bab ii kajian pustaka 2.1 penuaan 2.1.1 definisi penuaan 2.pdf · disebut sebagai penyakit...

34
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Definisi Penuaan Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker) (Swatriani, 2012). 2.1.2 Penyebab Penuaan Berbagai faktor penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).

Upload: ledang

Post on 30-Jan-2018

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Definisi Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang

diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan

terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang

disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes

melitus, dan kanker) (Swatriani, 2012).

2.1.2 Penyebab Penuaan

Berbagai faktor penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas,

hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan

yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak

sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan

(Pangkahila, 2011).

2

2.2 Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

sensitivitas insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2014).

American Diabetes Association melaporkan bahwa setiap 21 detik ada

satu orang yang terkena diabetes. Diperkirakan jumlah diabetes mencapai 350 juta

pada tahun 2025, lebih dari setengahnya berada di Asia, terutama di India, Cina,

Pakistan, dan Indonesia (Tandra, 2014).

WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes

yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan

jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes

Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang

DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun

terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya

peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030

(ADA, 2014).

2.2.1 Patofisiologi Diabetes Melitus

Gula dalam darah disebut sebagai glukosa, berasal dari dua sumber, yaitu

dari makanan dan hasil produksi di hati. Setiap kali kita makan, pankreas

memberikan respon dengan mengeluarkan insulin ke dalam darah. Insulin

berperan sebagai kunci yang membuka pintu sel agar glukosa bisa masuk, dengan

demikian kadar glukosa dalam darah menjadi turun. Hati merupakan tempat

3

penyimpanan sekaligus pusat pengolahan glukosa. Pada saat kadar insulin

meningkat seiring masuknya makanan ke tubuh, hati akan menimbun glukosa,

dan mengalirkan glukosa setiap saat dibutuhkan (Tandra, 2014).

Pada Diabetes ada gangguan keseimbangan antara transportasi gula ke

dalam sel, gula yang disimpan di hati, serta gula yang dikeluarkan dari hati.

Ketidakseimbangan ini membuat kadar gula darah meningkat.

Penyebab keaadaan tersebut ada dua. Pertama, pankreas tidak mampu lagi

membuat insulin. Yang kedua, sel tubuh tidak merespon kerja insulin sehingga

pintu sel tidak terbuka (Tandra, 2014).

2.2.2 Diagnosis Diabetes Melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM sebagai berikut:

- Keluhan Klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

- Keluhan lain dapat berupa: lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (ADA, 2014).

Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara, seperti

dalam tabel berikut ini.

4

Tabel 2.1

Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus (ADA, 2014)

1. Gejala klasik DM+ glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/ dL (11,1

mmol/L).

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

Atau

2. Gejala klasik DM+ kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0

mmol/L).

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

Atau

3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban

glukosa yang setara dengan 75 g glukosa yang dilarutkan ke dalam air.

2.2.3 Jenis Diabetes Melitus

a. Diabetes Tipe 1

Pada tipe ini, pankreas tidak/ kurang mampu membuat insulin, sehingga

tubuh tidak memiliki/ kekurangan insulin. Akibatnya gula menumpuk dalam

peredaran darah karena tidak dapat masuk ke dalam sel. Diabetes Tipe 1

memerlukan suntikan insulin secara teratur.

b. Diabetes Tipe 2

Pada manusia normal, insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas

meregulasi transport glukosa darah untuk digunakan, dengan berikatan dengan

5

reseptor- reseptornya yang ada di jaringan perifer, sebagian jaringan lemak dan

jaringan otot. Pada penderita diabetes tipe 2, terjadi resistensi dari aktivitas

insulin, sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor- reseptornya di jaringan

perifer, lemak maupun pada jaringan otot, sehingga tidak dapat digunakan (Chew

dan Leslie, 2006). Tipe ini mencakup lebih dari 90 % dari semua populasi

diabetes.

Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 bisa didominasi resistensi insulin

disertai defisiensi insulin relatif, atau dominasi defek sekresi insulin disertai

resistensi insulin (Perkeni, 2011).

Resistensi insulin adalah kondisi dimana sel- sel jaringan tubuh dan otot-

otot pasien tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin (resistensi insulin). Ini

terjadi pada pasien yang gemuk/ obesitas. Sedangkan pada penderita yang non

obesitas, kelainan primernya berupa kerusakan sel beta dan kelainan sekundernya

di jaringan perifer (Foster, 2000).

Etiologi dan progresivitas diabetes melitus tipe 2 disajikan dalam gambar

berikut ini.

6

Gambar 2.1 Etiologi dan Progresivitas DM Tipe 2 (Chang et al., 2013)

Faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam progresivitas resistensi

insulin dan kegagalan toleransi glukosa. Pada kondisi toleransi glukosa normal,

sel β mensekresi insulin sebagai respon atas kenaikan glukosa setelah makan.

Pada awalnya, sel β mampu mengkompensasi kebutuhan insulin. Fase

selanjutnya, sel β bekerja berlebihan, dan tidak mampu lagi mensekresi insulin

yang cukup. Akibatnya terjadi kegagalan toleransi glukosa, dan penyakit

prediabetes berkembang menjadi diabetes. Diabetes memiliki karakteristik

hilangnya homeostasis glukosa, termasuk kondisi hiperglikemia. Glucotoxicity,

lipotoxicity, stress oksidatif, inflamasi, dan kelemahan Incretin adalah faktor

resiko disfungsi sel β.

c. Diabetes Gestasional

Timbul pada wanita hamil, yang sebelumnya tidak pernah mengidap

Diabetes Melitus. Intoleransi glukosa pertama kali muncul pada saat kehamilan,

dan pada umumnya kembali normal setelah persalinan. Dapat berkembang

menjadi Diabetes Melitus tipe 2 (Kumar et al., 2012).

7

d. Diabetes tipe Spesifik yang lain

Tipe lain dari diabetes adalah congenital diabetes, cystic fibrosis-related

diabetes, steroid diabetes, chronic pancreatitis, dan lain- lain (Kumar et al., 2012)

2.2.4 Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan

partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai perubahan

perilaku, dibutuhkan edukasi yang komperehensif dan upaya peningkatan

motivasi (Perkeni, 2011).

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupaka bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta

pasien dan keluarganya).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Perlu diekankan pentingnya

keteraturan makan, dalam hal ini jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,

terutama pada mereka uang menggunakan obat penurun glukosa darah atau

insulin (Perkeni, 2011).

8

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan DM tipe 2 (Perkeni, 2011).

Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran jug dapat menurunkan

berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki

kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobic, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani

(Perkeni, 2011).

4. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan

bentuk suntikan (Perkeni, 2011).

1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (Insulin secretagouge): Sulfonilurea dan Glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis: Metformin

D. Penghambat absorbsi glukosa: Penghambat Glukosidase Apha

E. DPP-IV Inhibitor

9

2) Suntikan

A. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

a. Penurunan berat badan yang cepat

b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

c. Ketoasidosis diabetic

d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat

f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

g. Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

h. Kehamilan dengan DM/ DM Gestasional yangtidak terkendali

dengan perencanaan makanan.

i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 4 jenis:

a. Insulin kerja cepat (Rapid acting insulin)

b. Insulin kerja pendek (Short acting insulin)

c. Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)

d. Insulin kerja panjang (Long acting insulin)

B. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan

pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja

sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan

10

hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi

pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonylurea (Blonde, 2009).

Agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang

diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan

binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.

Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain sebah

dan muntah (Perkeni, 2011).

3) Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis

rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon

kadar glukosa darah.

Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila

diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO

sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-

combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat

dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran

glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO

dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada

pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak

memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat

menjadi pilihan (Perkeni, 2011).

Gambar berikut menyajikan rangkuman terapi farmakologis terbaru

diabetes melitus tipe 2.

11

Gambar 2.2 Terapi Terbaru DM Tipe 2 (Chang et al., 2013)

Terapi terbaru DM Type 2: 1) Insulin releaser (Sulfonilurea, contoh: glibenclamid

dan glimepirid) dapat menstimulasi sel β pankreas untuk mensekresi insulin. 2)

Insulin sensitizer (TZD (rosiglitazone dan pioglitazone), dan Biguanid

(Metformin)) menurunkan resistensi insulin pada jaringan perifer. 3) GLP-1

memiliki aksi multiple pada pankreas, dan pengosongan lambung. Injeksi GLP-1

eksogen (contoh; exenatide dan liraglutide) atau inhibisi degradasi GLP-1

endogen oleh DPP-4 Inhibitors (contoh: sitagliptin, vidagliptin, saxagliptin, dan

linagliptin) dapat menjaga kadar GLP-1. 4) Inhibitor α-glucosidase (acarbose) dan

Sglt 2 (contoh; dapaglifozin dan empaglifozin) menurunkan absorbsi glukosa di

usus, dan menurunkan reabsorbi glukosa di ginjal.

* Sglt 2 belum di setujui oleh FDA karena keamanannya.

2.3 Hormon Insulin

2.3.1 Pembentukan dan Sekresi Insulin

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormone

insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase,

12

preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang

kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung dalam sel tersebut. Dengan

bantuan enzim peptidase, dalam sel tersebut proinsulin diurai menjadi insulin dan

peptide- C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara

bersamaan melalui membran sel (Manaf, 2006).

Ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya

rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati

membran sel. Untuk dapat melewati membran sel dibutuhkan senyawa lain.

Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang terdapat di dalam

berbagai sel yang berperan dalam proses metabolism glukosa. Fungsinya

sebagai “kendaraan pengangkut” glukosa masuk dari luar ke dalam sel jaringan

tubuh. Glucose transporter 2 (GLUT 2) terdapat dalam sel beta pankreas. Proses

pengangkutan ini penting untuk tahap selanjutnya. Tahap dua yakni molekul

glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi di dalam sel, kemudian

membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk dibutuhkan untk

tahap selanjutya. Tahap ke-tiga yaitu pengaktifan penutupan K channel pada

membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam

sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti

oleh tahap pembukaan Ca channel (tahap 4). Tahap ke- empat ini memungkinkan

masuknya ion Ca, sehingga menyebabkan peningkatan kadar Ca intrasel (Manaf,

2006).

13

Terjadinya penutupan K channel tidak hanya disebabkan oleh rangsangan

ATP hasil fosforilasi glukosa intrasel, tetapi juga dapat oleh pengaruh beberapa

faktor lain termasuk obat-obatan (Manaf, 2006).

Gambar 2.3 Skema Jalur Sinyal Insulin

2.3.2 Dinamika Sekresi Insulin

Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan

tubuh normal oleh sel beta pankreas, dalam 2 fase, sehingga sekresinya berbentuk

biphasic (Manaf, 2006).

1) Sekresi Fase 1 (Acute Insulin Secretion Response= AIR)

Adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap

sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya

mempunyai pincak yang relatif tinggi, karena hal tersebut memang diperlukan

14

untuk mengantisipasi kadar gula darah yang biasanya meningkat tajam, segera

setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi

regulasi glukosa yang normal, karena berkontribusi besar dalam pengendalian

kadar glukosa darah postpandrial. Dengan demikian AIR yang normal

diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme

glukosa secara fisiologis. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam

mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan, atau lonjakan glukosa

darah postpandrial (postpandrial spike) dengan segala akibat yang

ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif (Manaf, 2006).

2) Sekresi Fase 2 (Sustained Phase/ Latent Phase)

Yaitu kondisi dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan

bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Seberapa tinggi puncaknya (secara

kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar kadar glukosa darah dia akhir

fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme

penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya. Apabila

sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk

peningkatan sekresi insulin pada fase 2.

Peningkatan produksi insulin tersebut, pada hakikatnya dimaksudkan

untuk memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah tetap dalam batas

normal. Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti dengan peningkatan

kinerja fase 2 sekresi insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan

gangguan terhadap kadar glukosa darah. Secara klinis, barulah pada tahap

dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan Toleransi Glukosa

15

Terganggu (TGT) atau disebut juga prediabetic state. Pada tahap ini mekanisme

kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang

mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah post prandial.

Pada TGT didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban

larutan glukosa 75 g, berkisar 140 – 200 mg/dl. Bila kadar glukosa darah puasa

antara 100 – 126 mg/dl, dinamakan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT),

atau juga dapat disebut prediabetes (Manaf, 2006).

2.3.3 Aksi Insulin

Insulin memiliki peran penting pada berbagai metabolisme dalam tubuh,

terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini berfungsi dalam proses utilisasi

glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer, yaitu jaringan otot dan lemak, insulin berikatan

dengan sejenis reseptor (Insulin Receptor Substrate = IRS) yang terdapat pada

membran sel tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan

semacam sinyal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa di

dalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya belum

begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam meningkatkan

kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya mendorong

penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah

yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra sel ke intra sel. Untuk selanjutnya

mengalami metabolisme (Manaf, 2006).

Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain

diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi

16

insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi

jaringan tubuh terhadap insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya

diabetes, khususnya Diabetes tipe 2 (Manaf, 2006).

2.4 Tanaman Obat

2.4.1 Definisi Tanaman Obat

Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat karena

mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau jika tidak

mengandung zat aktif tertentu tapi mengandung efek resultan/ sinergis dari

berbagai zat yang berfungi mengobati, serta digunakan sebgai obat dalam

pencegahan penyakit (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).

2.4.2 Penggunaan Tanaman Obat

Simpilia merupakan bahan- bahan alam yang bisa digunakan sebagai obat-

obatan, namun proses pengolahannya masih sederhana. Simplisia yang berasal

dari tanaman atau eksudat tanaman disebut simplisia nabati.

Berikut jenis- jenis simplisia nabati:

a. Herba

Herba merupakan seluruh bagian tanaman obat mulai dari akar, batang,

daun, bunga dan buah yang berasal dari tanaman yang bersifat herbaceus.

Contohnya pegagan.

b. Daun (folium)

Daun adalah jenis simplisia yang paling sering digunakan dalam pembuatan

ramuan herbal. Bisa berupa daun segar, atau kering dan dapat berupa pucuk

aun seperti daun teh atau daun tua seperti daun salam.

17

c. Bunga (flos)

Dapat berupa bunga tunggal atau majemuk.

d. Buah (fructus)

Biasanya dikumpulkan setelah masak

e. Kulit buah (pericarpium)

Kulit buah dikumpulkan dari buah masak seperti kulit buah jeruk.

f. Biji (semen)

Biji dikumpulkan dari buah yang sudah masak.

g. Kulit kayu (cortex)

Merupakan bagian terluar dari batang pada tanaman tingkat tinggi.

h. Kayu (lignum)

Kayu yang biasa digunakan sebagai simplisia adalah kayu tanpa kulit.

Pemotongan kayu biasanya dilakukan miring sehingga permukaan menjadi

lebar. Kadangkala berupa serutan kayu.

i. Akar (radix)

Akar untuk simplisia biasa dari tanaman rumput, perdu, atau tanaman

berkayu keras. Simplisia akar dikumpulkan ketika proses pertumbuhannya

terhenti.

j. Umbi (tuber)

Dibedakan menjadi umbi batang dan umbi akar. Untuk menjadi simplisia,

umbi dipotong miring agar permukaan menjadi lebar. Bila umbi bersifat

toksik, sebelum digunakan, umbi perlu diproses terlebih dahulu dengan

cara perendaman atau pengukusan.

18

k. Rimpang (rhizome)

Merupakan batang dan daun yang terdapat di dalam tanah, bercabang-

cabang dan tumbuh mendatar. Dari ujungnya dapat tumbuh tunas yang

muncul keatas tanah dan menjadi tumbuhan baru. Kunyit merupakan salah

satu contoh jenis rimpang yang biasa dijadikan simplisia.

l. Umbi lapis (bulbus)

Merupakan perubahan bentuk dari batang beserta daunnya menjadi umbi

yang berlapis- lapis karena daunnya tebal, lunak, dan berdaging. Contohnya

adalah bawang merah dan bawang bombay.

2.5 Tanaman Obat untuk Diabetes Melitus

Ada sekitar lebih dari 1200 tanaman di dunia yang diklaim bermanfaat dalam

terapi diabetes melitus dan lebih dari 400 tanaman dan kandungannya telah

dievaluasi secara ilmiah baik secara in vivo maupun in vitro, terbukti memiliki

efek antidiabetik (Chang et al., 2013). Tanaman obat untuk diabetes melitus

mengandung komponen bioaktif yang beraneka ragam dengan aksi yang berbeda-

beda pula, yaitu pada proses sekresi insulin, sentivitas insulin, maupun keduanya

(Chang et al., 2013).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, tanaman obat untuk terapi diabetes

melitus dapat dikelompokkan sebagai berikut (Chang et al., 2013):

1) Herbal tipe 1

Yaitu tanaman yang mekanisme kerjanya memperbaiki resistensi insulin.

2) Herbal tipe 2

19

Kandungan tanaman ini meregenerasi dan memperbaiki fungsi sel beta

pankreas.

3) Herbal tipe 3

Kandungan biologis dan kimiawi tanaman ini mengatur homeostasis

GLP-1 dengan ataupun tanpa pengaturan aktivitas DPP-4.

4) Herbal tipe 4

Tanaman ini mengendalikan diabetes melitus melalui penghambatan

enzim alpha glucosidase, sehingga menurunkan absorbsi glukosa.

5) Herbal tipe 5

Tanaman dengan aksi antidiabetik yang lebih dari 1 macam.

Gambar-gambar berikut menyajikan mekanisme antidiabetik tanaman obat

berikut contoh-contohnya.

Gambar 2.4 Mekanisme yang Mendasari Terapi Hipoglikemik Tanaman

Herbal (Chang et al., 2013)

Berbagai jenis tanaman obat diklasifikasikan menurut target aksi mereka, seperti

resistensi insulin (Herbal Type 1), fungsi sel β (Herbal Type 2), GLP-1 (Herbal

Type 3), dan reabsorbsi glukosa (Herbal Type 4).

20

Gambar 2.5 Beberapa Tanaman Herbal Hipoglikemik dan Kandungannya

(Chang et al., 2013)

Beberapa tanaman obat beserta kandungannya, memiliki efek antihiperglikemik,

melalui 1 target: resistensi insulin (Herbal Type 1), fungsi sel β (Herbal Type 2),

GLP-1 (Herbal Type 3), dan reabsorbsi glukosa (Herbal Type 4), atau dapat

melalui beberapa target.

2.6 Lidah Buaya

Lidah buaya (Aloe vera Linn.) termasuk ke dalam family tumbuhan

Liliaceae. Daunnya terasa pahit dan bersifat dingin. Lidah buaya merupakan

tanaman herbal hipoglikemik tipe 5.

21

Daun lidah buaya mengandung polyphenol (Lopez et al., 2013).

Polyphenol seperti flavonoid, anthraquinones, lignin, dan asam aromatic yang

secara luas terdapat pada tumbuhan, sayuran dan buah- buahan; pada umumnya

ditemukan sebagai glikosida di alam (Chiang et al., 2012).

Senyawa polyphenol yang terkandung dalam lidah buaya adalah

anthraquinones dan derivatnya (Lopez et al., 2013). Sebagian besar

anthraquinones pada lidah buaya berupa: aloin (10-glucopyranosil-1,8-

dihydroxy-3-9hydroxymethyl)-9(10H)-anthracene), aloe-emodin (8-C-glucosyl-7-

O-methyl-(S)-aloesol), aloesin (8-C-glucosyl-7-O-methyl-(S)-aloesol), barbaloin,

isobarbaloin, chrysophanol, Aloinoside A dan B, serta Aloresin A dan B (Lopez et

al., 2013; Chiang et al., 2012). Aloin ditemukan di alam sebagai campuran 2

diasteromer, yaitu Aloin A dan Aloin B; sebuah glikosida anthrone yang

terkandung dalam eksudat daging daun lidah buaya (Chiang et al., 2012). Aloe-

emodin adalah hasil oksidasi dari Aloin (Acurero, 2008).

Tanaman lidah buaya diberi nama Aloe vera Linn. Oleh Carl Von Linnme

pada tahun 1720. Beberapa jenis Aloe yang umum dibudidayakan diantaranya

Aloe perry, Aloe ferox, Aloe arborescens, Aloe barbadensis, dan Aloe chinensis,

dan yang popular adalah Aloe barbadensis, yang berasal dari Barbados, Amerika

Tengah. Jenis ini memiliki kandungan terbaik dan dimanfaatkan untuk

pengobatan (Wirya, 2012).

Tanaman yang sejak dahulu dikenal sebagai penyubur rambut ini,

berkhasiat menurunkan kadar glukosa darah penderita diabetes dengan cara

meningkatkan produksi insulin, namun tidak menyebabkan peningkatan berat

22

badan, dan memiliki sifat antiradang, serta melancarkan buang air besar (laksatif)

karena merelaksasi usus besar, serta bersifat paratiside (membunuh parasit)

(Wirya, 2012; Chang et al., 2013)

Kandungan lidah buaya bersifat laksatif dan purgative, yaitu merangsang

peristaltik colon (pencahar), sehingga bermanfaat untuk mengobati konstipasi

(Patel dan Patel, 2013). Komponen yang bersifat purgative adalah Aloin A dan

Aloin B (Patel dan Patel, 2013). Penelitian efek laksatif lidah buaya pada tikus

putih oleh Pudjiastuti (2010) menghasilkan bahwa, pada pemberian daging daun

lidah buaya dengan dosis 10 ml/ 200 g BB tikus, mampu meningkatkan transit

intestinal secara bermakna dibandingkan kelompok aquades (kadar lidah buaya

pada penelitian Pudjiastuti ini 0,5 g/ml atau 500 mg/ml).

Gambar 2.6 Tanaman Lidah Buaya

23

Gambar 2.7 Potongan Melintang Tanaman Lidah Buaya

2.6.1 Klasifikasi Ilmiah Tanaman Lidah Buaya

Kingdom : plantae

Divisi : spermatophytae

Subdivisi : angiospermae

Kelas : monocotyledoneae

Bangsa : liliflorae

Suku : liliaceae

Genus : aloe

Spesies : aloe vera

(Jatnika dan Saptoningsih, 2009)

2.6.2 Lidah Buaya dan Diabetes Melitus

Daun lidah buaya mengandung polyphenol, dalam bentuk glikosida

anthraquinone dan derivatnya (Lopez et al., 2013). Anthraquinone yang terdapat

24

dalam lidah buaya adalah: aloin, aloe-emodin, aloeresin A, aloeresin B, rhein,

aloinoside A, aloinoside B, barbaloin, isobarbaloin, homonataloin, aloesin,

homonataloin, dan aloctin A (Chang et al., 2013; Perez et al., 2007). Untuk

membedakan jenis dari polyphenol, dapat digunakan indetifikasi dengan teknik

High Performance Liguid Chromatography (HPLC). Anthraquinone dalam lidah

buaya telah diidentifikasi menggunakan HPLC pada panjang gelombang 356 nm

(Perez et al., 2007).

Kandungan polyphenol daun lidah buaya yang bersifat hipoglikemik

adalah Aloin, Aloe-emodin, dan Aloeresin A. Aloin dan Aloe-emodin adalah

komponen terkuat dalam menurunkan absorbsi glukosa di usus halus, dan

menurunkan kadar glukosa darah (Perez et al., 2007). Aloeresin A menekan/

supresi aktivitas alpha glukosidase, sehingga menghambat absorbsi glukosa pada

usus (Chang et al., 2013).

Aloe vera juga meningkatkan kadar insulin plasma (Abhar dan Schaalan,

2014). Aloe-emodin yang bersifat insulin mimetic, mengaktivasi jenjang sinyal

insulin, seperti reseptor insulin β (IR β), reseptor insulin substrate-1 (IRS 1),

fosfatidil inositol-3 kinase (PI3K), dan translokasi GLUT 4 (Koesnandar, 2010).

Aloe-emodin juga meningkatkan laju sintesis glikogen dengan menghambat

glikogen sintase kinase-3 beta (GSK3β) (Koesnandar, 2010).

Penelitian in vitro mengenai aktivitas Aloe Emodin Glycosides (AEG) yang

dilakukan oleh Anand et al. (2010), dalam media sel L6 myotube (sel otot rangka),

menggunakan analisis Western blot, memberikan hasil sebagai berikut:

25

1. Analisis dengan Imunopresipitasi dan Immunoblot menunjukkan

mekanisme AEG menyerupai aktivitas insulin dalam transport glukosa.

AEG mengaktivasi komponen- komponen utama yang berperan dalam

jalur cascade insulin signaling, seperti IRβ, IRS1,85PI3K, dan PKB.

2. Inkubasi sel L6 myotube dengan AEG selama 24 jam, menstimulasi

terjadinya uptake glukosa.

3. AEG menstimulasi uptake glukosa melaui jalur tyrosin kinase dependent

pathway. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan glukosa yang di uptake

dengan genistein (suatu tyrosin kinase inhibitor). Genistein menghambat

terjadinya uptake glukosa pada sel L6 myotube yang diinkubasi dengan

AEG, oleh sebab itu diperkirakan aksi AEG melalui jalur tyrosin kinase

dependent pathway, menyerupai insulin.

4. AEG menstimulasi uptake glukosa melalui aktivasi PI3K.

5. AEG mampu melakukan translokasi GLUT4 ke membran plasma.

6. Terjadi inhibisi secara signifikan dari GKS3β, melalui mekanisme

fosforilasi dalam sel L6 myotube yang diinkubasi dengan AEG selama 24

jam.

7. AEG terbukti meningkatkan laju sintesis glikogen, baik dengan pemberian

insulin sebagai stimulus, maupun tanpa pemberian insulin.

Dalam penelitian Anand et al. (2010) diatas, dapat disimpulkan bahwa

AEG meningkatkan transportasi glukosa dengan cara meningkatkan aktivitas

komponen-komponen awal dan akhir yang terlibat dalam uptake glukosa hingga

transformasinya menjadi glikogen.

26

Polyphenol juga berperan sebagai antioksidan. Cara kerjanya dengan

melindungi sel β pankreas dari efek toksik radikal bebas yang diproduksi di

bawah kondisi hiperglikemia kronis. Polyphenol mampu meningkatkan massa sel

β pankreas dan menjaga kandungan insulin di dalamnya. Pada sel-sel yang

memiliki reseptor insulin (sel otot, sel adipose, dan sel hati), pengikatan radikal

bebas akan meningkatkan insulin signaling pada translokasi GLUT 4 intraseluler

ke membran sel sehingga mampu mengambil glukosa dari darah (Cartailler,

2004).

Beberapa kandungan dari Aloe vera kemungkinan memiliki aksi yang

sinergis, melalui mekanisme yang berbeda (Perez et al., 2007).

Berikut adalah gambar srtuktur kimia komponen- komponen aktif lidah

buaya.

Gambar 2.8 Struktur kimia (A) Aloin, (B) Aloe-emodin

(Chiang et al., 2012)

27

Alpha glukosidase merupakan enzim yang berada di sepanjang dinding

usus halus. Enzim ini dapat memecah karbohidrat kompleks menjadi gula

sederhana. Enzim yang terpenting adalah maltase yang menghidrolisis maltose,

sukrase yang menghidrolisis sukrosa, dan isomaltase yang mengkatalisis

pemecahan maltotriosa (Andriani, 2011). Selain itu terdapat glukoamilase yang

dapat melepas satu residu gula dari ujung dekstrin yang tidak tereduksi (Andriani,

2011). Penghambatan pada enzim ini dapat menunda penyerapan karbohidrat pada

saluran pencernaan, sehingga dapat mencegah peningkatan konsentrasi glukosa

darah setelah makan (Andriani, 2011).

Analisis kandungan lidah buaya yang dilakukan di Laboratorium Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Denpasar, Bali; menunjukkan bahwa

ekstrak lidah buaya yang telah difreeze dried mengandung: Polyphenol 37,056 %

Gambar 2.9 Struktur kimia Aloeresin A (Chang et al., 2013)

28

GAE; Kapasitas Antioksidan 237,03 mg/L GAEAC; IC 50 % 20,08 mg/mL dan

Vitamin C 149,79 mg/100 g (Lampiran 4).

Penelitian mengenai efek lidah buaya dalam pengobatan diabetes melitus

memberikan hasil yang bervariasi. Hasil penelitian Perez et al. (2007),

menunjukkan bahwa pemberian “Polyphenol- rich Extract Aloe vera gel” (PEAv)

menurunkan kadar glukosa darah puasa dan menurunkan resistensi insulin, tanpa

perubahan yang signifikan pada kadar insulin plasma.

Sedangkan hasil penelitian Kim et al. (2009), menunjukkan bahwa

pemberian “Processed Aloe vera Gel” (PAG) menurunkan kadar glukosa darah

puasa dan secara signifikan menurunkan kadar insulin plasma. PAG

meningkatkan sensitivitas insulin melalui penurunan kadar glukosa darah dan

penurunan kadar insulin plasma.

Selanjutnya pada tahun 2013, Youssef et al., melakukan penelitian in vivo

dan in vitro mengenai efek ekstrak Aloe vera pada terapi diabetes. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa Aloe vera secara signifikan menurunkan kadar

glukosa darah puasa, dan secara signifikan pula menaikkan kadar insulin plasma,

jika dibandingkan kelompok kontrol.

29

2.7 Mekanisme Streptozotocin Menginduksi Diabetes Melitus

Gambar 2.10 Struktur kimia Streptozotocin dan Nicotinamide (Szkudelski,

2012)

Streptozotocin (2-deoxy-2[3-methyl-3-nitrosureido]-D-glucopyranose)

adalah suatu analog nitosurea yang sering digunakan untuk menginduksi diabetes

pada hewan percobaan (Szkudelski, 2012).

Induksi percobaan diabetes menggunakan streptozotocin sangat mudah

untuk dilakukan. Penyuntikan streptozotocin untuk menyebabkan degradasi dari

pulau Langerhans sel beta pankreas (Abeeleh et al., 2009). Transportasi

Streptozotocin ke dalam sel beta pankreas melalui glucose transporter GLUT 2,

dimana sebagian nitrosamide dari Streptozotocin (methylnitrosurea) berperan

toksik . Paparan Streptozotocin pada sel beta pankreas menyebabkan kerusakan

DNA. Banyak penelitian in vitro membuktikan bahwa Streptozotocin

menyebabkan alkilasi DNA, sehingga terjadi fragmentasi DNA. Dampak dari

30

kerusakan DNA, diaktifkannya suatu mekanisme intrasel yang bertujuan untuk

memperbaiki DNA. Yaitu oleh enzim poly (ADP-ribose) polymerase-1 (PARP-

1). Enzim ini mengkatalisis sintesa poly (ADP-ribose) dari NAD+. Produksi

intraseluler poly (ADP-ribose) meningkat. Kerusakan DNA karena Streptozotocin

menginduksi overstimulasi PARP-1 pada sel beta pankreas. Pada kondisi

kerusakan DNA yang ringan, aktivasi PARP-1 menguntungkan. Tetapi, kerusakan

intensif DNA yang diinduksi Streptozotocin menyebabkan hiperaktivitas PARP-1

dan kerugian pada sel, karena terjadi penurunan NAD+. NAD+ adalah molekul

penting yang terkait dalam metabolisme energi pada tingkat sel. Penurunan

NAD+ yang berat menyebabkan penurunan ATP, karena biosintesa NAD+

tergantung ATP. Tetapi penurunan ATP ini tidak hanya ditimbulkan karena

menurunnya NAD+, melainkan karena adanya disfungsi mitokondria. Telah

diteliti bahwa paparan Streptozotocin dalam jangka pendek mengurangi aktivitas

aconitase mitokondria sel islet, menurunkan konsumsi oksigen mitokondria, dan

menurunkan ptensial membrane mitokondria (Szkudelski, 2012).

Beberapa data menyebutkan bahwa nitric oxide (NO) juga berperan

penting dalam aksi sitotoksik Streptozotocin pada sel beta pankreas. Disamping

itu Streptozotocin membangkitkan reactive oxygen species pada sel beta

pankreas (Szkudelski, 2012).

Enzim c-Jun N-terminal kinase (JNK) juga berperan dalam toksisitas

Streptozotocin. Penyebab meningkatnya aktivitas enzim JNK adalah menurunnya

inhibitor enzim ini karena efek toksik Streptozotocin. Aktivasi ini diduga

mendahului peningkatan aktivitas PARP-1 (Szkudelski, 2012).

31

Secara klinis, gejala dari diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2- 4

hari setelah penyuntikan intraperitoneal dengan dosis tunggal streptozotocin

(Abeleeh et al., 2009).

2.8 Mekanisme Nicotinamide Melindungi Sel Beta Pankreas

Nicotinamide (pyridine-3-carboxamide) adalah amida dari vitamin B3

(Niacin). Efek protektif Nicotinamide dalam melindungi sel beta pankreas, telah

dibuktikan. Banyak penelitian in vitro dan in vivo menyimpulkan bahwa

Nicotinamide dapat melindungi sel beta pankreas terhadap efek toksik

Streptozotocin (Szkudelski, 2012).

2.8.1 Efek in vitro Nicotinamide

Penelitian in vitro pada sel beta pankreas yang diisolasi, menemukan

bahwa Nicotinamide bekerja dengan cara (Szkudelski, 2012):

1) Menghambat aksi Streptozotocin dalam menurunkan biosintesa proinsulin.

2) Memperbaiki efek penghambatan sekresi insulin (setelah stimulasi glukosa)

oleh Streptozotocin

3) Menghambat kegagalan oksidasi glukosa dan menghambat penurunan

kemampuan hidup sel beta pankreas, yang dipicu oleh Streptozotocin.

4) Hal yang paling penting adalah efek protektif Nicotinamide pada sel islet

yaitu menurunkan kerusakan DNA akibat Streptozotocin.

2.8.2 Efek in vivo Nicotinamide

Pemberian Nicotinamide baik intraperitoneal, maupun intravena, memiliki

efek sebagi berikut (Szkudelski, 2012):

1) Meminimalkan penurunan berat badan yang ditimbulkan oleh Streptozotocin

32

2) Menghentikan aksi Streptozotocin dalam meningkatkan gula darah

3) Melindungi sel beta pankreas, sehingga terjadi peningkatan insulin darah

Pemberian sejumlah dosis Streptozotocin pada tikus menurunkan kadar

insulin yang dihasilkan pankreas, tetapi efek ini tergantung dosis Nicotinamide

yang diberikan sebelum Streptozotocin (Szkudelski, 2012).

Data dari literature menyimpulkan bahwa mekanisme proteksi

Nicotinamide terhadap kerusakan sel beta pankreas yang ditimbulkan oleh

Streptozotocin, melalui 2 mekanisme; yaitu inhibisi PARP-1, dan peningkatan

NAD+, dimana mekanisme lain kurang berperan (Szkudelski, 2012).

Gambar 2.11 Skema Aksi Sitotoksik Streptozotocin dan Aksi Proteksi

Nicotinamide (Szkudelski, 2012)

PARP-1= poly(adenosine triphosphate [ADP]-ribose) polymerase-1, PRPP= 5-

phosphoribosylpyrophosphate, NMN= nicotinamide mononucleotide, Nampt=

nicotinamide phosphoribosyltransferase, Nmnat= nicotinamide/ nicotinic acid

mononucleotide adenyltransferase, = meningkatkan/ aktivasi, =

menurunkan/ inaktivasi.

33

2.9 Tikus Laboratorium

Di Indonesia, hewan percobaan ini sering dinamakan “tikus besar”. Tikus

liar, tikus Norwegia, dan tikus coklat adalah semarga dengan tikus laboratorium.

Akan tetapi nama ilmiah tikus liar lain yaitu tikus hitam (Rattus rattus). Tikus ini

mirip dengan tikus Norwegia dan sering terdapat di kota-kota seluruh dunia, tetapi

jarang dipakai sebagai hewan laboratorium.

Tikus laboratorium jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus dapat

tinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain.

Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani

di laboratorium. Karena hewan ini lebih besar dari mencit, maka untuk beberapa

macam percobaan, tikus lebih menguntungkan. Dibandingkan tikus liar, tikus

laboratorium lebih cepat menjadi dewasa dan umumnya lebih mudah berkembang

biak, tetapi jarang hidup lebih dari 3 tahun. Berat badannya lebih ringan dari tikus

liar, yaitu 35-40 gram untuk yang berumur 4 minggu, dan 200-250 g untuk tikus

dewasa. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 g, tetapi tikus betina jarang

mencapai lebih dari 350 g. Dua sifat yang membedakan tikus dari hewan

percobaan lain, yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi

yang tidak lazim, yaitu di tempat esophagus bermuara ke lambung. Serta tidak

mempunyai empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa

muda (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

34

2.9.1 Tikus Putih Galur Wistar

Untuk menghasilkan keturunan, tikus melakukan perkawinan sedarah.

Tikus galur Wistar adalah keturunan yang outbread dari tikus- tikus albino yang

termasuk dalam spesies Rattus novergicus. Galur ini dikembangkan di Wistar

Institute pada tahun 1906 untuk digunakan dalam penelitian biologi dan

kesehatan. Dan secara khusus dikembangkan untuk menjadi organisme model

disaat mereka masih menggunakan mencit (Mus musculus), atau tikus rumah

kebanyakan.

Tikus galur wistar adalah salah satu dari sekian banyak tikus yang paling

dikenal saat ini untuk digunakan sebagai penelitan di laboratorium. Tikus galur

ini memiliki karakter kepala yang lebar, telinga- telinga yang panjang, dan

memiliki panjang ekor yang panjangnya tidak melebihi dari panjang badannya

(Wirya, 2012).

2.9.2 Kriteria Tikus Diabetes

Kadar glukosa normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 mg/dL

sampai 135 mg/dL (Carvalho et al., 2003) . Seperti mamalia lainnya, kadar

glukosa ini tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan

terakhir (Swatriani, 2012). Kadar glukosa darah pada tikus dapat dikatakan

diabetes jika di atas 135 mg/dL (Carvalho et al., 2003; Swatriani, 2012). Tikus

dengan kadar gula darah ≥ 200 mg/dL disebut mengalami kondisi severe

diabetes (Carvalho et al., 2003).