bab ii kajian pustaka a. belajar dan...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku yang dilakukan
secara sengaja untuk mendapatkan perubahan yang lebih baik. Belajar
merupakann suatu proses dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi
terampil, dari belum dapat melakukan sesuatu menjadi dapat melakukan sesuatu.
Skinner (dalam Sagala, 2006, hlm. 14) mengungkapkan bahwa,
Belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang
berlangsung secara progresif. Belajar juga dipahami sebagai suatu
perilaku, pada saat orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik.
Sebaliknya bila ia tidak belajar, maka responsnya menurun.
Jadi jika dilihat dari pendakat Skinner tentang belajar, belajar dan tidak
belajarnya seseorang akan terlihat dari respon yang tampak pada dirinya.
Sedangkan menurut pendapat Syah (2010, hlm. 90) “Belajar adalah tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif”.
Keberlangsungan belajar tidak memerlukan waktu yang singkat namun
memerlukan waktu yang cukup panjang melalui pengalaman-pengalaman yang
dialami oleh seseorang. Dalam proses belajar siswa terjadi proses adaptasi antara
siswa dengan lingkungan tempat dimana ia belajar. Proses adaptasi ini akan
menghasilkan suatu interaksi antara dirinya dengan lingkungan yang berupa suatu
pengalaman. Pengalaman tersebut akan membuat terjadinya suatu perubahan
tingkah laku dalam dirinya. Belajar merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan
seseorang untuk mengubah tingkah laku ke arah yang lebih baik. Seorang siswa
dapat dikatakan belajar jika ia sudah mampu menerapkan materi atau hasil
belajarnya dalam kehidupan sehari-hari dan akan terlihat perubahan tingkah laku
ke arah yang lebih baik.
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa.
Menurut Sagala (2006) pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah
yakni antara guru dan siswa, guru sebagai pendidik merupakan pihak yang
mengajar, sedangkan siswa merupakan peserta didik yang belajar.
12
Pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehigga dapat membantu siswa
dalam mempelajari kemampuan yang dimilikinya dan nilai-nilai yang baru. Knirk
dan Gustafson (dalam Sagala, 2006, hlm. 64) mengungkapkan bahwa,
„Pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan
pelaksanaan, dan evaluasi‟. Dengan arti lain pembelajaran bukan sekedar kegiatan
yang asal-asalan, melainkan pembelajaran harus dipersiapkan secara matang
melalui tahapan perencanaan pembelajaran.
Sementara Bruner (dalam Sagala, 2006) mengatakan dalam pembelajaran
diperlukan teori-teori pembelajaran yang akan menunjang dalam merancang
pembelajaran yang efektif di kelas. Pembelajaran yang efektif akan membuat
siswa sebagai peserta didik mampu dan terampil dalam pemecahan masalah, serta
dapat berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam proses pembelajaran guru menjadi peranan penting, dimana guru
menjadi fasilitator dan motivator. Dengan begitu jika guru memiliki keterampilan
dalam merancang pembelajaran dan menguasai metode-metode pembelajaran
dengan baik, maka akan tercipta pembelajaran yang efektif dan efisien.
Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bermakna, bermakna
disini merupakan pembelajaran yang akan melekat selama hidupnya. Bukan
membuat siswa hapal saja dengan konsep dan materi yang diajarkan, melainkan
siswa harus mampu memahami dan menerapkan setiap konsep dan materi yang
diajarkan. Dengan demikian siswa tidak akan mudah lupa terhadap setiap
pembelajaran yang telah dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas.
Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Konfusius (dalam Silberman,
2010) yaitu jika saya dengar, maka saya lupa, jika saya lihat, maka saya ingat, jika
saya lakukan, maka saya paham. Setelah itu Silberman memodifikasi pernyataan
Konfusius tentang paham belajar aktif. Berikut adalah teori belajar aktif yang
dikembangkan oleh Silberman (2010, hlm. 23).
Yang saya dengar, saya lupa.
Yang saya dengar dan lihat, saya sedikit lupa.
Yang saya dengar dan lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan
orang lain, saya mulai pahami.
Yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan
dan keterampilan.
Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai.
13
Dari pernyaatn paham belajar aktif di atas maka sudah sangat jelas bahwa
jika dalam proses pembelajaran melibatkan keaktifan siswa, maka pembelajaran
akan lebih bermakna. Dengan gaya mengajar yang hanya berbicara di depan kelas
tanpa melibatkan siswa dan siswa hanya mendengarkan, siswa akan cepat lupa
akan mateari yang disampaikan oleh guru.
B. Pembelajaran Matematika
1. Pengertian Matematika
Matematika seringkali dipandang sebagai matapelajaran yang selalu
berkutat dengan angka dan rumus yang kerap membuat pusing, stress, dan
frustasi. Padahal sebenarnya matematika mempunyai arti yang luas, para ahli
berhak mendefinisikan apa matematika itu berdasarkan sudut pandang dan
pengalamannya masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Fathani (2012) bahwa hingga saat ini masih belum ada kesepakatan yang
bulat tentang apa yang dimaksud dengan matematika. Untuk mendeskripsikan apa
definisi matematika, para matematikawan belum pernah mencapai suatu
kesepakatan yang sempurna. Hal tersebut akan terus berlangsung hingga akhir
zaman dan mengikuti perkembangan zaman.
Matematika berasal dari kata Yunani yaitu mathematike yang berarti
mempelajari. Kata mathematike ini juga berkaitan dengan kata mathein atau
mathenein yang memiliki arti berpikir (Suwangsih & Triurlina, 2010). Jadi dapat
diartikan bahwa matematika adalah pengetahuan yang dihasilkan dari proses
berpikir. Sejalan dengan pendapat Johnson dan Rising (dalam Ruseffendi, 1992)
bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian
yang logik, matematika merupakan pengetahuan terstruktur dan terorganisasikan.
Dalam matematika terdapat keteraturan, keruntutan, dan keharmonisan dari
sebuah pola. Itulah yang membuat matematika begitu indah sehingga
matematatika bisa dikatakan sebagai seni.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Reys, dkk. (dalam Suwangsih &
Triurlina, 2010, hlm. 4) „Matematika adalah telaahan pola dan hubungan, suatu
jalan atau pola berpikir suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat‟. Dengan
matematika sebagai seni akan membuat siswa menjadi kreatif, dengan matematika
14
siswa akan terampil dalam berbahasa, dan matematika merupakan suata alat yang
dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
Pengertian lain dari matematika, dikemukakan oleh James dan James
(dalam Suwangsih & Tiurlina, 2010, hlm. 4), „Matematika adalah ilmu tentang
logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling
berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam
tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri‟. Hal ini mengandung arti bahwa
matematika terbentuk dari logika.
Sedangkan Kitcher (dalam Fathani, 2012) mendefinisikan matematika
berdasarkan sudut pandangnya mengenai komponen-komponen dalam kegiatan
matematika. Menurutnya matematika memiliki lima komponen yang terdiri dari
bahasa yang dijalankan para matematikawan, pernyataan yang digunakan para
matematikawan, pertanyaan penting yang belum terpecahkan, alasan untuk
menjelaskan pernyataan, dan ide matematika.
Sementara itu menurut Kline (dalam Suwangsih & Triurlina, 2010, hlm.
4), „Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena
dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia
dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam‟. Dapat
diartikan bahwa matematika begitu melekat dengan kehidupan manusia,
matematika senantiasa membantu manusia dalam memecahkan berbagai masalah
di kehidupan sehari-hari. Dari mulai dilahirkan hingga kembali kepada sang
Khalik, manusia memerlukan matematika. Seperti yang telah dikemukakan oleh
Freudenthal (dalam Tarigan, 2006) mengenai matematika yang merupakan
aktivitas manusia. Maka dari itu matematika sangat berguna bagi kehidupan
manusia.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan, dapat disimpulkan
bahwa matematika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang didasarkan pada
logika, yang tersusun secara teratur dan sistematik serta dapat membantu manusia
dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan hidup manusia, baik itu dari
segi sosioal, ekonomi, dan alam di dalan kehidupan sehari-hari.
15
2. Kegunaan Matematika
Matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia,
seperti yang sudah seringkali disebutkan bahwa manusia tidak akan terlepas dari
yang namanya matematika. Matematika tentu mempunyai banyak kegunaan,
diantaranya adalah kegunaan matematika menurut Suwangsih & Triurlina (2010)
yaitu sebagai berikut.
a. Matematika sebagai ratu dan pelayan ilmu
Matematika sebagai ratu dan pelayan ilmu maksudnya adalah matematika
sebagai pemicu munculnya ilmu-ilmu yang lain. Matematika sangat membantu
bidang ilmu yang lainnya. Seperti halnya dalam statistik yaitu penghitungan data
jumlah penduduk, dalam geometri dan pengukuran yaitu ketika akan membuat
sebuah bangunan, serta bidang-bidang yang lainnya.
b. Matematika digunakan manusia untuk memecahkan masalahnya dalam
kehidupan sehari-hari
Matematika juga merupakan suatu ilmu yang menggunakan pola pikir logik,
kritis, kreatif, dan sistematik. Selanjutnya yaitu matematika sering digunakan
untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Karena matematika
sering digunakan dalam transaksi jual beli, pembagian warisan, menghitung jarak
dan waktu, menghitung kecepatan, dan lain sebagainya.
3. Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Matematika merupakan ilmu yang menjadi akar bertumbuhkembangnya
bidang-bidang ilmu yang lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Lidinillah
(2009b), “Matematika adalah suatu bentuk warisan kebudayaan manusia yang
sangat berharga hingga saat ini. Matematika dapat menjadi bukti bahwa daya
nalar manusia telah mengalami kemajuan pesat dalam setiap babak sejarah
kebudayaan manusia”. Matematika merupakan alat untuk membantu
berkembangnya bidang kajian ilmu yang lainnya, selain itu juga senantiasa
membantu dalam pemecahan masalah-masalah yang ada pada bidang ilmu yang
lainnya. Matematika berkembang pesat seiring dengan munculnya masalah-
masalah yang terjadi pada bidang-bidang ilmu lain.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap bidang kajian
matematika dalam kehidupan manusia, mau tidak mau harus menuntut adanya
16
perubahan dalam sistem pendidikan agar mampu mempersiapkan siswa yang
kelak akan memiliki kemampuan matematik untuk menopang kehidupan mereka
(Lidinillah, 2009b).
Tuntutan zaman terhadap berkembangnya kehidupan manusia harus
dibarengi dengan kemampuan berpikir matematis yang kritis serta kreatif, dengan
begitu siswa yang akan menjadi penerus bangsa yang mampu menopang hidupnya
dengan kemampuan matematik yang kokoh dan akan menjadi bekal di masa
sekarang dan masa yang akan datang. Dalam hal ini guru harus mampu mencetak
siswa unggul yang memiliki kemampuan berpikir marematis yang kritis dan
kreatif dengan melakukan pembelajaran matematika yang disesuaikan dengan
karakteristik siswa.
Maka dari itu guru harus mengetahi pembelajaran di kelas pada saat ini.
Untuk memahami bagaimana pembelajaran matematika yang terjadi di kelas,
Lidinillah (2009b) mengatakan bahwa diperlukan kerangka berpikir yang nantinya
akan memberikan landasan pemahaman tentang pembelajaran matematika,
kerangka berpikir ini juga akan memberikan pemahaman tentang bagaimana
paradigma pemebelajaran matematika di sekolah dan juga bagaimana paradigma
yang telah terjadi.
Untuk melihat profil pembelajaran matematika serta perubahan yang
terjadi pada pradigma pembelajarannya, menurut Cockcroft (dalam Lidinillah,
2009b) paling tidak dapat dilihat dari 3 dimensi yang dapat dijadikan acuan, yaitu:
„(1) matematika, sebagai bahan yang dipelajari, (2) metode, sebagai cara dan
strategi penyampaian bahan matematika, serta (3) siswa, sebagai subjek yang
mempelajari bahan matematika‟.
Dimensi matematika sebagai bahan pembelajaran merentang dari sajian
konkret sampai abstrak. Dalam hal ini, guru perlu menyajikan matematika yang
relevan dengan tahapan atau jenjang kemampuan berpikir siswa. Misalnya,
pembelajaran matematika akan lebih konkret di tingkat SD dibandingkan dengan
SMP maupun SMA. Dalam pembelajaran di SD guru harus menjembatani siswa
yang masih berpikir konkret atau semi konkret kepada matematika yang semi
abstrak atau abstrak. Pada hakikatnya, matematika adalah ilmu yang objek yang
abstrak tetapi matematika tidak bisa dilepaskan dari cara berpikir manusia itu
17
sendiri. Sehingga bagi siswa SD diperlukan representasi matematis dan bahan ajar
matematika yang sesuai dengan tingkat berpikir mereka.
4. Tujuan Matapelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (BNSP, 2006a),
matapelajaran matematika bertjuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai
berikut ini.
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generelasisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Selanjutnya tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar yang
dikemukakan DEPDIKNAS (Utomo, 2010) yaitu sebagai berikut.
a. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan,
misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen,
menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi.
b. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi,
dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil,
rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba.
c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
d. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan,
catatan, grafik, peta, diagram.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tujuan pembelajaran
matematika tidak hanya sekedar untuk dapat menyelesaikan suatu soal melalui
berbagai operasi hitung, tetapi salahsatu tujuan dari pembelajaran matematika
adalah siswa dapat memiliki kemampuan berpikir kreatif yang melibatkan
imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen,
orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba. Dari
18
tujuan tersebut dapat diketahui bahwa betapa pentingnya siswa memiliki
kemampuan berpikir kreatif matematis. Mengingat hal tersebut dalam suatu
proses pembelajaran matematika guru seharusnya dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif dalam diri siswa, guru harus merancang proses
pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan tersebut.
5. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Bidang kajian matapelajaran matematika di SD meliputi tiga bidang, yaitu
bilangan, geometri dan pengukuran, dan pengolahan data. Berikut adalah ketiga
aspek bidang kajian matapelajaran matematika menurut Adjie & Maulana (2006).
a. Bilangan
Bidang kajian bilangan di sekolah dasar diantaranya adalah melakukan dan
menggunkan sifat-sifat operasi hitung dalam pemecahan masalah dan menaksir
operasi hitung.
b. Geometri dan Pengukuran
Bidang kajian geometri dan pengukuran di sekolah dasar diantaranya adalah
mengidentifikasi bangun datar dan bangun ruang yang memenuhi sifat, unsur,
atau kesebangunannya, melakukan operasi hitung yang melibatkan keliling, luas,
volume, dan satuan pengukuran, menaksir ukuran dari benda atau bangun
geometri, menentukan dan menggambarkan letak titik atau benda dalam sistem
koordinat.
Pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi, atau kapasitas, biasanya
terhadap suatu standar atau satuan pengukuran. Sementara geometri adalah
salahsatu cabang matematika yang mempelajari tentang titik, garis, bidang, dan
benda-benda ruang beserta sifat-sifatnya, ukuran-ukurannya, dan hubungannya
antara yang satu dengan yang lainnya.
c. Pengolahan Data
Bidang kajian pengolahan data di sekolah dasar diantaranya adalah
mengumpulkan, menyajikan, dan menafsirkan data.
Dari ketiga aspek di atas, penelitian ini akan dilakukan pada aspek
geometri dan pengukuran. Karena menurut teori Van Hiele unsur-unsur yang ada
pada geometri dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Adapun
19
aspek yang diambil dari geometri dan pengukuran ini dilakukan dalam upaya
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa SD kelas V. Dari
aspek geometri dan pengukuran ini, penelitian akan dilakukan pada kompetensi
dasar “4.1 Menghitung volume kubus dan balok dan 4.2 Menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan volume kubus dan balok”.
Adapun standar kompetensi dan kompetensi dasar matapelajaran
matematika pada kelas V SD dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(BNSP, 2006a, hlm. 34).
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang Relevan dengan Luas
Permukaan dan Volume Kubus dan Balok Kelas V
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Geometridan Pengukuran
4. Menghitung volume kubus dan
balok dan menggunakannya
dalam pemecahan masalah.
4.1 Menghitung volume kubus dan
balok.
4.2 Menyelesaikan masalah yang
berkaitan volume kubus dan balok.
Sumber: Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD/MI, BNSP Tahun 2006.
C. Teori Belajar Mengajar Matematika
Terdapat beberapa teori yang mendukung pembelajaran matematika
dengan menggunakan pendekatan investigatif, yaitu sebagai berikut.
1. Teori Belajar Jean Peaget
Teori belajar Jean Piaget disebut Teori Perkembangan Mental Anak atau
Teori Tingkat Perkembangan Berpikir Anak. Menurut Jean Piaget (Maulana,
2008a, hlm. 72) tahapan berpikir dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut.
a. Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun)
Secara terperinci, beberapa ciri tahap sensori motor adalah sebagai
berikut menurut Maulana (2008a, hlm. 73).
1) Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya.
2) Anak berpikir/belajar melalui perbuatan dan gerak.
3) Anak belajar mengaitkan simbol benda dengan benda konkretnya,
hanya masih sukar. Misal: mengaitkan penglihatan mentalnya
dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan.
20
4) Mulai mengotak-atik benda.
Hal tersebut mengndung arti bahwa pada tahapan ini, anak mulai belajar
untuk menyeimbangkan gerak fisiknya. Melalui gerak fisik tersebut anak
berinteraksi dengan lingkungan sampai pada akhirnya anak mampu mengenal
dan selanjutnya mampu mengembangkan konsep suatu hal.
b. Tahap Praoperasi (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun)
Pada tahap ini anak telah menggunakan bahasa untuk mengungkapkan
gagasannya meskipun dalam mengungkapkannya anak masih bergantung
pada apa yang ada di pikirannya. Selain itu, pada tahap ini anak tidak melihat
bahwa banyaknya objek adalah tetap atau tidak berubah, tanpa
memperhatikan susunan ruang yang ditempati objek tersebut. Misalnya
seorang anak melihat benda cair yang sama banyak tetapi yang satu berada
dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan
mengatakan bahwa air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
c. Tahap Operasional Konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12
tahun)
Pada tahap ini anak mengembangkan konsep melalui penggunaan benda-
benda konkret untuk mengetahui hubungan dan berbagai model ide yang
bersifat abstrak. Pada tahap ini pula anak sudah mampu berpikir logis, namun
masih perlu benda-benda konkret untuk menjembatani pemahaman mereka
dalam berpikir logis. Oleh karena itu, siswa harus telibat langsung dalam
proses memanipulasi benda-benda konkret. Dari awal tahap operasi konkret
sampai menjelang tahap operasi formal, terdapat empat tingkat berpikir yang
dilalui oleh anak yaitu berpikir konkret, berpikir semi-konkret, berpikir semi-
abstrak, dan berpikir abstrak.
Pada umumnya siswa sekolah dasar berusia 6-12 tahun. Sehingga dapat
dikatakan bahwa siswa SD berada pada tahap operasi konkret. Tentunya guru
harus berupaya untuk menyajikan pembelajaran matematika yang abstrak
dalam bentuk konkret. Hal tersebut bukanlah suatu hal mudah untuk
dilakukan oleh guru karena matematika dipenuhi oleh unsur yang bersifat
abstrak. Namun tak perlu terlalu dirisaukan karena matematikapun sangat erat
21
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari sehingga hal tersebut akan sangat
membantu.
d. Tahap Operasi Formal (umur dari sekitar 12 tahun keatas)
Menurut Piaget, tahap ini merupakan tahap akhir dalam perkembangan
intelektual. Ciri-ciri yang tampak dalam tahap ini antara lain sebagai berikut.
1) Anak sudah mampu berpikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi
perantara operasi konkret untuk menyajikan abstraksi mental secara
verbal.
2) Dia dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat
memandang perbuatannya secara objektif dan merefleksikan proses
berpikirnya, serta dapat membedakan antara argumentasi dan fakta.
3) Mulai belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan
suatu perbuatan.
4) Dapat merumuskan dalil/teori, menggeneralisasikan hipotesis, serta
mampu menguji bermacam-macam hipotesis.
Pada tahap ini lebih mengarah pada tipe berpikir siswa. Piaget
menekankan bahwa proses belajar merupakan proses asimilasi dan
akomodasi informasi. Asimilasi merupakan suatu proses dimana siswa
mencoba mengaitkan pengalaman baru dengan pengalaman yang sudah ada
sedangkan akomodasi adalah proses perubahan pikiran sebagai hasil dari
adanya informasi serta pengalaman baru. Berdasarkan teori di atas,
pembelajaran bukan merupakan proses pentrasferan pengetahuan melainkan
proses pengkonstrusian pengetahuan siswa secara aktif. Sesuai dengan
karakteristik pada pendekatan investigatif yaitu finding pattern. Dimana
dalam hal ini siswa diajak menemukan sebuah pola, bukan hanya sekedar
transfer ilmu.
2. Teori Belajar Jerome S. Bruner
Teori belajar Bruner menjelaskan bahwa pembelajaran matematika yang
berhasil adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada konsep-konsep dan
struktur-struktur yang terdapat dalam pokok bahasan yang diajarkan (Ruseffendi,
1992). Menurutnya juga guru seharusnya memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengalami sendiri apa yang dipelajarinya melalui proses memanipulasi
benda-benda atau alat peraga. Melalui alat peraga, siswa dapat melihat langsung
keteraturan serta pola pada benda yang sedang diperhatikannya. Kemudian
22
melalui pengalaman langsung siswa akan dengan mudah menghubungkan
keteraturan yang mereka temukan dengan pengetahuan yang mereka miliki
sehingga memudahkan siswa memahami konsep yang diajarkan.
Menurut Bruner (dalam Maulana, 2008a), ada tiga tahapan yang harus
dilewati siswa dalam proses belajar matematika yaitu sebagai berikut.
a. Tahap enaktif (enactive), siswa terlibat langsung dalam memanipulasi
(mengotak-atik) benda-benda konkret.
b. Tahap ikonik (iconic), siswa sudah mulai menggunakan gambar atau grafik.
Pada tahap ini siswa sudah melakukan aktivitas mental.
c. Tahap simbolik (symbolic), siswa sudah mampu menggunakan simbol yang
bersifat abstrak.
Berdasarkan teori di atas, pembelajaran matematika di sekolah dasar
harus sesuai dengan tahapan yang disebutkan oleh Bruner. Pada tahapan-tahapan
tersebut, siswa dituntut untuk dapat menghubungkan konteks dengan konsep
matematika. Kondisi tersebut sesuai dengan salahsatu karakteristik dari
pendekatan investigatif yaitu self discovery. Dimana siswa dilatih untuk
menemukan sendiri pengetahuan yang baru bagi dirinya. Selain itu pada
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan investigatif didalamnya meliputi
tiga tahapan teori bruner.
3. Teori Belajar Ausubel
David Ausubel adalah seorang tokoh yang mengusung teori ini. Ausebel
adalah tokoh yang membedakan antara belajar menerima dan belajar menemukan.
Seperti pendapat Sagala (2006) bahwa belajar akan lebih terasa bermakna apabila
siswa mengalami sendiri apa yang dipelajarinya, bukan hanya sebatas
mengetahuinya. Menurut Ausubel (dalam Maulana, 2008a, hlm. 66), „Belajar
bermakna ialah belajar untuk memahami apa yang sudah diperolehnya, kemudian
dikaitkan dan dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajar lebih
dimengerti‟. Pendapat tersebut mengandung arti bahwa belajar harus dipahami,
bukan dipaksa untuk dihafal. Belajar harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-
hari sehingga materi akan selalu ada dalam memori dan tidak mudah lupa.
Sedangkan jika siswa hanya menghafal maka belajar yang telah mereka lakukan
tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan.
23
Berdasarkan teori di atas, pembelajaran matematika adalah pembelajaran
yang harus dipahami bukan untuk dihafal. Oleh karena itu, melalui pendekatan
investigatif, siswa diminta menemukan atau mengkontruksi sendiri konsep yang
sedang dipelajari dengan mengaitkan konsep tersebut ke dalam kehidupan sehari-
hari siswa. Selain itu, pengetahuan yang telah diperoleh siswa dapat digunakan
dalam memecahkan persoalan siswa di kehidupan sehari-harinya, sehingga
pembelajaran menjadi lebih bermakna.
4. Teori Belajar Vigotsky
Vigotsky (dalam Muijs dan Reynold, 2008) adalah seorang psikolog asal
Rusia yang mengemukakan pentingnya interaksi dan kerjasama dalam
pembelajaran. Pada saat siswa belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya,
kemudian siswa tersebut mengalami kesulitan, maka guru berperan dalam
membantu siswa mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Menurut Vigotsky
kondisi tersebut dinamakan sebagai zone of proximal development (ZPD).
Pemberian bantuan tersebut dapat melalui scaffolding berupa petunjuk atau
pertanyaan-pertanyaan (Hannah, 2014).
Hal tersebut sejalan dengan Budiningsih (2012) yang mengemukakan
bahwa menurut Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran hendaknya siswa
memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan ZPD atau potensinya
melalui belajar dan berkembang. Sementara guru harus menyediakan berbagai
jenis tingkatan bantuan atau scaffolding sebagai alat untuk memfasilitasi siswa
agar mereka mampu memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Bantuan yang
dimaksud adalah berupa contoh-contoh, pertanyaan yang dapat memancing
kreativitas siswa, atau bimibingan dari guru.
Berdasarkan teori di atas, dapat diketahui bahwa guru harus mampu
membantu siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang memancing. Dengan
demikian hal tersebut mampu membuat siswa menjadi kreatif dalam berpikir.
Selain itu teori ini sesuai dengan komponen pendekatan investigatif yaitu siswa
belajar dengan mengkontruksi pengetahuan mereka.
24
5. Teori Belajar Van Hiele
Van Hiele adalah seorang bangsawan dari Belanda yang menyeldiki
tentang pembelajaran geometri. Menurutnya unsur-unsur yang ada dalam
geometri dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Menurut
Subarinah (2006) dalam pembelajaran geometri terdapat lima tahapan yang harus
dilalui yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi,
dan tahap akurasi. Berikut adalah penjelasan mengenai lima tahapan tersebut.
a. Tahap pengenalan, pada tahap ini siswa mulai belajar mengenal bangun
geometri secara keseluruhan tanpa harus memahami sifat-sifatnya. Misalnya
pada bangun kubus, siswa cukup mengenal bahwa kubus memiliki enam sisi
persegi, delapan sudut, dan 12 rusuk.
b. Tahap analisis, pada tahap ini siswa mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki
bangun geometri, tetapi siswa belum memahami bagaimana hubungan sifat
sifat-sifat antar bangun. Misalnya siswa mengetahui sifat persegipanjang
mempunyai dua sisi yang sejajar dan sama panjang. Tetapi siswa tidak harus
tahu bahwa persegipanjang merupakan jajargenjang.
c. Tahap pengurutan, pada tahap ini siswa telah dapat mengenal dan memahami
sifat-sifat bangun geometri serta mampu mengurutkannya. Misalnya siswa
mampu menyatakan bahwa kubus adalah salahsatu bentuk balok, atau persegi
merupakan bentuk istimewa persegipanjang.
d. Tahap deduksi, pada tahap ini siswa mampu membuat kesimpulan umum dan
membawa sifat-sifat tersebut ke hal-hal yang bersifat khusus. Menurut
Maulana (2008a, hlm. 85) “Tahap ini merupakan tahap pengembangan bukti
melalui aksioma dan definisi”.
e. Tahap akurasi, tahap ini merupakan tahap akhir dimana siswa mulai
menyadari pentingnya keakuratan prinsip-prinsip dasar yang melandasi
pembuktian suatu teorema. Tahap ini merupakan tahap berpikir tingkat tinggi
yang rumit dan abstrak dalam matematika. Tahap ini mungkin tidak terjadi di
SD.
D. Pendekatan Investigatif
Dalam pembelajaran matematika, terdapat istilah investigasi matematika.
Investigasi matematika pertama kali diperkenalkan dalam Cockroft Report tahun
25
1982 oleh Committee of Inquiry into the Teaching of Mathematics in School di
Inggris. Investigasi matematika ini merupakan bagian aktivitas pembelajaran
matematika. Hal tersebut sesuai dengan laporan yang tertuang dalam Cockroft
Report bahwa pembelajaran matematika dalam setiap jenjang pendidikan harus
meliputi, eksposisi (pemaparan) guru, diskusi, kerja praktek, pemantapan dan
latihan, pemecahan masalah dan kegiatan investigasi (Lidinillah, 2009b). Berikut
adalah penjelasan mengenai pendekatan investigatif.
1. Pengertian Pendekatan Investigatif
Secara bahasa investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau
merekam fakta melakukan peninjauan, percobaan, dan sebagainya, dengan tujuan
memperoleh jawaban atas pertanyaan mengenai peristiwa, sifat atau khasiat suatu
zat, dan sebagainya. Investigasi adalah menguji masalah, pernyataan dan lainnya
secara hati-hati, dan secara khusus untuk mecari suatu kebenaran (Lidinillah,
2009b). Dengan kata lain investigasi merupakan suatu kegiatan yang meliputi
pengumpulan data atau fakta, menguji bukti atau data yang ada, membuat dugaan,
menguji dan membuktikan dugaan, dan menghasilkan kesimpulan.
Menurut Height (dalam Safitri, 2013), kegiatan investigasi yaitu kegiatan
yang berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara
sistematis. Sedangkan menurut Dobson (dalam Safitri, 2013) menyatakan bahwa
investigasi merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi
siswa untuk dapat mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan
dan hasil benar sesuai pengembangan yang dilalui siswa. Kegiatan belajarnya
diawali dengan pemecahan soal-soal atau masalah-masalah yang diberikan oleh
guru, sedangkan kegiatan belajar selanjutnya cenderung terbuka, artinya tidak
terstruktur secara ketat oleh guru, yang dalam pelaksananya mengacu pada
berbagai teori investigasi.
Lidinillah (2009b) mengungkapkan beberapa pendapat mengenai
investigasi matematika berdasarkan sudut pandang masing-masing ahli yaitu
sebagai berikut.
Menurut Bastow, dkk. (1984) investigasi matematika adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang dapat mendorong suatu aktivitas percobaan
(experiment), mengumpulkan data, melakukan observasi, mengidentifikasi suatu
26
pola, membuat dan menguji kesimpulan/dugaan (conjecture) dan jika dapat pula
sampai membuat suatu generalisasi.
Kemudian menurut Singapore Ministry of Education (2004) yang
dimaksud dengan investigasi matematika adalah sebagai berikut.
Investigasi matematika adalah suatu aktivitas matematika yang divergen.
Investigasi matematika memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bekerja dalam situasi matematika yang terbuka. Dalam kerja investigasi,
siswa menggunakan berbagai heuristik pemecahan masalah dan
keterampilan berpikir untuk memecahkan masalah investigatif dengan
penekanan pada penemuan pola-pola dan hubungan-hubungan.
Selain itu, Safitri (2013) juga mengemukakan bahwa pendekatan
investigatif yaitu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan proses
penyelidikan yang dilakukan siswa, selanjutnya siswa tersebut mengomunikasikan
hasil perolehannya, dan dapat membandingkannya dengan perolehan temannya,
karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa pendekatan
investigatif lebih menekankan kepada aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.
Siswa harus mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan menyelidiki
masalah yang bersifat terbuka secara rinci dan sistematis, sehingga dapat
menemukan pemecahan masalahnya. Dengan demikian, pendekatan investigatif
yaitu pendekatan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkontruksi pengetahuan matematika secara mandiri dan menyelidiki suatu
masalah melalui pemecahan masalah sesuai dengan ketertarikan dan kemampuan
berpikir mereka dengan menggunakan langkah-langkah investigatif.
2. Karakeristik Pendekatan Investigatif
Menurut Edmmond & Knight (dalam Lidinillah, 2009b), pendekatan
investigatif matematika memiliki beberapa karakteristik yaitu sebagai berikut:
„Open ended; finding pattern; self-discovery; reducing the teacher’s role; not
helpful examination; not worthwhile; not doing real math; using one’s own
method; being exposed; limited to the teacher’s experience; not being in control;
divergen‟. Berikut penjabaran dari karakteristik-karakteristik tersebut.
a. Open-ended, pada pendekatan investigatif aktivitas yang dilakukan bersifat
open-ended (terbuka). Contoh penerapan open-ended dalam pembelajaran
yaitu ketika siswa dihadapkan pada suatu permasalahan, siswa diminta untuk
27
menemukan cara yang berbeda dalam menjawab permasalahan namun tidak
berorientasi pada hasil. Tujuannya yaitu lebih menekankan pada bagaimana
cara siswa untuk dapat menemukan suatu jawaban, bukan untuk mendapatkan
jawaban. Siswa bisa saja menemukan berbagai cara, tidak hanya satu cara.
Hal tersebut dimaksudkan agar kemampuan berpikir matematis siswa dapat
berkembang secara maksimal dan kreativitas siswa dapat terkomunikasikan
dalam pembelajaran.
b. Finding pattern, yang dimaksud dengan finding pattern adalah kondisi
dimana siswa diajak untuk dapat menemukan sebuah pola. Kegiatan mencari
pola pada awalnya hanya dilakukan secara pasif melalui petunjuk yang
diberikan oleh guru. Selanjutnya, keterampilan itu akan terbentuk sehingga
pada saat siswa menghadapi permasalahan tertentu, siswa akan terangsang
untuk mencari pola atau keteraturannya. Tetapi tanpa dilakukan latihan-
latihan, sulit bagi siswa untuk menyadari bahwa dalam permasalahan yang
dihadapinya terdapat pola yang dapat digunakan.
c. Self-discovery, artinya siswa dilatih untuk menemukan sendiri pengetahuan
yang baru bagi dirinya meskipun hal tersebut tidak terlepas dari bantuan guru.
Pada aspek ini guru hanya sebagai fasilitator, artinya guru tidak membantu
secara penuh.
d. Reducing the teachers role, artinya guru tidak sepenuhnya memberikan
konsep mengenai materi yang dipelajari, tetapi guru hanya memberikan
sedikit informasi tentang bagaimana cara agar siswa mendapatkan konsep
tersebut.
e. Not helpful examination, artinya pembelajaran dengan pendekatan investigatif
lebih berorientasi pada proses siswa dalam menemukan berbagai cara atau
strategi dalam menyelesaikan permasalahan, bukan berorientasi pada hasil.
f. Not worthwhile, pada aspek ini tidak jauh berbeda dengan aspek not helpful
examination, hasil akhir tidak terlalu diutamakan tetapi lebih mengutamakan
proses. Dan pada akhirnya konsep yang dipelajari akan bermakna dan
tertanam dalam diri siswa.
28
g. Not doing real math, artinya siswa lebih banyak didorong untuk melakukan
kegiatan berpikir matematis (doing mathematics), tidak melakukan aktivitas
matematika secara nyata.
h. Using ones own method, artinya siswa dibiarkan untuk menggunakan cara
atau strategi mereka sendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang
diberikan oleh guru.
i. Being exposed, artinya selain siswa mampu menemukan dan menyelesaikan
permasalahan dengan cara atau strategi mereka sendiri, siswa juga dituntut
untuk mampu mengkomunikasikan jawabannya kepada teman di kelas.
j. Limited to the teachers experience, artinya guru dalam hal ini pengalamannya
terbatas. Hal ini dimaksudkan karena pembelajaran ini berpusat pada siswa
dan siswa yang mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, maka seperti yang
telah disebutkan sebelumnya bahwa guru hanya sebagai fasilitator sehingga
pengalaman guru dalam pembelajaran terbatas. Namun, kreativitas guru
sangat dipertaruhkan karena guru harus mampu mengarahkan siswa agar
dapat menguasai konsep yang sedang dipelajari.
k. Not being in control, dalam hal ini guru tidak sepenuhnya memegang kendali
atas aktivitas siswa. Artinya, dalam pembelajaran siswa dapat secara aktif
untuk mencari cara dalam pemecahan suatu masalah. Siswa dapat dengan
bebas untuk mengekspresikan atu mengeluarkan ide-idenya tanpa terlalu
berorientasi pada hasil, yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana siswa
mampu memecahkan masalah dengan berbagai cara yang mereka temukan.
l. Divergent, artinya siswa tidak dibatasi dalam melakukan aktivitas saat proses
pembelajaran. Siswa juga tidak terpaku untuk melakukan satu aktivitas untuk
menemukan konsep atau menyelesaikan permasalahan.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan investigatif
matematika berangkat dari suatu permasalahan yang bersifat terbuka (open
ended), yang menuntut aktivitas belajar yang terbuka pula dan lebih berorientasi
pada proses menuju solusi bukan pada hasil, sehingga mendorong siswa untuk
mampu mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan matematika sendiri (self
discovery). Dalam hal ini, peran guru tidak terlalu signifikan dalam aktivitas
pembelajaran. Guru berperan sebagai pembimbing dan fasilitator yang
29
memfasilitasi siswa agar dapat melakukan kegiatan investigasi matematika
dengan baik. Dengan demikian diharapkan siswa mampu mengembangkan
pemikirannya bukan hanya pada satu arah (kovergen) melainkan terbuka pada
berbagai arah (divergen) dalam mencari solusi untuk menyelesaikan setiap
persoalan dalam kehidupan.
Sementara Yeo & Yeap (2009) menyatakan bahwa dalam investigatif
tidak selamanya harus menekankan pada permasalahan terbuka namun dapat pula
menggunakan masalah tertutup. Hal tersebut tertera dalam tulisannya yang
berjudul “Solving Mathematical Problems by Investigation”.
Investigatif adalah sebuah proses dan sebuah aktivitas penyelidikan.
Karakteristik dari investigasi matematika disebutkan dalam tulisan Yeo dan Yeap
(2009) terdapat empat proses yaitu spelialisasi (specialising),
dugaan/mengkonjektur (conjecturing), membenarkan (justifying), dan generalisasi
(generalising).
Selanjutnya Yeo & Yeap (2009) berpendapat bahwa “Investigation as a
process can occur when solving closed mathematical problems and we examine
how investigation can aid teachers and students to solve these problems when
they are stuck by looking at two closed mathematical tasks”. Maksud dari kalimat
tersebut adalah investigatif sebagai suatu proses yang dapat terjadi ketika
memecahakan masalah matematika tertutup dan kita meneliti bagaimana
investigasi dapat membantu para guru dan para siswa untuk menyelesaikan
permasalahan ketika mereka terjebak dalam melihat dan menyelesaikan dua
masalah tertutup.
3. Langkah-Langkah Pendekatan Investigatif
Menurut Bastow, dkk. (dalam Lidinillah, 2009b) langkah-langkah
kegiatan investigatif matematika, yaitu sebagai berikut.
a. Menafsirkan/memahami masalah (interpreting)
b. Eksplorasi secara spontan (exploring spontaneously)
c. Pengajuan pertanyaan (posing question)
d. Eksplorasi secara sistematis (exploring systematically)
e. Mengumpulkan data (gathering and recording data)
f. Memeriksa pola (identifying pattern)
g. Menguji dugaan (testing conjecture)
30
h. Melakukan pencarian secara informal (expressing finding
informally)
i. Simbolisasi (symbolising)
j. Membuat generalisasi formal (formalising generalitation)
k. Menjelaskan dan mempertahankan kesimpulan (explaining and
justifying)
l. Mengomunikasikan hasil temuan (communicating finding)
Bastow, dkk. (dalam Lidinillah, 2009b) merinci kegiatan pembelajaran
yang dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan investigatif pada
pelaksanaan yang praktisnya, yaitu sebagai berikut.
a. Preliminary Skirmishing, pada tahapan ini siswa memulai investigasi dengan
cara yang tidak terorganisir. Suatu masalah dapat teridentifitasi dan satu atau
lebih dari tindakan produktif mulai muncul. Siswa harus didorong untuk
melakukan inisiatif mandiri secara individu maupun berkelompok. Siswa
yang satu mengamati gaya dan pendekatan siswa yang lainnya dalam
melakukan tindakan awal. Pertukaran gaya dan pendekatan antar siswa
menghasilkan cara yang lebih tepat.
b. Gestating, pada tahap gestating, perhatian sadar tidak dapat diarahkan dalam
melakukan investigasi. Kemudian ketika siswa telah menyadari kegiatan
investigasi, ide-ide barunya akan bermunculan. Hal ini dapat terjadi dalam
beberapa interval waktu selama investigasi berlangsung.
c. Exploring Systematically, tahap ini dilakukan secara teratur selama proses
pembelajaran. Siswa dapat memperoleh data dan pola.
d. Making Conjecture, pola yang diperoleh dapat digunakan untuk generalisasi
dan dapat diberlakukan untuk setiap kasus yang siswa temukan. Jika benar
atau salahnya generalisasi secara induktif belum bisa ditentukan, maka hal itu
disebut konjektur.
e. Testing Conjecture, langkah ini adalah untuk menguji konsistensi dari
konjektur dalam berbagai kasus dengan data yang tersedia, serta dapat
memprediksi hasil dari kasus yang tidak diujicoba dan kemudian menentukan
data yang relevan. Data dapat mendukung konjektur atau menghasilkan
counter example yang mengindikasikan untuk melakukan revisi atau menolak
konjektur.
31
f. Explaining or Justifying, ketika satu konjektur telah diuji melalui data yang
ada, siswa harus didorong untuk menjelaskan tentang pembuktian konjektur.
Hal itu bisa dilakukan oleh setiap siswa untuk menyajikan pertimbangan
secara deduktif untuk kepentingan generalisasi.
g. Reorganising, melalui penataan ulang pendekatan penyelesaian, investigasi
bisa lebih sederhana dan dapat lebih sistematik atau lebih umum atau
dikembangkan. Hal ini dapat dihasilkan dari pengembangan pemahaman yang
lebih mendalam tentang apa yang diinvestigasi atau mungkin sejak tahap
gestation. Walaupun penataan ulang mengharuskan usaha lebih, hal itu
biasanya dapat dipertimbangkan untuk hasil yang lebih baik.
h. Elaborating, pengembangan dari aspek lain baik masalah atau cara
penyelesaian dapat terus dilanjutkan. Tahapan ini mungkin muncul selama
tahap 2 sampai 7.
i. Summarizing, pada tahapan in siswa melakukan kesimpulan baik lisan
maupun tulisan tentang apa-apa yang yang dihasilkan pada tahap 3 dan 8 di
atas, dengan mengacu juga kepada tahap 1 dan 2.
Kemudian menurut Bastow, dkk. (dalam Lidinillah, 2009b) dalam
pembelajaran dengan pendekatan investigatif, guru harus memperhatikan
beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
a. Purpose of the investigation, guru harus menetapkan terlebih dahulu tentang
tujuan pembelajaran dan tujuan kegiatan investigasi yang akan dilakukan.
b. Teacher Trial, guru perlu mencoba berbagai bahan pembelajaran, skenario
pembelajaran serta rancangan pengelolaan kelas terlebih dahulu.
c. The First Investigation, kegiatan investigasi pertama yang dilakukan yaitu
guru harus bisa merancang permasalahan yang dapat menantang siswa untuk
aktif dan disiplin dalam mengerjakan tugas, melakukan penilaian yang mudah
dan simple bagi siswa, dan mampu mendorong siswa untuk belajar
mengambil keputusan.
d. Durasi dari investigasi, guru harus mempertimbangkan penggunaan waktu
pada setiap fase pembelajaran.
e. Model presentation, guru perlu menentukan model presentasi yang sesuai
dengan kondisi kelas.
32
f. Provision of materials, guru harus mempersiapkan dan merancang bahan ajar
dan media pembelajaran yang efektif yang dapat memfasilitasi aktivitas
investigasi matematika.
g. Direction to students, guru mengarahkan siswa dalam proses pembelajaran,
seperti diskusi dan cara-cara penyimpulan.
h. Use of class time, guru harus bisa menggunakan waktu seefektif mungkin
dalam setiap tahapan proses pembelajaran di kelas.
i. Provision of hints, guru bisa memberikan petunjuk untuk membantu proses
berpikir siswa, tetapi dilakukan secara tepat.
j. Individual and group activity, guru harus mengatur kegiatan siswa baik
secara individu maupun kelompok.
k. Summative discussion of an investigation, guru mendemonstrasikan berbagai
aspek dalam kegiatan investigasi yang mereka hasilkan; menjelaskan strategi
pemecahan masalah yang digunakan dalam investigasi; dan menyajikan
hasilnya secara lisan.
l. Open endedness of investigation, guru mendorong siswa untuk mengajukan
permasalahan baru dari soal yang sama atau mendorong siswa untuk
mengembangkan cara lain dari permasalahan yang sama.
m. Assessment of Investigation, guru harus mempertimbangkan komponen
penilaian seperti: (a) lingkup masalah dan aspek yang diinvestigasi termasuk
inisitaif; (b) kedalaman masalah dan aspek yang diinvestigasi; (c) kualitas
penggunaan proses termasuk kegiatan diskusi; (d) konten matematika dan
kualitas penggunaannya; (e) kualitas dari kesimpulan.
4. Fase-fase yang Harus Ditempuh dalam Pendekatan Investigatif
Adapun fase-fase yang harus ditempuh dalam pendekatan investigatif
menurut Setiawan (2006), yaitu sebagai berikut.
a. Fase Membaca, Menerjemahkan dan Memahami Masalah
Pada fase ini siswa harus memahami permasalahannya dengan jelas. Untuk
mempermudah siswa dalam menyelesaikan permasalahan maka harus dibuat
rencana apa yang harus dikerjakan, mengartikan persoalan menurut bahasa
mereka sendiri dengan jalan berdiskusi dalam kelompoknya, yang kemudian hasil
diskusi kelompoknya akan didiskusikan dengan kelompok lain. Jadi pada fase ini
33
siswa memperlihatkan kecakapannya dalam memulai pemecahan suatu masalah,
yaitu dengan menginterpretasikan soal berdasarkan pengertiannya dan membuat
suatu kesimpulan tentang apa yang harus dikerjakannya.
b. Fase Pemecahan Masalah
Pada fase ini siswa menjadi bingung apa yang harus dikerjakan pertama kali,
dengan demikian peran guru akan sangat diperlukan, misalnya memberikan saran
untuk memulai memecahkan masalah dengan suatu cara. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memberikan tantangan atau menggali pengetahuan siswa,
sehingga mereka terangsang untuk mencoba mencari cara-cara yang mungkin
untuk digunakan dalam pemecahan soal tersebut, misalnya dengan membuat
gambar, mengamati pola atau membuat catatan-catatan penting. Pada fase yang
sangat menentukan ini siswa diharuskan membuat konjektur dari jawaban yang
didapatnya, serta mencek kebenarannya, yang secara terperinci siswa diharapkan
melakukan hal-hal sebagai berikut.
1) Mendiskusikan dan memilih cara atau strategi untuk menangani dan
memecahkan permasalahan.
2) Menggunakan berbagai macam strategi yang mungkin akan membantu
dalam pemecahan masalah.
3) Mencoba ide-ide yang mereka dapatkan pada fase memahami masalah.
4) Memilih cara-cara yang sistematis.
5) Mencatat hal-hal penting.
6) Bekerja secara bebas atau bekerja bersama-sama (atau kedua-duanya).
7) Bertanya kepada guru untuk mendapatkan gambaran strategi untuk
penyelesaian masalah.
8) Membuat konjektur atau kesimpulan sementara.
9) Mengecek (memeriksa) konjektur yang didapat sehingga yakin akan
kebenarannya.
c. Fase Menjawab dan Mengomunikasikan Jawaban
Setelah siswa mampu memecahkan masalah, siswa harus diberikan
pengertian untuk mengecek kembali hasil yang telah diperolehnya. Jawaban yang
diperoleh itu apakah sudah cukup komunikatif dan dapat dipahami oleh orang
lain, baik tulisan, gambar ataupun penjelasannya. Pada fase ini siswa dapat
34
terdorong untuk melihat dan memperhatikan apakah hasil yang dicapainya pada
masalah ini dapat digunakan pada masalah lain. Jadi pada intinya fase ini siswa
diharapkan berhasil mengecek hasil yang diperolehnya, mengevaluasi
pekerjaannya, mencatat dan menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan
berbagai cara mentransfer keterampilannya untuk diterapkan pada persoalan yang
lebih kompleks.
5. Kelebihan Pendekatan Investigatif
Safitri (2013) mengemukakan kelebihan pendekatan investigatif dari tiga
sudut pandang, yaitu sebagai berikut.
a. Kelebihan Secara Pribadi
1) Dalam proses belajarnya dapat bekerja secara bebas.
2) Memberi semangat untuk berinisiatif, kreatif dan aktif.
3) Rasa percaya diri dapat lebih meningkat.
4) Dapat belajar untuk memecahkan, menangani suatu masalah.
5) Mengembangkan antusiasme dan rasa tertarik pada matematika.
b. Kelebihan Secara Sosial
1) Meningkatkan belajar bekerja sama.
2) Belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun dengan guru.
3) Belajar berkomunikasi yang baik secara sistematis.
4) Belajar menghargai pendapat orang lain.
5) Meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan.
c. Kelebihan Secara Akademis
1) Siswa terlatih untuk mempertanggungjawabkan yang diberikan.
2) Bekerja secara sistematis.
3) Mengembangkan dan melatih keterampilan matematika dalam berbagai
bidang.
4) Merencanakan dan mengorganisasikan pekerjaannya.
5) Mengecek kebenaran jawaban yang mereka buat.
6) Selalu berfikir tentang cara atau strategi yang digunakan sehingga
didapat sesuatu kesimpulan yang berlaku umum.
35
E. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Berpikir merupakan suatu hal yang terjadi di dalam otak kita. Dalam
kehidupan yang dijalani oleh manusia pasti tidak akan terlepas dari berpikir. Cara
berpikir dapat menentukkan kualitas hidup seseorang. Menurut Maulana (2008b)
berpikir merupakan suatu aktivitas mental yang digunakan untuk pemecahan atau
penyelesaian suatu permasalahan, membuat keputusan atau mencari suatu
pemahaman mengenai suatu hal.
Berpikir kreatif adalah salahsatu kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Berpikir kreatif identik dengan menciptakan sesuatu hal yang baru. Menurut Fauzi
(dalam Supardi, tanpa tahun) berpikir kreatif yaitu berpikir untuk menentukan
hubungan-hubungan baru antara berbagai hal, menemukan pemecahan baru dari
suatu soal, menemukan sistem baru, menemukan bentuk artistik baru, dan
sebagainya. Sejalan dengan pendapat Fauzi, Evans (dalam Sabandar, 2012)
menyatakan bahwa berpikir kreatif nampak dalam bentuk kemampuan untuk
menemukan hubungan-hubungan yang baru, serta memandang sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda dari yang biasa.
Sementara menurut Hudgins et al. (dalam Maulana, 2011, hlm. 44),
„Berpikir kreatif adalah suatu proses yang produktif dalam arti bahwa berpikir
kreatif menghasilkan suatu ide atau produk baru‟. Pendapat tersebut mengandung
arti bahwa menciptakan sesuatu yang baru yang dimaksud dalam berpikir kreatif
tidak harus benar-benar baru dalam menciptakan sesuatu ide atau produk. Akan
tetapi, bisa juga menggunakan sesuatu yang telah ada kemudian digabungkan atau
dikombinasikan untuk membentuk sesuatu yang baru.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Malaka (dalam Supardi, tanpa
tahun) mengemukakan bahwa, „Jangan berpikir bahwa kreatif itu hanya membuat
hal-hal yang baru. Justru salah, karena manusia tidak pernah membuat hal yang
baru. Manusia hanya bisa menemukan apa yang belum ditemukan oleh orang lain,
manusia hanya bisa mengubah atau menggabungkan hal-hal yang sudah ada,
sekali lagi bukan menciptakan hal yang baru‟.
Munandar (1992) mendefinisikan kemampuan berpikir kreatif sebagai
kemampuan untuk membuat suatu kombinasi baru berdasarkan informasi yang
ada dan menemukan banyak kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang
36
menekankan pada kuantitas, ketepatgunaan dan keragaman jawaban. Dalam hal
ini, berpikir kreatif memiliki kaitan yang erat dengan berpikir divergen.
Ciri orang yang memiliki kreativitas adalah mampu membuat sesuatu
baik itu dalam bentuk, ide, langkah, atau produk. Kemudian ide atau cara baru
yang dihasilkan dari berpikir kreatif itu haruslah berguna. Kreativitas dimaknai
sebagai sebuah proses. Proses mengelola informasi, melakukan sesuatu, dan
membuat sesuatu (Sudarma, 2013).
Sejalan dengan hal tersebut, Maulana (2008b, hlm. 12) berpendapat
sebagai berikut,
Kreativitas yang dimiliki seseorang merupakan kemampuan untuk
mengungkapkan hubungan-hubungan baru, melihat suatu masalah dari
sudut pandang yang baru serta membentuk kombinasi baru dari beberapa
konsep yang sudah dikuasai sebelumnya bersifat praktis, serta
memunculkan solusi yang tidak biasa tetapi berguna.
Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
berpikir kreatif adalah suatu kemampuan untuk menghasilkan ide-ide atau cara
baru yang bermanfaat dengan melihat segala suatunya dari berbagai sudut
pandang.
Selanjutnya adalah berkenaan dengan kemampuan berpikir kreatif
matematis. Menurut Balka (dalam Maulana, 2011) kemampuan berpikir kreatif
matematis meliputi kemampuan berpikir konvergen dan divergen. Kemampuan
berpikir konvergen yaitu kemampuan menyelesaikan suatu persoalan dengan
menggunakan satu jawaban, sedangkan yang dimaksud dengan kemampuan
berpikir divergen yaitu kemampuan menyelesaikan persoalan dengan berbagai
cara. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa berpikir kreatif sangat erat
kaitannya dengan berpikir divergen.
Sementara menurut Haylock (dalam Hannah, 2014) kemampuan berpikir
kreatif matematis dapat dikenali melalui dua hal yaitu dengan memperhatikan
jawaban siswa sebagai hasil berpikir dan produk yang dihasilkan dari berpikir
kreatif.
Ciri-ciri orang yang bepikir kreatif matematis menurut Munandar (1992)
adalah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tertarik terhadap tugas-tugas yang
menantang, berani mengambil resiko, tidak mudah putus asa, menghargai
37
keindahan, mempunyai rasa humor, ingin mencari pengalaman-pengalaman baru,
menghargai diri sendiri dan orang lain.
Ciri-ciri tersebut tidak akan mungkin muncul dengan sendirinya tanpa
adanya rangsangan yang berarti. Maka dari itu harus diberikan rangsangan dari
luar supaya ciri-ciri tersebut dapat muncul pada diri seseorang. Hal tersebut
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Munandar (1992) bahwa setiap orang
sebenarnya mempunyai bakat kreatif, namun jika tidak dipupuk kreativitas itu
tidak akan berkembang bahkan mungkin akan menjadi bakat terpendam. Oleh
karena itu, guru harus mampu menciptakan suatu pembelajaran matematika yang
kreatif.
Ada beberapa idikator kemampuan berpikir kreatif matematis yang harus
ditempuh guru untuk menciptakan suatu pembelajaran matematika yang kreatif.
Menurut Maulana (2011) kemampuan berpikir kreatif matematis meliputi lima
indikator yaitu kepekaan (sesitivity), kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility),
keterperincian (elaboration), dan keaslian (originality).
Berikut dijabarkan indikator yang termasuk ke dalam kemampuan berpikir
kreatif matematis.
a. Kepekaan (sesitivity)
Siswa harus memiliki aspek kepekaan ini karena berpikir kreatif merupakan
suatu kemampuan berpikir yang berawal dari adanya kepekaan terhadap kondisi
yang sedang dihadapi, misalnya dalam sebuah situasi terdeteksi adanya masalah
yang ingin atau harus diselesaikan. Menurut Maulana (2011) kepekaan dapat
diartikan sebagai kemampuan siswa menangkap dan menemukan adanya masalah
sebagai tanggapan terhadap suatu situasi.
b. Kelancaran (Fluency)
Mauluna (2011) mengungkapkan bahwa kelancaran adalah kemampuan
menyelesaikan masalah dan mampu memberikan banyak jawaban terhadap
masalah, atau memberikan beragam contoh pernyataan yang berkaitan dengan
suatu konsep matematis tertentu. Dalam hal ini siswa harus memiliki kemampuan
menyelesaikan masalah dengan berbagai cara. Dalam kondisi serumit apapun
siswa harus mampu merencanakan dan menggunakan berbagai strategi untuk
penyelesaian yang dihadapi.
38
Adapun menurut Munandar (1992, hlm. 88) berpikir lancar dapat dijabarkan
sebagai berikut.
Tabel 2.2
Indikator Berpikir Lancar (Fluency)
Definisi Perilaku Siswa
1) mencetuskan banyak
gagasan, jawaban,
penyelesaian masalah, atau
pertanyaan.
2) memberikan banyak cara
atau saran untuk
melakukan berbagai hal.
3) selalu memikirkan lebih
dari satu jawaban.
1) Mengajukan banyak pertanyaan.
2) Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada
pertanyaan.
3) Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu
masalah.
4) Lancar mengungkapkan gagasan-gagasannya.
5) Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih
banyak daripada anak-anak lain.
6) Dapat dengan cepat melihat kesalahan atau
kekurangan pada suatu objek atau situasi. Sumber : Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah: Penuntun bagi Guru dan
Orang tua
c. Keluwesan (flexibility)
Kemampuan berpikir keluwesan menurut Maulana (2011) adalah kemampuan
yang dapat menghasilkan berbagai alternatif jawaban atau cara yang berbeda dan
memberikan contoh pernyataan yang beragam mengenai suatu konsep matematis.
Keluwesan dapat dipandang juga sebagai suatu aspek yang dapat
menunjukkan kekayaan ide atau alternatif dalam membangun gagasan yang
menuju pada solusi yang diharapkan. Kadang dalam penyelesaian masalah
menggunakan solusi yang singkat tetapi juga dapat menggunakan cara
penyelesaian yang formal.
Adapun menurut Munandar (1992, hlm. 88-89) berpikir luwes dijabarkan
pada Tabel 2.3.
39
Tabel 2.3
Indikator Berpikir Luwes (flexibility)
Definisi Perilaku Siswa
1) Menghasilkan gagasan,
jawaban, atau pertanyaan yang
bervariasi.
2) Dapat melihat suatu masalah
dari sudut pandang yang
berbeda.
3) Mencari banyak alternatif atau
arah yang berbeda-beda.
4) Mampu mengubah cara
pendekatan atau pemikiran.
1) Memberikan aneka ragam penggunaan yang tak
lazim terhadap suatu objek.
2) Memberikan bermacam-macam penafsiran
terhadap suatu gambar, cerita, masalah.
3) Menerapkan suatu konsep atau asas dengan
cara yang berbeda-beda.
4) Memberikan pertimbangan-pertimbangan
terhadap situasi yang berbeda dari yang
diberikan orang lain.
5) Dalam membahas atau mendiskusikan suatu
situasi selalu mempunyai posisi yang
bertentangan dengan mayoritas kelompok.
6) Jika diberi masalah, biasanya memikirkan
macam-macam cara yang berbeda untuk
menyelesaikannya.
7) Menggolongkan hal-hal menurut pembagian
(kategori) yang berbeda-beda.
8) Mampu mengubah arah berpikir secara
spontan.
Sumber : Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah: Penuntun bagi Guru dan
Orang tua
d. Keterperincian (Elaboration)
Keterperincian adalah kemampuan memberikan jawaban atau penjelasan
secara rinci dan runtut mengenai suatu situasi matematis dengan menggunakan
konsep, representasi, istilah atau simbol matematis yang sesuai (Maulana, 2011).
Selain itu, keterperincian juga merupakan kemampuan mengembangkan suatu
gagasan matematis sehingga menjadi lebih menarik. Hal ini perlu dilaksanakan
agar siswa tidak kehilangan momentum dalam suasana belajar, terutama sebelum
siswa sempat lupa akan ide-idenya. Penataan yang teratur dan rinci ini membuka
kesempatan pada siswa untuk sewaktu-waktu dapat mengulangi atau membaca
serta mengkaji kembali apa yang telah dihasilkan.
Munandar (1992, hlm. 90), menjabarkan kemampuan keterperincian sebagai
berikut.
40
Tabel 2.4
Indikator Berpikir Keterperincian (Elaboration)
Definisi Perilaku Siswa
1) Mampu memperkaya dan
mengembangkan suatu gagasan
atau produk.
2) Menambah atau merinci detail-
detail dari suatu objek, gagasan,
atau situasi sehingga menjadi
lebih menarik.
1) Mencari arti yang lebih mendalam terhadap
jawaban atau pemecahan masalah dengan
melakukan langkah-langka yang terperinci.
2) Mengembangkan atau memperkaya gagasan
orang lain.
3) Mencoba atau menguji detail-detail untuk
melihat arah yang akan ditempuh.
4) Mempunyai rasa keindahan yang kuat,
sehingga tidak puas dengan penampilan yang
kosong atau sederhana.
5) Menambah garis-garis, warna, dan detail-
detail (bagian-bagian) terhadap gambarnya
sendiri atau gambar orang lain.
Sumber : Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah: Penuntun bagi Guru dan
Orang tua
e. Keaslian (Orisinality)
Ciri utama dari suatu kreativitas adalah keaslian. Kemampuan tersebut
meliputi kemampuan untuk menghasilkan cara baru, unik dan tidak biasa dalam
menyelesaikan suatu masalah matematis. Keaslian atau originalitas juga dapat
dipandang sebagai munculnya gagasan dari diri siswa sendiri tanpa memperoleh
bantuan dari orang lain. Keaslian bisa dibilang sebagai suatu kerelatifan, karena
bagi siswa yang memiliki gagasan baru bagi dirinya belum tantu baru bagi siswa
yang lainnya.
Menurut Munandar (1992, hlm. 89-90), kemampuan berpikir asli ini dapat
dijabarkan sebagai berikut.
Tabel 2.5
Indikator Berpikir Keaslian (Originality)
Definisi Perilaku Siswa
1) Mampu melahirkan ungkapan yang
baru dan unik.
2) Memikirkan cara yang tidak lazim
untuk mengungkapkan diri.
3) Mampu membuat kombinasi-
kombinasi yang tidak lazim dari
bagian-bagian atau unsur-unsur.
1) Memikirkan masalah-masalah atau
hal-hal yang tidak pernah
terpikirkan oleh orang lain.
2) Mempertanyakan cara-cara yang
lama dan berusaha memikirkan
cara-cara yang baru.
3) Memilih asimetri dalam
menggambar atau membuat desain.
4) Memilih cara berpikir yang lain
dari yang lain.
5) Mencari pendekatan yang baru dari
41
Definisi Perilaku Siswa
yang stereotip.
6) Setelah membaca dan
mendengarkan gagasan-gagasan,
bekerja untuk menemukan
penyelesaian baru.
7) Lebih senang mensintesis daripada
menganalisa situasi. Sumber : Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah: Penuntun bagi Guru dan
Orang tua
Dari kelima indikator yang telah dijelaskan di atas, yang akan digunakan
dalam penelitian ini hanya tiga indikator yaitu kepekaan (sensitivity),
keterperincian (elaboration), dan keaslian (originality). Pemilihan indikator
tersebut didasarkan pada pendapat Sabandar (2012, hlm. 6) yang menyatakan
bahwa,
Berpikir kreatif sesungguhnya adalah suatu kemampuan berpikir yang
berawal dari adanya kepekaan terhadap situasi yang sedang dihadapi,
misalnya dalam situasi itu terdeteksi atau teridentifikasi adanya masalah
yang ingin atau harus diselesaikan. Selanjutnya ada unsur originalitas
gagasan yang muncul dalam benak seseorang terkait dengan apa yang
teridentifikasi.
Berdasarkan pendepat tersebut dapat diketahui bahwa indikator yang
terpenting dalam kemampuan berpikir kreatif adalah kepekaan (sensitivity) dan
keaslian (originality). Selanjutnya untuk indikator kelancaran (fluence) dan
keluwesan (fleksibility) tidak diukur dalam penelitian ini. Karena kedua indikator
tersebut dituntut untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, tidak
terbatas hanya satu sudut pandang. Sementara menurut teori Piaget tahap
perkembangan siswa sekolah dasar hanya melihat suatu hal hanya dari satu sudut
pandang. Namun pada penelitian ini, ditambahkan indikator keterperincian
(elaboration). Hal ini disesuaikan dengan materi dalam penelitian ini yaitu luas
permukaan dan volume dari kubus dan balok yang menuntut adanya penjabaran
atau keterperincian terutama dalam menyelesaikan soal cerita.
F. Materi yang Berkaitan dengan Luas Permukaan dan Volume dari
Kubus dan Balok
Pada penelitian ini materi yang akan diteliti adalah mengenai luas
permukaan dan volume dari kubus dan balok. Materi inidipilih karena materi
42
tersebut adalah materi yang cukup sulit bagi anak SD. Hal tersebut terbukti dari
penelitian Soedjadi (dalam Darwis, dkk., 2014) bahwa „Masih banyak siswa yang
menganggap materi geometri sangat sulit dipelajari‟. Sebagian besar siswa tidak
mengetahui mengapa dan untuk apa mereka belajar materi-materi geometri,
karena menurut pandangan siswa semua yang dipelajari terasa jauh dari
kehidupan mereka sehari-hari.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiyawati pada tahun 2011 (dalam
Huda & Kencana, 2013) juga menyimpulkan tentang kesulitan siswa dalam
menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan segitiga dan segiempat yaitu
sebagai berikut.
1. Kesulitan memahami soal, siswa tidak menuliskan atau tidak
lengkap dalam menuliskan informasi yang diketahui dan ditanyakan,
menuliskan sama persis dengan soal yang diberikan sebesar 9,01%.
2. Kesulitan menarik kesimpulan, siswa tidak mampu menuliskan
kesimpulan sesuai pertanyaan soal, siswa salah dalam menuliskan
kesimpulan karena menggunakan hasil perhitungan yang salah, dan
ada yang tidak menuliskan kesimpulan sebesar 27,26%.
Selain itu menurut teori Van Hiele unsur-unsur yang ada dalam geometri
mampu mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, salahsatunya adalah
berpikir kreatif. Sehingga pada penelitian ini terpilihlah materi luas permukaan
dan volume dari kubus dan balok.
1. Kubus
Kubus merupakan salahsatu bangun ruang. Keistimewaan dari kubus
yaitu tersusun dari enam sisi yang ukurannya sama, karena sisi tersebut adalah
persegi. Sejalan dengan pendapat Ismunamto (2011, hlm. 68) bahwa “Kubus
adalah suatu bangun yang dibatasi oleh enam bidang datar yang masing-masing
berbentuk persegi yang sama dan sebangun”. Kubus juga memiliki sisi, rusuk,
titik sudut dan terdiri dari 6 buah sisi, 12 rusuk, dan 8 titik sudut.
43
Gambar 2.1
Kubus (a) dan jaring-jaring kubus (b)
2. Balok
Menurut Ismunamto, dkk. (2011, hlm. 52), “Balok adalah suatu bangun
yang dibatasi oleh enam bidang datar yang berbentuk persegipanjang”. Artinya
balok memiliki rusuk yang tidak sama panjang seperti pada kubus, dan hal inilah
yang membedakan balok dengan kubus. Rusuk dalam balok, terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu panjang, lebar, dan tinggi.
A B
CD
EF
GH
(a)
(b)
Gambar 2.2
Balok (a) dan jaring-jaring balok (b)
3. Luas Permukaan
Luas permukaan adalah luas daerah suatu bangun ruang atau jumlah luas
seluruh sisi pada permukaan suatu bangun ruang.
a. Luas Permukaan Kubus
Luas permukaan kubus dapat dicari dengan menjumlahkan luas keenam sisi-
sisinya, dengan kata lain yaitu luas 6 buah persegi. Berikut adalah rumus luas
permukaan kubus.
Luas permukaan = 6 x sisi x sisi
= 6 x s x s = 6s²
A B
CD
EF
GH
(a)
(b)
44
b. Luas Permukaan Balok
Sama halnya dengan kubus dalam mencari luas permukaan balok pun dengan
menjumlahkan luas semua sisinya yaitu 6 buah sisi berbentuk persegipanjang.
Seperti pada jaring-jaring persegipanjang dapat diketahui bahwa balok terdiri dari
3 pasang persegipanjang yang berbeda ukuran. Sehingga dapat dituliskan rumus
sebagai berikut.
Luas permukaan = 2 x panjang x lebar + 2 x panjang x tinggi + 2 x lebar x tinggi
= 2 + 2 + 2
4. Volume
Volume merupakan penghitungan suatu ukuran yang menyatakan banyak
tepuk atau cairan yang memenuhi rongga bangun ruang tersebut. Pada dasarnya
volume bangun ruang yang memiliki alas dan tutupnya kongruen dapat dihitung
dengan menggunakan rumus yaitu mencari luas alasnya ( ) dan
mengalikannya dengan tingginya (t).
a. Kubus
Berkenaan dengan bangun ruang kubus yang memiliki ukuran sisi-sisi yang
sama dapat diartikan bahwa alas dan tutupnya kongruen maka dapat dikatakan
bahwa panjang, lebar, dan tinggi sama dengan ukuran sisinya. Sehingga rumus
menghitung volume kubus yaitu sebagai berikut.
Volume = panjang x lebar x tinggi
= sisi x sisi x sisi
= s x s x s
= s³
b. Balok
Seperti yang telah diketahui bahwa untuk mencari volume suatu bangun
ruang adalah dengan cara mengalikan luas alas dengan tingginya, maka rumus
volume balok dapat dituliskan sebagai berikut.
Volume = Luas alas x tinggi
= (panjang x lebar) x tinggi
= panjang x lebar x tinggi
=
45
5. Hubungan Antarsatuan Volume
Berikut adalah satuan volume dan hubungan antar satuannya. Satuan
volume adalah kubik (misal = cm3).
Gambar 2.3
Tangga satuan volume
Keterangan : km3 = kilometer kubik
hm3 = hektometer kubik
dam3 = dekameter kubik
m3 = meter kubik
dm3 = desimeter kubik
cm3 = sentimeter kubik
mm3 = milimeter kubik
Satuan volume memiliki hubungan antar satuannya. Jika tangga naik
maka dibagi 1000, sedangkan jika turun maka dikalikan 1000. Untuk lebih
jelasnya perhatikan tabel di bawah ini.
Tabel 2.6
Hubungan antar satuan volume
Set
iap t
uru
n 1
tangg
a dik
alik
an
1000
1 km 0,00 000 000 000 000 000 1
Set
iap n
aik 1
tangg
a dib
agi
1000
1 000 hm 0,00 000 000 000 000 1
1 000 000 dam 0,00 000 000 000 1
1 000 000 000 m 0,00 000 000 1
1 000 000 000 000 dm 0,00 000 1
1 000 000 000 000 000 cm 0,00 1
1 000 000 000 000 000 000 Mm 1
Selain hubungan tersebut, terdapat pula hubungan antarsatuan volume
lainnya seperti pada tangga berikut.
km3
hm3
dam3
m3
dm3
cm3
mm3
46
k
h
da
D
C
M
Gambar 2.4
Tangga satuan volume
Keterangan : k = kiloliter
h = hektoliter
d = dekaliter
= liter
d = desiliter
c = sentiliter
m = mililiter
Berikut ini adalah hubungan antar satuan volume yang tertera di atas.
Tabel 2.7
Hubungan antar satuan volume
Set
iap t
uru
n 1
tangga
dik
alik
an
10
1 k 0, 0 0 0 0 0 1
Set
iap n
aik
1
tangga
dib
agi
10
1 0 h 0, 0 0 0 0 1
1 0 0 da
0, 0 0 0 1
1 0 0 0 0, 0 0 1
1 0 0 0 0 D
0, 0 1
1 0 0 0 0 0 C 0, 1
1 0 0 0 0 0 0 m 1
Selanjutnya adalah hubungan antarsatuan volume lainnya yang harus
diketahui siswa, dapat dilihat sebagai berikut.
1 = 1 dm3
1 m = 1 cm3
1 m = 1 cc
1 cm3 = 1cc
G. Perbedaan Pembelajaran Konvensional dan Pembelajaran Investigatif
Berdasarkan beberapa uraian di atas mengenai pembelajaran
konvensional dan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan investigatif
dapat dilihat beberapa perbedaan secara garis besar yaitu sebagai berikut.
47
1. Pada pendekatan investigatif pembelajaran berpusat pada siswa (student
center) sedangkan pada pembelajaran konvensional pembelajaran berpusat
pada guru (teacher center).
2. Pada pendekatan investigatif siswa dituntut untuk mampu mengkontruksi
pengetahuannya dan menemukan sendiri konsep yang akan diajarkan,
sedangkan pada pembelajaran konvensional siswa hanya menerima materi
atau konsep dari guru.
3. Tujuan akhir dari pembelajaran dengan pendekatan investigatif tidak hanya
dilihat dari hasil akhir pembelajaran tetapi juga menekankan pada proses
pembelajaran, sedangkan untuk pembelajaran konvensional hanya melihat
hasil pembelajaran.
4. Sementara jika dari langkah pembelajarannya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 2.8
Sintaks Pembelajaran antara Konvensional dan Investigatif
Pembelajaran Konvensional Langkah-langkah Investigasi
1. Langkah pertama
a. Guru menuliskan topik
pembelajaran.
b. Guru menginformasikan
tujuan pembelajaran.
c. Guru menyampaikan materi
prasyarat.
d. Guru memotivasi siswa.
1. Fase membaca, menerjemahkan dan
memahami masalah
a. Siswa menginterpretasikan soal
berdasarkan pengertiannya
b. Siswa membuat suatu
kesimpulan tentang apa yang
harus dikerjakannya.
2. Langkah kedua
a. Guru menyampaikan konsep
tentang materi yang diajarkan
kepada siswa baik secara lisan
atau pun tertulis. Hal tersebut
bertujuan supaya kosep yang
diajarkan dapat dipahami
siswa.
b. Guru memberikan contoh dan
mengajukan pertanyaan.
c. Guru menyimpulkan konsep
yang telah diajarkan.
2. Fase Pemecahan Masalah
a. Mendiskusikan dan memilih
cara atau strategi untuk
menangani dan memecahkan
permasalahan.
b. Menggunakan berbagai
macam strategi yang mungkin
akan membantu dalam
pemecahan masalah.
c. Mencoba ide-ide yang mereka
dapatkan pada fase memahami
msalah.
d. Memilih cara-cara yang
sistematis.
e. Mencatat hal-hal penting.
f. Bekerja secara bebas atau
48
Pembelajaran Konvensional Langkah-langkah Investigasi
bekerja bersama-sama (atau
kedua-duanya).
g. Bertanya kepada guru untuk
mendapatkan gambaran
strategi untuk penyelesaian
masalah.
h. Membuat konjektur atau
kesimpulan sementara.
i. Mengecek (memeriksa)
konjektur yang didapat
sehingga yakin akan
kebenarannya.
3. Langkah ketiga
a. Guru meminta siswa untuk
menerapkan konsep yang telah
diajarkan dengan mengerjakan
soal-soal latihan.
3. Fase menjawab dan
mengomunikasikan Jawaban
a. Mencek hasil yang
diperolehnya.
b. Mengevaluasi pekerjaannya.
c. Mencatat dan
menginterpretasikan hasil
yang diperoleh dengan
berbagai cara mentransfer
keterampilannya untuk
diterapkan pada persoalan
yang lebih kompleks.
H. Pembelajaran Luas Permukaan Kubus dan Balok dengan Pendekatan
Investigatif
Pembelajaran luas permukaan dengan menggunakan pendekatan
investigatif lebih menekankan pada penemuan sendiri konsep mengenai rumus
luas permukaan kubus dan balok dengan cara penyelidikan yang dilakukan oleh
siswa. Pembelajaran ini dilakukan dengan langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatan investigatif. Berikut adalah garis besar pembelajaran mengenai luas
permukaan kubus dan balok dengan menggunakan pendekatan investigatif.
1. Guru membagi siswa ke dalam 8 kelompok, masing-masing kelompok terdiri
dari 5 orang.
2. Guru menyampaikan pengaturan pengerjaan LKS.
3. Siswa mulai melakukan kegiatan investigatif secara berkelompok dengan
bimbingan dari guru.
a. Fase membaca/memahami masalah
49
1) Siswa mulai membaca petunjuk pengerjaan LKS.
2) Siswa bersama kelompoknya menyimpulkan apa yang akan
dikerjakan pada saat diskusi kelompok.
b. Fase pemecahan masalah
1) Siswa bersama kelompok mendiskusikan dan memilih cara/strategi
untuk menangani permasalahan yang ada dalam LKS.
2) Perwakilan dari masing-masing kelompok mengambil media
berupa kubus dan balok serta penggaris dan gunting dari tempat
yang telah disediakan.
3) Siswa mulai membandingkan luas yang satu dengan luas yang
lainnya.
4) Siswa menyelidiki luas dari berbagai bangun datar bangunan.
5) Siswa menggambar jaring-jaring dari bangun ruang yang telah
mereka gunting.
6) Siswa mencatat hal-hal yang penting yang mereka dapatkan pada
proses penyelidikan.
7) Siswa bertanya kepada guru jika ada hal-hal yang tidak dimengerti
oleh siswa.
8) Siswa membuat konjektur atau kesimpulan sementara atas
penyelidikan yang dilakukan.
9) Siswa mengecek konjektur yang didapat sehingga siswa yakin akan
kebenarannya.
c. Fase menjawab dan mengkomunikasikan masalah
1) Menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan berbagai cara.
2) Mengkomunikasikannya kepada teman-teman sekelas tentang apa
yang telah diperoleh.
I. Pembelajaran Volume Kubus dan Balok dengan Pendekatan Investigatif
Pembelajaran volume dengan menggunakan pendekatan investigatif lebih
menekankan pada penemuan sendiri konsep mengenai rumus luas permukaan
kubus dan balok dengan cara penyelidikan yang dilakukan oleh siswa.
Pembelajaran ini dilakukan dengan langkah-langkah pembelajaran dengan
50
pendekatan investigatif. Berikut adalah garis besar pembelajaran mengenai
volume kubus dan balok dengan menggunakan pendekatan investigatif.
1. Guru membagi siswa ke dalam 8 kelompok, masing-masing kelompok terdiri
dari 5 orang.
2. Guru menyampaikan pengaturan pengerjaan LKS.
3. Siswa mulai melakukan kegiatan investigatif secara berkelompok dengan
bimbingan dari guru.
a. Fase membaca/memahami masalah
1) Siswa mulai membaca petunjuk pengerjaan LKS.
2) Siswa bersama kelompoknya menyimpulkan apa yang akan
dikerjakan pada saat diskusi kelompok.
b. Fase pemecahan masalah
1) Siswa bersama kelompok mendiskusikan dan memilih cara/strategi
untuk menangani permasalahan yang ada dalam LKS.
2) Perwakilan dari masing-masing kelompok mengambil media berupa
kubus dan balok yang telah disediakan.
3) Siswa mulai melakukan langkah-langkah yang ada dalam LKS.
4) Siswa memasukkan kubus-kubus satuan pada bangun yang
berbentuk kubus dan balok hingga penuh.
5) Siswa mencatat hal-hal yang penting yang mereka dapatkan pada
proses penyelidikan.
6) Siswa bertanya kepada guru jika ada hal-hal yang tidak dimengerti
oleh siswa.
7) Siswa membuat konjektur atau kesimpulan sementara atas
penyelidikan yang dilakukan.
8) Siswa mengecek konjektur yang didapat sehingga siswa yakin akan
kebenarannya.
c. Fase menjawab dan mengkomunikasikan masalah
1) Menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan berbagai cara.
2) Mengkomunikasikannya kepada teman-teman sekelas tentang apa
yang telah diperoleh.
51
J. Pembelajaran Menyelesaikan Masalah yang Berkaitan dengan Luas
Permukaan dan Volume Kubus dan Balok dengan Pendekatan
Investigatif
1. Guru membagi siswa ke dalam 8 kelompok, masing-masing kelompok terdiri
dari 5 orang.
2. Guru menyampaikan pengaturan pengerjaan LKS.
3. Siswa mulai melakukan kegiatan investigatif secara berkelompok dengan
bimbingan dari guru.
a. Fase membaca/memahami masalah
1) Siswa mulai membaca petunjuk pengerjaan LKS.
2) Siswa bersama kelompoknya menyimpulkan apa yang akan
dikerjakan pada saat diskusi kelompok.
b. Fase pemecahan masalah
1) Siswa bersama kelompok mendiskusikan dan memilih cara/strategi
untuk menangani permasalahan yang ada dalam LKS.
2) Siswa diminta mengambil 1 buah kubus dan 1 buah balok.
3) Siswa yang lain menyiapkan gunting dan alat-alat lainnya.
4) Siswa mulai mengikuti langkah-langkah yang ditunjukkan dalam
LKS.
5) Sengerjakan persoalan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
6) Siswa bertanya pada guru jika dalam pemecahan masalah terdapat
hal yang kurang dipahami.
7) Siswa membuat konjektur atau kesimpulan sementara atas
penyelidikan yang dilakukan.
8) Siswa mengecek konjektur yang didapat sehingga siswa yakin akan
kebenarannya.
c. Fase menjawab dan mengkomunikasikan masalah
1) Menginterpretasikan hasil yang diperoleh dengan berbagai cara.
2) Mengkomunikasikannya kepada teman-teman sekelas tentang apa
yang telah diperoleh.
52
K. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Yulia (2012) dengan judul “Implementasi
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Investigatif dalam Meningkatkan
Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP” hasil dari penelitian tersebut
adalah tercapainya peningkatan kemampuan penalaran yang ditunjukkan dengan
hasil posttest, kelompok tinggi mencapai nilai rata-rata tertinggi yaitu 85,24.
Kedua tertinggi adalah kelompok sedang yang mencapai rata-rata 67,2.
Sedangkan yang terakhir adalah kelompok rendah yang mencapai nilai rata-rata
45,38. Selain itu, seluruh siswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran
yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan investigatif.
Badriyah (2014) telah melakukan sebuah penelitian yang berjudul
“Pengaruh Pendekatan Investigatif terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik
Siswa Sekolah Dasar pada Materi Sifat-Sifat Bangun Datar dan Simetri” dengan
hasil penelitian yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa SD yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
investigatif lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan siswa SD yang
mengikuti pembelajaran secara konvensional. Hal tersebut sesuai dengan hasil
perhitungan perbedaan rata-rata gain normal, didapat nilai P-value (Sig.1-tailed) =
0,012. Karena P-value (Sig.1-tailed) nilainya lebih kecil dari nilai α, maka
ditolak atau diterima. Selain itu berdasarkan angket yang dibagikan, siswa
memberi respon positif terhadap pembelajaran matematika pada materi sifat-sifat
bangun datar dan simetri dengan menggunakan pendekatan investigatif.
Hannah (2014) melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Pengaruh
Pendekatan Kontekstual Mind Map terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematis Siswa Sekolah Dasar”. Dari hasil penelitian tersebut disebutkan
bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual mind map
terbukti berhasil meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa
secara signifikan pada materi pecahan. Kondisi tersebut terlihat dari hasil
perhitungan uji beda rata-rata pretes dan postes di kelas eksperimen dengan
menggunakan uji Wilcoxon dengan taraf signifikansi 5% (∝ =0,05) yang
menunjukkan P-value (Sig. 1-tailed) 0,000 yang berarti kurang dari ∝= 0,05.
Artinya H0 ditolak dan H1 diterima. Hal tersebut juga didukung dengan adanya
53
aktivitas siswa aktif selama pembelajaran dan kinerja guru yang baik dalam
pelaksanaanya, dengan mengoptimalkan komponen-komponen pembelajaran
kontekstual. Selain itu, respon siswa yang positif terhadap pembelajaran dapat
mendukung peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis.
Kukuh, Setiani, dan Fakhrudin (2014) menulis sebuah jurnal penelitian
berjudul “Implementasi Pendekatan Investigasi dengan Strategi Pembelajaran
Kooperatif Tipe Stad terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa
SMA”. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa yang memperoleh pendekatan investigatif dengan
strategi pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik secara signifikan
daripada kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional serta peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa yang memperoleh pendekatan investigasi dengan
strategi pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik secara signifikan
daripada peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
L. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kaitan antara rumusan masalah dengan teori yang
dikemukakan maka dapat disusun hipotesis yaitu sebagai berikut.
1. Pembelajaran konvensional dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa pada materi luas pemukaan dan volume dari kubus dan
balok secara signifikan.
2. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan investigatif
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa pada materi
luas pemukaan dan volume dari kubus dan balok secara signifikan.
3. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan investigatif lebih
baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis.