelajaran

berbasis kerja, penyelenggaraannya berbeda dengan apa yang

diselenggarakan di perguruan tinggi. Pengetahuan itu diperoleh dalam

bentuk yang berbeda dalam bisnis dan industri, baik berbeda tujuan,

maksud serta outcomenya.

4. Level pendidikan dalam program dibangun setelah peserta diklat memiliki

kompetensi yang diakui. Kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing

peserta diklat bukan apa yang dapat diperlihatkan dengan kecakapan

sebelumnya. Namun apa yang dapat dikerjakan oleh peserta diklat setelah

mengikuti program. Prior learning dan assessment experimential learning

sering digunakan dalam program ini.

5. Dalam WBL learning project yang dilakukan di tempat kerja, memberikan

tantangan untuk memenuhi kebutuhan peserta diklat di masa yang akan

26

datang, dan perusahaan itu sendiri. Pembelajaran tidak dirancang untuk

memperluas pengetahuan dan keterampilan peserta diklat saja tetapi dapat

memberikan sesuatu yang berbeda bagi perusahaan. Proyek itu tidak hanya

untuk memberikan kontribusi pada perusahaan, namun untuk membuat satu

langkah nyata dalam mengerjakan proyek itu dan pekerjaan-pekerjaan

lainnya. Kemampuan individu dan proses managemen sangat terkait.

Proyek ini tidak hanya memungkinkan manajer atau supervisor melihat

keikutsertaan aktivitas peserta diklat namun proyek ini memberikan

kontribusi nyata pada perusahaan.

6. Institusi pendidikan memiliki keluaran berdasarkan kesepakatan dalam

program ini dengan menghargai standar dan level yang telah ditetapkan,

berbeda dengan kursus konvensional, dalam WBL tidak ada silabus, inti

materi dll. Dalam WBL hanya mungkin disiapkan modul.

Prinsip dalam mengembangkan pembelajaran berbasis kerja pada suatu lembaga

harus memiliki sebuah model pembelajaran yang saling mendukung antara

penyedia peserta diklat dan lembaga “Dunia Usaha/Dunia Industri”. Ini sangat

penting dalam mengembangkan model pembelajaran berbasis kerja yang cocok

dengan kemampun dasar peserta diklat yang tidak bergantung dalam aturan

perekrutan “pekerja” dalam sebuah dunia usaha ataupun industri.

Hal yang penting dalam pengembangan awal pembelajaran berbasis kerja dapat

dilihat dari contoh model untuk pembelajaran berbasis kerja yang dikembangkan

oleh OU pada tahun 2000. Biasanya, pembelajaran yang berbasis kerja atau

praktek dapat dilaksanakan seperti halnya mengajar ataupun merawat dimana hal

27

ini dilakukan secara langsung atau tatap muka sehingga kegiatan memantau sangat

dibutuhkan. Untuk tingkatan selanjutnya kegiatan memantau sudah tidak

dibutuhkan lagi sampai peserta diklat sudah terbiasa bekerja sambil belajar.

Pembelajaran berbasis kerja tidak mudah diterapkan sehingga tim (lembaga) perlu

membuat komitmen rancangan yang telah diidentifikasi sesuai dengan kebutuhan

dimana hal ini membutuhkan kerjasama terhadap dunia usaha ataupun industry

yang tepat sehingga mendapatkan jaminan pengakuan dari dunia usaha lainnya.

Setelah standarisasi telah diidentifikasi maka tim (lembaga) perlu membuat

komitmen hal apa saja yang akan diperoleh oleh peserta diklat. Setelah tim

bernegosasi dan sepakat maka tim harus mengidentifikasi kembali apakah

keterampilan yang didapat akan menjadi tepat guna bagi peserta diklat. Proses ini

sangat penting untuk menjamin bahwa peserta dikat yang melaksanakan pelatihan

di tempat tersebut akan mendapatkan ijazah ataupun sertifikat dimana sertifikat

ataupun ijasah tersebut dapat digunakan untuk bekerja di dunia usaha atapun

industri sebenarnya. (COBE, 2002: 6)

28

Berikut adalah diagram yang menunjukkan bahwa perlunya tekanan kepada dunia

usaha/industri dalam membuat kesepakatan, :

Gambar 2.1. Bagan Work Based Learning Support

Sumber : COBE WBL (booklet), 2000:7

Dari bagan tersebut terlihat bahwa tim atau lembaga penyedia harus lebih selektif

dalam memilih tempat yang sesuai dengan perekrutan peserta diklat yang akan

dilatih. Dari bagan tersebut juga terlihat bahwa dukungan dari dunia usaha

maupun industri sangat diperlukan tetapi lembaga pun dapat merancang kembali

program yang cocok atau yang diinginkan sesuai dengan hasil pembelajaran yang

diinginkan yang tentu saja harus mengetahui hubungan timbal balik yang akan

terjadi antara tempat pelatihan dan lembaga tersebut.

Pressure to comply with

occupational/professional

standarts

Medium workplace support

Low workplace support

Facilitator

Learning Agreement

High workplace support

Mentor

Learning Workbook

29

Hubungan timbal balik tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.2. Bagan Hubungan Timbal Balik antara peyedia pelatihan

dengan peserta diklat.

Sumber : KSA Partnership, Juli 2006:35)

Dengan “Learning through work”, maka hasil pembelajaran atau outcome learning

akan mencapai aktifitas yang berdasarkan pada, atau berasal dari, dan yang

berhubungan dengan pekerjaan dan tempat kerja. Hasil dari pembelajaran berbasis

kerja akan berhubungan langsung dengan pengetahuan, pemahaman, aplikasi,

analisis, sintesis dan evaluasi sehingga peserta diklat harus mampu mengontrol dan

mengetahui kebutuhan yang diperlukan. (KSA Partnership, Juli 2006:35)

Learner’s life plan

(personal, career aspirations, skills,

knowledge)

Provider’s

corporate plan

(marketing,

rekrutment, access,

ciriculum offer,

research and

inovation)

Employer’s

business plan

(productivity,

innovation,

workforce

development)

Policy

environmen

t

30

Berikut adalah rancangan “Low Level Support Model WBL”

Gambar 2.3. Rancangan Dasar Model WBL

Sumber : COBE, 2000:9

Work-Based Facilitator, salah satu persyaratan pembelajaran berbasis kerja

menyatakan bahwa mentor adalah sebagai fasilitas dimana dalam penerapan model

tersebut mentor harus membuat pakta kerjasama terhadap dunia usaha maupun

industri, menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh peserta diklat dan

tentu saja bimbingan atau bias dikatakan bahwa work based facilitator itu seperti

manajemen yang akan menyalurkan peserta diklatnya kepada dunia usaha atau

industri yang dibutuhkan sehingga peserta diklat tersebut menjadi karyawan dan

juga peserta diklat pada dunia usaha atau industri tersebut.

On-Line National Conference, menawarkan saran ataupun nasehat yang

dibutuhkan oleh peserta diklat yang berhubungan langsung dengan pekerjaan atau

pelatihan yang sedang dijalankan. Jalan ini, tentu saja membantu peserta diklat

Monitor

Quality Control

Work Based

Facilitator

Permission

Authentication

Contextualisation

Evidence

Portfolio

STUDENT

On-Line Conference

National Occupational Advice

Tutor

Academic guidance

31

dalam mendukung sepenuhnya lembaga penyalur dan peserta diklat lebih dapat

aktif dalam mengetahui kebutuhan yang diperlukan dalam pelatihan tersebut yang

tentu saja tidak berlawana dengan fakta yang terjadi di lapangan. Academic Tutor,

dalam academic tutor disini pelatih harus mematuhi persyaratan akademik yaitu

memberikan penilaian kepada peserta diklat dan tentu saja bimbingan akademik.

(COBE, 2000:9)

Karakteristik dari pembelajaran berbasis kerja adalah sebagai berikut :

1. Adanya hubungan antara mitra Du/Di dengan institusi pendidikan secara

khusus dijalin untuk membangun dan membantu pembelajaran.

2. Peserta diklat dilibatkan sebagai pekerja.

3. Program dalam pembelajaran berbasis kerja ini mengikuti apa yang

dibutuhkan di tempat kerja dan apa yang dibutuhkan oleh peserta diklat.

4. Level pendidikan dalam program ini dibangun setelah peserta diklat

memiliki kompetensi yang diakui.

5. Dalam pembelajaran berbasis kerja ini, learning project yang dilakukan di

tempat kerja memberikan tantangan untuk memenuhi kebutuhan peserta

didik di masa yang akan datang dan perusahaan itu sendiri.

6. Institusi pendidikan memiliki keluaran berdasarkan kesepakatan dalam

program ini dengan menghargai standard a level yang akan ditetapkan.

(Ana, 2007:14)

2.1.2 Praktik Kerja Industri (Prakerin)

Dalam rangka menyiapkan SDM relevan dengan kebutuhan, maka Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK) mempunyai tanggung jawab/ peran yang besar artinya

32

sehingga perlu mempersiapkan program yang dapat menjawab masalah tersebut

bersam Dunia Kerja melalui Pendidikan Sistem Ganda. Salah satu usaha yang

dilakukan pihak Departemen Pendidikan Nasional adalah perencanaan kebijakan

link and match (Achmad Sangaji Rahman, 1993:13). Kebijakan tersebut dunia

pendidikan diharapkan agar para lulusan sekolah (pendidikan) dapat melakukan

pekerjaan atau usaha yang dipersyaratkan oleh dunia kerja/usaha yang ada. Untuk

mendukung program tersebut, dikeluarkan surat keputusan Mendikbud No.

080/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan. Sekolah Menengah

Kejuruan (SMK) diharapkan mampu menyiapkan peserta diklat untuk memasuki

lapangan kerja, mengembangkan sikap profesional dan produktif, adaptif serta

kreatif.

Praktek kerja Industri atau prakerin merupakan bagian dari Pendidikan Sistem

Ganda atau dual system. Dengan pelaksanaan praktik kerja industri, secara efektif

peserta diklat mendapat kesempatan mengembangkan keterampilan kejuruan

sesuai dengan studi masing–masing. Sehingga peserta diklat diharapkan memiliki

sikap profesional, mengenal etos, disiplin dan etika kerja, yang akan jadi bekal

yang sangat berharga apabila terjun di dunia kerja kelak. (Anonim, 2012:1)

Pelaksanaan Prakerin (Praktik Kerja Industri) ini sesuai dengan peraturan

perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan

Nasional

2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1990, tentang Pendidikan Menengah

3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1997 tentang Peran serta

masyarakat dalam Pendidikan Nasional

33

4. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0490/U/1992

tahun 1992 tentang SMK

5. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 080/U/1993 tahun

1993 tentang Kurikulum SMK

6. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 323/U/1997 tahun

1997 tentang Penyelenggaraan Pendidikan sistem ganda pada Sekolah

Menengah Kejuruan

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan.

8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 tahun

2006 tentang Standar Isi.

9. Permendiknas Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

(SKL).

10. Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah. (Anonim, 2012:2)

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang menyiapkan peserta

diklat terutama untuk bekerja pada bidang tertentu. SMK harus mampu

memenuhi tuntutan kualitas dan relevansi sehingga luarannya memiliki

keunggulan kompetitif dan tetap survive dalam menghadapi persaingan global.

Untuk itu memenuhi harapan tersebut,maka menurut konsep Pendidikan Sistem

Ganda (PSG), proses pembelajaran bagi peserta diklat SMK harus berlangsung

pada dua tempat, yakni pembelajaran berbasis sekolah (School-Based Learning) di

sekolah dan pembelajaran berbasis kerja (Work-Based Learning) di industri.

Menurut Soenary, dkk, (2002), pembelajaran berbasis kerja (Work-Based

34

Learning) diwujudkan dalam bentuk Praktik Kerja Industri atau yang disingkat

dengan Prakerin. Tujuannya adalah agar pendidikan kejuruan benar-benar

mempunyai tingkat efisiensi dan relevansi yang tinggi dengan kebutuhan dunia

kerja/industri (DU/DI).

Pembelajaran berbasis kerja (Prakerin) merupakan perpaduan penyiapan peserta

diklat yang dilakukan di sekolah (berbasis sekolah) dan penyiapan melalui

pengalaman kerja di dunia nyata yang didesain agar peserta diklat memperoleh

pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk kepentingan karir dan peran-peran

hidup lainnya dalam tempat kerja yang nyata. Dari hasil review literatur, seperti

yang dikemukakan oleh Boud dan Solomon (2003), Rafael R. (2002), Xu Jinjie

(2007), Bailey, Hughes dan Moore (2004) bahwa program pembelajaran berbasis

kerja memberi manfaat bagi peserta diklat, pengusaha (DU/DI), dan sekolah

dalam arti mencapai tujuan yang telah ditetapkan apabila dikelola dan

dilaksanakan secara baik. (Syahrul, 2010: 248)

Pendidikan sistem ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan keahlian kejuruan yang secara sistematik dan sinkron antara program

pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh

melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja (DU/DI), terarah untuk mencapai

suatu tingkat keahlian professional tertentu (Djojonegoro, 1999:46). Sedangkan

menurut (Wena: 1997:30) mengatakan bahwa pemanfaatan dua lingkungan belajar

di sekolah dan di luar sekolah dalam kegiatan proses pendidikan itulah yang

disebut dengan program PSG. Hal senada dikemukan oleh (Nasir, 1998:21)

mengatakan bahwa Pendidikan Sistem Ganda (PSG) ialah suatu bentuk

penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang memadukan program pendidikan di

35

sekolah dan program pelatihan di dunia kerja yang terarah untuk mencapai tujuan

pendidikan kejuruan. Sedangkan pendidikan sistem ganda (dual system) adalah

memadukan pelatihan kejuruan paruh waktu dikombinasikan dengan belajar paruh

waktu. (The Educational System in Germany, 1999:1). Dari pengertian diatas,

tampak bahwa PSG mengandung beberapa pengertian, yaitu:

1. PSG terdiri dari gabunan subsistem pendidikan di sekolah dan subsistem

pendidikan di dunia kerja/industri.

2. PSG merupakan program pendidikan yang secara khusus bergerak dalam

penyelenggaraan pendidikan keahlian professional

3. Penyelenggaraan program pendidikan di sekolah dan dunia kerja/industri

dipadukan secara sistematis dan sinkron, sehingga mempu mencapai tujuan

pendidikan yang telah ditetapkan; dan

4. Proses penyelenggaraan pendidikan di dunia kerja lebih ditekankan pada

kegiatan bekerja sambil belajar secara langsung pada keadaan yang nyata.

(Muliati, 2007:9)

Salah satu sistem pelatihan kompetensi pada pendidikan kejuruan adalah sistem

magang bagi siswa SMK. Di Jerman sistem ini disebut dual sistem dan di

Australia disebut dengan apprentice system. Di Indonesia, terutama dalam

lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sistem magang pada

SMK operasionalnya disebut dengan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dan saat ini

sering disebut sebagai Praktik Kerja Industri (Prakerin) yang merupakan bagian

dari PSG pada SMK. Prakerin merupakan bagian dari program bersama antara

SMK dan Industri yang dilaksanakan di dunia usaha dan dunia industri (DU/DI).

Calfrey C. Calhoun (Ali, 2007: 1286) menyebutkan bahwa definisi pendidikan

36

kejuruan menurut The United Congress adalah: Vocational education as organized

educational programs which are directly related to the preparation of individuals

for paid or unpaid employment, or for additional preparation for a career require

other than a baccalaureate of advanced degree. Definisi di atas memberikan

pengertian bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu program pendidikan yang

menyiapkan individu peserta diklat menjadi tenaga kerja professional maupun

untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 15

disebutjkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang

mempersiapkan peserta diklat untuk bekerja dalam bidang tertentu. Menyiapkan

tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan DU/DI menjadi pusat perhatian pendidikan

kejuruan. Untuk itu, pemerintah telah menerapkan konsep link and match dalam

penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Perubahan dari pendidikan berbasis

sekolah, kependidikan berbasis ganda sesuai dengan kebijakan link and match

mengharapkan supaya program pendidikan kejuruan itu dilaksanakan di dua

tempat. Sebagian program pendidikan dilaksanakan di sekolah, yaitu teori dan

praktik dasar kejuruan. Sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu

keterampilan produktif yang diperoleh melalui prinsip learning by doing. Joseph

(2008: 64) menyebutkan, “Work-based learning is much more than the familiar

experiential learning, which consist of adding a layer of simulated experience to

conceptual knowledge”.

Pembelajaran berbasis kerja lebih dekat kepada pengalaman belajar yang berisi

tambahan contoh-contoh pengalaman menjadi pengetahuan konseptual. Joseph

(2008: 64) menambahkan, “In work-based learning, theory may be acquired in

37

concert with practice”. Di dalam pembelajaran berbasis kerja, teori kemungkinan

dapat diperoleh pada saat praktik. Salah satu inovasi pendidikan teknologi

kejuruan di Indonesia adalah perubahan dari pendekatan supply driven ke demand

driven.

Pelaksanaan pembelajaran komponen pendidikan adaptif, dan teori kejuruan

menjadi tanggung jawab sekolah. Komponen pendidikan praktik dasar profesi

dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara sekolah dengan dunia

usaha/industri pasangannya, sedangkan komponen pendidikan praktik keahlian

profesi menjadi tanggung jawab institusi pasangan masingmasing sekolah dalam

pelaksanaan prakerin. Dengan demikian, kemitraan SMK dengan dunia usaha dan

industri bukan lagi merupakan hal penting, tetapi merupakan keharusan. (Anwar,

2001:9)

Dalam bukunya Reeve and Gallacher (2005: 13) menyebutkan empat konsep yang

menjadi bagian penting dari pelaksanaan praktik kerja industri, yaitu partnership,

flexibility, relevance, dan accreditation. Pelaksanaan prakerin bukan sekedar

penempatan peserta diklat pada industri dan mendapatkan pengalaman bekerja,

namun diharapkan sekolah dapat menyediakan kebutuhan industri akan sumber

daya yang memiliki keterampilan dasar sebagai modal awal bagi peseta diklat

untuk dapat dilibatkan dalam pengalaman kerja dan berinteraksi dengan karyawan

lainnya. Karena itu perjanjian kerjasama antara sekolah dan industri seharusnya

mencakup kemampuan peserta diklat untuk dapat bekerja dan membantu

perusahaan dalam meningkatkan produksinya. Perbedaan yang mendasar antara

sistem nilai yang berlaku di sekolah dengan yang berlaku di dunia kerja, maka

sekolah hendaknya benar-benar mempersiapkan peserta diklatnya sebelum masuk

38

dunia kerja. Persiapan tersebut meliputi pengetahun kerja, keterampilan kerja,

sikap/budaya kerja, dan harus mencari informasi tentang kebutuhan akan industri

pasangannya tentang kemampuan dasar kerja yang harus dikuasai peserta diklat

sebelum diterjunkan dalam praktik di dunia kerja.

Sementara itu yang dimaksud dengan pendidikan sistem ganda (PSG) adalah suatu

bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara

sistematik dan sinkronasi antara program pendidikan di sekolah dan program

penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia

kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu

(Depdikbud, 1994: 7). Dengan demikian program ini merupakan gabungan antara

pendidikan di sekolah dengan praktek langsung di tempat dunia usaha/industri

yang sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni peserta diklat di sekolah. Sehingga

kegiatan ini dinamakan praktik kerja industri (prakerin).

Pada dasarnya Pendidikan sistem ganda atau Prakerin ingin mencetak lulusan

sekolah agar dapat bekerja di dunia usaha/dunia industri sesuai dengan persyaratan

yang telah ditetapkan. Adapun tujuan Pendidikan sistem ganda/prakerin secara

rinci adalah:

1. menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional;

2. memperkokoh link and match antara sekolah dengan dunia kerja;

3. meningkatkan efisiensi proses pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang

berkualitas profesional;

4. memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai

bagian dari proses pendidikan. (Anonim, 2012:3)

39

Mengenai metode pelaksanaan disepakati antara SMK dengan pihak dunia

usaha/industri. Untuk komponen pendidikan umum, pendidikan dasar penunjang

dan komponen teori kejuruan dilaksanakan sepenuhnya di sekolah. Sedangkan

untuk komponen praktek dasar profesi dilaksanakan di SMK atau di dunia/industri

atau kedua-duanya. Untuk komponen praktek keahlian profesi keahlian

dilaksanakan di dunia usaha/industri. Bagi peserta yang dinyatakan lulus akan

diterbitkan sertifikat yang diterbitkan oleh Tim Ujian Profesi. Dalam

pelaksanaannya pendidikan sistem ganda atau biasa disingkat PSG melalui

Prakerin ini ada dua hal yaitu :

1. Pendidikan sistem gandahanya dapat dilaksanakan dengan melibatkan dua

pihak; pihak dunia pendidikan SMK dan pihak dunia kerja (dunia usaha

dan dunia industri (DU/DI)).

2. Dalam Pendidikan Sistem Ganda, penguasaan kemampuan oleh peserta

diklat diperoleh melalui kegiatan belajar mengajar (learning and teaching

procces), disekolah dan melalui kegiatan bekerja langsung (learning by

experience) dilapangan kerja.

Praktik kerja industri adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian

profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron. Program pendidikan

di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan

langsung di dunia kerja secara terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian

profesional tertentu (Pakpahan, 1994:7). Melalui penghayatan dalam program

praktek kerja industri, peserta diklat akan memperoleh pengalaman bernilai yang

akan berpengaruh secara positif terhadap motivasi belajar. Pada akhirnya akan

membantu meningkatkan kompetensi sesuai bidang keahliannya (Nolker,

40

1983:119). Kenyataannya prakerin berbeda dengan PSG, menurut Depdiknas

dalam materi pelatihan KTSP 2009 menyatakan bahwa prakerin merupakan

program pembelajaran yang harus dilakukan setiap peserta diklat di dunia kerja.

Prakerin merupakan upaya untuk memperkenalkan lebih dini dunia kerja kepada

peserta diklat sebagai bagian pengalaman kerjanya. Diharapkan melalui program

prakerin peserta diklat mengenal tentang jenis pekerjaan yang ada di lapangan,

sikap dan etos kerja, disiplin kerja, dan jenis pekerjaan yang ada di industri.

Sehingga peserta diklat bisa memahami perbedaan antara belajar di sekolah

dengan kenyataan yang ada di dunia kerja/industri melalui pembelajaran di

industri (prakerin). (Fachturohman, 2011:181)

Sementara itu tujuan penyelenggaraan Praktik Kerja Industri adalah untuk :

1. Menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, yaitu

tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, ketrampilan, dan etos

kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja,

2. Memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara

sekolah dengan dunia kerja

3. Meningkatkan efisiensi proses pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang

berkualitas dan profesionel

4. Memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai

bagian dari proses pendidikan.

5. Membentuk pola pikir dan tingkah laku mandiri yang sesuai dengan tujuan

pendidikan.

6. Mengembangkan dan menginternalisasikan sikap dan nilai professional

(Anonim, 2012:6)

41

2.1.3 Prestasi Belajar

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karangan Hoetomo (2002: 40), kata

prestasi berarti hasil yang telah dicapai seseorang. Pendapat lain dikemukakan

Sukamto (2005: 130), bahwa istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda

yaitu prestatie. Dalam Bahasa Indonesia prestatie diterjemahkan sebagai hasil,

demikian pula dengan prestasi belajar. Beberapa ahli menjelaskan tentang prestasi

belajar, yaitu antara lain pendapat Muktar dan Yamin (2003: 154), menjelaskan

bahwa prestasi belajar sama dengan hasil belajar berupa perubahan tingkah laku

yang dicapai peserta diklat setelah mempelajari suatu materi tertentu.

Dengan demikian prestasi belajar (hasil belajar) ditandai dengan perubahan

perilaku. Perubahan perilaku yang merupakan sebagai akibat proses belajar.

Mukhtar dan Yamin menjelaskan bahwa kemampuan berprestasi merupakan suatu

puncak proses belajar. Pada tahap ini peserta diklat membuktikan keberhasilan

belajar. Kemampuan berprestasi peserta diklat dipengaruhi oleh banyak faktor, di

antaranya faktor potensi peserta diklat itu sendiri dan faktor di luar peserta diklat.

Prestasi belajar adalah sebuah proses penilaian pendidikan tentang kemajuan

peserta diklat dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang menyangkut

pengetahuan, kecakapan atau keterampilan yang dinyatakan sesuai hasil belajar

dan ditandai dengan perubahan perilaku (Mukhtar dan Yamin, 2003: 89-90).

Hasil belajar merupakan tujuan akhir dilaksanakannya kegiatan pembelajaran di

sekolah. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha sadar yang dilakukan

secara sistematis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian disebut

dengan proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil

42

belajar peserta diklat. Hasil belajar peserta diklat di kelas terkumpul dalam

himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasil dari

suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar

di akhiri dengan proses evaluasi hasil belajar, sedangkan dari sisi peserta diklat,

hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati

dan Mudjiono, 2009: 3).

Menurut Sudjana (2010: 22), hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki peserta

diklat setelah menerima pengalaman belajar. Selanjutnya Warsito (dalam

Depdiknas, 2006: 125) mengemukakan bahwa hasil dari kegiatan belajar ditandai

dengan adanya perubahan perilaku ke arah positif yang relatif permanen pada diri

orang yang belajar. Sehubungan dengan pendapat itu, maka Wahidmurni, dkk.

(2010: 18) menjelaskan bahwa sesorang dapat dikatakan telah berhasil dalam

belajar jika ia mampu menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan-

perubahan tersebut di antaranya dari segi kemampuan berpikirnya,

keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek. Jika dikaji lebih mendalam,

maka hasil belajar dapat tertuang dalam taksonomi Bloom, yakni dikelompokkan

dalam tiga ranah (domain) yaitu domain kognitif atau kemampuan berpikir,

domain afektif atau sikap, dan domain psikomotor atau keterampilan. Sehubungan

dengan itu, Gagne (dalam Sudjana, 2010: 22) mengembangkan kemampuan hasil

belajar menjadi lima macam antara lain:

1. Hasil belajar intelektual merupakan hasil belajar terpenting dari sistem

lingsikolastik

2. Strategi kognitif yaitu mengatur cara belajar dan berfikir seseorang dalam

arti seluas-luasnya termaksuk kemampuan memecahkan masalah

43

3. Sikap dan nilai, berhubungan dengan arah intensitas emosional dimiliki

seseorang sebagaimana disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku

terhadap orang dan kejadian

4. Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta; dan

5. Keterampilan motorik yaitu kecakapan yang berfungsi untuk lingkungan

hidup serta memprestasikan konsep dan lambang.

Selanjutnya, menurut Hamalik (2006: 155), memberikan gambaran bahwa hasil

belajar yang diperoleh dapat diukur melalui kemajuan yang diperoleh siswa setelah

belajar dengan sungguh-sungguh. Hasil belajar tampak terjadinya perubahan

tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur melalui perubahan

sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya peningkatan

dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

Hasil belajar selain ranah kognitif dan afektif adalah ranah psikomotor. Menurut

Davies (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009: 207), ranah psikomotor berhubungan

dengan keterampilan motorik, manipulasi benda atau kegiatan yang memerlukan

koordinasi saraf dan koordinasi badan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sudjana

(2010: 54) menjelaskan bahwa hasil belajar dalam ranah psikomotor tampak dalam

bentuk keterampilan-keterampilan (skill), dan kemampuan bertindak individu.

Harrow (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009: 208) mengemukakan taksonomi

ranah psikomotor sekaligus menjelaskan bahwa penentuan kriteria untuk

mengukur keterampilan peserta diklat harus dilakukan dalam jangka waktu 30

menit.

44

Seperti dijelaskan di atas bahwa mengungkap pretasi belajar peserta diklat pada

semua ranah harus dilakukan guru. Prestasi belajar peserta diklat terkait dengan

seluruh kompetensi yang dimiliki peserta diklat. Oleh karena itu guru sedapat

mungkin dalam melakukan penilaian prestasi belajar peserta diklat pada semua

domain. Sutrisno (2005: 19).

Prestasi belajar bukanlah variabel yang berdiri-sendiri. Mukhtar dan Yamin (2003:

67), menyatakan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari motivasi positif dan

percaya diri dalam belajar, tersedianya materi pelajaran yang lengkap untuk

memancing aktivitas peserta diklat, keterampilan intelektual, dan strategi yang

tepat untuk mengaktifkan peserta diklat dalam belajar. Sedangkan faktor eksternal

lebih banyak ditangani oleh guru, faktor tersebut terdiri dari cara guru

memberi reward, penghargaan, perhatian orang tua, dan keadaan keluarga.

Pendapat lain yang hampir sama dikemukakan Aqib (2003: 94), bahwa ada dua

faktor yang berpengaruh pada pencapaian prestasi belajar peserta diklat, yaitu

faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern terdiri dari motivasi positif dan

percaya diri dalam belajar, tersedianya materi pelajaran yang lengkap untuk

memancing aktivitas peserta diklat, keterampilan intelektual, dan strategi yang

tepat untuk mengaktifkan peserta diklat dalam belajar. Sedangkan faktor ekstern

lebih banyak ditangani oleh guru, faktor tersebut terdiri dari cara guru

memberi reward, penghargaan, perhatian orang tua, dan keadaan keluarga.

Selain itu, menurut Gagne (dalam Sumarno, 2011:15) hasil belajar merupakan

`kemampuan internal (kapabilitas) yang meliputi pengetahuan, ketermpilan dan

sikap yang telah menjadi milik pribadi sesorang dan memungkinkan seseorang

45

melakukan sesuatu. Pendapat hampir sama dikemukakan oleh Jenkins dan Unwin

(Uno, 2011: 17) yang mengatakan bahwa hasil belajar adalah pernyataan yang

menunjukkan tentang apa yang mungkin dikerjakan peserta diklat sebagai hasil

dari kegiatan belajarnya. Jadi hasil belajar merupakan pengalaman-pengalaman

belajar yang diperoleh peserta diklat dalam bentuk kemampuan-kemampuan

tertentu. Pendapat lain tentang hasil belajar dikemukakan oleh Briggs (dalam

Taruh, 2003: 17) yang mengatakan bahwa hasil belajar adalah seluruh kecakapan

dan hasil yang dicapai melalui proses belajar mengajar di sekolah yang dinyatakan

dengan angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar.

Hal ini senada dengan Rasyid (Rasyid, Harun dan Mansyur, 2008: 9) yang

berpendapat bahwa jika di tinjau dari segi proses pengukurannya, kemampuan

seseorang dapat dinyatakan dengan angka. Dengan demikian, hasil belajar peserta

diklat dapat diperoleh guru dengan terlebih dahulu memberikan seperangkat tes

kepada peserta diklat untuk menjawabnya. Hasil tes belajar peserta diklat tersebut

akan memberikan gambaran informasi tentang kemampuan dan penguasaan

kompetensi peserta diklat pada suatu materi pelajaran yang kemudian dikonversi

dalam bentuk angka-angka.

2.1.4 Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan Ringan

Teknik kendaraan Ringan adalah kompetensi keahlian bidang teknik otomotif yang

menekankan keahlian pada bidang penguasaan jasa perbaikan kendaraan ringan.

Kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan menyiapkan peserta didik untuk

bekerja pada bidang pekerjaan jasa perawatan dan perbaikan di dunia

usaha/industri. (Anonim, 2004: 1)

46

Tujuan Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan Ringan secara umum mengacu

pada isi Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) pasal 3 mengenai

Tujuan Pendidikan Nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa

pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan

peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Secara khusus tujuan

Kompetensi Keahlian Teknik Kendaraan Ringan adalah membekali peserta didik

dengan keterampilan, pengetahuan dan sikap agar kompeten dalam:

1. Perawatan dan perbaikan motor otomotif

2. Perawatan dan perbaikan sistem pemindah tenaga otomotif

3. Perawatan dan perbaikan chasis otomotif

4. Perawatan dan perbaikan sistem kelistrikan otomotif.

5. Perawatan dan perbaikan sistem pengkondisi udara otomotif. (Anonim,

2004 :1)

Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Produktif, dibagi menjadi :

1. Dasar Mesin Dan Konversi Energi

Memahami ilmu statika dan tegangan sebagai dasar dalam aplikasi

pekerjaan jasa servis perbaikan otomotif, proses pengecoran, proses

pembentukan, proses pemesinan, konsep motor bakar, konsep motor listrik,

konsep generator listrik dengan konsep penggerak mula, konsep pompa

fluida dengan berbagai aplikasinya sebagai dasar operasional komponen

dan unit sistem pada ootomotif, konsep kompresor dan dapat menjelaskan

konsep refrigerasi sebagai dasar pemahaman pada aplikasi pengkondisi

udara otomotif.

2. Gambar Teknik

47

Memahami dan dapat mengaplikasaikan standar menggambar teknik yaitu

mampu menggambar perspektif, proyeksi, pandangan dan potonga,

memahami simbol-simbol kelistrikan untuk dapat menginterpretasikan

pada pembacaan gambar kelistrikan otomotif (wiring diagram) serta dapat

menginterpretasikan gambar teknik dan rangkaian (wiring diagram)

3. Kerja Bangku

Menggunakan Peralatan dan perlengkapan di tempat kerja dan mampu

menerapkan prosedur keselamatan serta kesehatan kerja, menggunakan alat

ukur untuk aplikasi perawatan alat berat serta mampu menggunakan alat-

alat ukur mekanik, alat-alat ukur pneumatik, alat-alat ukur

elektrik/elektronik sesuai standar operasional prosedur untuk memenuhi

tuntutan pekerjaan mekanik

4. Hidrolik dan kompresor

Menguasai kompetensi di bidang pemeliharaan/servis, dan perbaikan

sistem hidraulik sesuai standar operasional prosedur dan K3 untuk

memenuhi tuntutan pekerjaan mekanik otomotif, kompeten di bidang

pemeliharaan/servis, dan perbaikan kompresor udara dan komponen-

komponennya sesuai standar operasional prosedur dan K3 untuk memenuhi

tuntutan pekerjaan mekanik otomotif.

5. Pengelasan

Mampu mengelas sesuai dengan prosedur pengelasan, melakukan prosedur

pematrian, melakukan prosedur pemotongan dengan panas, melakukan

prosedur pemanasan.

6. Perbaikan Motor Otomotif

48

Menguasai kompetensi di bidang pemeliharaan/servis, membongkar,

memasang (overhaul ) dan memperbaiki sistem pendingin dengan

komponennya sesuai standar operasional prosedur untuk memenuhi

tuntutan dunia kerja, kompeten di bidang pemeliharaan /servis sistem bahan

bakar bensin, kompeten di bidang pemeliharaan/servis, membongkar,

memasang (overhaul ) dan kalibrasi sistem injeksi bahan bakar diesel.

7. Perbaikan Casis dan Pemindah Tenaga

Menguasai kompetensi di bidang pemeliharaan/servis, membongkar,

memasang (overhaul ) dan memperbaiki unit kopling dan komponen-

komponen sistem pengoperasian sesuai standar operasional prosedur untuk

memenuhi tuntutan dunia kerja, kompeten dalam pemeliharaan transmisi

baik manual maupun otomatis, unit final drive/gardan, sesuai standar

operasional prosedur dengan memperhatikan perisip keselamatan kerja dan

kesehatan serta kompeten di bidang pemeliharaan/servis, membongkar,

memasang Memperbaiki poros penggerak roda, roda dan ban, sistem,

sistem kemudi rem, sistem suspensi sesuai standar operasional prosedur

dengan memperhatikan perisip keselamatan kerja dan kesehatan.

8. Kelistrikan Otomotif

Menguasai kompetensi pemeliharaan baterai, mampu memperbaiki

kerusakan ringan pada rangkaian/ sistem kelistrikan, pengaman dan

kelengkapan tambahan sesuai prosedur tanpa merusak sistem kelistrikan

lain, kompeten dalam pemeliharaan memperbaiki dan menguji sistem

pengapian sesuai spesifikasi manual serta enguasai kompetensi sistim

starter dan pengisian.

49

9. Sistem Pengkondisi Udara Otomotif (A/C)

Memahami prinsip kerja sistem A/C dan komponennya, mampu melakukan

servis/pemeliharaan sistem AC dan komponennya, ampu memeriksa dan

mengganti/mengisi refrigerant sesuai prosedur dan spesifikasi pabrik dan

faktor keamanan serta kesehatan kerja. (Anonim, 2004: 6-8)

2.2 Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Purnomo Arif Cahyo (2013) dengan judul

“Pengaruh Prestasi Belajar Mata Pelajaran Program Produktif dan Kreaktivitas

Siswa Terhadap Hasil Tugas Akhir Siswa Kelas XII Kompetensi Keahlian Audio

Video di SMKN. 3 Yogyakarta Tahun AJaran 2012/2013”. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui salah satunya pengaruh prestasi belajar produktif

terhadap kompetensi keahlian teknik audio video. Penelitian ini merupakan

penelitian ex post facto dan populasi penelitian adalah siswa kelas XII Kompetensi

Keahlian Audio Video Elektronika tahun ajaran 2012/2013 berjumlah 69 siswa

yang seluruhnya diambil sebagai subyek penelitian. Uji coba instrumen

dilaksanakan pada 36 siswa kelas X Kompetensi Keahlian Audio Video. Uji

validitas dilakukan dengan teknik korelasi product moment dari Pearson,

sedangkan uji reliabilitas digunakan rumus Alpha Cronbach. Teknik analisis data

yang dipakai untuk menguji hipotesis adalah dengan teknik analisis regresi ganda

pada taraf signifikansi 5% dan mencari besar sumbangan efektif atau relatif dari

masing-masing variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

positif Prestasi Belajar Mata Pelajaran Program Produktif terhadap Hasil Tugas

Akhir Siswa Kelas XII Kompetensi Keahlian Audio Video di SMK Negeri 3

50

Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013 yang dibuktikan dengan harga rx1y (0,262)

lebih besar dari r tabel (0,235) pada taraf signifikansi 5%. Koefisien determinasi

(r2y(1,2)) sebesar 0,141 berarti sumbangan efektif (SE) adalah 14,1% dengan

rincian Prestasi Belajar Mata Pelajaran Program Produktif 6,299% dan sedangkan

besarnya sumbangan relatif (SR) yang diperoleh dari Prestasi Belajar Mata

Pelajaran Program Produktif 44,68 %.

Penelitian Afni Nur Anita dengan judul “Pengaruh Hasil Belajar Mata Pelajaran

Program Produktif dan Kemandirian Belajar Terhadap Prestasi Prakerin Siswa

Kelas XII Studi Keahlian Teknik Elektronika Di SMKN 3 Yogyakarta. Tahun

Pelajaran 2012/2013”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui salah satunya

pengaruh hasil belajar mata pelajaran produktif terhadap prestasi Prakerin siswa

kelas XII teknik elektronika. Penelitian ini merupakan penelitian ex post facto.

Populasi penelitian adalah siswa kelas XII Program Studi Keahlian Teknik

Elektronika tahun ajaran 2012/2013 berjumlah 69 siswa yang seluruhnya diambil

sebagai subyek penelitian. Uji coba instrumen dilaksanakan pada 33 siswa kelas XI

Program Studi Keahlian Teknik Elektronika. Uji validitas dilakukan dengan

teknik korelasi product moment dari Pearson, sedangkan uji reliabilitas digunakan

rumus Alpha Cronbach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

positif hasil belajar mata pelajaran program produktif terhadap prestasi Prakerin

siswa Kelas XII teknik elektronika yang dibuktikan dengan harga rx1y (0,340)

lebih besar dari r tabel(0,235) pada taraf signifikansi 5% dan sumbangan efektif

hasil belajar mata pelajaran program produktif sebesar 9,2732%.

Penelitian dari Pratiwi Sandi (2013) dengan judul “Pengaruh Prakerin dan

Motivasi Kerja Terhadap Hasil Uji Kompetensi Siswa SMKN Tembarak”.

51

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prestasi praktik kerja industri siswa

kelas XII SMKN Tembarak terhadap prestasi uji kompetensi siswa SMKN

Tembarak. Metode penelitian ini adalah expost facto. Responden penelitian yaitu

siswa SMKN Tembarak dengan jumlah 60 orang dari dua program keahlian yaitu

Mekatronika dan Elektronika Industri. Pengumpulan data menggunakan kuesioner

dan data nilai. Bukti validitas instrumen dilakukan dengan expert judgement.

Analisis data diuji menggunakan teknik pengujian regresi linier sederhana dan

regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Praktik Kerja Industri siswa

SMKN Tembarak dengan kriteria cukup mencapai angka sebesar 65%, sehingga

dapat dikatakan bahwa praktik kerja industri siswa tergolong cukup,dan terdapat

pengaruh yang positif antara praktik kerja industri dengan nilai uji kompetensi

siswa SMKN Tembarak.

2.3 Kerangka Berpikir

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang merupakan salah satu wahana

pendidikan formal, mempunyai tujuan mempersiapkan para peserta diklatnya

untuk menjadi tenaga kerja tingkat menengah yang mempunyai pengetahuan,

ketrampilan, keahlian dan akhirnya mempunyai kesiapan kerja setelah

menamatkan pendidikannya. Menyiapkan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan

DU/DI menjadi pusat perhatian pendidikan kejuruan. Untuk itu, pemerintah telah

menerapkan konsep link and match dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan.

Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah, kependidikan berbasis ganda sesuai

dengan kebijakan link and match, mengharapkan supaya program pendidikan

kejuruan itu dilaksanakan di dua tempat. Sebagian program pendidikan

52

dilaksanakan di sekolah, yaitu teori dan praktik dasar kejuruan. Sebagian lainnya

dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif yang diperoleh melalui

prinsip learning by doing.

Mencapai keberhasilan dalam suatu pekerjaan, seseorang perlu memiliki kesiapan

akan segala sesuatu yang diperlukan oleh lapangan pekerjaan tersebut, baik itu

kesiapan dari segi fisik, kesiapan mental, kesiapan dari aspek kognitif dan

sebagainya. Menurut Dali Gulo (1987:240) kesiapan (readiness) adalah “titik

kematangan untuk menerima dan mempraktikan tingkah laku tertentu”. Kesiapan

kerja (Job Readiness) menurut Herminanto Sofyan (1992) dan Widodo, W (2009),

dapat diartikan sebagai upaya mempunyai keterampilan yang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat sehingga peserta didik setelah lulus nanti dapat diserap oleh

dunia kerja. Kesiapan kerja adalah keseluruhan kondisi individu yang meliputi

kematangan fisik, mental, dan pengalaman serta adanya kemauan dan kemampuan

untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan.

2.3.1 Pengaruh Prestasi Pembelajar Produktif terhadap Kompetensi

Keahlian TKR

Kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan merupakan salah satu sub bagian

dari program keahlian teknik otomotif dan sub bagian dari bidang keahlian

teknologi dan rekayasa. Kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan ini

bertujuan untuk menyetak lulusan peserta diklat yang memiliki kemampuan atau

keterampilan dalam memperbaiki berbagai jenis kendaraan yang termasuk dalam

kendaraan ringan. Disinilah diperlukan peran dari guru untuk membantu peserta

diklat dalam menguasai keterampilan yang harus dimiliki oleh peserta diklat,

53

Keterampilan yang harus dimiliki oleh mereka dibagi menjadi dua bagian yaitu

dasar kompetensi kejuruan (keterampilan dasar) dan kompetensi kejuruan teknik

kendaraan ringan yang diatur dalam SKL (Standar Kompetensi Lulusan).

Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik merupakan

menjadi nama mata pelajaran produktif yang harus diselesaikan oleh peserta diklat

selama 3 tahun sehingga dikatakan pembelajaran produktif. Pembelajaran

produktif merupakan program mata pelajaran yang berfungsi membekali peserta

diklat agar memiliki kompetensi standar atau kemampuan produktif pada suatu

pekerjaan/keahlian tertentu yang relevan dengan tuntutan dan permintaan pasar

kerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran produktif merupakan

proses interaksi peserta diklat dengan pendidik atau sumber belajar pada suatu

lingkungan belajar yang berfungsi membekali peserta diklat agar memiliki

kompetensi standar atau kemampuan produktif pada suatu pekerjaan atu keahlian

tertentu yang relevan dengan tuntutan dan permintaan pasar kerja. Peneliti

menganggap bahwa keberhasilan seorang peserta diklat dalam memiliki

keterampilan atau kemampuan atau skill (hasil belajar) adalah bagaimana peserta

diklat tersebut mendapatkan kemampuan tersebut dari pembelajaran-pembelajaran

yang mereka alami secara langsung (proses pembelajaran) tersebut. Hal ini

menuntut guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang baik dan terstruktur

dalam mengonsepkan materi-materi pembelajaran produktif sehingga peserta diklat

mendapatkan pengetahuan dan keterampilanyang kompeten. Oleh karena itu

peneliti dalam penelitian ini ingin mengukur seberapa jauh pengaruh dari prestasi

pembelajaran produktif dengan cara peneliti mengambil data prestasi hasil belajar

pembelajaran produktif dari semester 1 hingga 5. Dimana peneliti menganggap

bahwa prestasi belajar yang diperoleh peserta diklat mencerminkan proses

54

pembelajaran produktif. “Prestasi belajar produktif baik maka proses

pembelajaran yang dilaksanakan baik atau Prestasi belajar produktif buruk maka

proses pembelajaran yang dilaksanakan buruk” terhadap kompetensi keahlian

teknik kendaraan ringan yang akan dicapai.

2.3.2 Pengaruh Prestasi Praktik Kerja Industri Terhadap Kompetensi

Keahlian TKR

Akibatnya dari globalisasi yang telah menimbulkan kaburnya batas-batas antar

negara, sehingga dunia menjadi terbuka dan transparan, merupakan efek dari/oleh

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi yang

semakin hari semakin pesat perkembangannya sehingga adanya perubahan

mendasar dalam berbagai bidang kehidupan, ekonomi, poilitik, sosial dan budaya

dan termasuk dalam bidang pendidikan. Dalam rangka menyiapkan sumber daya

manusia (SDM) yang relevan dengan kebutuhan, maka pemerintah khusus untuk

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mempunyai tanggung jawab/ peran yang

besar artinya dalam mempersiapkan program yang dapat menjawab masalah

tersebut bersama dunia kerja melalui Pendidikan Sistem Ganda (PSG) atau Praktik

Kerja Industri (Prakerin). Salah satu usaha yang dilakukan pihak Departemen

Pendidikan Nasional adalah perencanaan kebijakan link and match (Achmad

Sangaji Rahman, 1993:13). Kebijakan tersebut, dunia pendidikan diharapkan agar

para lulusan sekolah (pendidikan) dapat melakukan pekerjaan atau usaha yang

dipersyaratkan oleh dunia kerja/dunia usaha yang ada. Untuk mendukung program

tersebut, dikeluarkan surat keputusan Mendikbud No. 080/U/1993 tentang

Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

diharapkan mampu menyiapkan peserta diklat untuk memasuki lapangan kerja,

55

mengembangkan sikap profesional dan produktif, adaptif serta kreatif sesuai

SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang dikeluarkan oleh

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Guru selaku pembimbing sekolah

bagi peserta diklat yang melaksanakan Praktik Kerja Industri mempunyai peran

yang sangat penting atas berhasil tidaknya kegiatan Prakerin peserta diklat. Disatu

sisi, pembimbing sekolah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan

rutin di sekolah yaitu kegiatan proses belajar mengajar. Disisi lain, pembimbing

sekolah mempunyai tugas pokok yaitu membimbing peserta diklat yang

melaksanakan praktik di DU/DI.

Tugas guru pembimbing dalam memberikan bimbingan kepada peserta diklat yang

sedang melaksanakan praktik mempunyai arti dan nilai yang sama dengan tugas

mengajar atau mendidik peserta didik di sekolah. Oleh karena itu, pemahaman dan

kerja sama yang baik guru pembimbing dengan peserta diklat yang sedang

melaksanakan praktik, pihak sekolah dan Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI)

menjadi syarat utama berhasilnya tidaknya pelaksanaan Prakerin.

Demikian besar arti pemahaman tentang pelaksanaan Prakerin yang menjadi salah

satu Program Pendidikan Sistem Ganda (dual system), baik oleh pihak sekolah

sendiri (guru, peserta diklat dan pihak terkait) dengan pihak DU/DI yang akhirnya

ada kepedulian dan kerja sama yang baik sehingga ada link and match antara

sekolah yang mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional sesuai

dengan kompetensinya dan DU/DI yang memakai sebagai serapan tenaga kerja.

Oleh karena itu peneliti dalam penelitian ini ingin mengukur seberapa jauh

pengaruh dari prestasi praktik kerja industri terhadap kompetensi keahlian teknik

kendaraan ringan yang akan dicapai.

56

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan deskripsi teoritis dan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas maka

hipotesis yang diajukan dalam penelitan ini adalah :

1. Adanya pengaruh positif dan signifikan antara prestasi pembelajaran

produktif terhadap kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan.

2. Adanya pengaruh positif dan signifikan antara prestasi praktik kerja

industri terhadap kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan.

3. Adanya pengaruh positif dan signifikan antara prestasi pembelajaran

produktif dan prestasi praktik kerja industry secara bersama-sama terhadap

kompetensi keahlian teknik kendaraan ringan.