bab ii kajian pustaka dan hipotesis … 2.pdf · 12 2. base price (harga dasar) harga perdana...

43
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1Perusahaan Terbatas Sebagian besar perusahaan merupakan badan usaha berbentuk perseroan. Perusahaan atau perseroan tersebut lebih dikenal dengan nama Perseroan Terbatas (PT) yang merupakan suatu badan hukum (yang terdaftar pada negara bagian) yang membayar pajak dan secara hukum terpisah dengan para pemiliknya (Madura 2001:38). Untuk mendirikan suatu badan usaha, seorang individu atau kelompok harus memakai akta pendirian perusahaan, atau dokumen yang digunakan untuk mendirikan suatu bisnis dan mendaftarkannya kepada pemerintah (Madura 2001:38). Orang yang mengelola perusahaan juga harus mengelola menurut peraturan pemerintah (UU) yang biasanya adalah petunjuk umum untuk mengelola perusahaan. Pemegang saham korporasi secara hukum mempunyai tanggung jawab yang terbatas artinya mereka tidak harus menanggung secara pribadi kegiatan perusahaan. Pemegang saham hanya dapat menanggung kerugian sebatas modal yang ditanamkannya. Pemegang saham mendapatkan imbalan atasinvestasi mereka melalui dua cara. Pertama, mereka bisa menerima dividen dari perusahaan dimana suatu porsi dari laba perusahaan tiga bulan terakhir yang didistribusikan kepada para pemegang saham. Kedua, harga saham yang dimilikinya mungkin naik dipasaran. Keadaan perusahaan yang lebih menguntungkan maka nilai saham dipasaran

Upload: vandieu

Post on 16-Sep-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1Perusahaan Terbatas

Sebagian besar perusahaan merupakan badan usaha berbentuk perseroan.

Perusahaan atau perseroan tersebut lebih dikenal dengan nama Perseroan Terbatas

(PT) yang merupakan suatu badan hukum (yang terdaftar pada negara bagian)

yang membayar pajak dan secara hukum terpisah dengan para pemiliknya

(Madura 2001:38). Untuk mendirikan suatu badan usaha, seorang individu atau

kelompok harus memakai akta pendirian perusahaan, atau dokumen yang

digunakan untuk mendirikan suatu bisnis dan mendaftarkannya kepada

pemerintah (Madura 2001:38). Orang yang mengelola perusahaan juga harus

mengelola menurut peraturan pemerintah (UU) yang biasanya adalah petunjuk

umum untuk mengelola perusahaan. Pemegang saham korporasi secara hukum

mempunyai tanggung jawab yang terbatas artinya mereka tidak harus

menanggung secara pribadi kegiatan perusahaan. Pemegang saham hanya dapat

menanggung kerugian sebatas modal yang ditanamkannya.

Pemegang saham mendapatkan imbalan atasinvestasi mereka melalui dua

cara. Pertama, mereka bisa menerima dividen dari perusahaan dimana suatu porsi

dari laba perusahaan tiga bulan terakhir yang didistribusikan kepada para

pemegang saham. Kedua, harga saham yang dimilikinya mungkin naik dipasaran.

Keadaan perusahaan yang lebih menguntungkan maka nilai saham dipasaran

11

cenderung naik artinya nilai saham pemilik juga naik sehingga mereka bisa

mendapatkan keuntungan dalam menjual saham dengan harga yang tinggi.

Sebagian besar perusahaan merupakan badan usaha dengan kepemilikan umum

artinya saham-sahamnya dapat dengan mudah diperjualbelikan oleh para investor.

Pemegang saham dari suatu perusahaan dapat menjual saham mereka apabila

mereka kecewa dengan kinerja perusahaan atau memperkirakan sahamnya tidak

akan naik harganya dikemudian hari (Madura 2001:39).

2.1.2 Saham dan Keuntungan Investasi

Menurut Anaroga (2001:58) saham adalah surat berharga sebagai bukti

penyertaan atau pemilikan individu atau institusi dalam suatu perusahaan. Saham

menarik bagi investor karena adanya keuntungan yang dapat dinikmati. Harapan

keuntungan yang dapat dinikmati dari investasi antara lain:

1. Dividen merupakan bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan pada

pemilik saham.

2. Capital Gain merupakan keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan

harga belinya.

3. Manfaat non financial yaitu timbul kebanggaan dan kekuasaan memperoleh

suara dalam menentukan jalannya perusahaan.

Menurut Anaroga (2001:76) berdasarkan fungsinya nilai suatu saham dapat dibagi

atas tiga, yaitu:

1. Par Value (nilai nominal)

Nilai nominal merupakan nilai yang tercantum pada saham untuk tujuanya

kuntansi. Nilai ini tidak digunakan untuk mengukur sesuatu.

12

2. Base Price (harga dasar)

Harga perdana (untuk menentukan) nilai dasar dipergunakan dalam perhitungan

indeks harga saham. Harga dasar akan berubah sesuai dengan aksi emiten.

3. Market Price (harga pasar)

Harga pasar merupakan harga pada pasar riil dan merupakan harga yang

paling mudah ditentukan karena merupakan harga dari suatu saham pada pasar

yang sedang berlangsung atau jika pasar sudah ditutup maka harga pasar adalah

harga penutupannya (closing price). Harga pasar ini merupakan harga jual dari

investor yang satu dengan investor yang lain. Harga pasar inilah yang menentukan

naik atau turunnya suatu saham dan setiap hari harga saham ini diumumkan pada

media.

Saham pada umumnya mempunyai tiga karakteristik utama yang

membedakan dengan kesempatan investasi yang lain. Menurut Hanantyo

(2006:15) karakteristik yang membedakan tersebut adalah:

1. Saham tidak menjanjikan pendapatan yang bersifat tetap atau pasti,

2. Pemilik atau pemegang saham biasa akan memiliki hak untuk ikut serta dalam

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),

3. Saham biasa tidak memiliki masa jatuh tempo tertentu.

Anaroga (2001:54) membedakan jenis saham antara lain saham biasa

(common stock) dan saham preferen (preferred stock). Saham biasa merupakan

saham yang tidak memperoleh hak istimewa. Pemegang saham biasa mempunyai

hak untuk memperoleh dividen selama perseroan memperoleh keuntungan.

Pemilik saham mempunyai hak suara dalam RUPS sesuai dengan jumlah saham

13

yang dimilikinya. Apabila perusahaan hanya mengeluarkan satu kelas atau satu

jenis saham saja, saham ini disebut saham biasa (common stock). Untuk menarik

investor potensial lainnya suatu perusahaan mungkin juga mengeluarkan kelas

lain dari saham yaitu yang disebut dengan saham preferen (preferred stock).

Saham preferen merupakan saham yang diberikan atas hak untuk mendapatkan

dividen atau bagian kekayaan pada saat perusahaan dilikuidasi terlebih dahulu

dari saham biasa.Saham preferen mempunyai hak-hak prioritas lebih dari saham

biasa. Hak-hak prioritas dari saham preferen yaitu hak atas dividen yang tetap dan

hak terhadap aktiva jika terjadi likuidasi. Akan tetapi pada umumnya, saham

preferen tidak mempunyai hak veto seperti yang dimiliki oleh saham biasa

(Jogiyanto 2003:67).

Miller dan Modigliani (1961) dalam Jogiyanto (2003:421) menunjukkan

bahwa dividen sifatnya adalah tidak relevan didalam menentukan nilai dari

perusahaan namun masih banyak perusahaan yang membayar dividen bahkan

meningkatkan nilai dividennya. Akan tetapi hasil studi yang terbaru lebih

mendukung bahwa dividen mengandung informasi. Beberapa pendekatan telah

digunakan untuk menguji kandungan informasi dari dividen. Dalam Jogiyanto

(2003:421) pendekatan yang dilakukan adalah memasukkan dividen ke dalam

model laba untuk memprediksi laba masa depan. Dividen mempunyai informasi

jika kekuatan prediksi model laba menjadi meningkat dan menyebabkan laba.

Dividen yang diperoleh oleh investor dipengaruhi oleh kemampuan manajemen

perusahaan untuk beroperasi secara menguntungkan ditengah-tengah lingkungan

usaha yang semakin kompetitif. Dengan kinerja yang baik maka kelangsungan

14

hidup dan pertumbuhan perusahaan juga akan lebih terjamin sehingga harapan

investor untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang dapat terpenuhi.

2.1.3 Kandungan Informasi atas Laba dan Reaksi Pasar

Laba secara akuntansi merupakan perbedaan antara realisasi penghasilan

yang berasal dari transaksi perusahaan pada periode tertentu dikurangi dengan

biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut (Harahap2002

dalam Siti L, 2006:6). Menurut Belkaoui(2007:226) laba adalah hal yang

mendasar dan penting dari laporan keuangan dan memiliki banyak kegunaan di

berbagai konteks. Laba pada umumnya dipandang sebagai dasar untuk

perpajakan, penentu dari kebijakan, pembayaran dividen, panduan dalam

melakukan investasi dan pengambilan keputusan dan satu elemen dalam

peramalan. Laba akuntansi secara operasional dapat didefinisikan sebagai

perbedaan antara realisasi laba yang tumbuh dari transaksi-transaksi selama

periode berlangsung dan biaya-biaya histori yang berhubungan (Belkaoui

2007:229). Definisi tersebut menunjukkan adanya lima karakteristik yang terdapat

dalam laba akuntansi:

1. Laba muncul dari penjualan barang atau jasa dikurangi biaya-biaya yang

dibutuhkan untuk melakukan penjualan tersebut yang didasarkan pada postulat

periode dan mengacu pada kinerja keuangan dari perusahaan selama satu

periode tertentu.

2. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip laba dan membutuhkan definisi,

pengukuran dan pengakuan pendapatan.

15

3. Laba akuntansi meminta adanya pengukuran beban-beban dari segi biaya

historinya terhadap perusahaan, yang menunjukan ketaatan yang tinggi pada

prinsip biaya.

4. Laba akuntansi meminta penghasilan yang terealisasi diperiode tersebut

dihubungkan dengan biaya-biaya relevan yang terkait.

Tidak adanya persamaan pendapat untuk mendefinisikan laba secara tepat

disebabkan oleh luasnya penggunaan konsep laba. Para pemakai laporan

keuangan mempunyai konsep laba sendiri yang dianggap paling cocok untuk

pengambilan keputusan mereka. Nilai pada laporan keuangan seperti laba bersih

perusahaan dianggap sebagai sinyal yang menunjukkan nilai dari perusahaan. Hal

ini menjadikan perhatian investor dan calon investor terpusat pada laba suatu

perusahaan. Seorang investor yang rasional akan membuat prediksi terlebih

dahulu sebelum membuat keputusan dengan mengamati sinyal yang diberikan

perusahaan. Investor sering memusatkan perhatiannya hanya pada informasi laba

tanpa memperhatikan prosedur yang digunakan untuk menghasilkan informasi

laba tersebut. Hal ini lah yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen

atas laba (earnings management) dan menyebabkan manajemen untuk mengelola

laba dalam usahanya membuat entitas tampak bagus secara finansial. Salah satu

tindakan manajemen atas laba yang dapat dilakukan adalah tindakan income

smoothing (perataan laba).

Watt and Zimmerman 1986(dalam Khafid,2004:43), pengujian kandungan

informasi atas laba dimaksudkan untuk melihat reaksi dari suatu pengumuman.

Secara sederhana Juniarti (2005:151) mengatakan bahwa harga saham dipasar

16

modal setiap saat bisa mengalami perubahan (naik atau turun). Beberapa faktor

yang mempengaruhi harga saham, antara lain:

1. Harapan investor terhadap tingkat pendapatan dividen untuk masa yang akan

datang. Apabila tingkat pendapatan dan dividen suatu saat stabil maka harga

saham cenderung stabil. Sebaliknya jika tingkat pendapatan dan dividen

berfluktuasi karena siklus perusahaan atau perubahan teknologi maka harga

saham berfluktuasi juga.

2. Tingkat pendapatan perusahaan. Tingkat pendapatan tercermin dari earnings

per share (EPS) terkait dengan kenaikan harga saham. Apabila fluktuasi dari

EPS semakin besar maka harga saham akan semakin besar pula.

3. Kondisi perekonomian. Kondisi yang akan datang selalu dipengaruhi oleh

kondisi perekonomian saat ini. Apabila kondisi perekonomian saat ini stabil

dan mantap maka investor optimis terhadap kondisi yang akan datang

sehingga harga saham cenderung stabil dan demikian sebaliknya.

Terdapat dua cara dalam menentukan harga saham yaitu melalui harga

saham setelah publikasi laporan keuangan dan harga saham penutupan rata-rata.

Perdagangan saham dipasar modal dipengaruhi oleh kondisi keuangan serta

prospek masa depan perusahaan. Selain faktor internal perusahaan, faktor

eksternal perusahaan juga mempengaruhi perdagangan saham (Marhaen 2006:19).

Faktor-faktor diluar perusahaan yang dapat mempengaruhi perdagangan saham

antara lain kebijakan pemerintah, perkembangan kurs, kondisi bursa, volume dan

frekuensi dibursa, kekuatan pasar, tingkat inflasi, kebijakan moneter, kondisi

ekonomi dan keadaan politik. Harga saham mencerminkan nilai intrinsik suatu

17

saham (nilai intrinsik merupakan nilai yang mengandung unsur kekayaan

perusahaan dan unsur potensi perusahaan untuk menghimpun laba dimasa yang

akan datang). Harga saham tersebut diartikan sebagai harga yang dibentuk dari

interaksi penjual dan pembeli saham yang dilatar belakangi oleh harapan mereka

terhadap profit perusahaan. Reaksi pasar yang ditunjukkan dengan perubahan

harga sekuritas tersebut dapat diukur dengan menggunakan return atau dengan

abnormal return sebagai nilai perubahan harga. Pengembalian abnormal

diperhitungkan sebagai perbedaan antara pengembalian aktual ex-post dari surat

berharga dan pengembalian normal perusahaan setelah jendela peristiwa. Jika

digunakan abnormal return maka dapat dikatakan bahwa suatu pengumuman

yang mempunyai kandungan informasi akan memberikan abnormal return kepada

pasar sebaliknya yang tidak mengandung informasi tidak memberikan abnormal

return kepada pasar (Simamora 2000:410).

Foster (1986)dalam Khafid (2004:43) menyebutkan bahwa pengumuman

yang berhubungan dengan laba (Earnings Related Announcements) merupakan

salah satu pengumuman yang dapat mempengaruhi harga sekuritas atau saham.

Pendapat Foster tersebut menjadi dasar dari penelitian ini untuk melihat reaksi

pasar atas pengumuman laba (melalui laporan keuangan khususnya laporan laba

rugi) dari perusahaan yang melakukan income smoothing. Beaver 1968 (dalam

Assih, 2000:37) menyebutkan bahwa bila pengumuman laba tahunan

mengandung informasi, variabilitas perubahan harga akan nampak lebih besar

pada saat laba diumumkan daripada saat lain selama tahun yang bersangkutan

karena terdapat perubahan dalam keseimbangan nilai harga saham saat itu selama

18

periode pengumuman. Hasil penelitiannya memberi bukti bahwa perilaku harga

dan volume sekitar tanggal pengumuman mengidentifikasikan bahwa laba

tahunan mengandung informasi yang relevan untuk penilaian perusahaan.

2.1.4 Manajemen Laba dan Income Smoothing

Pada dasarnya definisi operasional dari manajemen laba adalah potensi

penggunaan manajemen akrual dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi

(Belkaoui 2007:201). Sedangkan Fischer dan Rosenzweig 1995(dalam Khafid,

2004:42) mendefinisikan manajemen laba sebagai, “…action ofa manager which

serve to increase (decrease) current reported earnings of theunit which the

manager is responsible without generating a corresponding increase decrease) in

a long term economics profitability of the unit”. Definisi tersebut tidak hanya

terbatas pada perilaku tetapi lebih luas mencakup seluruh tindakan yang dilakukan

oleh manajemen untuk mengelola laba. Stolowy dan Breton 2000(dalam Juniarti,

2005:150), praktek mengenai manajemen laba dipandang sebagai bentuk

manipulasi akuntansi. Sedangkan dalam Juniarti, 2005:150 mengatakan earnings

management sebagai a purposeful intervention by management in the earnings

determination process, usually to satisfy objectives. Menurut Juniarti, (2005:150)

menyebutkan bahwa manajemen laba didefinisikan sebagai suatu praktek

pelaporan earnings yang lebih merefleksikan keinginan manajemen daripada

performa keuangan perusahaan. Adapun Merchant 1989 (dalam, Wirda 2007:15)

mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh

manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan yang dapat

memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis yang dalam jangka

19

panjang dapat merugikan perusahaan. Dengan adanya praktek manajemen laba,

reliabilitas dari laba akan tereduksi. Hal ini disebabkan karena di dalam

manajemen laba terdapat pembiasan pengukuran income (dinaikkan atau

diturunkan) sehingga melaporkan income yang tidak representationally

faithfulness seperti yang seharusnya dilaporkan. Isu-isu dalam manajemen laba

antara lain:

1. Manajemen laba bertujuan untuk memenuhi harapan dari analis keuangan atau

manajemen.

4. Manajemen laba terjadi dalam konteks suatu kumpulan pelaporan yang

fleksibel dan seperangkat kontrak tertentu yang menentukan pembagian aturan

diantara pemegang kepentingan.

5. Strategi perusahaan bagi manajemen laba mengikuti satu atau lebih dari tiga

pendekatan (memilih dari pilihan-pilihan yang ada dalam GAAP, pilihan

aplikasi yang ada dalam opsi menggunakan akuisisi serta deposisi aktiva dan

waktu untuk melaporkannya).

6. Manajemen laba merupakan suatu hasil usaha untuk melewati ambang batas.

7. Manajemen laba dapat berasal dari pemenuhan perjanjian dari kontrak

kompensasi implisit.

8. Manajemen laba tumbuh dari ancaman dua bentuk aturan yakni aturan industri

spesifik dan aturan anti trust.

9. Laba negatif secara tiba-tiba umumnya lebih merugikan daripada revisi

ramalan negatif (Menurut Belkaoui 2007:206).

20

Salah satu pola atau tindakan manajemen atas laba yang dapat dilakukan

yaitu perataan laba. Menurut Koch 1981 (dalam Mursalim, 2003:162) tindakan

perataan laba dapat didefinisikan sebagai suatau sarana yang digunakan

manajemen untuk mengurangi variabilitas urut-urutan, pelaporan laba relatif

terhadap beberapa urut-urutan target yang terlihat karena adanya manipulasi

variabel-variabel akuntansi semu (artificial smoothing) atau transaksi riil (real

smoothing). Sedangkan definisi dari Poll (2004) dalam Juniarti (2005:150)

smoothing of income is a way of removing volatility in earnings by leveling off the

earnings peaks and raising the valleys. Fudenberg dan Tirole 1995 (dalam

Nurkhabib, 2004:11) mendefinisikan perataan laba sebagai proses manipulasi

profil waktu earnings atau pelaporan earnings agar aliran laba yang dilaporkan

perubahannya lebih sedikit. Definisi income smoothing lainnya yang

dikemukakan Beidelman (1973) dalam Anis C (2000:231) adalah perataan laba

yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk

meratakan atau memfluktuasikan tingkat laba sehingga pada saat sekarang

dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal ini perataan laba

menunjukkan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi

abnormal laba dalam batas-batas yang diizinkan dalam praktek akuntansi dan

prinsip manajemen yang wajar. Beidleman 1973 dalam Belkaoui (2007:193)

mempertimbangkan dua alasan manejemen meratakan laporan laba. Pendapat

pertama berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat

mendukung dividen dengan tingkatyang lebih tinggi daripada suatu aliran laba

yang variabel sehingga memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai

21

saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan secara

keseluruhan. Argumen kedua berkenaan pada perataan kemampuan untuk

melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan

menurunkan korelasi antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan

pengembalian fortofolio pasar. Hal tersebut merupakan hasil dari kebutuhan

manajemen untuk menetralisir ketidakpastian lingkungan dan menurunkan

fluktuasi yang luas dalam kinerja operasi perusahaan terhadap siklus waktu baik

maupun waktu buruk yang berganti-ganti.

Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang

menolak resiko (Fudenberg dan Tirole 1995 dalam Salno 2000:16) dan manajer

yang menolak resiko terdorong untuk melakukan perataan laba. Demikian juga

dalam hubungannya dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang

menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam Salno 2000:16).

Hasil penelitian Khafid (2004:42) juga menunjukkan adanya motivasi kuat yang

mendorong manajer melakukan perataan laba, adapun Beidelman 1973 dalam

Assih (2000:37) percaya bahwa manajemen melakukan perataan laba untuk

menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return

dengan pasar. Sedangkan Barnes et.al (1976) dalam Assih (2000:37) menyatakan

bahwa manajer melakukan perataan laba untuk mengurangi fluktuasi dalam laba

yang dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi

aliran kas dimasa yang akan datang. Dilain pihak menurut Dye (1988) dalam

Khafid (2004:43) menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya

motivasi internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal menunjukkan maksud

22

pemilik untuk meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer

agar melakukan praktek manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha

pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial

terhadap nilai perusahaan. Menurut Belkaoui (2007:194) tiga batasan yang

mungkin mempengaruhi para manajer untuk melakukan perataan laba adalah:

1. Mekanisme pasar yang kompetitif sehingga mengurangi jumlah pilihan yang

tersedia bagi manajemen.

2. Skema kompensasi manajemen yang terhubung langsung dengan kinerja

perusahaan.

3. Ancaman penggantian manajemen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi income smoothing sangat beragam

sebagaimana dikemukakan oleh beberapa peneliti terdahulu dalam Salno(2000:20)

beberapa faktor yang mempengaruhi perataan laba antara lain ukuran perusahaan,

profitabilitas, sektor industri, harga saham, leverage operasi, rencana bonus dan

kebangsaan. Apabila dipandang dari sisi manajemen, Hepwort dalam Salno

(2000:19) mengungkapkan bahwa manajer yang termotivasi melakukan perataan

laba atau penghasilan pada dasarnya ingin mendapatkan berbagai keuntungan

ekonomi dan psikologis, antara lain mengurangi total pajak terutang,

meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan

yang stabil mendukung kebijakan dividen yang stabil pula, meningkatkan

hubungan manajer dengan karyawan karena pelaporan penghasilan yang

meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan

upah, siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan dan

23

gelombang optimisme atau pesimisme dapat diperlunak sedangkan tujuan yang

lainnya adalah untuk memberikan kesan baik pada pemilik dan kreditor terhadap

kinerja manajemen (Stolowy dan Breton 2000 dalam Juniarti 2005:150) untuk

menjaga posisi atau kedudukan mereka dalam perusahaan (Spohr 2004 dalam

Juniarti 2005:150).Davis Gordon dalam Belkaoui (2007:193) mengusulkan

bahwa:

1. kriteria yang dipakai oleh manajemen perusahaan dalam memilih prinsip-

prinsip akuntansi adalah untuk memaksimalkan kegunaan dan kesejahteraan.

Kegunaan yang sama adalah suatu fungsi keamanan pekerjaan, peringkat dan

tingkat pertumbuhan gaji serta peringkat dan tingkat pertumbuhan ukuran

perusahaan.

2. kepuasan dari pemegang saham terhadap kinerja perusahaan meningkatkan

status dan penghargaan dari para manajer.

3. kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan stabilitas dari

pendapatan perusahaan.

Perataan mungkin terkait dengan ukuran perusahaan, keberadaan insentif

bonus dan penyimpangan laba aktual dengan laba ekspektasi yang telah diprediksi

sebelumnya Poll 2004 (dalam Juniarti2005:150). Dascher dan Malcolm Anis C

(2000:232) menyatakan bahwa ada beberapa media yang biasanya digunakan

manajemen dalam melakukan income smoothing yaitu real smoothing dan

artificial smoothing. Perataan riil mengacu pada transaksi aktual yang terjadi

maupun tidak terjadi dalam hal pengaruh perataan sedangkan perataan artifisial

mengacu pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan terhadap pergeseran

24

biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode yang lain. Namun disamping

kedua media tersebut masih terdapat dimensi atau media lain untuk melakukan

income smoothing, yaitu classificatory smoothing.

Dilakukan melalui pengklasifikasian pos-pos laporan intralaba untuk

menurunkan variasi yang terjadi dari waktu ke waktu dalam statistik. Pendapat

tersebut senada dengan tulisan Sofyan Safiri (2003:232) yakni income smoothing

dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu mengatur waktu kejadian transaksi,

memilih prinsip atau metode alokasi, mengatur penggolongan laba yakni antara

laba operasi normal dengan laba yang bukan dari operasi normal. Ronen dan

Sadan dalam Nurkhabib (2004:16) menunjukkan bahwa perataan laba yang

melalui periode waktu tertentu dapat dilakukan melalui tiga cara:

1. Manajemen dapat menentukan waktu terjadinya kejadian tertentu melalui

kebijakan yang dimiliki untuk mengurangi variasi laba yang dilaporkan.

2. Manajemen dapat mengalokasikan pendapatan atau biaya tertentu untuk

beberapa periode akuntansi.

3. Manajemen memiliki kebijakan sendiri untuk mengklasifikasikan pos-pos laba

atau rugi tertentu dalam kategori yang berbeda.

Unsur laporan keuangan yang sering dijadikan sasaran perataan laba adalah

unsur penjualan dan unsur biaya. Menurut Foster dalan Nurkhabib (2004:17)

unsur-unsur laporan keuangan yang sering dijadikan sasaran perekayasaan adalah:

1. Unsur penjualan

saat pembuatan faktur, pembuatan pesanan atau penjualan fiktif, downgrading

(penurunan) produk.

25

2. Unsur biaya

memecah-mecah faktur, mencatat prepayment (biaya dibayar dimuka) sebagai

biaya.

Stabilitas laba dapat diukur dengan menggunakan beberapa ukuran

stabilitas laba yang dikemukakan Siegel (1997) sebagaimana dikutip oleh

Nurkhabib (2004:15):

1. Rata-rata laba (average reported earnings)

Rata-rata laba dicari dengan menjumlahkan semua laba yang hendak diamati

dan dibagi dengan jumlah periode pengamatan. Rata-rata laba pesimis

(average pessimistic earnings) didasarkan atas kemungkinan terburuk yang

dapat dialami oleh perusahaan, penggunaan laba minimum ini berguna ketika

perusahaan beresiko tinggi. Hal ini dilakukan dengan menyatakan kembali

laba menjadi laba minimum dari periode-periode yang hendak diamati. Dari

laba minimum tersebut dicari rata-ratanya.

2. Standar deviasi

Standar deviasi dicari untuk laba atau laba pesimis. Standar deviasi yang

semakin besar menunjukkan variabilitas yang lebih besar (laba yang lebih

tidak stabil).

3. Indeks instabilitas Laba (instability index of earnings)

Indeks ini mencerminkan deviasi antara laba aktual dan laba trend.Semakin

tinggi indeks maka semakin rendah kualitas laba perusahaan.

26

4. Beta

Beta merupakan ukuran resiko sistematis yang tidak dapat dihilangkan dengan

melakukan diverifikasi. Apabila beta meningkat maka variabilitas perusahaan

lebih besar jika terjadi perubahan dalam pasar. Tidak semua negara

menganggap income smoothing sebagai tindakan manipulasi yang dilarang,

contohnya adalah Swedia. Negara tersebut membenarkan adanya perlakuan

income smoothing, sepanjang dilakukan dan dibuat secara transparan.

2.1.5 Earnings Response Cofficient (ERC)

Kuatnya reaksi pasar terhadap informasi laba akan tercermin pada

tingginya ERC, demikian sebaliknya lemahnya reaksi pasar terhadap informasi

laba akan tercermin pada rendahnya ERC, hal itu menunjukkan bahwa laba yang

dilaporkan kurang berkualitas. ERC mengukur seberapa besar return saham dalam

merespon laba yang dilaporkan oleh perusahaan, dengan kata lain terdapat variasi

hubungan antara laba perusahaan dengan return saham (Scott, 2000) dalam

Sayekti (2007).

Nilai ERC diprediksi akan lebih tinggi jika laba perusahaan di masa depan

lebih presisten. Hal ini berarti bahwa laba yang dihasilkan berkualitas. Presistensi

laba merupakan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan laba perusahaan

di masa depan (Murwaningsih, 2011). Investor akan memberikan reaksi yang baik

pada perusahaan yang dinilai mampu mempertahankan laba perusahaan di masa

depan. Laba akuntansi yang berkualitas adalah laba yang memiliki sedikit

gangguan persepsi (noise) di dalamnya dan dapat menggambarkan kinerja

keuangan perusahaan yang sesungguhnya. Semakin besar gangguan persepsi

27

(noise) dalam laba akuntansi (semain rendah kualitas laba akuntansi) maka

semakin kecil ERC.

Perusahaan yang memiliki growth opportunities diharapkan memberikan

profitabilitas yang baik sehingga mampu menghasilkan laba yang lebih presisten.

Dengan demikian semakin tinggi kesempatan perusahaan untuk bertumbuh maka

ERC semakin tinggi Scott (2000) dalam Sayekti (2007). Beta perusahaan

mencerminkan risiko sistematis perusahaan. Investor akan menggunakan

informasi laba sekarang untuk memperdiksi laba dan return masa datang, jika

return masa datang semakin berisiko maka reaksi investor terhadap unexpected

earnings perusahaan semakin rendah. Dengan kata lain semakin tinggi beta

perusahaan maka ERC akan semakin rendah (Scott, 2000 dalam Sayekti, 2007).

Jika suatu pengumuman mengandung informasi, maka dimaksudkan pasar

akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar. Reaksi pasar

adalah perubahan harga dari sekuritas yang bersangkutan. Dimana reaksi pasar

dapat diukur dengan menggunakan Abnormal return. Abnormal return adalah

selisih antara tingkat keuntungan sebenarnya (actual return) dengan tingkat

keuntungan yang diharapkan (expeted return). Abnormal return tersebut diukur

dengan menggunakan:

a. Actual Return

Actual return ini diukur dengan cara, harga penutupan pada hari tertentu

dikurangi dengan harga penutupan pada hari sebelumnya, dibagi harga

penutupan hari sebelumnya.

28

b. Expected Return

Expected return ini dicerminkan oleh Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG),

yakni indeks pasar penutupan pada hari tertentu dikurangi dengan hari

sebelumnya, dibagi dengan indeks pasar penutupan hari sebelumnya.

Secara teoritis reaksi pasar atas publikasi laporan keuangan akan terjadi

setelah tanggal publikasi. Hal ini disebabkan karena para investor akan

memanfaatkan informasi yang ada didalam laporan keuangan untuk memutuskan

investasinya untuk membeli atau menjual saham di pasar modal, hal tersebut

sesuai dengan hasil penelitian ini.

2.1.6 Income Smoothing

Salah satu pola atau tindakan manajemen atas laba yang dapat dilakukan

yaitu adanya manipulasi variabel-variabel akuntansi semu (artificial smoothing)

atau transaksi riil (real smoothing), sedangkan definisi dari Poll (2004) dalam

Juniarti (2005:150) smoothing of income is a way of removing volatility

inearnings by leveling off the earnings peaks and raising the valleys. Definisi lain

mengenai income smoothing adalah definisi yang dikemukakan oleh Belkaoui

(2007:192) perataan laba merupakan normalisasi laba yang dilakukan secara

sengaja untuk mencapai trend atau tingkat yang diinginkan. Frudenberg dan

Tirole (1995) dalam Nurkhabib (2004:11) mendefinisikan perataan laba sebagai

proses manipulasi profil waktu earnings atau pelaporan earnings agar aliran laba

yang dilaporkan perubahannya lebih sedikit. Menurut Koch (1981) dalam

Mursalim (2003:162) tindakan perataan laba dapat didefinisikan sebagai suatau

sarana yang digunakan manajemen untuk mengurangi variabilitas urut-urutan,

29

pelaporan laba relatif terhadap beberapa urut-urutan target yang terlihat karena

dikemukakan Beidelman (1973) Anis C (2000:231) adalah perataan laba yang

dilaporkan dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau

memfluktuasikan tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi

suatu perusahaan. Dalam hal ini perataan laba menunjukkan suatu usaha

manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal laba dalam batas-

batas yang diizinkan dalam praktek akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar.

Beidleman dalam Belkaoui (2007:193) mempertimbangkan dua alasan

manajemen meratakan laporan laba. Pendapat pertama berdasar pada asumsi

bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung dividen dengan tingkat yang

lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang variabel sehingga memberikan

pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan

turunnya tingkat resiko perusahaan secara keseluruhan. Argumen kedua

berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba yang

bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi antara ekspektasi

pengembalian perusahaan dengan pengembalian fortofolio pasar. Hal tersebut

merupakan hasil dari kebutuhan manajemen untuk menetralisir ketidakpastian

lingkungan dan menurunkan fluktuasi yang luas dalam kinerja operasi perusahaan

terhadap siklus waktu baik maupun waktu buruk yang berganti-ganti.

Manajemen laba berbeda dengan kecurangan. Perbedaan tersebut terletak

pada tingkat kepatuhan terhadap standar akuntansi. Manajemen laba merupakan

rekayasa pelaporan keuangan dalam batas-batas tertentu yang tidak melanggar

standar pelaporan keuangan. Hal ini dilakukan oleh manejemen dengan

30

memanfaatkan wewenangnya dalam memilih metode akuntansi yang diizinkan

oleh standar. Manajer memiliki fleksibilitas dalam membuat pilihan metode

maupun kebijakan akuntansi dari berbagai alternative metode dan kebijakan

akuntansi yang ada, yang menurut preferensi manajer paling menguntungkan pada

periode pelaporan. Manajemen banyak memanfaatkan standar pelaporan

keuangan dengan cara menerapkan standaryang dipercepat pengadobsiannya.

Selain itu standar juga dijadikan sebagai alat untuk melaporkan kondisi

perusahaan. Fleksibilitas yang terdapat dalam standar akuntansi pada akhirnya

menyebabkan tindakan tersebut sah dengan sendirinya. Sedangkan kecurangan

dalam pelaporan keuangan lebih merupakan upaya manajemen untuk

menyembunyikan atau memanipulasi sebagian atau seluruh informasi keuangan

dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah orang yang

menolak resiko (Fudenberg dan Tirole 1995 dalam Salno 2000:16) dan manajer

yang menolak resiko terdorong untuk melakukan perataan laba. Demikian juga

dalam hubungannya dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang

menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam Salno 2000:16).

Hasil penelitian Khafid (2004:42) juga menunjukkan adanya motivasi kuat yang

mendorong manajer melakukan perataan laba. Bidleman dalam Assih (2000:37)

percaya bahwa manajemen melakukan perataan laba untuk menciptakan suatu

aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return dengan pasar,

sedangkan Barnea et. al (1976) dalam Assih (2000:37) menyatakan bahwa

manajer melakukan perataan laba untuk mengurangi fluktuasi dalam laba yang

31

dilaporkan dan meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi aliran kas

dimasa yang akan datang. Di lain pihak menurut Dye (1988) dalam Khafid

(2004:43) menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya motivasi

internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal menunjukkan maksud pemilik

untuk meminimalisasi biaya kontrak manajer dengan membujuk manajer agar

melakukan praktek manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha

pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial

terhadap nilai perusahaan. Menurut Belkaoui(2007:194) tiga batasan yang

mungkin mempengaruhi para manajer untuk melakukan perataan laba adalah:

1. Mekanisme pasar yang kompetitif sehingga mengurangi jumlah pilihan yang

tersedia bagi manajemen.

2. Skema kompensasi manajemen yang terhubung langsung dengan kinerja

perusahaan.

3. Ancaman penggantian manajemen.

Faktor-faktor yang mempengaruhi income smoothing sangat beragam

sebagaimana dikemukakan oleh beberapa peneliti terdahulu dalam Salno

(2000:20) beberapa faktor yang mempengaruhi perataan laba antara lain ukuran

perusahaan, profitabilitas, sektor industri, harga saham, leverage operasi, rencana

bonus dan kebangsaan. Apabila dipandang dari sisi manajemen, Hepwort dalam

Salno (2000:19) mengungkapkan bahwa manajer yang termotivasi melakukan

perataan laba atau penghasilan pada dasarnya ingin mendapatkan berbagai

keuntungan ekonomi dan psikologis, antara lain mengurangi total pajak terutang,

meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan

32

yang stabil mendukung kebijakan dividen yang stabil pula, meningkatkan

hubungan manajer dengan karyawan karena pelaporan penghasilan yang

meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan

upah, siklus peningkatan danpenurunan penghasilan dapat ditandingkan dan

gelombang optimisme atau pesimisme dapat diperlunak, sedangkan tujuan yang

lainnya adalah untuk memberikan kesan baik pada pemilik dan kreditor terhadap

kinerja manajemen (Stolowy dan Breton 2000 dalam Juniarti 2005:150) untuk

posisi atau kedudukan mereka dalam perusahaan (Spohr 2004 dalam Juniarti

2005:150). Davis Gordon dalam Belkaoui (2007:193) mengusulkan bahwa:

1. Kriteria yang dipakai oleh manajemen perusahaan dalam memilih prinsip-

prinsip akuntansi adalah untuk memaksimalkan kegunaan dan kesejahteraan.

2. Kegunaan yang sama adalah suatu fungsi keamanan pekerjaan, peringkatdan

tingkat pertumbuhan gaji serta peringkat dan tingkat pertumbuhan ukuran

perusahaan.

3. Kepuasan dari pemegang saham terhadap kinerja perusahaan meningkatkan

status dan penghargaan dari para manajer.

4. Kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan stabilitas dari

pendapatan perusahaan.

Perataan mungkin terkait dengan ukuran perusahaan, keberadaan insentif

bonus dan penyimpangan laba aktual dengan laba ekspektasi yang telah diprediksi

sebelumnya ( Poll 2004 dalam Juniarti2005:150). Dascher dan Malcolm (1970)

dalam Anis C (2000:232) menyatakan bahwa ada beberapa media yang biasanya

digunakan manajemen dalam melakukan income smoothing yaitu real smoothing

33

dan artificial smoothing. Perataan riil mengacu pada transaksi aktual yang terjadi

maupun tidak terjadi dalam hal pengaruh perataan sedangkan perataan artifisial

mengacu pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan terhadap pergeseran

biaya dan pendapatan dari satu periode ke periode yang lain. Namun disamping

kedua media tersebut masih terdapat dimensi atau media lain untuk melakukan

income smoothing, yaitu classificatory smoothing. Barnea et.al 1976 dalamAnis C

(2000:232) membedakan ketiga dimensi perataan tersebut sebagai berikut:

1. Perataan melalui adanya kejadian dan atau pengakuan.

Manajemen dapat menentukan waktu transaksi aktual terjadi sehingga

pengaruhnya terhadap pelaporan pendapatan akan cenderung mengurangi

variasi dari waktu ke waktu.

2. Perataan melalui alokasi terhadap waktu.

Melalui kejadian dan pengakuan atas suatu peristiwa, manajemen memiliki

kendali yang lebih bebas terhadap determinasi atas periode-periode yang

dipengaruhi oleh kuantifikasi dari peristiwa.

3. Perataan melalui klasifikasi.

Dilakukan melalui pengklasifikasian pos-pos laporan intralaba untuk

menurunkan variasi yang terjadi dari waktu ke waktu dalam statistik.

Pendapat tersebut senada dengan tulisan Sofyan Safiri (2003:232) yakni

income smoothing dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu mengatur waktu

kejadian transaksi, memilih prinsip atau metode alokasi, mengatur penggolongan

laba yakni antara laba operasi normal dengan laba yang bukan dari operasi

normal. Ronen dan Sadan dalam Nurkhabib (2004:16) menunjukkan bahwa

34

perataan laba yang melalui periode waktu tertentu dapat dilakukan melalui tiga

cara:

1. Manajemen dapat menentukan waktu terjadinya kejadian tertentu melalui

kebijakan yang dimiliki untuk mengurangi variasi laba yang dilaporkan.

2. Manajemen dapat mengalokasikan pendapatan atau biaya tertentu untuk

beberapa periode akuntansi.

3. Manajemen memiliki kebijakan sendiri untuk mengklasifikasikan pos-pos laba

atau rugi tertentu dalam kategori yang berbeda.

Menurut Nurkhabib (2004:13) menyebutkan bentuk-bentuk manipulasi

laba sebagai berikut:

1. Klasifikasi berita baik dan berita buruk

Dimana manajemen cenderung melaporkan berita baik sebagai bagian dari

operasi dan melaporkan berita buruk sebagai pos-pos luar biasa.

2. Perataan laba dimana manajemen dalam tahun-tahun yang baik mengurangi

laba (menunda pendapatan atau keuntungan dan mengakui segera biaya atau

kerugian) serta membesarkan laba pada tahun-tahun suram (mengakui segera

pendapatan atau keuntungan dan menunda biaya atau kerugian).

3. Big Bath Behavior yang merupakan kontras dari perataan laba dimana pada

tahun yang suram manajemen cenderung mengakui kerugian potensial

sehingga pada tahun-tahun berikutnya tersebut tidak muncul.

4. Perubahan akuntansi.

35

Stabilitas laba dapat diukur dengan menggunakan beberapa ukuran

stabilitas laba yang dikemukakan Siegel (1997) sebagaimana dikutip oleh

Nurkhabib(2004:15):

1. Rata-rata laba (average reported earnings)

Rata-rata laba dicari dengan menjumlahkan semua laba yang hendak diamati

dan dibagi dengan jumlah periode pengamatan.

2. Rata-rata laba pesimis (average pessimistic earnings)

Rata-rata laba pesimis didasarkan atas kemungkinan terburuk yang dapat

dialami oleh perusahaan, penggunaan laba minimum ini berguna ketika

perusahaan beresiko tinggi. Hal ini dilakukan dengan menyatakan kembali

laba menjadi laba minimum dari periode-periode yang hendak diamati. Dari

laba minimum tersebut dicari rata-ratanya.

3. Standar deviasi

Standar deviasi dicari untuk laba atau laba pesimis. Standar deviasi yang

semakin besar menunjukkan variabilitas yang lebih besar (laba yang lebih

tidak stabil).

4. Indeks instabilitas Laba (instability index of earnings)

Indeks ini mencerminkan deviasi antara laba aktual dan laba trend. Semakin

tinggi indeks maka semakin rendah kualitas laba perusahaan.

5. Beta

Beta merupakan ukuran resiko sistematis yang tidak dapat dihilangkan dengan

melakukan diverifikasi. Apabila beta meningkat maka variabilitas perusahaan

lebih besar jika terjadi perubahan dalam pasar.

36

2.1.7 Ukuran Perusahaan

Menurut Suwito dan Herawaty (2005), perusahaan publik yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu:

1. Perusahaan manufaktur.

2. Perusahaan non manufaktur selain usaha bank dan lembaga keuangan lainnya.

3. Kelompok usaha bank dan lembaga keuangan.

Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3 kategori yaitu

perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size) dan

perusahaan kecil (small firm). Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat

diklasifikasikan besar atau kecil perusahaan menurut berbagai cara, antara lain:

total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain.

Ukuran yang menunjukkan besar kecilnya suatu perusahaan, antara lain

total penjualan, rata-rata tingkat penjualan, dan total aktiva. Pada umumnya

perusahaan besar memiliki total aktiva yang besar pula sehingga dapat menarik

investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut dan akhirnya

saham tersebut mampu bertahan pada harga yang tinggi (Wijaya, 2009).

Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara

ukuran perusahaan dengan manajemen laba (Muhammad Arfan dan Desry

Wahyuni, 2010) dimana perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang

lebih kompleks sehingga memungkinkan dilakukannya manajemen laba.

37

2.1.8 Debt to Equity Ratio

Debt to Equity Ratio (DER) atau rasio hutang atas modal adalah

menggambarkan sampai sejauh mana modal pemilik dapat menutupi hutang-

hutang kepada pihak luar. Agnes Sawir (2001:13) menyatakan bahwa debt to

equity ratio adalah menggambarkan proporsi antara kewajiban yang dimiliki dan

seluruh kekayaan yang dimiliki. Adapun pengertian lain dari Debt to Equity Ratio

(DER) menurut Agnes Sawir (2003:13) adalah “Rasio yang menggambarkan

perbandingan utang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukan

kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk memenuhi seluruh

kewajibannya.”

Tujuan yang harus dicapai oleh manajer keuangan adalah bukan

memaksimumkan profit melainkan memaksimumkan kemakmuran pemegang

saham atau melalui maksimisasi nilai perusahaan. Tujuan memaksimumkan nilai

perusahaan dapat ditempuh dengan memaksimumkan nilai sekarang semua

keuntungan pemegang saham yang diharapkan akan diperoleh dimasa datang.

Kemakmuran pemegang saham akan meningkat apabila harga saham yang

dimilikinya meningkat. Sementara itu harga saham itu terbentuk di pasar modal

dan ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah laba per lembar saham

atau earnings per share yaitu dengan membagi laba yang tersedia bagi pemegang

saham biasa (laba setelah pajak dikurangi dividen saham preferen) dengan rata-

rata tertimbang jumlah lembar saham yang beredar selama periode perhitungan

dilakukan. Apabila perusahaan melakukan investasi yang bersifat spekulatif, ada

kecenderungan harga saham akan turun karena resiko usahanya semakin

besar(Fabozzi J Frank 2000:861). Dengan demikian total kemakmuran pemegang

38

saham dapat diukur dengan menilai peningkatan total kepemilikan saham

dikalikan dengan harga pasar per lembar saham.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan

struktur modal yang baik, dalam hal ini adalah penggunaan debt to equity ratio

akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan dalam bentuk peningkatan

earnings per share. Kesimpulan tersebut didukung pula oleh Alwi Syarifuddin

(1994 : 342) yaitu :

“Analisis struktur modal sangat penting bagi perusahaan karena keputusan

tentang Debt to Equity Ratio (DER) tertentu akan mempengaruhi baik nilai saham

maupun earnings per share. Nilai saham yang tinggi akan menarik bagi

pemegang saham dan bagi investor untuk membeli saham perusahaan.”

DER yang merupakan kepanjangan dari Debt to Equity Ratio merupakan

perbandingan antara hutang perusahaan terhadap jumlah modalnya. Pada

umumnya makin besar angka DER perusahaan dianggap makin berbahaya secara

finansial. Contoh : pada angka DER = 1 berarti jumlah modal usaha dengan

hutangnya adalah sama , tetapi pada DER = 1,5 berarti jumlah hutang lebih dari

modal perusahaan tersebut. Disini jelas bahwa pada angka DER yang lebih besar

perusahaan harus membayar bunga pinjaman yang lebih besar. Sebenarnya yang

dikhawatirkan disini adalah bila terjadi kondisi keuangan yang mengakibatkan

arus kas tersendat, dengan demikian bukan berarti jika angka DER lebih besar

akan merugikan perusahaan. Selama arus kas (cash flow) perusahaan bisa

menutup pengeluaran dan bisa menghasilkan keuntungan perusahaan lebih besar

artinya angka DER yang besar tidak masalah.

39

Khusus untuk bidang perbankan angka DER bisa mencapai di atas 7,

sesuai dengan peraturan yang ada. Angka DER yang besar pada bank dikarenakan

tabungan dan deposito dianggap sebagai hutang. Saat ini pada bidang perbankan

jumlah hutang yang diatas 7 kali modal dianggap wajar. Pada bidang lainnya

angka DER yang sehat biasanya di bawah angka 1.

Makin besar angka DER suatu perusahaan maka manajemennya harus

makin kerja keras untuk menjaga arus kas perusahaan. Resiko yang makin tinggi

diharapkan memberikan laba yang juga lebih tinggi (High Risk High Return). Hal

ini bagi investor saham fundamental diperhitungkan sebagai pertimbangan saat

membeli atau menjual saham. Dengan tingkat resiko yang makin tinggi maka

investor fundamental akan menawar makin rendah harga sahamnya, sebaliknya

makin rendah angka DER suatu perusahaan investor fundamental akan

menghargai makin tinggi karena tingkat resikonya yang lebih rendah. Investor

akan lebih berani membeli saham dengan harga lebih tinggi dengan catatan semua

kondisi sama.

Secara umum yang dimaksud dengan utang perusahaan adalah utang

jangka panjang , bukan utang usaha. Perusahaan yang bisa berkembang tanpa

utang jangka panjang bisa dianggap sebagai perusahaan yang sehat karena bisa

tumbuh dengan operasionalnya sendiri. Pada saat krisis ekonomi yang lalu ,

banyak perusahaan mengalami masalah pembesaran angka DER . Pembesaran

angka ini terutama akibat dari naiknya nilai hutang valas. Naiknya hutang berarti

naiknya jumlah cicilan. Naiknya jumlah cicilan yang cukup besar tersebut ternyata

tidak bisa ditutup dengan arus kas operasional perusahaan sehingga banyak

40

investor yang harus menambah modal atau harus menjual perusahaannya dan

tidak sedikit perusahaan yang terpaksa pailit.

Dalam menentukan apakah sebuah perusahaan memiliki utang yang besar

atau kecil, cara yang paling umum digunakan adalah dengan membandingkannya

dengan modalnya. Contohnya, jika A tercatat memiliki total utang hingga Rp10

trilyun, tapi modalnya masih lebih besar lagi yaitu Rp20 trilyun, maka A belum

bisa dikatakan memiliki utang yang besar. Sementara jika B memiliki utang Rp10

milyar saja, tapi modalnya lebih kecil yaitu Rp5 milyar, maka utang B sudah

cukup banyak sehingga sahamnya menjadi kurang ideal secara fundamental.

Dalam perhitungan analisis fundamental, perbandingan antara utang (debt)

dengan modal (equity) dikenal dengan istilah debt to equity ratio (DER). Cara

menghitungnya gampang yaitu total utang dibagi total modal, lalu dikali 100%.

Ada juga yang membaliknya menjadi equity to debt ratio (EDR), sehingga cara

menghitungnya menjadi total modal dibagi total utang, lalu dikali 100%. Kalau

DER atau EDR ini menunjukkan bahwa jumlah utang sebuah perusahaan masih

wajar, maka sahamnya mungkin masih ideal, jika poin-poin fundamental lainnya

juga mendukung.

Utang yang ‘wajar’ tersebut tentunya jika jumlahnya lebih kecil dari

modalnya, alias DER-nya dibawah 100% (kalau pake EDR maka berlaku

kebalikannya yaitu EDR-nya diatas 100%). Namun itu bukan berarti perusahaan

yang utangnya lebih besar dari modalnya, maka utangnya tersebut sudah pasti

tidak wajar, dengan catatan utang-utang tersebut bukan merupakan utang-utang

41

yang ‘berbahaya’, melainkan utang yang memang mendukung perusahaan untuk

berkembang.

Yang dimaksud dengan utang yang berbahaya adalah utang yang

mengharuskan perusahaan untuk membayar bunga, atau denda jika terlambat

membayar. Utang seperti itu misalnya utang bank dan utang obligasi. Utang

seperti itu simpelnya bisa kita sebut sebagai utang financial karena bunga tersebut

bisa menggerogoti laba bersih perusahaan. Sementara utang yang tidak berbahaya

adalah utang operasional, seperti utang usaha, beban yang masih harus dibayar,

uang pelanggan yang diterima dimuka, dan seterusnya. Utang-utang tersebut

biasanya tidak mengandung bunga atau denda, sehingga tidak akan berpengaruh

terhadap perolehan laba bersih perusahaan.

Perusahaan yang bagus adalah perusahaan yang bisa menemukan alternatif

pembiayaan yang murah, dengan bunga yang rendah, dan jangka waktu

pembayaran yang fleksibel, sehingga utang tersebut menjadi menguntungkan bagi

perusahaan, bukan malah merugikannya. Biasanya para perusahaan terutama

perusahaan besar bisa bernegosiasi dengan bank mengenai dua hal tersebut (bunga

dan deadline pelunasan). Semakin besar nilai pinjaman, maka biasanya semakin

kecil bunganya. Selain ngajuin utang ke bank, penerbitan obligasi bisa menjadi

alternatif, terutama untuk pinjaman jangka panjang, katakanlah 5 tahun, karena

biasanya bunganya lebih rendah yaitu 8 – 12% per tahun, sehingga tidak jadi

masalah meskipun deadline pelunasannya lama.

Company size dalam hubungannya dengan ERC diproksikan sebagai

informativeness harga saham. Semakin besar perusahaan semakin banyak sumber

informasi perusahaan yang tersedia. Semakin tinggi informativeness harga saham,

42

maka kandungan informasi laba semakin berkurang. Oleh karena itu, semakin

besar ukuran perusahaan (informativeness harga saham meningkat) maka ERC

akan semakin rendah (Murwaningsih, 2007).

Nilai ERC yang rendah juga dipengaruhi oleh tingkat leverage perusahaan

yang tinggi. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi, apabila terjadi

peningkatan laba perusahaan maka akan dipandang semakin baik bagi pemberi

pinjaman dibandingkan bagi pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan yang

high leverage memiliki ERC yang rendah dibandingkan dengan perusahaan low

leverage (Sayekti, 2007).

2.1.9 Teori Keagenan (Agency Theory)

Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut

dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini merupakan salah satu teori yang

muncul dalam perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari

perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek perilaku

manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak

antara pemegang saham/pemilik dan manajemen/manajer. Menurut teori ini

hubungan antara pemilik dan manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena

adanya kepentingan yang saling bertentangan.

Dalam teori keagenan (agency theory), hubungan agensi muncul ketika

satu orang atau lebih (principal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk

memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan

keputusan kepada agen tersebut. Hubungan antara principal dan agen dapat

mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetrical information)

43

karena agen berada pada posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak

tentang perusahaan dibandingkan dengan principal .Dengan asumsi bahwa

individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka

dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agen untuk

menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dalam

kondisi yang asimetri tersebut, agen dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi

yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba.

Salah satu cara yang di gunakan untuk memonitor masalah kontrak dan

membatasi perilaku opportunistic manajemen adalah corporate governance.

Prinsip-prinsip pokok corporate governance yang perlu diperhatikan untuk

terselenggaranya praktik good corporate governance adalah; transparansi

(transparency), akuntabilitas (accountability), keadilan (fairness), dan

responsibilitas (responsibility). Corporate governance diarahkan untuk

mengurangi asimetri informasi antara principal dan agen yang pada akhirnya

diharapkan dapat meminimalkan tindakan manajemen laba.

Adanya asimetri informasi ini menyebabkan kemungkinan munculnya

konflik antara pihak principal dan agent. Eisenhardt (1989) mengemukakan tiga

asumsi sifat dasar manusia yaitu:

(1) Manusia pada umunya mementingkan diri sendiri (self interest),

(2) Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang

(bounded rationality), dan

(3) Manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).

44

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut menyebabkan bahwa informasi

yang dihasilkan manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya

dan dapat dipercaya tidaknya informasi. Asimetri informasi ini juga pada akhirnya

dapat memberikan kesempatan bagi para manajer untuk melakukan manajemen

laba sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya.

Jensen dan Meckling dalam Isnanta (2008), menyatakan bahwa teori

keagenan mendeskripsikan pemegang saham sebagai prinsipal dan manajemen

sebagai agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham

untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen

diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik

pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan

semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori

keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen,

maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang

mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka

prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-

pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak

yang memenuhi dua faktor, yaitu :

1. Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen

maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga

tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan

dirinya sendiri.

45

2. Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang

berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang

diterimanya.

Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena

manajer berada didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak

informasi mengenai perusahaan,sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan

tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat

sedikit. Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga

hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen

sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih

banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat

sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan

demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri

dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut

disfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik

memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan

kinerja perusahaan.

46

2.1.10 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Daftar PenelitianTentang Perataan Laba , Ukuran Perusahaan, Debt to

Equity Ratio terhadap Earnings Response

No

Peneliti

(Tahun)

Teknik Analisis

Hasil Penelitian

1.

Yuliana

Mawarti

(2007)

Model Eckel

sampel

58 perusahaan di

BEJ

Hasil regresi tersebutmenunjukkan bahwa income

smoothing berpengaruh negatif terhadap

earningsresponse

2.

Samlaw

idanSud

ibyo

(2000)

Model albertch

danRichardson

1980 Uji

beda rata, uji beda

proporsi, dengan

sampel 116

perusahaan

di BEJ

Menunjukkan bahwa praktekperataan laba telah

terdapat padaperusahaan yang terdaftar di

BEJ.Penelitian ini mendukung hasiltemuan Ilmainir

(1993).

3.

Salno

dan

Baridwa

n

(2000)

Logistic

Regression,

sampel perusahaan

publik di Indonesia

Penelitian ini menyimpulkanbahwa faktor-faktor

besaranperusahaan, net profit marginkelompok usaha,

winner andlosser stocks secara signifikantidak

berpengaruh terhadapperataan laba

(incomesmoothing).

4

Khafid

(2002)

Model Eckel

sampel

66 perusahaan di

BEJ

Ditemukan 29 perusahaan yangdapat dikategorikan

sebagaikelompok perata laba dan 37perusahaan

sebagai kelompokbukan perata laba.

5.

Ilmainir

(1993)

Model Eckel 1981

Penelitian ini menemukan bahwapraktik perataan laba

telah terdapat pada perusahaanterdaftar di BEJ.

6.

Bitner

dan

Dollan

(1996)

Model Regresi

sampel

218 perusahaan

Bahwa income smoothingmemiliki pengaruh

negatifterhadap nilai perusahaan danmenemukan bukti

empiris bahwapasar ekuitas mengabaikanartificial

smoothing dan realsmoothing.

7.

Zuhroh

(1996)

Indek Eckel 1981

sampel 54

perusahaan

manufaktur

Mendukung hasil penelitianIlmainir (1993) bahwa

praktikperataan laba telah terdapat padaperusahaan

yang terdaftar di BEJ.

8.

Assih

dan

Gudono

(1998)

Zero growth model

and

market expextation

model

Penelitian ini mengindikasikanadanya praktik perataan

labadiantara perusahan perusahaanyang terdaftar di

BEJ

47

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1Hubungan Perataan Laba denganReaksi Pasar

Laba secara akuntansi merupakan perbedaan antara realisasi penghasilan

yang berasal dari transaksi perusahaan pada periode tertentu dikurangi dengan

biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut (Harahap 2002

dalam Siti L 2006:6). Harga saham di pasar sekunder berubah-ubah setiap saat

berdasarkan informasi yang diperoleh para investor di bursa efek. Dalam aktivitas

di pasar modal, harga saham merupakan faktor yang sangat penting dan harus

diperhatikan oleh investor dalam melaksanakan investasi. Harga saham tersebut

menunjukkan nilai suatu perusahaan. Menurut Marhaen (2006:19) terdapat dua

cara dalam menentukan harga saham yaitu melalui harga saham setelah publikasi

laporan keuangan dan harga saham penutupan rata-rata. Perdagangan saham

dipasar modal dipengaruhi oleh kondisi keuangan serta prospek masa depan

perusahaan. Selain faktor internal perusahaan, faktor eksternal perusahaan juga

mempengaruhi perdagangan saham. Faktor-faktor diluar perusahaan yang dapat

mempengaruhi perdagangan saham antara lain kebijakan pemerintah,

perkembangan kurs, kondisi bursa, volume dan frekuensi dibursa, kekuatan pasar,

tingkat inflasi, kebijakan moneter, kondisi ekonomi dan keadaan politik.

Menurut UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal, harga saham pada

hakekatnya merupakan penerimaan atau besarnya biaya pengorbanan yang harus

dilakukan oleh setiap investor untuk penyertaan dalam perusahaan. Harga saham

mencerminkan nilai intrinsik suatu saham (nilai intrinsik merupakan nilai yang

mengandung unsur kekayaan perusahaan dan unsur potensi perusahaan untuk

48

menghimpun laba dimasa yang akan datang). Harga saham tersebut diartikan

sebagai harga yang dibentuk dari interaksi penjual dan pembeli saham yang dilatar

belakangi oleh harapan mereka terhadap profit perusahaan. Reaksi pasar yang

ditunjukkan dengan perubahan harga sekuritas tersebut dapat diukur dengan

menggunakan return atau dengan abnormal return sebagai nilai perubahan harga.

Pengembalian abnormal diperhitungkan sebagai perbedaan antara pengembalian

aktual ex-post dari surat berharga dan pengembalian normal perusahaan setelah

jendela peristiwa. Jika digunakan abnormal return maka dapat dikatakan bahwa

suatu pengumuman yang mempunyai kandungan informasi akan memberikan

abnormal return kepada pasar sebaliknya yang tidak mengandung informasi tidak

memberikan abnormal return kepada pasar (Dalam Simamora 2000:410).

Foster (1986) dalam Khafid (2004:43) menyebutkan bahwa pengumuman

yang berhubungan dengan laba (Earnings Related Announcements) merupakan

salah satu pengumuman yang dapat mempengaruhi harga sekuritas atau saham.

Pendapat Foster tersebut menjadi dasar dari penelitian ini untuk melihat reaksi

pasar atas pengumuman laba (melalui laporan keuangan khususnya laporan laba

rugi) dari perusahaan yang melakukan income smoothing. Beaver (1968) dalam

Assih (2000:37) menyebutkan bahwa bila pengumuman laba tahunan

mengandung informasi, variabilitas perubahan harga akan nampak lebih besar

pada saat laba diumumkan daripada saat lain selama tahun yang bersangkutan

karena terdapat perubahan dalam keseimbangan nilai harga saham saat itu selama

periode pengumuman. Hasil penelitiannya memberi bukti bahwa perilaku harga

dan volume sekitar tanggal pengumuman mengidentifikasikan bahwa laba

49

tahunan mengandung informasi yang relevan untuk penilaian perusahaan.

Pernyataan Beaver tersebut senada dengan hasil penelitian Triyono dan Hartono

(2000) dalam Siti L (2006:18) yang mengatakan, dengan pengujian model levels

didapatkan bahwa laba berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham.

Penelitian Bitner dan Dollan (1996) dalam Mursalim (2003:170) menyebutkan

bahwa income smoothing memiliki pengaruh negatif terhadap nilai perusahaan.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa dengan adanya perataan laba dapat

menimbulkan reaksi pasar pada saat pengumuman laba perusahaan.

H1 : Income Smoothing (Perataan laba) berpengaruh negatif terhadap

Earnings Response (Reaksi Pasar)

2.2.2 Hubungan Ukuran Perusahaan dengan Reaksi Pasar

Moses (1987) menemukan bukti bahwa perusahaan yang lebih besar

memiliki dorongan yang lebih besar pula untuk melakukan perataan laba

dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil, karena perusahaan yang lebih

besar menjadi subjek pemeriksaan yang lebih ketat dari pemerintah dan

masyarakat umum. Hasil lainnya ditemukan oleh Albretch dan Richardson (1990),

bahwa perusahaan yang lebih besar memiliki dorongan untuk melakukan perataan

laba karena perusahaan tersebut diteliti dan dipandang lebih kritis oleh para

investor.

Ukuran perusahaan umumnya dinilai dari besarnya aktiva perusahaan.

Perusahaan yang memiliki aktiva besar kemudian dikategorikan sebagai

perusahaan besar umumnya akan mendapat perhatian lebih banyak dari berbagai

pihak seperti para analis, investor, maupun pemerintah. Untuk itu perusahaan

50

besar diperkirakan akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab

kenaikan laba akan menyebabkan bertambahnya pajak. Sebaliknya penurunan

laba yang drastis akan memberikan image yang kurang baik. Oleh karena itu,

perusahaan besar diperkirakan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk

melakukan praktik perataan laba (Nasser dan Herlina, 2003).

Budiasih (2007) menunjukkan bahwa variabel ukuran perusahaan

berpengaruh positif terhadap perataan laba karena semakin besar perusahaan

berarti semakin besar aktiva yang dimilikinya sehingga semakin besar

kemungkinan aktiva yang dimiliki merupakan hasil dari kinerja yang baik dari

perusahaan tersebut. Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Salno

(2000), Suwito dan Herawaty (2005) serta Juniarti dan Corolina (2005)

menunjukkan bahwa variabel ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap perataan laba. Dari adanya hal tersebut maka para investor

akan berhati-hati dalam memutuskan untuk berinvestasi pada issuer (pihak yang

menerbitkan efek dan emiten) maka dari itu para investor juga dapat mempelajari

dan meyelidiki kinerja perusahaan dari segi ukuran perusahaan tersebut.

H2 : Firm Size (Ukuran Perusahaan) berpengaruh positif terhadap Reaksi Pasar

2.2.3 Hubungan Debt to Equity Ratio dengan Reaksi Pasar

Financial leverage menunjukkan proporsi penggunaan utang untuk

membiayai investasinya (Sartono 2001:120). Rasio leverage yang besar

menyebabkan turunnya minat investor untuk menanamkan modalnya pada

perusahaan tersebut, sehingga dapat memicu adanya tindakan perataan laba

(Pratamasari, 2006).

51

Hipotesis utang ekuitas (debt to equity hypothesis) menyatakan bahwa

semakin tinggi rasio utang ekuitas suatu perusahaan maka semakin dekat

perusahaan terhadap kendala-kendala dalam perjanjian utang dan semakin besar

probabilitas pelanggaran perjanjian sehingga memungkinkan manajer untuk

menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income (Belkaoui,

2001:110). Lebih lanjut lagi hasil penelitian Alfiana (2006) menunjukkan bahwa

perusahaan yang mempunyai kontrak hutang akan lebih memilih prosedur

akuntansi yang dapat meningkatkan earnings dan aktiva untuk mengatasi masalah

pelunasan hutang perusahaan.

Hasil penelitian Kusniati dan Ekawati (2005) menunjukkan bahwa

perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan mempunyai risiko yang tinggi

pula, maka laba perusahaan berfluktuasi sehingga perusahaan cenderung

melakukan praktik perataan laba. Semakin besar utang perusahaan maka semakin

besar pula risiko yang dihadapi investor sehingga investor akan meminta tingkat

keuntungan yang semakin tinggi. Akibat kondisi tersebut perusahaan cenderung

untuk melakukan praktik perataan laba.

Hasil penelitian Masodah (2007) menunjukkan bahwa debt to equity ratio

berpengaruh terhadap perataan laba. Debt to equity ratio yang tinggi

mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan dalam memperoleh dana

tambahan karena minimnya modal yang digunakan untuk perlindungan hutang,

sehingga perusahaan tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

Perusahaan yang mengalami hal seperti ini sangat rentan melakukan praktik

perataan laba, diantaranya dengan memilih metode akuntansi yang dapat

52

meningkatkan labanya. Hasil penelitian Masodah (2007) berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Budiasih (2007) yang menunjukkan bahwa

financial leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap perataan laba. Jadi

berdasarkan hasil peneliti-peniliti diatas dapat disimpulkan jika akan ada

terjadinya reakasi pasar dari para investor untuk menganalisis perusahaan yang

akan diinvestasikan dari segi seberapa mampunya issuer dalam membayar

kewajiban hutangnya dan seberapa besarnya aset-aset yang dimiliki sehingga

dapat memperoleh hutang yang begitu besar.

H3: Debt to Equity Ratio berpengaruh negatif terhadap Reaksi Pasar