bab ii kajian pustaka a. - abstrak.ta.uns.ac.id · bab ii kajian pustaka a.tinjauan studi terdahulu...

27
14 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Studi Terdahulu Bagian ini akan memaparkan berbagai hasil penelitian terdahulu yang sejenis dan relevan dengan penelitian ini. Skripsi Dwi Ariyani (2010) Universitas Sebelas Maret yang berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan Dan Implikatur Dalam Acara Opera “Van Java Di Trans 7” dalam penelitian ini peneliti merumuskan, (1) Bagaimana bentuk pelanggranb prinsip kesantunan salah OVJ?, (2) Bagaimana prinsip ironi dalam OVJ?, dan (3) bgaimana omplikatur yang muncul dalam OVJ?. Dalam penelitian ini mendapatkan simpulan.Pertama, Ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan ditemukan pada nbanyak data dan meliputi semua maksimnya (tujuh maksom). Pelanggaran paling banyak ialah terhadap maksim pujian, yang diikuti oleh maksim kearifan, simpati, kesepakatan, pertimbangan , kerendahan hati, dan terakhir maksim kedermawanan. Kedua, terdapat prinsip ironi dalam acara OVJ. Hanya terdapat sedikit data yang mengandung penerapan prinsip ironi. Hal tersebut karena kemungkinan para pemain OVJakan merasa lebih puas jika menghina/mengancam orang lain secara terang-terangan. Pemain OVJ. Pemain OVJ kelihatan jika berhasil menghina orang lain, hal itu dapat dilihat dari raut muka mereka tersenyum. Ketiga, ditemukan beberapa implikatur percakapan dalam acara OVJ. Inplikatur tersebut terdiri dari sembilan (9) maca, implikatur yang berbeda. Kesembilan masksim implikatur tersebut ialah implikatur menghina, nmemancing

Upload: hoangnhan

Post on 20-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Tinjauan Studi Terdahulu

Bagian ini akan memaparkan berbagai hasil penelitian terdahulu yang

sejenis dan relevan dengan penelitian ini.

Skripsi Dwi Ariyani (2010) Universitas Sebelas Maret yang berjudul

“Pelanggaran Prinsip Kesantunan Dan Implikatur Dalam Acara Opera “Van Java

Di Trans 7” dalam penelitian ini peneliti merumuskan, (1) Bagaimana bentuk

pelanggranb prinsip kesantunan salah OVJ?, (2) Bagaimana prinsip ironi dalam

OVJ?, dan (3) bgaimana omplikatur yang muncul dalam OVJ?. Dalam penelitian

ini mendapatkan simpulan.Pertama, Ditemukan pelanggaran terhadap prinsip

kesantunan. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan ditemukan pada nbanyak

data dan meliputi semua maksimnya (tujuh maksom). Pelanggaran paling banyak

ialah terhadap maksim pujian, yang diikuti oleh maksim kearifan, simpati,

kesepakatan, pertimbangan , kerendahan hati, dan terakhir maksim

kedermawanan. Kedua, terdapat prinsip ironi dalam acara OVJ. Hanya terdapat

sedikit data yang mengandung penerapan prinsip ironi. Hal tersebut karena

kemungkinan para pemain OVJakan merasa lebih puas jika menghina/mengancam

orang lain secara terang-terangan. Pemain OVJ. Pemain OVJ kelihatan jika

berhasil menghina orang lain, hal itu dapat dilihat dari raut muka mereka

tersenyum. Ketiga, ditemukan beberapa implikatur percakapan dalam acara OVJ.

Inplikatur tersebut terdiri dari sembilan (9) maca, implikatur yang berbeda.

Kesembilan masksim implikatur tersebut ialah implikatur menghina, nmemancing

15

amarah, tidak nsuka dengan kedatangan orang lain, menyuruh, dan merayu.

Dalam acara OVJ implikatur yang terjadi didominasi olem implikatur menghina.

Skripsi Tanjung Tyas Ning Putri (2010) Universitas Sebelas Maret yang

berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Film Warkop DKI Maju Kena

Mundur Kena”dalam penelitian ini peneliti merumuskan. (1) Bagaimana bentuk

pelanggaran yang terdapat pada film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena, (2)

mendeskripsikan implikatur dari pelanggaran prinsip kesantunan dalam film

Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena. Penelitian ini mendapat berbagai

simpulan . Pertama, ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kesantunan

dalam film Warkop DKI yang berjudul Maju Kena Mundur Kena, pelanggaran

maksimkesopanan hanya terjadi terhadap lima maksim dari tujuh maksim yang

tercakup dalam prinsip ini, yaitu pelanggaran maksim kearifan, pelanggaran

maksim kedermawanan, pelanggaran maksim pujian, pelanggaran maksim

kesepakatan, dan pelanggaran maksim simpati. Pelanggaran terhadap maksim

kerendah hati dan maksim pertimbangan tidak ditemukan dalam penelitian ini.

Kedua, tuturan dalam film Warkop DKI yang berjudul Maju Kena Mundur

Kenamengandung beberapa macam implikatur percakapan. Implikatur-implikatur

tersebut digunakan antara lain untuk mempermainkan seseorang, mencari

perhatian, mengambil keuntungan, menyatakan pilihan, mengejek, menyatakan

ketidaksukaan, menyindir, memaksa, mengeluh, dan menolak permintaan.

Skripsi Puspa Rinda Silalahi (2011)Universitas Negri Medan yang berjudul

“Analisis Kesantunan Berbahasa Siswa/i di Lingkungsn Sekolah SMP Negri 5

Binjai”merumuskan masalah dalam penelitian tersebut menjadi 3 rumusan (1)

16

Bagaimana realisasi kesantunan berbahasa dalam percakapan di lingkungan

sekolah, (2) Bagaimana pelanggaran prinsip kesantunan yang terjadi pada

percakapan di lingkungan sekolah, (3) peringkat pelanggaran kesantunan bahasa

yang manakah yang lebih dominan ditemukan pada percakapan di lingkungan

sekolah SMP Negri 5 Binjai.Penelitian ini juga menggunakan teori Leech. Dalam

penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut (1) realisasi kesantunan di

SMP Negri 5 Binjai dapat dilihat dari terpatuhinya maksim skala

ketidaklangsungan dengan jumlah 52 tuturan dan skala jarak dengan jumlah 42

tuturan, (2) pelanggaran maksim kesantunan di SMP Negri Binjai dapat dilihat

dari tidak terpatuhinya maksim kebijaksanaan sengan jumlah 24 tuturan dan skala

ketidaklangsungan dengan jumlah 24 tuturan, (3) peringkat pelanggaran

kesantunan bahasa yang dominan yang ditemukan adalah pelanggaran maksim

kebijaksanaan dengan jumlah 24 tuturan dan skala ketidaklangsungan dengan

jumlah 24 tuturan.

Skripsi Istiqomah (2016) Universitas Muhammadiyah Malang yang berjudul

“Analisis Kesantunan Tuturan Dalam Vidio Iklan Layanan Kesehatan

Masyarakat”dalam penelitian ini Adapun tujuan penelitian adalah

mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna kesantunan tuturan dalam video iklan

layanan kesehatan masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik

dengan jenis kualitatif yang menghasilkan data berbentuk deskripstif. Data

penelitian ini berbentuk transkripsi data diperoleh dari tuturan video iklan layanan

kesehatan masyarakat. Proses pengumpulan data dilakukan melalui tahapan, yaitu

(1) mencari video di youtube untuk diunduh, (2) mentranskripsikan data, (3)

membaca data, (4) menandai tuturan sesuai dengan bentuk, fungsi, dan makna

17

kesantunan. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan,diperoleh kesimpulan

bahwa dalam video iklan layanan kesehatan masyarakat sudah berbahasa secara

santun dengan memenuhi maksim (1) maksim kearifan, (2) maksim

kedermawanan, (3) maksim pujian, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim

kesepakatan, dan (6) maksim simpati. Adapun fungsi kesantunan tuturan iklan

layanan kesehatan masyarakat adalah fungsi kompetitif, bekerja sama dan

menyenangkan. Makna kesantunan tuturan iklan layanan kesehatan

Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang terdahulu yang

membahas pelanggaran maksim, namun dalam penelitian yang terdahulu hanya di

lakukan analisis pelanggaran maksim. Perbedaan penelitian pada penelitian

sebelumnya yakni terletak pada, peneliti menganalisis pelanggaran maksim dan

juga pematuhan maksim pada data yang telah di pilih peneliti, serta dalam

penelitian ini juga akan memunculkan implikatur dari prinsip kesantunan yang

ada .

B. Landasan Teori

Landasan teori digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diangkat

dalam sebuah penelitian teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Pragmatik

Pragmatik adalah cabang ilmu yang berbeda dengan morfologi, maupun

fonologi. Morfologi, semantik maupun fonologi merupakan cabang linguistik

yang mempelajari struktur bahasa secara internal. Sementara pragmatik adalah

cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni

18

bagaimana suatu bahasa itu digunakan di dalam komunikasi (I Dewa Putu Wijana,

1996:1). Menurut Leech (1983) pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang

mengkaji penggunaan bahasa berinteraksi dengan tata bahasa yang terdiri dari

fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik melalui pragmatik (I Dewa Putu

Wijana). Selain Leech banyak para ahli linguistik untuk memberikan

pemikirannya mengenai definisi pragmatik. Sebenarnya definisi pragmatik yamh

paling tua muncul dari pemikiran Morris. Menurutnya adalah bahwa pragmatik itu

merupakan cabang semiotika yang mempelajari Parker yang menyatakan bahwa

pragmatik adalah suatu kajian mengenai bagaimana suatu bahasa digunakan untuk

berkomunikasi. Sedangkan Faslod berpendapat bahwa pragmatik adalah kajian

mengenai penggunaan konteks untuk menarik inferensi tentag makna

Menurut Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatic sebagai berikut,

“pragmatics is the syady of those relations between language and context that are

grammaticalized, or enconded in the structure of a language” pragmatic

merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi

atau terkodifikasi dalam struktur bahasa.

Rustono (1999:17) menjelaskan ilmu pragmatic mengunggkapkan maksud

suatu tuturan di dalam peristiwa komunikasi, oleh karena itu analisis pragmatik

berupaya menemukan maksud penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat

maupun yang diungkapakan dengan tersirat di balik tuturan.Maksud tuturan dapat

diidentifikasikan dengan mempertimbangkan komponen situasi tuturan yang

mencakup penutur, mitra tutur, tujuan, konteks, tuturan sebagai hasil aktivitas.Dan

tuturan sebagai tindakan verbal.

19

Rahardi (2005:50) Pragmatik adalah studi bahassa yang mendasarkan

pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah sebagai latar

belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta

yang menyertai dan mewadahi sebuah pertutur.

2. Situasi Tutur

Rustono (1999:25) berpendapat bahwa situasi tutur adalah situasi yang

melahirkan situasi. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan

merupakan akibat.Memperhitungkan situasi tutur sangat penting di dalam

pragmatic.Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui

situasi tutur yang mendukungnya. Tidak selamanya tuturan itu secara langsung

menggambarkan makna yang dikandung oleh unsur-unsurnya.

Leech (1993:19-21) pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan

situasi tutur.

1. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)

Orang yang menyapa akan diberi symbol n ‘penutur’ dan orang yang disapa

dengan symbol t ‘petutur;.Jadi penggunaan penurur dan pentutur tidak

membatasi pragmatic pada bahasa lisan saja.Istilah-istilah ‘penerima’ (orang

yang menerima dan menafsirkan pesan) dan ‘yang disapa’ (orang yang

seharusnya menerima dan menerima dan menjadi sasaran pesan) juga perlu

dibedakan.Si penerima bisa saja seorang yang kebetulan lewat dan pendengar

pesan, dan bukan orang yang disapa.

2. Konteks sebuah tuturan

Konteks diartikan sebagai aspek-aspek yang gayut dengan lingkungan fisik dan

social sebagai tuturan.Konteks diartikan sebagai suatui pengetahuan latar

20

belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan pentutur dan membantu

petutur menafsirkan makna tuturan.

3. Tujuan sebuah tuturan

Tujuan sebuah tuturan dalam tujuan atau fungsi daripada makna yang

dimaksud atau maksud penutur mengucapkan sesuatu.Istilah tujuan dianggap

lebih natural daripada maksud, karena tidak membebani pemakaiannya dengan

suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara

umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar

Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau performasi-performasi verbal

yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu.Dengan demikian pragmatic

menangani bahasa pada tingkat yang lebih konkret daripada tata bahasa.

5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal itu sendiri, dalam

pragmatik kata ‘tutur’ dapat digunakan dalam arti yang lain, sebagai produk

suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri).

Sebuah tuturan dapat merupakan suatu contoh kalimat (sentence-instance) atau

tanda kalimat (sentence-token), tetapi bukanlah sebuah kaliamat. Artian kedua

ini tuturan-tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya dikaji dalam

pragmatic, sehingga dengan tepat pragmatic dapat digambarkan sebagai suatu

ilmu yang mengkaji makana tuturan.

21

3. Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain

seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, prinsip

kesantunan dan sebagainya (Rustono, 1999:32). Sedangkan menurut Rustono

(1999:31), tindak tutur atau ujaran merupakan entitas yang bersifat sentral dalam

pragmatik. Sedangkan Yule (1996:82) memberikan definisi mengenai tindak tutur

sebagai tindakan-tidakan yang ditampilkan lewat tuturan (Actionsperformed via

utterances are called speech acts).

Sehubungan dengan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act of

saying something). Lokusi semata-mata merupakan tindak tuturan, yaitu tindak

mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata

itu dalam kamus dan makna kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya (Asim

Gunarwan, 1994:45). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif

paling mudah untuk didefinisikan karena pengidentifikasian cenderung dapat

dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (I

Dewa Putu Wijana, 1996:18)

Tindak ilokusi disebut sebagai the act of doing something. Menurut Austin

(dalam Asim Gunarwan, 1994:46), tindak ilokusi adalah tindak melakukan

sesuatu. Tindak tutur ilokusi dipergunakan untuk melakukan sesuatu, misalnya

menginformasikan, minta maaf, dan lain-lain (I Dewa Putu Wijana, 1996:18).

Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang mengutarakannya dimaksudkan

untuk mempengaruhi lawan tutur. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang

sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang

mendengarkan (I Dewa Putu Wijana, 1996:19-20).

22

Berkaitan dengan tindak ilokusi, Searle kemudian mengembangkan konsep

tindak tutur dari Austin. Searle mengklasifikasikan tindak lokusi de dalam lima

jenis tindak tutur. Pengklasifikasian tindak tutur Searle sebagai berikut.

1.Asertif (Assertives)

Tindak tutur asertif atau representatif adalah tindak tutur yang mengikat

penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya. Termasuk ke dalam

jenis tindak tutur ini adalah tuturan-tuturan menyatakan menyebutkan,

memberikan, kesaksian, berspekulasi dan seterusnya

2.Direktif (Directives)

Merupakan tindak ntutur yang bertujuan agar mitra tuturnya melakukan

suatu tindakan yang disebutkan dalam suatu tuturan oleh penutur. Tuturan

seperti menyuruh, meminta, mengajak, meminta, memohon, menyarankan

menentang, termasuk tindak tutur direktif.

3.Komisif (Commissives)

Tindak tutur ini merupakan tindak tutur dimana penuturnya terikat untuk

melaksanakan apa yang telah dituturkannya. Tindak tutur ini, misalnya

bersumpah, berjanji, mengecam, berkual. Jenis tindak tutur ini tidak

mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan penutur.

4.Ekspresif (Expressives)

Ilokusi ini berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap

psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Ilokusi ini, misalnya

mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf,

mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.

5.Deklarasi (Declarations)

23

Keberhasilan pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya

kesesuaian antara isi tuturan dengan kenyataan. Ilokusi ini, misalnya

mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan

hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat pegawai), dan

sebagainya. Tindakan-tindakan ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang

dalam sebuah kerangka acuan kelambangaan diberi wewenang untuk

melakukannya.

4. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Tutur Tidak Langsung

Secara umum tindak tutur dibagi atas tindak tutur langsung dan tindak tutur

tidak langsung. Berdasarkan modusnya. Kalimat dibedakan menjadi kalimat berita

(deklaratif), kalimat tanya (introgatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara

konvensional, kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu antau

informasi, kalimat tanya untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau

permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvengsional untuk

mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk menyuruh, mengejek, memohon, dan

seterusnya, tindak tutur yang berbentuk adalah tindak tutur yang berbentuk adalah

tindak tutur langsung (direct specch act)

(a)Sari memilki lima ekor anjing

(b)Di manakah letak pulau jawa?

(c)Ambilkan baju saya!

Di samping untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan sengan

kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang di perintah tidak merasa dirinya

perintah. Bila hal ini terjadi, terbentuk tindak tutur tidak langsung (indirect speech

act).

24

5. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya

sama dengan makna kata-kata yang menyusunya, sedangkan tindak tuture tidak

literal (non literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama

dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.

Berkaitan dengan tindak tutur diatas langsung dan tidak langsung dikaitkan

dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan terdapat tindak

tutur-tindak tutur sebagai berikut.

1. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung Literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur

yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud

pengutaraanya. Maksud memerintah disampaikan dengan maksud

pengutaraanya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah,

memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat

tanya (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

2. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung (indirect literal speech act) adalah tindak tutur

yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud

pengutarannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa

yang dimaksudkan oleh penutur (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

3. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur

yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan,

25

tetai kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan

maksud penuturnya (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

4. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung literal (indirect nonliteral speech act) adalah

tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan

maksud yang ingin diutarakan (Muhammad Rohmadi, 2004:34)

6. Prinsip Kesantunan

Gunarwan (dalam Purwo 9Ed), 1994: 87) mengatakan bahwa konsep

mengenai kesantunan berbahasa telah dikemukakan oleh para linguis, antara lain

Lokoff (1972), Fraser (1978), Brown n Levinson (1978), dan Leech (1983).

a. Kesantunan Menurut Lokoff

Lokoff menyatakan ada tiga ketentuan untuk dapat dipenuhinya

kesantunan dalam kegiatan bertutur. Kaidah yang pertama skala formalitas

(formality scale). Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur

harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan

senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lainnya. Kaidah kedua

adalah skala ketidaktegassan (hesitancy scale) atau sering kali disebut

dengan skala pilihan (optionality scale). Skala ini menunjukkan bahwa agar

penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam bertutur maka

pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua pihak. Kaidah

yang ketiga adalah peringkat persamaan atau kesenyawaan (equality scale).

Agar dapat bersifat santun orang haruslah bersikap ramah dan selalu

mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan pihak yang lain

(dalam rahardi, 2005: 70)

26

b. Kesantunan Menurut Fraser

Fraser (dalam Gunarwan) membedakan kesantunan (politeness)

dari penghormatan (deference). Penghormatan adalah bagian dari aktivitas

yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan

secara regular. Sementara itu kesantunan adalah properti yang diasosiasikan

dengan ujaran, dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, bahwa si

penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam

memenuhi kewajibannya. Ada beberapa hal yang perlu diulas dalam

pengertian ini. Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari

ujaran, jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang

menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Ketiga,

kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi.

Artinya, kesantunan sebuah ujaran dilihat berdasarkan (a) apakah si penutur

melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (b) apakah si penutur

memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya. Yang dimaksud dengan

hak dan kewajiban penutur-mitra tutur itu adalah menyangkut apa yang

boleh diujarkan serta cara mengujarkannya (dalam Purwo (Ed.), 1994: 88-

89)).

c. Kesantunan Munurut Brown dan Levinson

Brown dan Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa itu

berkisar atas nosi muka (face), yang dibagi menjadi dua, yaitu muka

positif dan negatif. Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang

rasional, yang berkeinginan agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya

atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, diakui orang lain

27

sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, dan patut dihargai.

Selanjutnya yang dimaksud muka negatif itu mengacu pada citra diri setiap

orang yang rasional berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan

membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas

dari keharusan mengerjakan sesuatu (1987: 61-62). Konsep muka ini

dimiliki oleh setiap warga masyarakat. Oleh karena itu, dalam berinteraksi

masing-masing peserta tutur harus saling menjaga muka. Sebuah tuturan

dapat merupakan ancaman terhadap muka. Untuk mengurangi

keterancaman tersebut dalam berinteraksi perlu memperhatikan strategi

bertuturnya.

d. Kesantunan Menurut Leech

Menurut Leech terdapat lima skala untuk menentukan santun atau

tidaknya sebuah tuturan. Skala-skala tersebut adalah kerugian atau

keuntungan (cost-benefitscale), skala kemanasukaan (optionally

scale), skala ketidaklangsungan (indirectness scale), skala

keotoritasan (authority scale), dan skala jarak sosial (social distance scale)

(dalam edisi terjemahan Oka, 1993: 194-200).

Leech mengemukakan bahwa prinsip kesantunan memiliki

beberapa maksim, yaitu maksim kearifan(tact maxim), maksim

kedermawanan (generosity maxim), maksim pujian (approbation maxim),

maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kesepakatan (agreement

maxim), dan maksim simpati(sympathy maxim) (dalam edisi terjemahan

Oka, 1993: 206-207). Setiap maksim dalam prinsip kesantunan itu dapat

dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan.

Thomas (1995: 167-168) mengemukkan bahwa ada beberapa masalah dalam

pendekatan Leech, yaitu itu (a) tidak ada pembatasan maksim (b)

28

memungkinkan menghasilkan maksim baru untuk menjelaskan setiap

keteraturan yang dirasakan kecil dalam penggunaan bahasa.

Dari berbagai pendapat paraahli mengenai kesantunan, penulis

menggunakan teori yang dikemukakan oleh Leech. Prinsip kesantunan Leech

(dalam M.D.D Oka, 2011:206-207) menjelaskan bahwa prinsip kesantunan dibagi

menjadi maksim-maksim dan submaksim-submaksim, yaitu:

1. Maksim kearifan (Tact maxim) (dalam ilokusi-ilokusi imkpositif dan komisif)

(a)Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin

(b)Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin

2. Maksim Kedermawanan (Generosity maxim) ilokusi-ilokusi impositif dan

komisif

(a)Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin

(b)Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin

3. Maksim Pujian (Approbation maxim) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan

asertif)

(a)Kecamlah orang lain sesedikit mungkin

(b)Pujilah orang lain sebanyak mungkin

4. Maksim kerendah hati (Mmodesty maxim) (dalam ilokusi-ilokusi ekspresif dan

asertif)

(a)Pujialah diri sesedikit mungkin

(b)Kacamlah diri sendiri sebanyak mungkin

5. Maksim Kesepakatan (Agreement maxim) (dalam ilokusi asertif)

(a)Usahakan agar ketalsepakatan antar diri dan lain sesedikit mungkin

29

(b)Usahkan adar kesepakatan antar diri dengan lain terjadi sebanyak

mungkin

6. maksim Simpati (Sympathy maxim) (dalam ilokusi asertif)

(a)Kurangilah rasa antipati diri dengan lain hingga sekecil mungkin

(b)Tingkatkan lah rasa simpati sebanyak-banyaknya antar diri dan lain

Leech (1993: ) membagi prinsip kesantunan ini dalam enam maksim.

Keenam maksim tersebut adalah sebagai berikut.

1. Maksim Kearifan (text Maxim)

Gagasan dasar maksim kearifan dalam prinsip Kesantunan adalah bahwa

para peserta pertuturan hendaknya berpegang dalam prinsip untuk selalu

mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan pihak lain

dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan

memaksimalkan maksim-maksim kearifan akan dapat dikatakan orang

yang santun.

Kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi memberikan

sebagia berikut.

Tuan rumah :”silahkan makan saja dulu, Nak! Tadi kami semua

sudah mendahului”

Tamu :”Wah, saya jadi tidak enak, Bu”.

Informasi indeksal

Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang

sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di

rumah ibu tersebut karena hujan sangat deras dan tidak segera reda

(Rahardi, 2005: 60)

30

Tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan oleh

si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntunggan bagi tamu. Tuturan

disampaikan dengan maksud agar tamu merasa bebas dan dengan senang hati

menikmati hidangan yang disajikan itu tanpa perasaan tidak enak sedikit pun.

2. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para teserta

pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap

orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya

sendiri dan dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi

memberikan sebagia berikut.

Anak kos A :“mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak,

kok, yang kotor.”

Anak kos B :”Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga,

kok.”

Informasi Indeksal

Tuturan itu merupakan cuplikan pembicaraan antara anak kos sebuah rumah

kos di Yogyakarta. Anik yang satu berhubungan demikian erat dengan anak yang

satunya. (Rahardi, 20005: 60-61)

Dari tuturanyang disampaikan A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa A

berusaha memaksimalkan keuntungan npihak lain dengan cara menambahkan

beban dari dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan

untuk mencucikan pakaian kotor B.

31

3. Maksim Pujian (Approbation Maxim)

Di dalam maksim pujian dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap

santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan pujian kepada pihak

lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling

mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi

memberikan sebagia berikut.

Dosen A :”Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas

Business English.”

Dosen B :”Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas

sekali dari sini.”

Informasi Indeksal

Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen

dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005: 63)

Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada

contoh di atas ditanggapi dengan sangat baikbahkan disertai dengan pujian atau

pujian oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam

pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A.

4. Maksim Kerendahan hati (Modesty Maxim)

Dalam maksim kerendahhatian, peserta tutur diharapkan dapat bersikap

rendah hari dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan

32

dikatakan sombong apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji

mengunggulkan dirinya sendiri.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi

memberikan sebagia berikut.

Ibu A :”Nanti ibu akan memberikan sambutan ya dalam rapat Desa

Wisma.!”

Ibu B :” Waduh, ... nanti gerogi aku.”

Informasi Indeksal

Dituturkan seorang ibu anggota Desa Wisma kepada temannya sesama

anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke tempat

pertemuan.

5. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)

Di dalam maksim kesepakatan ini ditekankan agar para peserta tutur dapat

saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila

terjadi kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam

kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap

santun.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi

memberikan sebagia berikut.

Guru A :”Ruangnya gelap ya, Bu!”

Guru B :”He.e.eh! saklarnya mana, ya?”

Informasi Indeksal

33

Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada

saat mereka berada di ruang guru.

Dalam tuturan diatas, guru B menyepakati bahwa ruang yang dimaksud

memang gelap sehingga guru B berinisiatif untuk menyalakan lampu di ruangan

tersebut. Hal itu dapat kita ketahui dari tuturan guru B yang menanyakan letak

sakelar tersebut.

6. Maksim Simpati (Sympath Maxim)

Di dalam maksim simpati, diharapkan para peserta tutur dapat

memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu denagn pihak yang lainnya.

Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindak

tutur santun.

Dalam pragmatik: kesantunan Imperatif Bahasa Indoesia, Rahardi

memberikan sebagia berikut.

Ani :”Tut, nenekku meninggal.”

Tuti :”Innalillahi wainnailahi rojiun. Ikut berduka cita.”

Informasi Indeksal

Dituturkan oleh seorang karyawan kepda karyawan lain yang sudah

berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka.

Selain merumuskan enam maksim prinsip kesantunan, Leech menjelaskan

lima skala kesantunan yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan

tingkat kesantunan suatu tuituran. Berikut adalah skala kesantunan yang

dikemukakan Leech.

1. Skala Untung Rugi (cost-benefit)

34

Skala untung-rugi terdiri dari dua skala yang berbeda, yaitu untung-rugi

bagi penutur dan untung-rugi bagi mitra tutur. Pada umumnya keberagaman kedua

skala ini saling bergantung, tetapi tidak menurup kemungkinan bahwa

keberagaman skala yang satu terjadi terlepas dari keberagaman skala lain (Leech

dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:195_

Leech (dalam terjemahan M. D. D Oka, 1993:196) menyebutkan adanya

hubungan yang erat pada kedua skala ini, karena baik impositif (untung-rugi bagi

mitra tutur) maupun komisif (untung-rugi bsgi penutur) merupakan ilokusi yang

khas yang mengusulkan suatu tindakan yang melibatkan antara penutur dan mitra

tutur, yaitu penutur melakukan sesuatu untuk mitra tutur atau sebaliknya

2. Skala Kemanasukaan (optionality scale)

Skala ini mengurut ilokusi-ilokusi jumlah pilihan yang diberikan oleh

penutur kepada mitra tutur (Leech dalam edisi terjemahan M. D. D Oka,

1993:195)

Skala ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang

disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam kegiatan bertutur. Semakin

pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur dalam kegiatan menentukan

pilihan yang banyak dan leluas, akan dianggap semakin santulah tuturan itu.

Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan

memilih bagi penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun

(Kunjana Rahardi, 2005:65)

3. Skala Ketaklangsungan (indirectness scale)

Skala ketidaklangsungan dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu penutur

dan mitra tutur. Dari sudut pandang penutur skala ini mengurut ilokusi-ilokusi

35

menurut: panjang jalan yang menghubungkan tindak ilokusi dan tujuan ilokusi,

sesuai dengan analisis cara tujuan. Adapun dari sudut pandang mitra tutur,

yaitumengurut ilokusi berdasarkan panjang jalan inferensial yang dibutuhkan oleh

makna untuk sampai ke daya. Oleh karena itu, ada dua skala ketidaklangsungan:

satu untuk penutur dan satu untuk mitra tutur. Kedua skala ini mempunyai banyak

kesepadanannya, karena strategi mitra tutur untuk menginterpresentasikan

(inferential strategy) merupakan rekrontuksi langkah demi langkah pemahaman

mitra tutur mengenai strategi ilokusi penutur (Leech dalam edisi terjemahan M. D.

D Oka, 1993:195)

4. Skala Otoritas (authority scale)

Skala otoritas dengan sumbu vertikal yang mengukur jarak sosial menurut

kekuasaan atau otoritas yang dimiliki seseorang pemeran serta atas pemeran serta

yang lain adalah ukuran yang asimetris, artinya seorang yang memiliki otoritas

atau kekuasaan dapat menggunakan bentuk sapaan yang akrab kepada orang lain,

tetapi orang yang disapa akan menjawab dengan sapaan yang hormat (Leech

dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:199).

5. Skala Jarak Sosial (social distance)

Skala jarak sosial digambarkan dengan garis horisontal yang mengukur

jarak sosial. Menurut skala ini derajat rasa hormat yang ada pada situasi ujar

tertentu sebagian besar tergantung dari beberapa faktor yang relatif permanen,

yaitu faktor-faktor situasi atau kedudukan, usia, derejat, keakraban, dan

sebagainya, tetapi sedikit banyak juga tergantung pada peranan sementara

seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam skala ini, tingkat

36

keakraban antara penutur dengan mitra tutur menentukian tingkat kesantunan

berbahasa (Leech dalam edisi terjemahan M. D. D Oka, 1993:199).

7. Implikatur

Pada dasarnya ada dua teori implikatur, yaitu teori implikatur menurut Grice

dan implikatur menurut Sperber dan Wilson. Menurut teori implikaturnya, Grice

membagi implikatur menjadi tiga macam, yaitu implikatur konvensional,

implikatur non konvensional (convensional), dan praanggapan. Kemudian tokoh

lain Gazdar yang juga mengulas teori Grice membagi implikatur menjadi dua,

yaitu implikatur umum dan implikatur khusus. Sedangkan implikatur menurut

Sherber dan Wilson. Bahwa bidal-bidal yang paling penting dikemukakan oleh

Grice adalah bidal hubungan atau televensi, oleh sebab itu teori Sperber dan

Wilson dinamakan teori Relevensi. Namun baik tepri Grice dan menurut Sperber

dan Wilson, keduanya tetap menekankan pada implikatur percakapan.

Implikatur (implicature) adalah derivasi kata implicate, yang semula

bermakna “menuduh seseorang terlibat dalam perbuatan yang melanggar hukum”.

Makna ini diubah oleh Grice menjadi “sinonim” kata imply. Bedanya adalah

bahwa imply bermakna “menyiratkan secara umum”, sedangkan implicate

bermakna “menyiratkan secara kebahasaan. ” (Gunarwan, 2007:86)

Selanjutnya Grice (1975) dalam artikelnya yang berjudul Logic and

Conversation mengatakan bahwa istilah implikatur digunakan untuk menerangkan

apa yang diartikan, disarankan atau dimaksudkan berbeda dengan apa yang

dinyatakan penutur. Dalam teorinya mengenai implikatur, Grice berusaha

menjelaskan bagaimana seorang mitra tutur memahami apa yang dikatakan dan

dimaksudkan oleh penutur. Selanjutnya, dinyatakan bahwa sebuah tuturan dapat

37

mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan. Proposisi

yang diimplikasikan tersebut disebut sebagai implikatur.

Grice (2006:67) menyebutkan bahwa implikatur dibedakan menjadi dua

yaitu implikatur konvensional dan nonkovensional. Implikatur konvensional

adalah makna suatu ujaran yang secara konvensional atau secara umum diterima

oleh masyarakat, sedangkan implikatur nonkonvesional adalah ujaran yang

menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan sebenarnya.

Menurut Yule (1996:40), implikatur terdiri dari 4 jenis implikatur percakapan

yaitu sebagai berikut.

a. Conversational Implicature (Implikatur Percakapan)

Asumsi dasar percakapan adalah jika ditunjukkan sebaliknya, bahwa

peserta-pesertanya mengikuti prinsip kerja sama dan maksim-maksim.

Implikatur percakapan dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung

dalam percakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.Implikatur

percakapan menerangkan yang mungkin diartikan, disarankan, atau

dimaksudkan oleh penutur dapat berbeda dengan yang dikatakan oleh penutur.

b. Generalized Conventional Implicatures (Implikatur Percakapan Umum)

Implikatur percakapan khusus tidak dipersyaratkan untuk

memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan, maka disebut dengan

implikatur percakapan umum (Yule, 1996:40)

c. Particularized conversational implicatures (Implikatur Percakapan Khusus)

Pada peristiwa tutur, munculnya implikatur disebabkan adanya

persamaan pengetahuan dan konteks tertentu.Akan tetapi, seringkali tuturan

yang disampaikan terjadi dalam konteks yang sangat khusus.Inferensi-

38

inferensi yang demikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang

disampaikan sehingga menghasilkan implikatur percakapan khusus (Yule,

1996:42).

d. Conventional Implicatures (Implikatur konvensional)

implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau

maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan

dan tidak langsung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya.Implikatur

konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud

tambahan jika yang disampaikan kata-kata itu digunakan. Kata penghubung

“tetapi” adalah salah satu kata-kata ini (Yule,1996:45).

39

C. Kerangka Pikir

Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk

menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Secara garis besar, kerangka pikir

dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut.

BAB III

Acara Islam Itu Indah di Trans TV

Percakapan dalam acara Islam Itu Indah

Indah

Masalah:1. Pematuhan prinsip kesantunan2. Pelanggaran prinsip kesantunan3. Wujud Implikatur

Tujuan:1. Mendeskripsikan bentuk pematuhan prinsip

kesantunan2. Mendeskripsikan bentuk pelanggaran prinsip

kesantunan3. Mendeskripsikan wujud implikatur

Implikatur1. Menolak2. Menyindir3. Tidak setuju4. Menyatakan

pemberitahuan5. mengejek6. menyombongkan diri7. menyuruh

Teori kesantunan Leech1. Maksim kearifan2. Maksim Kedermawanan3. Maksim Pujian4. Maksim Kerendahan

hati5. Maksim kesepakatan6. Maksim simpati

Hasil:1. Deskripsi pematuhan prinsip kesantunan2. Deskripsi pelanggaran prinsip kesantunan3. Tuturan Implikatur

40

(Apabila terjadi tuturan tidak langsung)

Keterangan bagan:

Bagan di atas menunjukkan bahwa sumber data penetlitian ini adalah acara

Islam Itu Indah dan data dalam penelitian ini adalah tuturan yang terdapat dalam

acara Islam Itu Indah. Tuturan yang terjadi dalam acara tersebut dapat berupa

tuturan pembawa acara, Ustad, Ustadah, Jamaah, Bintang tamu. Pembawa acara

dalam acara tersebut adalah Fadli dan Irgi, Ustad yakni Ustad Maulana dan Ustad

Syam, dan Ustadah Oki. Tuturan tersebut dapat tersampaikan melalui tindak tutur

yang mereka lakukan, sehingga dengan tindak tutur akan diketahui apakah tuturan

itu mematuhi atau tuturan yang melanggar prinsip kesantunan. Dari sumber data

tersebut, peneliti kemudian menidentifikasi tuturan dengan melakukan

pengelompokan berupa tuturan yang didalamnya mengandung pematuhan prinsip

kesantunan, pelanggaran prinsip kesantunan. Tuturan yang melanggar prinsip

kesantunan akan menghasilkan implikatur percakapan. Selanjutnya, sebagai

tuturan yang mengandung prinsip kesantunan (khususnya pelanggaran),

implikatur akan dijadikan data penelitian. Data-data tersebut kemudian dianalisis

menggunakan teknik analisis data, yaitu dengan metode analisis kontekstual dan

heuristik.