bab ii kajian pustaka 2.1 penuaan 2.1.1 definisi penuaan 2.pdf · diabetes tipe spesifik terjadi...

23
1 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Definisi Penuaan Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker). 2.1.2 Penyebab Penuaan Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya beberapa faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal antara lain radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). 2.2 Penyakit degeneratif Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari

Upload: vuongnga

Post on 07-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Definisi Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang

diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan

terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang

disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes

melitus, dan kanker).

2.1.2 Penyebab Penuaan

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses

penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit dan akhirnya membawa kepada

kematian. Pada dasarnya beberapa faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor

internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal antara lain radikal bebas,

hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan

yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat,

diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan

(Pangkahila, 2011).

2.2 Penyakit degeneratif

Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu

penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari

2

keadaan normal menjadi lebih buruk. Dari berbagai hasil penelitian modern

diketahui bahwa munculnya penyakit degeneratif memiliki hubungan yang cukup

kuat dengan bertambahnya proses penuaan usia seseorang. Penyakit degeneratif

dapat dikatakan pula sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani,

2003).

Penyakit degeneratif dapat terjadi karena adanya proses penuaan, tidak

termasuk penyakit menular dan berlangsung kronis seperti penyakit jantung

koroner, hipertensi, diabetes melitus, obesitas dan lainnya (Powers, 2008).

2.2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok gangguan metabolik

yang berhubungan dengan karakteristik hiperglikemia. Berdasarkan etiologi dari

diabetes melitus, faktor yang menyebabkan keadaan hiperglikemia mungkin

diantaranya penurunan sekresi insulin, penghambatan glikolisis dan peningkatan

dari produksi glukosa di dalam tubuh (Powers, 2008).

Definisi diabetes mellitus menurut World Health Organization (WHO)

adalah kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL dan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200

mg/dL, dimana kadar glukosa darah antara 100 dan 125 mg/dL (6,1 sampai 7,0

mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre diabetes.

Karakteristik hiperglikemia ini disebabkan adanya kelainan metabolisme

karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik dan

menumpuk di dalam pembuluh darah karena pankreas tidak cukup memproduksi

insulin untuk metabolisme glukosa darah dan terjadi resistensi insulin sehingga

tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut,

3

sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011).

Penurunan kadar glukosa sewaktu juga dapat disebabkan karena

penghambatan aktivitas dari enzim glucosidase yang bekerja di dalam

gastrointestinal, yang berfungsi untuk mengubah glukosa polisakarida menjadi

glukosa disakarida dan monosakarida, sehingga penyerapan glukosa terhambat

(Kahn, 2002).

2.2.2 Faktor Risiko Diabetes Melitus

Ada beberapa faktor resiko yang dapat memperbesar kemungkinan

seseorang menderita penyakit diabetes, antara lain (Buse et al., 2003) :

1. Riwayat keluarga dengan diabetes (orang tua atau saudara)

2. Kelebihan berat badan (BMI>25kg/m2)

3. Kebiasaan aktivitas fisik yang kurang

4. Ras/etnik tertentu (contohnya African Americans)

5. Hipertensi (140/90mmHg pada orang dewasa)

6. Hiperkolesterol

7. Riwayat diabetes gestasional

8. Sindroma polycyctic ovary

2.2.3 Klasifikasi Diabetes melitus

Diabetes Melitus Tipe 1 adalah kelainan metabolisme karbohidrat yang

disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas, sehingga tidak cukup

memproduksi insulin untuk metabolism glukosa darah, yang dapat terjadi melalui

proses imunologik dan idiopatik.

Diabetes Melitus Tipe 2 terjadi karena adanya resistensi aktivitas insulin

4

di jaringan perifer, sebagian jaringan otot, lemak dan hati serta defisiensi sekresi

insulin dan peningkatan produksi glukosa darah oleh hati.

Diabetes tipe spesifik terjadi karena kelainan genetik spesifik, penyakit

pankreas, gangguan endokrin lain, karena afek obat-obatan, bahan kimia, infeksi

virus dan sebagainya.

Diabetes kehamilan adalah kondisi diabetes yang muncul pada saat

kehamilan dan setelah melahirkan gejala tersebut akan menghilang (Power, 2008).

2.2.4 Penyebab Diabetes Melitus Tipe 2

Patogenesis untuk diabetes tipe 2 sangatlah kompleks dan berhubungan

juga dengan faktor genetik dan faktor lingkungan (Buse dan Polonsky, 2003)

Pada orang normal, insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas

meregulasi transport glukosa darah untuk digunakan, dengan berikatan dengan

reseptor- reseptornya yang ada di jaringan perifer, sebagian jaringan lemak dan

jaringan otot.

Pada penderita diabetes tipe 2, terjadi resistensi dari aktivitas insulin,

sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor-reseptornya di jaringan perifer,

jaringan lemak maupun pada jaringan otot, sehingga tidak dapat digunakan (Chew

dan Leslie, 2006).

Pada awalnya, kondisi resistensi insulin ini dikompensasi oleh

peningkatan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Namun dengan bertambahnya

usia, respon dari sel beta akan semakin menurun dan tidak mampu lagi

mempertahankan kemampuannya dalam mensekresi insulin. Pada fase berikutnya

dimana produksi insulin semakin menurun, menyebabkan produksi glukosa hati

5

yang berlebihan dan mengakibatkan meningkatnya glukosa dalam darah dan

keadaan ini yang disebut hiperglikemia (Vail, 2004).

2.2.5 Gejala Klinis Diabetes Melitus

Gejala klinis diabetes terbagi atas (Babar dan Skugor, 2009) :

1. Gejala khas penderita diabetes antara lain:

a. Polidipsia : disebabkan karena diuresis osmotik, akibat peningkatan kadar

glukosa darah yang melebihi ambang renal.

b. Poliuria : disebabkan karena hilangnya cairan dan elektrolit dalam tubuh.

c. Berat badan menurun tanpa penyebab yang jelas : apabila terjadi defisiensi

insulin, yang menyebabkan berkurangnya cairan dalam tubuh dan cepatnya

pemecahan lemak dan otot.

2. Gejala tidak khas penderita diabetes antara lain :

a. Lemas

b. Kesemutan

c. Luka yang sulit sembuh

d. Gatal

e. Mata kabur

f. Disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita

Apabila ditemukan gejala khas diabetes, pemeriksaan darah abnormal satu

kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak

ditemukan gejala khas diabetes, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa

darah darah abnormal (Purnamasari, 2005).

6

2.2.6 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis untuk penderita diabetes dapat ditegakkan berdasarkan beberapa

kriteria dan pemeriksaan. Kriteria diagnosis yang ditetapkan menurut

Perkumpulan Endokrinologi (PERKENI, 2011):

1. Gejala klasik diabetes + gula darah puasa ≥ 126 mg/dL pada 2 kali

pemeriksaan. Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan adanya asupan

kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Nilai dari glukosa darah puas ini secara

konsisten berhubungan dengan salah satu resiko komplikasi penyakit

diabetes yaitu retinopathy. Penilaian dari glukosa darah puasa ini dapat

melewatkan pasien – pasien diabetes yang didiagnosis berdasarkan hasil

test toleransi glukosa darah oral.

2. Gejala klasik diabetes + glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, yang

disertai dengan gejala klinis diabetes. Penilaian glukosa darah sewaktu ini

adalah cara yang sering dilakukan untuk mendiagnosa penderita diabetes.

Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

3. Hasil glukosa darah pada test toleransi glukosa darah oral (TTGO), yang

dinilai setelah 2 jam pemberian 75 gram glukosa darah oral ≥ 200 mg/dL.

Test toleransi glukosa darah oral (TTGO) ini tidak direkomendasikan

secara general dalam praktek klinis karena penilaian membutuhkan asupan

tinggi karbohidrat selam 3 hari berturut-turut dan tes ini tidak selalu

reproducible.

4. Hasil HbA1c ≥ 6,5% dengan persyaratan tes dilakukan di laboratorium

dengan menggunakan metode NGSP.

7

Penggunaan nilai dari Hemoglobin A1c (HbA1c) digunakan sebagai

screening bagi penderita diabetes. Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan hasil

dari glikosilasi Hb, yang berikatan dengan glukosa/karbohidrat pada gugusan

asam amino. Mekanisme pembentukan HbA1c pada penderita diabetes dapat

terjadi karena adanya reaksi non enzimatik dari glukosa dengan Hb di dalam sel

darah merah (reaksi Maillard).

Reaksi Maillard adalah reaksi antara karbohidrat terutama gula pereduksi

dengan gugus amina primer, yang hasilnya berupa produk berwarna coklat.

Peningkatan nilai HbA1c yang lebih dari 6,2 % selalu berhubungan dengan

diagnosis dari diabetes mellitus, tetapi penderita diabetes dapat memiliki nilai

HbA1c ini dibawah range. Peningkatan nilai HbA1c ini merupakan tes yang

spesifik untuk mendiagnosis penderita diabetes tetapi bukan merupakan tes yang

sensitif (Hoogwert, 2009). Namun bagaimanapun HbA1c merupakan metode

yang paling efektif untuk mengawasi efektivitas dari pengobatan diabetes (Buse

dan Polonsky, 2003).

2.2.7 Terapi Penanganan Diabetes Melitus Tipe 2

Penatalaksanaan diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 yaitu (Soegondo, 2005):

1. Pendekatan non farmakologis, yaitu dengan pemberian edukasi,

perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, aktivitas fisik atau kegiatan

olah raga dan penurunan berat badan bila didapatkan berat badan lebih

atau obesitas.

2. Penatalaksanaan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi

Apabila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologik tersebut

8

belum mampu mencapai sasaran terapi, yaitu glukosa darah darah yang

terkontrol dengan baik, maka dilanjutkan dengan penatalaksanaan terapi

medikamentosa atau intervensi farmakologi, disamping tetap menerapkan

pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai, terapi medikamentosa,

biasa dikenal sebagai obat antihiperglikemia oral.

1.2 Tanaman Obat

2.3.1 Definisi Tanaman Obat

Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal banyak mengandung

senyawa fitokimia yang bermanfaat dalam pencegahan maupun pengobatan

penyakit (Winarti dan Nurjanah, 2005).

Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat karena

mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau jika tidak

mengandung zat aktif tertentu tetapi mengandung efek resultan/ sinergi dari

berbagai zat yang berfungsi mengobati, serta digunakan sebagai obat dalam

pencegahan penyakit (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).

Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang terkandung dalam

tanaman obat mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk

fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif (Esha Flora Plants and

Tissue Culture, 2008).

9

2.3.2 Penggunaan Tanaman Obat

1. Waktu Pengumpulan

Untuk mendapatkan bahan yang terbaik dan tumbuhan obat, perlu diperhatikan

saat-saat pengumpulan atau pemetikan bahan berkhasiat.

a. Daun : dikumpulkan sewaktu tanaman berbunga dan sebelum buah

menjadi masak

b. Bunga : dikumpulkan sebelum atau sesaat sesudah mekar

c. Buah : dipetik dalam keadaan masak

d. Biji : dikumpulkan dari buah yang masak sempurna

e. Akar, rimpang (rhizome), umbi (tuber), dan umbi lapis (bulbus) :

dikumpulkan sewaktu proses pertumbuhan berhenti.

2. Pencucian dan Pengeringan

Bahan obat yang sudah dikumpulkan segera dicuci bersih, sebaiknya

dengan air yang mengalir. Setelah bersih, dapat segera dimanfaatkan bila

diperlukan pemakaian yang segar. Namun, bisa pula dikeringkan untuk disimpan.

Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dan mencegah pembusukan

oleh bakteri. Bahan kering juga mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk.

Pengeringan cara bahan obat :

a. Bahan berukuran besar dan banyak mengandung air dapat dipotong –

potong seperlunya terlebih dahulu.

b. Pengeringan dapat langsung dibawah sinar matahari atau memakai

pelindung seperti kawat halus jika menghendaki pengeringan tidak terlalu

cepat.

10

c. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan mengangin-anginkan bahan

ditempat yang teduh atau di dalam ruang pengering yang aliran udaranya

baik (Tanaman obat, 2011).

2.3 Daun Afrika Selatan (Vernonia Amygdalina)

Dalam Wikipedia (2011) daun Afrika Selatan dapat diklasifikasikan ke dalam

golongan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Superdivisi : Angiosperms

Divisi : Eudicots

Kelas : Asterids

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Vernonia

Spesies : Vernonia amygdalina

Gambar 2.2

Daun Afrika Selatan (Wikipedia, 2011)

11

Daun Afrika Selatan (Vernonia Amygdalina) sering juga dikenal dalam

berbagai nama lain seperti grawa, ewuro, etidot dan onugbu. Asalnya tamanan ini

pertama kali tumbuh di dataran tropis Amerika Utara dan Afrika Selatan, dalam

bahasa Inggris tanaman ini sering disebut Bitter leaf dikarenakan karena rasanya

yang sangat pahit. Tanaman setinggi 1-3 meter ini tumbuh dengan mudah di

benua Afrika, benua Amerika, benua Asia seperti di Malaysia, Singapore dan

Indonesia (Izevbigie et al., 2004).

Daunnya yang berwarna kehijauan berukuran sekitar 7-15 cm, berdiameter

6cm dengan tepian yang runcing dan bergerigi kecil. Pada sisi yang terpapar

matahari warna hijau tampak lebih terang dengan permukaan yang lebih halus

daripada sisi lainnya dengan warna hijau yang lebih pucat dengan permukaan

yang lebih kasar (Wikipedia, 2010).

2.3.1 Kandungan Nutrisi dan Manfaat Daun Afrika Selatan

Dalam penelitian Atangwho (2009) menyatakan bahwa daun Afrika

Selatan mengandung berbagai macam nutrisi yaitu protein, lemak, karbohidrat,

berbagai vitamin serta mineral. Kandungan nutrisi daun Afrika Selatan dalam

100gram bahan dapat dilihat pada table dibawah ini.

12

Tabel 2.3.1

Kandungan Senyawa Daun Afrika Selatan

No. Kandungan Nutrisi Dalam 100 gram

1 vitamin A 348 IU/100gr

2 vitamin E 37 IU/100gr

3 vitamin C 2000-2230mg/100gr

4 Riboflavin 1 - 1.12 mg

5 Tiamin 0,18 - 0,193 mg

6 Niacin 0,48 - 0.51 m

7 Mn 0,07 - 0,073mg

8 Se 0,01 mg

9 Zn 0,04-0,041 mg

10 Fe 0,14mg

11 Cu 0,1mg

12 Mg 0,43mg

13 Cr 0,04mg

14 Protein sederhana 23,25 - 24,45gram

15 Serat 16,05-17.50gram

16 Lemak 3,53 gram

(Atangwho, 2009)

2.3.2. Kandungan Senyawa Kimia Daun Afrika Selatan

Berdasarkan hasil uji kuantitatif dan kualitatif kandungan senyawa kimia

daun Afrika Selatan yang diperoleh dari PT Natur Indonesia, Bogor dapat

diketahui bahwa terdapat beberapa senyawa kimia penting yang bekerja secara

sinergis. Pengujian bahan dilakukan dalam bentuk ekstrak di Laboratorium

Analisis Pangan, Fakultas Pertanian UNUD.

13

Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 2.3.2

Kandungan Senyawa Kimia Daun Afrika Selatan

No. Jenis Analisis Jml satuan Hasil

1 Kapasitas Antioksidan 1 ppm GAEAC 9551,22

2 IC 50% 1 mg/ml 1,31

3 Kadar Total Fenol 1 %b/b GAE 3,20

4 Kadar Tanin 1 %b/b TAE 0,66

5 kadar Total Klirofil 1 ppm 32186,56

6 Kadar Klorofil a 1 ppm 21162,25

7 Kadar Klorofil b 1 ppm 11032,91

8 Rendemen 1 % b/b 14,90

9 Vitamin C 1 mg/g 2588,24

(Lampiran 5)

Keterangan :

GAEAC : Garlic Acid Equivalent antioksidant capacity

GAE : Garlic Acid Equivalent

TAE : Tannic Acid Equivalent

IC 50% : Inhibitor konsentrasi terhadap radikal bebas DPPH 0,1mM

Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia yang dilakukan Atangwho (2009)

daun Afrika Selatan mengandung senyawa kimia golongan alkaloid, tannin,

saponin, dan flavonoid, polifenol, dan vitamin C yang memiliki aktivitas sebagai

antioksidan. Polifenol yang terdapat dalam, daun Afrika Selatan sangat tinggi

terutama 1,5 dicaffeo quinic acid, dicaffeo quinic acic, chlorogenic acid dan

luteolin 7-O-glucoside.

Banyak sekali ragam antioksidan alami, tetapi jarang yang memiliki

komponen kimia yang lengkap. Daun Afrika Selatan mengandung berbagai

macam antioksidan baik berbentuk vitamin dan yang bukan vitamin. Lengkapnya

14

antioksidan alami dalam daun Afrika Selatan memungkinkan pemanfaatan buah

tersebut menjadi bahan baku pembuatan antioksidan (Atangwho et al., 2009).

Salah satu kandungan zat aktif utama daun Afrika Selatan adalah saponin.

Mazza et al., (2007) menjelaskan bahwa saponin sebagai senyawa hipoglikemik,

karena kandungan aglycone yang secara alamiah terdapat dalam tumbuhan

melalui proses hidrolisis saponin tritopene dalam bentuk asal oleanolat yang

bersifat hipoglikemik.

Daun Afrika Selatan juga mengandung flavonoid yang dapat mencegah

berbagai penyakit yang berkaitan dengan stres oksidatif. Efektivitas antioksidan

dari flavonoid dilaporkan beberapa kali lebih kuat dibandingkan vitamin C dan E.

Dalam fungsinya menetralkan radikal bebas, flavonoid bekerja secara sinergis

(saling memperkuat) dengan vitamin C. Selain mempunyai aktivitas antioksidan,

flavonoid dapat menghambat aldose reduktase yang mengkonversi glukosa dan

galaktosa menjadi bentuk-bentuk poliolnya. Poliol-poliol ini berimplikasi dalam

diabetes neuropati dan dalam pembentukan katarak yang menyertai diabetes serta

galaktosemia. Senyawa flavonoid secara umum bertindak sebagai antioksidan

yaitu sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil.

Falvonoid bersifat sebagai reduktor sehingga dapat bertindak sebagai donor

hydrogen terhadap radikal bebas (Linder, 2006).

Ekstrak alkaloid mampu menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase

sebesar 61,88% pada konsentrasi 2000 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak

alkaloid aktif sebagai inhibitor alfa glukosidase (Pamungkas, 2012).

Tanin merupakan substansi fenilik polimer yang mampu menyamak kulit

atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai

15

astringensi. Tanin ditemukan hampir di setiap bagian dari tanaman. Tanin dibagi

ke dalam dua group, tannin yang dapat dihidrolisis dan tannin kondensasi. Zat ini

digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memacu

metabolism glukosa dan lemak. Tanin diketahui memacu metabolisme glukosa

dan lemak, sehingga timbunan kedua sumber kalori ini dalam darah dapat

dihindari dan akhirnya kolesterol dan glukosa darah turun (Subroto, 2006).

Adapun hasil uji yang diperoleh terdapat table dibawah ini.

Tabel 2.3.3

Kandungan Senyawa Kimia Daun Afrika Selatan

Jenis Contoh Jenis Pengujian Hasil

Pengujian

Metode

Pengujian

Daun Afrika Selatan Saponin (%)

Uji Fitokimia :

Saponin

Tanin

Alkaloid

Fenolik

Flavonoid

Triterpenoid

Steroid

Glikosida

0,77

+

+

+

+

+

+

+

+

TLC Scanner

Kualitatif

(Lampiran 6)

Daun Afrika Selatan belum memberikan efek buruk terhadap struktur

histologis hepar maupun ginjal. Hal ini dibuktikan dengan penelitian daun Afrika

Selatan dengan dosis 600mg/kgBB, yang diberikan oral kepada 15 ekor mencit

jantan dewasa selama 10 hari (Nimenibo, 2003).

16

Hasil penelitian selama 28 hari bahwa organ hati pada mencit yang

diberikan ekstrak daun Afrika Selatan dengan dosis 600mg/kgBB menyebabkan

megalositosis pada inti sel dan degenerasi sel, serta pada organ ginjal

menyebabkan dilatasi sebagian tubuli, namun secara keseluruhan dibuktikan

bahwa ekstrak daun Afrika Selatan belum memberikan efek yang buruk (Eleyinmi

et al., 2008).

Adapun kadar toksisitas daun Afrika Selatan telah dilakukan uji di

Laboratorium Analisa Pangan Universitas Udayana dengan Nilai LC50 2757,91

ppm (Lampiran 7).

Atangwho (2009) melakukan pengujian komponen fitokimia

membandingkan 3 bahan antidiabetik yaitu Azadirachta indica, Vernonia

amygdalina, dan Gongronema latifolium dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 2.3.4

Perbandingan Kadar Fitokimia

Nama Tanaman Flavonoid

(%)

Tanin

(%)

Saponin

(%)

Polifenol

(%)

Alkaloid

(%)

Azadirachta indica

Vernonia amygdalina

Gongronema latifolium

0.39

0.87

0.54

0.63

0.37

2.04

0.56

2.15

0.66

0.35

0.42

0.33

2.84

2.13

1.97

Azadirachta indica dikenal juga dengan nama lain Biji Mimba sering kali

digunakan sebagai pengobatan pestisida nabati, ternyata mengandung alkaloid

yang cukup tinggi, sedangkan Vernonia amygdalina atau Daun Afrika Selatan

paling tinggi mengandung kadar saponin dan kadar polifenol, dan Gongronema

latifolium salah satu tumbuhan yang dijumpai di Afrika Barat mengandung kadar

tannin yang paling tinggi.

17

Atangwho (2010) menyatakan bahwa ada 2 mekanisme yang terjadi pada

saat penelitian daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina), pertama adalah target

sel beta yang memproduksi insulin dan yang kedua adalah metabolisme

karbohidrat yang terjadi di otot, lemak dan hati. Mekanisme untuk merangsang

produksi insulin dikatakan lebih poten, oleh sebab itu tidak heran apabila daun

Afrika Selatan dikategorikan sebagai hipoglikemik yang poten. Dalam

penelitiannya dengan menggunakan 20 ekor tikus, dengan menggunakan ekstrak

daun Afrika Selatan 400mg/kgBB diberikan perlakukan selama 21 hari secara

bermakna terjadi penurunan kadar gula darah post prandial sebesar 15,38%.

Perbedaan hasil penurunan glukosa darah post prandial yang dilakukan oleh

Atangwho (2010) sebesar 5,96% dengan penelitian ini bisa jadi disebabkan

karena perbedaan lamanya waktu pemberian perlakuan.

Atangwho et al., (2011) melakukan penelitian di Universitas Calabar,

Nigeria dengan menggunakan 32 ekor tikus putih galur Wistar, usia 2-3 bulan,

dengan berat 180-200gram, yang dibagi dalam 4 kelompok, kelompok pertama 8

ekor tikus dengan kondisi tidak diabetes sebagai kontrol normal dengan

pemberian aquadest 0,2ml/ekor selama 28 hari, kelompok kedua 8 ekor tikus

diabetes sebagai kontrol diabetes dengan pemberian aquadest 0,2ml/ekor selama

28 hari, kelompok ketiga sebagai 8 ekor tikus diabetes kelompok diabetes yang

diberi perlakuan 200mg/kgBB daun Afrika Selatan selama 28 hari, dan kelompok

keempat 8 ekor tikus diabetes sebagai kelompok kontrol positif dengan diberikan

insulin dosis 5 IU/kgBB. Diperiksa secara histopatologi dengan pewarnaan HE

dan GAF, didapatkan hasil sebagai berikut :

18

Kelompok I

HE GAF

Gambar 2.3.1

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Kontrol Normal (Atangwho, 2011)

Pada kelompok I terlihat Duktus Pankreatikus bentuknya sesuai normal, Sel Islet

terlihat dan berbatas jelas, ditemukan juga Kelenjar Asini, Sel Sentroasinar dan

Duktus Ekskretorius.

Kelompok II

HE GAF

Gambar 2.3.2

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Kontrol Diabetes (Atangwho,

2011)

Pada Kelompok II terlihat Kelenjar Asini dan Sel Sentroasinar, lobulus pecah dan

Sel Islet tampak nekrosis dan degenerasi.

19

Kelompok III

HE GAF

Gambar 2.3.4

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Perlakuan dengan Pemberian Daun

Afrika Selatan 200mg/kgBB selama 28 hari (Atangwho, 2011)

Pada Kelompok III terlihat Sel Islet pankreas ditemukan secara jelas , Duktus

Ekskretorius terlihat, dan dinding lobulus ditemukan dan Sel Asinar terlihat lagi.

Kelompok IV

HE GAF

Gambar 2.3.5

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Kontrol Positif yang diberikan

Insulin 5IU/kgBB (Atangwho, 2011)

Pada Kelompok IV terlihat Sel Acinar nekrosis dan Sel Islet terlihat degenerasi.

sehingga dapat kesimpulan bahwa polifenol dapat melindungi sel beta pankreas

20

dari kerusakan radikal bebas, dan pemberian insulin (Humulin) 5IU/kgBB tidak

berdampak perbaikan terhadap sel pankreas.

2.4 Hewan Percobaan

2.4.1 Tikus Putih (Rattus Norvegicus) jantan sebagai hewan coba

Perkembangan dunia kedokteran dan pengobatan tidak jarang melibatkan

penggunaan hewan coba dalam penelitiannya. Salah satu hewan coba yang

menjadi pilihan adalah tikus. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan

percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak

lazim ditempat oesephagus bermuara karena ke dalam lambung, dan tikus tidak

mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Namun demikian, tidak semua jenis tikus yang kita kenal digunakan untuk

penelititan. Tikus got yang bertubuh besar, kadang bisa membuat kucing

ketakutan bukanlah hewan yang digunakan sebagai tikus penelitian (Wikipedia,

2011).

Pada penelitian ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang

percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih

stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan

seperti pada tikus betina,. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan

metabolisme obat lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil

dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006). Tikus putih sebagai hewan percobaan

relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat

fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan

sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia

di sekitarnya. Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan.

21

Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih

besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium tikus

putih lebih menguntungkan daripada mencit. (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Gambar 2.4

Tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai hewan coba (Wikipedia, 2011)

Klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Classis : Mamalia

Subclassis : Placentalia

Ordo : Rodentia

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

22

2.4.2 Kriteria Tikus Diabetes

Kadar glukosa darah normal tikus sehat adalah antara 50 mg/dL sampai

135 mg/dL. Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini tergantung pada tipe

makanan yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir. Kadar glukosa pada tikus

dapat dikatakan diabetes jika kadar glukosanya diatas 135 mg/dL (Animal article,

2011). Menurut jurnal sebelumnya kadar plasma insulin pada tikus yang normal

adalah 5-10 IU/ml (Handayani et al.,2009)

2.4.3 Mekanisme Streptozotocin Dan Nicotinamide Dalam Menginduksi

Diabetes Melitus

Induksi percobaan diabetes menggunakan streptozotocin sangat mudah

untuk dilakukan. Penyuntikan streptozotocin menyebabkan degradasi dari pulau

Langerhans sel beta pankreas (Abeelah et al., 2009). Streptozotocin secara selektif

terakumulasi di dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 yang

infinitasnya rendah, yang ada di dalam membran darah (Lenzen, 2008).

Mekanisme streptozotocin adalah terjadinya pemindahan gugus methyl

dari streptozotocin menuju molekul DNA, sehingga menyebabkan rantai DNA

pada sel beta pankreas terputus. Dalam upaya untuk memperbaiki DNA, poli

(ADP-ribose) polumerase distimulasi secara berlebihan sehingga menurunkan

kadar NAD+ dan ATP. Dengan menipisnya energi yang disimpan pada sel

menyebabkan kematian pada sel beta, sehingga menghambat sintesis proinsulin

dan menginduksi terjadinya keadaan hiperglikemia. Streptozotocin menghambat

sekresi insulin dan menyebabkan insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)

(Lenzen, 2008). Di pihak lain, sel alfa dan gamma tidak dipengaruhi secara

signifikan oleh pemberian streptozotocin sehingga tidak membawa dampak pada

23

perubahan glucagon dan sitostomatin (Jackerott et al.,2006; Tormo et al.,2006).

Nicotinamid adalah bentuk amid dari vitamin B3 (niacin) yang fungsinya

memberikan perlindungan terhadap sel beta pankreas akibat kerusakan oleh

streptozotocin, mekanisme nicotinamid adalah menghambat aktivitas dari PARP-

1, nicotinamid melindungi penipisan terhadap NAD dan ATP pada sel beta

pankreas yang terpapar streptozotocin, sehingga kerusakan sel beta pankreas dapat

dikurangi (Szkudelski, 2001).

Gambar 2.4.3

Mekanisme Kerja Steptozotocin dan Nicotinamid Dalam Menginduksi Diabetes

Melitus (Szkudelski, 2001).

Sebelum diinduksi streptozotocin, tikus dipuasakan supaya lebih rentan

terhadap streptozotocin sehingga kerja di sel target lebih optimal. Secara klinis,

gejala diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2-4 hari setelah penyuntikan

nicotinamid dan streptozotocin secara interaperitoneal (Abeelah et al., 2009)..