bab ii kajian pustaka 2.1. cedera kepala 2.1.1. batasan cedera
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Cedera Kepala
2.1.1. Batasan cedera kepala
Cedera kepala menurut istilah anatomis dikatakan bahwa seluruh trauma
yang terjadi diatas batas bawah dari mandibula (Reilly dan Bullock, 2005).
Menurut Field, (1976) cedera kepala merupakan trauma dimana menyebabkan
risiko terjadinya kerusakan pada otak. Menurut Jagger, et al (1984) trauma kepala
yang terdokumentasi dengan disertai hilangnya kesadaran, amnesia pasca trauma,
dan fraktur tengkorak. Sedangkan menurut Brookes, et al (1990) cedera kepala
merupakan cedera pada scalp termasuk pembengkakan, abrasi, atau kontusio serta
laserasi, atau adanya riwayat benturan yang jelas pada kepala, atau penderita
dimana telah dilakukan rontgen tengkorak segera setelah trauma, dan penderita
yang memiliki bukti klinis adanya fraktur dasar tengkorak (Reilly dan Bullock,
2005).
Trauma merupakan penyebab kematian terbanyak diantara orang dengan
usia dibawah 45 tahun, dimana sebagian besar disebabkan oleh cedera kepala
(Andrade, et al.,2006). Kematian yang terjadi akibat cedera kepala sekitar 1-2
persen dari seluruh penyebab kematian dan 25-50% penyebab kematian yang
disebabkan oleh trauma (Goldstein,1990). Kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab tersering cedera kepala ringan, terjatuh dari ketinggian,
diikuti oleh penyerangan, dan kecelakaan dalam berolahraga. Angka kejadian
8
cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
disebabkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan dijalan masih rendah disamping
penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat. (Kraus dan
Nourjah, 1988).
2.1.2. Klasifikasi cedera kepala
Cedera kepala pada umumnya dikategorikan berdasarkan Glasgow coma
scale (GCS). Glasgow coma scale (GCS) pertama kali diperkenalkan oleh
Teasdale dan Jennet tahun 1974 untuk menyediakan suatu metode yang mudah
dan dapat dipercaya untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan mengawasi
perubahan yang terjadi (Teasdale dan Jennet,1974). Glasgow coma scale (GCS)
menilai tingkatan kesadaran berdasarkan tiga komponen klinis yaitu respon
membuka mata, motorik dan verbal (Teasdale dan Jennet,1974).
Nilai GCS adalah nilai total dari ketiga komponen yaitu antara 3-15. Nilai
3 berarti penderita tidak memberikan respon terhadap rangsangan apapun
sedangkan nilai 15 berarti penderita sadar penuh. Penilai GCS dilakukan pasca
resusitasi setelah trauma.
Klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 3 dimana cedera kepala berat
dengan skor GCS dibawah 8, cedera kepala sedang dengan skor GCS 9 sampai
12, cedera kepala ringan dengan skor GCS 13 sampai 15 (ATLS, 1993).
9
2.2 Cedera Kepala Ringan dan Permasalahannya
Cedera kepala ringan merupakan hal yang sering ditemui pada unit gawat
darurat. Berbagai definisi cedera kepala ringan telah diajukan. Beberapa penulis
mendefinisikan cedera kepala ringan sebagai kehilangan ingatan sesaat setelah
trauma pada kepala, sedangkan studi lain menggolongkan derajat cedera
berdasarkan lamanya amnesia post trauma (Hsiang, et al.,1997; Sarvadei, et al.,
2001; Gejerstam, et al., 2005). Rimel, et al (1981) mendefinisikan CKR sebagai
cedera pada kepala dengan Glasgow Coma Scale 13 sampai 15 pada saat masuk
rumah sakit, kehilangan kesadaran (LOC) kurang dari 20 menit. Definisi cedera
kepala yang dapat diterima secara luas sekarang ini berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS). Pasien dengan pukulan pada kepala dan skor GCS 13 sampai 15,
tanpa memperhatikan tanda klinis lain, diklasifikasikan sebagai cedera kepala
ringan ( Teasdale dan Jennet, 1974; Hsiang, et al.,1997). Sadowski, et al (2006)
mendefinisikan cedera kepala dengan GCS 14 dan 15, hal ini sama dengan
pendapat Servadei et al (2001) yang mendefinisikan cedera kepala dengan GCS
14-15, dimana pasien dengan GCS 13 tidak dimasukkan kedalam kelompok
cedera kepala ringan karena risiko terjadinya lesi intracranial sama dengan pasien
dengan cedera kepala sedang. Pada penelitian ini, penulis memakai definisi
terakhir. Dengan menggunakan kriteria CKR (GCS 14-15) di atas maka beberapa
penderita CKR mengalami skuele neurologic. Rimel, et al (1981) melaporkan
bahwa 79% pasiennya memiliki nyeri kepala menetap, 59% memiliki gangguan
ingatan, dan 34% pasien tidak mampu kembali bekerja 3 bulan setelah mengalami
cedera kepala ringan (Hsiang, et al.,1997).
10
Makin rendah GCS penderita CKR makin tinggi insiden CT scan
abnormal dan perlunya tindakan operasi (Borczuk, et al., 1994; Hsiang,
et al.,1997; Turedi, et al., 2008). Secara keseluruhan insiden CT abnormal sangat
bervariasi dari beberapa peneliti. Borczuk (1995) melaporkan 8,2% CT scan
abnormal dan 0,76% memerlukan tindakan operasi. Golden et al(2013)
melaporkan insiden CT abnormal 13,2% dan perlunya tindakan operasi 3,6%.
Hsiang et al (1997) melaporkan insiden CT scan anbormal 17% dan perlunya
tindakan operasi 3,2%. Shackford et al (1992) melaporkan 15% abnormal CT scan
dan 3,9% perlunya tindakan operasi.
Mengingat heterogenitas penderita CKR baik dari risiko terjadinya
abnormalitas pada CT scan, perlunya tindakan operasi dan outcome, maka banyak
penulis membuat klasifikasi yang pada umumnya berdasarkan dari tiga faktor di
atas (William, et al.,1990; Cullota, et al.,1996; Hsiang, et al.,1997; Turedi,
et al.,2008). Hsiang, et al (1997) membedakan CKR menjadi CKR dan CKR
dengan risiko tinggi berdasarkan perlu tindakan operasi dan outcome. Yang
termasuk dalam CKR risiko tinggi adalah penderita CKR dengan GCS 13 atau 14,
atau GCS 15 dengan abnormalitas radiografik akut, sedang yang termasuk dalam
CKR tanpa risiko adalah penderita CKR tanpa kelainan radiologi akut. Yang
dimaksudkan temuan radiografik abnormal pada penelitian ini adalah fraktur pada
tulang tengkorak termasuk fraktur depresi, hematoma intrakranial atau kontusio
dan perdarahan subarachnoid traumatik. Willliams, et al.,(1990) membagi CKR
menjadi CKR dengan komplikasi dan CKR tanpa komplikasi. Yang termasuk
dalam CKR tanpa komplikasi adalah CKR dengan GCS awal 13,14 dan 15, CT
11
scan normal, foto kepala normal atau abnormal sebatas fraktur linear atau fraktur
basis kranii. Sedangkan penderita CKR dengan komplikasi adalah GCS 13-15 dan
ada fokal lesi otak, fraktur depresi atau keduanya. Penilaian outcome 6 bulan
menunjukkan bahwa CKR dengan komplikasi memiliki sekuele neurologik lebih
berat dibanding dengan CKR tanpa komplikasi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan adanya heterogenitas patofisiologi penderita dengan rentang GCS
13 sampai 15 (Williams et al.,1990).
Cullota, et al (1996) meneliti setiap GCS yaitu 13, 14 dan 15 penderita
CKR terhadap derajat kerusakan otak dan kemungkinan perlunya tindakan
operasi. Hasilnya sangat jelas menunjukkan bahwa derajat kerusakan otak dan
kemungkinan perlunya tindakan operasi secara signifikan meningkat dengan
turunnya GCS dari 15 sampai 13. Lee, et al (2009) membagi lagi CKR lebih detail
lagi menjadi 4 kelompok. Pengelompokan tersebut berdasarkan faktor risiko
seperti LOC, umur, GCS score, fraktur skull untuk terjadinya lesi intrakranial.
Kelompok CKR dengan risiko sangat rendah yaitu GCS 15 tanpa riwayat LOC
atau nyeri kepala, risiko rendah GCS 15 dengan LOC dan/atau nyeri kepala, risiko
sedang GCS 15 dengan fraktur skull, defisit neurologik, atau dengan satu atau
lebih faktor risiko, risiko tinggi yaitu GCS 15 dengan CT scan abnormal dan GCS
14 dan 13. Sekali lagi hasil dari kedua penelitian ini mengindikasikan bahwa
adanya heterogenitas patofisiologi pada penderita dengan GCS score antara 13-15,
dan ini mengisaratkan bahwa definisi CKR yang hanya dilihat berdasarkan GCS
tidak tepat.
12
CT scan merupakan diagnostik standar pada pasien dengan cedera kepala.
Dimana CT scan ini sangat membantu untuk menentukan derajat cedera
intracranial, terapi, memperediksi outcome, dan apabila hasil CT scan normal,
mencegah perawatan di rumah sakit yang sia-sia (Yassir, S., 2010). Indikasi untuk
CT scan pada penderita CKR dari berbagai studi menggunakan berbagai kriteria
klinis ( Duus, et al.,1993; Miller, et al., 1997; Haydel, et al.,2000; Saadat, et al.,
2009; Golden, et al., 2013). Dan tindakan CT scan ini adalah untuk mendeteksi
sedini mungkin adanya lesi intrakranial. Deteksi dini ini berkaitan dengan tujuan
dari penanganan penderita CKR adalah deteksi dini kelainan intrakranial diikuti
dengan tindakan operasi bila indikasi untuk menekan morbiditas dan mortalitas
(Ibanez, et al., 2004). Faktor-faktor klinis yang merupakan faktor risiko juga
sangat variatif dari berbagai penulis ( Duus, et al., 1993; Miller, et al., 1996;
Gomez, et al.,1996; Turedi, et al., 2008; Saadat, et al., 2009; Golden, et al.,
2013). Namun yang sudah disepakati adalah GCS 13 dan 14 indikasi mutlak
untuk dilakukan CT scan (Cullota, et al.,1996). Hal ini berkaitan dengan besarnya
peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut pada GCS 13 dan 14. Oleh karena itu
beberapa peneliti memasukkan GCS 13 dan 14 sebagai CKR dengan risiko tinggi
(Hsiang et al., 1997). Sedangkan indikasi CT scan pada GCS 15 masih
kontroversi. Kontroversi ini disebabkan oleh karena adanya keinginan untuk
mendeteksi semua lesi intrakranial pada CKR dan keinginan memotong biaya
pengobatan. Untuk mengurangi cost/biaya rumah sakit (Haydel, et al., 2000;
Miller, et al., 1997). Beberapa peneliti membuat indikasi CT scan pada GCS 15
13
berdasarkan faktor risiko penyerta (Miller, et al., 1997; Haydel, et al., 2000; Stiell,
et al., 2001; Smiths, et al., 2007; Golden, et al., 2013).
Selain GCS 13 dan 14 yang sudah disepakati untuk indikasi CT scan pada
CKR, fraktur skull juga telah disepakati untuk indikasi CT scan, karena ini secara
signifikan meningkatkan kejadian lesi intrakranial (Mendelow, et al., 1983;
Dacey, et al., 1986; Servadei, et al., 1988; Chan, et al., 1990; Shackford, 1992;
Cullota, et al.,1996; Gomez, et al., 1996; Stiell, et al., 2001; Ibanez, et al., 2004;
Tamara, et al., 2005; Turedi, et al, 2008; Golden, et al.,2013). Adanya fraktur
mengindikasikan adanya trauma yang kuat untuk menimbulkan kerusakan
intrakranial (Servadei, et al., 1988; Chan, et al.,1990 ). Oleh karena itu CKR
dengan fraktur skull dimasukkan CKR dengan risiko tinggi tanpa melihat GCS.
Suatu hal yang perlu dipertimbangkan bila mengajukan CT scan pada
penderita CKR apakah kita mencari suatu model untuk mendeteksi semua
pendertita cedera kepala dengan lesi intrakranial atau apakah hanya mendeteksi
mereka secara klinis, lesi tersebut penting/serius (Ibanez, et al., 2004 ). Aspek
medikolegal dan fakta bahwa risiko deteriorasi dan outcomeneurobehavior/prilaku
tidak sama pada penderita dengan hasil CT scan positif dengan hasil CT scan
negatif mendukung untuk mengidentikasikan semua penderita dengan lesi akut
intrakaranial (Ibanez, et al.,2004)
Selain kedua faktor di atas yang mempunyai peranan untuk terjadinya lesi
intrakranial akut, berbagai penulis mengajukan berbagai presentasi klinis yang
dianggap sebagai faktor risiko lesi intrakranial akut, seperti LOC, cephalgia berat,
jejas, amnesia, umur dan masih banyak lagi (Saadat, et al.,2009). Hasil dari
14
berbagai penelitian tentang faktor risiko sangat bervariasiatau adanya perbedaan
temuan faktor risiko diantara para penulis.
Fokus dari penanganan CKR adalah deteksi dini lesi intrakranial dan
diikuti dengan tindakan operasi untuk live saving (Chan, et al., 1990; Stiell, et
al.,2001). GCS tidak sepenuhnya dapat mencerminkan patologi akut pada
penderita CKR, walaupun beberapa laporan dari penulis membuktikan bahwa
makin rendah GCS makin besar peluang untuk terjadi lesi intrakranial akut dan
makin buruknya outcome (Ibanez, et al.,2004; Saadat, et al.,2009). Turedi et al
(2008), melaporkan insiden CT abnormal 6% pada CKR risiko rendah yaitu
penderita dengan GCS 15 tanpa faktor risiko, sedangkan Golden, et al (2013)
melaporkan insiden CT scan abnormal 13,8% dan 3,6% perlu tindakan operasi
pada penderita CKR dengan GCS 15 tanpa melihat ada atau tidaknya faktor risiko.
Walaupun dengan insiden kecil, penderita dengan GCS 15 bisa mengalami
deteriorasi akut dengan perdarahan luas, bahkan tidak jarang diikuti dengan
kematian (Marshall, et al.,1983; Chan, et al.,1990). Penderita “who talk and
deteriorated” menjadi isu menarik di UGD, oleh karena berkaitan dengan aspek
medic dan hukum (Marshall, et al.,1983). Menggabungkan penderita dengan GCS
13 sampai 15 dalam satu kelompok mungkin akan menyesatkan, karena mereka
memiliki insiden yang berbeda untuk timbul komplikasi, perlu tindakan operasi
dan outcome (Gomez, et al., 1996).
Dari kajian di atas, permasalahan utama pada CKR adalah deteksi dini lesi
akut yang tidak semuanya bisa diungkapkan bila penggunaan CT scan dibatasi. Di
sisi lain adanya lesi intrakranial akut mencerminkan seriusnya cedera yang
15
memegang peran perlunya tindakan operasi dan outcome (Gomez, et al., 1996;
Stiell, et al., 2001). Gomez, et al (1996) merekomendasikan mereka yang
termasuk CKR hanya penderita dengan GCS 15 tanpa CT scan abnormal. Fabbri,
et al (2004) melaporkan penderita CKR risiko tinggi dengan CT scan negatif
(normal) aman untuk di pulangkan. Dacey, et al (1986) melaporkan insiden 3%
penderita CKR bahkan dengan tingkat kesadaran normal memerlukan tindakan
operasi. Penelitian ini menunjukan peran sentral adanya CT abnormal dalam
penanganan penderita CKR khususnya dalam obeservasi atau keputusan untuk
memulangkan pasien. Memang telah dibuktikan bahwa makin rendah GCS makin
besar peluang untuk terjadi CT scan abnormal pada penderita CKR, dan ini
berkaitan erat dengan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome. Bila kita
simak maka sebetulnya perhatian kita adalah adanya CT abnormal. Dan adanya
lesi tidak selalu dapat direpresentasikan dari GCS. Walaupun penderita dengan
GCS 13 mempunyai peluang terjadinya abnormal CT scan lebih tinggi dari GCS
15, tetapi ada beberapa kasus yang dengan GCS 13 yang tidak memiliki kelainan
pada hasil CT scan. Kalau kita melihat bahwa adanya CT scan abnormal
menceminkan seriusnya injury maka penderita dengan GCS 15 dengan lesi
intrakranial mempunyai injury lebih serius dari pada GCS 13 atau 14 tanpa CT
abnormal demikian pula sebaliknya. Dengan mengganggap adanya CT abnormal
sebagai cedera serius, maka dalam observasi penderita CKR di ruangan akan lebih
fokus pada CKR dengan fokal lesi walaupun GCS 15.
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat bahwa walaupun GCS rendah,
bila tidak ada CT scan abnormal, maka perlunya tindakan operasi dan outcome
16
tidak akan berbeda dengan GCS yang lebih tinggi. Penelitian yang akan dilakukan
ingin mengungkap bahwa, perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome
tidak dapat ditentukan oleh GCS saja, perlu juga melihat adanya CT scan
abnormal. Dengan kata lain peran CT scan pada semua penderita CKR sangat
penting dalam menentukan perlunya tindakan operasi dan penentuan outcome.
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan kontribusi peran CT scan pada CKR
dalam menentukan outcome dan perlunya tindakan operasi.