bab ii kajian pustaka 2.1 kajian pustaka 2.1.1...

26
18 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Ideologi dan Agama Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh seorang filsuf Perancis, Destutt de Tracy pada tahun 1796. Destutt de Tracy menggunakan kata ideologi untuk menunjuk pada suatu bidang ilmu yang otonom, ialah analisa ilmiah dari berpikir manusia, otonom dalam arti lepas dari metafisika tetapi juga untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme) (Widiartati, 2010: 65). Sedangkan ideologi dalam bahasa Arab merupakan istilah yang dapat diterjemahkan sebagai Mabda’, secara etimologis mabda’ adalah mashdar mimi dari kata bada’a (memulai), yabda’u (sedang memulai) bad’an (permulaan) dan mabda’an (titik permulaan). Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang) (‘Athiyat, 2004: 84).

Upload: others

Post on 11-Dec-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pengertian Ideologi dan Agama

Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh seorang filsuf Perancis,

Destutt de Tracy pada tahun 1796. Destutt de Tracy menggunakan kata

ideologi untuk menunjuk pada suatu bidang ilmu yang otonom, ialah

analisa ilmiah dari berpikir manusia, otonom dalam arti lepas dari

metafisika tetapi juga untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi

dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang

segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis,

atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat

yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi

Marxisme) (Widiartati, 2010: 65). Sedangkan ideologi dalam bahasa Arab

merupakan istilah yang dapat diterjemahkan sebagai Mabda’, secara

etimologis mabda’ adalah mashdar mimi dari kata bada’a (memulai),

yabda’u (sedang memulai) bad’an (permulaan) dan mabda’an (titik

permulaan). Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang

dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang) (‘Athiyat, 2004: 84).

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

19

Karl Marx berpendapat dalam bukunya yang berjudul germen

Ideology bahwa gagasan tentang kelas penguasa di setiap zaman, gagasan

yang berkuasa, yaitu kelas yang memiliki kekuatan material dominan di

masyarakat yang pada saat bersamaan merupakan kekuatan intelektual

yang dominan. Marx memandang dalam ideologi sangat erat dengan

kekuasaan yang terpusat pada Negara atau masyarakat politik berhadap-

hadapan dengan masyarakat sipil. Hal ini berbeda dengan Antonio Gramsci

yang menentang pandangan Marx tersebut. Menurutnya, ideologi yang

dominan tidak hanya dapat dimenangkan melalui jalan revolusi atau

kekerasan oleh institusi-institusi Negara tapi juga dapat melalui jalan

hegemoni melalui institusi-institusi lain, seperti institusi agama,

pendidikan, media massa dan keluarga (Widiartati, 2010: 66). Louis

Althusser juga memiliki pandangan tersendiri terhadap ideologi,

menurutnya ideologi merupakan sistem keyakinan yang menyembunyikan

kontradiksi-kontradiksi internalnya. Artinya, dalam setiap ideologi

disembunyikan kontradiksi-kontradiksi dalam ajaran-ajarannya

(Widiartati, 2010: 67). Dalam hal ini juga bisa melalui sebuah perusahaan.

Ideologi sebagai sebuah bentuk pemikiran dasar dan memiliki cara

untuk menyelesaikan atau memecahkan permasalahan dalam kehidupan

manusia, namun bukan berarti bahwa ideologi yang dianut tersebut

merupakan ideologi yang benar. Ideologi yang dianggap adalah yang

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

20

muncul dari wahyu Allah yang berupa agama. Agama secara terminologi

adalah suatu tata kepercayaan atas adanya Tuhan dan suatu tata

penyembahan kepada Tuhan, serta suatu tata kaidah yang mengatur

manusia dengan alam yang lain sesuai dengan tata kepercayaan dan tata

penyembahan yang diyakininya tersebut (Azmi, 2011). Agama merupakan

sebuah ajaran yang memberikan pencerahan dalam kehidupan manusia.

Dimana agama merupakan anugerah atau karunia yang diberikan oleh

Tuhan yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul dan berisi peraturan-

peraturan serta larangan untuk mengatur kehidupan manusia.

2.1.2 Hakikat Kekuatan dan Fungsi Ideologi

Alfian (Pakar Ilmu Politik) mengemukakan bahwa kekuatan suatu

ideologi tergantung kepada kualitas tiga dimensi yang terdapat dalam

ideologi tersebut, yaitu (Mahifal, 2008):

a. Dimensi Realita

Nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi tersebut

secara riil berakar dalam dan atau hidup dalam masyarakat atau

bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari

budaya dan pengalaman sejarahnya (menjadi jiwa bangsa).

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

21

b. Dimensi Idealisme

Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme yang

memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui

pengalaman dalam praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan

berbagai dimensinya.

c. Dimensi Fleksibilitas/Dimensi Pengembangan

Ideologi tersebut mempunyai keluwesan yang memungkinkan

dan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang

relevan dengan ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau

mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai

dasarnya.

Ideologi mempunyai fungsi penting, yaitu menanamkan keyakinan dan

kebenaran perjuangan kelompok atau kesatuan yang berpegang teguh pada

ideologi itu. Ideologi kemudian menjadi sumber inspirasi dan sumber cita-

cita yang berupa pedoman (norma). Selain itu, terdapat penjabaran atas

fungsi-fungsi ideologi, yaitu (Prastika, 2016) :

1. Struktur kognitif yaitu keseluruhan pengetahuan yang merupakan

landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia serta kejadian-

kejadian di sekitarnya.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

22

2. Orientasi pasar yaitu membuka wawasan sehingga memberikan

makna dan menunjukkan tujuan di dalam kehidupan manusia.

3. Memberikan norma-norma yang menjadi pedoman bagi seseorang

atau masyarakat untuk melangkah dan bertidak.

4. Memberikan bekal dan jalan bagi seseorang atau masyarakat untuk

menemukan identitasnya.

5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang

atau masyarakat untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.

6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami,

menghayati dan membuat pola tingkah lakunya sesuai dengan

orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya.

2.1.3 Pengendalian Karyawan dalam Perusahaan

Pengendalian merupakan proses yang digunakan untuk mengarahkan

dan memastikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh setiap individu

ataupun kelompok berhasil mencapai tujuan dari rencana yang telah

ditentukan (Supriyono, 2000: 19). Pengendalian juga membantu

memelihara kepatuhan terhadap peraturan dan kebijakan sebuah organisasi.

Pelaksanaan pengendalian diharapkan dapat memberikan jaminan terhadap

data yang dapat dipercaya, pengamanan aktivitas perusahaan dan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

23

catatannya, adanya otorisasi yang jelas serta ditaatinya kebijakan

manajemen. Tujuan dari dilaksanakannya pengendalian oleh perusahaan

adalah untuk membantu dalam memproses data, pengintergrasian dalam

komponen tertentu untuk mencapai laba maksimum sebagai tujuan yang

ingin dicapai.

Sebagai sebuah sistem, masing-masing unsur pengendalian saling

berkaitan, mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Unsur dalam

sistem pengendalian dibedakan menjadi 4, yaitu (Kesit, 2013) :

a. Detektor (observatory), merupakan alat pengukur yang

mendeteksi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada proses

yang dikendalikan.

b. Asesor, adalah alat untuk menilai apa yang sesungguhnya terjadi

dan membandingkannya dengan standart atau yang seharusnya

terjadi.

c. Efektor (Direkto / modifier), merupakan alat untuk mengubah

perilaku jika diperlukan agar pelaksanaan atau proses sesuai

dengan yang diharapkan.

d. Jaringan komunikasi (communication network), yaitu alat untuk

menyebarkan informasi. Penyampaian informasi dari detector kea

lat kendali dinamakan umpan balik.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

24

Sistem pengendalian juga memiliki beberapa jenis yang digunakan

sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh perusahaan. Jenis-jenis

pengendalian dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (Siswanti, 2013: 197) :

a) Feed Forward Control

Pengendalian feed forward (pendahuluan) di desain untuk

mengantisipasi masalah yang mungkin muncul dan mengambil

tindakan pencegahan. Pengendalian ini memastikan bahwa tujuan

dari sumber daya yang tepat telah disediakan sebelum pekerjaan

dimulai.

b) Concurrent Control

Pengendalian ini berfokus pada apa yang terjadi selama

proses kerja berlangsung. Pengendalian ini memonitor kegiatan

dan memperbaiki apabila terjadi kesalahan pada saat kegiatan itu

berlangsung.

c) Feedback Control

Pengendalian umpan balik ini merupakan pengendalian

yang dilakukan setelah kegiatan selesai. Pengendalian ini berfungsi

memberikan penilaian terhadap kegiatan yang telah dilakukan

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

25

sehingga kemudian dapat digunakan untuk membuat rencana

kegiatan selanjutnya dengan lebih baik.

Pengendalian karyawan selain melihat pada jenis pengendaliannya,

juga berdasar pada sistem organisasional dan pengendaliannya. Hal ini

membuat pengendalian yang dilakukan perusahaan lebih terstruktur

sehingga lebih mudah dalam mengatur kegiatan karyawan serta mencapai

tujuan perusahaan. Sistem organisasional dan pengendalian selanjutnya

dibagi menjadi 3 (staffnew.uny.ac.id), yaitu :

a. Pengendalian Administratif, pengendalian ini dilakukan melalui

: pemilihan dan pelatihan staff/karyawan, penilaian kinerja, desain

pekerjaan dan struktur kerja, norma kinerja dan kultur organisasi.

b. Pengendalian melalui Sistem Kompensasi, sistem kompensasi

ini dianggap paling efektif dalam menarik minat pada pekerja yang

kompeten dalam bidangnya sehingga dapat meningkatkan

produktifitas perusahaan dan mempermudah pengendalian yang

dilakukan perusahaan.

c. Sistem disiplin karyawan, sistem ini diguanakan untuk

mengarahkan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi.

Hukuman yang diberikan sesuai dengan tingkat kesalahan yang

dilakukan karyawan tersebut.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

26

2.1.4 Agama sebagai Alat Menciptakan Budaya Kerja Perusahaan

Agama merupakan satu hal yang bersifat subjektif oleh setiap individu

dan berdasarkan atas iman (kepercayaan) individu terhadap agama yang

dianutnya. Agama menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kelangsungan

hidup seorang manusia. Dengan agama, manusia dituntut untuk

menjalankan ajaran dan menjauhi segala larangan yang telah disampaikan

dalam agamanya, sebab agama adalah kebutuhan jiwa yang harus dipenuhi.

Agama sebagai suatu sistem sosial terdiri atas suatu kaidah dan peraturan

yang dibuat saling berkaitan dan terarah pada suatu tujuan tertentu.

Agama sebagai sebuah bentuk pengendalian karyawan di dalam

sebuah perusahaan pada akhirnya akan melahirkan budaya kerja yang

berbeda. Perbedaan budaya kerja dan kebijakan-kebijakan perusahaan tentu

bergantung kepada landasan pemikiran pemilik perusahaan tersebut.

Budaya kerja sendiri diartikan sebagai suatu falsafah dengan didasari

pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga

pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam

sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang

terwujud dalam sebagai kerja atau bekerja (Gering, dkk, 2001: 7)

Budaya kerja berpijak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh pemilik

perusahaan yang kemudian diolah menjadi nilai-nilai dan diterapkan

kepada seluruh karyawan perusahaan melalui kebijakan-kebijakan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

27

perusahaan. Budaya kerja tidak muncul dengan sendirinya, tetapi harus

diupayakan dengan sungguh-sungguh yang melalui sebuah proses

terkendali dengan melibatkan seluruh stakeholder perusahaan dalam

seperangkat sistem, alat-alat dan teknik-teknik pendukung. Budaya kerja

selalu melalui proses yang panjang, karena terjadinya perubahan nilai-nilai

lama menjadi nilai-nilai baru yang akan membutuhkan waktu untuk

selanjutnya menjadi kebiasaan. Budaya kerja memilik beberapa komponen,

yaitu (Ndraha, 2005: 209) :

1. Anggapan dasar tentang kerja

Pendirian atau anggapan dasar / kepercayaan dasar tentang kerja,

terbentuknya melalui konstruksi pemikiran silogistik. Premisnya

adalah pengalaman hidup empiris dan kesimpulan.

2. Sikap terhadap pekerjaan

Manusia menunjukkan berbagai sikap terhadap kerja. Sikap adalah

kecenderungan jiwa terhadap sesuatu. Kecenderungan itu berkisar

antara menerima sepenuhnya atau menolak sekeras-kerasnya.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

28

3. Perilaku ketika bekerja

Sikap terhadap bekerja lahir dari perilaku ketika bekerja. Perilaku

menunjukkan bagaimana seseorang dalam melakukan

pekerjaannya.

4. Lingkungan kerja dan alat kerja

Manusia membangun dan memerlukan lingkungan yang nyaman

dalam bekerja. Selain itu, juga diperlukan alat (teknologi) yang

dapat menunjang kerja seseorang untuk bekerja lebih efektif,

efisien dan produktif.

5. Etos kerja

Istilah ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental

budaya, berbagai ungkapan yang menunjukkan kepercayaan,

kebiasaan atau perilaku kelompok masyarakat.

Budaya kerja mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan

yang kemudian menjadi landasan dalam menetapkan sebuah kebijakan

kepada seluruh karyawan. Budaya kerja paling umum berkiblat pada

industri barat. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa landasan

dari budaya kerja itu sendiri adalah agama. Agama dapat dijadikan sebuah

bentuk budaya kerja apabila perusahaan menggunakan agama sebagai

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

29

legitimasi kebijakan perusahaan. Kebijakan yang bersifat memaksa

karyawan inilah yang kemudian membentuk suatu budaya kerja.

2.1.5 Karyawan dalam Perusahaan

“Buruh” dapat diartikan sebagai orang yang bekerja di bawah perintah

orang lain, dengan menerima upah karena telah melakukan pekerjaan di

suatu perusahaan. Selain istilah “buruh” juga digunakan istilah “pekerja”,

“karyawan” dan “pegawai”. Karyawan berarti setiap orang yang melakukan

karya. Karyawan dalam sebuah perusahaan dapat dikelompokkan

berdasarkan statusnya, yang dapat dibagi menjadi dua jenis kelompok

karyawan yaitu karyawan tetap dan karyawan tidak tetap (Adzikra, 2013).

a. Karyawan Tetap

Karyawan tetap merupakan karyawan yang telah memiliki

kontrak ataupun perjanjian kerja dengan perusahaan dalam jangka waktu

yang tidak ditetapkan (permanent). Karyawan tetap biasanya cenderung

memiliki hak yang jauh lebih besar dibandingkan dengan karyawan

tidak tetap. Selain itu, karyawan tetap juga cenderung jauh lebih aman

(dalam hal kepastian lapangan pekerjaan) dibandingkan dengan

karyawan tidak tetap.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

30

b. Karyawan Tidak Tetap

Karyawan tidak tetap merupakan karyawan yang hanya

dipekerjakan ketika perusahaan membutuhkan tenaga kerja tambahan

saja. Karyawan tidak tetap biasanya dapat diberhentikan sewaktu-waktu

oleh perusahaan ketika perusahaan sudah tidak membutuhkan tenaga

tambahan lagi. Jika dibandingkan dengan karyawan tetap, karyawan

tidak tetap cenderung memiliki hak yang jauh lebih sedikit dan juga

cenderung sedikit tidak aman (dalam hal kepastian lapangan pekerjaan).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menjadi salah satu aspek penting dalam penelitian

karena penelitian terdahulu dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam

penelitian. Selain itu, penelitian terdahulu juga dapat membantu penelitian dalam

melihat fenomena sejenis sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan.

Penelitian terdahulu yang mendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam penelitian Dadi Ahmadi dan Nova Yohana, 2007 yang

berjudul Konstruksi Jilbab Sebagai Simbol Keislaman menjelaskan bagaimana

seseorang memaknai jilbab yang dikenakan. Dari hasil penelitian menyimpulkan

bahwa terdapat dua kelompok pemakai jilbab yang memiliki alasan tersendiri

dalam praktek pemakaian jilbab ini. Pertama mewakili gerakan-gerakan yang

yang berambisi untuk kembali ke Islam. Kelompok ini cenderung diidentikan

dengan jilbab lebar, dimana dapat dikenali dengan ciri jilbab lebar yang khas,

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

31

gamis, rok dan baju yang lebar. Kelompok kedua mewakili simbol kebebasan dan

modernis yang dapat dikenali dari cara berpakaian mereka.

Jilbab pada awalnya merupakan sebuah bentuk penegasan dan pembentukan

identitas keberagaman seseorang. Namun, dalam perkembangannya jilbab

mengalami pergeseran baik makna maupun bentuknya. Jilbab tidak hanya

digunakan sebagai simbol identitas religi tetapi juga telah merambah ranah-ranah

publik. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode

fenomenologi dengan mengambil subjek penelitian para mahasiswi Universitas

Islam Bandung sebanyak 10 orang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian

ini lebih merujuk pada wawancara mendalam untuk mengetahui motif dibalik

pemakaian jilbabnya.

Penelitian terdahulu dan penelitian yang dilakukan penulis memiliki

beberapa persamaan yaitu adanya penggunaan jilbab sebagai identitas suatu

agama dalam suatu kelompok atau masyarakat dan menggunakan pendekatan

kualitatif. Namun, terdapat juga beberapa perbedaan yaitu penelitian terdahulu

berfokus kepada mahasiswi sedangkan penulis berfokus pada karyawan,

menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan juga

dokumentasi. Penggunaan jilbab dalam perusahaan pun bukan ditujukan sebagai

fashion tetapi sebuah peraturan yang harus ditaati oleh karyawan perempuan.

Rujukan penelitian terdahulu yang kedua adalah penelitian dari Paskalia

Pramita Nareswari, 2013 dengan judul Kecenderungan Penggunaan Simbol

Agama dalam Iklan Politik (Studi Analisis Isi Perbandingan Kecenderungan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

32

Penggunaan Simbol-Simbol Agama dalam Iklan Televisi Partai Politik Partai

Nasional Demokrat dan Gerindra) yang menjelaskan penggunaan simbol-simbol

atau isu-isu agama dalam praktek kampanye partai politik. Partai politik berusaha

membentuk citra sebagai sosok yang membela seluruh golongan masyarakat pada

umat beragama. Isu agama yang diangkat dalam kampanye sebagai potret

kemajemukan bangsa Indonesia yang kemudian dipublikasikan melalui iklan

televisi.

Metode analisis simbol agama dalam iklan menggunakan analisis

kuantitatif. Alat ukur menggunakan coding sheet berdasarkan aspek kehidupan

beragama yang dijawab oleh dua hakim/pengkoder. Unit analisis yang menjadi

acuan adalah perilaku, setting tempat, situasi cerita, pakaian, alat ibadah, simbol

hari raya, interaksi, pembicara pesan, kata/kalimat pesan, bahasa, musik dan lagu

iklan. Hasil analisis dalam penelitian terdahulu menyatakan simbol agama yang

paling banyak muncul adalah simbol visual seperti pakaian kerudung dan perilaku

berdoa oleh masyarakat dan anggota partai.

Penelitian terdahulu ini memiliki relevansi dengan penelitian yang

dilakukan oleh penulis. Paskalia mengangkat tema yang hampir sama dengan

penulis yaitu tentang penggunaan ideologi agama terutama dalam penggunaan

kerudung/jilbab sebagai sebuah simbol agama Islam. Namun, terdapat beberapa

perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis, diantaranya yaitu metode penelitian yang dilakukan penulis adalah

kualitatif. Penggunaan simbol agama dalam penelitian terdahulu digunakan untuk

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

33

kampanye guna memperoleh kepercayaan dari masyarakat sedangkan penelitian

yang penulis lakukan mengarah kepada aturan perusahaan yang menjalankan

syariat agama.

Penelitian terdahulu yang ketiga adalah penelitian Siti Solikhati dkk, 2015

yang berjudul Banalitas Simbol Keagamaan Dalam Sinetron Religi (Analisis

Tayangan Sinetron “Bukan Islam KTP” di SCTV) yang menjelaskan pembelokan

makna simbol-simbol agama dalam tayangan sinetron sebagai akibat dari

pengemasan dari simbol itu sendiri ke dalam dialog yang ringan dan menghibur.

Hasil penelitian ini adalah sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan perlunya

media guna mengembangkan ajaran agama, maka televisi merupakan alternatif

yang sulit untuk dihindarkan. Namun, semua ekspresi simbol-simbol keagamaan

yang ditransformasikan lewat media massa tersebut pada dasarnya bukan lagi

merupakan representasi bentuk murni dari simbol-simbol doktriner agama

melainkan labih merupakan hasil konstruksi sosial yang bertarung dalam praktik

kinerja media. Ketika simbol keagamaan direpresentasikan dalam bentuk pesan di

media massa, maka ia memberi kesempatan kepada siapa saja untuk melakukan

penafsiran dan pemaknaan.

Relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis lakukan

adalah tema penelitian yang sama-sama mengangkat penggunaan ideologi agama

yang berupa simbol baik verbal maupun non-verbal. Selain itu, juga adanya

pembelokan makna sesungguhnya dari tindakan yang dilakukan meskipun tidak

secara signifikan. Perbedaan dari penelitian terdahulu dan penelitian ini adalah

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

34

jika pada penelitian terdahulu lebih merujuk pada penggunaan ideologi agama

dalam bentuk simbol-simbol agama pada media massa (tayangan sinetron), dalam

penelitian ini ideologi agama lebih ditekankan pada karyawan sebuah perusahaan

sebagai sebuah peraturan/kebijakan.

Rujukan penelitian terdahulu yang keempat adalah penelitian dari Ivan

Cvitković : The Problem of Symbols of the Religious Identity in the Borderlands

(The Case of Hijab in Bosnia and Herzegovina) yang menjelaskan tentang tekad

para perempuan yang tinggal di daerah perbatasan dalam mengenakan jilbab.

Perdebatan ini bermula dari adanya UU Pengadilan dan Keputusan Majelis Tinggi

dan Kejaksaan Tinggi (HJPC) yang melarang hakim perempuan mengenakan

jilbab di ruang pengadilan. Hal ini didasari oleh kesadaran muslimah di daerah

perbatasan untuk menutup bagian kepala mereka seperti yang dianjurkan oleh

agama.

Pembahasan tersebut, memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis

lakukan. Yaitu tentang ideologi agama yang berupa jilbab/hijab sebagai sebuah

simbol agama Islam. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang

penulis lakukan adalah pada penelitian terdahulu kaum perempuan memiliki

kesadaran tinggi untuk menutup aurat mereka yang akhirnya menjadi perdebatan

di Negara tersebut sedangkan pada penelitian ini penggunaan jilbab karena

merupakan salah satu peraturan dari perusahaan. Sehingga mau tidak mau

karyawan perempuan haruslah mengenakannya. Terdapat beberapa penelitian

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

35

terdahulu yang peneliti gunakan sebagai acuan awal dalam meneliti, diantaranya

pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu

No. Penulis dan Judul Hasil Relevansi

1. Dadi Ahmadi dan

Nova Yohana :

Konstruksi Jilbab

sebagai Simbol

Keislaman

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa

terdapat dua kelompok

pemakai jilbab. Yang

pertama mewakili

gerakan-gerakan yang

berambisi untuk kembali

ke Islam. Muslimah

kelompok ini dapat

dikenali dari jilbab lebar

yang khas, gamis, rok

dan baju yang lebar.

Potret jilbab lebar sering

diidentikkan dengan

simbol kesalehan dan

kesopanan,

fundamentalis,

konservatif, militan,

antimodernisasi, dan

sebagainya. Kelompok

kedua mewakili simbol

kebebasan, modernis,

cara berpakaian mereka

juga dapat dikenal.

Jilbab juga berfungsi

sebagai bahasa yang

menyampaikan pesan-

pesan sosial dan budaya.

Pada awal

kemunculannya

sebenarnya merupakan

penegasan dan

pembentukan identitas

keberagaman seseorang.

Relevansi penelitian

ini dengan penelitian

yang akan diteliti

adalah penggunaan

ideologi agama yang

berupa jilbab. Akan

tetapi pada penelitian

terdahulu berfokus

pada penggunaan

jilbab pada mahasiswa

sedangkan penelitian

yang akan dilakukan

fokus pada karyawan

perempuan. Jilbab

merupakan simbol

visual atau dapat

dilihat secara langsung

sehingga seseorang

dapat dengan mudah

menilai ataupun

menafsirkan agama

yang dianut orang

tersebut.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

36

Dalam

perkembangannya jilbab

tersebut ternyata

mengalami pergeseran

yang signifikan. Jilbab

tidak hanya berfungsi

sebagai simbol identitas

religious, tetapi telah

memasuki ranah-ranah

budaya, sosial, politik,

ekonomi dan bahkan

fashion.

2. Paskalia Pramita

Nareswari :

Kecenderungan

Penggunaan

Simbol Agama

dalam Iklan Politik

(Studi Analisis Isi

Perbandingan

Kecenderungan

Penggunaan

Simbol-Simbol

Agama dalam

Iklan Televisi

Partai Politik

Partai Nasional

Demokrat dan

Gerindra)

Hasil penelitian ini

mengidentifikasi bahwa

isu agama diangkat

dalam kampanye

sebagai potret

kemajemukan bangsa

Indonesia. Kampanye

yang dilakukan melalui

iklan televisi supaya

menarik perhatian

konstituen dan bersedia

memilih partai pada

Pemilu 2014. Simbol

agama paling banyak

muncul seperti kerudung

dan perilaku berdoa oleh

masyarakat dan anggota

partai. Perbedaan

intensitas kemunculan

simbol setiap agama

dipengaruhi oleh jumlah

hari besar keagamaan

selama satu tahun.

Selain itu, agama

mayoritas menjadi salah

satu pengaruh iklan

yang diproduksi bertema

agama Islam lebih

dominan dibandingkan

agama lain. Simbol

Relevansi penelitian

ini dengan penelitian

yang akan peneliti

lakukan adalah

ideologi agama yang

digunakan tidak hanya

berupa simbol verbal

(ucapan) tetapi juga

non-verbal (benda atau

barang). Akan tetapi

pada penelitian

terdahulu agama

digunakan untuk

kampanye dan

memperoleh

kepercayaan dari

masyarakat,

sedangkan penelitian

yang akan peneliti

lakukan mengarah

pada peraturan

perusahaan yang

berusaha menjalankan

syariat agama.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

37

agama dimunculkan

sebagai wujud toleransi

antar umat beragama.

3. Siti Solikhati,

Heddy Shri

Ahimsa Putra dan

Heru Nugroho :

Banalitas Simbol

Keagamaan Dalam

Sinetron Religi

(Analisis

Tayangan Sinetron

“Bukan Islam

KTP” di SCTV)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

ajaran-ajaran agama

Islam yang bersifat

normatif dan doktrinal

dikemas dalam dialog

yang ringan dan

menghibur, serta

menggunakan simbol-

simbol keagamaan yang

absurd. Sebagai akibat

dari pengemasan pesan-

pesan keagamaan dalam

format hiburan di

stasiun televisi ini

adalah terjadinya

peristiwa banalisasi atau

pendangkalan substansi

pesan yang

termanifestasikan dalam

bentuk penggunaan

simbol-simbol

keagamaan, baik yang

berupa simbol verbal

maupun non-verbal.

Banalisasi pada simbol-

simbol verbal berkaitan

dengan munculnya

pendangkalan yang

berakibat pada

pembelokan makna

normatif akibat

kurangnya pemahaman

produsen pesan pada

tiga wilayah yaitu

domain isi pesan,

domain fungsi normatif

ajaran, serta domain

kultural atau historisitas

Relevansi penelitian

ini dengan penelitian

yang akan diteliti

terletak pada

penggunaan ideologi

agama dalam bentuk

verbal maupun non-

verbal yang

merupakan ciri dari

seorang muslim.

Selain itu juga

terdapatnya

pembelokan makna

yang sebenarnya dari

tindakan yang

dilakukan meskipun

tidak secara

signifikan. Pada

penelitian terdahulu

simbol keagamaan

ditampilkan pada

sebuah tayangan

sinetron sedangkan

pada penelitian ini

agama digunakan oleh

institusi (perusahaan)

untuk mengatur

tindakan pegawainya.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

38

nilai ajaran. Sedangkan

banalisasi pada

penggunaan simbol

keagamaan yang bersifat

non-verbal terjadi akibat

penonjolan aspek teknis

serta estetis yang

digunakan oleh

produsen simbol.

4. Ivan Cvitković :

The Problem of

Symbols of the

Religious Identity

in the Borderlands

(The Case of Hijab

in Bosnia and

Herzegovina)

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

perempuan-perempuan

yang tinggal di daerah

perbatasan, Bosnia dan

Herzegovina telah

memutuskan untuk

kembali mengenakan

jilbab pada tahun 1990-

an. Perbedaan bisa

ditemukan antara jilbab,

niqab, hijab dan burqa.

Pada tahun 2016 muncul

diskusi tentang

pemakaian jilbab di

ruang pengadilan.

Alasan dari adanya

diskusi tentang jilbab di

Bosnia dan Herzegovina

adalah UU Pengadilan

dan Keputusan Majelis

Tinggi dan Kejaksaan

Tinggi (HJPC) untuk

melarang hakim

perempuan mengenakan

jilbab di pengadilan.

Relevansi penelitian

ini dengan penelitian

yang akan dilakukan

adalah penggunaan

jilbab / hijab pada

kaum perempuan.

Jilbab / hijab sebagai

suatu simbol agama

yang khas dan

diperuntukkan bagi

kaum perempuan.

Penelitian terdahulu

mengungkapkan

bahwa pemakaian

jilbab / hijab ini

merupakan kesadaran

dari kaum perempuan

untuk menutup bagian

kepala mereka yang

kemudian menjadikan

sebuah perdebatan di

Negara tersebut.

Sedangkan pada

penelitian ini,

pemakaian jilbab /

hijab merupakan

aturan tidak tertulis

yang diberikan

perusahaan terhadap

seluruh karyawan

perempuannya,

dimana sebagian dari

mereka merasa tidak

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

39

sepenuh hati untuk

memakai jilbab / hijab.

Sumber : Data Diolah

2.3 Landasan Teori Ideologi Althusser

Teori yang akan digunakan dalam menganalisa penelitian ini adalah teori

ideologi dari Louis Althusser. Menurut Althusser ideologi bukanlah sebuah

kesadaran palsu seperti yang dikemukakan Marx, melainkan perangkat konsep

yang menafsirkan, merasakan, pengalaman dan menjalani kondisi material

dimana mereka menemukan dirinya. Menurutnya, ideologi akan membentuk

kesadaran seseorang akan realitas dirinya (Nurani, 2013). Sehingga ideologi

memiliki kekuatan untuk menunjukkan kekuasaannya dengan caranya sendiri

terhadap berbagai perkembangan sosial.

Teori ini terwujud dalam sebuah tindakan dimana setiap tindakan yang

dilakukan didasarkan pada ideologi yang dianggap benar. Ideologi pada saat ini,

terutama pada hubungan antara pengusaha dan karyawan merupakan alat

kekuasaan untuk mengendalikan karyawan melalui suatu kebijakan yang berlaku.

Akibatnya ideologi perusahaan mengalami difusi dan dipaksakan kepada seluruh

karyawan. Dalam hal ini perusahaan mengontrol apa yang boleh dilakukan dan

tidak boleh dilakukan, sehingga kebijakan perusahaan bersifat asas tunggal

artinya nilai-nilai yang boleh diterapkan adalah nilai-nilai yang mendapatkan

legitimasi perusahaan. Representasi ideologis dari ideologi itu sendiri dipaksa

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

40

untuk mengenali bahwa setiap “subjek” yang diberkati dengan kesadaran dan

mempercayai gagasan-gagasan yang diinspirasikan dan diterima secara bebas

oleh kesadarannya, pasti bertindak sesuai dengan gagasan-gagasannya, dan

dengan demikian gagasan sebagai seorang subjek yang bebas dalam tindakan dari

praktiknya materialnya. Apabila ia tidak melakukannya, “hal itu jahat”

(Althusser, 2015 : 48)

Ideologi tidak hanya dalam hubungan Negara dengan rakyatnya, ataupun

antar majikan dan buruh. Ideologi ada dalam berbagai hubungan, termasuk dalam

relasi orang per orang. Ideologi ada dalam tiap orang, meskipun orang tersebut

tidak menyadarinya. Jadi ideologi bukanlah kesadaran palsu, melainkan sebuah

ketidaksadaran yang tertanam di individu. Bahkan ketidaksadaran itu begitu

mendalam (profoundly councious), sehingga bagaimana prakteknya dalam diri

manusia tidak disadari. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri

individu sepanjang hidupnya, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sesuatu

yang alamiah (Althusser, 2004 : xvii). Salah satu efek dari ideologi adalah

naturalisasi relasi produksi atau menjadikan relasi produksi yang ada nampak

alamiah, seolah sudah kodratnya demikian.

Althusser punya dua tesis tentang ideologi (Althusser, 2004 : 40). Tesis

pertamanya mengatakan bahwa ideologi itu adalah representasi dari hubungan

imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Yang

direpresentasikan disitu bukan relasi riil yang memandu eksistensi individual,

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

41

tetapi relasi imajiner antara individu dengan suatu keadaan dimana mereka hidup

didalamnya. Tesis yang kedua mengatakan bahwa representasi gagasan yang

membentuk ideologi itu tidak hanya mempunyai eksistensi spiritual, tetapi juga

eksistensi material. Jadi bisa dikatakan bahwa aparatus ideologis negara adalah

realisasi dari ideologi tertentu. Ideologi selalu eksis dalam wujud apparatus

(Septy : 14).

Eksistensi tersebut bersifat material. Eksistensi material menurut Althusser

ini bisa dijelaskan sebagai berikut: kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang

terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara

natural akan diikuti oleh orang tersebut. Misalnya jika percaya kepada Tuhan dan

termasuk penganut agama tertentu, maka kita akan pergi ke gereja untuk

mengikuti misa, pergi ke masjid untuk sembahyang lima waktu. Atau kalau kita

percaya keadilan, maka kita akan tunduk pada aturan hukum, menyatakan protes,

atau bahkan ikut ambil bagian dalam demonstrasi, jika terjadi ketidakadilan

(Althusser, 2004 : 46).

Althusser membedakan dua konsep tentang ideologi, yaitu RSA (Repressive

State Apparatus) dan ISA (Ideological State Apparatus) (Althusser, 2004 : xxiv).

RSA (Repressive State Apparatus) lebih menunjuk pada aktor-aktor yang

berperan penting menginterpretasikan sekaligus mengaplikasikan ideologi antar

sesama manusia. Pada aspek ini, Althusser memandang RSA (Repressive State

Apparatus) sebagai pemilik kuasa represif untuk dengan tegas menerapkannya

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

42

pada setiap warga negara. ISA (Ideological State Apparatus) mengarah pada

ideologi itu sendiri yang masuk ke dalam setiap kehidupan manusia. Ideologi ini

terangkum dalam aspek keagamaan, pendidikan, hukum, keluarga, politik,

komunikasi, serta moralitas. Pada sisi ini, Althusser menekankan sisi produksi

dan reproduksi material dalam ideologi. Produksi tidak mungkin ada tanpa

reproduksi karena proses pembentukan memerlukan sesuatu untuk dibentuk.

Pada kenyataannya, sebagian besar dan secara spesifik mengamankan

reproduksi relasi-relasi produksi, dibalik perisai yang diberikan oleh apparatus

represi. Di sinilah peran ideologi, yang berkuasa banyak terkonsentrasi, ideologi

dari kelas yang berkuasa, yang memegang kekuasaan Negara. Dalam praktiknya

ideologi yang sesuai dengan peran yang harus dipenuhinya dalam masyarakat

berkelas : peran kaum dieksploitasi (pekerja atau petani kecil), peran agen

eksploitasi (kapitalis, manager : kemampuan untuk memberikan perintah kepada

pekerja dan berbicara dengan mereka), agen represi (tentara, polisi, potisi,

administrator, dsb : kemampuan untuk memberikan perintah dan memaksakan

kewajiban ‘tanpa diskusi’) atau para ideologi professional (Althusser, 2015 : 36).

Struktur semua ideologi yang menginterpelasi individu sebagai subjek atas

nama sebuah Subjek, itu memantulkan, yaitu sebuah struktur cermin dan

pemantulan ini berwatak ganda : penggandaan melalui pantulan cermin ini

membentuk ideologi dan memastikan fungsinya. Dalam penggunaan subjek itu,

subjek pada kenyataannya bermakna : (1) sebuah subjetivitas yang bebas, pusat

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 ...eprints.umm.ac.id/44365/3/jiptummpp-gdl-devitaayuw-50468...Dimensi Idealisme Nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung idealisme

43

inisiatif, pelaku dan bertanggung jawab atas tindakannya, (2) seorang makhluk

yang ditundukkan menjadi subjek, yang tunduk pada sebuah otoritas yang lebih

tinggi, dan dengan demikian dilucuti dari semua kebebasan kecuali bebas

menerima ketundukannya. Catatan terakhir ini memberikan arti tentang

ambiguitas tentang cerminan dari efek yang memproduksinya : individu

diinterpelasi sebagai seorang subjek (yang bebas) agar ia tunduk secara bebas

kepada perintah-perintah Subjek, dan tindakan ketundukkannya ‘dengan

sendirinya’. Tidak ada subjek kecuali oleh dan untuk ketundukkan mereka

sebagai subjek (Althusser, 2015 : 61).

Hubungan antar manusia menjadi basis paling penting dalam ideologi,

bukan hanya sekedar pemilik modal dan buruh, melainkan juga antara pemilik

kuasa ideologis dan sasaran ideologis itu sendiri. Dengan demikian, bukan hanya

sikap antar manusia yang menjadi fokus dari ideologi, melainkan juga tatanan

sosial yang terus menerus membentuk ulang ideologi ini. Althusser menyebutnya

sebagai overdeterminasi guna mengatasi ketunggalan esensi ekonomi dalam

ideologi. Proses produksi dan reproduksi memang berasal dari aspek ekonomi,

namun dalam perkembangannya ideologi menjadi suatu esensi otonom yang

bukan hanya merengkuh sisi ekonomi namun juga sosial budaya. Proses ekonomi

ini memang tidak langsung terungkap dalam ideologi atau kesadaran, melainkan

muncul sebagai akibatnya dalam bentuk realitas sosial akan gagasan-gagasan.