bab ii kajian pustaka 2.1 penuaan 2.1.1 definisi penuaan · dan struktural, yang disebut sebagai...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
2.1.1 Definisi Penuaan
Hingga saat ini, penuaan masih dianggap sesuatu yang alamiah terjadi.
Selama proses penuaan banyak terjadi perubahan yang diakibatkan oleh berbagai
faktor. Secara umum, penuaan merupakan suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki
kerusakan yang diderita . Dengan begitu manusia secara progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik
dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes
melitus, alzheimer, parkinson, stroke, infark miokard dan lain-lain (McGeer,P.L
and McGeer, E.G, 2004). Secara ekstrim, penuaan atau aging dapat didefinisikan
sebagai suatu koleksi atau kumpulan penyakit dan patologis (Turturro et al, 2002).
2.1.2 Penyebab Penuaan
Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses
penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada
kematian. Pada dasarnya faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi faktor internal
dan eksternal. Beberapa faktor internal meliputi radikal bebas, ketidakseimbangan
hormon, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun,
12
dan genetik. Sedangkan faktor eksternal meliputi pola hidup yang tidak sehat, diet
yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi, lingkungan, stres dan kemiskinan
(Pangkahila, 2011a).
2.1.3 Teori Proses Penuaan
Terdapat banyak teori penuaan yang dikemukakan oleh para ahli. Tetapi
kebanyak teori belum dapat dibuktikan sepenuhnya oleh manusia karena waktu
hidup manusia yang relatif panjang. Masing-masing teori atau hipotesis saling
melengkapi satu dengan lainnya (Goldmann and Klatz, 2003). Telah banyak
dilakukan penelitian untuk menyokong teori penuaan ini yang hingga saat ini
masih menjadi perdebatan. Teori-teori ini mendasari berbagai perubahan ditingkat
biokimia, biomolekuler dan seluler yang terjadi dalam proses penuaan.
2.1.3.1 Teori Wear and Tear
Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah lalu
meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terakumulasi.
Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli
biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan sel yang
terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan
disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi ke
tingkatan sel (Pangkahila, 2011a).
Hal ini menyatakan bahwa walaupun seseorang tidak pernah merokok,
minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan alami, dengan menggunakan
organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya akan berujung pada terjadinya suatu
13
kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh akan membuat kerusakan terjadi lebih
cepat. Karena itu, tubuh akan menjadi tua, dimana sel juga merasakan
pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Sistem pemeliharaan
pola hidup yang baik pada masa muda dinilai dapat berpengaruh terhadap
perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan
kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011a).
Dengan menjadi tua, tubuh berangsur kehilangan kemampuan dalam
memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal
karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini
bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat
membantu mengembalikan proses penuaan dengan mekanismenya adalah
merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan
organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011a). Teori wear and tear meliputi:
A. Teori Kerusakan DNA
Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA
repair). Proses penuaan sejatinya memiliki arti sebagai proses penyembuhan yang
tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus
menerus. Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat mencapai
suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami kerusakan yang berat.
Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar, seperti
radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila, 2011a).
14
B. Teori Penuaan Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat mengalami penuaan
dikarenakan adanya akumulasi kerusakan oleh radikal bebas di dalam sel dalam
jangka waktu tertentu. Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang
mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak
stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan menyerang sel-sel untuk
mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah reaksi berantai yang
menyebabkan kerusakan jaringan ya ng luas. Molekul utama di dalam tubuh yang
dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo,
2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan yang terjadi pada
sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga dapat mengganggu
metabolisme sel, juga merangsang terjadinya mutasi sel, yang akhirnya bisa
berakibat kanker dan kematian. Pada kulit, radikal bebas dapat merusak kolagen
dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit agar tetap lembab, halus, fleksibel
dan elastis. Jaringan tersebut akan mengalami kerusakan akibat paparan radikal
bebas, terutama pada daerah wajah, di mana akan terbentuk lekukan kulit dan
kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan
Klatz, 2003).
C. Glikosilasi
Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak diketahui
bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan diabetes tipe
2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi, yang
kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Pada diabetes,
15
glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak, hilangnya fungsi syaraf, yang
merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes (Pangkahila, 2011).
2.1.3.2 Programmed Theory
Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu jam
biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu
model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin,
masa bayi, anak-anak remaja, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila,
2011). Programmed theory meliputi:
A. Teori Terbatasnya Replikasi Sel
Teori ini mengatakan bahwa pada ujung chromosome strands terdapat
struktur khusus yang disebut telomere. Setiap replikasi sel telomere mengalami
pemendekan ukuran pada proses pembelahan pembelahan sel. Dan setelah
sejumlah pembelahan sel tertentu, telomere telah dipakai dan pembelahan sel
terhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomere tersebut menentukan rentang
usia sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila,
2011).
B. Proses Imun
Rusaknya sistem imun tubuh seperti mutasi yang berulang atau perubahan
protein protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi
somatik dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,
maka hal ini akan menyebabkan sistem imun dalam tubuh menganggap sel yang
mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.
16
Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu
bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang
lanjut usia (Pangkahila, 2011).
C. Teori Neuroendokrin
Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, dengan dasar peranan
berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda, berbagai hormon
bekerja dengan baik dalam mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga
fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal, seperti kemampuan bereaksi terhadap
panas dan dingin, kemampuan motorik, fungsi seksual, dan fungsi motorik.
Seiring dengan menuanya seseorang maka tubuh hanya mampu memproduksi
hormon lebih sedikit, sehingga kadarnya menurun dan berakibat pada gangguan
berbagai fungsi tubuh. Contoh yang jelas ialah menopause pada wanita, dan
andropause pada pria. Terapi sulih hormon dikatakan dapat membantu untuk
mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga dapat memperlambat proses
penuaan (Goldman dan Klatz, 2003).
2.1.4 Tahapan Penuaan
Proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut:
1. Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun)
Pada tahap ini sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu
hormone testosteron, growth hormone, estrogen. Radikal bebas, yang dapat
merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh, tetapi secara fisik
belum terlihat tanda–tanda penuaan.
17
2. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun):
Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun, tenaga dan
kekuatan terasa hilang, komposisi lemak tubuh bertambah yang
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, resiko penyakit jantung
pembuluh darah meningkat. Pada tahap ini gejala penuaan mulai muncul,
yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut mulai putih,
elastisitas kulit berkurang, dorongan seksual dan bangkitan seksual
menurun.
3. Tahap Klinis (usia 45 tahun keatas) :
Pada tahap ini penurunan hormon terus berlanjut, meliputi DHEA,
melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid.
Terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan
makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang menurun, masa otot
berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan
ketidakmampuan membakar kalori sehingga meningkatkan lemak tubuh
dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh
mulai mengalami kegagalan, aktivitas sehari hari terganggu, disfungsi
seksual merupakan keluhan yang terpenting (Pangkahila, 2007).
Dengan melihat ketiga tahap ini, dapat dikatakan bahwa proses penuaan tidak
selalu dinyatakan dengan suatu gejala atau keluhan. Hal ini mempertegas bahwa
seseorang yang tidak menunjukkan gejala ataupun keluhan bukan berarti tidak
18
mengalami proses penuaan dan dalam mengatasi proses penuaan, tidaklah perlu
menunggu adanya gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2007)
2.1.5 Penanda Molekuler dan Seluler Penuaan
Terdapat setidaknya sembilan penanda yang terlibat dalam proses penuaan
dan berperan dalam menentukan fenotip penuaan (Gambar 2.1). Penanda proses
penuaan setidaknya memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) harus ada selama
prosespenuaan normal, (2) aktifasi secara eksperimental dari penanda tersebut
harus mempercepat proses penuaan, (3) perbaikan secara eksperimental dari
penanda tersebut harus memperlambat proses penuaan normal dan meningkatkan
kesehatan dan harapan hidup (Lopez-Otın et al., 2013).
Gambar 2.1.
Penanda Penuaan (Lopez-Otın et al., 2013)
19
2.1.5.1 Ketidakseimbangan Genom
Telah banyak sekali dilakukan penelitian dan mendapatkan hasil bahwa
kerusakan genom berkaitan dengan penuaan dan induksi artifisial dari kerusakan
genom tersebut dapat menginduksi beberapa keadaan patologis yang berkaitan
dengan mempercepat penuaan. Terdapat bukti hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa perbaikan faktor yang terlibat dalam pengaturan segregasi kromosom saat
pembelahan sel dapat meningkatkan harapan hidup pada mamalia (Baker et al.,
2013). Intervensi terhadap mesin DNA repair telah terbukti berdampak pada
proses penuaan dini (Lopez-Otın et al., 2013).
Gambar 2.2.
Beberapa Kelainan pada Genom yang Mempercepat Penuaan
(Lopez-Otın et al., 2013)
2.1.5.2 Pemendekan Telomer
Kromosom pada eukaryota, pada manusia, termasuk mamalia,
mempunyai pelindung sering disebut sebagai “cap” (topi), terdiri dari beberapa
urutan nukleotida khusus (TTAGGG), dengan untaian yang berulang mulai dari
20
beberapa ratus kali sampai ribuan kali pada kedua ujung kromosom, disebut
sebagai telomer. Pada keadaan proliferasi sel secara normal, selalu diikuti oleh
pemendekan dari telomer, pemendekan ini bersifat akumulasi yang pada suatu
saat tertentu proliferasi sel terhenti oleh karena batas pemendekan sudah
mencapai maksimal (mutlak). Hal ini relevan dengan kemampuan proliferasi sel
manusia yang terus menurun sesuai dengan bertambahnya usia baik secara
pemeriksaan in vitro maupun in vivo (Campisi and Fagagna, 2007).
2.1.5.3 Perubahan Epigenetik
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penuaan diikuti dengan
perubahan epigenetic, dan gangguan epigenetic dapat merangsang sindrom
progeroid pada hewan coba. Lebih lanjut, SIRT6 merupakan salah satu contoh
enzim yang berkaitan dengan epigenetik. Peningkatan ekspresi SIRT6
menunjukkan peningkatan harapan hidup tikus, sedangkan hilangnya ekspresi gen
ini menunjukkan fenotip penuaan muncul lebih cepat (Mostoslavsky et al., 2006;
Kanfi et al., 2012).
Gambar 2.3.
Perubahan Epigenetik Terkait Penuaan (Lopez-Otın et al., 2013)
21
2.1.5.4 Gangguan Proteotasis
Ada bukti yang kuat bahwa penuaan berhubungan dengan gangguan
proteostasis, dan gangguan eksperimental terhadap proteostasis dapat memicu
kondisi patologi terkait usia. Hasil penelitian yang penting mengenai ini adalah
manipulasi genetik yang meningkatkan proteostasis terbukti dapat menunda
penuaan pada mamalia (Zhang dan Cuervo, 2008).
Gambar 2.4.
Gangguan Proteotasis (Lopez-Otın et al., 2013)
2.1.5.5 Deregulasi Nutrisi
Secara kolektif, bukti yang ada saat ini sangat mendukung gagasan bahwa
sinyal anabolik mempercepat penuaan dan penurunan signaling ini dapat
memperpanjang umur (Fontana et al., 2010). Manipulasi farmakologis yang
meniru keadaan ketersediaan nutrisi terbatas, seperti rapamycin, dapat
memperpanjang umur panjang pada tikus (Harrison et al., 2009).
22
2.1.5.6 Disfungsi Mitokondria
Fungsi mitokondria memiliki dampak yang mendalam pada proses
penuaan. Disfungsi mitokondria dapat mempercepat penuaan pada mamalia
(Trifunovic et al, 2004; Kujoth et al, 2005; Vermulst et al., 2008), namun hingga
saat ini masih kurang jelas apakah dengan meningkatkan fungsi mitokondria,
misalnya melalui mitohormesis, dapat memperpanjang umur pada mamalia,
meskipun bukti sugestif dalam pengertian ini sudah ada (Lopez-Otın et al., 2013)
2.1.5.7 Penuaan Sel
Dalam beberapa aspek fisiobiologis, penuaan selular adalah kompensasi
yang menguntungkan dalam menanggapi kerusakan yang mempercepat penuaan
ketika jaringan kehilangan kapasitas regeneratif mereka. Mengingat kompleksitas
ini, beberapa peneliti memperdebatkan peristiwa ini apakah penuaan sel
memenuhi kriteria yang ideal untuk ketiga definisi ciri khas penanda penuaan.
Peningkatan dari tumor supresor protein terbukti dapat memperpanjang umur
panjang (Mathieu et al., 2007, 2009), dan pada saat yang sama, dengan
menghilangkan sel yang mengalami penuaan (senescence cell) dalam eksperimen
model hewan progeria dapat menunda keadaan patologi terkait usia (Baker et al.,
2013). Oleh karena itu, dua intervensi yang secara konseptual berlawanan dapat
memperpanjang usia.
23
Gambar 2.5.
Cell Senescence (Lopez-Otın et al., 2013)
2.1.5.8 Berkurangnya Populasi Stem Cell
Berkurangnya stem cell nerupakan konsekuensi integratif dari berbagai
jenis kerusakan terkait penuaan dan kemungkinan merupakan salah satu penyebab
utama dari penuaan jaringan, organ dan organisme. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa peremajaan stem cell mungkin dapat membalikkan fenotip
penuaan pada tingkat organisme (Random dan Chang, 2012).
24
2.1.5.9 Perubahan Komunikasi Interseluler
Ada bukti kuat bahwa penuaan bukan hanya fenomena di dalam satu sel,
namun merupakan gabungan perubahan fenotip berbagai sel yang ditunjukkan
dengan adanya komunikasi interseluler. Hal ini dapat membuka peluang untuk
mengintervensi proses penuaan pada tingkat ini. Yang menarik adalah adanya
bukti untuk peremajaan melalui faktor sistemik melalui darah (Conboy et al.,
2005; Villeda et al., 2011; Loffredo et al., 2013).
2.2 Pelatihan Fisik Berlebih
2.2.1 Definisi Pelatihan Fisik Berlebih
Pelatihan fisik atau olahraga merupakan suatu kegiatan yang penting bagi
kehidupan manusia. Olahraga yang teratur dan tepat dapat mempertahankan
kebugaran fisik. Kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang
tepat untuk setiap individu meliputi Frequency, Intensity, Time and Type (FITT)
sangat mendukung untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan resiko yang
minimal pada pelatihan olahraga. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan adalah 3-4
kali seminggu, dengan intensitas 72-87% dari denyut jantung maksimal (220-
umur) dengan variasi 10 denyut per menit. Tipe pelatihan yang dianjurkan adalah
kombinasi dari latihan erobik dan pelatihan otot dalam waktu 30-60 menit, yang
didahului oleh pemanasan selama 15 menit dan diakhiri oleh pendinginan selama
10 menit (Pangkahila, 2010; Pangkahila, 2013; Pangkahila dan Siswanto, 2015).
25
Gambar 2.6.
Definisi Overreaching, Overtraining dan Overuse (Anonim, 2015)
Tujuan dari pelatihan olahraga adalah peningkatan dan perbaikan kinerja
fisik, namun setiap kali pelatihan yang berlebihan dan diperpanjang secara
bersamaan dengan pemulihan yang tidak memadai, menyebabkan beberapa
perubahan fisiologis yang disebut latihan fisik berlebih atau overtraining
(Armstrong and VanHeest, 2002). Overtraining dapat didefinisikan sebagai
peningkatan volume atau intensitas pelatihan yang menghasilkan penurunan
kinerja jangka panjang atau bahkan ditandai oleh penurunan kinerja yang spesifik
dari olahraga (Urhausen and Kindermann, 2002).
Para pakar mendefinisikkan overtraining sebagai suatu perubahan
karakteristik fisik, fisiologis atau psikologis yang terkait dengan overtraining dan
rangsangan yang mendahului atau mengikuti terjadinya sindrom overtraining
26
saat ini (Kreher and Schwartz, 2012). Hingga saat ini, belum terdapat
penanda/marker overtraining spesifik yang dapat digunakan sebagai pedoman
pasti untuk mendefinisikan overtraining (Armstrong and VanHeest, 2002;
Gleeson, 2002; Petibois et al., 2002; Lac and Maso, 2004).
Overtraining merupakan masalah berulang dikarenakan ada risiko yang
terus-menerus akibat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan, kompetisi dan
pemulihan (Alves et al., 2006). Dilaporkan bahwa 6 % pelari jarak jauh, 21%
perenang dan lebih dari 50% pemain sepak bola Australia telah mengalami
overtraining (Smith, 2000). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa 70% dari
atlet daya tahan tingkat tinggi telah overtraining selama karir mereka (Birreret al.,
2013). Peneliti memperkirakan bahwa 10 sampai 20% dari semua atlet yang
terlibat dengan program pelatihan olahraga intensif mengalami overtraining
syndrome (Hackney and Battaglini, 2007). Penelitian juga telah membuktikan
bahwa sekitar 7 hingga 20% dari semua atlet yang dilatih menunjukkan gejala
sindrom overtraining (MacKinnon, 2000).
Akibat dari overtraining dilaporkan terjadi beberapa perubahan fisiologis,
biokomia dan psikologi, hal ini umumnya terkait dengan pelatihan yang berat dan
telah diusulkan sebagai penanda potensial terjadinya overtraining. Tanda-tanda
latihan berlebih ialah sebagai berikut:
Psikis : kelelahan umum, konsentrasi menurun, apati, insomnia, mudah
tersinggung, dan depresi (Pinel, 2009).
Penampilan (Performance) : penampilan menurun, pemulihan terlambat,
dan tidak toleran terhadap pelatihan
27
Fisiologis : Peningkatan denyut nadi basal, peningkatan rasa nyeri, nyeri
otot yang kronis, penurunan berat badan, mudah infeksi dan menurunnya
nafsu makan (Kreher and Schwartz, 2012).
Pelatihan fisik berlebih akan mempengaruhi fungsi organ tubuh mulai dari
kardiovaskuler, hormon serta muskuloskeletal sehingga mempengaruhi fungsi
untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu pelatihan berlebih menurunkan
kadar testosteron dan menurunkan gairah seksual (Pangkahila, 2011b).
Pemeriksaan secara mendalam dapat dilakukan pemeriksaan hormon dan radikal
bebas. Oleh karena itu maka pelatihan kebugaran seksual perlu dilakukan
berdasarkan kaidah ilmiah (Pangkahila, 2011a).
Sebaliknya kondisi pra-overtraining adalah penurunan kinerja jangka
pendek yang diikuti pemulihan lengkap dalam beberapa hari atau bahkan terjadi
peningkatan kinerja fisik (supercompensation) (Gleeson, 2002). Hal ini yang
mendasari banyak pelatih menegaskan bahwa perlu untuk menginduksi keadaan
pra-overtraining selama proses pelatihan (Urhausen and Kindermann, 2002).
2.2.2 Patofisiologi Pelatihan Fisik Berlebih (Overtraining)
Banyak penelitian fokus terhadap peran hypothalamus dalam fisiobiologi
dan patobiologi pada pelatihan fisik berlebih, karena hypothalamus bertindak
dalam aktivasi sistem saraf otonom dalam kelenjar adrenal dan gonad.
Overtraining mengakibatkan perubahan kadar katekolamin, glukokortikoid dan
indeks testosteron dalam darah. Beberapa peneliti meyakini bahwa sistem ini
terlibat dalam overtraining yang merupakan stres fisik dan psikologis yang
ekstrim (Kinucan and Kravitz, 2005).
28
Selama pelatihan ketahanan secara intens, diketahui bahwa terjadi
peningkatan sekresi ACTH oleh hipofisis, dan peningkatan indeks kortisolpada
tahap pra overtraining. Pada tahap selanjutnya sebelum tahap overtraining terjadi
penurunan respon adrenal walaupun sekresi ACTH meningkat, sehingga terjadi
penurunan indeks kortisol. Setelah itu dalam tahap lanjut dari overtraining, terjadi
juga penurunan pelepasan ACTH oleh hipofisis.
Peningkatan angka kejadian infeksi pada penderita overtraining terjadi
karena adanya penurunan sistem imunitas dan indeks glutamin dalam darah
(MacKinnon, 2000a; 2000b). Penelitian membuktikan bahwa apabila terjadi
peningkatan yang dramatis dari beban pelatihan karena atlet tidak mampu
menjaga asupan kalori yang cukup terutama karbohidrat, maka hal ini
mengakibatkan penurunan glikogen otot. Sebagai akibat penurunan glikogen otot
tersebut maka akan terjadi kelelahan dan penurunan kinerja fisik yang sering
diamati dalam overtraining (Kreher and Schwartz, 2012).
Overtraining dapat terjadi karena pelatihan berulang di mana tidak ada
kegiatan fisik yang bervariasi. Diasumsikan bahwa secara psikologis, kebosanan
pelatihan dapat menyebabkan peningkatan dampak negatif pada kinerja fisiologis
atlet, sehingga memungkinan terjadinya lesi (monotone overtraining) (Brown et
al., 2009). Pendapat lain menyatakan overtraining adalah merupakan respon
terhadap stres otot rangka yang berlebihan terkait dengan kurangnya periode
beristirahat dan pemulihan, yang dapat menyebabkan peradangan lokal yang akut,
bahkan dapat menjadi peradangan yang kronis sampai ke peradangan yang
sistemik. Bagian dari peradangan sistemik melibatkan aktivasi monosit, yang
29
dapat mensintesis sejumlah sitokin inflamasi (IL-1 β, IL-6 dan TNF-α). Sitokin ini
dalam susunan syaraf pusat mendorong sejumlah perilaku, di antaranya
menurunkan nafsu makan dan depresi, juga bertindak dalam sistem saraf simpatik
dan menekan indeks katekolamin, glukokortikoid dan hormon gonad dalam darah.
Radikal bebas sebagai salah satu faktor utama dari timbulnya respon inflamasi,
disebabkan oleh lesi otot setelah pelatihan yang overtraining (Woodset al, 2012).
Salah satu gejala yang paling penting pada penderita overtraining adalah
kelelahan, yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan menjaga intensitas
pelatihan yang diberikan, yang dapat dianggap sebagai peringatan dari tubuh
dalam merespon stres yang berlebihan. Sebaliknya, kelelahan memainkan peran
penting dalam pelatihan olahraga, karena merupakan langkah pertama untuk
proses adaptasi pelatihan yang menstimulasi peningkatan fungsi organik dari atlet,
dimana keseimbangan antara stres dan pemulihan menentukan kualitas program
pelatihan (Petibois et al., 2002).
Beberapa gejala lain telah dilaporkan dibagi menjadi: 1) fisiologis yang
meliputi penurunan kinerja fisik, penurunan kekuatan otot, penurunan koordinasi,
peningkatan tenaga dan periode pemulihan, perubahan dari kurva laktat, tidur dan
anoreksia, 2) biokimia, meliputi penurunan glikogen otot, konten mineral tulang,
testosteron bebas dan testosteron/kortisol rasio yang lebih tinggi dari 30%, serta
peningkatan kortisol dan urea, 3) psikologis, antara lain depresi, stres emosional,
takut bersaing, apatis, dan 4) kekebalan, seperti peningkatan infeksi dan penyakit,
penurunan aktivitas neutrofil dan makrofag (Kreher and Schwartz, 2012).
30
2.2.3 Penanda (marker) Overtraining
2.2.3.1 Penanda Biokimia
Diantara penanda biokimia yang paling sering digunakan adalah glutamin
dalam plasma, aktivitas kreatin kinase, kadar urea dan laktat di dalam darah.
Konsentrasi glutamin dalam plasma diusulkan sebagai indikator utama yang
kemungkinan mempunyai hubungan dengan pelatihan yang berlebihan, dimana
indeks glutamin di dalam plasma yang rendah sekali biasanya terdapat pada atlet
dengan overtraining. Konsentrasi glutamin di dalam plasma menurun setelah
latihan mendadak atau diperpanjang, tetapi tidak menurun setelah latihan dengan
intensitas tinggi dan durasi yang pendek (MacKinnon, 2000a; 2000b). Penurunan
glutamin juga dapat terjadi setelah trauma fisik, luka bakar, radang dan infeksi
(Newsholme, 2001). Konsentrasi glutamin di dalam plasma meningkat sementara
setelah asupan protein, tetapi menurun 25% setelah beberapa hari dengan asupan
rendah karbohidrat.
Evaluasi aktivitas enzim kreatin kinase telah banyak digunakan tetapi
bukan sebagai penanda overtraining, melainkan sebagai alat untuk identifikasi
tahap awal dari lesi otot atau pra-overtraining. Fakta ini menjelaskan setelah atlet
yang terlatih melakukan kontraksi otot tidak menambah kegiatan kreatin kinase,
tapi terjadi nyeri otot, hal ini mungkin karena adanya lesi atau peradangan pada
otot jaringan (Gleeson, 2002).
Penurunan kadar asam laktat di dalam darah pada latihan yang
submaksimal juga diamati dalam atlet dengan overtraining, hal ini mungkin
terjadi karena adanya penurunan dari indeks glikogen di dalam otot, dan
31
penurunan kadar katekolamin dalam merespon latihan, atau penurunan efek
katekolamin terhadap jaringan otot (Gleeson, 2002). Penentuan kadar asam laktat
di dalam darah rutin bagi para atlet merupakan hal ini penting untuk mengetahui
apakah dapat digunakan sebagai instrumen dalam diagnosis overtraining, tetapi
harus diperhatikan karena terjadi penyimpangan dari kurva asam laktat ke kanan
baik dalam pelatihan dan dalam overtraining.
2.2.3.2 Penanda Hormonal
Dalam penanda (marker) hormonal ini dipakai rasio antara hormon
tetstosteron dan kortisol. Keseimbangan antara aktivitas anabolik dan katabolik
diwakili oleh hormon testosteron dan kortisol, yang dikenal sebagai rasio
testosteron-kortisol atau rasio testosteron bebas-kortisol. Berdasarkan pada premis
bahwa testosteron memiliki efek anabolik dan kortisol mempunyai efek katabolik,
dimana rasio testosteron-kortisol telah diusulkan sebagai penanda/marker utama
untuk overtraining (MacKinnon, 2000b). Dilaporkan bahwa penurunan rasio ini
harus lebih tinggi dari 30%, baru atlet akan berada pada kondisi overtraining
(Banfi and and Dolci, 2006).
Meskipun demikian, kinerja atlet harus dipertimbangkan, karena belum
tentu ketika rasio lebih tinggi dari 30% atlet akan mengalami penurunan fisik.
Selain itu keadaan individu dari atlet harus dipertimbangkan, oleh karena setiap
orang dapat memberikan reaksi yang berbeda terhadap keadaan anabolik dan
katabolik.
32
2.2.3.3 Radikal Bebas
Radikal bebas dan mekanisme adaptasi pada olahragawan meningkat
secara signifikan, hal ini berkaitan dengan jumlah konsumsi oksigen. Radikal
oksigen terbentuk oleh adanya reduksi oksigen yang tidak lengkap. Latihan fisik
yang mendadak mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen, akan
menyebabkan peningkatan pembentukan radikal bebas. Peningkatan molekul ini
terjadi juga dalam perpanjangan latihan dan latihan dengan intensitas yang tinggi,
namun pelatihan fisik mampu mengadaptasi mencegah efek berbahaya dari
oksigen radikal bebas (Schneider and Oliveira, 2004).
Radikal bebas yang dihasilkan selama kontraksi otot menyebabkan
kelelahan otot dan berkaitan dengan lesi otot. Ketika produksi Radikal oksigen
melebihi kemampuan jaringan antioksidan, maka hasilnya adalah stres oksidatif
dan ini juga terkait dengan lesi otot, dengan demikian overtraining akan
meningkatkan volume oksigen pada otot, namun pada individu yang terlatih,
mampu menginduksi lesi dan kelelahan otot tersebut. Pada overtraining terjadi
penurunan kekuatan yang memanjang dan ini mungkin ada kaitannya dengan
oksigen radikal bebas (Woodset al, 2012).
Radikal oksigen juga dikaitkan dengan mekanisme yang berkaitan dengan
respon inflamasi setelah latihan dan dengan penyebaran lesi otot setelah latihan.
Radikal oksigen mungkin salah satu faktor utama infiltrasi dari neutrofil dan
makrofag dalam otot, yang menghasilkan respon peradangan. Neutrofil dan
makrofag menghasilkan super oxida melalui pernapasan, yang dikatalisasi oleh
enzim oksidase NADPH yang terletak di membran plasma (Woods et al, 2012).
33
2.3 Enzim Protease
Protease, disebut juga peptidase atau proteinase, yang merupakan enzim
golongan hidrolase yang akan memecah protein menjadi molekul yang lebih
sederhana, seperti menjadi oligopeptida pendek atau asam amino dengan reaksi
hidrolisis pada ikatan peptida. Enzim ini diperlukan oleh semua makhluk hidup
karena bersifat esensial dalam metabolisme protein. Peranannya dalam tubuh
antara lain membantu pencernaan protein dalam makanan, menggunakan kembali
protein-protein intraseluler, koagulasi sel darah, dan aktivasi berbagai jenis
protein, enzim, hormon, serta neurotransmiter (Poliana and MacCabe, 2007).
Enzim protease sangat penting dalam proses pencernaan karena enzim
tersebut memecah ikatan peptida pada makanan yang mengandung protein untuk
melepaskan asam-asam amino yang diperlukan tubuh. Dalam dunia medis, enzim
protease digunakan sebagai terapi untuk pengobatan tumor, radang, kelainan
darah, dan pengaturan kekebalan. Protease mampu menghidrolisis hampir semua
jenis protein, sepanjang protein tersebut bukan komponen sel hidup. Sel hidup
yang normal terlindung dari lisis oleh mekanisme penghalang.
Parasit, jamur, dan bakteri, merupakan protein.Virus merupakan parasit sel
yang tersusun dari asam nukleat yang tertutup lapisan protein. Enzim protease
dapat memecah protein yang tidak tercernak, serpihan sel, dan toksin dalam darah.
Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh dapat berkonsentrasi pada serangan
bakteri atau parasit.
Protease atau peptidase dibagi menjadi enam kelompok, yaitu serina-,
treonina-, sisteina-, aspartat, glutamat, dan metalo-peptidase. Selain itu, protease
34
dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keasamannya, yakni protease asam,
protease netral, dan protease basa.
Kekurangan enzim protease atau enzim pemecah protein dapat
mempengaruhi kesehatan tubuh. Pencernaan protein menimbulkan keasaman, oleh
karena itu kekurangan protease menyebabkan kelebihan alkali pada darah, dimana
kondisi alkalis ini dapat menyebabkan kecemasan dan insomnia. Selain itu, karena
protein diperlukan untuk membawa kalsium yang terikat pada protein dalam
darah, kekurangan protease bisa menyebabkan artritis, osteoporosis, dan penyakit-
penyakit lain yang berkaitan dengan kekurangan kalsium.
Karena protein diubah menjadi glukosa, kekurangan protein yang dicerna
tubuh akan menyebabkan kemurungan, ketidakstabilan emosi, dan mudah
tersinggung. Protease juga mampu mencernak serpihan-serpihan yang tidak
diinginkan dalam darah, termasuk bakteri dan virus. Oleh karena itu, orang yang
kekurangan protease kekebalannya akan menurun sehingga ia lebih rentan
terhadap infeksi bakteri, virus, dan jamur (Kardos et al., 2001; Shpacovitch et al.,
2008; Heutinck et al., 2010).
Sebaliknya, jika kadar protease dalam tubuh tinggi akan menyebabkan
beberapa gangguan. Tingginya kadar protease dapat menyebabkan kerusakan
berbagai macam organ seperti ginjal, hati, otak, limpa dan organ lainnya melalui
induksi apoptosis. Penelitian membuktikan bahwa dalam proses apoptosis,
protease menginduksi terjadinya kondensasi, fragmentasi dan degradasi DNA di
dalam inti sel yang dapat diamati pada tahap akhir apoptosis (Moffitt et al., 2007).
Ini terjadi melalui peran protease dalam meningkatkan permiabilitas membran
35
mitokondria sehingga terjadi sekresi sitokrom C (Egger et al., 2003) dan terlibat
pula dalam jalur eksternal Fas-Ligan yang melibatkan FADD (Thorburn et al.,
2003), yang berujung pada aktivasi kaskade kaspase (Sudiana, 2011). Beberapa
jenis protease lainnya yang tergolong dalam cystein protease seperti protease
CPP32 dan ICE/Ced3-protease juga terbukti berperan terhadap induksi apoptosis
sel (Furman et al., 2009).
2.4 Gen p16INK4α
Gen p16INK4α
merupakan susunan DNA yang menyandi protein p16INK4α
atau umum disebut cyclin-dependent kinase inhibitor 2A (CDKN2A). Gen ini
terletak pada lokus INK4α dari kromosom 9p21 manusia dan terdiri dari 12 ekson
(Larsen, 2004). Gen p16INK4α
mengkode transkrip yang sebagian besar terlibat
dalam regulasi siklus sel dan proses penuaan selular (Collins and Sedivy, 2003).
Gen ini menghasilkan beberapa varian transkrip yang berbeda pada ekson
pertamanya. Setidaknya terdapat tiga varian alternative splicing pada susunan
pengkode protein telah dilaporkan, dua di antaranya mengkode isoform struktural
terkait dengan fungsi protein p16INK4α
sebagai inhibitor Cdk4 kinase
(Kannengiesser et al., 2009). Transkrip lainnya termasuk alternatif ekson pertama
yang terletak 20 Kb di bagian upstream; transkrip ini mengandung open reading
frame (ARF) alternatif yang menentukan protein yang secara struktural tidak
terkait dengan produk-produk dari varian lainnya. Protein ARF berfungsi sebagai
penyeimbang kadar tumor suppressor gene p53 melalui interaksi langsung, dan
mensupresi MDM2 (E3 ubiquitin-protein ligase), protein yang bertanggung jawab
untuk degradasi p53. Terlepas dari perbedaan struktural dan fungsional, isoform
36
inhibitor CDK dan produk ARF dikodekan oleh gen ini, melalui peran regulasi
Cdk4 dan p53 pada tahap G1 dari siklus sel. Gen ini sering mengalami mutasi
atau bahkan delesi pada berbagai macam tumor, dan dikenal sebagai gen supresor
tumor yang penting (Kannengiesser et al., 2009; McKenzie et al., 2010; Miller et
al., 2011).
Gambar 2.7.
Skema Lokus Ink4α dari kromosom 9p21 (Sherr, 2012)
Ekspresi gen p16INK4α
dengan cepat diregulasi oleh iradiasi ultraviolet dan
dalam respon terhadap stres oksidatif yang diinduksi H₂O₂. Interfensi kerja
p16INK4α
menggunakan small interference RNA meningkat reactive oxygen species
(ROS) intraseluler dan kerusakan oksidatif DNA (8-oxoguanine), yang lebih
ditingkatkan dengan pemberian H₂O₂. Peningkatan kadar ROS juga diamati pada
keratinosit manusia, di seluruh kulit dan fibroblast tikus yang kekurangan p16INK4α
(Jenkins et al., 2011).
Telah umum diketahui bahwa protein p16INK4α
merupakan protein yang
terlibat dalam regulasi pembelahan sel. Kelebihan ekspresi (overexpression) dari
gen p16INK4α
akan menyebabkan munculnya fenotip penuaan, sedangkan
37
hilangnya ekspresi gen ini akibat mutasi, delesi atau epigenetik akan
menimbulkan proliferasi sel berlebihan yang berujung pada keganasan (Li et al.,
2011; Romagosa et al., 2011).
Hilangnya lokus gen p16INK4α
pada tikus telah dilaporkan dapat
mengakibatkan tingginya risiko tumor (Krimpenfort et al., 2001). Tikus yang
kekurangan protein p16INK4α
juga menunjukkan penurunan yang lebih rendah
terkait usia pada potensi self renewal, yang mana proses ini dikaitkan dengan
peningkatan kadar protein p16INK4α
(Molofsky et al., 2006). Penelitian lain pada
tikus yang berusia tua melaporkan bahwa dengan menghilangkan senescent cell
yang mengekspresikan p16INK4α
dapat menunda munculnya gejala-gejala penuaan,
seperti lordokifosis, sarkopenia dan katarak, meskipun relatif tidak
memperpanjang umur tikus (Baker et al., 2011). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa delesi gen p16INK4α
pada tikus menunjukkan hiperplasia kelenjar timus dan
mengalami peningkatan responsivitas mitogenik, sedangkan pada kelompok
kontrol menunjukkan peran p16INK4α
dalam menghambat proliferasi sel pada
kelenjar timus (Sharpless et al., 2001). Kesalahan pada signaling pathway dari
ekspresi gen p16INK4α
/ CyclinD1/Rb juga terbukti berasosiasi dengan karsinoma
kelenjar endokrin pada saluran pencernaan (Li et al., 2008).
Di lain pihak, protein p16INK4α
berfungsi sebagai penekan siklus sel.
Dalam satu studi, pemberian injeksi p16INK4α
pada tikus mengakibatkan resistensi
kanker dan penuaan normal (Matheu et al., 2004). Protein p16INK4α
merupakan
salah satu tumor supresor protein yang banyak terlibat dalam respon seluler
terhadap stress, salah satunya dengan induksi apoptosis (Al-Khalaf, 2013). Protein
38
ini memiliki peran penting dalam proses penuaan dari ginjal (Melk et al., 2004),
sel-sel melanosit (Sviderskaya, 2002), otak (Molofsky et al., 2006), dan organ
lainnya dalam tubuh.
Protein p16INK4α
menyebabkan apoptosis yang merupakan salah satu
fenotip penuaan. Percobaan in vitro membuktikan bahwa protein ini dapat
menyebabkan hambatan pertumbuhan dan induksi apoptosis pada human
hepatocellular carcinoma (HCC) cell lines BEL7402 (Qin et al., 2004). Penelitian
ini didukung oleh penelitian lainnya, membuktikan bahwa protein p16INK4α
menginduksi cell cycle arrest melalui induksi ekspresi protein Rb (Carnero, 2000;
Qin et al., 2004). Penelitian lain menunjukkan penurunan kadar protein cpp32 dan
protein cyclinB1, serta induksi pemecahan poly (ADP-ribose) polymerase (PARP)
sebagai salah satu mekanisme induksi apoptosis pada kultur sel kanker payudara,
osteosarkoma dan kanker paru yang diberi injeksi protein p16INK4α
. Jalur lain yang
mungkin dilalui oleh protein p16INK4α
dalam menginduksi apoptosis adalah jalur
MDM2, penelitian berhasil membuktikan secara in vitro bahwa kadar MDM2
meningkat drastis di hari ke 3 setelah injeksi p16INK4α
pada human NSCLC cell
line A549 (Katsuda et al., 2002).
Terdapat beberapa mekanisme yang mengatur penuaan sel, seperti
mekanisme pemendekan telomer dan radikal bebas. Namun beberapa jenis sel
seperti sel ginjal dan sel epitel menunjukkan bahwa protein p16INK4α
merupakan
satu-satunya mekanisme regulasi proses penuaan (Melk et al., 2004; Dabelsteen et
al., 2009). Secara umum dapat dikatakan bahwa konsentrasi p16INK4α
meningkat
secara dramatis sejalan dengan pertambahan usia jaringan. Oleh karena itu
39
pemeriksaan kadar p16INK4α
, baik dalam darah maupun jaringan,berpotensi untuk
digunakan sebagai marker untuk mengukur seberapa cepat jaringan tubuh
mengalami penuaan pada tingkat molekul (Ressler et al., 2006; Liu et al., 2009).
2.5 Apoptosis
2.5.1 Definisi Apoptosis
Kematian sel terprogram (apoptosis) memiliki peranan yang sangat
penting dalam pertumbuhan organisme multiseluler. Pada manusia normal,
pertumbuhan diregulasi secara ketat melalui keseimbangan antara proliferasi dan
apoptosis. Keseimbangan apoptosis dan proliferasi sel masive ini bertanggung
jawab atas keseimbangan sel dan jaringan (interior milliue atau homeostasis).
Pada orang dewasa, diperkirakan sekitar 50-70 milyard sel mengalami apoptosis,
termasuk 5x1011
sel darah dimusnahkan melalui proses apoptosis ini (Cooper and
Hausman, 2009; Malik, 2010).
Apoptosis merupakan suatu proses yang berbentuk kaskade dimana
aktivitas enzim kaspase berfluktuasi, DNA mengalami pemecahan dan
phosphatidylserine ditransfer keluar membran sel. Pada proses fisiolgis dan
terjadinya suatu penyakit apoptosis memegang peranan sangat penting, disamping
itu proses biokimia yang terjadi juga menyebabkan perubahan morfologi pada sel
yang khas dan kematian dari sel itu sendiri. Berbeda dengan nekrosis, apoptosis
menghasilkan sel yang disebut apoptotic body yang bisa difagositosis oleh sel-sel
fagosit seperti makrofag dan sel dendritik yang selanjutnya secara cepat
dipindahkan sebelum isi dari sel-sel tersebut ditumpahkan di sekitarnya, dimana
keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan dari sel yang bersangkutan. Sedangkan
40
pada nekrosis (Golstein and Kroemer, 2007; Berata et al., 2011). kematian sel
terjadi akibat suatu trauma yang berasal dari luka sel yang akut
Gambar 2.8.
Perbedaan Fundamental antara Apoptosis dan Nekrosis (Jain et al., 2014)
Apoptosis merupakan proses aktif yang bersifat fisiologis dan melibatkan
berbagai macam molekul protein dengan berbagai perubahan kimiawi dan fisik.
Terjadi secara bertahap dan terorganisir dengan rapi, yang meliputi perubahan
pada membran sel, sitoplasma, inti sel, dan akan berakhir pada kematian sel.
Proses kematian ini berawal dari pelepasan kontak antara sel dengan sel
disekitarnya. Di dalam sitoplasma terjadi pelebaran retikulum endoplasma untuk
membentuk vesikel dan vakuola. Sedangkan pada inti sel terjadi kondensasi
kromatin membentuk agregat kompak dan padat, kemudian terjadi fragmentasi
internukleosom oleh enzim endonuklease dan berakhir dengan terbentuknya
41
apoptotic bodies. Kejadian tersebut merupakan karakter morfologi spesifik pada
sel yang apoptosis (Vermeulen et al., 2005; Cooper and Hausman, 2009).
2.5.2 Fase-fase Apoptosis
Dalam proses apoptosis terjadi tiga fase utama, yaitu : 1) fase inisiasi,
dimana sel mulai mendapatkan stimulus untuk induksi apoptosis; 2) fase efektor,
sel berkomitmen untuk mengalami dan memulai aktivitas apoptosis; 3) fase
eksekusi proses apoptosis mencapai tahap akhir dan sel memperlihatkan
karakteristik biokimiawi dan morfologi dari apoptosis (Malik, 2010).
Pada fase inisiasi sel menerima berbagai rangsangan, baik intraseluler
maupun interseluler melalui jalur internal dan eksternal yang kemudian akan
merangsang kaskade apoptosis. Induktor apoptosis dapat berupa: 1) induktor
fisiologis seperti hormon dan sitokin; 2) induktor biologi seperti bakteri, virus dan
parasit; 3) induktor fisik seperti radiasi dan senyawa toksin. Suatu induktor dapat
mengakibatkan berbagai jenis respon apoptosis pada tipe sel yang berbeda (Torres
and Varges., 2003).
Setelah sel menerima rangsangan untuk melakukan apoptosis, maka sel
tersebut akan kehilangan kontak dengan sel disekitarnya dan mengalami
perubahan menuju arah apoptosis, baik secara morfologi maupun biokimia. Fase
ini disebut sebagai fase efektor dan eksekusi (Torres and Varges., 2003).
Setelah sel mengalami apoptosis, sel akan segera mengalami eliminasi.
Pada fase eliminasi sel-sel yang telah mengalami apoptosis akan meninggalkan
jejak sisa apoptosis, atau sering disebut apoptotic body, akan segera difagositosis
oleh sel fagositik profesional seperti makrofag, sel denritik , dan sel fibroblast.
42
Namun kejadian eliminasi pada kasus apoptosis tidak melibatkan proses
inflamasi, berbeda dengan nekrosis (Gregory, 2000; Torres and Varges., 2003)
2.5.3 Jalur-jalur Apoptosis
Proses apoptosis terjadi dan dimulai karena adanya stimulus endogen
(growth factor depreviation), maupun faktor stimulus eksogen seperti ultraviolet,
radiasi, dan bahan-bahan lain yang merusak DNA. Kerusakan DNA ini
merupakan salah satu prinsip dasar pencetus kematian sel terprogram dan awal
usaha mengeliminasi sel-sel yang memiliki potensi untuk mutasi. Kegagalan
kontrol apoptosis pada umumnya akan mengakibatkan terbentuknya tumor, yang
merupakan salah satu langkah penting dalam karsinogenesis. Terdapat dua jalur
utama (basic pathway) mekanisme apoptosis yang sudah banyak diteliti dan dapat
menjelaskan bagaimana proses apoptosis terjadi. Kedua jalur tersebut yaitu: 1)
jalur eksternal (extrinsic or death receptor-mediated pathway) dan 2) jalur
internal (intrinsic or mitochondrial pathway) Jalur apoptosis lain yang belum
banyak diketahui seperti : endoplasmic reticulum stress-induced apoptosis dan
caspase-independent apoptosis (Vermeulen et al., 2005).
43
Gambar 2.9.
Ringkasan Jalur yang terlibat dalam Apoptosis (Varecza, 2011)
Pada apoptosis jalur eksternal atau extrinsic or death receptor-mediated
pathway, terjadi kontak dan ikatan antara ligan dengan reseptor yang terletak pada
membran plasma (Gambar 2.9). Reseptor yang terlibat dengan apoptosis antara
lain Tumor Necrosis Factor receptor superfamily (TNF-R) seperti: Fas (Apo-1
atau CD95), TNF-Receptor-1 (TNFR-1), Death Receptor-3 (DR-3), atau TNF-
Receptor-related Apoptosis-Mediating Protein (TRAMP) atau Apo-3, TNF-
Related Apoptosis Inducing Ligand Receptor-1 (TRAIL-R1 atau DR4), TRAIL-
R2 (DR atau Apo-2) dan DR-6. Reseptor terkait kematian atau apoptosis, sering
disebut sebagai death receptor yang banyak diteliti dengan baik adalah Fas
44
receptor (Vermeuler et al., 2005; Wright et al., 2007; Elstrom and Thompson,
2008; Cooper and Hausman, 2009; Malik 2010).
Terjadi ikatan antara reseptor dengan ligannya (Fas-Fas ligan) akan
menyebabkan terjadinya trimerisasi reseptor dan direkrutnya protein adaptor
spesifik. Struktur anatomi Fas receptor terdiri dari Death Domain (DD) yang
terdapat dalam sitoplasma tempat interaksi protein adaptor, protein Fas-
Associated Death Domain (FADD) dan membentuk Death receptor-Induced
Signalling Complex (DISC). Disamping DD, FADD terdapat juga Death Effector
Domain (DED) tempat dimana terjadinya pengrekrutan Caspase Inisiator seperti
Caspase-8, Caspase-10 dan kemudian bergabung dengan DISC. Inisiator caspase
yang sudah aktif (procaspase-8, procaspase-10 aktif) selanjutnya akan
mengaktifkan caspase efektor atau eksekutor seperti caspase-3, caspase-6, dan
caspase-7 yang akan mendegradasi target sel. Death receptor lainnya seperti
TNF-R1 dengan ligannya (TNF-a) memicu terjadinya trimerisasi dan membentuk
ikatan TNF-R-Associated Death Domain protein (TRADD) dan berikatan dengan
FADD kemudian mengaktivasi procaspase-8,-10 menjadi Caspase-8,-10 aktif dan
kemudian mengaktifkan caspase efektor atau eksekutor seperti caspase-3,
caspase-6, dan caspase-7 yang akan mendegradasi target sel. Mekanisme
degradasi suatu sel, caspase eksekutor mulai dengan aksi memecah berbagai
substrat protein melalui proses proteolysis (Vermeuler et al., 2005; Wright et al.,
2007; Elstrom and Thompson, 2008; Cooper and Hausman, 2009; Malik 2010).
Target caspase substrat spesifik adalah poly-(ADP-ribose) polymerase
(PARP) merupakan protein inti (nuclear protein) berperan dalam DNA repair.
45
PARP merupakan protein spesifik sebagai target pertama caspase efektor atau
eksekutor untuk dipecah. Pemecahan protein ini menyebabkan Inhibitor of
Caspase-Activated DNAse (ICAD) tidak aktif dan memberikan kesempatan
Caspase Activated DNAse (CAD) atau sering disebut DNA Fragmentation Factor
(DFF) masuk kedalam inti. CAD atau DFF (DFF45, DFF40) dalam inti sel
bertanggung jawab atas terjadinya pemecahan DNA (internucleosomal DNA
cleavage) dan terbentuk pecahan-pecahan DNA (oligonucleosomal DNA
fragments) Perubahan biokimia dan morfologi ini merupakan karakteristik
spesifik suatu kematian sel akibat apoptosis. Melalui death receptor ini (TNF-R)
tidak sepenuhnya terjadinya apoptosis oleh karena dalam proses ini terjadi pula
ikatan antara TNF receptor-associated factor-2 (TRAF-2) dengan TRADD dan
kemudian merekrut cellular inhibitor of apoptosis (c-IAP-1 dan c-IAP-2), ikatan
ini kemudian membentuk signal yang dapat memblok aktivitas caspase-7 sebagai
eksekutor target sel (Vermeuler et al., 2005; Wright et al., 2007; Elstrom and
Thompson, 2008; Cooper and Hausman, 2009; Malik 2010).
Bila TRADD berinteraksi dengan receptor interaction ptrotein (RIP) akan
membentuk sinyal yang mengaktivasi transcription factor nuclear factor-kappa-
beta (NF-κβ), kemudian menyebabkan terjadinya transkripsi gen anti apoptosis
(Bcl-2) dan berakhir dengan promosi sel berkembang (cell survived) dan alternatif
lain juga terjadi bila interaksi TRADD dengan RIP dapat membentuk sinyal yang
mampu mengaktivasi procaspase-2 menjadi caspase-2 aktif dan kemudian
mengaktivasi procaspase-7 menjadi caspase-7 aktif, sehingga terjadi proses
46
degradasi target sel atau apoptosis (Vermeuler et al., 2005; Wright et al., 2007;
Elstrom and Thompson, 2008; Cooper and Hausman, 2009; Malik 2010).
Gambar 2.10.
Jalur Ekstrinsik atau death receptor-mediated pathway pada Apoptosis
(Almagro and Vucic, 2012)
Pada jalur internal (intrinsic or mithocondrial pathway) oleh sesuatu
peristiwa atau penyebab rusaknya DNA, seperti kemoterapi, radiasi dan peristiwa-
peristiwa lainnya akan mengawali sinyal apoptosis dengan dilepaskannya
cytochrom C dan komponen apoptosis lainnya dari ruang antar membran
mitokondria ke sitoplasma, cytochrome C akan berikatan dengan apoptotic
protease activating factor-1 (Apaf-1), kemudian membentuk DISC atau disebut
juga dengan apoptosome dengan berat molekul 1MDa, terdiri dari masing-masing
7 molekul Apaf-1, cytochrome C, (d)ATP dan procaspase-9 yang akan diaktivasi
47
menjadi caspase-9 (inisiator caspase). Komplek ini kemudian akan mengaktifkan
caspase efektor atau eksekutor caspase-3,-6 atau -7. Aktivasi caspase-3 diketahui
akan memecah ICAD menjadi CAD atau DNA Fragmentation Factor-45
(FDD45) dan DNA Fragmentation Factor-40 (FDD40) yang berperan aktif untuk
memecah DNA dalam inti sel dan berakhir dengan proses eksekusi kematian sel
atau apoptosis (Gambar 2.10). Kedua jalur apoptosis ini tidak berjalan sendirian
tetapi keduanya bekerja sama melalui mekanisme crosstalking yang melibatkan
p53 mengaktifkan Bcl-2 family proapoptosis seperti bid dengan mengadakan
kontak melalui tBid dan bax, kemudian mengaktivasi mitokondria melepaskan
Cytocrom C, dan proses apoptosis ini terjadi tergantung pada keseimbangan antar
molekul-molekul proapoptosis (Bax, Bak, p53) dan antiapoptosis (Bcl-2, Bcl-Xl)
(Vermeuler et al., 2005; Wright et al., 2007; Elstrom and Thompson, 2008;
Cooper and Hausman, 2009; Malik 2010).
Gambar 2.11.
Jalur Intrinsik pada Apoptosis (Almagro and Vucic, 2012)
48
Jalur alternatif (alternative pathway) seperti: Endoplasmic Reticulum
stress-induced apoptosis. Endoplasmic Reticulum sutau organel dalam sitoplasma
tempat dimana terdapat protein dalam bentuk matur seperti: protein dalam kondisi
terlipat (folding) dan oligomerisasi sebagai hasil dari proses translasi sempurna.
Bila didalam endoplasmic reticulum terdapat akumulasi protein-protein tidak
mature seperti: protein dalam kondisi tidak terlipat dengan benar (misfolded),
maka akan menyebabkan terjadinya signal aktivasi terhadap unfolded protein
response (UPR). Kondisi tersebut merangsang terjadi signal transduksi untuk
memperbaiki protein dari unfolded menjadi folding protein. Pada kasus-kasus
tertentu dimana terjadi kerusakan protein berlebihan dan tidak mampu diperbaiki,
akan menimbulkan inisiasi apoptosis. Mekanisme apoptosis melalui jalur ini
melibatkan mitokondria yang ditandai dengan dilepaskannya cytochrome-C.
Nampaknya apoptosis melalui jalur ini dihambat oleh Bcl-2 family (antiapoptosis)
yang berlokasi didalam membran sel retikulum endoplasma. Disamping terdapat
protein mature di dalam reticulum endoplasma, terdapat juga Ca2+
yang
keseimbangannya dikontrol oleh Bcl-2 family, bila terjadi gangguan
keseimbangan atau terlepasnya Ca2+
ini akan mengaktivasi terjadinya apoptosis
dengan mempengaruhi membran mitokondria atau permeability transition pore
(PTP). Peristiwa tersebut menyebabkan terjadi pelepasan cytochrome-C ke dalam
sitoplasma dan juga secara langsung mengaktifkan caspase-12. Mekanisme
aktivasi caspase-12 belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan ada dua
faktor berperan yaitu Calpain-dependent removal of pro-domain dan self
cleavage. Calpain adalah Ca2+
dependent cytosolic cysteine protease, dapat
49
memediasi terjadinya apoptosis melalui jalur caspase-independent apoptosis
pathway. Disamping caspase-12, ada molekul lain punya hubungan dengan
endoplasmic reticulum stress-induced apoptosis seperti Bap13 dimana molekul ini
pengatur procaspase-8 dan substrat caspase-8 itu sendiri (Vegran et al., 2006).
Jalur alternatif lain seperti: Caspase-Independent apoptosis pathway.
Beberapa sel mati tidak mudah dibedakan bahwa sel itu mengalami apoptosis atau
nekrosis. Bila terjadi kematian sel dengan menampilkan molekul Z-VAD.fmk
(caspase activation) tanpa terjadi fragmentasi DNA, kondensasi DNA atau
caspase activation, itu menunjukkan kematian sel melalui proses apoptosis.
Molekul Z-VAD.fmk merupakan protein yang bekerja menghambat caspase
dengan cara mengadakan ikatan permanen pada bagian katalitik semu caspase.
Ikatan tersebut menyebabkan terjadinya aspartic acid residue yang menyerupai
cleavage site dan fluoromethyl ketone (fmk) group membentuk covalent inhibitor-
enzym complex. Bila proses apoptosis hanya melibatkan caspase saja maka sel
akan hidup kembali bila diterapi atau dengan adanya Z-VAD.fmk. Hal inilah yang
kemudian disebut sebagai kematian sel yang tidak tergantung caspase (caspase-
independent apoptosis). Kematian sel melalui jalur ini tidak selamanya terbukti
dengan kehadiran molekul Z-VAD.fmk. Suatu penelitian menunjukkan bahwa
kematian sel melalui inisiasi Bax-triggered cell death dan perubahan permiabilitas
membran mitokondria menyebabkan lepasnya cytochrome-C dan apoptosis-
inducing factor (IAF) tidak terbukti dipengaruhi oleh Z-VAD.fmk. Bukti lain juga
menjelaskan bahwa kematian sel melalui induksi TNF pada sel tertentu
membutuhkan caspase dan contoh lain seperti kematian sel melalui proses
50
nekrosis tanpa membutuhkan aktivasi caspase. Enzim bukan caspase (non-
caspase proteases) yang lainnya seperti: capthensins, calpains, dan serin protease
(granzym A atau B dan omi atau HtrA2) memiliki peran seperti caspase dalam
proses apoptosis. Protein-protein ini dapat bekerja sama dengan caspase tetapi
dapat juga sebagai triggers caspase-independent apoptosis (Vermeuler et al.,
2005).
Proses kematian sel melalui jalur caspase-independent ini lebih tegas
dijelaskan bahwa, AIF terdapat diantara membran mitokondria sebagai
flavoprotein memiliki kemampuan unik untuk induksi terjadinya kondensasi
kromatin dan fragmentasi DNA tanpa tergantung pada caspase (caspase
independent). Pada mekanisme apoptosis, AIF berpartisipasi dalam mengatur
permiabilitas membran mitokondria dan menunjukkan aktivitas NADH oxidase.
Pada peristiwa induksi apoptosis, AIF akan masuk kedalam sitoplasma dan
kedalam inti sel, kemudian dalam sitoplasma berpengaruh terhadap mitokondria
untuk mengeluarkan Cytochrom-C dan AIF, sedangkan AIF di dalam inti sel
berperan sebagai penyebab terjadinya proses kondensasi kromatin. Pada binatang
coba, setelah diinjeksikan anti-AIF antibody atau gen AIF dihilangkan (knockout)
berhasil membuktikan bahwa AIF diperlukan selama proses apoptosis. AIF
menjadi faktor penting selama proses apoptosis dan menjadi peristiwa pertama
pada caspase-independent apoptosis pathway (Cande et al., 2002)
51
Gambar 2.12.
Caspase Independent Apoptosis Pathway (Hongmei, 2012)
2.6 Pengaruh Peningkatan Aktivitas Enzim Protease dan Peningkatan
Ekspresi Gen p16INK4α
terhadap Proses Penuaan
Peran enzim protease didalam tubuh sangat penting yaitu membantu
pencernaan protein dalam makanan, menggunakan kembali protein-protein
intraseluler, koagulasi sel darah, dan aktivasi berbagai jenis protein, enzim,
hormon, serta neurotransmiter (Poliana and MacCabe, 2007). Kekurangan enzim
protease dapat menyebabkan kelebihan alkali pada darah, dimana kondisi alkalis
ini dapat menyebabkan kecemasan, insomnia, artritis, osteoporosis, dan penyakit-
penyakit lain yang berkaitan dengan kekurangan kalsium. Selain itu akibat
kekurangan enzim protease juga dapat menyebabkan penurunan kekebelan tubuh
52
sehingga lebih rentan terhadap infeksi bakteri, virus dan jamur (Kardos et al.,
2001; Shpacovitch et al., 2008; Heutinck et al., 2010).
Sebaliknya, jika kadar protease dalam tubuh tinggi akan menyebabkan beberapa
gangguan. dan kerusakan berbagai macam organ seperti ginjal, hati, otak, limpa
dan organ lainnya melalui induksi apoptosis. Penelitian membuktikan bahwa
dalam proses apoptosis (Moffitt et al., 2007).
Telah diketahui bahwa protein p16INK4α
merupakan protein yang terlibat
dalam regulasi pembelahan sel. Kelebihan ekspresi (overexpression) dari gen
p16INK4α
akan menyebabkan munculnya fenotip penuaan, sedangkan hilangnya
ekspresi gen ini akibat mutasi, delesi atau epigenetik akan menimbulkan
proliferasi sel berlebihan yang berujung pada keganasan (Li et al., 2011;
Romagosa et al., 2011). Percobaan in vitro membuktikan bahwa protein p16INK4α
dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan dan induksi apoptosis pada human
hepatocellular carcinoma (HCC) cell lines BEL7402 (Qin et al., 2004). Selain itu
bahwa protein p16INK4α
menyebabkan apoptosis yang merupakan salah satu
fenotip penuaan
Growth hormone merupakan salah satu hormon yang sangat penting bagi
manusia, memiliki peran dalam regulasi pertumbuhan normal linier pada masa
anak-anak dan mengatur metabolisme, komposisi tubuh, serta fungsi imun pada
saat dewasa (Pangkahila, 2011). Growth hormone juga bertindak sebagai
pengatur utama komposisi tubuh, metabolisme otot dan tulang, fungsi jantung,
merangsang sintesis protein dan proliferasi sel (Meinhardt et al., 2010). Pengaruh
dari penurunan kadar hormon pertumbuhan yang pada umumnya menyebabkan
53
terganggunya sintesa protein, hal ini akan mengakibatkan kurangnya kadar protein
di dalam sel sehingga akan terjadi hambatan pertumbuhannya bahkan akan terjadi
kematian sel (apoptosis) (Hayashi and Proud, 2007). Penurunan kadar hormon
pertumbuhan juga berimplikasi terhadap rendahnya produksi dan sekresi dari
protease inhibitor (Sliva et al, 1994). Rendahnya kadar growth hormone yang
berujung pada menurunnya aktivitas protease inhibitor akan mengakibatkan
aktivitas enzim protease menjadi meningkat, dengan meningkatknya aktivitas
enzim protease tersebut maka akan bersifat merusak (destructive enzyme),
sehingga menyebabkan banyak protein yang rusak dan menginduksi kematian sel
(apoptosis).
Dari uraian diatas ternyata peningkatan aktivitas enzim protease serum dan
peningkatan ekspresi gen p16INK4α
akan menginduksi apoptosis, dan hal ini
mengakibatkan terjadinya fenotip penuaan dan akan mempercepat proses penuaan
(penuaan dini)
2.7 Ginjal
2.7.1 Fisiologi Ginjal
Ginjal merupakan organ ekskresi yang memegang peranan penting dalam
homeostasis senyawa kimia di dalam tubuh mamalia termasuk manusia. Ginjal
terletak secara retroperitoneal pada bagian posterior dinding abdominal pada
setiap sisi kolumnar vertebra diantara T12 - L3 (Gambar 2.13). Ginjal
menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia
darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekskresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
54
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang
sesuai disepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di ekskresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Alatas et al., 2002;
Price and Wilson, 2005).
Gambar 2.13.
Letak Ginjal di dalam Tubuh Tikus (Pinterest, 2016)
Price and Wilson (2005) menjelaskan secara singkat fungsi utama ginjal
yaitu fungsi ekskresi dan fungsi non-ekskresi. Terkait dengan fungsi ekskresi,
ginjal berperan dalam mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mili
Osmol dengan mengubah-ubah ekskresi air, mempertahankan volume cairan
esktraseluler (ECF) dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekskresi natrium,
mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam
rentang normal, mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan
mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat,
Ginjal
55
mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea,
asam urat dan kreatinin), dan bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar
obat (Alatas et al., 2002; Price and Wilson, 2005).
Terkait dengan fungsi non ekskresi, ginjal berperan dalam mensintesis dan
mengaktifkan hormon seperti renin yang berperan penting dalam pengaturan
tekanan darah, eritropoitin yang merangsang produksi sel darah merah oleh
sumsum tulang, 1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin D3
menjadi bentuk yang paling kuat, prostaglandin yang sebagian besar adalah
vasodilator bekerja secara lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal,
dan degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin,
hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (Alatas et al., 2002;
Price dan Wilson, 2005, Guyton and Hall, 2007)
Sistem ekskresi terdiri atas dua buah ginjal dan saluran keluar urin. Ginjal
sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke
medialnya. Ginjal akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah dan
mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter.
Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu dikandung kemih lalu
dikeluarkan melalui uretra (Alatas et al., 2002; Price dan Wilson, 2005).
Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut
nefron. Tiap ginjal bisa tersusun atas satu juta nefron yang saling disatukan oleh
jaringan ikat. Nefron ginjal terbagi dua jenis, nefron kortikal yang lengkung
henle-nya hanya sedikit masuk medula dan memiliki kapiler peritubular, dan
nefron jukstamedulari yang lengkung Henlenya panjang ke dalam medula dan
56
memiliki Vasa Recta. Vasa Recta adalah susunan kapiler yang panjang mengikuti
bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara makroskopis, korteks ginjal akan
terlihat berbintik-bintik karena adanya glomerulus, sementara medula akan terlihat
bergaris-garis karena adanya lengkung henle dan tubulus pengumpul (Sherwood,
2002; Alatas et al., 2002; Price dan Wilson, 2005).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi (Gambar 2.14). Pembentukan urin dimulai dengan
filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus
ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi
secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula
bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas
oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi. Kemudian direabsorpsi parsial,
reabsorpsi lengkap dan kemudian akan diekskresi. Setiap proses filtrasi
glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan
tubuh (Sherwood, 2002; Guyton and Hall, 2007).
57
Gambar 2.14.
Fisiologi Fungsi Ginjal: Proses Produksi Urin
(Khandelwal and Uthaman, 2016)
2.7.2 Anatomi dan Histologi Ginjal
Ginjal adalah salah satu organ di dalam tubuh mamalia yang berwarna
coklat kemerahan seperti kacang merah. Organ ini terletak pada dinding posterior
abdomen, berjumlah sebanyak dua buah dimana masing-masing terletak dikanan
dan kiri columna vertebralis (Snell, 2006). Kedua ginjal terletak di retroperitoneal
pada dinding abdomen, masing-masing di sisi kanan dan kiri columna vertebralis
setinggi vertebra torakal 12 sampai vertebra lumbal tiga. Ginjal kanan terletak
sedikit lebih rendah dari pada ginjal kiri karena besarnya lobus hati kanan
(Junqueira and Carneriro, 2007).
58
Gambar 2.15.
Anatomi Ginjal Tikus (BCRC, 2011)
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang
dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa
triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian
apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan
hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis
ginjal (Tortora and Derrickson, 2011).
Ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat
digambarkan yaitu korteks dibagian luar dan medulla dibagian dalam (Guyton and
Hall, 2007). Masing-masing ginjal terdiri dari 1–4 juta nefron yang merupakan
59
satuan fungsional ginjal terdiri atas korpuskulum renal, tubulus kontortus
proksimal, lengkung henle dan tubulus distal (Junqueira and Carneriro, 2007).
Setiap korpuskulum renal terdiri atas seberkas kapiler berupa glomelurus
yang dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula
bowman. Lapisan viseralis atau lapisan dalam kapsula ini meliputi glomerulus,
sedangkan lapisan luar yang membentuk batas korpuskulum renal disebut lapisan
parietal. Di antara kedua lapisan kapsula bowman terdapat ruang urinarius yang
menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler dan lapisan viseral
(Junqueira and Carneriro, 2007).
Tubulus renal yang berawal pada korpuskulum renal adalah tubulus
kontortus proksimal, tubulus ini terletak pada korteks yang kemudian turun ke
dalam medula dan menjadi ansa henle. Ansa henle terdiri atas beberapa segmen,
antara lain segmen desenden tebal tubulus kontortus proksimal, segmen asenden
dan desenden tipis, dan segmen tebal tubulus kontortus distal (Eroschenko, 2010).
Ginjal diperdarahi oleh arteri renalis yang letaknya setinggi diskus
intervertebralis vertebra lumbal satu dan vertebra lumbal dua (Junqueira and
Carneriro, 2007). Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian
bercabang membentuk arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan
arteriol aferen yang menuju ke kapiler glomelurus (Guyton and Hall, 2007).
Sistem vena pada ginjal berjalan paralel dengan sistem arteriol dan membentuk
vena interlobularis, vena arkuata, vena interlobaris dan vena renalis (Guyton and
Hall, 2007). Persarafan ginjal berasal dari pleksus renalis dari serabut simpatis dan
parasimpatis (Junqueira and Carneriro, 2007).
60
Gambar 2.16.
Sirkulasi pada Ginjal (OpenStax, 2016)
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Didalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, tubulus kontraktus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri
ke duktus pengumpul. Glomerulus bersama kapsula Bowman juga disebut badan
Malpigi (Alatas et al., 2002; Eroschenko, 2010).
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi
sebagai penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel yang
mempunyai sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang
disebut fenestra dengan diameter 500-1000A° (Alatas et al., 2002). Setiap korpus
61
renal berdiameter 200 μm dan terdiri atas seberkas kapiler yaitu glomerulus,
dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsula Bowman.
Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal (lamina parietalis) yang
terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis
serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus
yang terdiri dari sel-sel podosit. Pada kutub urinarius dari korpuskulus renal,
epitel gepeng dari lapisan parietal kapsula Bowman, berhubungan langsung
dengan epitel selindris dari tubulus kontraktus proksimal. Tubulus ini lebih
panjang dari tubulus kontraktus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat
korpuskulus renalis dalam labirin korteks (Junqueira and Carneriro, 2007).
Lengkung henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal
descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontraktus proksimal; ruas
tipis descenden dan ruas tebal ascenden strukturnya sangat mirip dengan tubulus
kontraktus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas
korteks-medula yang disebut dengan nefronjukstamedula. Nefron lainnya disebut
nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan
sekresi (Junqueira and Carneriro, 2007).
62
Gambar 2.17.
Histologi Ginjal Tikus: renal corpuscle (RC), urinary pole (UP), dan
vascular pole (VP) (Fitzgerald, 2009)
Bila ruas tebal ascend lengkung henle menerobos korteks, struktur
histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut tubulus
kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis
kuboid. Lumen tubulus distal lebih besar dan karena sel-sel tubulus distal lebih
gepeng dan lebih kecil dari tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan
inti dinding tubulus distal (Junqueira and Carneriro, 2007).
Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens, yang
saling bergabung dan membentuk duktus koligens yang lebih besar dan lebih
lurus yaitu duktus papilaris Bellii yang berangsur-angsur melebar sewaktu
mendekati puncak piramid. Tubulus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel
kuboid dan berdiameter kurang lebih 40μm. Dalam medulla, duktus kolagens
63
merupakan komponen utama dari mekanisme pemekatan urin (Junqueira and
Carneriro, 2007).
2.8 Hewan Coba : Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus wistar
(Rattus norvegicus). Selain mencit, tikus putih galur wistar merupakan hewan
laboratorium yang paling sering digunakan untuk penelitian karena tikus ini
relatif mudah ditangani. Tikus wistar merupakan hewan laboratorium yang
dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 (Hubrecht and Kirkwood,
2010). Taksonomi tikus wistar adalah sebagai berikut (Armitage 2008) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub Ordo : Myomorpha
Family : Muridae
Sub Family : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
64
Gambar 2.18.
Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
Tikus telah menjadi model penelitian mamalia yang digemari oleh
peneliti. Di antara banyak alasan untuk ini, alasan yang paling utama adalah
kedekatan genetik tikus dengan manusia yang mencapai 99%, kemungkinan
memanipulasi genom dan ketersediaan banyak strain (Boguski, 2002; Ladiges, et
al., 2009; Vanhooren and Libert, 2013). Di bidang penelitian penuaan, tikus telah
menjadi subjek penelitian yang sangat banyak digunakan dan dapat diandalkan.
Mengingat tikus laboratorium memiliki waktu hidup (lifespan) hanya beberapa
tahun, pendekatan genetik dan strategi lain untuk mengintervensi penuaan dapat
diuji dengan memeriksa efek perlakuan terhadap umur tikus dan parameter
penuaan dalam waktu yang relatif singkat (Vanhooren and Libert, 2013).
65
Tabel 2.1
Data biologis tikus wistar (Hubrecht dan Kirkwood, 2010)
Jenis Data Nilai
Panjang tubuh lahir
Berat badan lahir
Berat badan dewasa : Jantan
Betina
Masa kebuntingan
Masa hidup
Suhu tubuh
Denyut Nadi
Frekuensi nafas
Volume darah
2,2 cm
2-4 g
300-800 g
250-400 g
20-21 hari
2-4 tahun
38-39° C
320-480 kali/menit
85-110 kali/menit
5,6 – 7,1 ml/100g berat badan
Penelitian mengenai penuaan dengan menggunakan tikus sebagai hewan
coba banyak dilakukan untuk mengetahui pengaruh intervensi yang diberikan,
khususnya senyawa-senyawa kimia, terhadap ekspektasi hidup (life expectancy)
(Miller et al., 2007), retardasi penuaan dengan pembatasan kalori, mutasi spontan
atau rekayasa genetika yang mempengaruhi umur, penentuan umur pada
beberapa strain (Yuan et al.,2009) , dan penelitian quantitative trait locus
(QTL1) untuk menemukan gen yang berhubungan dengan penuaan (Lang et al.,
2010).
Parameter fenotipik yang dapat dijadikan acuan dalam menilai proses
penuaan pada tikus adalah lesi yang merupakan bagian dari penurunan progresif
66
fungsi organ yang mengalami penuaan. Lesi eksternal dan lesi yang dapat diraba
dapat dengan mudah diamati dan dicatat oleh peneliti, peternakan, atau staf
dokter hewan selama pengujian (Treuting, 2008). Selain itu parameter lain yang
dapat digunakan untuk menentukan proses penuaan adalah parameter kelainan
klinis, patologi anatomi dan histopatologi (Pettan-Brewer and Treuting, 2011)
Untuk tikus yang dipelihara di laboratorium, makanan dan minuman
diberikan secara ad libitum, dan pencahayaan ruangan diatur sehingga 12 jam
terang dan 12 jam gelap. Tikus umumnya sensitif terhadap cahaya, maka
intensitas cahaya laboratorium sebaiknya tidak melebihi 50 lux (Hubrecht dan
Kirkwood, 2010).
Kondisi optimal bagi tikus di laboratorium antara lain sebagai berikut
(Krinke, 2000; Ngatidjan, 2006; Hubrecht dan Kirkwood, 2010) :
a. Kandang tikus harus cukup kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan,
mudah di bongkar pasang, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan
dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah
menyerap air pada umumnya dipakai sekam padi atau serbuk gergaji
yang diganti seminggu sekali untuk mempertahankan hieginitas kandang.
b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan
fisiologis tikus (suhu sekitar 20-22oC).
c. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan
stres pada tikus.