bab ii kajian pustaka a. hukum adat perkawinan 1. dasar...

24
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hukum Adat Perkawinan 1. Dasar Berlakunya Hukum Adat di Indonesia Hukum Adat yang sebenarnya sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butirbutir Pancasila seperti religi, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan.Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.Berdasarkan penjelasan dalam pembukaan UUD 1945, terkandung pengakuanhukum Tuhan, hukum kodrat, hukum etis serta hukum filosofis.Dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 mengandung asas kerohanian (Pancasila) yang biasa disebut hukum filosofis. Bertitik tolak dari realisasi pelaksanaan hukum dalam sistem Indonesia dikongkretsasikan kedalam hukum positif Indonesia( Zainuddin Ali : 2009 :110). Hukum adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai- nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok-pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok- pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara adalah Pancasila. Pada dasarnya Hukum Adatmerupakan Hukum Non-Statutair yang dalam sudut pandangnya jelas belum tertulis maupun tidak tertulis secara hukum positif (Soerojo Wignajodipuro,1983:16). Dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Iman Sudiyat, (2010 : 22) dasar Perundang-Undangan yang mendasari berlakunya Hukum Adat di lingkungan Tata Hukum positif di Indonesia, yaitu:

Upload: trinhthuy

Post on 07-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hukum Adat Perkawinan

1. Dasar Berlakunya Hukum Adat di Indonesia

Hukum Adat yang sebenarnya sangat identik dan bahkan sudah terkandung

dalam butirbutir Pancasila seperti religi, gotong royong, musyawarah mufakat dan

keadilan.Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum

Adat.Berdasarkan penjelasan dalam pembukaan UUD 1945, terkandung

pengakuanhukum Tuhan, hukum kodrat, hukum etis serta hukum filosofis.Dalam

alinea keempat pembukaan UUD 1945 mengandung asas kerohanian (Pancasila) yang

biasa disebut hukum filosofis. Bertitik tolak dari realisasi pelaksanaan hukum dalam

sistem Indonesia dikongkretsasikan kedalam hukum positif Indonesia( Zainuddin Ali :

2009 :110).

Hukum adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia sesuai

dengan perkembangan zaman yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-

nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya

menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI.

Pokok-pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara

baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok-

pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara adalah

Pancasila.

Pada dasarnya Hukum Adatmerupakan Hukum Non-Statutair yang dalam

sudut pandangnya jelas belum tertulis maupun tidak tertulis secara hukum positif

(Soerojo Wignajodipuro,1983:16). Dasar berlakunya Hukum Adat berarti

mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia yang terdapat

dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Menurut Iman Sudiyat, (2010 : 22) dasar Perundang-Undangan yang

mendasari berlakunya Hukum Adat di lingkungan Tata Hukum positif di Indonesia,

yaitu:

a. Undang-Undang Dasar 1945

Di dalam UUD 1945 yang dinyatakan berlaku dekrit presiden 5 juli 1959,

tidak ada satupun pasalnya yang memuat dasar berlakunya hukum adat itu. Dasar

yang dipakai untuk memberlakukan Hukum Adat adalah pasal II Aturan Peralihan

Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan “Segala Badan Negara dan peraturan

yang ada , masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-

Undang ini”.

b. Undang-Undang No. 14 tahun 1970

Dalam Undang-undang No 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum

Adat termuat dalam pasal sebagai berikut :

Pasal 23 (1) yang berbunyi :

“Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar

putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-

peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan

dasar untuk mengadili”.

Yang dimaksud dengan “hukum tak tertulis” dalam pasal tersebut adalah “Hukum

Adat”.Dalam penjelasan umum Undang-undang ini, bagian 7 berbunyi sebagai

berikut:

“ Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud untuk

menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan

Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan peradilan Negara”

Sedangkan menurut Abdurahhman (1984 : 65) Undang –Undang No 1

Tahun 1974 tentang perkawinan kedudukan hukum adat didalam dan menurut

undang-undang, sejauh mana ketetuan Hukum Adat itu berlaku disamping Undang-

undang ini. Diketahui bahwa dalam Undang-undang ini telah menempatkan Hukum

Agama (dan juga kepercayaan) pada suatu posisi yang menentukan.Pasal 2 dari

Undang-undang tersebut dengan jelas menyatakan :

1) Perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan itu

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perarturan perundangan yang berlaku.

Bila pasal 2 Undang-Undang No 1/1974 yang dipakai, maka jawabannya jelas

yang harus dijadikan dasar adalah Hukum Agama, bukan Hukum Adat, sehingga

dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan Hukum Adat dalam menentukan

keabsahan suatu perkawinan kian hari kian dibatasi. Dari hal diatas adanya segi-segi

materil dan formal daripada perkawinan. Hukum Agama dan Kepercayaan sebagai

penentu keabsahan suatu perkawinan adalah aspek meteril sedangkan aspek

formalitas terdapat pada ketentuan berikutnya yang menyangkut soal pencatatan.

Pengaturan aspek materil dari perkawinan tentunya akan diserahkan kepada Hukum

Agama dan kepercayaan, diketahui disamping Hukum Agama maka Hukum Adat

adalah daya pengikat serta juga memberikan arah dan petunjukdidalam bertingkah

lakudalammasyarakat.Menurut Abdurrahman,(1984:68) satu-satunya pasal yang

secara langsung menyangkut Hukum Adat adalah pasal 37 yang menyatakan bahwa

bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya

masing-masing.

Dari penjelasan diatas maksudnya dengan menurut hukumnya masing itu

adalah Hukum Agama, Hukum Adat dan hukum lainnya. Hukum adat yang mengatur

harta benda perkawinan bila ada perceraian berarti masih ada kemungkinan bagi

hukum adat untuk berperan dalam masalah perkawinan walapun sifatnya terbatas.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut tidak bermaksud untuk mengingkari hukum adat

tetapi hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada

pengadilan-pengadilan Negara.

2. Pengertian Adat Dan Hukum Adat

a. Pengertian Adat

Secara Etimologi, adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan yaitu

sesuatu yang sering dilakukan. Tetapi kebiasaan dalam arti adat adalah kebiasaan

yang normatif yang telah berwujud aturan tingkah laku yang berlaku di dalam

masyarakat dan di pertahankan masyarakat.Adat merupakan kebiasaan-kebiasaan

yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap

memiliki nilai dan dijunjung serta di patuhi masyarakat pendukungnya (Hilman

Hadikusuma,2003 : 16). Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat

dalam masyarakat.Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat (atau, bagian

masyarakat) yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak

pada perasaan keadilannya (Soekanto 2011: 73).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa adat

merupakan suatu kebiasaan-kebiasaan, aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh suatu

masyarakat adat, nilai –nilai dan norma-norma hukum lainnya yang saling

mempengaruhi dan menjadi suatu system yang hidup dalam suatu masyarakat

tertentu.Dengan demikian dapat dikatakan adat merupakan aturan yang berlaku pada

suatu masyarakat, agar anggota masyarakat dapat menyesuaikan perbuatannyadengan

tata kelakuan yang dibuatnya tersebut.

b. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat terdiri dari dua kata yaitu hukum dan adat.Hukum berasal dari

bahasa Belanda yaitu recht, sedangkan Adat berasal dari bahasa Arab yang artinya

berbalik kembali,datang kembali sehingga menjadi lazim, menjadi kebiasaan,

(Widirahardja, 2010 : 5).Sedangkan istilah hukum adat itu berasal dari terjemahan

bahasa Belanda yaitu Adat-recht, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Snouck

Hurgronje dan pernah dipakai oleh Van Vollenhoven dalam menulis buku-bukunya

yang mengenai hukum adat dan hukum adat itu merupakan istilah yang digunakan

untuk menyebut hukum yang berlaku bagi masyarakat asli Indonesia(Iman

Sudiyat,1978: 1-2).

Van Vollenhoven dalam Iman Sudiyat (1978 : 5) Hukum adat adalah

keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh

karena itu “ hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh

karena itu :”Adat”). Hukum adat merupakan tingkah laku yang berdasarkan hukum

yang berlaku disini dan kini serta apabila melanggar akan ada sanksi sebagai reaksi

dari pelanggaran terebut namun tidak dibukukan secara tersusun seperti undang-

undang.

Menurut Supomo( Widirahardja,2010 : 14) di dalam “Beberapa catatan mengenai

Kedudukan Hukum Adat” menulis antara lain:

Dalam tata hukum baru Indonesia baik kiranya guna menghindarkan salah

pengertian, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak

tertulis di dalam peraturan legislatief (non-statutory law); hukum yang hidup

sebagai konvensi di badan badan hukum Negara (parlemen, dewan – dewan

Propinsi dan sebagainya); hukum yang timbul karena putusan – putusan hakim

(Judgemade Law); hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang

dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik dikota kota maupun di desa desa

(Customary law); semua merupakan Adat atau hukum yang tidak tertulis yang

disebut oleh pasal 32 UUDS Tahun 1950.

Dalam arti hukum adat bukan hanya yang berkaitan dengan hukum yang hidup

didalam masyarakat yang dijadikan kebiasaan akan tetapi memahamkan bahwa

hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam arti hukum kebiasaan.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas mengenai hukum adat adalah

keseluruhan tingkah laku yang hidup dalam masyarakat asli Indonesia, yang diambil

dari nilai – nilai rohani, kepercayaan serta kebudayaan yang ada dalam masayarakat

dan apabila melanggar ada sanksi sebagai reaksi dari pelanggaran tersebut yang

bersifat memaksa. Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis yang hidup

sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan hidup pada suatu

daerah tertentu.

3. Pengertian Perkawinan Adat

Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia maka setiap daerah

mempunyai hukum adat yang pengertiannya tentu mempunyai kesamaan dan

perbedaan dengan daerah lainnya.Hal itu di sebabkan karena tiap-tiap daerah

mempunyai aturan-aturan di bidang hukum adat yang mempunyai keunikan-keunikan

tersendiri.Menurut pendapat Ter Haar dalam Tolib Setiady,(2013 :225) perkawinan

adat adalah suatu usaha atau suatu peristiwa hukum yang menyebabkan terus

berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang

menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan tersebut. Dalam

hukum adat, perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka

yang masih hidup saja tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat

berarti serta sepenuhnya mendapatkan perhatian dan di ikuti oleh arwah-arwah leluhur

dari kedua bela pihak.

Sesuai dengan penjelasan di atas maka persekutuan hidup bersama antara

seorang pria dan dengan seorang wanita yang dilakukan secara sah dinamakan

perkawinan dimana perkawinan dalam masyarakat merupakanperistiwa yang sangat

penting dan sakral sehingga pelaksanaannya menyangkut kedua calon mempelai,

keluarga atau kerabat dan masyarakat luas.

Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 8 dan 9) hukum adat pada umumnya di

Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga

merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan

ketetanggaan. Jadi penjelasan di atas diperhatikan maka memang perkawinan dalam

hukum adat mempunyai arti yang luas sekali.Hal ini disebabkan karena perkawinan

tidak menyangkut suami dan istri tetapi juga hubungan dengan keluarga, masyarakat

umum dan orang orangyang telah meninggal.

Perkawinan dalam perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat

hukum terhadap hukum adat yang bersangkutan.Akibat hukum itu telah ada sejak

sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya pelamaran sebelum

perkawinan.Setelah terjadi perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-

kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut hukum adat

setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta

membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan

anak-anak merekayang terikat dalam perkawinan.

Bertolak dari berbagai pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

perkawinan adat adalah suatu peristiwa yang penting dan sakral dimana seorang pria

dan seorang wanita untuk menjalankan suatu kehidupan bersama dalam mewujudkan

kesatuan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan sebagai suami isteri. Dengan

demikian, maka suatu perkawinan tanggungjawabnya berat sebab suami dan isteri

selain bertanggung jawab terhadap kelangsungan keluarganya, juga terhadap orang

banyak (masyarakat) dan Tuhan.

4. Tujuan Perkawinan Adat

Hilman Hadikusuma (1990 : 23) mengemukakan tujuan perkawinan bagi

masyarakat hukum adat salah satunya adalah melanjutkan keturunaan dari satu

generasi ke generasi selanjutnya. Disamping itu juga untuk mempersatukan dua

keluarga besar dari pihak pria dan wanita. Dengan adanya perkawinan tersebut maka

diharapkan kelanjutan hidup umat manusia dimuka bumi akan berkembang terus dan

juga melalui perkawinan dua kelompok yang tadinya tidak merupakan satu keluarga

menjadi akrab,karena sudah satu melalui perkawinan diantara salah satu dari

keluarganya. Tujuan perkawinan menurut adat adalah untuk dapat melanjutkan

keturunan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal serta berguna bagi

kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai.Dengan demikian maka

perkawinanadat bukan semata-mata urusan dan kepentingan orang tua dan

kekerabatan tetapi untuk melahirkan generasi muda, melanjutkan garis hidup orang

tua, mempertahankan kelanjutan garis keturunan serta berguna bagi kehidupan

kekerabatan yang rukun dan damai.

5. Sahnya Perkawinan Adat

Sahnya perkawinan yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma(1990: 27)

menurut hukum adat Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada

agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan.Dan suatu perkawinan baru diakui

sah oleh anggota masyarakat entah itu masyarakat tradisonal maupun masyarakat

modern apabila pelaksanaan perkawinan tersebut sah menurut pandangan mereka.Hal

ini disebabkan karena pelaksanaan perkawinan yang tidak sah oleh masyarakat

dianggap sebagai suatu aib dalam keluarga.Maksudnya jika telah dilaksanakan

menurut tata tertib adat atau agama mereka itu adalah sah menurut hukum adat

setempat.

6. Syarat Perkawinan Adat

Menurut hukum adat yang walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan

kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua atau

kerabatnya. Maka persetujuan para pihaklah yang sangat berperan. Hukum adat pada

umumnya tidak mengatur tentang batas usia untuk melangsungkan perkawinan,

Hilman Hadikusuma(1990 : 46). Syarat-syarat tersebut diatas pada umumnya berlaku

di berbagai daerah Indonesia namun tetap pada syarat-syarat yang unik setiap daerah

yang masih kuat hukum adatnya.Hal ini disebabkan karena hukum adat setempat

sudah menyatu dengan pribadi-pribadi tradisi dari masing-masing daerah dalam

anggota masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Iman Sudiyat, (1981 : 1)

mengemukakan syarat perkawinan apabila wanita sudah menstruasi dan pria sudah

kuat gawe, pemberian mas kawin dari pihak pria serta bersedia membantu orang tua.

Dengan demikian maka syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat tetap harus

dipatuhi dan dilaksanakan oleh sebagian besar anggota masyarakat di berbagai daerah

sesuai dengan adat-istiadat dan kepentingannya yang harus dipatuhi oleh warga yang

menganut hukum adat tersebut.

7. Larangan Perkawinan Adat

Menurut Hilman Hadikusuma(1977 : 99) dimana Segala sesuatu yang dapat

menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika dilakukan maka

keseimbangan masyarakat akan terganggu. Adanya larangan karena memenuhi

persyaratan larangan agama yang telah masuk menjadi hukum adat, ada halangan

perkawinan karena memenuhi ketentuan hukum adat tapi tidak bertentangan dengan

hukum agama. Larangan bagi hukum adat karena ada hubungan kekerabatan dimana

melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita yang mana satu keturunan

“marga”, dan seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan anak saudara

lelaki ibunya, atau larangan antara pria dan wanita yang besaudara kandung ayahnya,

begitu pula dilarang jika bersaudara misan. Adapun larangan karena perbedaan

kedudukan atau derajat dalam suatu masyarakat adat.

Dari penjelasan diatas larangan dalam suatu perkawinan adat tergantung dari

ketentuan adat yang berlaku di daerah tertentu, jadi walaupun menurut hukum

agamanya tidak dilarang kawin tapi jika menurut hukum adat tidak diperbolehkan

kawin maka perbuatan itu tidak boleh dilakukan karena itu pelanggaran terhadap adat.

8. Sistem Perkawinan Adat

Dalam sistem perkawinan adat yang dikemukakan Yulies Tiena Masriani

(2004: 137) dikenal ada tiga sistem, yaitu sebagai berikut :

1. Sistem Endogami

Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku

keluarganya sendiri.Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.Menurut

Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem

endogamy ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini kan

lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan

menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya

terdapat secara praktis saja; lagi pula endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat

susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental

2. Sistem Exogami

Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah

dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya

waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian

rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan

kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah Gayo, Alas,

Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram

3. Sistem Eleutherogami

Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti

halnya dengan sistem endogami dan exogami.Dalam hal ini orang yang mau menikah

bebas memilih pasangannya tanpa ada syarat-syarat. Sistem eleutherogami paling

banyak terjadi di Indonesia misalnya di Aceh, Sumatra Timur, Bangka Belitung,

Kalimantan, Minahasa, Selawesiselatan, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, dan

seluruh Jawa Madura. Sistem perkawinan tidak dapat dipisahkan dengan sifat

kekeluargaan yang ada.Sistem perkawinan dalam adat sabu menganut system

perkawinan exogami dimana laki-laki mencari perempuan diluar kerabatnya.Dalam

kehidupan masyarakat Sabu perkawinanadalah aliansi pranata yang menghubungkan

dua kelompok-kelompok dari masing-masing anggota pasangan tersebut.

Masyarakat Indonesia menganut agama dan system kepercayaan yang

berbeda-beda serta berbagai macam-macam pula bentuk kekerabatan dalam sistem

keturunan yang berbeda-beda. Maka seperti yang diungkapkan Eman Suparman,(1985

: 49) sistem keturunan/kekeluargaan dapat dibedakan dalam tiga corak :

a. Sistem Patrilineal

Yaitu system keturunan yang menarik garis keturuman pihak nenek moyang

laki-laki. Dalam system ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki sangat menonjol

dalam hal hak-hak juga mendapatkan lebih banyak (hukum waris ). System

kekerabatan patrilineal berlaku pada masyarakat Sabu, Bali, Batak.

b. Sistem Matrilineal

Yaitu system keturunan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang

perempuan.Dalam system ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-

anaknya yang jauh lebih banyakk dan lebih penting daripada keturunan menurut garis

bapak.Susunan sistemkekerabatan Matrilinel berlaku pada masyarakat minangkabau.

c. Sistem Parental dan Birateral

Yaitu system keturuan yang menarik garis keturunan dari dua sisi yaitu dari

pihak bapak dana pihak ibu. Dalam hal ini kedudukan laki-laki dan perempuan sama

atau sejajar. Dalam sistem kekerabatan ini juga kedua orang tua maupun kerabat dari

ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan,

kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Sistem kekerabatan ini berlaku

pada masyarakat jawa, madura, Kalimantan dan Sulawesi.

Masyarakat sabu masih menganut system kekerabatan patrilineal yaitu

masyarakat hukum yang para anggotanya menarik garis keturunannya keatas melalui

garis bapak, bapak dari bapak hingga seterusnya keatas sehingga akhir dijumpai laki-

laki sebagai moyangnya.

B.Macam-Macam Cara Terjadinya Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut Ter Haar (1953 : 159-164) dalam hukum adat cara terjadinya

perkawinan pada umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)

Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki – laki) mengajak

pihak lain (perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan. Peminangan ini dilakukan

oleh seorang utusan atau seorang wakil,biasanya di ungkapkan dengan bahasa yang

indah dan berkias.Utusan yang meminang biasanya seorang kerabat atau orang tuanya

dengan persetujuan kelompok kerabat dan orang tua.

2. Perkawinan Lari bersama dan Bawa Lari

Perkawinan lari bersama adalah perkawinan yang lari bersama dengan tiada

peminangan atau pertunangan secara formal, Atau kedua mempelai (laki – laki dan

perempuan) lari bersamaan tanpa melalui peminangan.Maksud dari pada perkawinan

lari bersama atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari

berbagai keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, dari pihak orang tua dan

saudara saudara atau keluarga. Perkawinan bawa lari adalah kadang-kadang lari

dengan seorang perempuan yang sudah ditunangkan atau dikawinkan dengan orang

lain,terkadang membawa lari perempuan dengan paksaan.

3. Perkawinan Mengabdi

Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang

pembayarannya di tunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah mulai

hidup berkumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si suami

bekerja mengabdi kepada kerabat mertuanya sampai mas kawinnya terbayar lunas

4. Perkawinan Bertukar

Perkawinan bertukar adalah perkawinan yang dilakukan pada akhirnya ,bila

seorang lelaki dari sesama clan meneruskan perkawinan saudara laki-laki yang telah

mati. Dan seorang perempuan mengganti perkawinan saudara perempuannya yang

telah mati, semuanya tanpa pembayaran jujur.

Sedangkan di dalam kehidupan masyarakat cara terjadi perkawinan yang

dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma (2003 : 183-190) yaitu sebagaiberikut :

1) Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian(pembayaran)

uang atau barang jujur, dilakukan oleh pihak kerabat(marga, suku) calon suami

kepada mempelai calon isteri.Sebagai tandapengganti pelepasan mempelai wanita

keluar dari kewargaan adatpersekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam

persekutuanhukum suaminya.

2) Perkawinan Semanda

Perkawinan semanda ini dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak

ibu (wanita), merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur.Dalam peerkawinan

semanda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidakmelakukan pemberian uang jujur

kepada pihak wanita, malahansebagaimana berlaku adat pelamaran dari pihak wanita

kepada pihakpria.

3) Perkawinan Bebas (Mandiri)

Perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya, dimanakaum

keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga atau rumah

tangga.Kedudukan dan hak suami isteri seimbangsama, suami sebagai kepala keluarga

atau rumah tangga dan isterisebagai ibu keluarga atau rumah tangga.

4) Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yangterjadi

di antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya,dan atau berbeda

agama yang dianut.

5) Perkawinan Lari

Sistem perkawinan lari dapat di bedakan antara perkawinan laribersamaan dan

perkawinan lari paksaan.Perkawinan lari bersamaan adalah perbuatan belarian

untukmelaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita), caramelakukan

belarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawinlari dan pada waktu

yang sudah di tentukan melakukan lari bersama.Perkawinan lari paksaan adalah

perbuatan melarikan gadis dengan akaltipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak

atas persetujuan si gadis dantidak menurut tata-tertib adat belarian.

Upacara perkawinan adat dalam segala bentuk dan cara tersebut, pada

umumnya dilaksanakan sejak masa pertunangan(pacaran) atau masa penyelesaian

kawin berlarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan

dan terakhir acara kunjungan mempelai ke tempat orang tua/mertuanya(Hilman

Hadikusuma,1990 : 97)

Dari penjelasan diatas disimpulkan bahwa cara terjadinya perkawinan menurut

hukum adat pada umumnya di Indonesia ada berbagai macam atau cara untuk

melakukan suatu perkawinan atau dalam mencapai suatu perkawinan adalah melalui

perkawinan pinang, perkawinan jujur, perkawinan lari, perkawinan bebas dan lain-lain

sebagainya yang terdapat diberbagai daerah di Indonesia dan di sabu.

C. Pengaruh Agama Terhadap Hukum Adat Perkawinan

Dalam seminar Hukum adat dinyatakan bahwa dalam proses terwujudnya

hukum adat,dipengaruhi oleh unsur agama jadi agama yang dianut oleh kesatuan

manusia dalam pergaulan hidup itu memberi pengaruh sehingga turut memberi corak

terhadap pola-pola perikelakuan dari masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini

unsur agama mempengaruhi perilaku manusia dalam kehidupan adat yang dianut

manusia. Menurut Soleman(1981:25)pandangan bahwa unsur agama memberi

pengaruh terhadap hukum adat pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru muncul

tetapi telah lama dikumandangkan namum pandangan bahwa agama memberikan

pengaruh besar dalam hukum adat pada dasarnya bertentangan dengan konsep yang

diberikan oleh Van De Berg (dikutip dari Soekanto 1955 : 51) yang terkenal dengan

teori reception in complexu. Menurut teori ini bahwa suatu masyarakat itu memeluk

agama tertentu maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama

yang dipeluknya. Jika ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama yang

bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian. Walaupun secara

logis teori ini mengandung ketepatan, artinya memang harus demikian keadaannya,

namun secara empiris teori tersebut tidak sesuai. Terhadap teori ini hampir semua

sarjana memberikan tanggapan dan kritikan antara lain :

a. Snouck Hurrunye : Mengatakan bahwa tidak semua Hukum Agama diterima

dalam hukum adat. Hukum agama hanya memberikan beberapa pengaruh pada

kehidupan manusia yang sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan

kepercayaan dan hidup batin, bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum

perkawinan, dan hukum waris.

Di minangkabau , hukum warisnya sama sekali tidak dipengaruhi oleh agama

melainkan mutlak dari hukum adat sekitar. Di bali sendiri hukum adat dengan

agama merupakan satu hal yang serupa tapi tidak sama. Seperti dalam

pembangunan parahyangan, jika di tabanan selalu dipinggir jalan, sedangkan di

Dempasar selalu menghadap timur. Hal ini mengandung artian bahwa dalam hal

yang berhubungan dengan agama di bali dikembalikan kembali pada adat daerah

masing-masing.

b. Terhaar : tidak membenarkan seluruh pendapat Snouck Hurgrunye, menurut

Terhaar hukum waris bukan berasal dari hukum agama, tapi merupakan hukum

adat yang asli tidak dipengaruhi oleh hukum Agama (islam), sedangkan hukum

waris disesuaikan dengan struktur dan susunan masyarakat.

Dari penjelasan diatas Hukum Adat yang terdiri dari Hukum Asli tidak sesuai

dengan kernyataan di masyarakat bahwa Hukum Adat dipengaruhi oleh Hukum

Agama tetapi ada bagian-bagian dari Hukum Agama yang bisa dijadikan pedoman

untuk kelangsungan perilaku Hukum Adat.Teori Reception in Comlexu ini

sebenarnya bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum adat

terdiri atas hukum asli (Melayu Polenesia) dengan ditambah dari ketentuan-ketentuan

dari hukum Agama yang modern dan agama suku asli.

D. Kenoto Dalam Perkawinan Adat Sabu

1.Istilah Kenoto

Istilah Kenoto adalah bahasa sabu asli. Arti sebenarnya dari kenoto itu ialah

tempat siri pinang yang terbuat dari daun lontar dan khusus di pakai oleh kaum pria.

Sedangkan tempat sirih pinang yang khusus di pakai wanita namanya Kepepe. Kedua-

duanya terbuat dari lontar dan sesekali ada juga yang di buat dari daun pandan hutan

yang biasa hidup di pinggir kali. Kenoto atau temapt sirih pinang adalah sebuah

tempat dimana orang selalu menyimpan sirih pinang dan selalu dibawa kemana-mana.

Orang sabu mempunyai budaya mengkomsumsi sirih pinang. Kenoto Juga adalah

sebuah tempat untuk menyimpan benih atau barang-barang tertentu yang dianggap

sakral. Kenoto juga adalah sebutan untuk peminangan atau perkawinan adat orang

Sabu. Dalam konteks perkawinan orang Sabu peran kenoto sangat penting mulai dari

sejak peminangan “pejadi kenoto” hingga pada acara perkawinan adat atau “pemaho

kenoto”.Seorang laki-laki yang ingin mengawini seorang gadis harus terlebih dahulu

melakukan peminangan atau dalam bahasa Sabu nya “pejadd’i kenoto. Dalam acara

peminangan itu pihak laki-laki bersama keluarga akan membawa Kenoto yang sudah

diisi dengan sirih, pinang, kapur, dan juga tembakau.Dalam tradisi orang Sabu

terutama yang masih memegang aliran kepercayaan Jingitiu, proses perkawinan orang

Sabu terbagi dalam dua tahap yakni peminangan (pejadd’i Kenoto) dan perkawinan

adat (Pe abba Kenoto).

2. Proses Penggunaan Kenoto

Pemuda atau pemudi, kepai, yang siap kawin dapat dikenali dari ciri fisik atau

cara berhiasnya. Gadis siap kawin dijuluki pena na’i (panas tembakau), artinya besar

daya tariknya.Niko L Kana,(1983: 51). Peminangan dilakukan pada hari lodo li ( =

hari bicara ) adapun yng dibicarakan pada lodo li ini yaitu kesiapan sang laki-laki

untuk melangkah ke arah penikahan adat, biaya nikah adat, tanggal dan waktu nikah

adat ( kenoto) , isi kenoto. Pada saat itu serombongan dari pihak lelaki dengan juru

bicara dan mea atau maiki ( kakak atau adik si ayah anak lelaki ) mengunjungi

rumah si perempuan. Pembicaraan ini disebut peli, saling bicara. Jika hubungan antara

kedua calon mempelai sudah diketahui oleh kedua belah pihak-dan lazimnya memang

demikian- pembicaraan ini hanya pro forma dan disebut pedai pe peho’o ( = bicara

saling mengiyakan ). Pada waktu kunjungan itu utusan pihak lelaki membawa sirih-

pinang atau rukenana sebagai lambang peminangan.Apabila pinangan diterima maka

orang tua si gadis/perempuan itu menerima dan memamah sirih tersebut. Ini dianggap

lambang ikatan awal bagi pernikahan anak kedua belah pihak. Acara perkenalan itu

mengandung arti:

a. Benar-benar perkenalan karena kedua belah pihak saling mengenal

b. Sudah saling mengenal namun dalam jarak yang terbatas kali ini dimaksudkan

perkenalalan itu lebih rapat dan akrab.

Utusan orang tua lelaki dengan segala tata krama dan penuh kesopanan

mengungkapkan isi hati mereka. Setalah acara perkenalan itu berlangsung maka

kedua pihak menyepakati atau menetukan waktu untuk peminangan. Secara formal

dan resmi di ketahui oleh seluruh keluarga, justru saat peminangan itu. Itulah yang

dinamai masuk minta (peminangan). Memang di akui pada saat pertama kali

perkenalan para orang tua secara implisit sudah mengandung arti masuk minta, karena

sudah meminta isi hati atau pendirian sang gadis. Namun itu baru taraf penjajakan

awal untuk mengetahui tentang keadaan pendirian sang gadis juga belum diketahui

oleh seluruh keluarga. Pada waktu peminangan (masuk minta) itu keluarga rapat dari

dari sang gadis di hadirkan. Dari pihak lelaki juga yang hadir hanyalah pihak keluarga

rapat. Bawaan lelaki pada waktu peminangan itu dapat berupa:

a. Hanya sirih pinang semata dilengkapi kapur mamah, tembakau seadanya dan tidak

ada lain lagi. Sirih pinang itu bersyarat:1. Sirih yang masih bertangkai secukupnya, 2.

Pinang muda dengan tangkainya secukupnya, 3. Pinang kering yang sudah di kebat

dalam lidi lontar atau kelapa, 4. Pinang iris yang kering secukupnya.

Bawaan itulah yang biasa disebut kenoto iki atau kenoto kecil. Dikatakan kecil

karena isinya masih bersifat sederhana. Sirih pinang bersyarat tersebut di atas juga

akan menjadi bawaan pada waktu acara kenoto secara resmi dilaksanakan selain

syarat lain yang di tentukan oleh pihak wanita.Prosedur dan langkah-langkah yang

tepat adalah Perkenalan (kedakku kelae), Peminangan (Oro Li), Pemaho Kenoto

(nikah adat), Nikah (secara agama dan pemerintah)

Menurut Niko L Kana ( 1983 : 52 Pada masa kini campur tangan pihak

pemerintah dalam urusan perkawinan sudah terjadi. Misalnya dalam kewajiban kedua

belah pihak untuk melaporkan maksud mereka, segera sesudah tahap peli selesai.

Pelaporan melaporkan maksud mereka, segera sesudah tahap peli selesai. Pelaporan

kepada pejabat ini disebut padelo pa katu ( = memperlihatkan kepada kepala ) atau

peanyi ruai pa hedapa katu ( = mencapkan jempol ke depan pemerintah ). Baik kedua

calon mempelai maupun setiap warga yang terlibat dan bertanggung jawab untuk

menyumbang dalam urusan pernikahan ini diwajibkan hadir semuanya.Tujuan

laporan ini ialah menghindari konflik atau perceraian di hari depan. Sejumlah

pertanyaan formal diajukan kepada mereka, misalnya umur kedua calon mempelai,

alasan perkawinan (paksaan ataukah suka-sama-suka, dan sebagainya), kesanggupan

menghidupi istri (ada tidaknya sejumlah pohon tanaman keras yang ditanam oleh

pihak lelaki), maupun kesanggupan si calon istri untuk menasihati dan mengajar

suaminya. Selain merupakan kesempatan untuk memberikan aneka nasihat laporan ini

juga merupakan kesempatan bagi pihak pemerintah untuk menerima imbalan uang

kantor, doi kato.

3. Hukum Adat Tentang Perkawinan Adat Sabu

Adat Sabu mengatur tentang tujuan perkawinan, tentang syarat-syarat memilih

calon menantu/jdoh,syarat- syarat tentang pakaian pengantin dan hubungan suami-

istri.

1. Tujuan perkawinan adat sabu

Menurut pandangan orang sabu/adat perkawinan atau rumah tangga adalah

lembaga yang luhur ciptaan Deo ama sebagai bagian dari hidup manusia. Keseluruhan

itu dapat dilihat pada tujuan perkawinan , proses menuju perkawinan dan peri hidup

suami-istri dalam rumah tangganya seperti yang diamanatkan oleh Deo ama. Adapun

tujuan perkawinan atau hidup rumah tangga orang sabu adalah :

1) Untuk memenuhi kehendak deo ama yaitu demi kelangsungan hidup manusia.

2) Untuk mencapai kesempurnaan hidup.

3) Untuk memperbesar hubungan kekerabatan.

4) Untuk mendapatkan anak sebab anak membawa keberuntungan lahir batin

yang d sebut Mengngi. Mengngi menurut pandangan orang sabu mengandung

makna yang lebih luar dari rezeki begitu pentingnya lembaga. Rumah tangga

itu maka harus diatur oleh hukum adat. Sebuah rumah tagga yang dibangun

dan dikelola sesuai dengan kehendak hukum adat, akan menjadi rumah tangga

yang meringi-mengarru-merede.

2. Syarat- syarat memilih calon istri

Memilih calon suami atau istri yang ideal ada syarat-syaratnya :

a. Syarat hubungan kekerabatan yaitu :

a) Orang tua akan memilih jodoh seorang gadis yang ibunya bersaudara

kandung dengan ayah dari calon pengantin laki-laki

b) Saudara perempuan dari sang istri dijodohkan dengan saudara laki-laki

dari sang suami.

c) Ibu dari ayah calon pengantin laki-laki dan ibu calon pengantin

perempuan terhisap dalam hubi/ wini yang sama.

d) Seorang laki-laki yang istrinya sudah meninggal dijodohkan dengan

sodara perempuan dari sang istri yang sudah meninggal itu.

b. Syarat kepribadian

a) Berakhlak/ budi pekerti yang baik, tahu adat dan sopan santun

b) Sehat rohani-jasmani

c) Berasal dari keturunan orang baik-baik. Yang di maksudnkan disini

bukan faktor kekayaan atau status sosial yang tinggi, melainkan yang

dikaji bagaimana bibitnya, apakah berasal dari keturunan

udu/kegoro/hubi wini yang sama, apakah ia tergolong adat-istiadat, dan

sopan santun, tidak mengidap penyakit keturunan, bukan berasal dari

keluarga yang jahat. Apakah ia berbobot yaitu dari dikenal masyarakat

sebagai orang bertabat

c. Calon jodoh yang dilarang

a) Seorang gadis dang seorang laik-laki yang ayah mereka bersodara

kandung

b) Seorang gadis dan seorang laki-laki yang seayah – seibu.

c) Seorang laki-laki yang memilih jodoh adalah bekas istri dari ayahnya.

Atau dari anak laki-lakinya.

d) Pologami dan poligeni dilarang oleh hukum adat sabu. Sebab itu,

mereka yang beristri dua atau bersuami dua orang. Sangat ditentang

oleh adat dan oleh orang sabu.

E. Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

1. Pengertian Perkawinan

Di dalam pasal 1 UU no 1-1974 dikatakan bahwa ” perkawinan ialah ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa, Hilman Hadikuma (1990 : 7)

Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan

masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang

menurut perundang-undangan yang berlaku.Perkawinan adalah salah satu bentuk

ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun

istri.Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan

kekal selamanya.Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental

karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup

seseorang.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin

antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dan juga merupakan salah satu

bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baiksuami

maupun istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

didalamnya dan dapat menentukan jalan hidup seseorang karena perkawinan

merupakan sesuatu yang sakral,

2. Syarat-syarat Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan).Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah apabila

memenuhi syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 syarat-syarat perkawinan tercantum pada pasal

6 sebagai berikut:1) Perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama.2)

Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan.3) Perkawinan harus

didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.4) Untuk melangsungkan

pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin orang tua.

Syarat-syarat perkawinan menurut pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu:

1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi

kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kdua orang tua pihak pria

maupun pihak wanita.

3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua

tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) UU ini, berlaku yang dalam hal permintaan

dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam

pasal 6 ayat (6).

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Perkawinan Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3): 1) Setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai

Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. 2) Pemberitahuan tersebut dalam

ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan

dilangsungkan. 3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2)

disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati

Kepala Daerah.

3. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi satu sama

lain agar dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejatraan

spiritual dan material.

Dari kalimat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1) Perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga yaitu mendapatkan keturunan,

karena suatu keluarga tentunya terdiri dari suami istri dan anak-anaknya.

2) Perkawinan itu untuk selama-lamanya, hal ini dapat kita tarik dari kata “kekal”.

3) Perkawinan itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.

Tujuan perkawinan yang diinginkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 bila dirasakan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan itu tidak hanya

melihat dari segi lahiriah saja tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin

antara suami dan istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah

tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak

Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa dengan melangsungkan perkawinan akan diperoleh

kebahagiaan, baik materiil maupun spirituil. Kebahagiaan yang ingin dicapai

bukanlah kebahagiaan yang sifatnya sementara saja, tetapi kebahagiaan yang kekal,

karenanya perkawinan yang diharapkan juga adalah perkawinan yang kekal, yang

dapat berakhir dengan kematian.

4. Sahnya Perkawinan

Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur

dalam pasal 2 ayat 1, yang menyatakan “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Berdasarkan

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, maka lembaga catatan sipil

ikut berperan dalam suatu perkawinan, yaitu sebagai lembaga pencatat perkawinan,

terutama terhadap perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut

agamanya selain agama Islam. Kantor Catatan Sipil dalam melaksanakan tugasnya

sebagai instansi pencatat perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan

selain beragama Islam, berhak untuk menolak mencatatkan perkawinan yang tidak

dibenarkan oleh agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan

perkawinan.

Jadi perkawinan tidak hanya suatu perbuatan hukum yang menimbulkan

akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan sehingga sah

tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama dan kepercayaan masing-

masing. Oleh sebab itu agar lebih menjamin tercapainya tujuan perkawinan dan harus

dipenuhi sahnya suatu perkawinan tersebut, maka setiap orang hendak

melangsungkan perkawinan di Indonesia, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang

telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975.

5. Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1Tahun

1974, yaitu perkawinan yang dilarang ialah antara dua orang yang : 1) Berhubungan

darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupunkeatas.2) Berhubungan darah

dalam garis keturunan menyamping yaitu antarasaudara, antara seorang dengan

saudara orang tua dan antara seorangdengan saudara neneknya.3) Berhubungan

semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapaktiri.4) Hubungan susuan,

yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan,dan bibi/paman susuan.5)

Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakandari isteri, dalam

hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.Mempunyai hubungan yang erat oleh

agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin. Dan selanjutnya ditambah

larangan dalam pasal 9 yangberbunyi yaitu “seorang yang masih terikat tali

perkawinan dengan orang laintidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut

pada pasal 3 ayat2yaituPengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami

untuk beristrilebih dari seoarng apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang

bersangkutan. Pasal 4 ayat (1)Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari

seorang,sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-Undang ini, maka ia

wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Pasal314Ayat (2) Pengadilan dimaksudkan data ayat 1 pasal ini hanya memberikan

izinkepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : istri

tidakdapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan

ataupenyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan

keturunan. Sedangkan larangan dalam pasal 10 menyatakan apabila suami dan isteri

yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua

kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,sepanjang

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari bersangkutan tidak

menentukan lain. Larangan dalam pasal 10 Undang-UndangNo.1 Tahun 1974 ini

dimaksudkan untuk mencegah perbuatan kawin ceraiberulang kali, agar suami dan

isteri saling menghargai dan mengurus rumahtangga yang tertib dan teratur.

Dengan demikian larangan perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 Tahun1974

menyangkut beberapa larangan, yaitu larangan terhadap yang ada hubungan darah,

hubungan semenda, yang ada hubungan susuan, hubungan periparan, dan yang ada

hubungan dengan larangan agama, dan tidak disebutkan adanya larangan menurut

hukum adat kekerabatan. Hal ini nampaknya terserah kepada masyarakat adat tersebut

untuk mempertahankan adat-istiadatnya. Menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 6),

Undang-Undang Perkawinan menganut asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut

:

a. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal.

b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya

dankepercayaannya itu.

c. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

d. Perkawinan berasas monogami terbuka.

e. Calon suami isteri harus sudah masuk jiwa raganya untuk melangsungkan

perkawinan. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 dan bagi wanita 16

tahun.

f. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka sidang pengadilan.

g. Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai asas-asas atau prinsip –prinsip

perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan mempunyai tujuan dalam

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dan perkawinan haruslah sah menurut

hukum agama, kepercayaannya dan pemerintah harus dicacat menurut peraturan

perundang-undangan. Perkawinan juga harus sesuai dengan batas usia yang telah

ditetapkan dan jika terjadi perceraian dalam suatu perkawinan maka dilakukan

sidang dimuka pengadilan.

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian relevan dengan penelitian ini adalah buku karyaThomas Wiyasa

Bratawidjaja(1997) berjudul Upacara Perkawinan Adat Sunda Buku ini menjelaskan

tentang upacara perkawinan di Sunda yang banyak memberikan gambaran tentang

jalannya upacara adat perkawinan Sunda serta menguraikan tata upacara perkawinan

Sunda yang diawali dengan persiapan sebelum perkawinan, upacara perkawinan, syair

dalam upacara adat, tata rias dan busana pengantin Sunda, sopan santun dan teknik

merias bagi penata rias pengantin, hal-hal penting setelah menikah, dan perkawinan di

daerah Karawang dan Badui dalam upacara perkawinan mempunyai makna tersendiri,

yang kesemuaanya mengarah kepada keselamatan dan kebahagiaan pengantin di

kemudian hari. Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan Thomas adalah

Penelitian yang berjudul pelaksanaan perkawinan adat sabu di mangili Pahunga lodu

yang menekankan pada tata cara perkawinan adat suku Sabu dan Makna yang

terkandung dalam perkawinan tersebut

Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini ialah Skripsi Mahasiswa Pendidikan

Kewarganegaraan 2005 dengan judul penelitian “pelaksanaan perkawinaan adat suku

Boti di kabupaten Timor Tengah Selatan(TTS)pada tahun 2007-2008”.Bedanya

dengan penelitian yang dilakukan oleh Anitha dengan penelitian ini ialah

menekankan pada proses atau tahap perkawinan Suku Sabu sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Anitha lebih menekankan pada konsep dan adat perkawinan adat

suku Boti.

G. Kerangka Berpikir

Upacara

perkawinan adat

Sabu

Langkah-langkah

perkawinan adat

Sabu

Nilai dan makna

dalam

perkawinan adat

Sabu

Perbedaan

perkawinan adat Sbu

jaman dulu dan

sekarang