bab ii graphic novel

Upload: himadoang

Post on 16-Jul-2015

96 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II LANDASAN TEORI GRAPHIC NOVEL DAN KOMIK

II.1

Graphic Novel

II.1.1 Perkembangan sejarah Graphic Novel Sekitar tahun 1964, Richard Kyle, seorang kritikus komik dan majalah di Amerika menyatakan pendapatnya tentang graphic novel. Kyle merupakan salah satu yang mengkoleksi dan meneliti komik Eropa dan Manga Jepang saat itu. Ia membandingkannya dengan pamflet komik bulanan yang dicetak pada kertas murah terbitan Amerika. Melalui penelitian kecilnya, Kyle mempunyai fakta tentang medium untuk komik yang memiliki potensial besar jika dikembangkan. Ia pun memiliki ide untuk mengembangkannya menjadi graphic story, kemudian berevolusi menjadi graphic novel untuk membangkitkan komikus Amerika dan pembaca setia komik sehingga memiliki visi yang sama dengan yang ia ciptakan. Hingga pada November 1964, Richard Kyle menyatakan dan mendefinisikan graphic novel sebagai komik yang memiliki format panjang, dilihat dari jumlah halamannya di Amateur Press Assosiation. Di Amerika dan dunia internasional, proses mengembangkan format graphic novel terbilang lama dan lambat. Pada tahun 1969, novelis dan kartunis John Updike datang ke Inggris dan mendatangi Bristol Literary Society dan memaparkan tentang kematian karya sastra novel. Ia pun berspekulasi dan menyatakan mengapa tidak ada seniman yang mau mengangkat karya sastra dan menciptakan komik strip novel. Beberapa telah mencoba mengapresiasi pendapatnya, namun banyak juga kritikan sosial yang datang. Komik dalam format buku sebenarnya sudah ada setidaknya dua dekade belakangan ini. Mengingat kesuksesan gaya 1930an dengan format narasi bergambar dengan jumlah teks yang sedikit dipicu oleh Lynd Ward dengan karyanya Gods Man pada tahun 1929. Kemudian berkembang hingga lahir Maus, Watchman, dan Dark Night Returns pada pertengahan 1980an. Jika melihat sejarah kembali, beberapa pionir graphic novel pada abad ke 19 mungkin tidak pernah melihat hasil print out tanpa pengakuan Goethe, seorang sastrawan Jerman. Satu atau dua tahun sebelum kematiannya pada 1832, Goethe memperlihatkan buku komik strip yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya, yaitu karya Rodolphe Tpffer, seorang guru dari Geneva,

Swiss. Goethe menyebutnya sebagai histoires en estampes atau cerita yang disampaikan dengan cara di print. Ia sangat mengapresiasi karya Tpffer dengan baik, dan menganggap bahwa karya tersebut merupakan penemuan yang baik sebagai bukti kemajuan teknologi printing pada zamannya. Walaupun karyanya dipuji, Tpffer tetap berhati-hati dan takut akan menodai kehormatannya jika bukunya terpublikasi, karena saat itu ia baru ditunjuk sebagai profesor. Akhirnya ia pun menahan bukunya kembali, hingga pada tahun 1832, ia berani untuk mempublikasikan karyanya Monsieur Jabot, namun hanya kepada teman-temannya saja dan menunggu hingga 1834 sebelum akhirnya mendirikan toko buku. Keadaan ekonomi mendorong Gustave Dor untuk meninggalkan graphic novel setelah karyanya History of Holy Russia gagal dipasaran. Akhirnya ia pun beralih dan memproduksi ukiran pada tahun 1854. Kehilangan kesempatan, mimpi yang tidak terlaksana, kemungkinan yang gagal menghambat perkembangan graphic novel dan pendahulunya. Di Hicksville, New Zealand, kartunis Dylan Horrocks membayangkan sebuah perpustakaan yang terdiri dari karya-karya masterpiece komik strip novel yang selama ini tidak dipublikasikan dan terabaikan, yang Goethe dan Updike telah prediksikan sebelumnya. Diantara itu, seorang pustakawan mengeluarkan 48 halaman komik yang telah dibuat oleh Picasso dengan Lorca. Kebanyakan bentuknya merupakan lukisan. Ketika Will Eisner meninggalkan pekerjaannya dalam membuat komik bulanan dan komik strip Amerika yang tidak berujung, ia telah membuktikan pada rekannya bahwa karyanya memang patut diacungi jempol melalui karyanya A Contract With God pada tahun 1978. Melalui pengalamannya, Eisner yakin bahwa kreator mampu menghasilkan yang bagus, kadang-kadang luar biasa walaupun di bawah tekanan. Dia menyadari selalu ada rasa takut untuk keluar dari jalur aman, tapi Eisner selalu mendorong dirinya sendiri untuk menjadi inspirasi bagi rekanrekannya. Eisner meninggal pada tahun 2005. Tapi ia telah berjasa memunculkan kembali graphic novel pada abad ke 20 ini. ( Paul Gravett 2005:.8-9 ) II.1.2 Terminologi istilah Graphic Novel Istilah graphic novel mulai banyak digunakan ketika Will Eisner mengkristalkan konsepnya melalui A Contract with God. Banyak kritikus dan komikus yang mengapresiasi konsepnya tersebut. Penggunaan istilah graphic novel masih diperdebatkan hingga kini karena berkaitan

dengan format yang mengadaptasi komik hanya saja konten ceritanya lebih berat. Penggunaan istilah graphic novel didasari oleh idealisme si pengarang. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa dengan menggunakan istilah graphic novel, level karyanya akan terdengar lebih atas dibanding komik. Dalam wawancaranya dengan Intelligent Life, Art Spiegelman mengatakan, Im called the father of the modern graphic novel. If thats true, I want a blood test. Graphic novel sounds more respectable, but I prefer comics because it credits the medium. [Comics] is a dumb word, but thats what they are. ( Saya disebut sebagai Bapak Graphic Novel modern. Jika benar, saya ingin melakukan uji darah. Graphic Novel terdengar lebih terhormat, tapi saya lebih suka menggunakan istilah komik karena mediumnya. Komik merupakan kata yang bodoh, tapi itulah mereka ). ( Freedman, 2011:2-3 ). Spiegelman memiliki pendapatnya sendiri mengenai graphic novel. Melalui karyanya Maus vol I dan II, ia dianggap sebagai bapak graphic novel modern. Namun Spiegelman lebih suka menggunakan istilah komik sebagai medium pada karyanya. Pilihannya pada format komik menempatkan Spiegelman pada hubungan dengan komik tradisional dan menekankan sejarah komik pada karyanya. Baginya, dengan bersikeras tetap menggunakan afiliasi format dengan komik Koran dan underground comix, membawanya ke dalam kesuksesan. Bagi Will Eisner, yang mengkristalkan format graphic novel, merupakan cara menegaskan komik ke dalam cakupan narasi dan ambisi sebagai salah satu karya literatur. Hillary Chute dan Marianne DeKoven lebih memilih istilah graphic narrative untuk format seperti ini. Menurut mereka graphic narrative merupakan cara yang mengadaptasi buku non fiksi ke dalam format gaya bercerita komik. Spiegelman dan McCloud lebih suka menggunakan istilah komik yang merujuk pada media. Sedangkan penggunaan graphic narrative dan graphic novel merujuk pada format dan genre.

Sebagai definisi graphic novel. Eddie Campbell, pengarang dari Alec dan kreator From Hell, memiliki manifesto sendiri terhadap istilah tersebut. Ia menyatakan bahwa graphic novel menandakan sebuah pergerakan dibandingkan sekedar format. Karenanya tidak ada yang bisa diperoleh jika didefinisikan. Campbell mengatakan bahwa goal dari pergerakan itu adalah mengambil format komik yang merupakan sesuatu yang memalukan dan menaikan levelnya

sehingga terlihat lebih ambisius dan bermakna. Jika diibaratkan seperti menempa aturan yang ada dan tidak akan menjadi budak pada aturan lama yang sewenang-wenang. 2005:8-9 ) Apa yang dikatakan Campbell, sejalan dengan visi Will Eisner ketika ia menciptakan A Contract With God. Ia tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai penemu format graphic novel, tapi saat itu ia sedang merubah arah komik sehingga bisa diterima kalangan dewasa. Sehingga Eisner hanya mengadaptasi konten cerita yang lebih berat dan realistis ke dalam format komik. ( Paul Gravett,

Definisi graphic novel jika dilihat pada kamus bahasa Inggris Oxford adalah narasi yang disampaikan kepada pembacanya melalui gambar sekuen dalam format komik pada umumnya. Stephen Weiner dalam bukunya Will Eisner Companion mendefinisikan istilah graphic novel. Menurutnya, graphic novel merupakan book-length comic books that are meant to be read as one story atau komik setebal buku yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai satu cerita utuh. Ia lebih menekankan pada format dan ukuran yang tidak pasti, sehingga disebut dengan setebal buku. Sama halnya juga dengan Richard Kyle yang mendefinisikan graphic novel sebagai a long form comic book atau komik format panjang. Setiap kreator memiliki definisinya masing-masing tentang istilah Graphic Novel. Mereka memiliki idealisme tersendiri dalam mengkategorikan karyanya.

II.1.3 Format Graphic Novel Graphic novel kebanyakan mengadaptasi format komik. beberapa mengindikasikan sebuah perpaduan antara komik dan picture novel dalam penuturan cerita. Sehingga pada pembukaan cerita yang biasanya dimulai dengan menceritakan setting baik waktu dan tempat, penuturannya seperti picture novel. Tidak ada balon percakapan. Yang ada hanya penceritaan si tokoh dari sudut pandang ketiga melalui narasi yang cukup panjang. Kemudian memasuki percakapan, balon-balon tersebut mulai muncul dan menampilkan cerita dalam sudut pandang orang pertama. Ada juga memutar balikan tekniknya. Sehingga pembaca diajak untuk berkomunikasi. Permainan ini menjadikan graphic novel agak berbeda dengan komik. ( Eisner, 1985:141 )

Gambar 2.1 Cuplikan graphic novel A Contract with God karya Will Eisner

Banyak juga yang mengadaptasi komik secara utuh, seperti halnya Maus I dan II, Epileptic, Persepolis, dan sebagainya. Namun untuk graphic novel Jimmy Corrigan The Smartest Kid on Earth memiliki format yang agak berbeda walaupun sama-sama mengadaptasi komik. hal ini dilihat dari pembagian panel dan ukuran artboard.

Gambar 2.2 Cuplikan graphic novel Jimm Corrigan, The Smartest Kid on Earth

Ukuran artboard terlihat lebih kotak dibanding format komik yang biasanya setara dengan ukuran A4. Pembagian panel sangat mirip dengan komik. namun sekuennya bisa lebih banyak digambarkan. Komik memang merupakan medium yang efektif dan dinamis dalam menyampaikan cerita dalam sekuen. Format komik menampilkan montase antara verbal dan image. Dan pembaca diharuskan untuk mempelajari cara penuturan komik melalui kombinasi tersebut. sehingga dalam komik ada istilah user experience juga. Perbedaan ukuran panel menampilkan perbedaan setting baik waktu maupun tempat. Will Eisner dalam bukunya Comic and Sequential Art, menyatakan bahwa secara sejarah, komik merupakan penggambaran dari narasi pendek atau episode dengan durasi yang intens.. Sehingga pembaca bisa mendapatkan pengalaman visual. Pada tahun 1940an dan awal 1960an, industri komik di Amerika saat itu, megkategorikan pembaca komik sebagai anak kecil berumur 10 tahun dari Iowa. Sehingga jika ada orang dewasa yang membaca komik mengindikasikan kecerdasan yang rendah. Penerbit tidak ada yang berinisiatif untuk merubah image komik saat itu. Hingga Eisner berinisiatif merubah arah komik dengan target audiens yang merupakan kalangan dewasa.. Masa depan graphic novel terletak pada pemilihan tema yang bermanfaat dengan kata lain berbobot dan inovasi dari teknik penceritaannya. Penerbit hanya sekedar katalis, tidak ada yang bisa diharapkan pada mereka. Semua ini tergantung dari kreator. Will Eisner menambahkan bahwa gaya, presentasi, pembagian space, teknologi printing dan reproduksi, balon dan panel merupakan alat dan masih menjadi lahan untuk diolah dan dikembangkan. Sehingga semakin bisa diterima dan relevan untuk kalangan audiens manapun. Dalam hal ini graphic novel dibuat untuk kalangan dewasa. Hingga kini perkembangan graphic novel sangat signifikan. Tetap mengadaptasi format komik sebagai medium dalam menyampaikan narasi. Dalam sebuah artikel di Time baik online maupun cetak, format graphic novel yang mengadaptasi format komik dianggap sesuatu yang memalukan. Karena banyak yang berpendapat bahwa dengan konten cerita yang begitu dalam mengapa harus dituangkan ke dalam format komik. Namun dalam wawancaranya, Will Eisner memang ingin merubah arah komik. bukan ingin membuat medium baru untuk idenya tersebut. Format komik lah yang akhirnya mengakibatkan perdebatan mengenai penamaan istilah graphic novel. Konsep graphic novel yang diciptakan oleh Will Eisner menjadi milestone format graphic

novel hingga kini. Dan A Contract With God tetap menjadi konsep graphic novel yang terbaik. ( Paul Gravett, 2005: 38 ).

Gambar 2.3 Maus I dan From Hell sama sama mengadaptasi format komik ke dalam karyanya. Yang menjadikan satu dan yang lainnya berbeda secara format adalah pembagian panel dan gaya pengambilan angle.

II.1.4 Konten cerita dalam Graphic Novel Dalam buku Graphic Novels; Everything You Need to Know, Paul Gravett banyak menuturkan tentang genre dalam graphic novel. Awal mula graphic novel muncul memang dengan tema cerita yang berbeda dari komik pada umumnya. Jika komik lebih menampilkan hiburan dan fantasi, maka pendekatan graphic novel lebih kepada realitas kehidupan orang-orang dewasa karena target audiensnya memang kalangan dewasa. Buku, lukisan, film, permainan dan musik bisa mengubah hidup seseorang dan memberikan pandangan yang berbeda tentang realita manusia. Hal inilah yang menjadi dasar graphic novel diciptakan. Mungkin salah satu cerita tersebut bisa merubah pola pikir pembaca. Secara psikologis, semakin dewasa seseorang, pikirannya akan semakin realistis. Tidak akan berfokus lagi terhadap sesuatu di luar akal manusia. Hal ini diakibatkan oleh pengalaman dalam hidup.

Tema graphic novel bisa dimulai dari masa anak-anak yang bahagia atau kenangan yang menyakitkan hingga horor dan percintaan. Menghubungkan dengan pembaca adalah kerja keras dari graphic novelist. Bagaimana menghubungkan kehidupan pribadi menjadi universal dan inklusif. Ketika mereka memeriksa kembali transisi kehidupan yang menyakitkan melalui masa anak-anak dan pubertas, pembaca bisa mengenali dan berempati dengan menghubungkan pengalaman hidupnya. Art Spiegelman, pengarang dari Maus menjelaskan bahwa kartunis sebenarnya berharap untuk tetap menyimpan jiwa dan sejarah pribadinya atau setidaknya menghaluskan dan menyamarkannya menjadi hiburan yang menyenangkan. Binky Brown dan Maus telah menginspirasi banyak kartunis untuk berurusan dengan pengalamannya dan dampaknya sekarang. Seperti David B, Al Davidson, atau Chester Brown telah menempatkan mereka menjadi pusat perhatian di panel-panel karya mereka. Banyak juga graphic novel yang tidak berasal dari kehidupan pribadi pengarangnya, namun menjadi otentik dan berpengaruh karena melalui observasi, penelitian, dan kemampuan dalam bercerita. Graphic novel tidak hanya bercerita tentang sebuah kehidupan, tapi juga membahas mengenai sejarah, politik dan isu sosial. Di Tehran, Marjane Satrapi ketika masih belia hidup di bawah revolusi Islam. Pada malam ketika perang Iran dan Iraq bergejolak, pamannya Anoosh ditangkap oleh mata-mata Rusia. Pamannya meminta Marjane sebagai pengunjung terakhirnya sebelum ia dieksekusi dan menitipkan pesan kepadanya untuk selalu mengingat sejarah keluarganya. Bertahun-tahun kemudian di Paris dan terinspirasi oleh Maus, Marjane Satrapi akhirnya memenuhi janjinya kepada pamannya dan menuangkan sejarah keluarganya di Persepolis. Medium komik terlihat sangat sesuai untuk menumpahkan cahaya ke dalam bayangan perang dan mengekspos sisi kemanusiaan.

Gambar 2.4 Persepolis dan Alias Mission bercerita tentang pengalaman pribadi mereka dan dituangkan kedalam graphic novel. Persepolis bercerita tentang sejarah keluarga Marjane Satrapi dan Allias Mission bercerita tentang staf perpustakaan Iraq yang berjuang untuk menyelamatkan buku-buku.

Tidak hanya berkisah tentang realita kehidupan, graphic novel juga bercerita tentang kisah superhero. Namun ceritanya tidak kekanak-kanakan. Dalam tema ini, superhero tersebut dipoles sedemikian rupa sehingga lebih memunculkan sisi kemanusiaannya. DC Comics mengeluarkan graphic novel, Batman: The Dark Knight Returns pada 1986 dan Watchmen pada 1987. Dalam karyanya itu, DC Comics menjamin bahwa kreatornya yang sudah diakui kemampuannnya itu mampu memanfaatkan kesempatan yang jarang untuk meneliti akan seperti apa jika superheroes berubah dan terjebak dalam kurun waktu tertentu. Pada sampul depan Watchmen, Alan Moore dan Dave Gibbons telah menyatakan tentang kematian salah satu tokohnya The Comedian yang terjatuh dari apartemennya dengan noda darah pada pin kuning bergambar smiley. Kemudian ceritanya lebih menekankan pada polemik dan masalah diantara superheroes itu dan menguak sisi gelap mereka dengan bumbu politik. Sehingga cerita superheroes ini tidak sekedar bertarung secara fisik, namun secara mental. Tema science fiction, horor, dan kriminal pun diangkat menjadi tema graphic novel. Dengan menampilkan adegan kekerasan dan ceceran darah mampu meningkatkan ketegangan si pembaca. Ketika genre lain digambarkan hitam putih, graphic novel dengan genre criminal dengan berani menampilkannya dalam spectrum berwarna. Perbedaan dengan komik yang bertemakan sama tentunya dalam hal konten cerita. Jika dalam komik menemukan banyak ledakan dengan efek-efek didramatisir, maka lain hal dengan graphic novel yang lebih

memunculkan masalah atau konflik yang terjadi pada si tokoh. Baik itu permainan politik, filsafat, hukum, dan isu sosial, bahkan sex. II.1.5 Karakter dan Gaya Visual pada Graphic Novel Tujuan desain karakter dalam graphic novel adalah penyampaian cerita atau storytelling bukan pada menciptakan image. Ada pendekatan estetik dalam melihat karakter desain sebagai objek visual. Tapi hal ini tidak harus diperhatikan oleh graphic novelist pada saat proses kreatif.. Karakter tersebut tidak harus digambarkan berates-ratus bahkan beribu-ribu kali dan kadangkala tidak digambarkan dengan konsisten. Kompleksitas dan perbedaan tidak terlalu diperlukan. Hal ini hanya akan mengakibatkan kerumitan dan mengganggu jalannya cerita. Karena menekankan pada buku, maka karakter bisa memiliki lebih dari satu level atau aspek detail. (Withrow, 2007: 9) Pada kolaborasi penulis dan kreator, biasanya karakter digambarkan berdasarkan konsep dan teks dari penulis. Contohnya adalah karakter pada Sandman ( DC Comics/ Vertigo, 1988-1996) yang dihidupkan oleh penulis Neil Gaiman melalui deskripsi, dialog, dan alur cerita yang dibuatnya. Desain karakter digambarkan berdasarkan peran tokoh pada cerita. Dengan mengangkat tematema yang telah disebutkan pada konten cerita, karakter pada graphic novel ada yang digambarkan dengan visualisasi yang sempurna ada juga yang tidak. Tergantung konteks cerita yang ingin disampaikan. Tapi kebanyakan karakter graphic novel digambarkan dengan pendekatan realis. Karena tidak mungkin jika cerita V for Vendetta digambarkan secara dinamis dengan warna terang seperti Asterix Obelix. Karakter desain juga yang akhirnya berpengaruh pada gesture, ekspresi, dan postur.

Gambar 2.5 Karakter seorang tokoh bernama Frimme Hersh dalam A Contract With God digambarkan sebagai orang yang tidak taat lagi kepada Tuhan karena anak angkatnya meninggal. Ia pun mengingkari kontraknya dengan Tuhan. Gestur dan ekspresi wajah digambarkan dengan baik oleh Will Eisner.

Uniknya gaya visual graphic novel ada juga yang kartun. contohnya adalah The Wipeout dan The Frank Book. Penggunaan karakter desain yang mengambil bentuk dari binatang dan eksperimental menjadikan gaya visual yang kontemporer. Mungkin beberapa orang akan bertanya, apakah graphic novel yang bagus merupakan graphic novel yang serius?. Jika graphic novel tetap menanggung resiko dengan memperoleh reputasi yang berakhir dengan kematian, namun untungnya selalu penuh akan ide-ide baru yang otentik.

Gambar 2.6 Visualisasi dari graphic novel The Frank Book dan The Wipeout sangat berwarna dengan bentuk yang lucu, namun konten ceritanya masih di dalam jalur graphic novel dewasa.

Kebanyakan gaya visual dalam graphic novel memang realis, karena diakibatkan oleh konten ceritanya. Penggunaan gaya visual cenderung bebas dan tidak ada patokan khusus dalam

membuat graphic novel. Dengan cerita yang surealis, From Hell dapat menyampaikannya dengan tepat melalui gaya visual yang gelap dan serius. Gaya visual bisa menjadi bagian dari komunikasi. Sehingga pembaca mempunyai pengalaman tersendiri. Selain itu juga dapat memperkaya visual dan imajinasi. Gaya visual dari graphic novel memiliki pendekatan estetika. sehingga walaupun mengadaptasi komik, graphic novel memiliki ciri khasnya.

Gambar 2.7 Berbagai macam gaya visual pada graphic novel From Hell, Ghost World, dan Sandman

II.2

Komik

Komik merurut Scott McCloud merupakan juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence ( gambar-gambar yang disusun berdasarkan urutan tertentu yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca yang sengaja disusun secara sekuen ). Dalam buku Understanding Comics, Scott McCloud menjelaskan bahwa awal mula narasi berasal dari bahasa verbal. Ketika anak-anak, buku yang dibaca sarat dengan gambar, beralih ke usia remaja, intensitas gambar pada bacaan mulai dikurangi kemudian setelah dewasa, buku yang dibaca beralih menjadi buku teks. Awal mula sejarah manusia berkomunikasi dan mengabadikan kebudayaannya melalui lukisan di gua beribu-ribu tahun yang lalu. merepresentasikan sebuah kisah atau cerita tentang kehidupan mereka. Objek-objek pada lukisan merupakan sebuah simbol dan ikon yang mewakili kebudayaan mereka. Di mesir heliograph merupakan tulisan yang dibuat berdasarkan stilasi bentuk benda dan mahluk hidup di sekitar lingkungan. Sama halnya dengan tulisan Cina yang berasal dari sebuah gambar. Kemudian saat itu berkembang bidang tipografi dan teknologi cetak. Lukisan pun berkembang dari yang tadinya ikonik menjadi realis. Bertahun-tahun kemudian lukisan pun Lukisan tersebut

berkembang menjadi banyak aliran, seperti impresionisme, ekspresionisme hingga dadaisme, yang pada akhirnya kembali menjadi ikon. Pada abad ke 18, Rodolphe Tpffer menghadirkan komik strip pertama dan mengindikasikan sebagai gambar sekuen pertama. Visualisasi gambar yang dilakukan oleh Tpffer akhirnya banyak diikuti oleh seniman-seniman lainnya. Kemudian semenjak itu komik menjadi penghubung antara bahasa dan gambar. Hingga kini proses kreatif dalam pembuatan komik dan graphic novel selalu melibatkan kerja sama antara seniman dan pengarang. Bagi pengarang, penggambaran situasi, karakter dan setting digambarkan melalui kata-kata, sedangkan bagi seniman, hal tersebut menjadi bentuk visual. II.2.1 Memahami Format Komik berdasarkan buku Comics and Sequential Art karya Will Eisner Format komik merupakan montase antara verbal dan image dan pembaca diharuskan untuk mempelajari baik visual maupun verbal interpretive atau pemahaman teks pada komik. Unsur seni ( contohnya adalah perspektif, simetris, garis) dan unsur literatur (contohnya adalah tata bahasa, plot cerita, tata kalimat) saling bertumpukan. Membaca komik merupakan sebuah kegiatan yang menggabungkan antara aesthetic perception dan kekayaan intelektual. Kesimpulannya membaca merupakan proses psikologi yang dilibatkan dalam pemahaman mengenai teks dan gambar secara analog. Struktur seperti ini sama dengan ilustrasi dan prosa. Kata-kata dalam komik dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menghadirkan suasana, tiruan bunyi, dan sebagai jembatan cerita. Sehingga melalui visualisasi tipografinya, pembaca bisa merasakan emosi yang terkandung dalam cerita. Fungsinya tidak hanya sebagai uraian cerita namun bisa dibaca sebagai image atau gambar. Simbol dalam komik berasal dari pola keseharian masyarakat pada umumnya yang diaplikasikan kedalam kostum, background, kalimat dan interaksi (dengan simbol postur dan gestur karakter dalam komik) untuk mengkomunikasikan makna dan emosi. Komik bisa menjadi nyata karena di dalam ceritanya ada setting waktu yang digambarkan melalui panel-panelnya. Narasi visual yang sukses bisa dilihat dari kemampuan mengatur timing atau waktu. Hal ini merupakan dimensi pemahaman pembaca menyadari dan berempati terhadap kejutan, humor, horor, dan pengalaman hidup lainnya.

Gambar 2.8 Efek dramatisasi pada komik sehingga narasi lebih tercapai

Balon percakapan pada komik merupakan salah satu cara yang digunakan dalam menangkap dan menggambarkan elemen bunyi. Penyusunan balon dan relasinya terhadap elemen lainnya berkontribusi terhadap pengaturan waktu dalam cerita. Balon percakapan dibaca layaknya membaca teks pada umumnya yaitu dari kiri ke kanan dan atas ke bawah, namun hal ini berlaku di negara barat. Karakter garis pada balon juga bisa menyampaikan emosi dan karakter bunyi yang memperkuat narasi. Balon percakapan saling berkaitan juga dengan panel-panel pada komik. Jumlah dan ukuran panel berkontribusi terhadap ritme cerita dan alur waktu. Fungsi utama komik adalah untuk mengkomunikasikan ide dan cerita melalui teks dan gambar yang terdiri dari sekuen objeknya seperti orang maupun benda kedalam sebuah bidang yang disebut sebagai panel. Penyusunan berbagai elemen dalam komik dan relasinya dengan gambar lain secara sekuen merupakan grammar dalam membangun sebuah narasi. Dalam penyusunan panel-panel tersebut harus mempertimbangkan arah mata pembaca. Panel merupakan medium yang mengontrol perhatian pembaca dan mendikte sekuen-sekuen tersebut sehingga bisa diikuti pembaca. Hal ini mirip dengan proses kerja film. Border atau garis luar pada panel komik dapat menyampaikan narasi kepada pembaca, tidak hanya emosi, setting tempat dan waktu, namun hierarki dalam keterbacaan komik. Dalam membangun sebuah narasi, secara visual gambar sekuen tersebut menggunakan perspektif, hal ini merupakan salah satu cara kreator komik dalam -memanipulasi orientasi pembaca yang bertujuan menyesuaikan dengan rencana kreator dalam menyampaikan narasi. Contohnya adalah perspektif yang akurat sangat bermanfaat ketika pembaca tahu semua elemen drama memiliki relasi satu sama lain. bentuk panel dan penggunaan perspektif dapat memanipulasi agar pembaca dapat terlibat secara emosional.

Tubuh manusia, gaya bentuk dan penetapan emosi yang menghasilkan gestur dan postur tubuh yang ekspresif sudah terakumulasi dan tersimpan di memori. Sehingga membentuk kamus gestur non verbal. Tidak seperti frame pada komik, postur tubuh manusia bukan bagian dari teknologi komik. Mereka merupakan penemuan yang berasal dari observasi kreator. Dalam buku-buku modern hal ini lebih dikenal dengan istilah body language. Melalui bahasa tubuh, sebuah karakter dapat bercerita banyak hal. Melalui postur mereka kita bisa tahu apakah sedang dalam bahaya atau ingin menyampaikan cerita cinta.

Gambar 2.9 Ekspresi dapat mengkomunikasikan berbagai emosi

Wajah merupakan jendela pikiran. Melalui ekspresi, dapat mengkomunikasikan berbagai emosi. Ekspresi juga dapat menjadi indikasi sebuah postur dan gestur karakter. Selain itu wajah dapat memberikan arti lain bagi kata-kata yang terucap. Sehingga orang akan bisa memberikan penilaian, mempercayakan uangnya, membangun kerjasama politik, dan relasi emosi. Menulis komik merupakan proses menyempaikan konsep ide, penyusunan elemen gambar, konstruksi sekuen narasi, dan dialog. Selalu ada kerjasama antara penulis dan kreator komik. Penulis lah yang mengarahkan imajinasi kreator.