bab ii kajian pustaka 2.1 minat belajar siswa 2.1.1 konsep...

20
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Minat Belajar Siswa 2.1.1 Konsep Minat Belajar Menurut Sukardi dalam (Susanto, Ahmad 2013:57), minat dapat diartikan sebagai suatu kesukaan, kegemaran atau kesenangan akan sesuatu. Adapun menurut Sardiman dalam (Susanto, Ahmad 2013:57), minat adalah suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan sendiri. Oleh karena itu, apa saja yang dilihat seseorang barang tentu akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa minat merupakan kecenderungan jiwa seseorang terhadap sesuatu objek, biasanya disertai dengan perasaan senang, karena itu merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu. Dari beberapa gambaran definisi minat di atas, kiranya dapat ditegaskan di sini bahwa minat merupakan dorongan dalam diri seseorang atau faktor yang menimbulkan ketertarikan atau perhatian secara efektif, yang menyebabkan dipilihnya suatu objek atau kegiatan yang menguntungkan, menyenangkan, dan lama-kelamaan akan mendatangkan kepuasan dalam dirinya. Menurut Bloom dalam (Susanto, Ahmad 2013:57), minat adalah apa yang disebutnya sebagai subject-related affect, yang di dalamnya termasuk minat dan sikap terhadap materi pelajaran. Namun ternyata sulit menemukan pembatas yang jelas antara minat dan sikap terhadap materi pelajaran. Yang tampak adalah sebuah kontinum yang terentang dari pandangan-pandangan negatif atau afek (affect) negatif terhadap pelajaran. Ini dapat diukur dengan menanyakan kepada seseorang apakah ia mempelajari itu, apa yang disukai atau tidak disukainya mengenai pelajaran dan berbagai pendekatan dengan menggunakan kuesioner yang berupaya meningkatkan berbagai pendapat, pandangan, dan preferensi yang mungkin menunjukkan suatu afek positif atau negatif terhadap pelajaran.

Upload: leanh

Post on 03-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Minat Belajar Siswa

2.1.1 Konsep Minat Belajar

Menurut Sukardi dalam (Susanto, Ahmad 2013:57), minat dapat

diartikan sebagai suatu kesukaan, kegemaran atau kesenangan akan sesuatu.

Adapun menurut Sardiman dalam (Susanto, Ahmad 2013:57), minat adalah suatu

kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi

yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan sendiri.

Oleh karena itu, apa saja yang dilihat seseorang barang tentu akan

membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai hubungan

dengan kepentingannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa minat merupakan

kecenderungan jiwa seseorang terhadap sesuatu objek, biasanya disertai dengan

perasaan senang, karena itu merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu.

Dari beberapa gambaran definisi minat di atas, kiranya dapat

ditegaskan di sini bahwa minat merupakan dorongan dalam diri seseorang atau

faktor yang menimbulkan ketertarikan atau perhatian secara efektif, yang

menyebabkan dipilihnya suatu objek atau kegiatan yang menguntungkan,

menyenangkan, dan lama-kelamaan akan mendatangkan kepuasan dalam dirinya.

Menurut Bloom dalam (Susanto, Ahmad 2013:57), minat adalah apa

yang disebutnya sebagai subject-related affect, yang di dalamnya termasuk minat

dan sikap terhadap materi pelajaran. Namun ternyata sulit menemukan pembatas

yang jelas antara minat dan sikap terhadap materi pelajaran. Yang tampak adalah

sebuah kontinum yang terentang dari pandangan-pandangan negatif atau afek

(affect) negatif terhadap pelajaran. Ini dapat diukur dengan menanyakan kepada

seseorang apakah ia mempelajari itu, apa yang disukai atau tidak disukainya

mengenai pelajaran dan berbagai pendekatan dengan menggunakan kuesioner

yang berupaya meningkatkan berbagai pendapat, pandangan, dan preferensi yang

mungkin menunjukkan suatu afek positif atau negatif terhadap pelajaran.

8

2.1.2 Macam-Macam dan Ciri-Ciri Minat

Adapun mengenai jenis atau macam-macam minat, Kuder dalam

(Susanto, Ahmad 2013:61) mengelompokkan jenis-jenis minat ini menjadi

sepuluh macam, yaitu:

1. Minat terhadap alam sekitar, yaitu minat terhadap pekerjaan-pekerjaan yang

berhubungan dengan alam, binatang, dan tumbuhan.

2. Minat mekanis, yaitu minat terhadap pekerjaan yang bertalian dengan mesin-

mesin atau alat mekanik.

3. Minat hitung menghitung, yaitu minat terhadap pekerjaan yang membutuhkan

perhitungan.

4. Minat terhadap ilmu pengetahuan, yaitu minat untuk menemukan fakta-fakta

baru dan pemecahan problem.

5. Minat persuasif, yaitu minat terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan

kesenian, kerajinan, dan kreasi tangan.

6. Minat seni, yaitu minat terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan

kesenian, kerajinan, dan kreasi tangan.

7. Minat leterer, yaitu minat yang berhubungan dengan masalah-masalah

membaca dan menulis sebagai karangan.

8. Minat musik, yaitu minat terhadap masalah-masalah musik, seperti menonton

konser dan memainkan alat-alat musik.

9. Minat layanan sosial, yaitu minat yang berhubungan dengan pekerjaan untuk

membantu orang lain.

10. Minat klerikal, yaitu minat yang berhubungan dengan pekerjaan administratif.

Ada tujuh ciri minat, yang masing-masing dalam hal ini tidak

dibedakan antara ciri minat secara spontan maupun terpola (Hurlock, Elizabeth

1978:115). Ciri-ciri ini sebagai berikut:

1. Minat tumbuh bersamaan dengan perkembangan fisik dan mental. Miant di

semua bidang berubah selama terjadi perubahan fisik dan mental, misalnya

perubahan minat dalam hubungannya dengan perubahan usia.

2. Minat tergantung pada kegiatan belajar. Kesiapan belajar merupakan salah

satu penyebab meningkatnya minat seseorang.

9

3. Minat tergantung pada kesempatan belajar. Kesempatan belajar merupakan

faktor yang sangat berharga, sebab tidak semua orang dapat menikmatinya.

4. Perkembangan minat mungkin terbatas. Keterbatasan ini mungkin

dikarenakan keadaan fisik yang tidak memungkinkan.

5. Minat dipengaruhi budaya. Budaya sangat mempengaruhi, sebab jika budaya

sudah mulai luntur mungkin minat juga ikut luntur.

6. Minat berbobot emosional. Minat berhubungan dengan perasaan, maksudnya

bila suatu objek dihayati sebagai sesuatu yang sangat berharga, maka akan

timbul perasaan senang yang akhirnya dapat diminatinya.

7. Minat berbobot egisentris, artinya jika seseorang senang terhadap sesuatu,

maka akan timbul hasrat untuk memilikinya.

2.1.3 Pembentukan Minat Belajar

Setiap jenis minat berpengaruh dan berfungsi dalam pemenuhan

kebutuhan, sehingga makin kuat terhadap kebutuhan sesuatu, makin besar dan

dalam minat terhadap kebutuhan tersebut. Dalam kaitan ini, Slameto dalam

(Susanto, Ahmad 2013:63) menyebutkan bahwa intensitas kebutuhan yang

dilakukan oleh individu akan berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya

minat individu yang bersangkutan. Adapun menurut Sukartini dalam (Susanto,

Ahmad 2013:63) perkembangan minat tergantung pada kesempatan belajar yang

dimiliki seseorang. Dengan kata lain, bahwa perkembangan minat sangat

tergantung pada lingkungan dan orang-orang dewasa yang erat pergaulannya

dengan mereka, sehingga secara langsung akan berpengaruh pula terhadap

kematangan psikologisnya.

Secara psikologis, menurut Munandar dalam (Susanto, Ahmad

2013:64) fase perkembangan minat berlangsung secara bertingkat dan mengikuti

pola perkembangan individu itu sendiri. Di samping itu, kematangan individu juga

mempengaruhi perkembangan minat, karena semakin matang secara psikologis

maupun fisik, maka minat juga akan semakin kuat dan terfokus pada objek

tertentu.

10

Sukartini dalam (Susanto, Ahmad 2013:64) menyebutkan ada empat indikator-

indikator minat, yaitu:

1. Keinginan untuk memiliki sesuatu.

Minat masa kanak-kanak cenderung egosentris, aspek kognitif minat ini

berkisar sekitar pertanyaan apa saja keuntungan dan kepuasan pribadi yang

dapat diperoleh dari minat itu (Hurlock, Elizabeth 1978:117).

2. Objek atau kegiatan yang disenangi.

Minat mempengaruhi bentuk dan intensitas aspirasi anak. Ketika anak mulai

berpikir tentang pekerjaan mereka di masa mendatang misalnya, mereka

menentukan apa yang mereka ingin melakukan bila mereka dewasa. Semakin

yakin mereka mengenai pekerjaan yang diidamkan, semakin besar minat

mereka terhadap kegiatan, di kelas atau di luar kelas, yang mendukung

tercapainya aspirasi itu (Hurlock, Elizabeth 1978:114).

3. Jenis kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang disenangi.

Konsep yang membangun aspek kognitif minat didasarkan atas pengalaman

pribadi dan apa yang dipelajari di rumah, di sekolah, dan di masyarakat, serta

dari berbagai jenis media massa. Dari sumber tersebut anak belajar apa saja

yang akan memuaskan kebutuhan mereka dan yang tidak. Yang pertama

kemudian akan berkembang menjadi minat, dan yang kedua tidak (Hurlock,

Elizabeth 1978:117).

4. Upaya-upaya yang dilakukan untuk merealisasikan keinginan atau rasa

terhadap objek atau kegiatan tertentu.

Setiap minat memuaskan suatu kebutuhan dalam kehidupan anak, walaupun

kebutuhan ini mungkin tidak segera tampak bagi orang dewasa. Semakin kuat

kebutuhan ini, semakin kuat dan bertahan pada minat tersebut. Selanjutnya,

semakin sering minat diekspresikan dalam kegiatan, semakin kuatlah ia

(Hurlock, Elizabeth 1978:114).

2.1.4 Pengaruh Minat Terhadap Kegiatan Belajar Siswa

Minat merupakan faktor yang sangat penting dalam kegiatan belajar

siswa. Suatu kegiatan belajar yang dilakukan tidak sesuai dengan minat siswa

akan memungkinkan berpengaruh negatif terhadap hasil belajar siswa yang

11

bersangkutan. Dengan adanya minat dan tersedianya rangsangan yang ada sangkut

pautnya dengan diri siswa, maka siswa akan mendapatkan kepuasan batin dari

kegiatan belajar tadi. Kenyataan ini juga diperkuat oleh pendapat Sardiman dalam

(Susanto, Ahmad 2013:66) yang menyatakan bahwa proses belajar itu akan

berjalan lancar kalau disertai dengan minat. Begitu juga menurut Wiliam James

dalam (Susanto, Ahmad 2013:66), bahwa minat belajar merupakan faktor yang

menetukan derajat keaktifan belajar siswa. Jadi, dapat ditegaskan bahwa faktor

minat ini merupakan faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap

keberhasilan belajar.

Dari uraian singkat di atas, maka semakin jelas bahwa minat akan

berdampak terhadap kegiatan yang dilakukan seseorang. Dalam hubungannya

dengan kegiatan belajar, minat tertentu dimungkinkan akan berpengaruh terhadap

hasil belajar siswa, hal ini dikarenakan adanya minat siswa terhadap sesuatu

dalam kegiatan belajar itu sendiri. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Hartono

dalam (Susanto, Ahmad 2013:67) yang menyatakan bahwa minat memberikan

sumbangan besar terhadap keberhasilan belajar peserta didik. Bahan pelajaran,

pendekatan, ataupun metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan minat peserta

didik menyebabkan hasil belajar tidak optimal.

Guru seharusnya mampu memelihara minat anak didiknya, dengan

cara-cara seperti yang ditawarkan oleh Nurkacana dalam (Susanto, Ahmad

2013:67) yaitu:

1. Meningkatkan minat anak-anak, setiap guru mempunyai kewajiban untuk

meningkatkan minat siswanya. Karena minat merupakan komponen penting

dalam kehidupan pada umumnya dan dalam pendidikan, serta pembelajaran di

ruang kelas pada khususnya.

2. Memelihara minat yang timbul, apabila anak-anak menunjukkan minat yang

kecil, maka tugas guru untuk memelihara minat tersebut.

3. Mencegah timbulnya minat terhadap hal-hal yang tidak baik, sekolah

merupakan lembaga yang menyiapkan peserta didik untuk hidup dalam

masyarakat, maka sekolah harus mengembangkan aspek-aspek ideal agar

anak-anak menjadi anggota masyarakat yang baik.

12

4. Sebagai persiapan untuk memberikan bimbinhan kepada anak-anak tentang

lanjutan studi atau pekerjaan yang sesuai baginya, minat merupakan bahan

pertimbangan untuk mengetahui kesenangan anak, sehingga kecenderungan

minat terhadap sesuatu yang baik perlu bimbingan lebih lanjut.

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa

minat belajar siswa merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang

tercapainya efektifitas proses belajar mengajar, yang pada akhirnya akan

berpengaruh terhadap hasil belajar siswa yang bersangkutan.

2.2 Hasil Belajar

Proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai

tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang

dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley

dalam (Sudjana, Nana 1990:22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a)

keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-

cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah

ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne dalam (Sudjana, Nana 1990:22)

membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan

intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motoris. Dalam

sitem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler

maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari

Benyamin Bloom dalam (Sudjana, Nana 1990:22) yang secara garis besar

membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah

psikomotoris.

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri

dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,

sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan

keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.Ranah afektif

berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban

atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.

13

Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan

kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni (a) gerakan

reflex, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemampuan perceptual, (d)

keharmonisan atau ketepatan, (e) gerakan keterampilan kompleks, dan (f) gerakan

ekspresif dan interpretatif.

2.3 Hasil Belajar IPS

2.3.1 Ilmu Pengetahuan Sosial

Menurut Somantri dalam (Gunawan, Rudy 2011:17) “Pendidikan IPS

dalam kepustakaan asing disebut dengan berbagai istilah seperti Social Studies,

Sosial Education, Citizenship Education dan Social Science Education”.

Mengenai studi sosial Banks dalam (Gunawan, Rudy 2011:17) memberikan

definisi sebagai berikut:

The social studies is that part of the elementary and lugh school curriculum which

has the primary responsibility for helping students to develop the knowledge skill,

attitudes, and values needed to participate in the civic life of their local

communities, the nation, and the world.

Sedangkan definisi studi sosial menurut NCSS dalam (Gunawan, Rudy

2011:17) adalah sebagai berikut:

The term social studies is used to include history, economics, anthropology,

sociology civics, geography and all modifications of subjects whose content as

well as aim is social. In all content definitions, the social studies is conceived as

the subject matter of the academic disciplines somehow simplified, adapted,

modified, or selected for school instruction.

Sementara Djahiri dan Ma’mun dalam (Gunawan, Rudy 2011:17)

berpendapat bahwa: “IPS atau studi sosial konsep-konsepnya merupakan konsep

pilihan dari berbagai ilmu lalu dipadukan dan diolah secara didaktis-pedagogis

sesuai dengan tingkat perkembangan siswa”. Sedangkan mengenai IPS Somantri

dalam (Gunawan, Rudy 2011:17) berpendapat, bahwa: “Istilah IPS merupakan

subprogram pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka lahirlah nama

Pendidikan IPS (dan Pendidikan IPA). Istilah ini adalah penegasan dan akibat dari

istilah IPS-IPA saja agar bisa dibedakan dengan pendidikan pada tingkat

14

universitas”. Lebih lanjut Somantri dalam (Gunawan, Rudy 2011:18)

mengemukakan, bahwa:

Tingkat pendidikan dasar dan menengah pendidikan IPS merupakan

penyederhanaan, adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-

ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-

psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam

kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila.

Sementara untuk perguruan tinggi Pendidikan IPS adalah seleksi dari struktur

disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara

ilmiah (dan psikologis) untuk mewujudkan tujuan pendidikan FPIPS dalam

kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila.

Pendapat diatas jelas, bahwa IPS dan Pendidikan IPS atau studi sosial

tidak terdapat perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya bukan pada objek kajian

tetapi pada kedalaman kajian. Dilihat dari bahan kajiannya menurut penjelasan

pasal 37 UU No, 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dalam (Gunawan, Rudy

2011:18), bahwa: “Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial antara lain, ilmu bumi,

sejarah, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya …”. Sedangkan menurut Somantri

dalam (Gunawan, Rudy 2011:18), bahwa: “Sumber bahan pelajaran ilmu-ilmu

sosial untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah adalah disiplin ilmu-ilmu

sosial yang disajikan di universitas”. Di sinilah perlunya penyederhanaan, seleksi,

adaptasi, dan modifikasi materi pelajaran sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

kematangan jiwa peserta didik.

Sementara Pendidikan IPS pada tingkat perguruan tinggi mengkaji

disiplin ilmu sosial dan ilmu pendidikan untuk mempersiapkan lulusannya

menjadi pendidik ditingkat pendidikan dasar dan menengah. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Winataputra dalam (Gunawan, Rudy 2011:18), bahwa: “Dalam

program pendidikan tenaga kependidikan PIPS merupakan program pendidikan

disiplin ilmu sosial yang bertujuan menghasilkan guru IPS (terpadu maupun

terpisah)”.

15

1.3.2 Tujuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Tujuan merupakan ukuran untuk mengetahui tercapai tidaknya

program yang telah ditetapkan. Setiap kegiatan walaupun ruang lingkupnya kecil

pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, lebih-lebih kegiatan yang berimplikasi

terhadap kehidupan manusia secara luas seperti kegiatan pendidikan. Pendidikan

IPS sebagai bagian integral dan program pendidikan memiliki tujuan yang ingin

dicapai dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan secara umum.

Banyak pendapat yang mengemukakan tentang tujuan pendidikan IPS,

diantaranya oleh The Multi Consortium of Performance Based Teacher Education

di AS pada tahun 1973, oleh Djahiri dan Ma’mun, dalam (Gunawan, Rudy

2011:20), yaitu sebagai berikut:

1. Mengetahui dan mampu menerapkan konsep-konsep ilmu sosial yang penting,

generalisasi (konsep dasar) dan teori-teori kepada situasi dan data baru.

2. Memahami dan mampu menggunakan beberapa struktur dari suatu disiplin

atau antar disiplin untuk digunakan sebagai bahan analisis data baru.

3. Mengetahui teknik-teknik penyelidikan dan metode-metode penjelasannya

yang dipergunakan dalam studi sosial secara bervariasi serta mampu

menerapkannya sebagai teknik penelitian dan evaluasi suatu informasi.

4. Mampu mempergunakan cara berpikir yang lebih tinggi sesuai dengan tujuan

dan tugas yang didapatnya.

5. Memiliki keterampilan dalam memecahkan permasalahan (Problem Solving).

6. Memiliki self concept (konsep atau prinsip sendiri) yang positif.

7. Menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

8. Kemampuan mendukung nilai-nilai demokrasi.

9. Adanya keinginan untuk belajar dan berpikir secara rasional.

10. Kemampuan berbuat berdasarkan sistem nilai yang rasional dan mantap.

Menurut Somantri dalam (Gunawan, Rudy 2011:21): “Tujuan

pendidikan IPS, diantaranya untuk membantu tumbuhnya berpikir ilmuan sosial

dan memahami konsep-konsepnya, serta membantu tumbuhnya warga negara

yang baik”.

16

Selanjutnya Somantri (Gunawan, Rudy 2011:21), mengemukakan

bahwa: “Tujuan pendidikan IPS bisa bervariasi mulai dari penekanan pada: (a)

pendidikan kewarganegaraan, (b) pemahaman dan penguasaan konsep-konsep

ilmu-ilmu sosial, (c) bahan dan masalah yang terjadi dalam masyarakat yang

dikembangkan secara reflektif”.

Sementara menurut Wahab dalam (Gunawan, Rudy 2011:21):Tujuan

pengajaran IPS di sekolah tidak lagi semata-mata untuk memberi pengetahuan dan

menghafal sejumlah fakta dan informasi akan tetapi lebih dari itu. Para siswa

selain diharapkan memiliki pengetahuan mereka juga dapat mengembangkan

keterampilannya dalam berbagai segi kehidupan dimulai dari keterampilan

akademiknya sampai pada keterampilan sosialnya.

Pendapat tersebut senada dengan tujuan IPS menurut penjelasan pasal

37 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (2003:86), bahwa: “Bahan kajian

ilmu pengetahuan sosial, antara lain ilmu bumi, sejarah, ekonomi, kesehatan, dan

sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan

kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat”.

Beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan IPS sebagaimana

diuraikan diatas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional berdasarkan pasal 3 UU

No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu: Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab (Gunawan, Rudy 2011:21).

1.3.3 Ruang Lingkup Ilmu Pengetahuan Sosial

IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di SD yang

mengkaji seperasngkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan

dengan isu sosial, memuat materi geografi, sejarah, sosiologi, dan ekonomi.

Melalui mata pelajaran IPS, anak diarahkan untuk dapat menjadi warga negara

17

Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta

damai.

Ruang lingkup mata pelajaran IPS SD meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1. Manusia, tempat dan lingkungan.

2. Waktu, keberlanjutan dan perubahan.

3. Sistem sosial dan budaya.

4. Perilaku ekonomi dan kesejahteraan.

Selain mengkaji perilaku manusia, disiplin ilmu-ilmu sosial

memandang situasi peristiwa umat manusia dari perspektif yang berbeda dan unik.

Karena ada perbedaan persepsi maka metodologi dan teknik penelitiannyapun

berbeda. Setiap disiplin ilmu sosial memiliki konsep-konsep, generalisasi dan

teori yang dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan desain maupun dalam

pelaksanaan proses belajar mengajar IPS pada sekolah dasar dan menengah. Para

ahli ilmu-ilmu sosial telah merinci sekitar 8 disiplin ilmu sosial yang mendukung

untuk pengembangan program social studies yang meliputi : antropologi,

ekonomi, geografi, sejarah, filsafat, ilmu politik, psikologi, dan sosiologi. Pada

hakikatnya, semua disiplin ilmu sosial tersebut memiliki objek kajian yang sama,

yakni manusia.

IPS SD sebagai pendidik Global (global education), yakni: Mendidik

siswa akan kebhinekaan bangsa, budaya, dan peradaban di dunia, menanamkan

kesadaran ketergantungan antar bangsa, menanamkan kesadaran semakin

terbukanya komunikasi dan transportasi antar bangsa di dunia, mengurangi

kemiskinan, kebodohan dan perusakan lingkungan.

Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang diteliti:

SK : Menghargai perjuangan para tokoh dalam mempertahankan

kemerdekaan.

KD : Perjuangan mempertahankan kemerdekaan

a. kklrelge

18

2.4 Model Pembelajaran Make A Match

Model pembelajaran make a match (membuat pasangan) merupakan

salah satu jenis dari pembelajaran kooperatif. Model ini dikembangkan oleh Lorna

Curran dalam (Shoimin, Aris 2013:93). Penerapan model ini dimulai dengan

teknik, yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal

sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin.

Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar

mengenai suatu konsep atau topik, dalam suasana yang menyenangkan. Model ini

dapat digunakan untuk membangkitkan aktifitas belajar peserta didik dan cocok

digunakan dalam bentuk permainan. Isjoni dalam (Shoimin, Aris 2013:93)

mengatakan bahwa teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan

untuk semua tingkatan usia.

Karakteristik model pembelajaran make a match adalah memiliki

hubungan yang erat dengan karakteristik siswa yang gemar bermain. Pelaksanaan

model make a match harus didukung dengan keaktifan siswa untuk bergerak

mencari pasangan dengan kartu yang sesuai dengan jawaban atau pertanyaan

dalam kartu tersebut. Siswa yang pembelajarannya dengan model make a match

aktif dalam mengikuti pembelajaran sehingga dapat mempunyai pengalaman

belajar yang bermakna.

1.4.1 Langkah-langkah pembelajaran Make A Match

a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep/topik yang

cocok untuk sesi review (satu sisi kartu berupa kartu soal dan sisi sebaliknya

berupa kartu jawaban).

b. Setiap siswa mendapat satu kartu dan memikirkan jawaban atau soal dari kartu

yang dipegang.

c. Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya

(kartu soal/kartu jawaban).

d. Siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

e. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang

berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.

f. Kesimpulan.

19

Pada langkah-langkah pembelajaran make a match yang dikemukakan

di atas, langkah tersebut berfokus pada membagi peserta didik menjadi dua

kelompok. Kelompok pertama, kelompok pemegang kartu soal dan kelompok

yang kedua pemegang kartu jawaban. Apabila langkah ini dilaksanakan di dalam

kelas, ruang gerak siswa akan terbatas apalagi kalau jumlah siswa lebih dari 30

anak. Lebih baiknya langkah-langkah ini dilakukan di luar kelas, agar suasana

lebih nyaman dan menyenangkan, kemudian pemberian poin kepada kelompok

soal dan jawaban yang sudah benar dari siswa sendiri, sehingga siswa lebih

mengerti mengenai materi yang dipelajari.

1.4.2 Kelebihan model pembelajaran Make A Match menurut (Shoimin,

Aris 2013:99)

1. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran.

2. Kerja sama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis.

3. Munculnya dinamika gotong royong yang merata di seluruh siswa.

1.4.3 Kelemahan model pembelajaran Make A Match menurut (Shoimin,

Aris 2013:99)

1. Diperlukan bimbingan dari guru untuk melakukan pembelajaran.

2. Suasana kelas menjadi gaduh sehingga dapat mengganggu kelas lain.

3. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai.

2.5 Model Pembelajaran Teams Games Tournaments

Menurut Saco dalam (Rusman,2010:224) bahwa di dalam TGT siswa

memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor

bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk kuis

berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Kadang-

kadang dapat juga diselingi dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok

(identitas kelompok mereka).

Permainan dalam TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang

ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Misalnya tiap siswa akan mengambil

sebuah kartu yang diberi angka tadi dan berusaha untuk menjawab pertanyaan

yang sesuai dengan angka tersebut. Turnamen harus memungkinkan semua siswa

dari semua tingkat kemampuan (kepandaian) untuk menyumbangkan poin bagi

20

kelompoknya. Permainan yang dikemas dalam bentuk turnamen ini dapat

berperan sebagai penilaian alternatif atau dapat pula sebagai review materi

pembelajaran.

TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang

menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5

sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata

atau ras yang berbeda. Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam

kelompok mereka masing-masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS

kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama-sama dengan

anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti

dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggung

jawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan

pertanyaan tersebut kepada guru.

Menurut Slavin dalam (Rusman,2010:225) pembelajaran kooperatif

tipe TGT terdiri dari lima langkah tahapan, yaitu tahap penyajian kelas, belajar

dalam kelompok, permainan, pertandingan, dan penghargaan kelompok.

Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Slavin, maka model pembelajaran

kooperatif tipe TGT memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil;

b. games tournament;

c. penghargaan kelompok.

2.5.1 Langkah-langkah model pembelajaran Teams Games Tournaments

1. Penyajian kelas (Class Presentations)

Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan materi dalam

penyajian kelas atau sering juga disebut dengan presentasi kelas (class

presentations). Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, pokok materi, dan

penjelasan singkat tentang LKS yang dibagikan kepada kelompok. Kegiatan

ini biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah yang

dipimpin oleh guru.

21

2. Belajar dalam Kelompok (Teams)

Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok biasanya terdiri

dari 5 sampai 6 orang peserta didik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih

mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk

mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada

saat game atau permainan.

3. Permainan (Games)

Games atau permainan terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang

relevan dengan materi, dan dirancang untuk menguji pengetahuan yang

didapat peserta didik dari penyajian kelas dan belajar kelompok.

4. Pertandingan atau Lomba (Tournament)

Turnamen atau lomba adalah struktur belajar, dimana permainan terjadi.

5. Penghargaan Kelompok (Team Recognition)

Setelah lomba berakhir, guru kemudian mengumumkan kelompok

yang menang, dan memberikan hadiah. Hal ini dapat menyenangkan para peserta

didik atas prestasi yang telah mereka buat.

2.5.2 Kelebihan model pembelajaran Teams Games Tournaments menurut

(Shoimin, Aris 2014:207)

1. Model pembelajaran TGT tidak hanya membuat peserta didik yang cerdas

(berkemampuan akademis tinggi) lebih menonjol dalam pembelajaran, tetapi

peserta didik yang berkemampuan akademi lebih rendah juga ikut aktif dan

mempunyai peranan penting dalam kelompoknya.

2. Model pembelajaran ini, akan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling

menghargai sesama anggota kelompoknya.

3. Model pembelajaran ini, membuat peserta didik lebih bersemangat dalam

mengikuti pelajaran. Karena dalam pembelajaran ini, guru menjanjikan sebuah

penghargaan pada peserta didik atau kelompok terbaik.

4. Model pembelajaran ini, membuat peserta didik menjadi lebih senang dalam

mengikuti pelajaran karena ada kegiatan permainan berupa turnamen dalam

model ini.

22

2.5.3 Kelemahan model pembelajaran Teams Games Tournaments

(Shoimin, Aris 2014:208)

1. Membutuhkan waktu yang lama.

2. Guru dituntut untuk pandai memilih materi pelajaran yang cocok untuk

model ini.

3. Guru harus mempersiapkan model ini dengan baik sebelum diterapkan.

2.6 Keterkaitan penerapan model pembelajaran make a match dan teams

games tournaments dalam meningkatkan minat dan hasil belajar IPS

2.6.1 Keterkaitan penerapan model pembelajaran make a match dalam

meningkatkan minat belajar IPS

Minat belajar merupakan salah satu hal yang bisa ditindaklanjuti guru

untuk ditingkatkan. IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang terkesan

mempunyai banyak materi yang bersifat hafalan, untuk itu dengan penggunaan

model pembelajaran kooperatif tipe make a match,siswa diharapkan mempunyai

minat yang tinggi terhadap pembelajaran IPS. Salah satu keunggulanya karena

model pembelajaran make a match mengajak siswa belajar dalam situasi yang

menyenangkan, sehingga minat peserta didik bisa tumbuh dalam belajar IPS.

2.6.2 Keterkaitan penerapan model pembelajaran teams games tournaments

dalam meningkatkan minat belajar IPS

Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe teams games

tournaments akan membuat minat peserta didik menjadi meningkat sebab,

kegiatan pembelajaran yang biasa terjadi yaitu ceramah di dalam kelas yang

membuat siswa merasa bosan berubah menjadi suatu kegembiraan sebab kegiatan

pembelajaran dikemas dalam sebuah permainan.

2.6.3 Keterkaitan kegiatan apersepsi pada model pembelajaran make a

match terhadap hasil belajar IPS

Hasil belajar siswa bisa ditingkatkan melalui penggunaan metode yang

tepat. Seperti halnya minat, hasil belajar peserta didik bisa ditingkatkan melalui

penggunaan metode yang tepat. Salah satunya dengan penggunaan model

pembelajaran make a match pada mata pelajaran IPS. Kegiatan pembelajaran yang

23

dikemas secara menyenangkan akan membuat minat peserta didik meningkat. Jika

minat peserta didik meningkat, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap

hasil belajar peserta didik yang tentunya juga akan meningkat.

2.6.4 Keterkaitan kegiatan apersepsi pada model pembelajaran teams games

tournaments terhadap hasil belajar IPS

Seperti halnya model pembelajaran make a match yang bisa membuat

minat dan hasil belajar peserta didik meningkat. Penggunaan model pembelajaran

teams games tournaments selain meningkatkan minat peserta didik, juga akan

meningkatkan hasil belajar siswa. Sebab kegiatan pembelajaran yang dikemas

dalam sebuah bentuk permainan akan menciptakan suasana yang menyenangkan

yang tentunya mendorong motivasi siswa untuk belajar.

2.7 Kajian Hasil yang Relevan

Penelitian ini tentu tidak dapat terlepas dari penelitian-penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Novi Sabtutiyani (2011) yaitu

“Peningkatan Hasil Belajar IPS dengan Menggunakan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Make A Match pada Siswa Kelas V SDN 06 Ngringo Jaten

Karanganyar Tahun Ajaran 2010/2011”. Pada penelitian ini dapat dilihat

peningkatan hasil tes IPS siswa yang menunjukkan adanya peningkatan yaitu pada

pra tindakan nilai rata-rata kelas 61,1 dengan ketuntasan klasikal 37%. Pada siklus

I menunjukkan nilai rata-rata hasil belajar mencapai 69,1 dan ketuntasan klasikal

meningkat menjadi 76%. Pada siklus II nilai rata-rata kelas meningkat menjadi

75,4 dan ketuntasan klasikal meningkat menjadi 90%. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran IPS dengan menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe Make A Match dapat meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa

kelas V SDN 06 Ngringo Karanganyar tahun ajaran 2010/2011.

Penelitian yang disusun oleh Ziyad Fathur Rohman (2013) yang

berjudul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran IPS Melalui Model Teams Games

Tournament dengan Media CD Interaktif pada Siswa Kelas VC SDN Kalibanteng

Kidul 01 Kota Seamarang”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa model

24

Teams Games Tournament dengan media CD Interaktif dapat meningkatkan

kualitas pembelajaran IPS. Pada siklus I siswa memperoleh skor 13,59, siklus II

mendapatkan 15,26 dan siklus III mendapatkan 17,43. Ketuntasan siswa pada

siklus I sebesar 69,23%, siklus II sebesar 76,92% dan siklus III sebesar 82,05%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil belajar siswa kelas VC SDN

Kalibanteng Kidul 01 Semarang meningkat dengan penggunaan model

pembelajaran Teams Games Tournament.

Temuan berikutnya yang disusun oleh Bagus Edi Rosanto (2010)

berjudul “Penerapan Model Make A Match pada Mata Pelajaran IPS tentang

Keadaan Alam Indonesia untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V di SD

Negeri Semanggi 02 Kecamatan Jepon Kabupaten Blora”. Pada penelitian ini

siklus 1, rata-rata hasil belajar pada siklus 1 mencapai 70,83 dan pada siklus 2

mencapai rata-rata 80 dengan ketuntasan 100%. Kelebihan yang ditentukan dalam

penelitian ini adalah hasil pada siklus 2 bisa mencapai 100%, hal ini sangat baik

karena pada umumnyapeningkatan hanya mencapai 30–40%. Kelemahan

penelitian ini adalah hasil belajar hanya diukur berdasarkan tes formatif sebaiknya

aspek lain juga diukur. Mendasarkan kelemahan yang terdapat pada penelitian

diatas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan agar

menggunakan hasil proses juga sehingga hasil belajar yang diperoleh yaitu dari

nilai tes dan nilai proses.

Jadi dari temuan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan model

make a match dan teams games tournament dapat meningkatkan hasil belajar

siswa. Penelitian diatas hampir sama dengan penelitian yang akan dilakukan.

Perbedaannya yaitu terletak pada mata pelajaran yang akan diteliti, cara

pelaksanaan penelitian serta penelitian terhadap minat belajar siswa. Jadi dengan

demikian penelitian diatas mendukung penelitian ini.

25

2.8 Kerangka Berpikir

Setelah melakukan observasi peneliti melihat bahwa pembelajaran IPS

kelas V berlangsung belum optimal dalam menggunakan model pembelajaran

yang bervariasi. Guru masih sering sebagai sumber belajar yang ada di kelas

sehingga peserta didik lebih banyak mendengarkan penjelasan dari guru. Bahkan

peran peserta didik pasif saat pembelajaran IPS berlangsung, sehingga hasil

belajar tidak mencapai target KKM yang telah ditentukan.

Mata pelajaran IPS pada umumnya berbentuk abstrak, dengan banyak

uraian materi yang harus dipahami siswa. Pada umumnya guru sering memakai

metode ceramah untuk menjelaskan materi ini padahal dilihat dari perkembangan

siswa SD akan lebih mudah memahami materi yang dituangkan melalui suatu

kegiatan. Apabila guru hanya menjelaskan materi dengan ceramah anak-anak

lama-kelamaan akan merasa bosan, mengantuk, dan sering kali mengobrol dengan

temannya.

Apabila hal tersebut tidak segera diperbaiki, hasil belajar yang akan

diperoleh siswa bisa jadi tidak akan memenuhi KKM yang telah ditentukan. Guru

harus jeli dalam memilih model pembelajaran yang tepat agar bisa

membangkitkan semangat dan keaktifan siswa dalam belajar sehingga dapat

meningkatkan hasil belajar agar mencapai target yang sudah ditetapkan.

Guru memperbaiki kondisi diatas dengan menerapkan model pembelajaran

kooperatif tipe make a match dan teams games tournaments pada saat

pembelajaran dalam rangka supaya siswa memahami materi IPS. Model

pembelajaran make a match dan teams games tournaments adalah termasuk model

pembelajaran kooperatif yang menyajikan pembelajaran dalam bentuk permainan

kelompok.

Salah satu keunggulan pembelajaran model make a match ini adalah

siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik, dalam

suasana yang menyenangkan. Model ini dapat digunakan untuk membangkitkan

aktifitas belajar peserta didik dan cocok digunakan dalam bentuk permainan.

Sedangkan model pembelajaran TGT adalah salah satu tipe pembelajaran

26

kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang

beranggotakan 5 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin

dan suku kata atau ras yang berbeda. Tujuannya sama yaitu membuat siswa

belajar menjadi menyenangkan dalam bentuk permainan.

Skema

Kerangka Berpikir

2.9 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari perumusan masalah diatas adalah terdapat perbedaan

yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dan

teams games tournaments dalam meningkatkan minat belajar IPS kelas V SDN

Sidorejo Lor 02 Kota Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2015/2016.

SDN Sidorejo Lor

(Kelas Eksperimen)

02

(Kelas Eksperimen)

SDN Sidorejo Lor 06

(Kelas Kontrol)

Pre-test

Model Pembelajaran Kooperatif

(Tipe Make A Match dan Teams

Games Tournaments)

Model pembelajaran

konvensional

Post-test

Hasil Belajar IPS Siswa dari pengaruh penggunaan Model

Pembelajaran Kooperatif (Tipe Make A Match dan Teams Games

Tournaments)