bab ii gender dalam keluarga; kerangka...

63
15 BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITIS Kedudukan Perempuan; Sebuah Konsep Awal Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kedudukan diterjemahkan sebagai tingkatan atau martabat, status (keadaan atau tingkatan orang atau lembaga) 1 . Kata kedudukan merupakan kata yang memilkiki multi makna. Bila disandingkan dengan perempuan, maka kedudukan dipahami sebagai martabat, kuasa, kontrol atas sumber daya yang penting, bebas dari kontrol orang lain, atau rasa hormat yang diberikan kepada perempuan. 2 Untuk mengembangkan konsep ini, Peggy Sanday mengusulkan agar konsep kedudukan dibedakan antara “derajat seorang perempuan yang dihormati di wilayah domestik dan publik, dan derajat seorang perempuan memegang kuasa dan kewenangan di wilayah domestik atau publik, artinya bahwa kedudukan seorang perempuan dalam sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh status seorang perempun memegang kendali di wilayah domestik, atau sejumlah hak ekonomi dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya dalam sebuah keluarga. 1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, balai Pustaka: 2008), 1330 2 John Lahade, Perempuan, Kuda dan Tenun; Kedudukan perempuan dalam keluarga dimasyarakat Wewena, Sumba, (Salatiga, Widya Sari: 2011), 50

Upload: lycong

Post on 13-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

15

BAB II

GENDER DALAM KELUARGA;

KERANGKA TEORITIS

Kedudukan Perempuan; Sebuah Konsep Awal

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kedudukan diterjemahkan sebagai

tingkatan atau martabat, status (keadaan atau tingkatan orang atau lembaga)1.

Kata kedudukan merupakan kata yang memilkiki multi makna. Bila disandingkan

dengan perempuan, maka kedudukan dipahami sebagai martabat, kuasa, kontrol

atas sumber daya yang penting, bebas dari kontrol orang lain, atau rasa hormat

yang diberikan kepada perempuan.2

Untuk mengembangkan konsep ini, Peggy Sanday mengusulkan agar

konsep kedudukan dibedakan antara “derajat seorang perempuan yang dihormati

di wilayah domestik dan publik, dan derajat seorang perempuan memegang kuasa

dan kewenangan di wilayah domestik atau publik, artinya bahwa kedudukan

seorang perempuan dalam sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh status seorang

perempun memegang kendali di wilayah domestik, atau sejumlah hak ekonomi

dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya dalam sebuah keluarga.

1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, balai Pustaka: 2008), 1330

2 John Lahade, Perempuan, Kuda dan Tenun; Kedudukan perempuan dalam keluarga

dimasyarakat Wewena, Sumba, (Salatiga, Widya Sari: 2011), 50

Page 2: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

16

Selain Sanday, Stoler juga mengajukan konsep yang mirip dengan Sanday,

dengan menggunakan istilah “otonomi perempuan” untuk menggunakan kuasa

ekonomi atas dirinya sendiri dibandingkan laki-laki serta kuasa sosial—kekuasaan

perempuan terhadap orang lain (secara perorangan atau sosial), di dalam atau di

luar rumah artinya kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat keputusan

dalam berbagai aktifitas, kemampuan mempengaruhi perilaku dan keputusan

anggota keluarga, dan kuasa untuk mengontrol diri sendiri. Kekuasaan ini

bersumber dari beberapa bentuk, yakni; harta, status sosial. Rogers

mengemukakan bahwa kedudukan perempuan hanya bisa dipahami dalam suatu

konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa

berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi

pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku

dalam masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideology, artinya kedudukan

perempuan tidak ditentukan hanya pada otonomi pribadi saja, melainkan juga oleh

faktor-faktor yang ada di luar dirinya (budaya).3

Teori Keluarga4 dari berbagai Pendekatan

1. Konsep Keluarga

3 Lahade, 51-53

4 Pada umumnya keluraga dan rumah tangga dipahami dan diartikan sebagai sebuah lembaga

atau institusi yang sama (bila merujuk pada bentuk keluarga inti atau nuclear family) namun

sebagian para ahli membedakan arti keduanya, keluarga berasaskan kekerabatan yang dikaitkan

dengan keturunan (umunya dipahami sebagai ikatan darah), dan berhubungan dengan symbol,

nilai dan makna, sementara rumah tangga berasaskan kedekatan geografis dan didefenisikan

sebagai satuan tempat tinggal yang berorientasi pada tugas dan dihubungkan dengan fungsional

ekonomi (produksi, konumsi, dan distribusi) dan unit domestik atau unit produksi biologi dan

sosial. Bdk. John Lahade, Perempuan kuda dan tenun; Kedudukan perempuan dalam keluarga

dimasyarakat wewewa, Sumba, (Salatiga, Widya Sari: 2011), 47-49; dan Eko A. Meinarno,

“Konsep dasar Keluarga” dalam Karlina Wati Silalahi dan Eko A. Meinarno, Keluarga Indonesia:

Aspek dan DInamika Zaman, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada: 2010), 4. Dalam penelitian ini

istilah tersebut digabung dalam sebuah konsep keluarga yang diterjemahkan dalam sebuah

fungsional keluarga. Karena itu istilah yang sering digunakan dan dibahas adalah istilah keluarga.

Page 3: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

17

Setiap manusia terlahir dari sebuah keluarga, karena itu setiap orang tidak

akan kesulitan memahami arti keluarga walaupun dalam bentuk konsep

sederhana. Secara umum manusia memahami bahwa keluarga adalah

sekelompok orang yang berteduh dalam sebuah rumah yang terdiri dari

laki-laki dewasa yang disebut ayah dan perempuan dewasa yang disebut

ibu dan memilki sebuah komitmen untuk hidup bersama, serta memiliki

anggota keluarga yakni anak. Konsep tersebut sangatlah sederhana dan

sarat dengan perdebatan sehingga para ahli memikirkan berbagai macam

konsep sesuai dengan pendekatan yang dilakukan.

Dalam perkembangan pengetahuan sekarang ini, keluarga bisa

diartikan sebagai nuclear5 (inti), atau institusi terkecil

6 dari suatu

kelompok sosial atau masyarakat yang di dalamnya terjadi banyak hal

misalnya; hubungan antara individu, hubungan otoritas, pola pengasuhan,

pembentukan karakter, sosialisasi nilai-nilai dll. Untuk memahami konsep

keluarga dengan spesifik, dan lengkap, maka para ilmuan terutama yang

kajianya sosiologi keluarga, mulai memahami keluarga sebagai objek

dengan pendekatan dan kerangka teoritis tertentu, misalnya; pendekatan

antropologis, pendekatan Fungsional structural, konflik sosial,

interaksionis, perkembangan, sosio psikologis, ekonomis7. Dalam

penelitian ini, penulis hanya menggunakan pendekatan antropologis,

fungsional strukturan dan konflik.

5 Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius:2001),7

6 Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam Karlina Wati Silalahi dan Eko A.

Meinarno, Keluarga Indonesia: Aspek dan DInamika Zaman, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada:

2010), 3 7 T.O. Ihromi, Bunga rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta, yayasan Obor:1999), 268-269

Page 4: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

18

2. Teori Keluarga; Pendekatan Antropologis

Murdock sebagai seorang antropolog mengartikan keluarga sebagai;

“Social group characterized bay common residence, economic

cooperation, and reproduction. I includes adults of both sexes, at

least of whom maintain a socially approved sexual relationship, and

one or mor children, own or adopted, of the sexually cohabiting

adults.”8

Dari pandangan tersebut, Murdock menjelaskan bahwa keluarga

merupakan kelompok sosial yang terdiri dari dua orang dewasa yang

memiliki jenis kelamin yang berbeda memiliki kesepakatan seksual serta

menjaga hubungan tersebut secara sosial dan memiliki satu atau lebih anak

kandung atau adopsi—selanjutnya Wilk dan Netting melengkapi konsep

ini dengan menambahkan kalimat “keluarga yang tinggal satu atap”9.

Defenisi lain diungkapkan oleh Gilgun (1992) Charton (2006)

mengungkapkan bahwa keluarga merupakan sekelompok orang yang

tinggal dalam satu rumah yang memiliki kedekatan fisik dan emosional

yang konsisten dan erat dan mengahasilkan satu atau lebih individu baru

dari generasi ke generasi. Konsep yang lebih luas diungkapkan oleh Bailon

dan Maglay mendefenisikan keluarga sebagai gabungan dari dua atau

lebih individu karena adanya hubungan darah, pernikahan dan adopsi

dalam satu rumah tangga dan membangun sebuah interaksi dan memiliki

peran masing-masing sesuai tradisi sosial dimana mereka hidup.10

Mattessih dan Hill mendefenisikan keluarga sebagai lembaga sosial

8 Di kutip oleh Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam, Karlinawati Silalahi (Ed.)

Keluarga Indonesia, 3 9 Meinarno, 3

10 Martono, Sosiologi perubahan Sosial; Perspektif klasik, modern, postmodern, dan

poskolonial, (Jakarta, PT. raja Grafindo Persada:2014),235-236

Page 5: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

19

terkecil dari sebuah kelompok sosial yang ada hubungan dengan

kekerabatan, tempat tinggal dan memiliki ikatan emosional yang dekat

serta adanya sikap saling ketergantungan, pemeliharaan hubungan,

kemampuan beradaptasi dengan perubahan dan mempertahankan identitas

dan kinerja tugas-tugas keluarga11

Beberapa catatan berkaitan dengan konsep di atas, mengingat

situasi hidup masyarakat diperkotaan yang cenderung untuk berpindah-

pindah (mendekatkan diri ditempat kerja) serta gaya hidup yang

kensomerisme sehingga orang berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan

(baik laki-laki maupun perempuan, maka sudah lumrah bila sepasang

suami istri atau seorang laki-laki dan perempuan yang telah mengikat janji

setia dalam sebuah janji pernikahan tidak akan hidup bersama dalam satu

rumah disaat-saat hari kerja, dan atau orang tua yang sibuk bekerja tidak

akan hidup seatap dengan anak-anak beberapa saat karena pekerjaan di

luar daerah, atau anak-anak yang sekolah/kuliah diluar daerah tidak bisa

hidup bersama dengan orang tuanya selama beberapa saat. Karena itu

penekanan Wilk dan Netting tentang keluarga yang hidup satu atap untuk

wilyah perkotaan perlu dirumuskan kembali. Bagian kedua adalah di

beberapa Negara sekarang ini telah mengakui pernikahan antara satu jenis

kelamin (laki-laki dengan laki-laki yang disebut Gay dan perempuan

dengan perempuan yang disebut lesby), secara konstitusi Negara dan

bahkan sebagian agama mengakui hubungan ini sebagai hubungan yang

sah dan dianggap sebagai sebuah keluarga.

11

Martono

Page 6: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

20

a. Bentuk-bentuk Keluarga

Frederic Le Play dalam bukunya L’organization De La Famillie

yang kemudian di kutip oleh Peter Burke membedakan tiga bentuk

keluarga, pertama, tipe patriakal yang juga sering disebut sebagai keluarga

patungan yaitu laki-laki yang telah menikah tetap tinggal serumah dengan

orang tua; kedua, bentuk tidak stabil yang sering disebut keluarga inti atau

konjugal, yaitu semua anak yang telah menikah pindah dari rumah; ketiga,

keluarga akar (Famille Sonche) yaitu hanya satu anak-laki-laki yang

menikah saja yang masih tinggal bersama orang tua.12

Bentuk keluarga ini

sangatlah dipahami, namun menurut Burke bahwa bentuk Le Play bisa

dipahami dalam urutan kronologis perubahan sosial dan menampilkan

sejarah keluarga besar Eropa yang semakin lama semakin mengecil, mulai

dari “klan” (dalam arti kelompok keluarga besar) pada abad pertengahan,

lalu menjadi keluarga akar pada permulaan zaman modern, dan akhirnya

menuju pada keluarga inti dimana hal ini merupakan karakteristik

masyarakat industri.13

Pandangan umum yang berkembang di sebagian besar masyarakat

modern, setidaknya ada dua bentuk keluarga yakni; keluarga inti atau

batih (nuclear family) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Bentuk

kelurga seperti ini biasanya mandiri dan mampu mengurus diri sendiri;

keluarga besar (extended family) yang terdiri dari suami, istri, anak-anak,

paman bibi serta kakek nenek14

. Memahami berbagai pola dan latar

12

Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta, Yayasan Obor:2015), 77-78 13

Peter Burke, 78 14

Meinarno, 4-5

Page 7: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

21

belakang budaya di berbagai belahan dunia, Goldenberg dan Goldenberg

merumuskan sembilan bentuk-betuk keluarga yakni;

“ keluarga inti (nuclear family), yaitu terdiri atas suamu, istri serta anak-

anak kandung; keluarga besar (extended family), yaitu keluarga yang

disamping terdiri atas suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak

saudara lainya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek,

mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar),

yang berasal dari pihak suami atau piha istri; keluarga campuran (blended

family), yaitu keluarga yang terdiri atas suami, istri, istri, anak-anak

kandung, serta anak-anak tiri; keluarga menurut hukum umum (common

low family), yaitu keluarga yang terdiri atas pria dan wanita ang tidak

terikat dalam pernikahan yang sah serta anaka-anak mereka yang tinggal

bersama; keluarga orang tua tunggal (single parent family), yaitu

keluarga yang terdri atas pria dan wanita, mungkin kaena bercerai,

berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak perah menikah, serta anak-

anak mereka tinggal bersama; keluarga hidup bersama (Comune family),

yatu keluarga yang terdiri atas pria, wanita dan anak-anak yang tingga

bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan

bersama; keluarga serial (serial family), yaitu keluarga yang terdiri atas

pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah mempunyai anak,

namun kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiiki

anak-anak dengan pasangan masing-masing tetapi semuanya

menganggap sebagai satu keluarga; keluarga gabungan atau komposit

(composite family) yaitu keluarga yang terdiri atas suami dengan

beberapa istri dan anak-anaknya (poliandri) atau istri dengan beberapa

suami suami dengan anak-anaknya (poligini) yang hidup bersama-sama;

keluarga tinggal bersama (cohabitation family), yaitu keluarga yang

terdiri atas pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan

yang sah”15

.

Dari bentuk-bentuk keluarga di atas secara langsung membantu

setiap pembaca memahami konsep keluarga sesuai dengan pola, konteks

budaya dimasing-masing komunitas sosial, walaupun tidak semuanya

mewakili contoh dalam masyakat Nias, salah satu bentuk keluarga adalah,

seorang istri atau suami yang telah menjanda atau menduda dan tidak

memilik seorang anak kandung atau anak angkat/adopsi, sementara dia

hidup sendiri atau menumpang di rumah orang lain.

15

Martono, 239

Page 8: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

22

b. Fungsi keluarga

Sebuah ungkapan yang sangat menarik berkaitan dengan fungsi keluarga

“Keluarga adalah sel vital yang paling kecil dari masyarakat tempat cita-

cita, toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang

mempunyai pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan

model-model (contoh) yang paling baik”.16

Ungkapan ini mengungkapkan

tentang fungsi yang sangat penting dalam pembentukan karakter setiap

pribadi. Bekaitan dengan itu, maka Martono menjelaskan tentang fungsi

keluarga, yakni; 17

1. Fungsi reproduksi dan pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) yang

diatur dalam nilai-nilai sosial (budaya) di mana mereka hidup)—guna

kelangsungan generasi setiap masyarakat artinya melalui keluarga

terlahir generasi generasi baru sebagai pewaris dan penerus

“ekonomi,” budaya, nilai dan status sosial dari sebuah keluarga.

2. Fungsi psikologi. Keluarga sebagai wadaha untuk memperoleh dan

mengapresiasikan kasih sayang, menyalurkan perhatian—sejak lahir

manusia membutuhkan kasih sayang dari orang tua dan anggota

keluarga yang lain. Melalui keluarga, setiap manusia keluarga menjadi

sebuah wadah untuk menuangkan setiap perasan yang sedang dialami;

suka-duka, masalah, bahkan cita-cita—melalui keluarga manusia

merasa aman dan nyaman.

16

Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43

(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius :

2001), 12 17

Martono, 243-240

Page 9: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

23

3. Fungsi sosial; melalui keluarga, orang-orang dewasa mensosialisasikan

dan meneruskan nilai-nilai, tadisi-tradisi dan budaya terhadap generasi

muda, selanjutnya generasi-generasi muda akan mengamati,

mempelajari dan menerima peran-peran sosial sebagaimana tertuang

dalam sebuah tradisi dalam sebuah masyarakat. Masih dalam fungsi

sosial, keluarga juga berungsi memobilitas sosial antar generasi

4. Fungsi ekonomi; pada masyarakat tradisional atau pertanian keluarga

menjaadi unit produksi, karena itu setiap anggota keluarga dilibatkan

sebagai alat untuk memenuhi atau mencari kebutuhan, misalnya dalam

sebuah keluarga petani karet--setiap orang dalam sebuah keluarga

diwajibkan untuk menyadap karet. Karena itu filosofi “banyak anak

banyak rezeki dalam sebuah masyarakat sangat pegang erat atau

diyakini. Mereka yakin bahwa dengan jumlah anak yang banyak,

maka kekayaan akan melimpah (karena semakin banyaknya unit alat

(pribadi) yang bekerja)

5. Fungsi pendidikan; keluarga sebagai lembaga pertama dan

membutuhkan waktu yang lama untuk melatih, menyalurkan

pengetahuan dan ketrampilan yang digunakan oleh anak disaat dia

sudah mulai bisa bekerja.

Lebih lengkap lagi, fungsi keluarga dijelaskan dalam peraturan Pemerintah No 87

Tahun 2014 pasal 7 ayat 2 huruf a- h. tentang perkembangan kependudukan dan

pembangunan keluarga, Keluarga berencana, dan sistem informasi keluarga.18

18

www.djpp.kemenkumham.go.id; http://www.peraturan.go.id/pp/nomor-87-tahun-2014-

11e4a13b37968d1e9ba3313430303433.html

Page 10: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

24

1. Fungsi keagamaan, artinya mengembangkan kehidupan keluarga yang

menghayati, memahami serta melaksanakan nilai-nilai agama dengan

penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Fungsi sosial budaya, artinya memberikan kesempatan kepada keluarga

dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan dan menanamkan nilai-

nilai luhur budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

3. Fungsi cinta kasih adalah memberikan landasan yang kokoh terhadap

hubungan yang harmonis antaranggota keluarga, masyarakat serta

hubungan kekerabatan antar generasi sehingga tercipta kehidupan yang

penuh cinta kasih lahir dan batin.

4. Fungsi perlindungan artinya menumbuhkan rasa aman baik secara fisik,

ekonomi, dan psikososial, serta kehangatan dalam kehidupan keluarga.

5. Fungsi reproduksi, artinya melanjutkan/meneruskan (menjaga

kelangsungan garis keturunan) keturunan yang sehat, direncanakan,

pengasuhan yang baik, serta memelihara dan merawat keluarga sehingga

dapat mewujudkan kesejahteraan manusia lahir dan batin.

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, artinya memberikan peran kepada

keluarga untuk mengasuh, merawat, dan mendidik keturunan sesuai

dengan tahapan perkembangannya agar menjadi generasi yang berkualitas

dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan kehidupan.

7. Fungsi ekonomi, artinya unsur pendukung untuk memenuhi kebutuhan

keluarga dalam mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.

Page 11: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

25

8. Fungsi pembinaan lingkungan artinya menanamkan pada setiap keluarga

agar mampu menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai

daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis

Sementara resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

menegaskan fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik,

mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh

anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta

menciptakan kepuasan dan lingkungan yang sehat untuk tercapainya keluarga

sejahtera.19

3. Teori Keluarga: Struktural-Fungsional/system20

Teori strukstural fungsional sangat dipengaruhi beberapa pemikiran yakni

Aguste Comte yang mempunyai perhatian penuh pada keterlibatan dan

keharmonisan sosial dalam masyarakat yang berantakan setelah revolusi Perancis.

Comte sangat menginginkan suatu consensus sosial dalam suatu masyarakat dan

menolak paham utilitarianism dan individualism yang berkembang dimasyarakat.

Menurut Comte, masyarakat bagaikan tubuh organik. Tubuh organik sosial

masyarakat tidak berdiri sendiri tetapi adanya keterkaitan dengan unit-unit yang

lain. Kemudian pemikiran Comte dikembangkan oleh Spancer21

dengan

19

Maryam, S, “Peer Group dan Aktivitas Harian (Belajar) Pengaruhnya Terhadap Prestasi

Belajar Remaja ”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 192, Vol. 058; 2006, 72 20

Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan Teori Struktural-

Fungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set

dengan set lainnya, sedangkan kalau teori struktural-fungsional lebih menekankan pada

mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur. Kedua teori

tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis

kehidupan keluarga (Harien Parwati Gender dan Keuarga, (Bogor, IPB Press:2011), 21

George Ritzer, Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir

Postmodern, Terj dari Sosiolgy Theori, di terj. Oleh Saud Passaribu dkk. (Yokyakarta, Pustaka

Pelajar,2012), 58-61

Page 12: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

26

mengemukaan dua analogi tubuh organik yakni proses evolusi dari bentuk

sederhana ke bentuk kompleks; kedua adalah membandingkan antara organisme

masyarakat dan organisme individu. Emile Durkheim22

memilki pandangan

tentang masyarakat bahwa individu merupakan ekspresi dari kolektivitas tempat

individu tersebut berada. Struktur dari masyarakat akan memberi tanggungjawab

kepada setiap individu karena itu setiap individu berbeda dan memiliki fungsi

yang berbeda (pada tahap ini lahirlah pembagian kerja).

Strutural fungsional memandang masyarakat sebagai suatu sistim yang

dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian sub system yang saling berhubungan.

System pada pendekatan ini berada pada lapisan individual (berhunbungan dengan

perkembangan kepribadian), lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan

masyarakat. Kajian fungsional terhadapa keluarga menekankan pada relasi antara

keluarga dengan masyarakar sekitarnya, relasi-relasi internal di antara subsistem-

subsistem yang terdapat dalam keluarga dan atau relasi di antara keluarga serta

karakteristik dari setiap anggota keluarga sebagai pribadi23

.

Teori ini memandang keluarga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat

yang memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan kehidupan sosial masyarakat,

serta adanya pengakuan bahwa kehidupan sosial memiliki keanekaragaman yang

kemudian melahirkan sebuah struktur dalam masyarakat—struktur tersebut

melahirkan peran yang beragam dalam sebuah system24

. Karena itu sistem sosial

sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis dan berkelanjutan. Keluarga

22

George Ritzer, Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir

Postmodern, Terj dari Sosiolgy Theori, di terj. Oleh Saud Passaribu dkk. (Yokyakarta, Pustaka

Pelajar,2012), 31 23

Ihromi, 269-270 24

Herien Puspitawati, Gender dan Keuarga; Konsep dan relita di Indonesia, (Bogor, IPB

Press:2017), 92

Page 13: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

27

dilihat sebagai sebuah subsistem yang tidak terlepas dari interaksinya dengan

subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Dalam interaksi

tersebut, keluarga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan sosial masyarakat

(equilibrium state). Karena itu, menurut Klein & White sebagai asumsi dasar

dalam teori struktural fungsional masyarakat selalu mencari titik keseimbangan;

Masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi;

untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka fungsi-fungsi harus dijalankan, dan

untuk memenuhi semua ini, maka harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya

suatu keseimbangan atau homeostatik25

.

Agar keseimbangan bisa tercapai baik ditingkat masyarakat maupun

tingkat keluarga, maka kata “prasyarat” dalam struktural-fungsional menjadi suatu

keharusan. menurut Levy prasyarat structural tersebut meliputi: diferensiasi peran

yaitu tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga; tugas solidaritas

yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga; tugas ekonomi yang

menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai

tujuan keluarga; tugas politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam

keluarga, dan tugas integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi

internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota

keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku26

.

Berkaitan dengan prasyarat tersebut, menurut Ihromi, ada empat konsep

yang digunakan dalam pendekatan struktural fungsional, yaitu, Struktur, fungsi,

status, dan peranan27

. Struktur dianalogikan dengan tubuh biologis yang tidak

mengacu pada organisme atau satuan yang memiliki wujud sebagai tubuh yang

25

Puspitawati, 93 26

Puspitawati 27

Ihromi, 273-274

Page 14: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

28

hidup, melainkan sebagai sebuah perangkat dari hubungan-hubungan, di antara

unit-unit yang menjadi bagian dari tubuh dari suatu sistem; organisme adalah

sekumpulan satuan-satuan yang terjalin dalam sebuah struktur. Selama

organismenya tetap hidup, maka strukturturnya akan berkelanjutan, kehidupan

suatu organisme dikonsepsikan sebagai berfungsinya stuktur. Bila dihubungkan

dengan dengan bagian-bagian yang terulang-ulang, proses kehidupan, seperti

pernapasan, pencernaan, maka fungsinya adalah peranan yang dimainkanya dalam

sumbanganya terhadap pemeliharaan, pelestarian terhadap kehidupan28

.

Struktural fungsional lebih banyak menaruh perhatian pada fungsi—fungsi

sistem-sistem yang terkadang tidak hanya melihat pada fungsi sistem yang

berkontribusi positif (fungsi-fungsi yang diharapkan) namun ada juga fungsi-

fungsi yang negative (tidak diharapkan) sehingga terjadi suatu disfungsi bagi

sistem (keluarga). Durkheim menerapkan istilah fungsi untuk pranata sosial

sebagai kesesuaiannya dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat29

.

Ada 3 bidang fungsi keluarga yang menjadi sorotan dalam pendekatan

fungsiaonal sruktural; 30

1. Fungsi-fungsi keluarga untuk masyarakat (hubungan antara keluarga dan

unit-unit sosial yang lebih luas) artinya, peranan keluarga dalam proses

sosialisasi yang dialami oleh anggota masyarakat; berkaitan dengan ini,

Parson dan Bales mengemukakan bahwa hanya keluarga inti (nuclear

family) yang berkonpeten mengasuh anak-anak kecil sehingga dapat

menjadi anggota keluarga yang serasi untuk masyarakat luar. Dikatakan

28

Ihromi 29

Ihromi 30

Megawangi, 63-64; bdk Ihromi, 270-273; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of

Family Theories and Methods A Contextual Approach, e-book, (Springer Science,Business

Media:2004)

Page 15: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

29

keluarga inti karena penyampaian atau transmisi dari nilai-nilai yang ada

dalam suatu kebudayaan kepada anggota-anggota baru dalam sebuah

masyarakat; yang memiliki peranan penting bahkan utama dalam proses

sosialisasi tersebut adalah ibu (perempuan),31

karena ibu memiliki waktu

yang lebih lama bersama dengan anak-anaknya di rumah, sementara suami

atau laki-laki jarang bertemu dengan anak-anaknya—bertemu dengan

anak-anaknya di sore sampai pagi hari. Kaitan dengan fungsi keluarga

inti, menurut Ihromi32

, dua fungsi utama keluarga untuk masyarakat yaitu,

transmisi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan stabilisasi atau

mempersiapkan dan memantapkan dari kepribadian individu yang lebih

dewasa untuk terjun dan berkontribusi dalam masyarakat.

2. Fungsi-fungsi dari subsistem dalam keluarga untuk keluarga dan untuk

subsistem-subsitem itu sendiri (hubungan di antara keluarga dengan

berbagai subsistem). Dalam hal ini ada pengkajian fungsi setiap individu

dan kaitanya dengan pembagian pekerjaan di antara anggota keluarga demi

eksistensi dan kelestarian keluarga. Dalam hal ini, Parson, Bales, Slater,

Zeldith berpendapat bahwa untuk menciptakan suatu keseimbangan perlu

pembagian peran yang disebut differensasi peran sesuai gender (jenis

kelamin); peran instrumental disaat adanya perubahan sosial (peran yang

terutama ditujukan kepada pihak luar misalnya suami sebagai pencari

nafkah yang kemudian fungsi pencari nafkah tidak hanya tertuju pada ayah

atau laki-laki tetapi juga kepada ibu atau perempuan di saat terjadi desakan

31

Monique Susman, (penyunting), Kongres Perempuan Pertama, (Jakarta, Yayasan Obor dan

KITL: 2007), 61-63; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of Family Theories and Methods A

Contextual Approach, e-book, (Springer Science,Business Media:2004) 32

Ihromi, 271

Page 16: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

30

ekonomi serta perubahan sosial dari keluarga sebagai unit produksi ke unit

konsumtif).33

Peran instrumental peran ekspresif (peranan yang utama

berhubungan dengan pengembangan solidaritas di dalam kelompok)

ditujukan bagi seorang perempuan (ibu).

3. Fungsi-fungsi keluarga untuk anggota keluarga temasuk perkembangan

kepribadian (hubungan di antara keluarga dengan kepribadian), misalnya

fungsi dari gangguan emosional anak terhadap keluarga dan

konsekuensinya terhadap perkembangan anak—sebagian peneliti

menyoroti perkembangan anak pada keluarga tertentu, hubungan ibu dan

anak, sebagian lainya menyoroti keluarga sebagai suatu keseluruhan dan

pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian yang berkembang—

karena itu untuk memastikan bahwa perkembangan kepribadian menuju

hal yang baik, maka setiap keluarga harus memiliki aturan—tanpa aturan,

hidup keluarga tidak akan memiliki makna (meaning) dan keluarga akan

memproduksi generasi-generasi yang tidak memiliki arah hidup. Selain

itu, Ackherman mengemukakan bahwa dalam memahami perkembangan

kepribadian, penting mempelajari hubungan antara masyarakat umum,

keluarga dan individu. Walaupun sebenarnya bentuk keluraga sangat

menentukan gambaran bentuk-bentuk tingkah laku dalam pelaksanaan

peranan tertentu, seperti peran sebagai suami, ayah, ibu, istri, atau anak—

menjadi suami, ayah, istri, ibu, anak baru memperoleh makna bila

dihubungkan dengan struktur keluarga tertentu. Jadi keluarga telah

33

Bdk. Martono, 243-245; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of Family Theories and

Methods: A Contextual Approach, e-book, (Springer Science, Business Media:2004)

Page 17: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

31

membentuk untuk “menjadi” pribadi-pribadi yang diharapkan mampu

melakukan peranan dan fungsinya.

Bila ketiga fungsi berjalan dengan baik, maka keseimbangan dinamis

(dynamic equalibirium) akan tercipta, karena itu bisa disimpulkan bahwa

keluarga sebagai sistem yang terdiri dari subsistem masyarakat tempat cita-cita,

toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang mempunyai

pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan model-model (role

model) yang paling baik”.34

Dalam fungsional strukturan, penekanan akan pentingnya diferensiasi

peran dalam kesatuan instrumental ekspresif, adanya alokasi kewajiban tugas

yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem tetap ada. Tanpa pembagian

tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi

keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mmpegaruhi sistem yang lebih

besar lagi. Hal itu melahirkan ketidak seimbangan dan disfungsi keluarga—hal

ini bisa berakibat perceraian. Menurut Lavi, ada beberapa hal yang harus

dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem tetap berfungsi yaitu, diferensiasi

peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik, alokasi integrasi dan

ekspresi35

.

Berkaitan dengan hal tersebut, Talcott Parsons sebagai seorang analis

fungsional telah menjelaskan bagaimana hubungan antara peran dan fungsi

keluarga di dalam masyarakat. Peran menunjuk pada bagaimana anggota keluarga

saling berhubungan satu dengan yang lain, karena itu sebagai sebuah system

34

Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43

(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius :

2001), 12 35

Megawangi, 65-66

Page 18: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

32

sosial, keluarga tidak luput dari perhatian analisis fungsional, di mana skema

AGIL (Adaptation; Goal Attainment; Integration; and Latency), Parson dapat

digunakan untuk mengaanalisa peran dan fungsi keluarga dalam mengahadapi

sebuah perubahan sosial.

Dalam menghadapi perubahan dilingkungan sekitar, keluarga harus memiliki

mekanisme dalam melakukan sebuah adaptasi terhadap perubahan tersebut, jika

tidak maka keluarga tersebut akan hancur tergilas perubahan. Kedua adalah

keluarga (nuclear family, secara khusus suami istri) harus memiliki tujuan yang

harus dicapai. Ketiga adalah, fungsi integritas dalam keluarga sehingga tercipta

ikatan batin dan solidaritas terhada setiap anggota klurga; keempat, fungsi

pemeliharaan pola dalam hal ini, peran keluarga dalam mensosialisasikan nilai-

nilai36

.

Menanggapi berbagi kritikan yang menilai bahwa fungsional stuktural hanya

mengharapkan sebuah harmoni dan keseimbangan tanpa melihat dinamikan

keluarga yakni konflik dalam keluarga karena adanya perbedaan-perbedaan, maka

Parson berpandangan bahwa adanya suatu konflik karena adanya kesenjangan

peran, karena itu perlu adanya control sosial, serta perlu adanya penerapan

penghargaan dan sanksi. Berbeda dengan Parson, marton mengajukan teori

tipologi penyimpangan perilaku yakni; Non-deviance (actor menerima dan

melakukan dengan baik nilai dan norma yang berlaku); Inovasi (selalu berpegang

pada “hasil dari kesepakatan”, namun tanpa terikat pada prosedur yang harus

dilalui untuk meraih tujuan/hasil); ritualisme (kebalikan dari inovasi yakni tanpa

harus mencapai tujuan, tetapi melakukan proses dulu); retretisme (pasrah—tidak

36

Bdk. Jonathan H. Turner, The structure of Sociologycal Theory, (USA, Wadsworth

Publishing Company; 1998), 34-36, dan Martono, 244

Page 19: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

33

berbuat apa-apa). Berkaitan dengan fungsi sosialisasi keluarga, maka perlu adanya

sosialisasi yag fariatif terhadap anak37

.

Berangkat dari teori Parson, Cohen menolak gagasan bahwa

penyimpangan tentu saja menyebabkan disorganisasi. menurut Cohen, bahwa

sistem berada dalam disorganisasi hanya bagi orang-orang yang mengharapkan

keseimbangan sesuai dengan konstitusi sendiri. Penyimpangan dari peran akan

selalu ada dalam sebuah keluarga, namun tidak selamanya menyebabkan

disorganisasi, melainkan hanya meremehkan system nilai. Walaupun sebuah

penyimpangan terjadi, namun masih berfungsi, maka system masih terorganisir,

tidak merusak stabilitas dan keseimbangan, jurstru akan mendorong terciptnya

sebuah norma yang baru38

.

4. Teori Keluarga: Konflik Sosial

Secara umum, lahirnya teori konflik adalah terjadinya revolusi politik dan revolusi

industri (dengan system ekonomi kapitalis) yang melanda masyarakat Eropa

terutama di abad 19 dan awal abad 20. Pada tahun 1930-an teori konflik

berkembang di Amerika sebagai respon kebangkitan dari keterpurukan

(perekonomian, teknologi dan militer) Negara tersebut, sehingga Negara Amerika

menjadi sebuah simbol modernitas. Teori konflik mulai berkembang pada tahun

1960-an dan sering digunakan dalam kajian perempuan persepektif feminism39

.

Selain hal tersebut di atas, teori konflik juga merupakan respon

ketidakpuasan terhadap teori fungsionalisme stuktural Talcot Parson dan Robert

K. Marton yang menilai masyarakat dengan paham dan konsensus dan

37

Pauline G., dkk, 199-201 38

Pauline 39

Bdk. Ihromi, 278

Page 20: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

34

integralistiknya, sistem sosial yang berstruktur dan adanya perbedaaan fungsi dan

diferensiasi peran. Strukturalis fungsionali menganggap bahwa keluarga

melanggengkan kekuasaan yang cenderung menjadi cikal bakal lahirnya ketidak

adilan dalam masyarakat. David Lockwood mengkritik Parson yang terlalu

menekankan keseimbangan dan ketertiban. Hal ini dianggap sebagai suatu

pemaksaan bagi individu untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan dan

kebutuhan kelompok terpenuhi. Menurut Lockwood, konflik akan selalu

mewarnai kehidupan masyarakat terutama dalam hal distribusi sumber daya yang

terbatas, karena pada dasarnya setiap individu lebih mementingkan diri sendiri

dari pada kepentingan kelompok, masing-masing kelompok atau individu

memiliki tujuan yang berbeda-beda bahkan bertentangan sehingga dengan

demikian akan timbul diferensiasi kekuasaan akibatnya sekelompok orang akan

menindas yang lain.40

Engels pernah mengungkapkan bahwa pada zaman masyarakan berpola

hidup berpindah-pindah atau bahkan pola hidup pertanian; kehidupan mereka

masih miskin (menurut kriteria taraf hidup jaman sekarang), perempuan di

keluarga dalam sebuah masyarakat dihargai atau tidak ditindas, namun setelah

manusia masuk dalam revolusi politik dan ekonomi yang kapitalis, perempuan

dalam sebuah keluarga diposisikan pada kelas subordinat (secand class).41

Pada

tahun 1960-an dalam analisis keluarga konflik itu digunakan, terutama oleh

40

Bdk. Herien, 98

41 Bdk, WWW. Google, Fathimah Fildzah Izzati, “Women‟s Question dalam Perjuangan

Mengakhiri Kapitalisme dan Patriarki” risensi buku, Maria Mies, Patriarchy & Accumulation on a

World Scale :Women in the Internasional Division of Labour (New Edition), Zed Book Ltd, 1998.

https://indoprogress.com/2013/01/womens-question-dalam-perjuangan-mengakhiri-kapitalisme-

dan-patriarki/, dimuat 15 Januari 2013, di akses tanggal 3 Juni 2017, bdk, Ihromi , 278

Page 21: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

35

pemimpin-pemimpin berkulit hitam dan para aktifis perempuan yang

memperjuangkan agar terjadi suatu perubahan dalam struktur keluarga dan

masyarakat.

Dalam kajian teori ini, ada anggapan bahwa konflik dalam sebuah

keluarga dianggap sebagai ancaman bagi keharmonisan keluarga, namun beberapa

pakar konflik beranggapan konflik dipandang sebagai sebuah proses sosial,

sehingga terjadi suatu perubahan dari tatanan yang lama menuju suatu pembaruan

yang disesuwaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, karena itu konflik

dipandang sebagai fenomena sosial yang biasa dan wajar dalam setiap interaksi

manusia terutama dalam keluarga—agar konflik tersebut tidak menuju pada

keretakan atau kehancuran kohesi sosial, keutuhan keluarga, maka diperlukan

manajemen konflik, alokasi kekuasaan, dan sumber daya dalam keluarga. Pada

umumnya peneliti yang mengkaji tentang kekerasan dalam keluarga serta

penangananya lebih cenderung menggunakan teori konflik.42

Klein dan White

menguraikan asumsi dasar dari teori konflik adalah,

“ (1) Manusia tidak mau tunduk pada konsensus, (2) manusia adalah individu

otonom yang memiliki kamauan sendiri tanpa harus tunduk pada norma dan

nilai; manusia secara garis besar dimotifasi oleh keinginan sendiri, (3 konflik

adalah endemik sosial; (4) tingkatan masyarakat yang normal lebih

cenderung mempunyai konflik daripada harmoni, dan (5) konflik merupakan

suatu proses konfrontasi antara individu, grup atas sumber daya yang langka,

konfrontasi suatu pegangan hidup yang sangat berarti.”43

Hal mirip diungkapkan oleh Ihromi tentang asumsi dasar dari teori konflik

yakni, pertama, Setiap anggota keluarga memiliki kedudukan yang berbeda

sebagai konsekuensi dari jenis kelamin/gender atau umur. Lahirnya konflik dalam

sebuah keluarga (yang diekspresikan secara verbal dan non verbal)

42

Bdk. Ihromi, 279 43

Puspitawati, 98

Page 22: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

36

dilatarbelakangi adanya tawar-menawar dan persaingan untuk memperoleh

kedudukan dan hal-hal yang dianggap bernilai tinggi, seperti uang, perhatian,

kekuasaan, dan kewenangan untuk memainkan peran tertentu. Namun walaupun

ketegangan atau konflik sering terjadi, tujuan dan cinta yang timbul antara

anggota keluraga menyebabkan satu sama lain saling terikat; kedua, konflik dalam

keluarga dapat membawa akibat positif atau negatif, bila hal konflik ditekan maka

berakibat buruk pada anggota keluarga, hal itu bagaikan api dalam sekam, dimana

bibit atau pemicu konflik telah membara, tetapi anggota keluarga berusaha untuk

menyembunyikannya, namun perlu dicatat bahwa keluarga yang tidak mengalami

konflik tidak menajamin kebahagiaan sebuah keluarga,44

karena itu Sprey

mengemukakan bahwa masalah-masalah yang ada dalam keluarga bukan karena

adanya perbedaan antara anggota keluarga (terutama antara suami istri), karena

perbedaan itu selalu dan pasti ada. Namun konflik itu ada karena

ketidakmampuan para anggota keluarga untuk hidup dengan perbedaan-perbedaan

yang ada di antara mereka. Perbedaan yang terus menerus ada dalam keluarga

harus mampu dikendalikan (dengan manajemen konflik keluarga), karena itu

keluarga yang berhasil dalam keluarga bukanlah keluarga yang berhasil menekan

sebuah konflik, tetapi yang berhasil memuaskan semua anggota keluarga dengan

mengadakan negosiasi mengenai perbedaan dan gesekan/konflik yang timbul

dengan tingkat kesadaran yang sangat baik dalam membangun negosiasi45

(hal ini

tidak dilakukan atas pengaruh emosional, melainkan sebuah kesadaran untuk

mengalah untuk menang).

44

Puspitawati 45

Ihromi, 281-282

Page 23: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

37

Gender dan Feminisme.

Suatu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa bila berbicara tentang keluarga, berarti

juga berbicara tentang gender. Karena konsep dan ruang lingkup gender

merupakan bagian dari proses pengelolaan sumber daya dalam keluarga yang di

dalamnya ada peran-peran yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga.

Istilah gender sebenarnya diperkerkenalkan oleh para ilmuan sosial untuk

menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan (seks

atau biologis) yang sifatnya kodrat—tidak bisa ditukar dan hal-hal yang bisa

dinegosiasikan, terjadi dan berkembang atas konstruksi sosial yang berjalan dalam

suatu proses sosialisasi.

Hampir bisa dipastikan bahwa selama ini ada kesalah pahaman dalam

memahami konsep gender. Gender dipahami sebagai perbedaan antara laki-laki

dan perempuan yang bersifat bawaan (kodrat) dan yang hal-hal yang sifatnya

konstruksi sosial yang berjalan dalam suatu proses sosialisasi. Dalam budaya

patriakhi, perbedaan antara yang kodrat dan konstruksi hampir tidak bisa

dipilah—adanya anggapan bahwa hasil konstruksi sosial terhadap perbedaan

fungsi, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sudah

merupakan hal yang kondrat karena itu tidak bisa dilakukan sebuah perubahan,

akibatnya berdampak pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan

manfaat dari berbagai sumber daya. Dari dampak tersebut lahirlah berbagai

istilah atas perilaku yang sering terjadi dalam keluarga dan lingkungan

masyarakat, diantaranya46

;

46

Bdk. Anita Rahmawaty, “Harmoni dalam Keluarga Perempuan Karir: Upaya Mewujudkan

Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga”, dalam Paletren, Vol. 8, No. 1, (Juni 2015), 9-

11

Page 24: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

38

a. Marginalisasi; merupakan suatu proses sikap, perilaku, kayakinan dan

tafsiran terhadap kitab kagamaan, tradisi dan kebiasaan masyarakat, atau

bahkan asumsi pengetahuan serta kebijakan Negara yang berdampak pada

penyisihan atau peminggiran bagi perempuan atau laki-laki yang

mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi.47

Contoh; perilaku dalam

memprioritas pendidikan tinggi bagi anak laki-laki dibandingkan anak

perempuan, karena anggapan bahwa anak laki-laki sebagai

penanggungjawab, pewaris dan penerus tradisi keluarga, sementara

perempuan akan menikah dan pindah ke rumah suaminya sebagai ibu

rumah tangga yang urusannya hanya sebatas kasur, sumur, dan dapur.

b. Subordinasi; adalah sikap, anggapan atau tindakan masyarakat yang

menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting)

dan sekedar sebagai pelengkap kepentingan kaum laki-laki—laki-laki

sebagai pribadi yang diutamakan. Contoh; beberapa pekerjaan dalam

keluarga yang tidak “menghasilkan uang” dikerjakan oleh ibu atau bapak

rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai sebuah karier atau pekerjaan

karena tidak menghasilakn uang, sehingga bila ada pertanyaan tertuju

kepada seorang ibu atau bapak yang tidak bekerja sebagai PNS atau

pegawai perusahaan atau pekerjaan yang tidak mengasilkan uang, “ibu

atau bapak pekerjaanya apa” selalu dijawab tidak bekerja, hanya sebagai

ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga bagi bapak.

c. Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan

sikap atau penilaian negatif. Berbagai sikap ketidak adilan dalam keluarga

47

M. Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1999),

14

Page 25: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

39

atau kelompok sosial berkembang karena adanya sebuah stereotipe yang

dilabelkan pada jenis kelamin, contoh, bersolek dilabelkan kepada

perempuan yang suka tampil cantik untuk menarik perhatian orang lain,

macho dilabelkan kepada laki-laki yang kekar, kuat, dll48

.

d. Beban ganda; adanya anggapan bahwa pekerjaan rumah, mengasuh anak

bahkan karena keterbatasan ekonomi, perempuan bekerja bersama suami

untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sering dianggap sebagai sebuah

pengabdian dan pengorbanan yang mulia.

e. Kekerasan; bentuk kekerasan akibat bias gender sering disebut dengan

istilah gender-related violence. Korban kekerasan bukan hanya

perempuan tetapi bisa juga laki-laki yang dilakukan secara verbal yang

terjadi di tempat terbuka atau di ruangan tertutup atau privat dan kekerasan

nonverbal (antaranya, pemerkosaan, penyerangan seksual, pemukulan,

pelecehan seksual)49

.

f. Relasi Gender50

; hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan

dengan pembagian peran yang dilakukan oleh setiap orang pada berbagai

bentuk struktur keluarga (keluarga miskin atau kaya, keluarga desa atau

kota, keluarga lengkap atau tunggal, keluarga yang memiliki anak atau

tidak).

Berhubungan dengan beberapa hal tersebut (konstruksi sosial yang dijadikan

kodrat), maka beberapa ilmuan sosial mencoba menguraikan konsep gender dan

48

Bdk. Fakih. 16-17 49

Bdk. Silvia Walby,193-202; bdk, Retnowati, “Critizing the Silence the Religions In

Andressing Violence To Ward Women” Academic Research International Journal, Vol.4 No.3

(May 2013), 319-320; Komnas Perempuan, Peta Kekerasan; pengalaman Perempuan Indonesia,

(Jakarta, Ameepro: 2002) 37-105; Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, (Yokyakarta, Jalasutra:

2010), 47-60 50

Puspitawati, 70

Page 26: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

40

jenis kelamin (seks); Anne Oakley, ahli sosiologi Inggris merupakan orang yang

pertama kali mengusung konsep gender dan memberikan pembedaan antara istilah

gender dan jenis kelamin, gender dipahami sebagai identitas laki-laki dan

perempuan yang dikonstruksi dalam sebuah masyarakat, sementara hal-hal yang

kondrati lebih tertuju pada jenis kelamin (seks atau biologis) yang berkonsekuensi

pada perbedaan peran reproduksi; laki-laki memiliki penis, testis, membuahi

spermatozoa, hormone testoteron, kelenjar prostate, sementara perempuan

memiliki vagina dan kandungan karena itu perempuan melahirkan, memiliki

kelenjar susu—menyusui, haid, memiliki hormone esterogen dan progesteron 51

.

Herien Puspitawati mengartikan Gender sebagai perbedaan peran,

fungsi, hak, status, tanggung jawab serta perilaku laki-laki dan perempuan yang

dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya sebagai hasil kesepakatan atau hasil

bentukan dari masyarakat melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Hal

ini bukan kodrat karena itu dapat diubah, dapat dipertukarkan bergantung pada

waktu dan keadaan serta budaya masing-masing.52

Dari konsep tersebut bisa

dikatakan bahwa ruang lingkup dan konsep gender menyangkut peran, fungsi,

status, tanggungjawab, kebutuhan umum dan kebutuhan khusus, permasalahan

umum dan khusus laki-laki dan perempuan. Gender adalah hasil kesepakatan

antara manusia dalam kurun waktu dan budaya tertentu sehingga bisa berubah

bahkan dipertukarkan—tergantung budaya dan waktu.

Dari konsep dan beberapa istilah “kesenjangan perilaku” gender di atas,

maka timbulah suatu kesadaran atas kesamaan atau kesetaraan (equality) laki-laki

dan perempuan baik dalam keluarga maupun ditingkat masyarakat, dengan

51

Rio Girsang, Nias Dalam Perspektif Gender, (Sibolga, Caritas keuskupan Sibolga: 2014), 4-

6 52

Puspitawati, 84 dan 64

Page 27: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

41

munculnya beberapa istilah yakni, kesetaraan gender dan keadilan gender53

,

emansipasi wanita,54

yang kemudian melahirkan pergerakan yang disebut gerakan

feminisme dengan berbagai aliran pemikiran.

Henrietta L. Moore adalah seorang yang menelaah hakikat dan makna

kritik feminisme dalam antropologi. Menurut Moore, feminisme sebagai sebuah

kesadaran perempuan akan penindasan dan pemerasan dalam kerja, di rumah dan

di masyarakat. Feminisme juga bisa dipahami sebagai kesadaran tindakan politik

yang dilakukan oleh perempuan untuk mengubah situasi yang telah dan sedang

dialami. Konsekuensi dari konsep tersebut pertama, defenisi tersebut menunjukan

bahwa pada tahapan yang mendasar terdapat kebutuhan dan kepentingan bersama

perempuan yang harus dan layak untuk diperjuangkan; kedua, walaupun adanya

berbagai aliran dalam perjuangan (Feminis liberal, radikal marxis, sosialis, eko

feminis, feminis poskolonial), namun premis yang mendasari perjuangannya

adalah adanya identitas nyata dan aktual karena merupakan landasan kesatuan

kepentingan perempuan; ketiga adalah perjuangan feminis, lebih jauh lagi,

tergantung pada kohesinya—baik yang potensial maupun aktual dalam

53

Puspitawati mengutip USAID yang mendefenisinakn kesetaraan gender sebagai gender

equality yang diartikan permits women and men equal enjoyment of human right, socially valued

goods, opportunities, resources and the benefit from development result (kesetaraan gender

memberi kesempatan baik kepada perempuan atau laki-laki secara seimbang dalam menikmati

hak-haknya sebagai manusia, secara sosial memiliki benda-benda, kesempatan, sumber daya, dan

menikmati hasil pembangunan. Kadilan gender diartikan sebegai gender equity yang dijabarkan is

the process of being fair to women and men. To ensure fairness, measures must be available to

compensate for historical and social disadvantages that prevent moment and men from operating

on a level playing field. Gender equity strategies are used to eventually gain gender equality.

Equity is the means; equality is the result (keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi

adil baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. Untuk memastikan adanya suatu keadilan,

maka dibuat suatu ukuran untuk mengompensasi kerugian secara historis maupun sosial yang

mencegah perempuan atau laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Stretegi keadilan

gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan

suatu cara, kesetaraan adalah hasilnya Puspitawati, 70).. 54

KBBI mengartikan emansipasi wanita sebagai proses pelepasan diri para wanita dari

kedudukan sosial ekonomi yg rendah atau dari pengekangan hukum yg membatasi kemungkinan

untuk berkembang dan untuk maju. Tokoh utama dalam pejuang emansipasi wanita di Indonesia

adalah R.A. Kartini.

Page 28: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

42

penindasan yang dialami oleh sesama perempuan. Pengakuan atas pengalaman

(yang telah bahkan sedang dialami) oleh sesama perempuan merupakan dasar

“pejuangan seks” yang dipremiskan pada pendapat bahwa perempuan adalah

kelompok sosial yang didominasi oleh laki-laki sebagai kelompok sosial lain.55

Kesadaran Kesetaraan; sebuah Sejarah Singkat.

Bila membaca sejarah, perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

sudah berlangsung sejak abad 17 yang dipelopori oleh Lady Marry Wortley

Montagu dan Marquis De Condorcet yang dimulai di Belanda (Middelburg),

kemudian pergerekan itu disebut oleh Charles Fourier pada tahun 1837 dengan

istilah Feminis56

. Gerakan feminis terus berkembang di benua Eropa dan

Amerika dengan berbagai aliran (Feminisme eksistensialis, Liberal,

Sosialis/Marxist, Feminisme Radikal, Ekofeminisme dan feminism Poskolonial,

dll.

Secara legislasi di tingkat global, tahun 1948 dalam sebuah deklarasi Hak

Azasi Manusia PBB, menyatakan kesamaan Hak dasar setiap manusia (lki-laki

maupun perempuan); hak untuk hidup (life), kebutuhan untuk bebas (Liberty), dan

mencari kebahagiaan dalam kehidupan (happiness). Tahun 1957 diadakan sidang

umum PBB pertama dengan melahirkan sebuah keputusan tentang partisipasi

perempuan dalam pembangunan yang disusul dengan keputusan pada tahun 1963

yang secara khusus mengakui peranan perempuan dalam pembangunan sosial,

ekonomi dan nasional. Selanjutnya lahirlah konsep emansipasi antara perempuan

dan laki-laki yang disertai dengan gerakan global yang dipelopori oleh

perempuan, kemudian berhasil mendeklarasikan badan ekonomi social PBB

55

. Henriette L. Moore, Feminisme dan Antropologi, Jakarta, Obor: 1998), 23-24 56

Puspitawati, 66

Page 29: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

43

dengan nama (ECOSOC), yang selanjutnya diakomodasi oleh pemerintah

Indonesia dengan dibentuknya komite nasional kedudukan wanita Indonesia

(KNKWI).57

Pada tahun 1990 UNDP (United Nation Development Program)

merumuskan konsep kesetaraan gender dengan memasukan indikator human

development index (HDI) selain Gros Domestik Product (GDP) dalam mengukur

keberhasilan pembangunan sebuah bangsa58

.

Di tingkat legislasi Nasional (Indonesia), sejarah akan kesadaran

kesamaan kedudukan muncul dalam sebuah perundang-undangan yakni dalam

UUD 1945 yang menegaskan tentang kesamaan hak dan kewajiban bagi

penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan seperti bidang kesehatan,

politik dan pekerjaan (pasal 27) baik secara lembaga maupun secara perorangan.

Kemudian dalam UU perkawinan tahun 1974 Bab VI dan bab VII yang mengatur

tentang hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai suami istri dalam

kehidupan berumah tangga, hal ini dimaksudkan agar hak dan kewajiban serta

kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat setara. Sehubungan dengan itulah

peran perempuan Indonesia semakin mengalami perkembangan sebagaimana kita

lihat kenyataan perempuan yang memegang peran penting di lembaga Legislatif,

Eksekutif, Yudikatif dan berbagai organisasi kemasyarakatan.

Di tahun 1978 merupakan Tahun yang penting bagi perempuan Indonesia,

karena Pelita III di dalam GBHN secara emplisit memuat butir-butir tentang

57

Blagspot, Serly retno sari, Sejarah Perjuangn kesetaraan perempuan, dalam

http://sherlyretnosari10.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perjuangan-kesetaraan-dan.html, di muat

tanggal 11 Desember 2011, di baca 18 mei 2017 58

Pengenalan Konsep HDI Melalui pengukuran tiga aspek yakni usa Harapan hidup (life

expectation), angka Kematian bayi (infan Mortality Rate), dan kecukupan pangan (food security).

Factor kesetaraan gender selalu dilibatkan dalam mengevaluasi pembangunan nasional—artinya

kesetaraan (lima puluh/lima puluh) antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapa hidup,

pendidikan, ekonomi (jumlah pendapatan), kesetaraan dalam partisipasi politik, dan sector-sektor

lain. Bdk. Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda; Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender

(Edisi Revisi), (Jakarta, Haritage Foundation: 2014), 6-7, 49-50

Page 30: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

44

peranan perempuan dalam pembangunan dan pembinaan bangsa sehingga

kedudukan, peranan, kemampuan, kemandirian dan ketahanan mental spritual

perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber

daya manusia. Kesadaran akan kesetaraan laki-laki dan perempuan mengalami

perekmbangan yang signifikan dengan dibentuknya Rencana Undang-Undang

Keadilan dan kesetaraan Gender (RUU KKG—walaupun belum disahkan sampai

sekarang) 2014, salah satu point penting dalam RUU KKG pasal 12 berbunyi

“dalam perkawinan setiap orang berhak: “atas peran yang sama sebagai orang tua

dalam urusan yang berhubungaan dengan anak”59

.

Secara perorangan keadaran kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan

telah menggema di Asia—di India Misalnya, pada tahun 1930 Mahatma Gandi

telah menulis dan memuat tulisan-tulisanya diberbagai media cetak nasional

tentang perempuan dan ketidak adilan gender—kemudian tulisan-tulisanya

dibukukan menjadi sebuah buku dengan judul Kaum Perempuan Dan Ketidakadilan

Sosial, di Indonesia, Ir. Soekarno menulis tentang pengaruh besar perempuan

dalam pemerdekaan Indonesia dengan bukunya yang berjudul “Sarinah”. Jauh

sebelum itu, pada tahun 1880-an-1900-an kita kenal sosok R.A. Kartini yang

memperjuangkan peningkatan kedudukan perempuan Jawa di dalam keluarga dan

lingkungan masyarakat.

R.A. Kartini Dan Kesadaran Diri Akan Kesetaraan

Pada umumnya budaya tradisional daerah-daerah di Indonesia menganut garis

keturunan patriakal (kecuali Sumatra Barat yang mengikuti garis keturunan

59

Megawangi, 161

Page 31: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

45

Matrilinial). Dalam budaya pariakal, perempuan berada pada posisi sub-ordinat

atau sebagai second class. Sebagai pribadi “kedua” perempuan dianggap hanya

sebagai pelengkap bahkan pembantu para bagi laki-laki, sehingga hak-haknya

tidak sama seperti hak saudaranya laki-laki. Dari situasi seperti ini, Jauh

sebelum kesadaran akan kesetaraan perempuan dengan laki-laki (emansipasi) di

kancah global dan nasional, gerakan perjuangan kesetaraan perempuan ini telah

terjadi melalui kesadaran diri R.A Kartini.

Dalam karakter seorang Kartini lahir sebuah kesadaran akan kerinduan dan

keinginan untuk diperlakukan sama seperti saudara laki-laki dan teman-temanya

perempuan yang berkewarganegaan Belanda. Hal ini nyata dalam tindakan (yang

diceritakan dalam sejarah) dan isi surat-surat yang dituliskan pada tahun 1900-

1904 yang ditujukan kepada temanya, Nona Zeehandelar, adiknya, nyonya

Abendanon, Nyonya Ovink-Soer, Tuan Prof. Anton dan Nyonya, dll.

Berkaitan dengan kesadaran diri tersebut, Blenky, dkk membedakan tahapan

kesadaran diri perspektif perempuan60

, yakni;

1. Kebisuan atau kepatuhan buta (silence atau blind obidience), dalam

tahapan ini perempuan, seakan-akan berkarakter pasif, reaktif dan tunduk

pada figure yang menurutnya memiliki otoritas, kekuasaan dan

dominasi—hal ini diterima dan mematuhi sebagai sebuah kebenaran,

walaupun pribadi yang difigurkan ini tidak menjelaskan mengapa sesuatu

itu dianggap benar karena legitimasi budaya. Pada tahap ini perempuan

belum memiliki kekuatan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan

60

Mary Field Belenky, dkk, Women’s ways of Knowing; the Development of Self, Voice, And

Mind, (New York, basic Books: 1986),23-152; bdk. Tita Marlita, Kartini, “ Perkembangan

Pemikiran Seorang Pejuang Perempuan”, Dalam Sita Van Bemmelan, dkk, Penyunting, Benih

Bertumbuh; Kumpulan Karangan Untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, (Yokyakarta, yayasan Galang:

2000), 538-542.

Page 32: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

46

argument dan belum mampu belajar dari pengalaman. Selain mas kecil

yang belum mengerti apa-apa, masa kebisuan Kartini terjadi ketika

Ayahnya melarangnya untuk melanjutkan sekolah, karena harus

mematuhi tradisi pingitan sebagaimana tradisi Jawa terhadap anak-anak

remaja Perempuan.

2. Pengetahuan yang diterima (received knowledge), pada tahap ini

perempuan mulai memiliki kesadaran diri atas kemampuannya untuk

belajar dan mengelolah pengetahuan melalui pengalaman dan bahasa atau

tutur kata dari orang lain serta kesadaran atas kekuatan suara dan pikiran

(Voice and mind) yang disampaikan lewat teman-temanya. Pada tahapan

ini bahasa merupakan kunci utama dalam pengembangan pengetahuan.

Walaupun demikian perempuan masih menganggap pribadi yang

difigurkan sebagai sumber kebenaran tanp menyadari bahwa figure itu

sering merekonstrusi sesuatu menjadi sebuah kebenaran. Perempuan

sebagai received knowledge mengaktualisasikan diri lewat hubungan

dengan orang lain dan harapan-harapan masyarakat sebagaimana

digariskan dalam budaya yang berlaku, misalnya, perempuan diharapkan

menjadi pendengar setia dan penurut, pekerja yang telaten. Dengan kata

lain, pada tahapan ini perempuan menjadi pribadi yang tidak berkarakter

egosentris melainkan lebih mengutamakan atau mementingkain orang

lain.

3. Pengetahuan subjektif (subjective knowledge yang juga disebut

subjectivist woman); pada tahapan ini perempuan memiliki beberapa

kemampuan yakni, mampu mengamati dan menganalisa setiap kejadian

Page 33: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

47

dan perubahan baik terhadap dirinya maupun lingkungan sekitar.

Perempuan mulai mendengar dan mempercayai suara yang keluar dari

dalam diri sendiri dan mampu membandingkan pengalaman sendiri

dengan pengalaman orang lain, pendapat sendiri dengan pendapat figure

yang dominan, mengembangkan persepsi pribadi tentang dunia. Dari

beberapa kemampuan ini, perempuan mengalami perubahan dari pribadi

yang statis menjadi pribadi yang menjadi sehingga bahasanya yang

sebelumnya membisu berubah menjadi sebuah pemberontakan dan

keberanian yang tidak terkendali, mulai memperlihatkan otoritas diri,

otonomi diri dan berani melupakan persepsi kebenaran sebagaimana

dituturkan oleh orang-orang yang difigurkan, karena menurutnya

kebenaran adalah suatu yang yang pribadi, sesuatu yang dialami, bukan

sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang dirasakan, bukan sesuatu yang

dikonstuksikan.

4. Pengetahuan prosedural (procedural knowledge), model ini memiliki dua

kategori karakter yang bertentangan

a. Separate epistemology yang juga disebut separate knower—

perempuan yang cenderung objektif, impersonal, kritis, dan curiga,

artinya bahwa setiap orang bisa saja salah atau benar sehingga selalu

membangun jarak dengan orang lain

b. Connected epistemology atau sering disebut Connected Knower

adalah perempuan yang selalu memahami kebenaran dari pengalaman

dan belajar memahami pandngan orang lain serta memposisikan diri

sebagai pribadi yang mudah berempati dengan orang lain

Page 34: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

48

5. Pengetahuan yang terkonstruksi (constructed knowledge). Artinya adanya

kesadaran seorang perempuan bahwa segala kebenaran dan pengetahuan

adalah konstuksi sehingga ia keluar dari system dan kerangka berpikir

yang telah ditentukan oleh pribadi yang difigurkan melalui konstruksi

budaya dan berusaha menemukan jati diri dan membentuk kerangka

berpikir yang baru. Karena mencapai pengetahan yang konstruktif, maka

perempuan selalu mencoba merangkai dan merekonstuksi pengetuan yang

diperoleh secara intuisi dengan apa yang dipelajari dari orang lain.

Adanya kesadaran bahwa kepribadianya dikendalikan oleh harapan-

harapan orang lain dan harapan social, krena itu selalu ada pengauan akan

status quo dan selalu mencoba selalu mencoba menampung kebutuhan

dengan latar belakang budaya yang ditentukan oleh laki-laki dengan

pertimbangan bahwa perubahan tidak datang dengan mudah.

Menganalisa sejarah perjuangan Kartini terutama dalam surat-suratnya yang

ditujukan kepada sahabat-sahabatnya (tahun 1879-1904), ia menceritakan

kedudukan perempuan Jawa (termasuk dirinya sendiri) dalam sebuah keluarga

yang masih menganut budaya feodal dan garis keturunan patriakal. Bila

dihubungkan dengan teori Belenky dkk. tentang tahapan kesadaran diri

perempuan, maka bisa dikatakan bahwa kelima tahapan ini pernah dialami oleh

Kartini walaupun tidak berurutan.

Semasa kecil atau sebelum sekolah, Kartini berada pada posisi silent Knower

karena belum mengerti dan belum memahami “dirinya sendiri dan perilaku

“budaya” terhadap dirinya, sehingga selalu tunduk dan mengikuti “ungkapan”

figure” yakni ayahnya dan orang yang lebih tua disekitarnya. Namun setelah

Page 35: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

49

masuk sekolah, bergaul dengan orang-orang Belanda Ny. Ovink-Soer bersama

suaminya dan betemu dengan pandita Ramabai61

sangat mempengaruhi intelektual

Kartini, selain kedua orang tersebut, Stella Zehandelaar, Ny. Abendanon, dll.

Kartini mengamati dan menyimpan segala informasi yang yang bersifat verbal

maupun non-verbal sehingga ada sikap ingin keluar dari keterbelengguan budaya

dan ingin memperoleh kebebasan dan perlakuan sebagaimana perempuan Barat

dan saudara-saudaranya laki-laki. Masa sekolah telah menjadikan Kartini sebagai

received knower. Setelah belajar banyak dari pengalaman Pandita Ramabai,

mendengar cerita dan kerinduan temannya Letzy yang ingin meneruskan

pendidikannya di Belanda, kini Kartini berani mengkritik adat istiadat dan Agama

yang membelenggunyan sekaligus adanya sebuah kesadaran bahwa pendidikan

merupakan jalan untuk memperbaiki dan mengangkat kedudukan perempua.62

Suratnya kepada Ny. Abendanon (Agustus 1900)63

yang menyatakan betapa

sakitnya saat dia merenungkan perbedaan nasib antara dirinya dengan Letzy yang

akan sekolah ke Belanda, sementara dia akan menjadi Raden Ayu.64

Pada tahap

ini Kartini menjadi seorang perempuan yang Subjective Knower.

Selain teman-teman belandanya dan Pandita Ramabai, Ayah Kartini adalah

figure sekaligus pribadi utama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan

Kartini—melawan arus tradisi dengana menyekolahkan anak-anak perempuanya

61

Pandita Ramabai adalah seorang wanita India yang berhasil keluar dari lilitan tradisi India

yang dilegitimasi dengan ajaran Agama Hindu. Sebelumnya Ramabai adalah seorang Hindu

kemudian menjadi Kristen dan terlibat dalam pendirian sekolah untuk perempuan , anak-anak

yatim dan perumahan para janda. Jayawardana yang dikutip Tita Marlita, 543. 62

Hal ini bisa dibaca dalam suratnya kepada Nelly Van Kol Agustus 1901 (R. A. Kartini,

Habis Gelap Terbitlah Terang, 77) 63

R.A Katini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 40-42 64

Sebelumnya Kartini tidak memahami artinya menjadi Reden Ayu, tetapi setelah dia

mengamati para raden Ayu disekitarnya, dia tersadar bahwa menjadi Raden Ayu adalah menjadi

seorang perempuan yang harus menikah, seorang yang dimiliki oleh seorang laki-laki yang tidak

dikenalnya atau tidak memiliki latar belakang cinta (saling jatuh cinta)

Page 36: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

50

di sekolah orang-orang Belanda serta menyediakan buku-buku bacaan yang

berbahasa Belanda. Di sisi lain Ayah Kartini berusaha melawan arus budaya,

karena dia berpendidikan Barat dan berwawasan liberal, namun, di saat anaknya

menginjak umur remaja, maka dia memutuskan Kartini untuk tidak sekolah—

harus mengikuti tradisi sebagaimana anak perempuan lain menjalaninya yakni

masa pingitan. Pada tahap ini Kartini memberontak dan menolaknya, namun dia

tidak berdaya karena tekanan pribadi yang difigurkan yang juga berada dalam

sebuah tekanan budaya—sampai pada situasi ini Kartini menyerah dan menerima

dengan bersikap membisu.

Semasa menjalani pingitan, Ayah Kartini menyediakan buku-buku bacaan

bagi; salah satu buku yang berkesan bagi Kartini adalah Novel yang berjudul

Hilda Van Suylenburg yang mengisahkan seorang ibu yang mengasuh anaknya

sendiri (tanpa suami) ditengah kecaman masyarakat di sekitarnya. Buku ini juga

menekankan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.65

Setelah masa

pingitan selesai di jalani, Kartini dan kedua adiknya melibatkan diri pada aktivitas

social, pembangunan, dan pengembangan pendidikan bagi kaum perempuan.

Sementara berada pada keadaan kebisuan karena dalam situasi pingitan,

Kartini terdorong untuk memahami lebih mendalam dan merenungkan praktek

budaya, misalnya budaya sopan santun yang sangat kaku66

serta mengkritiknya.67

65

Marlita, 548 66

Suratnya kepada Stella taggal 18 Agustus 1899 yang menceritakan bagaimana adik-adiknya

merangkak bila melewatinya, begitu juga jika mereka menyampaikan sesuatu dengan orang yang

lebih tua dengan bahasa Jawa yang lebih tinggi dan tidak boleh lupa menyembah bila selesai

berkata-kata. begitu juga jika Kartini melewati kakak-kakaknya, Dia dituntut merangkak walaupun

tidak dilakukannya (R.A. Karitni, Terj. Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang, (Jakarta,

Balai Pustaka: Cet. Ke 27 2009), 28 67

Selain mengkritik sopan santun, Kartini juga mengkritik budaya kebangsawanan yang

disampaikan kepada Nn Zeehandelaar 18 Agustus 1899 yang mengatakan “ bagi saya hanya dua

macam kebangsawanan; bangsawan pikiran dan kebangsawanan budi. Tiada yang lebih gila dan

bodoh pada pemandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunanya itu.

Page 37: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

51

Pada sikap ini, Kartini berada tahap subjective knower. Selanjutnya Kartini

menjadi connectet knower membangun sikap berempati terhadap orang lain—hal

ini terjadi setelah adik laki-lakinya lahir, dia menceritakan kepada Ny Abendanon

bagaimana selalu menjaga dan mengurus adiknya dengan sabar dan penuh dengan

kelemah lembutan tanpa keluh kesah. Sehingga dia berkata bahwa “bukankah Ni

juga pernah sekecil dan selemah adiknya? Dan tidakkah ibunya dulu bersusah

payah untuknya?68

Dari kondisi ini, Kartini belajar untuk menerima dan

menghargai orang lain walaupun mereka berbeda, kehadiran adik kecilnya yang

sakit-sakitan telah mengajarinya arti dan pengorbanan seorang ibu. Kesadaran ini

mendorongnya mengembangkan pikiran tentang peranan seorang ibu sebagai

seorang pengasuh anak69

Kartini sampai pada tahap yang lebih tinggi yakni konstruktivis di saat

dilamar oleh Bupati Rembang yang berstatus duda menurut adat Jawa.70

Walaupun bagi Kartini lamaran ini merupakan “kemalangan” baginya, karena

akan menghambat mimpi dan perjuanganya dalam mengangkat kedudukan

perempuansekaligus perlawananya menentang poligami, namun berpikir bahwa

pernikahan harus dijalani oleh setiap perempuan yang berasal dari stratifikasi

sosial seperti dirinya, kedua adalah menjadi seorang istri seorang bupati

memungkinkan “suaminya” kelak menjadi seorang teman kerja yang setara dan

memiliki pemikiran maju berkaitan tentang pendidikan bagi kaum perempuan.

Dimanakah gerangan lebih jasanya, orang yang bergelar graf atau baro-- Dua dari gelar

kebangsawanan dari benua Eropa yakni Graf dan Baron? Tiada terselami oleh pikiranku yang

picik ini (R.A. Kartini, Habis Gelap, Terbitlah Terang, 27-28) 68

Surat-Surat Kepada Ny.R.m. Abendanon-Mandr dan Suaminya, Terj. Sulastin Sutrisno,

(Jakarta, Djambatan:1989) 69

Lebih jelasnya bisa dibaca dalam suratnya kepada Ny. Oving Soer tahun 1900 70

Konsep adat Jawa, seseorang disebut duda bila seorang laki-laki berpisah dengan istri,

karena isteri utamanya yang sekelas dengan dia telah meninggal—walaupun sebenarnya masih

memiliki tiga orang istri yang lain, namun dari stratifikasi social yang lebih rendah.

Page 38: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

52

Hidup di bawah tekanan yang sangat berat—budaya feodal dan patriakal

tidak membuat Kartini menyerah, namun melalui para sahabat-sahabatnya dan

orang yang ada disekitarnya dia mendapat ispirasi dan kekuatan baru untuk

memperjuangkan hak-hak perempuan yang harus disetarakan dengan para laki-

laki—perjuangan Kartini berkaitan dengan kesadaran dirinya sebagai perempuan

yakni; pertama, kerinduan agar setiap perempuan mampu berdiri sendiri dan

berpemikiran maju; kedua, agar setiap perempuan memiliki hak yang setara

dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan; ketiga, penghapusan diskrimansi

terhadap perempuan; keempat, pernikahan yang tidak diinginkan; dan kelima,

penghapusan poligami.

Semangat Kartini terus menggema dalam jiwa-jiwa perempuan Indonesia,

sehingga pada tahun 1955 diadakanlah kongres perempuan pertama se-Indonesia

yang membahas kedudukan perempuan dalam pembangunan bangsa. Salah satu

pemateri dalam kongres ini mengatakan;

“Tanah kita tiada akan selamat, kalau hanya seperdoea bangsa Indonesia yang

mendapat kemadjoean dan mendapat perhatian, sedangkan yang seperdoea lagi,di

tinggalkan dalam djoerang kebodohan…tiada sadja perkara kemadjoean bagi

kedoea belah pihak mesti diperhatikan dengan soengoeh-soenggoeh, tetapi lebih

lagi perkara kewajiban masing-masing dalam perkara yang lain. Sesoengoehnja

perasa‟an laki-laki dan perempoean boekan sadja pekerdja‟an atau oesaha jang

meminta hak, tetapi sebagian karena hendak melakoekan kewadjiban kita”71

.

Kesadaran seperti di atas terus berkembang sampai jiwa sanubari perempuan dan

laki-laki di setiap pelosok Indonesia, sehingga kedudukan perempuan dalam

keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pemerintahan dan non pemerintahan

disetarakan dengan laki-laki, perlakukan subordinasi dan kelas kedua terhadap

perempuan pelan-pelan terhapuskan.

71

Sitti Soendari,” Kewadjiban dan Djita-Djita Poetri Indonesia”, dalam Monique Susman,

Kongres Perempuan Pertama, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia/KITLV: 2007), 57

Page 39: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

53

Teori-Teori Feminis

A. Feminisme Marxis dan Sosialis

Penekanan Feminis Sosialis adalah aspek gender dan ekonomi dalam

penindasan atas kaum perempuan. Perempuan tertindas oleh modal yang tidak

memberi upah bagi kerja domestik mereka, dan suami yang memperlakukan

mereka sebagai pelayan. Sebagai pekerja di wilayah domestik, perempuan

diberi nilai pada saat mereka memiliki anak dan menjad tenaga kerja di rumah

seperti menyiapkan makanan dan menjaga pekerja laki-laki tetap bahagia

melalui dukungan emosional dan seks72

.

Hubungan perempuan dan laki-laki adalah paradigma dari keseluruhan

hubungan kekuasaan. Pradigma itu terus berlaku untuk menilai keseimbangan

kekuatan antara laki-laki dan perempuan baik disekitar sektor domestik

maupun disektor publik. Kelemahan pendekatan ini terletak pada

kecenderungannya untuk memusatkan perhatian pada pembedaan karekteristik

antara perempuan dan laki-laki. Hal ini berbahaya karena sangat bersifat

deterministik dan dapat menciptakan suatu pandangan bahwa pembedaan ini

bersifat permanen sehingga tidak ada peluang untuk mengubah pola hubungan

gender yang selama ini ada.73

Zillah Einstein dan Heidi Hartman sebagai tokoh intelektual feminis

sosialis mendorong sebuah gerakan untuk membebaskan para perempuan

melalui perubahan struktur patriarki dan penghapusan kapitalis. Perubahan

struktur patriarki dan penghapusan kapitalis bertujuan agar kesetaraan gender

72

Ben Agger, 225-227 73

Rian Nugroho, Gender dan stretegi pengarus-utamanya di Indonesia. (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar:2011), 69

Page 40: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

54

dapat terwujud 74

. Beberapa konsep dasar pemikiran feminis sosialis yaitu

berdasarkan konsep patriarki, kelas, gender, dan reproduksi. Feminisme

sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu penyadaran agar perempuan

sadar bahwa mereka merupakan kelas yang dirugikan dengan cara

membangkitkan emosi para perempuan agar mereka mengubah keadaannya

sebagai kelompok tertindas. Proses penyadaran ini menjadi inti feminisme

sosialis. Menurut mereka, banyak para perempuan yang tidak sadar bahwa

mereka adalah kelompok yang tertindas.

Kajian teoritis feminis sosialis dikembangkan di sekitar tiga tujuan

yakni, 1). mencapai suatu kritik terhadap penindasan patriarki dan kapitalisme

yang khas dan saling berhubungan dari sudut pandang pengalaman perempuan;

2). Mengembangkan metode-metode yang eksplisit dan memadai untuk

melakukan analisa berdasarkan pengertian materialism historis yang diperluas;

3). Menggabungkan pengertian akan signifikansi ide-ide ke dalam analisi

materialis atas penentuan urusan-urusan manusia75

. Feminis sosialis

menekankan aspek gender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum

perempuan. Perempuan dapat dilihat sebagai penghuni kelas ekonomi dalam

pandangan Marx dan “kelas seks”, sebagaimana disebut oleh Shulamith

Firestone. Artinya, perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi

kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas

74

Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasi, (Yokyakarta, Kreasi

Wacana: Cet. Ke 10, 2016), 225 75

George Ritzer, 809

Page 41: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

55

kerja domestik mereka.76

Dalam feminis sosialis perempuan tereksploitasi dan

tertindas oleh dua hal yaitu sistem patriarkhi dan kapitalis77

.

Ketika Karl Marx dan Frederich Engels mengformulsikan teori dan

ideologi sosial, maka terseliplah pemikiran tentang keprihatinan atas ketidak

adilan gender yang tidak hanya disebabkan oleh budaya patrikhi, tetapi juga

berkaitan dengan kepemilikan akses pada hal-hal yang bernilai ekonomi dalam

sebuah keluarga. Marx dan Engel mengasumsikan kaum perempuan

kedudukanya identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalisme di

Barat78

. Relasi kelas dan eksploitasi Teori Marx dan Enges mengkritik tradisi

kepemilikan pribadi dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang

melegitimasikan perempuan (istri) sebagai milik pribadi laki-laki (suami).

Kepemilikan seperti ini dalam sebuah keluarga dianggap sebagai penindasan

terhadap perempuan sebagai istri. Relasi kelas dan eksploitasi ekonomi satu

kelas oleh kelas yang lain adalah karakteristik sentral dari struktur sosail—ciri

ini sangat menentukan hakekat relasi gender79

.

Menurut Feminis sosialis, keluarga dipandang sebagai basis penindasan,

sebagai akibat dari kebutuhan kapital, yakni perempuan menjadi buruh

domestik di dalam rumah. Perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi

kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas

kerja domestik mereka.80

Karena itu, untuk membebaskan perempuan dari

76

Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia, Pembangunan ( Jakarta: Lembaga Penunjang

Pembangunan Nasional, 1982), 91 77

Bdk. Stevi Jakson and Jackie Jones, Ed. Contemporary Feminist Theories, (Washington

Square, New York, New York University Press: 1998), 14-18 78

Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamanya di Indonesia, (Yokyakarta,

Pustaka Pelajar: 2008), 69 79

Silvia Walby, Teorisasi Patirakhi, (Yokyakarta, Jalasutra: 1990),5 80

Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia, Pembangunan (Jakarta: Lembaga Penunjang

Pembangunan Nasional, 1982), 91

Page 42: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

56

penindasan ini, perlu suatu perubahan sistem ekonomi kapitalis dengan sistem

sosialis artinya pembentukan sebuah masyarakat yang egaliter tanpa adanya

kelas-kelas. Untuk mewujudkan masyarakat sosial tersebut harus dimulai dari

keluarga, di mana para istri terlebih dahulu dibebaskan dari kepemilikan suami

dan menjadi dirinya sendiri sebagai pribadi otonom/mandiri—lagikanya adalah

saat terjadi egaliter dalam sebuah keluarga secara otomatis akan tercipta suatu

kehidupan masyarakat yang sosialis.81

Feminis Sosialis beranggapan bahwa perubahan sosial akan menciptakan

lingkungan sosial yang kondusif bagi perempuan untuk menciptakan

kesetaraan dan kedilan gender sesuai dengan yang dikehendaki. Diktum Marx

yang diterjemahkan TB. Botomarre kemudian dikutip Ratna Megawangi; “ It s

the not consciousness of men that determines their exixtence, but on the

contrary, their socil existence determinis their conciusness” (artinya bukan

kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya,

eksistensi sosial yang menentukan kesadadaran mereka)82

Terjadi suatu perbedaan pendapat Feminisme sosial dengan dictum Marx.

Menurut dictum Marx keadilan sosial dapat diciptakan melalui perubahan

lingkungan sosial yang akan mempengaruhi individu yang kemudian dibawa

dalam keluarga, sementara Feminisme sosial berpendapat bahwa individu yang

telah terbentuk dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi lingkungan

sosialnya. Namun kalau kita mengambil jalan tengah dari perdebatan ini, baik

individu maupun lingkungan sosial saling mmpengaruhi, apa yang telah

81

, bdk. Riant Nugroho, 69-70 82

Megawangi, 141-142

Page 43: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

57

dimiliki oleh individu akan dibawa dalam sebuah kelompok sosial, sebaliknya

kelompok sosial akan mempengaruhi perilaku individu.

Teori Marxis menganalisa pola relasi antara laki-laki dan

perempuan yang dianalogikan dengan perkembangan masyarakat modern

industri kapitalis, sebagaimana dikutip Megawangi, Fredrick Engels dalam

bukunya Origins of the Family, Private property and the stete mengatakaan

bahwa pada masyarakat awal, yaitu masyarakat yang masih berburu dan

berpindah-pindah memiliki pola relasi sosial yang lebih egaliter, hal ini

disebabkan karena belum adanya kesadaran pentingnya kepemilikan pribadi.

Harta milik menjadi beban karena pola hidup berburu dan berpindah-pindah.

Pada masa ini, selain bekerja sebagai pengasuh anak, perempuan mempunyai

kekuasaan sehingga dia menjadi tuan di rumah. Perkembangan masyarakat

selanjutnya adalah menjadi masyarakat yang agraris—bercocok tanam,

sehingga komunitas mulai menetap, sehingga mulai ada kesaadaran pentingnya

kepemilikan pribadi (tanah, alat-alat produksi pangan), selanjutnya hasil

produksi semakin meningkat dan cadangan pangan komunal berkelimpahan

selanjutnya hasil produksi pertanian tersebut menjadi alat jual beli sehingga

hasil jual beli hasil dan alat produksi, cadangan makanan menjadi harta milik

laki-laki (suami). Hal ini terjadi karena wilyah perempuan di rumah,

sementara sektor di luar rumah adalah wilayah laki-laki (suami), karena itu

segala sesuatu yang berasal dari luar rumah adalah milik suami, selanjut

keinginan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dan peternakan, maka

Page 44: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

58

keluarga membutuhkan tenaga kerja—menurut Engel hal ini menjadi cikal

bakal lahirnya sebuah perbudakan.83

Berbeda dengan Marx dan Engel, Backofen yang dikutip oleh Ir.

Soekarno menjelaskan bahwa pada saat pola hidup masyarakat berburu dan

berpindah-pindah, selanjutnya menuju suatu fase pertanian, masyarakat

menganut matriakat, karena pada saat itu, terjadinya pernikahan antara

segerombolan laki-laki dengan segerombolan perempuan yang disebut dengan

kawin gerombolan, sehingga mereka tidak mengetahui siapa bapak dari anak

yang lahir tersebut. Kemudian perubahan sosial (evolusi sosial) dengan

perlahan-lahan terjadi, mulai lahir system pernikahan monogamy, sejak saat itu

“kepemilikan pribadi” mulai terjadi dan istri menjadi milik seorang suami dan

mulai saat inilah lahir system patriakhi84

.

Namun proses menuju ke monogami tersebut, maka ada suatu zaman di

mana bila seorang perempuan mau menikah, maka terlebih dahulu dia bergaul

dengan banyak laki-laki (menjadi perempuan sundal)—berbeda dengan

persundalan yang kita kenal sekarang, perempuan yang masih remaja dewasa

mesti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum resmi menikah

dengan satu orang laki-laki. Menurut Agama Babylonia, dahulu seorang

gadis mau menikah, terlebih dahulu pergi ke kuil Mylita dan disitu dia harus

mengorbankan kegadisannya kepada beberapa laki-laki, hal yang hampir sama

dilakukan di Cyprus, Tyrus,, Sydonia, di Mesir dilaksanakan pada perayaan

dewi Isis. Menurut Engels bahwa adat atau kebiasaan seperti ini telah

dilakukan hampir semua bangsa Asia di antara Laut tengah dan sungai

83

Megawangi, 142 84

Ir. Soekarno, Sarinah; Kewajiban Wanit Dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta,

Yayasan Bung Karno:2014), 100

Page 45: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

59

Gangga. Sebelum seseorang diperistri, terlebih dahulu memberi persembahan

kepada dewa-dewa melalui persundalannya dengan memuaskan nafsu banyak

laki-laki, bila hal itu bisa diwujudkan maka perempuan yang mampu memberi

kepuasan tersebut akan menjadi istri dan miliki seorang laki-laki yang merasa

puas atas pelayanan calon istri85

. Sejak saat itu perempuan menjadi milik

suami.

Terlepas dari diskusi di atas, yang jelas bahwa setelah terjadinya

kepemilikan suami atas perempuan, terjadilah perubahan sistem matriakhi ke

patriakhi, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan (istri) di wilayah domestik

menjadi tidak bernilai karena tidak menghasilkan “materi/uang” sementara

suami memiliki penghasilan dari hasil dari pertanian dan peternakan, di mana

hal itu di dapat di luar rumah. Karena itu laki-laki berusaha meningkatkan

perekonomian keluarga dengan mengadakan budak-budak, memaksimalkan

peran serta istri dan anak dan pewaris-pewaris harta bendanya, sejak kesadaran

seperti ini lahir, maka sejak saat itu juga terjadi eksploitasi tenaga kerja yang

berkembang dalam struktur-struktur dominasi.86

Menurut Engel, hal seperti

ini menjadi cikal bakal lahirnya ideologi patriakhi dalam sebuah keluarga

sekaligus menjadi kekalahan historis dunia jenis kelamin perempuan87

. Suami

yang disebut kepala rumah tangga yang memiliki harta menafkahi istri dan

anak-anaknya, selanjutnya terciptalah sebuah keluarg kecil dan pernikahan

yang monogami—dan dalam hal ini istri menjadi milik suami.

Dominasi laki-laki terhadap perempuan semakin kuat setelah terjadi

industrialisasi di mana ada pemisahan antar rumah dan publik. Publik menjadi

85

Soekarno 101 86

Bdk. Ritzer, 813, Riant Nugroho, 70-71 87

Silvi Walby, 103; bnk. Ir. Soekarno, 137

Page 46: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

60

wilayah laki-laki untuk mencari nafkah dan menghidupi anggota keluarganya

dalam bentuk materi atau uang sedangkan perempuan yang wilayahnya di

rumah dan melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan rumah tidak

mendapatkan bayaran berupa materi. Sehinggga dalam kondisi seperti ini,

menurut Engel posisi dan kekuasaan laki-laki dalam keluarga semakin kuat,

sementara posisi istri dan anak-anak semakin lemah dan ketergantungan

kepada suami. Dalam kondisi sepeti ini istri menjadi kepala pembantu (the

head servant) atau bahkan menjadi budak seperti ungkapan Engels; “…The

wife be come head servand, excluded from all participation in social

production. The individual family is founded in the open or concealed domestik

slavery of wife (…istri menjadi kepala pembantu, tidak diikut sertakan dalam

partisipasi produksi, keluarga nuklir didirikan atas perbudakan domestik dari

istri, yang sifatnya terbuka atau tertutup). Engel mengatakan demikain untuk

mengelaborasikan pendapat Marx tentang konsep slavery dalam keluarga.

Menurut Marx, asal muasal terjadinya beban ganda (devition of labor) atau

perbedaan peran disebuah masyarakat didasarkan pada perbedaan umur dan

jenis kelamin. Perbedaan ini menciptakan bentuk kepemilikan seorang oleh

orang lain, karena itu menurut Marx bahwa perbudakan terhadap istri dan

anak-anak merupakan bentuk pertama dari kepemilikan pribadi88

.

Perbedaan peran dalam keluarga dalam masyarakat kapitalis dianggap

telah menciptakan berbagai pekerjaan yang membuat seseorang teralienasi.

Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan dianggap pekerjaan

yang menyebabkan dia teralienasi karena terpisah atau bahkan terasingkan dari

88

Bdk. Silvia Walby, 103

Page 47: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

61

dunia luar, sementara pekerjaan rumah tersebut merupakan pekerjaan yang

tidak kreatif dan produktif (tidak menghasilkan uang). Karena itu Dalla Costa

menyebut pekerjaan rumah sebagai pekerjaan yang kecil, tidak berarti dan

teralienasi89

Selain teori di atas, Marx merumuskan teori lain yang disebut materialis

determinism. Argumen dalam teori ini mengungkapkan bahwa budaya dan

masyarakat berakar dari ekonomi, basis kehidupan masyarakat berdasarkan

pola relasi ekonomi/material yang selalu menimbulkaan konflik. Basis

ekonomi ini juga berlaku dalam kehidupan keluarga. Menurut Engels suami

merupakan cerminan dari kaum borjuis, sementara istri sebagai proletar yang

selalu ditindas. Pola relasi ekonomi ini ikut mempengaruhi budaya dan

agama, pengaruh ini disebut superstruktural. Sehingga warna agama dan

budaya pada masyarakat yang berpola relasi materialistik akan konsisten

dengan pola relasi paternalistik dan hierarki, bahkan adanya pembenaran akan

pola tersebut dari daya dan agama misalnya Kolose 3:18 “hai istri-istri,

tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”

Menurut Marx, perlu adanya pengahapusan pengaruh agama dari

kehidupan sosial, implikasinya terhadap feminis sosial adalah keiginan

mengubah segala pemahaman agama yang bias gender—pengaruh struktural

(budaya dan agama) seperti ini harus diubah, karena budaya dan agama

semata-mata superstruktural yang bisa diubah sesuai dengan kebutuhan dan

kepentingan yang bersangkutan. Karena itu, kalau selama ini agama digunakan

sebagai alat untuk mendiskriminasi perempuan, maka sebaliknya feminis juga

89

Megawangi 144

Page 48: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

62

bisa menggunakan agama sebagai dasar untuk membebaskan diri dari belenggu

patriakhi dan kapitalisme90

.

Dalam konsep materilisme Marx dan Engels menjelaskan bahwa

kepemilikan materi berpengaruh besar dalam perolehan kekuasaan seseorang

atas orang lain (terutama dalam keluarga). Laki-laki melakukan pekerjaan di

luar rumah untuk mencari nafkah berupa materi, sementara perempuan (istri)

melakukan pekerjaan domestik, di mana pekerjaan ini tidak mengahasilkan

uang (materi), karena itu istri tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga—

kekuasaan berada di tangan pribadi yang memiliki akses ekonomi atau hal-hal

yang dianggap bernilai “materi”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Zeretsky

sebagaimana dikutip oleh Megawangi;

“Women`s work in the home and the maternal role aredevaluedbecouse they are

outside the sphere of monetary exchange and unmeandsurable in monetary terms,

and love, thought supposedly valued, is valued only within a devalued ang

powerless realm”

“ Pekerjaan wanita dalam rumah dan peran keibuan tidak dinilai karena semuanya

itu ada di luar pasar moneter dan tidak dapat diukur dengan uang. Dan cinta,

walaupun dianggap penting, dinilai hanya dalam konteks wilayah yang tidak

bernilai dan lemah. Oleh karena itu, wanita dianggap inferior, sebagai budak

yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga, karena

kekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga dan pencari

nafkah91

Standar yang digunakan untuk menilai sesuatu berharga dan produktif

adalah materi, karena itu, menurut Engels, untuk membebaskan perempuan

dari “perbudakan dan penindasan keluarga”, perempuan harus keluar dari

sektor domestik dan masuk ke sektor publik sehingga bisa menghasilkan

materi, dengan demikian jika perempuan memiliki akses ekonomi dalam

90

Nugroho, 73-74 91

Megawangi, 145

Page 49: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

63

keluarga maka perempuan memiliki nilai tawar-menawar yang lebih kuat

dalam relasinya dengan laki-laki.

Berdasarkan teori Engels tersebut, maka feminis sosialis menilai bahwa

keluarga merupakan cikal bakal lahirnya kapitalisme dan ideology patriaki

yang menyebabkan perempuan tereksploitasi dan berada pada posisi subordinat

karena itu perlu penghapusan institusi keluarga—sebagai gantinya perlu

menciptakan keluarga yang kolektif sehingga segala bentuk pekerjaan rumah

tangga dikerjakan dengan kolektif, termasuk pengasuhan anak.

Misi Perjuangan gender dari kelompok feminis sosialis adalah

terciptanya masyarakat tanpa kelas, egaliter atau tanpa hierarki horizontal

dengan mengadopsi teori Marx yakni teori tentang penyadaran pada kelompok

tertindas dan konsep dialektis Hegel yang mengacu pada Marx bahwa

kapitalisme terdiri dari konflik-konflik kelas yang akhirnya akan membuat

sistem tersebut runtuh, sehinga tercipta masyarakat yang egaliter.

Feminis sosial melakukan penyadaran ini agar para perempuan sadar

bahwa mereka sedang tertindas, tidak diuntungkan sehingga rasa emosinya

bangkit dan secara kelompok diharapkan dapat mengadakan konflik langsung

dengan kelompok dominan (laki-laki) dengan asumsi bahwa semakin tinggi

entitas konflik, diharapkan semakin besar peluang untuk meruntuhkan ideology

patriakhi. Asumsi ini diadopsi dari konsep dialektis92

Perjuangan Feminis sosial mendapat banyak sorotan, mengingat

sebagian yang terdoktrinisasi mengubah sistem patriakhi ke matriakhi—

menjadi penguasa di keluarga, menindas dan mensubordinat laki-laki (suami),

92

Riant Nugroho, 75

Page 50: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

64

beberapa kritikan yang muncul adalah misalnya Mahartma Gandhi dalam

bukunya yang berjudul “Perempuan dan ketidakadilan Sosial” mengatakan

bahwa ada banyak perempuan keluar rumah untuk bekerja agar dapurnya

berasap, tetapi kemudian meninggalkan dapur yang telah berasap.93

Kemudian

backhofen yang dikutip Soekarno dalam bukunya yang berjudul “Sarinah;

Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia” mengemukakan

bahwa tidak selamanya dalam budaya yang patriakhi perempuan tertindas, dan

dalam budaya matriakhi tidak selamanya perempuan selalu dimuliakan, Ray

Strachey dan Henriette Rolland Holst mengemukakan bahwa dalam sistem

matriakhi kadang-kadang perempuan diperbudak, ditindas oleh perempuan,

karena itu, Soekarno mengemukakan agar tidak ada yang bermimpi

menghancurkan sistem patriakhi dan nature keluarga, karena sama saja dengan

menghidupkan bangkai atau mengubah arah perputaran jarum Jam.94

B. Femisnis Poskolonial; Perempuan Sebagai Subaltern

- Poskolonial—sebuah konsep

Dalam memahami arti poskolonialisme, Ania Loomba terlebih

dahulu mendeskripsikan arti kolonialisme. Kolonialisme bersasal dari kata

Colonia (Romawi), semula berarti tanah pertanian atau pemukiman,

kumpulan, perkampungan, masyarakat perantauan. Hal ini mengacu pada

orang Romawi yang bermukim di negeri lain tetapi masih mempertahankan

93

Mahatma Gandhi, Perempuan dan Ketidak Adilan Sosial, Terj. Siti Farida, (Yogyakarta,

Pustaka Pelajar: 2011) 94

Ir. Soekarno, Sarinah; Sarinah; Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia

(Jakarta, Yayasan Bung Karno; 2014), 94-96

Page 51: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

65

kewarganegaraan mereka. Karena itu dalam Oxford English Dictionari

mendeskripsikan sebagai;

Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru, sekumpulan orang yang

bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang

tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk

seperti itu, terdiri dari para pemukim asali dan para keturunan mereka dan

pengganti-penggantinya, selagi hubungan dengan negara asal masih

dipertahankan.95

Sebenarnya defenisi hanya menyebutkan para pemukim di tempat

dimana koloni-koloni dibentuk. Karena itu “kolonialisme” tidak

mengandung implikasi adanya penaklukan. Tetapi pemaknaan “kolonial”

dalam bentuk dominasi muncul sesudah adalanya hegemoni, sekaligus

eksploitasi salah satu negara terhadap daerah yang lain96

. Dengan demikian

Kolonialisme menyangkut berbagai masalah, berkaitan dengan penaklukan

dan penguasaan atas tanah dan benda rakyat yang lain97

. Sehingga dalam

penaklukan ini ada dominasi yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap

negara yang lain yang lebih lemah98

.

Yusak Setyawan mengutip Segovia99

menjelaskan bahwa

memahami arti poskolonil, perlu dibagi dalam dua kategori, pertama;

kategori yang menunjukan arti historis-politik. Artinya periode waktu

setelah pemisahan diri koloni secara formal dari pemerintahan negara

jajahan. Konsep kemandirian adalah suatu hal yang cukup ambigu. Untuk

bekas jajahan dapat mencapai kemerdekaan politik formal tetapi tetap

95

Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Yokyakarta, Narasi:2016), 1-2 96

Nyoman Kutha Ratna, Poskolonialisme Indonesia; Relefansi Sastra (Yogyakarta, Pustaka

Pelajar; 2007), 20 97

Looba, 3 98

Nyoman Kutha Ratna, 20 99

Yusak B. Setyawan, Buku Ajar; Postkolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective

(Salatiga, Fakultas Teologi UKSW; 2014), 1

Page 52: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

66

berada dalam sebuah dominasi atau kekuasaan negara lain yang lebih maju

dalam bentuk yang berbeda. Kedua, kategori sosio-psikologi artinya suatu

referensi dalam membentuk pola pikir baik secara invidu maupun secara

kolektif tentang fenomena imperial atau kolonial secara menyeluruh

sehingga lahir suatu “rasa penyadaran”. Konsep penyadaran mendorong

terjadinya sikap oposisi terhadap hegemoni kolonialisme dan imperialisme.

Dari dua kategori tersebut, Segovia mendefenisikan studi Poskolonial dari

perspektif imperial dan kolonial sebagai berikut100

;

1. Studi imperial dan kolonialisme lebih fokus pada yang berhubungan

dengan pusat atau metropolitan dengan yang pinggiran (periphery)

2. Studi imperialisme dan dominasi menimbulkan suatu oposisi dan

perlawanan; tidak terbatas pada suatu wacana tetapi pada sikap anti

imperialisme dan kolonialisme

3. Studi tentang periode imperialisme dan kolonialisme yang melahirkan

sub pemikiran tentang pre-imperialisme dan pre-kolonialisme;

imperialisme dan kolonialisme; post-imperialisme dan post-

kolonialisme; neo-imperialisme dan neo-kolonialisme

Aschroft, Griffith, dan Tiffin, meganggap istilah poskolonial

dipopularkan dengan segala ambiguitas dan kompleksitas berbagai pengalaman

kultural yang diimplikasikannya. Namun satu catatan yang perlu diperhatikan

sebenarnya kajian poskolonial bermula dari fakta historis kolonialisme Eropa,

dan bermacam efek material yang terjadi karena fenomena tersebut101

.

Argument tersebut lebih berkembang dalam tulisan Aschroft dkk. dengan judul

100

Setyawan, 2 101

Aschroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (eds). The Post-Colonial Studies Reader. (New York,

Routledge:1995), 2

Page 53: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

67

The Empire Writes Back di mana penulis menggunakan istilah poskolonial

untuk merujuk pada seluruh budaya yang dipengaruhi oleh proses imperial

sejak masa kolonisasi sampai setelah sebuah bangsa diakui sebagai bangsa yang

merdeka102

.

Sebenarnya wacana poskolonial lahir untuk menggugat konstruksi

kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok terpinggirkan (phery-phery),

seperti halnya mengenai oposisi biner yang telah membagi dunia dalam dua

kategori—ada kategori yang diistimewakan (kelompok utama dan ada

kelompok subordinat). Dari situasi ini poskolonial lahir untuk menolak dan

melawan pengkategorian dalam subjek dalam oposisi biner. Dengan merujuk

pada konsep subjek dalam teori kekuasaan dan pengetahuan Foucault.

- Perempuan Sebagai Subaltern.

Kalau feminis sosial bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa

kelas, egaliter atau tanpa hierarki horizontal, karena adanya dominasi laki-

laki dan perempuan, sehingga perempuan dianggap sebagai kepala pelayan,

bahkan dianggap sebagai budak dalam keluarga. Latar belakang budaya

lahirnya feminism sosialis adalah budaya Eropa dan Amerika. Namun beda

halnya dengan Feminisme Poskolonial yang lahir, pertama, karena ketidak

puasan atas analisa feminis liberal yang mengeneralisasi konsep

feminismnya antara budaya Eropa dengan budaya dunia ketiga, sekaligus

102

Aschroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (2002). The Empire Writes Back: Theory and

Practice in Post- Colonial literatures.. (London and New York, Routledge: 2002), 194

Page 54: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

68

karena dalam perjuangan feminis liberal menggunakan situasi perempuan

dunia ketiga sebagai iklan untuk pengobatan perempuan dunia pertama.103

Gayatri Cakravorty Spivak adalah salah seorang pemikir feminis

poskolonial asal India (dunia ketiga) namun berlatar belakang pendidikan

Amerika. Walaupun Spivak seorang yang berlatar belakang pendidikan

Barat, numun ia sangat membatasi diri terhadap pengggunaan analisa teori-

teori feminis Barat yang membahas tentang penindasan perempuan secara

global, karena menurutnya para perempuan Barat sudah berada pada posisi

yang mapan dan berpendidikan tinggi, sekaligus kebutuhan, pergumulan

dan situasi perempuan Barat dan perempuan dunia ketiga sangat berbeda.

Dalam kajian poskolonial, Spivak mencoba memasukan variabel jenis

kelamin sebagai objek kajiannya untuk melihat hubungan yang tidak setara

antara laki-laki dan perempuan (dunia ketiga) yang kemudian dianalogikan

dalam hubungan oposisi biner.

Spivak menggunakan istilah subaltern untuk menunjuk pihak-pihak

atau kelompok yang mengalami penindasan dari kelompok lain yang

berkuasa. Dengan memberikan penggambaran mengenai posisi Barat dan

Timur yang dianalogikan melalui hubungan laki-laki dan perempuan. Secara

implisit, hubungan diantara keduanya memiliki eksistensi yang sama dengan

hubungan antara Barat dan Timur. Perempuan diposisikan sebagai pribadi

yang lemah, terbelakang, bodoh, dan dikuasai. Perempuan diposisikan

sebagai kelompok subaltern, yaitu pihak yang mengalami penindasan dari

103

Leela Gandhi, Teori Poskolonial; Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, (Yogyakarta,

Qalam:1998), 110

Page 55: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

69

kelompok lain yang lebih berkuasa, sementara laki-laki adalah sebaliknya,

kuat, maju, cerdas, dan menguasai perempuan. 104

Dengan mengaplikasikan teori Derida, Spivak melakukan

dekonstruksi pada studi poskolonial dalam rangka meruntuhkan kekuasaan

wacana pusat dan membuka ruang bagi tuntutan masyarakat yang

termarjinalkan. Dekonstruksi yang dilakukan bukanlah sekedar praktek

pembongkaran kesalahan saja, melainkan sebagai upaya koreksi tentang

proses terjadinya kebenaran-kebanaran dalam sebuah konstuksi sosial

politik,105

terutama konstruksi politik Barat terhadap Timur (dunia ketiga).

Trinth yang dikutip Gandhi mengungkapkan bahwa “perempuan Pribumi”

dunia ketiga menderita akibat adanya orang Barat, lapisan lintas budaya,

perempuan dapat menyamarkan ideology separatisme yang tidak

menyenangkan. Dengan keras Trinh mengungkapkan bahwa “kemanapun

ia pergi, „perempuan pribumi‟ diperlakukan untuk menetapkan perbedaan

yang muncul dari referen utama feminism Barat: “kemanapun kita pergi,

kita menjadi seperti kebun binatang” 106

Dalam teori feminisme poskolonial,

reprentasi perempuan dunia ketiga secara umum adalah;

“Bodoh, miskin, terbelakang, terikat adat, jinak, berorientasi keluarga, selalu

menjadi korban, yang mendorong dan meninggalkan swarepresentasi

perempuan Barat yang yang modern, terdidik, yang mandiri, sehat jasmani

dan seksualitas, serta kebebasan untuk menentukan keputusan mereka

sendiri…pengertian Said akan wacana kolonial sebagai hak budaya yang

menunjukan „Si Lain‟ yang tunduk”107

104

Ann Brooks, Postfeminisme dan Cultural studies: sebuah Pengantar paling

Konntepomporer, ( yogyakarta, Jalasutra: 2011), 53-55 105

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, (ed), Hermeneutika Poskolonial; Soal Identitas,

(Yogyakarta, Kanisisus: 2004), 113; bdk. Ann Brooks, 164. 106

Leela Gandhi, 110. 107

Leela Gandhi, 111

Page 56: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

70

Gambaran tersebut menggambarkan begitu rendahnya kedudukan

perempuan, selain kaum kolonialis, dalam budaya lokal dunia ketiga, laki-

laki adalah kelompok yang diutamakan dan memiliki kekuasaan, sementara

perempuan adalah kelompok subordinat dan yang tunduk dalam dominasi

dan kekuasaan hegemoni laki-laki (suami).108

Kekuasaan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut situasi

strategis kompleks dalam masyarakat, karena itu menurut Foucault

kekuasaan mesti dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar

seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis, berfungsi dalam

dan terhadap setiap relasi sosial, ekonomi, keluarga,dan seksualitas, karena

itu dalam kekuasaan subjek menjadi konsep kekuasaan relasional sebagai

suatu fungsi jaringan relasi antar subjek. Dengan merujuk pada pengertian

subjek menurut Foucault, subjek dapat memiliki dua arti, yaitu tunduk pada

pengendalian dan ketergantungan pada orang lain, dan kukuh pada

identitasnya sendiri dengan kesadaran dan pengetahuan diri. Kedua arti

tersebut menunjukkan bentuk kuasa atas yang ditundukkan dan yang

menundukkan. Foucault berpandangan bahwa subjek diproduksi melalui

wacana. Subjek dapat membentuk pengetahuan yang diproduksi oleh wacana.

Subjek dapat menjadi objek melalui jalinan kuasa, karena itu subjek dilihat

sebagai individu yang superior, sedangkan objek sebaliknya berada dalam posisi

yang ditaklukkan oleh subjek.109

108

Abdi I Mughis Mudhoffir, Teori Kekuasaan Michel Foucault : Tantangan bagi Sosiologi

Politik, E Jornal Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Vol.18, No 1 (2013), 78 109

Afri Wita, Ejournal Humaniora, Vol. 25, No. 1 Februari 2013, 59; bdk. Pierre Boudieu, 60-

76

Page 57: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

71

Menurut Spivak para pemikir kolonial memposisikan kelompok

subaltern yang terpinggirkan ini sebagai sebuah bentuk yang seragam,

mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa

melihat etnis, gender, pendidikan, dan lain-lain. Dalam analisisnya

poskolonial memasukan variabel perempuan, karena perempuan sudah dapat

dikelompokan sebagai subaltern terutama dalam masyarakat berstruktur

patriakhi terutama pada dunia ketiga. Ia memperjuangkan membebasan

melalui penggalian kesadaran historis yang semestinya menjadi kesadaran

yang tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah lokal yang tidak hanya

terbatas pengalaman kultural perempuan sebagai subjek, melainkan sampai

pada pengalaman yang merefleksikan pola kekuasaan dan dominasi

ekonomi global, relasi struktur negara dan rakyat, dan pembatasan sosio

politik perempuan110

. Pemikiran poskolonial menempatkan masalah

perempuan dalam dominasi laki-laki atas kekuasaan hegemoni laki-laki—

hal inilah yang dimaksud dengan kolonisasi111

.

Dalam tulisanya yanag berjudul “Can The Subaltern Speak?” Spivak

menjelaskan dengan lugas bahwa terdapat suatu “kekerasan epistemis”

menimpa subaltern India. Karena itu ada berbagai upaya yang dilakukan

dari luar terutama kolonial atas dasar keprihatinan untuk memampukan

mereka berbicara dan membebaskan diri dari kondisi subaltern, terutama

praktek sati (pengorbanan diri para janda yang membakar diri di api unggun

suaminya). Keprihatinan yang dilakukan oleh kolonial Inggris ini dibentuk

110

Titiek Kartika, Perempuan Lokal VS Tambang Pasir Besi Global, (Jakarta, Yayasan

Pustaka Obor; 2014), 111 111

Stevi Jackson Dan Jackie Jones (Ed.), Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer,

(Yokyakarta, Jalasutra: 2009), 182-188

Page 58: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

72

dalam berbagai undang-undang penolakan praktek sati, namun menurut

spivak dalam proses pembuatan undang-undang tersebut kolonial tidak

melibatkan para perempuan-perempuan India yang kemudian akan menjadi

sati-sati berikutnya dan sebagai subjek112

. Hal ini mengebiri intelektual

perempuan atau adanya sikap merendahkan martabat perempuan India yang

tidak mampu untuk berbicara, sehiagga tidak ada ruang bagi sati sebagai

subjek subaltern berdasarkan seks untuk berbicara dan membebaskan diri.

Dengan demikian, perempuan berada pada posisi terjajah dari kolonial,

mengingat adanya penjajahan intelektual Barat untuk berbicara atas nama

kondisi subaltern dari pada membiarkan mereka berbicara atas nama diri

sendiri113

. Karena itu spivak menegaskan bahwa dengan memperoleh

kembali identitas kultural kolektif ternyata membuat subaltern akan kembali

pada posisi subordinat dalam masyarakat.114

Selain sebagai terjajah dari kolonial, perempuan India juga hidup

dalam budaya patriakha dengan legalitas atau perintah dari Agama Hindu

(atau dalam hal ini bisa dikatakan bahwa agama dan budaya menyatu atau

tidak bisa dipisahkan).

Spivak menampilkan sosok janda yang hidup dalam budaya patraiakat

yang dikonstruksi bukan hanya oleh sosial, tetapi lebih pada perintah

Agama untuk melakukan pengorbanan atmaghata (buduh diri) sebagai

pertanda kesetiaan dan cinta. Dalam ajaran Hindu kuno, hal ini dianggap

112

Gayatri Cakravorty Spivak “Can The Subaltern Speak?” dalam, Patrick Williams dan Laura

Chrisman, (Ed), Colonial Discourse and Poscolonial Theory, (Hemel Hempstead, Harverster

Wheatsheaf:1993), 66 113

Spivak, 80 114

Sutrisno, 114

Page 59: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

73

sebagai tatvajnana (kebenaran pengetahuan).115

Sebuah artikel yang disalin

ulang oleh Ania Loomba dengan judul “Nasib Janda-Janda Hindu yang

dikisahkan oleh seorang Janda”, di tulis pada tahun 1889 yang mengisahkan

nasib seorang janda setelah kematian suaminya;

“ tidak satupun keluarganya mau menyentuh dia uuntuk menanggalkan

perhiasan-perhiasan dari tubuhnya…tugas ini diberikan kepada tiga

perempuan dari kasta rambut…setan-setan betina ini boleh dikata menyerbu

janda ini dan merenggutkan semua perhiasan dari hidungnya, telinga, dst.

Dalam serbuan itu, tulang-tulang lembut dari hidung dan telinga kadang-

kadang dipatahkan. Kadang-kadang…untaian-untaian rambut ikut

tercabut…pada saat-saat seperti itu kesengsaraan datang menimpa

perempuan malang itu dari semua jurusan…tidak ada yang lain nasib kita

kecuali menderita dari lahir sampai mati. Ketika suami-suami kita masih

hidup, kita adalah budak-budak merka; ketika mereka mati, nasib kita

bahkan lebih buruk…ribuan janda mati setelah suami mereka mati. Tetapi

lebih banyak lagi harus menderita nasib lebih buruk sepanjang hidup mereka

seandainya mereka tetap hidup. Pernah, seorang janda yang masih saudara

saya mati di hadapan saya. Dia sakit sebelum suaminya meninggal. Ketika

sumainya meninggal, dia sudah sedemikian lemah, sehingga dia tidak bisa

diseret ke api unggun suaminya. Tubuhnya demam panas. Kemudian ibu

mertuanya menyeretnya dari tempt tidur kelantai dan memerintahkan

pelayan untuk menyiramkan ember demi ember air dingin ke tubuhnya.

Setelah kira-kira delapan jam dia meningggal. Tetapi tidak seorangpun

menengok bagaimana keadaanya saat dia mati kedinginan. Namun setelah

dia mati, mereka mulai memuji-mujinya, mengatakan bahwa dia mati karena

cintanya kepada suaminya…jika semua cerita (seperti itu) dikumpulkan akan

menjadi sebuah buku besar. Pemerintah melarang adat sati, tetapi beberapa

perempua yang mungkin akan mengalami kematian yang kejam tetapi

singkat ketika suami mereka meninggal kini harus menghadapi kematian

lambat yang menyakitkan.”116

Cerita seperti inilah yng dimaksud oleh Spivak akan melahirkan sati-

sati baru, karena itu Spivak menggunakan teori Derida tentang rekonstruksi

bagaimana proses kebenaran itu terjadi, menurut Spivak bahwa

pengorbanan diri janda merupakan tradisi kuno Hindu menjadi undang-

undang, ideologi dan ritual takhayul yang perlu didefenisikan ulang—

sebenarnya hal ini sebagai hadiah dari kesetiaan dan hal itu adalah pilihan.

115

Spivak, 93-94 116

Ania Looba, Kolonialisme/Pascakoloniaisme, (Yogyakarata, Narasi :2016)349-350

Page 60: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

74

budaya sati (bunuh diri) bukanlah ritual pengorbanan diri sebagai lambang

cinta dan kesetiaan, melainkan sebuah kejahatan117

.

Dalam hal ini, poskolonial, perempuan tidak hanya mengalami

penindasan dari satu pihak, tetapi dari tiga pihak, pertama, perempuan

dikondisikan pada suatu akibat kolonialisme, peran kolonial Inggris dalam

melarang Sati menempatkan masalah perempuan dalam sebuah bentuk

kolonialisasi kedua adalah kedudukan perempuan yang subordinat dalam

budaya patriakhi—perempuan sebagai kelas subordinat dalam sebuah

keuarga dan masyarakat dan ketiga, adalah perempuan ditindas oleh

kaumnya sendiri, orang tua terhadap anak dan menantunya—hal ini terjadi

atas konstruksi sosial dan bahkan perintah agama.

Karena itu Perempuan dipandang mengalami triple kolonialisasi

karena keberadaanya sebagai subjek yang dikuasai dan diskriminasi,

dialami sebagai subjek perempuan. Perempuan sering digambarkan sebagai

pribadi yang tertindas, objek kekerasan seksual, sekaligus dianggap sebagai

kelas yang dipinggirkan, dimarjinalisasikan, dilecehkan, bahkan dengan

atribut-atribut lain yang terkesan menggenaskan. Sebuah konstruk identitas

yang diproduksi untuk “perempuan dunia ketiga”, sebagai korban budaya

patriarkhi yang diperlakukan tidak sama dengan laki-laki baik di bidang

pendidikan (tidak didukung atau bahkan tidak disetujui oleh keluarga/orang

tua atas konstruksi sosial untuk mengenyam berpendidikan), dituntut untuk

117

Spivak, 97

Page 61: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

75

selalu mematuhi atau terikat tradisi domestik, dan selalu menjadi korban

kekerasan (verbal dan nonverbal).118

Karena itu feminis poskoloNias berjuang membebaskan perempuan

dari subaltern tersebut dengan rekonstruksi ulang teks-teks (wacana) baik

yang berupa budaya, teks keagamaan dan pembebasan dari kolonisasi Barat

dan feminis Liberal yang menjadikan perempuan dunia ketiga sebagai iklan

perjuangan feminis Barat. Dalam rekonstruksi tersebut, perempuan harus

dilibatkan dalam menentukan nasibnya sendiri—tentu hal ini disertai

sumber daya manusia sebagaimana Mahatma Gandhi menyebut bahwa

perlunya perempuan-perempuan India mengenyam pendidikan (sekolah

tidak harus belajar bahasa Ingris), dan Kartini yang memperjuangkan

perempuan Indonesia sebagai bagian dari dunia ketiga untuk memiliki hak

yang sama dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan sehingga mereka

bisa sederajat dengan saudaranya laki-laki dan mereka memiliki

kemandirian di bidang ekonomi.

Dari uraian di atas secara singkat bisa diuraikan bahwa secara umum

konstruksi sosial melahirkan berbagai ketidakadilan gender sehingga adanya

istilah-istilah Marginalisasi, Subordinasi, Stereotype, beban ganda, bekerasan,

relasi gender dan memposisikan perempuan pada kelas subordinat. Konstruksi

sosial ini sebenarnya memiliki hubungan erat dengan keluarga, di mana setiap

pribadi mula-mula dibentuk dalam sebuah komunitas terkecil dari sebah

masyarakat, yakni keluarga, dan apa yang dibentuk dalam sebuah keluarga akan

dibawa dalam komunitas, walaupun komunitas juga memiliki andil untuk

118

Chandra Talpade Mohanty.. “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial

Discourses”. Boundary 2, Vol. 3 (1984) 333—358

Page 62: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

76

mempengaruhi individu, sehingga dalam kontek ini terjadi proses “saling”

mempengaruhi.

Keluarga merupakan kelompok sosial yang terdiri dari dua orang dewasa

yang memiliki jenis kelamin yang berbeda memiliki kesepakatan seksual serta

menjaga hubungan tersebut secara sosial dan memiliki satu atau lebih anak

kandung atau adopsi dan memiliki kedekatan hubungan emosional (terdiri dari

ayah, ibu dan anak) yang memiliki fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih,

perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi. Agar fungsi

berjalan dengan efektif, maka perlu adanya pembagian kerja sehingga terciptalah

sebuah keseimbangan, jika tidak maka akan tercipta disfungsional. Dalam

menjalani fungsi ini, tidak terlepas dari konflik-konflik.

Dari konflik-konflik tersebut lahir suatu kesadaran akan perlunya

kesetaraan gender, kesetaraan antara laki-laki dalam perempuan diberbagai lini

kehidupan. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pisau analisa teori feminis

sosialis dan Marxisme serta feminism poskolonial, yang mana ketiga-tiganya

melandasi teorinya dengan teori Marx dan Engels, tetapi dengan konteks yang

sangat berbeda.

Teori feminis sosialis dan marxisme lahir dari konteks dunia eropa dan

Amerika dimana kapitalisme menjadi system perekonomian daerah tersebut,

sehingga lahir sebuah kesadaran diri dari pemikir feminis yang memahami bahwa

perempuan menjadi kelas subordinat dalam keluarga karena kapitalisme dan

budaya patriakhi, karena itu untuk membebaskan perempuan dari perbudakan

perlu penghapusan kapitalisme, kepemilikian pribadi, kelas dan bahkan keluarga.

Page 63: BAB II GENDER DALAM KELUARGA; KERANGKA TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/2/T2_752016014_BAB II... · mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak,

77

Sementara feminisme poskolonial yang lebih fokus pada nasib perempuan

dunia ketiga memahami bahwa nasib kedudukan perempuan yang subordinat

diakibatkan oleh kolonialisme, budaya patriakhi dan perintah agama. Perempuan

tidak hanya dijajah oleh kelas laki-laki dan penjajah, tetapi juga oleh perempuan

terhadap perempuan di dalam keluarga.