bab ii kajian pustaka 2.1. penuaan - sinta.unud.ac.id ii.pdf · (idf) pada tahun 2009, memprediksi...

31
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penuaan 2.1.1. Definisi penuaan Penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti dialami setiap individu. Manusia lahir, berkembang dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal merupakan suatu siklus kehidupan yang tidak terpisahkan. Namun anggapan bahwa bertambahnya usia harus disertai dengan segala kekurangan dan ketidakberdayaan semestinya dihilangkan. Usia boleh bertambah tetapi kemampuan fisik dan psikis harus tetap baik sehingga manusia dapat menjalani hidup dengan kualitas yang lebih baik (Fowler, 2003; Pangkahila, 2011). 2.1.2. Penyebab penuaan Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal terdiri dari radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). [Type a quot

Upload: nguyendung

Post on 16-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Penuaan

2.1.1. Definisi penuaan

Penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga

tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Merupakan

suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti dialami setiap individu. Manusia

lahir, berkembang dewasa, menjadi tua dan akhirnya meninggal merupakan suatu

siklus kehidupan yang tidak terpisahkan. Namun anggapan bahwa bertambahnya

usia harus disertai dengan segala kekurangan dan ketidakberdayaan semestinya

dihilangkan. Usia boleh bertambah tetapi kemampuan fisik dan psikis harus tetap

baik sehingga manusia dapat menjalani hidup dengan kualitas yang lebih baik

(Fowler, 2003; Pangkahila, 2011).

2.1.2. Penyebab penuaan

Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor internal

dan eksternal. Beberapa faktor internal terdiri dari radikal bebas, hormon yang

berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun

dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak

sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan (Pangkahila,

2011).

[Type

a

quot

e

from

the

docu

ment

or

the

sum

mary

of an

inter

estin

g

point

. You

can

positi

on

the

text

box

anyw

here

in the

docu

ment

. Use

the

Draw

ing

Tools

tab

to

chan

ge

the

form

attin

g of

the

pull

quot

e text

box.]

2

Proses penuaan yang disertai dengan penurunan berbagai fungsi organ

tubuh dapat memicu munculnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah

suatu penyakit yang timbul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, dari

keadaan normal menjadi lebih buruk. Penyakit degeneratif dapat dikatakan pula

sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan. Salah satu contoh dari penyakit

degeneratif adalah Diabetes Melitus (Karyani, 2003).

2.2 Penyakit Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena defek dari sekresi insulin,

sensitivitas insulin atau kerusakan sel beta pankreas (ADA, 2014).

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.

WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup

besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah

penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3

juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation

(IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0

juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat

perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan

jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).

3

2.2.1. Patofisiologi Diabetes Melitus

Gula dalam darah disebut sebagai glukosa, berasal dari dua sumber, yaitu

dari makanan dan hasil produksi di hati. Setiap kali kita makan, pankreas

memberikan respons dengan mengeluarkan insulin ke dalam darah. Insulin

berperan sebagai kunci yang membuka pintu sel agar glukosa bisa masuk, dengan

demikian kadar glukosa dalam darah menjadi turun. Hati merupakan tempat

penyimpanan sekaligus pusat pengolahan glikogen. Pada saat kadar insulin

meningkat seiring dengan masuknya makanan ke dalam tubuh, hati akan

menimbun glikogen. Pada saat gula darah rendah, glikogen di hati akan diubah

menjadi glukosa dan dialirkan keluar dari hati menuju target organ (Gambar 2.1).

Pada Diabetes terdapat gangguan keseimbangan antara transportasi glukosa ke

dalam sel, glikogen yang disimpan dihati serta glukosa yang dikeluarkan dari hati.

Ketidakseimbangan ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Hal ini

disebabkan karena pankreas tidak mampu membuat insulin atau sel tubuh tidak

mampu merespons kerja insulin sehingga pintu sel tidak terbuka (Tandra, 2014).

4

Gambar 2.1. Fisiologi Homeostasis Kadar Glukosa Darah Perifer:

Ketidakseimbangan Diatas Memicu Diabetes Melitus (Jørgensen, 2015)

2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah

ini:

a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, daya

penglihatan menurun, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae

pada wanita (Perkeni, 2011).

5

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM tipe 2.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL ditambah dengan adanya

keluhan klasik. Puasa diartikan bahwa pasien tidak mendapat asupan

kalori apapun selama 10-12 jam.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar glukosa plasma 2 jam pada

TTGO ≥ 200 mg/dL. TTGO dilakukan dengan standar WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa pada

orang dewasa atau 1,75 gram/kgBB pada anak-anak yang dilarutkan dalam

air sebanyak 250 ml (Perkeni, 2011).

Menurut ADA pada tahun 2014, Pemeriksaan HbA1C (>6.5%) sudah

dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana

laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik. Penggunaan nilai HbA1c

dianggap sensitif untuk digunakan sebagai screening bagi penderita DM (ADA,

2014).

HbA1C merupakan hasil glikosilasi hemoglobin, yang berikatan dengan

glukosa/karbohidrat pada gugus asam amino. Mekanisme pembentukan HbA1C

pada penderita diabetes dapat terjadi karena adanya reaksi non enzimatik glukosa

dan Hb di dalam sel darah merah (reaksi Maillard). Reaksi Maillard adalah reaksi

antara karbohidrat (gula pereduksi) dengan gugus amino primer yang hasilnya

berupa produk berwarna cokelat (Buse et al., 2003; Perkeni, 2011).

6

2.2.3 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes melitus

diklasifikasikan menjadi 4 kategori berdasarkan etiologinya. Klasifikasi ini telah

disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia (Perkeni, 2011).

Tabel 2.1 Klasifikasi Etiologis DM (Perkeni, 2011)

Jenis Diabetes Etiologi

DM Tipe 1 Destruksi sel β Pankreas, umumnya menjurus ke

defisiensi insulin absolut

- Autoimun

- Idiopatik

DM Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai

defisiensi insulin relatif sampai yang dominan, defek

sekresi insulin disertai dengan resistensi insulin

DM Tipe Lain - Defek genetik Fungsi Sel β

- Defek Genetik Kerja Insulin

- Penyakit Eksokrin Pankreas

- Endokrinopati

- Karena zat atau obat kimia

- Infeksi

- Reaksi Imunologi

DM Gestasional

7

2.2.3.1. Diabetes Melitus tipe 1

Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan

oleh kerusakan sel β pankreas, hilangnya fungsi sel ß mungkin disebabkan oleh

invasi virus, kerja toksin kimia, atau umumnya melalui kerja antibodi autoimun

yang ditujukan untuk melawan sel ß. Biasanya bersifat idiopatik. Akibat dari

destruksi sel ß maka pankreas tidak dapat memproduksi insulin (ADA, 2014;

Perkeni, 2011).

Diabetes tipe 1 biasanya terdiagnosa pada anak-anak dan dewasa muda.

Hanya 5% dari penderita DM mengidap DM tipe 1. Dengan pemberian terapi

insulin dan edukasi mampu memberikan peningkatan angka harapan hidup pada

penderitanya (ADA, 2014).

2.2.3.2.Diabetes Melitus tipe 2

Merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya (ADA, 2014).

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, didapatkan pernyataan

bahwa sampai saat ini penyebab pasti DM tipe 2 belum sepenuhnya dimengerti.

Beberapa bukti dari studi epidemiologi mencurigai bahwa faktor genetik dan

lingkungan dapat ikut memicu terjadinya DM tipe 2. Kedua faktor tersebut

berkontribusi terhadap resistensi insulin dan menurunnya fungsi dari sel ß

pankreas sehingga terjadi penurunan kerja insulin, penurunan produksi insulin,

8

maupun keduanya. Penurunan kerja insulin menyebabkan terjadinya

hiperglikemia yang merupakan gambaran patologis utama dari DM tipe 2.

Hiperglikemia juga merugikan sel ß pankreas serta jaringan perifer, kondisi ini

disebut sebagai glukotoksisitas dimana berhubungan secara klinis sebagai

penyebab dari komplikasi diabetes seperti penyakit kardiovaskular, nephropathy,

kebutaan retina, neuropathy, dan gangren perifer. Maka dari itu, manajemen

keseimbangan indeks glukosa darah merupakan tujuan pengobatan yang paling

sering pada pasien DM. Selain itu, metabolisme lipid yang terganggu pada

jaringan adiposa dan jaringan lainnya bisa menyebabkan terjadinya lipotoksisitas,

sehingga dapat memperburuk komplikasi diabetes yang terjadi. Sel ß pankreas

merupakan pemain utama dalam menjaga keseimbangan glukosa darah.

Glukotoksisitas, lipotoksisitas, retikulum endoplasma (stres oksidatif), mediator

inflamasi dan inkretin dilaporkan dapat mengatur fungsi dan ketahanan dari sel ß

pankreas (Cicero et al., 2013).

Hubungan antara penyebab dan patogenesis terjadinya DM tipe 2 dari

faktor genetik dan lingkungan merupakan kontribusi utama dari perkembangan

resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa. Pada kondisi normal toleransi

glukosa, sel ß pankreas mensekresikan insulin sebagai respons atas peningkatan

glukosa yang terjadi setelah makan. Terdapat 5 tahapan kerusakan sel ß pankreas.

Pada tahap inisial, sel ß bekerja keras untuk mengkompensasi resistensi insulin

yang terus berkembang untuk mempertahankan kadar gula darah yang normal.

Tahap selanjutnya, sel ß tidak dapat lagi menghasilkan cukup insulin untuk

9

mengatasi kenaikan glukosa yang naik secara tiba-tiba. Tahap ketiga merupakan

tahap yang tidak stabil, kadar glukosa meningkat pesat. Tahap keempat

merupakan tahap dekompensasi stabil dengan kerusakan sel β makin parah

sehingga tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup. Pada tahap kelima, terjadi

dekompensasi yang makin parah. Kerusakan sel β berujung pada terjadinya

kerusakan toleransi glukosa sehingga penyakit berkembang dari prediabetes

menjadi diabetes.

Pada saat ini, DM tipe 2 diobati dengan obat golongan pemicu sekresi

insulin (insulin secretagouge), peningkat sensitivitas terhadap insulin, analog dari

GLP-1 (DPP-4 inhibitor) dan inhibitor enzim α-glukosidase serta inhibitor Sglt 2

yang sering digunakan untuk terapi DM tipe 2. Pemicu sekresi insulin seperti

glibenklamide dan glimepiride dapat menstimulasi sel ß pankreas untuk

mensekresikan insulin. Peningkat sensitivitas insulin seperti TZD (rosiglitazon

dan pioglitazon) serta biguanide (metformin) dapat menurunkan resistensi insulin

pada jaringan perifer. GLP-1 memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai perangsang

kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.

Alpha glukosidase inhibitor seperti acarbose dan Sglt 2 (seperti dafagliflozin dan

empagliglozin) dapat menurunkan absorpsi glukosa di usus dan reabsorpsi

glukosa di ginjal. Sglt 2 inhibitor tidak disetujui oleh FDA karena masalah

keamanannya (Cicero et al., 2013).

10

Gambar 2.2 Penyebab, perkembangan dan terapi terkini DM tipe 2

(Cicero et al., 2013)

11

2.2.3.3. Diabetes Melitus Gestasional

Adalah DM yang terjadi selama kehamilan, ada kemungkinan akan normal

kembali namun toleransi glukosa yang terganggu akan bisa menetap setelah

kehamilan tersebut berakhir (Guthrie and Guthrie, 2003).

2.2.3.4. Diabetes Melitus tipe lain

Tipe lain dari DM adalah diabetes kongenital, diabetes yang berhubungan

dengan kelainan cystic fibrosis, steroid DM, pankreatitis kronis dan lain-lain

(Kumar et al., 2012).

2.3.Pankreas

Pankreas merupakan organ tubuh istimewa yang berfungsi ganda sebagai

kelenjar eksokrin dan endokrin. Sebagai kelenjar eksokrin pankreas membantu

dan berperan penting dalam sistem pencernaan dengan mensekresikan enzim-

enzim pankreas seperti amilase, lipase dan tripsin. Sebagai kelenjar endokrin,

pankreas dikenal dengan produksi hormon-hormon insulin dan glukagon yang

berperan dalam metabolisme glukosa. Fungsi endokrin pankreas dilakukan oleh

pulau-pulau Langerhans yang tersebar di antara bagian eksokrin pankreas

(Sundler and Hakanson, 1988).

Dari hasil penelitian Sundler dan Hakanson (1988) dengan menggunakan

elektron mikroskop dilaporkan bahwa pulau Langerhans berisi kurang lebih lima

jenis sel endokrin. Empat dari lima tipe tersebut adalah sel-sel ß, sel-sel α, sel-sel

12

delta dan PP, yang dapat diketahui melalui respon dari hormon yang

dikandungnya. Tipe sel kelima, disebut sel DI belum dapat diidentifikasi. Pada

pankreas manusia normal sel beta berkisar 62% dari jumlah total sel di pulau

Langerhans, sel alpha 15%, PP 14%, sel delta 9% dan DI kurang dari 1% (Sundler

and Hakanson. 1988).

Pankreas merupakan organ penting dalam mengukur kadar glukosa darah.

Hormon yang berperan dalam pengaturan kadar glukosa darah tersebut adalah

insulin yang disekresikan oleh sel beta dan glukagon yang disekresikan oleh sel

alfa. Adanya senyawa kimia yang masuk kedalam tubuh dengan dosis tinggi dapat

menghancurkan sel-sel pulau langerhans. Kerusakan-kerusakan sel beta pulau

langerhans ini akan menyebabkan produksi insulin menurun. Dengan turunnya

insulin maka akan mengakibatkan hiperglikemia (Ganong, 1995).

Gambar 2.3. Organ Pankreas

13

2.3.1.Patofisiologi Defek Sel ß Pankreas

Kerusakan sel ß merupakan bagian penting dalam patofisiologi terjadinya

DM. Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya kerusakan sel ß

ini, diantaranya adalah teori glukotoksisitas, lipotoksisitas dan penumpukan

amiloid (Stumvold et al., 2008).

Efek hiperglikemi sendiri terhadap sel ß pankreas dapat muncul dalam

beberapa bentuk (Kariadi, 2010):

1. Glukotoksisitas sel beta, yang merupakan kerusakan yang menetap.

2. Sel beta yang kelelahan (beta cell exhaustion), adalah kelainan yang masih

reversibel dan terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas.

3. Penurunan sensitivitas sel ß, yaitu gangguan sementara sel ß yang

dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang. Keadaan ini akan kembali

normal bila gula darah dinormalkan.

2.3.1.1.Glukotoksisitas

Terdapat fakta bahwa dengan perjalanan waktu telah terjadi penurunan

fungsi sel beta pada hampir semua pasien DM, sehingga muncul pendapat bahwa

glukosa sendiri toksik terhadap sel beta pankreas (Stumvold et al., 2008). Hal ini

juga telah terbukti melalui percobaan invitro atau pada binatang percobaan. Pada

suatu penelitian didapatkan bahwa glukotoksisitas dapat menginduksi suatu gen

yang disebut TRIB 3 yaitu suatu protein yang terlibat dalam jalur sinyal yang

menyebabkan apoptosis sel beta pankreas (Qian et al., 2008).

14

Secara invitro, perlakuan hiperglikemia dapat menyebabkan menurunnya

m-RNA insulin dan menurunkan pula laju translasi protein proinsulin (Zhang et

al., 2009). Selain menyebabkan kematian/apoptosis sel beta pankreas,

glukotoksisitas juga menyebabkan gangguan pada tahap akhir dari sekresi insulin

kedalam darah (Dubois, 2007). Metabolisme glukosa yang bersifat oksidatif di sel

beta pankreas juga akan menyebabkan pembentukan Reactive Oxygen Species

(ROS) yang akan menyebabkan kerusakan sel beta. Sel beta pankreas hanya

mempunyai sedikit enzim katalase dan superoksida dismutase, yang berfungsi

untuk merubah ROS. ROS akan mengaktifkan NF-κB, yang merupakan jalur

proapoptotik (Stumvold et al., 2008).

2.3.1.2. Lipotoksisitas

Meskipun asam lemak bebas (Free Fatty Acid/ FFA) merupakan suatu

senyawa yang dapat merangsang sekresi insulin (Fauci et al., 2008), namun

demikian kelebihan beban asam lemak bebas yang kronik juga dapat

menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Salah satu bukti bahwa lipotoksisitas

berperan dalam patofisiologi kerusakan sel beta adalah ditemukannya

penumpukan lemak dari pemeriksaan postmortem pada sel beta pankreas pasien

DM dan subyek dengan faktor risiko (Tushuizen et al., 2007). Penderita DM tipe

2 sering mengalami peningkatan kadar asam lemak bebas karena adanya resistensi

insulin.

15

Gambar 2.4. Mekanisme defeks sel beta pancreas akibat glukotoksisitas dan

lipotoksisitas (Stumvold et al., 2008)

Tingginya kadar glukosa sudah terbukti menghambat oksidasi beta asam

lemak bebas, menyebabkan penumpukan kompleks asam lemak rantai panjang-

koenzim A (LC-CoA). Hal ini akan mengganggu aktivitas pompa K+ normal, atau

UCP-2, yang ujung-ujungnya adalah menghambat pembentukan ATP (Amstrong

and and Towle, 2002; Stumvold et al., 2008). Pengendalian pembentukan UCP-2

ini terjadi melalui jalur PPARα, PPARɤ dan leptin (Amstrong and Towle, 2002).

Mekanisme lain defeks sel beta oleh lipotoksisitas adalah melalui sintesis

seramida yang di rangsang oleh asam lemak bebas atau melalui pembentukan

oksida nitrit (NO). Pada jaringan lain misalnya otot, penghancuran seramida dapat

mencegah total resistensi insulin akibat asam lemak bebas. Sehingga terdapat

dugaan bahwa asam lemak bebas bekerja melalui pembentukan seramida pada sel

beta pankreas. Seramida telah dibuktikan dapat menghambat ekspresi gen insulin

16

dan mengakibatkan apoptosis melalui berbagai jalur. Pentingnya transduksi sinyal

insulin terhadap ekspresi gen insulin tidak dapat dianggap remeh, ini merupakan

suatu hal penting lain dari lipotoksisitas: melalui asam lemak-KoA dapat

menghambat pensinyalan reseptor insulin pada sel beta melalui pengaruh terhadap

protein IRS, PI-3 kinase atau lebih ke hulu dari kaskade pensinyalan insulin

(Stumvold et al., 2008).

2.3.1.3. Penumpukan Amiloid pada Sel ß Pankreas

Berdasarkan pemeriksaan postmortem pada pasien dengan diabetes tipe 2

ditemukan bahwa hampir semua jaringan pankreas pasien DM tipe 2 terdapat

kandungan amiloid dalam jumlah yang bermakna. Amiloid terdiri atas amiloid

polipeptida (IAPP) atau amilin. IAPP merupakan senyawa yang secara normal

terdapat di dalam granul insulin sehingga ikut disekresikan bersama insulin.

Agregat kecil dari IAPP bersifat sitotoksik secara invitro, dan diduga bahwa hal

ini berhubungan dengan pembentukan saluran oleh molekul IAPP yang

beragregasi. Pembentukan saluran ini menyebabkan masuknya kalsium ke dalam

sel beta; kemungkinan lain adalah terbentuknya agregasi intraselular setelah

terjadi interaksi dengan membran liposomal. Bila hiperglikemi dapat memicu

agregasi IAPP, maka asam lemak bebas dapat menambah sitotoksisitas agregat

(Hull et al., 2002).

17

2.3.1.4. Kerusakan sel ß pankreas yang diinduksi Streptozotocin

Streptozotocin dengan nama IUPAC 2-deoxy-2[(methylnitrosoamino)-

carbony-L-amino)-D-glukopyranose] memiliki rumus molekul C8H15N3O7.

Streptozotocin adalah senyawa yang dihasilkan dari Streptomyces acromogenes

yang merupakan suatu senyawa nitrosurea analog glukosa. Streptozotocin mudah

larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan keton. Dalam penelitian digunakan

sebagai penginduksi diabetes pada hewan coba. Obat ini mempunyai spesifisitas

yang tinggi terhadap sel-β pankreas. Penyuntikan secara intraperitonial dosis 65

mg/kg BB tikus, dosis tunggal akan menyebabkan hiperglikemia secara cepat.

Streptozotocin mempunyai aktivitas anti-neoplasma dan antibiotik spektrum luas.

Streptozotocin dapat secara langsung merusak masa kritis sel β-Langerhans atau

menimbulkan proses autoimun terhadap sel-β. Streptozotocin menginduksi

diabetes pada berbagai spesies hewan sehingga menyerupai adanya hiperglikemik

pada manusia. Efek ini secara ekstensif terlihat dengan adanya penurunan sel beta

nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) dan menghasilkan perubahan

histopatologi sel beta pankreas. Streptozotocin secara efektif dapat menginduksi

diabetes pada kelinci yang ditandai dengan polidipsia, poliuria, polifagia dan

hiperglikemia (Szkudelski, 2001; Eleazu et al., 2013).

Streptozotocin (STZ) menembus sel-β-Langerhans melalui tansporter

glukosa GLUT 2. Aksi STZ intraseluler menghasilkan perubahan DNA sel-β

pankreas. Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan

kerusakan pada sel-β pankreas. STZ merupakan donor NO (nitric oxide) yang

18

mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui peningkatan

aktivitas guanil siklase dan pembentukan cGMP. NO dihasilkan sewaktu STZ

mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu, STZ juga mampu membangkitkan

oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel-β-pankreas.

Pembentukan anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria dan

peningkatan aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus

Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP

mitokondria yang terbatas selanjutnya mengakibatkan pengurangan secara drastis

nukleotida sel-β pankreas. Stz adalah senyawa penghasil radikal Nitric Oxide dan

radikal Hydroxil dalam jumlah besar (Szkudelski, 2001; Eleazu et al., 2013).

Gambar 2.5. Mekanisme kerusakan sel Beta akibat paparan STZ

(Szkudelski, 2001)

19

Streptozotocin menghasilkan efek sitotoksiknya melalui pemutusan

spontan menjadi gugus pengalkilasi dan pengkarbonilasi. Obat ini khususnya

bermanfaat pada pengobatan tumor sel beta pankreas fungsional yang ganas. Obat

ini mempengaruhi sel-sel pada semua tahap dalam siklus sel mamalia. Absorpsi

dan sekresi streptozotocin diberikan secara parenteral setelah pemberian infus

intravena 200-1600 mg/m2, konsentrasi puncak dalam plasma adalah 30-40

μg/ml. waktu paruh obat tersebut mendekati 15 menit. Hanya 10-20% dosis yang

ditemukan kembali dalam urin (Szkudelski, 2001; Eleazu et al., 2013).

2.3.1.5. Fungsi pemberian Nicotinamide

Nicotinamide merupakan amida dari vitamin B3 (Niacin). Banyak

penelitian in vitro menyimpulkan bahwa nicotinamide efektif melindungi sel ß

pankreas terhadap efek toksik streptozotocin. Sehingga tujuan dari pemberian

nicotinamide adalah melindungi sebagian sel ß pankreas. Nicotinamide diberikan

secara suntikan intraperitoneal 15 menit sebelum penyuntikkan streptozotocin

dengan dosis 230 mg/kgBB tikus (Szkudelski, 2012).

2.4. Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,

dihasilkan oleh sel ß kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada

rangsangan pada sel ß, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam

darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Secara

20

fisiologis, regulasi glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon

glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar pankreas (Manaf, 2006).

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (prekursor hormon

insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,

preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang

kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel

tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai

menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk

disekresikan secara bersamaan melalui membran sel (Manaf, 2006).

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah

adanya rangsangan oleh molekul glukosa.

a. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membran sel.

Untuk dapat melewati membran sel ß dibutuhkan bantuan senyawa lain.

Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam

berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai

“kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam sel jaringan tubuh.

Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya,

diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran,

ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa

akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam sel dan kemudian

membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk

21

tahap selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran

sel (Manaf, 2006).

b. Proses penutupan K channel pada membran sel.

Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel

yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti

kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang

memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion

Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui mekanisme

yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat dijelaskan (Manaf, 2006).

2.5 Mahoni

Gambar 2.6. Pohon Mahoni

22

Swietenia mahagoni atau mahoni berdaun kecil merupakan tanaman

tropis yang termasuk famili Meliaceae. Mahoni merupakan tanaman yang berasal

dari Hindia Barat dan Afrika dapat tumbuh subur di pasir dekat pantai. Di

Indonesia mula-mula tumbuh secara liar di hutan-hutan, di kebun maupun dimana

saja. Namun sejak 20 tahun terakhir, tanaman ini sudah dibudi-dayakan karena

kualitas kayunya keras dan sangat baik untuk keperluan mebel dan kerajinan

tangan. Di Indonesia terdapat tiga spesies pohon mahoni, yaitu S. macrophylla

(mahoni berdaun lebar), S.mahagoni (mahoni berdaun kecil), dan Swietenia sp

(DepKes RI, 2000).

Mahoni merupakan pohon tahunan dengan tinggi 2-25 meter, batang bulat

bercabang, daun majemuk, menyirip genap berbentuk bulat telur, ujung dan

pangkal runcing, tepi rata, panjang 3-15 cm, pertulangan menyirip. Buah mahoni

berbentuk bulat telur berlekuk lima dan berwarna coklat. Biji mahoni berbentuk

pipih, berwarna hitam atau coklat. Akarnya tunggang dengan warna coklat

(DepKes RI, 2000).

Gambar 2.7. Biji mahoni

23

2.5.1 Klasifikasi ilmiah tanaman Mahoni

Berdasarkan sistematika tumbuhan mahoni berdaun kecil termasuk dalam

klasifikasi sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dikotiledonae

Sub-Class : Dialypetalae

Ordo : Rutales

Famili : Meliaceae

Subfamili : Swietenidae

Genus : Swietenia

Spesies : Swietenia mahagoni (Tjitrosoepomo, 2000).

2.5.2. Biji Mahoni dan Diabetes Melitus

Masyarakat awam di Indonesia memanfaatkan biji mahoni untuk

mengobati berbagai penyakit, di antaranya demam, susah tidur, tekanan darah

tinggi, eksim, kencing manis, dan disentri, serta dapat menambah nafsu makan. Di

Malaysia, biji tumbuhan ini dimanfaatkan untuk mengobati diabetes dan

menurunkan tekanan darah (Chang et al., 2013). Pada pengobatan tradisional

China, tanaman ini digunakan sebagai antipiretik, antifungal, dan antihipertensi

(Maiti et al., 2007). Dan di India, biji mahoni digunakan untuk pengobatan

alternatif diabetes dan hipertensi (Solomon et al., 2003). Selain itu biji mahoni

24

juga berkhasiat sebagai obat malaria, anemia, dan diare. Kandungan senyawa

kimia biji mahoni di antaranya flavonoid, saponin, alkaloid, steroid/triterpenoid,

dan tanin (Sianturi, 2001; Haryanti, 2002; Putri, 2004). Di antara senyawa-

senyawa tersebut, alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa aktif bahan alam

yang telah diteliti memiliki aktivitas anti diabetes (Salim, 2006).

Hasil analisis fitokimia terhadap ekstrak etanol biji mahoni yang

digunakan pada penelitian ini menunjukkan bahwa biji mahoni mengandung

tannin sebanyak 552,06 mg didalam 100 gr ekstrak biji mahoni yang dilarutkan

dalam pelarut TAE, flavonoid sebanyak 0,6896 mg didalam 100 gr ekstrak biji

mahoni yang dilarutkan dalam pelarut QE, kadar total fenol sebesar 90,29 mg

didalam 100 mg ekstrak biji mahoni yang dilarutkan dalam pelarut GAE, dan beta

karoten sebanyak 24,01 mg didalam 100 gr ekstrak biji mahoni yang diteliti. Uji

aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ekstrak biji mahoni memiliki aktivitas

antioksidan yang cukup tinggi, yakni 348,94 mg/L bila dibandingkan dengan

vitamin E sebanyak 1 mg dengan Inhibition Concentration 50% (IC50%) sebesar

89,18 mg/ml (Tabel 2.2).

25

Tabel 2.2 Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Etanol Biji Mahoni

No Analisis Hasil Satuan

1 Tanin 552,06 mg/100g TAE

2 Flavonoid 0,6896 mg/100g QE

3 Total Fenol 90,29 mg/100g GAE

4 Beta Karoten 24,01 mg/100g

5 Kapasitas Antioksidan 348,94 mg/L

6 IC 50% 89,18 mg/ml

Keterangan : TAE = Tannic Acid Equivalence

QE = Quercetin Equivalent

GAE = Gallic Acid Equivalent

Hingga saat ini, mekanisme kerja biji mahoni sebagai agen hipoglikemi

masih belum jelas. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kandungan flavonoid

yang tinggi pada biji mahoni menghambat aktivitas enzim alfa-glikosidase

sehingga menunda penyerapan glukosa (Havsteen, 2002; Febriyany, 2014). Selain

itu kandungan Saponin pada biji mahoni berfungsi sebagai antihiperglikemik.

Mekanisme kerja dari saponin yaitu mencegah pengosongan lambung dan

mencegah peningkatan uptake glukosa pada membran brush border di intestinal

(Yoshikawa et al., 2006). Saponin juga memiliki aktivitas hipoglikemik melalui

pengaturan stimulasi, sekresi dan pelepasan insulin, meregenerasi sel ß pulau

26

langerhans dan mengaktivasi enzim yang bertanggung jawab untuk penggunaan

glukosa (Smith et al., 2012).

Selain itu, sifat anti hiperglikemik biji mahoni dapat berhubungan dengan

lebih dari satu mekanisme, termasuk modulasi sekresi insulin, regulasi aksi

insulin, baik pada ekstra pankreatik maupun intra pankreatik (Stanely, et al.,

2000), aktivitas antioksidan (Maroo et al., 2003), peningkatan metabolisme

glukosa pada sel β dan aktivasi sistem enzim yang menghasilkan cAMP atau

fosfolipid messenger (Hawley et al., 2002).

Studi in vivo menunjukkan bahwa ekstrak Swietenia mahagoni dapat

berperan dalam stimulasi transkripsi peroxisome proliferator-activated receptor-ɤ

(PPAR-ɤ) dan memperbaiki kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi DM

tipe 2 (Li, et al., 2005). Aktivasi dari PPAR-ɤ akan meningkatkan metabolisme

lemak, kolesterol, merangsang diferensiasi adiposit, dan meningkatkan sensitifitas

sel perifer terhadap insulin (Escher and Wahli, 2000; Willson et al., 2000).

Mekanisme antidiabetik suatu senyawa fitokimia belakangan ini tidak

hanya diarahkan pada menurunkan glukosa darah perifer secara langsung,

menurunkan absorbsi glukosa pada usus, menghambat produksi glukosa di hati,

meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan, dan/atau meningkatkan sekresi

insulin, tetapi diarahkan pula pada efek meningkatkan regenerasi sel beta

pankreas. Terdapat setidaknya 40 tanaman yang telah dibuktikan dapat

meregenerasi sel beta pankreas dengan mekanisme yang belum diketahui dengan

jelas (Hossein et al., 2015).

27

Dengan mengarahkan hipotesis bahwa pemberian ekstrak biji mahoni

dapat meregenerasi sel beta pankreas, maka hal ini dapat mengembalikan fungsi

pankreas dalam homeostasis kadar gula. Telah banyak diketahui bahwa seiring

dengan berjalannya waktu, jumlah sel β pankreas pada penderita diabetes melitus

akan menurun (Kaiser et al., 2003; Marchetti et al., 2012). Glukotoksisitas,

lipotoksisitas, retikulum endoplasma (stres oksidatif), inflamasi dan kerusakan

inkretin yang terjadi pada penderita DM merupakan faktor resiko terhadap

menurunnya jumlah sel ß pankreas (Cicero et al., 2013). Pemberian ekstrak biji

mahoni pada penderita DM diharapkan dapat meregenerasi sel ß pankreas

sehingga jumlah sel tersebut berada dalam keadaan stabil (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Kemungkinan Potensi Ekstrak Biji Mahoni dalam Mencegah

Kerusakan Sel ß Pankreas pada Pasien Diabetes Melitus

28

2.6. Regenerasi sel ß pankreas

Regenerasi sel beta pankreas adalah salah satu topik yang paling

menarik dari penelitian pengobatan DM tipe 1, yang sekarang juga banyak

diminati pada DM tipe 2. Peneliti meyakini bahwa sel beta dapat beregenerasi

melalui proliferasi sel beta yang sudah ada atau neogenesis dari sel progenitor di

dalam atau di luar pulau Langerhans (Bouwens and Rooman, 2005). Meier et al.,

(2006) menunjukkan bukti terjadinya regenerasi sel beta melalui proliferasi

langsung sel beta pankreas pada pasien DM tipe 1. Neogenesis dapat berasal dari

berbagai jenis sel dalam pankreas, seperti : sel alfa, sel delta, epitel saluran

pankreas, sel asinar, dan sel sentroasinar. Namun proses ini tergantung pada

aktivator ekstra-pankreas termasuk hormon, faktor pertumbuhan seperti GLP-1,

gastrin, faktor pertumbuhan epidermal, dan lain-lain.

(Bouwens and Rooman, 2005).

Gambar 2.9. Kemungkinan Mekanisme Regenerasi Sel beta Pankreas

(Banerjee et al., 2005)

29

Sel beta pankreas yang baru mungkin muncul setelah cedera, apoptosis

akibat peradangan, oksidasi, atau dengan rangsangan eksogen berupa bahan kimia

seperti STZ. Neogenesis mungkin berasal dari sel-sel progenitor yang berada

dalam pankreas. Regenerasi sel beta pankreas juga kemungkinan merupakan hasil

dari diferensiasi berbagai macam stem cell . Selain itu sel-sel dewasa lain yang

bukan merupakan sel beta dapat mengalami transdiferensiasi, atau bahkan sel beta

pankreas dewasa itu sendiri mengalami replikasi (Banerjee et al., 2005).

STZ merupakan salah satu senyawa yang menginduksi pembentukan

radikal bebas ROS didalam pankreas sehingga menyebabkan kerusakan sel-sel

pankreas. Pemberian ekstrak biji mahoni (Switenia mahagoni) dipercaya dapat

meredam efek ROS pada sel-sel pankreas, baik pada sel beta maupun sel

progenitor. Tingginya ROS akan menghambat proses diferensiasi sel progenitor

yang akan meregenerasi sel beta. Dan juga akan menghambat replikasi sel beta

yang masih normal (Ito et al., 2006).

Gambar 2.10 ROS terhadap Aktivitas Stem Cell Pankreas (Ito et al., 2006)

30

ROS akan mengaktivasi jalur p38 MAPK-p16Ink4a-retinoblastoma di

dalam sel multipoten (progenitor) pankreas, yang berujung pada kerusakan fungsi

stem cell dan sel akan memasuki fase tidak membelah (quiescence cell). Selain

itu, ROS menginduksi sel progenitor untuk keluar dari lingkungannya melalui

penurunan kadar N-cadherin (Ito et al., 2006).

2.7. Tikus laboratorium

Gambar 2.11. Tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai hewan coba.

Tikus yang digunakan untuk percobaan adalah tikus putih galur wistar.

Tikus ini merupakan keturunan yang outbread dari tikus-tikus albino yang

termasuk dalam spesies Rattus novergicus. Galur ini dikembangkan di Wistar

institute pada tahun 1906 untuk digunakan dalam penelitian biologi dan

kesehatan. Dan secara khusus dikembangkan untuk menjadi organisme model

disaat mereka masih menggunakan mencit (Mus musculus), atau tikus rumah

kebanyakan (Wirya, 2012).

31

Tikus galur wistar adalah salah satu dari sekian banyak tikus yang paling

dikenal saat ini untuk digunakan sebagai objek penelitian dilaboratorium. Tikus

galur ini memiliki karakter kepala yang lebar, teling-telinga yang panjang, dan

memiliki panjang ekor yang tidak melebihi dari panjang badannya (Wirya, 2012).

2.7.1. Kriteria Tikus Diabetes

Kadar glukosa darah normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 – 135

mg/dL (Carvalho et al, 2003). Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini

tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir

(Swatriani, 2012).

Kadar glukosa darah puasa pada tikus dapat dikatakan DM jika ≥ 122

mg/dL. Dikatakan puasa apabila tikus tidak mendapatkan asupan apapun selama 6

jam berturut-turut (Nowland, et al., 2011). Tikus dengan kadar gula darah

sewaktu ≥ 200 mg/dL disebut mengalami kondisi diabetes berat (Carvalho et al.,

2003).

Tikus dibuat menjadi hiperglikemia dengan pemberian dosis tunggal

Streptozotocin 13 mg/ 200 grBB tikus, disuntikkan secara intraperitoneal, dengan

sebelumnya diberikan suntikan Nicotinamid 46 mg/ 200 gr BB tikus secara intra

peritoneal juga, sehingga kadar glukosa darah puasa menjadi ≥ 122 mg/dL.

Diabetes yang terbentuk menyerupai Diabetes melitus tipe 2 (Szkudelski, 2012).

Pada percobaan ini, semua tikus diberikan glibenklamid oral dengan

pertimbangan kode etik.