bab ii gender dalam keluarga; kerangka...
TRANSCRIPT
15
BAB II
GENDER DALAM KELUARGA;
KERANGKA TEORITIS
Kedudukan Perempuan; Sebuah Konsep Awal
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kedudukan diterjemahkan sebagai
tingkatan atau martabat, status (keadaan atau tingkatan orang atau lembaga)1.
Kata kedudukan merupakan kata yang memilkiki multi makna. Bila disandingkan
dengan perempuan, maka kedudukan dipahami sebagai martabat, kuasa, kontrol
atas sumber daya yang penting, bebas dari kontrol orang lain, atau rasa hormat
yang diberikan kepada perempuan.2
Untuk mengembangkan konsep ini, Peggy Sanday mengusulkan agar
konsep kedudukan dibedakan antara “derajat seorang perempuan yang dihormati
di wilayah domestik dan publik, dan derajat seorang perempuan memegang kuasa
dan kewenangan di wilayah domestik atau publik, artinya bahwa kedudukan
seorang perempuan dalam sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh status seorang
perempun memegang kendali di wilayah domestik, atau sejumlah hak ekonomi
dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya dalam sebuah keluarga.
1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, balai Pustaka: 2008), 1330
2 John Lahade, Perempuan, Kuda dan Tenun; Kedudukan perempuan dalam keluarga
dimasyarakat Wewena, Sumba, (Salatiga, Widya Sari: 2011), 50
16
Selain Sanday, Stoler juga mengajukan konsep yang mirip dengan Sanday,
dengan menggunakan istilah “otonomi perempuan” untuk menggunakan kuasa
ekonomi atas dirinya sendiri dibandingkan laki-laki serta kuasa sosial—kekuasaan
perempuan terhadap orang lain (secara perorangan atau sosial), di dalam atau di
luar rumah artinya kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat keputusan
dalam berbagai aktifitas, kemampuan mempengaruhi perilaku dan keputusan
anggota keluarga, dan kuasa untuk mengontrol diri sendiri. Kekuasaan ini
bersumber dari beberapa bentuk, yakni; harta, status sosial. Rogers
mengemukakan bahwa kedudukan perempuan hanya bisa dipahami dalam suatu
konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa
berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi
pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku
dalam masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideology, artinya kedudukan
perempuan tidak ditentukan hanya pada otonomi pribadi saja, melainkan juga oleh
faktor-faktor yang ada di luar dirinya (budaya).3
Teori Keluarga4 dari berbagai Pendekatan
1. Konsep Keluarga
3 Lahade, 51-53
4 Pada umumnya keluraga dan rumah tangga dipahami dan diartikan sebagai sebuah lembaga
atau institusi yang sama (bila merujuk pada bentuk keluarga inti atau nuclear family) namun
sebagian para ahli membedakan arti keduanya, keluarga berasaskan kekerabatan yang dikaitkan
dengan keturunan (umunya dipahami sebagai ikatan darah), dan berhubungan dengan symbol,
nilai dan makna, sementara rumah tangga berasaskan kedekatan geografis dan didefenisikan
sebagai satuan tempat tinggal yang berorientasi pada tugas dan dihubungkan dengan fungsional
ekonomi (produksi, konumsi, dan distribusi) dan unit domestik atau unit produksi biologi dan
sosial. Bdk. John Lahade, Perempuan kuda dan tenun; Kedudukan perempuan dalam keluarga
dimasyarakat wewewa, Sumba, (Salatiga, Widya Sari: 2011), 47-49; dan Eko A. Meinarno,
“Konsep dasar Keluarga” dalam Karlina Wati Silalahi dan Eko A. Meinarno, Keluarga Indonesia:
Aspek dan DInamika Zaman, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada: 2010), 4. Dalam penelitian ini
istilah tersebut digabung dalam sebuah konsep keluarga yang diterjemahkan dalam sebuah
fungsional keluarga. Karena itu istilah yang sering digunakan dan dibahas adalah istilah keluarga.
17
Setiap manusia terlahir dari sebuah keluarga, karena itu setiap orang tidak
akan kesulitan memahami arti keluarga walaupun dalam bentuk konsep
sederhana. Secara umum manusia memahami bahwa keluarga adalah
sekelompok orang yang berteduh dalam sebuah rumah yang terdiri dari
laki-laki dewasa yang disebut ayah dan perempuan dewasa yang disebut
ibu dan memilki sebuah komitmen untuk hidup bersama, serta memiliki
anggota keluarga yakni anak. Konsep tersebut sangatlah sederhana dan
sarat dengan perdebatan sehingga para ahli memikirkan berbagai macam
konsep sesuai dengan pendekatan yang dilakukan.
Dalam perkembangan pengetahuan sekarang ini, keluarga bisa
diartikan sebagai nuclear5 (inti), atau institusi terkecil
6 dari suatu
kelompok sosial atau masyarakat yang di dalamnya terjadi banyak hal
misalnya; hubungan antara individu, hubungan otoritas, pola pengasuhan,
pembentukan karakter, sosialisasi nilai-nilai dll. Untuk memahami konsep
keluarga dengan spesifik, dan lengkap, maka para ilmuan terutama yang
kajianya sosiologi keluarga, mulai memahami keluarga sebagai objek
dengan pendekatan dan kerangka teoritis tertentu, misalnya; pendekatan
antropologis, pendekatan Fungsional structural, konflik sosial,
interaksionis, perkembangan, sosio psikologis, ekonomis7. Dalam
penelitian ini, penulis hanya menggunakan pendekatan antropologis,
fungsional strukturan dan konflik.
5 Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius:2001),7
6 Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam Karlina Wati Silalahi dan Eko A.
Meinarno, Keluarga Indonesia: Aspek dan DInamika Zaman, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada:
2010), 3 7 T.O. Ihromi, Bunga rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta, yayasan Obor:1999), 268-269
18
2. Teori Keluarga; Pendekatan Antropologis
Murdock sebagai seorang antropolog mengartikan keluarga sebagai;
“Social group characterized bay common residence, economic
cooperation, and reproduction. I includes adults of both sexes, at
least of whom maintain a socially approved sexual relationship, and
one or mor children, own or adopted, of the sexually cohabiting
adults.”8
Dari pandangan tersebut, Murdock menjelaskan bahwa keluarga
merupakan kelompok sosial yang terdiri dari dua orang dewasa yang
memiliki jenis kelamin yang berbeda memiliki kesepakatan seksual serta
menjaga hubungan tersebut secara sosial dan memiliki satu atau lebih anak
kandung atau adopsi—selanjutnya Wilk dan Netting melengkapi konsep
ini dengan menambahkan kalimat “keluarga yang tinggal satu atap”9.
Defenisi lain diungkapkan oleh Gilgun (1992) Charton (2006)
mengungkapkan bahwa keluarga merupakan sekelompok orang yang
tinggal dalam satu rumah yang memiliki kedekatan fisik dan emosional
yang konsisten dan erat dan mengahasilkan satu atau lebih individu baru
dari generasi ke generasi. Konsep yang lebih luas diungkapkan oleh Bailon
dan Maglay mendefenisikan keluarga sebagai gabungan dari dua atau
lebih individu karena adanya hubungan darah, pernikahan dan adopsi
dalam satu rumah tangga dan membangun sebuah interaksi dan memiliki
peran masing-masing sesuai tradisi sosial dimana mereka hidup.10
Mattessih dan Hill mendefenisikan keluarga sebagai lembaga sosial
8 Di kutip oleh Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam, Karlinawati Silalahi (Ed.)
Keluarga Indonesia, 3 9 Meinarno, 3
10 Martono, Sosiologi perubahan Sosial; Perspektif klasik, modern, postmodern, dan
poskolonial, (Jakarta, PT. raja Grafindo Persada:2014),235-236
19
terkecil dari sebuah kelompok sosial yang ada hubungan dengan
kekerabatan, tempat tinggal dan memiliki ikatan emosional yang dekat
serta adanya sikap saling ketergantungan, pemeliharaan hubungan,
kemampuan beradaptasi dengan perubahan dan mempertahankan identitas
dan kinerja tugas-tugas keluarga11
Beberapa catatan berkaitan dengan konsep di atas, mengingat
situasi hidup masyarakat diperkotaan yang cenderung untuk berpindah-
pindah (mendekatkan diri ditempat kerja) serta gaya hidup yang
kensomerisme sehingga orang berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan
(baik laki-laki maupun perempuan, maka sudah lumrah bila sepasang
suami istri atau seorang laki-laki dan perempuan yang telah mengikat janji
setia dalam sebuah janji pernikahan tidak akan hidup bersama dalam satu
rumah disaat-saat hari kerja, dan atau orang tua yang sibuk bekerja tidak
akan hidup seatap dengan anak-anak beberapa saat karena pekerjaan di
luar daerah, atau anak-anak yang sekolah/kuliah diluar daerah tidak bisa
hidup bersama dengan orang tuanya selama beberapa saat. Karena itu
penekanan Wilk dan Netting tentang keluarga yang hidup satu atap untuk
wilyah perkotaan perlu dirumuskan kembali. Bagian kedua adalah di
beberapa Negara sekarang ini telah mengakui pernikahan antara satu jenis
kelamin (laki-laki dengan laki-laki yang disebut Gay dan perempuan
dengan perempuan yang disebut lesby), secara konstitusi Negara dan
bahkan sebagian agama mengakui hubungan ini sebagai hubungan yang
sah dan dianggap sebagai sebuah keluarga.
11
Martono
20
a. Bentuk-bentuk Keluarga
Frederic Le Play dalam bukunya L’organization De La Famillie
yang kemudian di kutip oleh Peter Burke membedakan tiga bentuk
keluarga, pertama, tipe patriakal yang juga sering disebut sebagai keluarga
patungan yaitu laki-laki yang telah menikah tetap tinggal serumah dengan
orang tua; kedua, bentuk tidak stabil yang sering disebut keluarga inti atau
konjugal, yaitu semua anak yang telah menikah pindah dari rumah; ketiga,
keluarga akar (Famille Sonche) yaitu hanya satu anak-laki-laki yang
menikah saja yang masih tinggal bersama orang tua.12
Bentuk keluarga ini
sangatlah dipahami, namun menurut Burke bahwa bentuk Le Play bisa
dipahami dalam urutan kronologis perubahan sosial dan menampilkan
sejarah keluarga besar Eropa yang semakin lama semakin mengecil, mulai
dari “klan” (dalam arti kelompok keluarga besar) pada abad pertengahan,
lalu menjadi keluarga akar pada permulaan zaman modern, dan akhirnya
menuju pada keluarga inti dimana hal ini merupakan karakteristik
masyarakat industri.13
Pandangan umum yang berkembang di sebagian besar masyarakat
modern, setidaknya ada dua bentuk keluarga yakni; keluarga inti atau
batih (nuclear family) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Bentuk
kelurga seperti ini biasanya mandiri dan mampu mengurus diri sendiri;
keluarga besar (extended family) yang terdiri dari suami, istri, anak-anak,
paman bibi serta kakek nenek14
. Memahami berbagai pola dan latar
12
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta, Yayasan Obor:2015), 77-78 13
Peter Burke, 78 14
Meinarno, 4-5
21
belakang budaya di berbagai belahan dunia, Goldenberg dan Goldenberg
merumuskan sembilan bentuk-betuk keluarga yakni;
“ keluarga inti (nuclear family), yaitu terdiri atas suamu, istri serta anak-
anak kandung; keluarga besar (extended family), yaitu keluarga yang
disamping terdiri atas suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak
saudara lainya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek,
mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar),
yang berasal dari pihak suami atau piha istri; keluarga campuran (blended
family), yaitu keluarga yang terdiri atas suami, istri, istri, anak-anak
kandung, serta anak-anak tiri; keluarga menurut hukum umum (common
low family), yaitu keluarga yang terdiri atas pria dan wanita ang tidak
terikat dalam pernikahan yang sah serta anaka-anak mereka yang tinggal
bersama; keluarga orang tua tunggal (single parent family), yaitu
keluarga yang terdri atas pria dan wanita, mungkin kaena bercerai,
berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak perah menikah, serta anak-
anak mereka tinggal bersama; keluarga hidup bersama (Comune family),
yatu keluarga yang terdiri atas pria, wanita dan anak-anak yang tingga
bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan
bersama; keluarga serial (serial family), yaitu keluarga yang terdiri atas
pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah mempunyai anak,
namun kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiiki
anak-anak dengan pasangan masing-masing tetapi semuanya
menganggap sebagai satu keluarga; keluarga gabungan atau komposit
(composite family) yaitu keluarga yang terdiri atas suami dengan
beberapa istri dan anak-anaknya (poliandri) atau istri dengan beberapa
suami suami dengan anak-anaknya (poligini) yang hidup bersama-sama;
keluarga tinggal bersama (cohabitation family), yaitu keluarga yang
terdiri atas pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan
yang sah”15
.
Dari bentuk-bentuk keluarga di atas secara langsung membantu
setiap pembaca memahami konsep keluarga sesuai dengan pola, konteks
budaya dimasing-masing komunitas sosial, walaupun tidak semuanya
mewakili contoh dalam masyakat Nias, salah satu bentuk keluarga adalah,
seorang istri atau suami yang telah menjanda atau menduda dan tidak
memilik seorang anak kandung atau anak angkat/adopsi, sementara dia
hidup sendiri atau menumpang di rumah orang lain.
15
Martono, 239
22
b. Fungsi keluarga
Sebuah ungkapan yang sangat menarik berkaitan dengan fungsi keluarga
“Keluarga adalah sel vital yang paling kecil dari masyarakat tempat cita-
cita, toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang
mempunyai pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan
model-model (contoh) yang paling baik”.16
Ungkapan ini mengungkapkan
tentang fungsi yang sangat penting dalam pembentukan karakter setiap
pribadi. Bekaitan dengan itu, maka Martono menjelaskan tentang fungsi
keluarga, yakni; 17
1. Fungsi reproduksi dan pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) yang
diatur dalam nilai-nilai sosial (budaya) di mana mereka hidup)—guna
kelangsungan generasi setiap masyarakat artinya melalui keluarga
terlahir generasi generasi baru sebagai pewaris dan penerus
“ekonomi,” budaya, nilai dan status sosial dari sebuah keluarga.
2. Fungsi psikologi. Keluarga sebagai wadaha untuk memperoleh dan
mengapresiasikan kasih sayang, menyalurkan perhatian—sejak lahir
manusia membutuhkan kasih sayang dari orang tua dan anggota
keluarga yang lain. Melalui keluarga, setiap manusia keluarga menjadi
sebuah wadah untuk menuangkan setiap perasan yang sedang dialami;
suka-duka, masalah, bahkan cita-cita—melalui keluarga manusia
merasa aman dan nyaman.
16
Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43
(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius :
2001), 12 17
Martono, 243-240
23
3. Fungsi sosial; melalui keluarga, orang-orang dewasa mensosialisasikan
dan meneruskan nilai-nilai, tadisi-tradisi dan budaya terhadap generasi
muda, selanjutnya generasi-generasi muda akan mengamati,
mempelajari dan menerima peran-peran sosial sebagaimana tertuang
dalam sebuah tradisi dalam sebuah masyarakat. Masih dalam fungsi
sosial, keluarga juga berungsi memobilitas sosial antar generasi
4. Fungsi ekonomi; pada masyarakat tradisional atau pertanian keluarga
menjaadi unit produksi, karena itu setiap anggota keluarga dilibatkan
sebagai alat untuk memenuhi atau mencari kebutuhan, misalnya dalam
sebuah keluarga petani karet--setiap orang dalam sebuah keluarga
diwajibkan untuk menyadap karet. Karena itu filosofi “banyak anak
banyak rezeki dalam sebuah masyarakat sangat pegang erat atau
diyakini. Mereka yakin bahwa dengan jumlah anak yang banyak,
maka kekayaan akan melimpah (karena semakin banyaknya unit alat
(pribadi) yang bekerja)
5. Fungsi pendidikan; keluarga sebagai lembaga pertama dan
membutuhkan waktu yang lama untuk melatih, menyalurkan
pengetahuan dan ketrampilan yang digunakan oleh anak disaat dia
sudah mulai bisa bekerja.
Lebih lengkap lagi, fungsi keluarga dijelaskan dalam peraturan Pemerintah No 87
Tahun 2014 pasal 7 ayat 2 huruf a- h. tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga, Keluarga berencana, dan sistem informasi keluarga.18
18
www.djpp.kemenkumham.go.id; http://www.peraturan.go.id/pp/nomor-87-tahun-2014-
11e4a13b37968d1e9ba3313430303433.html
24
1. Fungsi keagamaan, artinya mengembangkan kehidupan keluarga yang
menghayati, memahami serta melaksanakan nilai-nilai agama dengan
penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Fungsi sosial budaya, artinya memberikan kesempatan kepada keluarga
dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan dan menanamkan nilai-
nilai luhur budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.
3. Fungsi cinta kasih adalah memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan yang harmonis antaranggota keluarga, masyarakat serta
hubungan kekerabatan antar generasi sehingga tercipta kehidupan yang
penuh cinta kasih lahir dan batin.
4. Fungsi perlindungan artinya menumbuhkan rasa aman baik secara fisik,
ekonomi, dan psikososial, serta kehangatan dalam kehidupan keluarga.
5. Fungsi reproduksi, artinya melanjutkan/meneruskan (menjaga
kelangsungan garis keturunan) keturunan yang sehat, direncanakan,
pengasuhan yang baik, serta memelihara dan merawat keluarga sehingga
dapat mewujudkan kesejahteraan manusia lahir dan batin.
6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, artinya memberikan peran kepada
keluarga untuk mengasuh, merawat, dan mendidik keturunan sesuai
dengan tahapan perkembangannya agar menjadi generasi yang berkualitas
dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan kehidupan.
7. Fungsi ekonomi, artinya unsur pendukung untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dalam mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
25
8. Fungsi pembinaan lingkungan artinya menanamkan pada setiap keluarga
agar mampu menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis
Sementara resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menegaskan fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik,
mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
menciptakan kepuasan dan lingkungan yang sehat untuk tercapainya keluarga
sejahtera.19
3. Teori Keluarga: Struktural-Fungsional/system20
Teori strukstural fungsional sangat dipengaruhi beberapa pemikiran yakni
Aguste Comte yang mempunyai perhatian penuh pada keterlibatan dan
keharmonisan sosial dalam masyarakat yang berantakan setelah revolusi Perancis.
Comte sangat menginginkan suatu consensus sosial dalam suatu masyarakat dan
menolak paham utilitarianism dan individualism yang berkembang dimasyarakat.
Menurut Comte, masyarakat bagaikan tubuh organik. Tubuh organik sosial
masyarakat tidak berdiri sendiri tetapi adanya keterkaitan dengan unit-unit yang
lain. Kemudian pemikiran Comte dikembangkan oleh Spancer21
dengan
19
Maryam, S, “Peer Group dan Aktivitas Harian (Belajar) Pengaruhnya Terhadap Prestasi
Belajar Remaja ”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 192, Vol. 058; 2006, 72 20
Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan Teori Struktural-
Fungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set
dengan set lainnya, sedangkan kalau teori struktural-fungsional lebih menekankan pada
mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur. Kedua teori
tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis
kehidupan keluarga (Harien Parwati Gender dan Keuarga, (Bogor, IPB Press:2011), 21
George Ritzer, Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir
Postmodern, Terj dari Sosiolgy Theori, di terj. Oleh Saud Passaribu dkk. (Yokyakarta, Pustaka
Pelajar,2012), 58-61
26
mengemukaan dua analogi tubuh organik yakni proses evolusi dari bentuk
sederhana ke bentuk kompleks; kedua adalah membandingkan antara organisme
masyarakat dan organisme individu. Emile Durkheim22
memilki pandangan
tentang masyarakat bahwa individu merupakan ekspresi dari kolektivitas tempat
individu tersebut berada. Struktur dari masyarakat akan memberi tanggungjawab
kepada setiap individu karena itu setiap individu berbeda dan memiliki fungsi
yang berbeda (pada tahap ini lahirlah pembagian kerja).
Strutural fungsional memandang masyarakat sebagai suatu sistim yang
dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian sub system yang saling berhubungan.
System pada pendekatan ini berada pada lapisan individual (berhunbungan dengan
perkembangan kepribadian), lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan
masyarakat. Kajian fungsional terhadapa keluarga menekankan pada relasi antara
keluarga dengan masyarakar sekitarnya, relasi-relasi internal di antara subsistem-
subsistem yang terdapat dalam keluarga dan atau relasi di antara keluarga serta
karakteristik dari setiap anggota keluarga sebagai pribadi23
.
Teori ini memandang keluarga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat
yang memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan kehidupan sosial masyarakat,
serta adanya pengakuan bahwa kehidupan sosial memiliki keanekaragaman yang
kemudian melahirkan sebuah struktur dalam masyarakat—struktur tersebut
melahirkan peran yang beragam dalam sebuah system24
. Karena itu sistem sosial
sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis dan berkelanjutan. Keluarga
22
George Ritzer, Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir
Postmodern, Terj dari Sosiolgy Theori, di terj. Oleh Saud Passaribu dkk. (Yokyakarta, Pustaka
Pelajar,2012), 31 23
Ihromi, 269-270 24
Herien Puspitawati, Gender dan Keuarga; Konsep dan relita di Indonesia, (Bogor, IPB
Press:2017), 92
27
dilihat sebagai sebuah subsistem yang tidak terlepas dari interaksinya dengan
subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Dalam interaksi
tersebut, keluarga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan sosial masyarakat
(equilibrium state). Karena itu, menurut Klein & White sebagai asumsi dasar
dalam teori struktural fungsional masyarakat selalu mencari titik keseimbangan;
Masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi;
untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka fungsi-fungsi harus dijalankan, dan
untuk memenuhi semua ini, maka harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya
suatu keseimbangan atau homeostatik25
.
Agar keseimbangan bisa tercapai baik ditingkat masyarakat maupun
tingkat keluarga, maka kata “prasyarat” dalam struktural-fungsional menjadi suatu
keharusan. menurut Levy prasyarat structural tersebut meliputi: diferensiasi peran
yaitu tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga; tugas solidaritas
yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga; tugas ekonomi yang
menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai
tujuan keluarga; tugas politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam
keluarga, dan tugas integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi
internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota
keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku26
.
Berkaitan dengan prasyarat tersebut, menurut Ihromi, ada empat konsep
yang digunakan dalam pendekatan struktural fungsional, yaitu, Struktur, fungsi,
status, dan peranan27
. Struktur dianalogikan dengan tubuh biologis yang tidak
mengacu pada organisme atau satuan yang memiliki wujud sebagai tubuh yang
25
Puspitawati, 93 26
Puspitawati 27
Ihromi, 273-274
28
hidup, melainkan sebagai sebuah perangkat dari hubungan-hubungan, di antara
unit-unit yang menjadi bagian dari tubuh dari suatu sistem; organisme adalah
sekumpulan satuan-satuan yang terjalin dalam sebuah struktur. Selama
organismenya tetap hidup, maka strukturturnya akan berkelanjutan, kehidupan
suatu organisme dikonsepsikan sebagai berfungsinya stuktur. Bila dihubungkan
dengan dengan bagian-bagian yang terulang-ulang, proses kehidupan, seperti
pernapasan, pencernaan, maka fungsinya adalah peranan yang dimainkanya dalam
sumbanganya terhadap pemeliharaan, pelestarian terhadap kehidupan28
.
Struktural fungsional lebih banyak menaruh perhatian pada fungsi—fungsi
sistem-sistem yang terkadang tidak hanya melihat pada fungsi sistem yang
berkontribusi positif (fungsi-fungsi yang diharapkan) namun ada juga fungsi-
fungsi yang negative (tidak diharapkan) sehingga terjadi suatu disfungsi bagi
sistem (keluarga). Durkheim menerapkan istilah fungsi untuk pranata sosial
sebagai kesesuaiannya dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat29
.
Ada 3 bidang fungsi keluarga yang menjadi sorotan dalam pendekatan
fungsiaonal sruktural; 30
1. Fungsi-fungsi keluarga untuk masyarakat (hubungan antara keluarga dan
unit-unit sosial yang lebih luas) artinya, peranan keluarga dalam proses
sosialisasi yang dialami oleh anggota masyarakat; berkaitan dengan ini,
Parson dan Bales mengemukakan bahwa hanya keluarga inti (nuclear
family) yang berkonpeten mengasuh anak-anak kecil sehingga dapat
menjadi anggota keluarga yang serasi untuk masyarakat luar. Dikatakan
28
Ihromi 29
Ihromi 30
Megawangi, 63-64; bdk Ihromi, 270-273; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of
Family Theories and Methods A Contextual Approach, e-book, (Springer Science,Business
Media:2004)
29
keluarga inti karena penyampaian atau transmisi dari nilai-nilai yang ada
dalam suatu kebudayaan kepada anggota-anggota baru dalam sebuah
masyarakat; yang memiliki peranan penting bahkan utama dalam proses
sosialisasi tersebut adalah ibu (perempuan),31
karena ibu memiliki waktu
yang lebih lama bersama dengan anak-anaknya di rumah, sementara suami
atau laki-laki jarang bertemu dengan anak-anaknya—bertemu dengan
anak-anaknya di sore sampai pagi hari. Kaitan dengan fungsi keluarga
inti, menurut Ihromi32
, dua fungsi utama keluarga untuk masyarakat yaitu,
transmisi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan stabilisasi atau
mempersiapkan dan memantapkan dari kepribadian individu yang lebih
dewasa untuk terjun dan berkontribusi dalam masyarakat.
2. Fungsi-fungsi dari subsistem dalam keluarga untuk keluarga dan untuk
subsistem-subsitem itu sendiri (hubungan di antara keluarga dengan
berbagai subsistem). Dalam hal ini ada pengkajian fungsi setiap individu
dan kaitanya dengan pembagian pekerjaan di antara anggota keluarga demi
eksistensi dan kelestarian keluarga. Dalam hal ini, Parson, Bales, Slater,
Zeldith berpendapat bahwa untuk menciptakan suatu keseimbangan perlu
pembagian peran yang disebut differensasi peran sesuai gender (jenis
kelamin); peran instrumental disaat adanya perubahan sosial (peran yang
terutama ditujukan kepada pihak luar misalnya suami sebagai pencari
nafkah yang kemudian fungsi pencari nafkah tidak hanya tertuju pada ayah
atau laki-laki tetapi juga kepada ibu atau perempuan di saat terjadi desakan
31
Monique Susman, (penyunting), Kongres Perempuan Pertama, (Jakarta, Yayasan Obor dan
KITL: 2007), 61-63; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of Family Theories and Methods A
Contextual Approach, e-book, (Springer Science,Business Media:2004) 32
Ihromi, 271
30
ekonomi serta perubahan sosial dari keluarga sebagai unit produksi ke unit
konsumtif).33
Peran instrumental peran ekspresif (peranan yang utama
berhubungan dengan pengembangan solidaritas di dalam kelompok)
ditujukan bagi seorang perempuan (ibu).
3. Fungsi-fungsi keluarga untuk anggota keluarga temasuk perkembangan
kepribadian (hubungan di antara keluarga dengan kepribadian), misalnya
fungsi dari gangguan emosional anak terhadap keluarga dan
konsekuensinya terhadap perkembangan anak—sebagian peneliti
menyoroti perkembangan anak pada keluarga tertentu, hubungan ibu dan
anak, sebagian lainya menyoroti keluarga sebagai suatu keseluruhan dan
pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian yang berkembang—
karena itu untuk memastikan bahwa perkembangan kepribadian menuju
hal yang baik, maka setiap keluarga harus memiliki aturan—tanpa aturan,
hidup keluarga tidak akan memiliki makna (meaning) dan keluarga akan
memproduksi generasi-generasi yang tidak memiliki arah hidup. Selain
itu, Ackherman mengemukakan bahwa dalam memahami perkembangan
kepribadian, penting mempelajari hubungan antara masyarakat umum,
keluarga dan individu. Walaupun sebenarnya bentuk keluraga sangat
menentukan gambaran bentuk-bentuk tingkah laku dalam pelaksanaan
peranan tertentu, seperti peran sebagai suami, ayah, ibu, istri, atau anak—
menjadi suami, ayah, istri, ibu, anak baru memperoleh makna bila
dihubungkan dengan struktur keluarga tertentu. Jadi keluarga telah
33
Bdk. Martono, 243-245; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of Family Theories and
Methods: A Contextual Approach, e-book, (Springer Science, Business Media:2004)
31
membentuk untuk “menjadi” pribadi-pribadi yang diharapkan mampu
melakukan peranan dan fungsinya.
Bila ketiga fungsi berjalan dengan baik, maka keseimbangan dinamis
(dynamic equalibirium) akan tercipta, karena itu bisa disimpulkan bahwa
keluarga sebagai sistem yang terdiri dari subsistem masyarakat tempat cita-cita,
toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang mempunyai
pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan model-model (role
model) yang paling baik”.34
Dalam fungsional strukturan, penekanan akan pentingnya diferensiasi
peran dalam kesatuan instrumental ekspresif, adanya alokasi kewajiban tugas
yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem tetap ada. Tanpa pembagian
tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi
keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mmpegaruhi sistem yang lebih
besar lagi. Hal itu melahirkan ketidak seimbangan dan disfungsi keluarga—hal
ini bisa berakibat perceraian. Menurut Lavi, ada beberapa hal yang harus
dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem tetap berfungsi yaitu, diferensiasi
peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik, alokasi integrasi dan
ekspresi35
.
Berkaitan dengan hal tersebut, Talcott Parsons sebagai seorang analis
fungsional telah menjelaskan bagaimana hubungan antara peran dan fungsi
keluarga di dalam masyarakat. Peran menunjuk pada bagaimana anggota keluarga
saling berhubungan satu dengan yang lain, karena itu sebagai sebuah system
34
Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43
(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius :
2001), 12 35
Megawangi, 65-66
32
sosial, keluarga tidak luput dari perhatian analisis fungsional, di mana skema
AGIL (Adaptation; Goal Attainment; Integration; and Latency), Parson dapat
digunakan untuk mengaanalisa peran dan fungsi keluarga dalam mengahadapi
sebuah perubahan sosial.
Dalam menghadapi perubahan dilingkungan sekitar, keluarga harus memiliki
mekanisme dalam melakukan sebuah adaptasi terhadap perubahan tersebut, jika
tidak maka keluarga tersebut akan hancur tergilas perubahan. Kedua adalah
keluarga (nuclear family, secara khusus suami istri) harus memiliki tujuan yang
harus dicapai. Ketiga adalah, fungsi integritas dalam keluarga sehingga tercipta
ikatan batin dan solidaritas terhada setiap anggota klurga; keempat, fungsi
pemeliharaan pola dalam hal ini, peran keluarga dalam mensosialisasikan nilai-
nilai36
.
Menanggapi berbagi kritikan yang menilai bahwa fungsional stuktural hanya
mengharapkan sebuah harmoni dan keseimbangan tanpa melihat dinamikan
keluarga yakni konflik dalam keluarga karena adanya perbedaan-perbedaan, maka
Parson berpandangan bahwa adanya suatu konflik karena adanya kesenjangan
peran, karena itu perlu adanya control sosial, serta perlu adanya penerapan
penghargaan dan sanksi. Berbeda dengan Parson, marton mengajukan teori
tipologi penyimpangan perilaku yakni; Non-deviance (actor menerima dan
melakukan dengan baik nilai dan norma yang berlaku); Inovasi (selalu berpegang
pada “hasil dari kesepakatan”, namun tanpa terikat pada prosedur yang harus
dilalui untuk meraih tujuan/hasil); ritualisme (kebalikan dari inovasi yakni tanpa
harus mencapai tujuan, tetapi melakukan proses dulu); retretisme (pasrah—tidak
36
Bdk. Jonathan H. Turner, The structure of Sociologycal Theory, (USA, Wadsworth
Publishing Company; 1998), 34-36, dan Martono, 244
33
berbuat apa-apa). Berkaitan dengan fungsi sosialisasi keluarga, maka perlu adanya
sosialisasi yag fariatif terhadap anak37
.
Berangkat dari teori Parson, Cohen menolak gagasan bahwa
penyimpangan tentu saja menyebabkan disorganisasi. menurut Cohen, bahwa
sistem berada dalam disorganisasi hanya bagi orang-orang yang mengharapkan
keseimbangan sesuai dengan konstitusi sendiri. Penyimpangan dari peran akan
selalu ada dalam sebuah keluarga, namun tidak selamanya menyebabkan
disorganisasi, melainkan hanya meremehkan system nilai. Walaupun sebuah
penyimpangan terjadi, namun masih berfungsi, maka system masih terorganisir,
tidak merusak stabilitas dan keseimbangan, jurstru akan mendorong terciptnya
sebuah norma yang baru38
.
4. Teori Keluarga: Konflik Sosial
Secara umum, lahirnya teori konflik adalah terjadinya revolusi politik dan revolusi
industri (dengan system ekonomi kapitalis) yang melanda masyarakat Eropa
terutama di abad 19 dan awal abad 20. Pada tahun 1930-an teori konflik
berkembang di Amerika sebagai respon kebangkitan dari keterpurukan
(perekonomian, teknologi dan militer) Negara tersebut, sehingga Negara Amerika
menjadi sebuah simbol modernitas. Teori konflik mulai berkembang pada tahun
1960-an dan sering digunakan dalam kajian perempuan persepektif feminism39
.
Selain hal tersebut di atas, teori konflik juga merupakan respon
ketidakpuasan terhadap teori fungsionalisme stuktural Talcot Parson dan Robert
K. Marton yang menilai masyarakat dengan paham dan konsensus dan
37
Pauline G., dkk, 199-201 38
Pauline 39
Bdk. Ihromi, 278
34
integralistiknya, sistem sosial yang berstruktur dan adanya perbedaaan fungsi dan
diferensiasi peran. Strukturalis fungsionali menganggap bahwa keluarga
melanggengkan kekuasaan yang cenderung menjadi cikal bakal lahirnya ketidak
adilan dalam masyarakat. David Lockwood mengkritik Parson yang terlalu
menekankan keseimbangan dan ketertiban. Hal ini dianggap sebagai suatu
pemaksaan bagi individu untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan dan
kebutuhan kelompok terpenuhi. Menurut Lockwood, konflik akan selalu
mewarnai kehidupan masyarakat terutama dalam hal distribusi sumber daya yang
terbatas, karena pada dasarnya setiap individu lebih mementingkan diri sendiri
dari pada kepentingan kelompok, masing-masing kelompok atau individu
memiliki tujuan yang berbeda-beda bahkan bertentangan sehingga dengan
demikian akan timbul diferensiasi kekuasaan akibatnya sekelompok orang akan
menindas yang lain.40
Engels pernah mengungkapkan bahwa pada zaman masyarakan berpola
hidup berpindah-pindah atau bahkan pola hidup pertanian; kehidupan mereka
masih miskin (menurut kriteria taraf hidup jaman sekarang), perempuan di
keluarga dalam sebuah masyarakat dihargai atau tidak ditindas, namun setelah
manusia masuk dalam revolusi politik dan ekonomi yang kapitalis, perempuan
dalam sebuah keluarga diposisikan pada kelas subordinat (secand class).41
Pada
tahun 1960-an dalam analisis keluarga konflik itu digunakan, terutama oleh
40
Bdk. Herien, 98
41 Bdk, WWW. Google, Fathimah Fildzah Izzati, “Women‟s Question dalam Perjuangan
Mengakhiri Kapitalisme dan Patriarki” risensi buku, Maria Mies, Patriarchy & Accumulation on a
World Scale :Women in the Internasional Division of Labour (New Edition), Zed Book Ltd, 1998.
https://indoprogress.com/2013/01/womens-question-dalam-perjuangan-mengakhiri-kapitalisme-
dan-patriarki/, dimuat 15 Januari 2013, di akses tanggal 3 Juni 2017, bdk, Ihromi , 278
35
pemimpin-pemimpin berkulit hitam dan para aktifis perempuan yang
memperjuangkan agar terjadi suatu perubahan dalam struktur keluarga dan
masyarakat.
Dalam kajian teori ini, ada anggapan bahwa konflik dalam sebuah
keluarga dianggap sebagai ancaman bagi keharmonisan keluarga, namun beberapa
pakar konflik beranggapan konflik dipandang sebagai sebuah proses sosial,
sehingga terjadi suatu perubahan dari tatanan yang lama menuju suatu pembaruan
yang disesuwaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, karena itu konflik
dipandang sebagai fenomena sosial yang biasa dan wajar dalam setiap interaksi
manusia terutama dalam keluarga—agar konflik tersebut tidak menuju pada
keretakan atau kehancuran kohesi sosial, keutuhan keluarga, maka diperlukan
manajemen konflik, alokasi kekuasaan, dan sumber daya dalam keluarga. Pada
umumnya peneliti yang mengkaji tentang kekerasan dalam keluarga serta
penangananya lebih cenderung menggunakan teori konflik.42
Klein dan White
menguraikan asumsi dasar dari teori konflik adalah,
“ (1) Manusia tidak mau tunduk pada konsensus, (2) manusia adalah individu
otonom yang memiliki kamauan sendiri tanpa harus tunduk pada norma dan
nilai; manusia secara garis besar dimotifasi oleh keinginan sendiri, (3 konflik
adalah endemik sosial; (4) tingkatan masyarakat yang normal lebih
cenderung mempunyai konflik daripada harmoni, dan (5) konflik merupakan
suatu proses konfrontasi antara individu, grup atas sumber daya yang langka,
konfrontasi suatu pegangan hidup yang sangat berarti.”43
Hal mirip diungkapkan oleh Ihromi tentang asumsi dasar dari teori konflik
yakni, pertama, Setiap anggota keluarga memiliki kedudukan yang berbeda
sebagai konsekuensi dari jenis kelamin/gender atau umur. Lahirnya konflik dalam
sebuah keluarga (yang diekspresikan secara verbal dan non verbal)
42
Bdk. Ihromi, 279 43
Puspitawati, 98
36
dilatarbelakangi adanya tawar-menawar dan persaingan untuk memperoleh
kedudukan dan hal-hal yang dianggap bernilai tinggi, seperti uang, perhatian,
kekuasaan, dan kewenangan untuk memainkan peran tertentu. Namun walaupun
ketegangan atau konflik sering terjadi, tujuan dan cinta yang timbul antara
anggota keluraga menyebabkan satu sama lain saling terikat; kedua, konflik dalam
keluarga dapat membawa akibat positif atau negatif, bila hal konflik ditekan maka
berakibat buruk pada anggota keluarga, hal itu bagaikan api dalam sekam, dimana
bibit atau pemicu konflik telah membara, tetapi anggota keluarga berusaha untuk
menyembunyikannya, namun perlu dicatat bahwa keluarga yang tidak mengalami
konflik tidak menajamin kebahagiaan sebuah keluarga,44
karena itu Sprey
mengemukakan bahwa masalah-masalah yang ada dalam keluarga bukan karena
adanya perbedaan antara anggota keluarga (terutama antara suami istri), karena
perbedaan itu selalu dan pasti ada. Namun konflik itu ada karena
ketidakmampuan para anggota keluarga untuk hidup dengan perbedaan-perbedaan
yang ada di antara mereka. Perbedaan yang terus menerus ada dalam keluarga
harus mampu dikendalikan (dengan manajemen konflik keluarga), karena itu
keluarga yang berhasil dalam keluarga bukanlah keluarga yang berhasil menekan
sebuah konflik, tetapi yang berhasil memuaskan semua anggota keluarga dengan
mengadakan negosiasi mengenai perbedaan dan gesekan/konflik yang timbul
dengan tingkat kesadaran yang sangat baik dalam membangun negosiasi45
(hal ini
tidak dilakukan atas pengaruh emosional, melainkan sebuah kesadaran untuk
mengalah untuk menang).
44
Puspitawati 45
Ihromi, 281-282
37
Gender dan Feminisme.
Suatu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa bila berbicara tentang keluarga, berarti
juga berbicara tentang gender. Karena konsep dan ruang lingkup gender
merupakan bagian dari proses pengelolaan sumber daya dalam keluarga yang di
dalamnya ada peran-peran yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga.
Istilah gender sebenarnya diperkerkenalkan oleh para ilmuan sosial untuk
menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan (seks
atau biologis) yang sifatnya kodrat—tidak bisa ditukar dan hal-hal yang bisa
dinegosiasikan, terjadi dan berkembang atas konstruksi sosial yang berjalan dalam
suatu proses sosialisasi.
Hampir bisa dipastikan bahwa selama ini ada kesalah pahaman dalam
memahami konsep gender. Gender dipahami sebagai perbedaan antara laki-laki
dan perempuan yang bersifat bawaan (kodrat) dan yang hal-hal yang sifatnya
konstruksi sosial yang berjalan dalam suatu proses sosialisasi. Dalam budaya
patriakhi, perbedaan antara yang kodrat dan konstruksi hampir tidak bisa
dipilah—adanya anggapan bahwa hasil konstruksi sosial terhadap perbedaan
fungsi, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sudah
merupakan hal yang kondrat karena itu tidak bisa dilakukan sebuah perubahan,
akibatnya berdampak pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat dari berbagai sumber daya. Dari dampak tersebut lahirlah berbagai
istilah atas perilaku yang sering terjadi dalam keluarga dan lingkungan
masyarakat, diantaranya46
;
46
Bdk. Anita Rahmawaty, “Harmoni dalam Keluarga Perempuan Karir: Upaya Mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga”, dalam Paletren, Vol. 8, No. 1, (Juni 2015), 9-
11
38
a. Marginalisasi; merupakan suatu proses sikap, perilaku, kayakinan dan
tafsiran terhadap kitab kagamaan, tradisi dan kebiasaan masyarakat, atau
bahkan asumsi pengetahuan serta kebijakan Negara yang berdampak pada
penyisihan atau peminggiran bagi perempuan atau laki-laki yang
mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi.47
Contoh; perilaku dalam
memprioritas pendidikan tinggi bagi anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, karena anggapan bahwa anak laki-laki sebagai
penanggungjawab, pewaris dan penerus tradisi keluarga, sementara
perempuan akan menikah dan pindah ke rumah suaminya sebagai ibu
rumah tangga yang urusannya hanya sebatas kasur, sumur, dan dapur.
b. Subordinasi; adalah sikap, anggapan atau tindakan masyarakat yang
menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting)
dan sekedar sebagai pelengkap kepentingan kaum laki-laki—laki-laki
sebagai pribadi yang diutamakan. Contoh; beberapa pekerjaan dalam
keluarga yang tidak “menghasilkan uang” dikerjakan oleh ibu atau bapak
rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai sebuah karier atau pekerjaan
karena tidak menghasilakn uang, sehingga bila ada pertanyaan tertuju
kepada seorang ibu atau bapak yang tidak bekerja sebagai PNS atau
pegawai perusahaan atau pekerjaan yang tidak mengasilkan uang, “ibu
atau bapak pekerjaanya apa” selalu dijawab tidak bekerja, hanya sebagai
ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga bagi bapak.
c. Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan
sikap atau penilaian negatif. Berbagai sikap ketidak adilan dalam keluarga
47
M. Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1999),
14
39
atau kelompok sosial berkembang karena adanya sebuah stereotipe yang
dilabelkan pada jenis kelamin, contoh, bersolek dilabelkan kepada
perempuan yang suka tampil cantik untuk menarik perhatian orang lain,
macho dilabelkan kepada laki-laki yang kekar, kuat, dll48
.
d. Beban ganda; adanya anggapan bahwa pekerjaan rumah, mengasuh anak
bahkan karena keterbatasan ekonomi, perempuan bekerja bersama suami
untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sering dianggap sebagai sebuah
pengabdian dan pengorbanan yang mulia.
e. Kekerasan; bentuk kekerasan akibat bias gender sering disebut dengan
istilah gender-related violence. Korban kekerasan bukan hanya
perempuan tetapi bisa juga laki-laki yang dilakukan secara verbal yang
terjadi di tempat terbuka atau di ruangan tertutup atau privat dan kekerasan
nonverbal (antaranya, pemerkosaan, penyerangan seksual, pemukulan,
pelecehan seksual)49
.
f. Relasi Gender50
; hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan
dengan pembagian peran yang dilakukan oleh setiap orang pada berbagai
bentuk struktur keluarga (keluarga miskin atau kaya, keluarga desa atau
kota, keluarga lengkap atau tunggal, keluarga yang memiliki anak atau
tidak).
Berhubungan dengan beberapa hal tersebut (konstruksi sosial yang dijadikan
kodrat), maka beberapa ilmuan sosial mencoba menguraikan konsep gender dan
48
Bdk. Fakih. 16-17 49
Bdk. Silvia Walby,193-202; bdk, Retnowati, “Critizing the Silence the Religions In
Andressing Violence To Ward Women” Academic Research International Journal, Vol.4 No.3
(May 2013), 319-320; Komnas Perempuan, Peta Kekerasan; pengalaman Perempuan Indonesia,
(Jakarta, Ameepro: 2002) 37-105; Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, (Yokyakarta, Jalasutra:
2010), 47-60 50
Puspitawati, 70
40
jenis kelamin (seks); Anne Oakley, ahli sosiologi Inggris merupakan orang yang
pertama kali mengusung konsep gender dan memberikan pembedaan antara istilah
gender dan jenis kelamin, gender dipahami sebagai identitas laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi dalam sebuah masyarakat, sementara hal-hal yang
kondrati lebih tertuju pada jenis kelamin (seks atau biologis) yang berkonsekuensi
pada perbedaan peran reproduksi; laki-laki memiliki penis, testis, membuahi
spermatozoa, hormone testoteron, kelenjar prostate, sementara perempuan
memiliki vagina dan kandungan karena itu perempuan melahirkan, memiliki
kelenjar susu—menyusui, haid, memiliki hormone esterogen dan progesteron 51
.
Herien Puspitawati mengartikan Gender sebagai perbedaan peran,
fungsi, hak, status, tanggung jawab serta perilaku laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya sebagai hasil kesepakatan atau hasil
bentukan dari masyarakat melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Hal
ini bukan kodrat karena itu dapat diubah, dapat dipertukarkan bergantung pada
waktu dan keadaan serta budaya masing-masing.52
Dari konsep tersebut bisa
dikatakan bahwa ruang lingkup dan konsep gender menyangkut peran, fungsi,
status, tanggungjawab, kebutuhan umum dan kebutuhan khusus, permasalahan
umum dan khusus laki-laki dan perempuan. Gender adalah hasil kesepakatan
antara manusia dalam kurun waktu dan budaya tertentu sehingga bisa berubah
bahkan dipertukarkan—tergantung budaya dan waktu.
Dari konsep dan beberapa istilah “kesenjangan perilaku” gender di atas,
maka timbulah suatu kesadaran atas kesamaan atau kesetaraan (equality) laki-laki
dan perempuan baik dalam keluarga maupun ditingkat masyarakat, dengan
51
Rio Girsang, Nias Dalam Perspektif Gender, (Sibolga, Caritas keuskupan Sibolga: 2014), 4-
6 52
Puspitawati, 84 dan 64
41
munculnya beberapa istilah yakni, kesetaraan gender dan keadilan gender53
,
emansipasi wanita,54
yang kemudian melahirkan pergerakan yang disebut gerakan
feminisme dengan berbagai aliran pemikiran.
Henrietta L. Moore adalah seorang yang menelaah hakikat dan makna
kritik feminisme dalam antropologi. Menurut Moore, feminisme sebagai sebuah
kesadaran perempuan akan penindasan dan pemerasan dalam kerja, di rumah dan
di masyarakat. Feminisme juga bisa dipahami sebagai kesadaran tindakan politik
yang dilakukan oleh perempuan untuk mengubah situasi yang telah dan sedang
dialami. Konsekuensi dari konsep tersebut pertama, defenisi tersebut menunjukan
bahwa pada tahapan yang mendasar terdapat kebutuhan dan kepentingan bersama
perempuan yang harus dan layak untuk diperjuangkan; kedua, walaupun adanya
berbagai aliran dalam perjuangan (Feminis liberal, radikal marxis, sosialis, eko
feminis, feminis poskolonial), namun premis yang mendasari perjuangannya
adalah adanya identitas nyata dan aktual karena merupakan landasan kesatuan
kepentingan perempuan; ketiga adalah perjuangan feminis, lebih jauh lagi,
tergantung pada kohesinya—baik yang potensial maupun aktual dalam
53
Puspitawati mengutip USAID yang mendefenisinakn kesetaraan gender sebagai gender
equality yang diartikan permits women and men equal enjoyment of human right, socially valued
goods, opportunities, resources and the benefit from development result (kesetaraan gender
memberi kesempatan baik kepada perempuan atau laki-laki secara seimbang dalam menikmati
hak-haknya sebagai manusia, secara sosial memiliki benda-benda, kesempatan, sumber daya, dan
menikmati hasil pembangunan. Kadilan gender diartikan sebegai gender equity yang dijabarkan is
the process of being fair to women and men. To ensure fairness, measures must be available to
compensate for historical and social disadvantages that prevent moment and men from operating
on a level playing field. Gender equity strategies are used to eventually gain gender equality.
Equity is the means; equality is the result (keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi
adil baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. Untuk memastikan adanya suatu keadilan,
maka dibuat suatu ukuran untuk mengompensasi kerugian secara historis maupun sosial yang
mencegah perempuan atau laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Stretegi keadilan
gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan
suatu cara, kesetaraan adalah hasilnya Puspitawati, 70).. 54
KBBI mengartikan emansipasi wanita sebagai proses pelepasan diri para wanita dari
kedudukan sosial ekonomi yg rendah atau dari pengekangan hukum yg membatasi kemungkinan
untuk berkembang dan untuk maju. Tokoh utama dalam pejuang emansipasi wanita di Indonesia
adalah R.A. Kartini.
42
penindasan yang dialami oleh sesama perempuan. Pengakuan atas pengalaman
(yang telah bahkan sedang dialami) oleh sesama perempuan merupakan dasar
“pejuangan seks” yang dipremiskan pada pendapat bahwa perempuan adalah
kelompok sosial yang didominasi oleh laki-laki sebagai kelompok sosial lain.55
Kesadaran Kesetaraan; sebuah Sejarah Singkat.
Bila membaca sejarah, perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
sudah berlangsung sejak abad 17 yang dipelopori oleh Lady Marry Wortley
Montagu dan Marquis De Condorcet yang dimulai di Belanda (Middelburg),
kemudian pergerekan itu disebut oleh Charles Fourier pada tahun 1837 dengan
istilah Feminis56
. Gerakan feminis terus berkembang di benua Eropa dan
Amerika dengan berbagai aliran (Feminisme eksistensialis, Liberal,
Sosialis/Marxist, Feminisme Radikal, Ekofeminisme dan feminism Poskolonial,
dll.
Secara legislasi di tingkat global, tahun 1948 dalam sebuah deklarasi Hak
Azasi Manusia PBB, menyatakan kesamaan Hak dasar setiap manusia (lki-laki
maupun perempuan); hak untuk hidup (life), kebutuhan untuk bebas (Liberty), dan
mencari kebahagiaan dalam kehidupan (happiness). Tahun 1957 diadakan sidang
umum PBB pertama dengan melahirkan sebuah keputusan tentang partisipasi
perempuan dalam pembangunan yang disusul dengan keputusan pada tahun 1963
yang secara khusus mengakui peranan perempuan dalam pembangunan sosial,
ekonomi dan nasional. Selanjutnya lahirlah konsep emansipasi antara perempuan
dan laki-laki yang disertai dengan gerakan global yang dipelopori oleh
perempuan, kemudian berhasil mendeklarasikan badan ekonomi social PBB
55
. Henriette L. Moore, Feminisme dan Antropologi, Jakarta, Obor: 1998), 23-24 56
Puspitawati, 66
43
dengan nama (ECOSOC), yang selanjutnya diakomodasi oleh pemerintah
Indonesia dengan dibentuknya komite nasional kedudukan wanita Indonesia
(KNKWI).57
Pada tahun 1990 UNDP (United Nation Development Program)
merumuskan konsep kesetaraan gender dengan memasukan indikator human
development index (HDI) selain Gros Domestik Product (GDP) dalam mengukur
keberhasilan pembangunan sebuah bangsa58
.
Di tingkat legislasi Nasional (Indonesia), sejarah akan kesadaran
kesamaan kedudukan muncul dalam sebuah perundang-undangan yakni dalam
UUD 1945 yang menegaskan tentang kesamaan hak dan kewajiban bagi
penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan seperti bidang kesehatan,
politik dan pekerjaan (pasal 27) baik secara lembaga maupun secara perorangan.
Kemudian dalam UU perkawinan tahun 1974 Bab VI dan bab VII yang mengatur
tentang hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai suami istri dalam
kehidupan berumah tangga, hal ini dimaksudkan agar hak dan kewajiban serta
kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat setara. Sehubungan dengan itulah
peran perempuan Indonesia semakin mengalami perkembangan sebagaimana kita
lihat kenyataan perempuan yang memegang peran penting di lembaga Legislatif,
Eksekutif, Yudikatif dan berbagai organisasi kemasyarakatan.
Di tahun 1978 merupakan Tahun yang penting bagi perempuan Indonesia,
karena Pelita III di dalam GBHN secara emplisit memuat butir-butir tentang
57
Blagspot, Serly retno sari, Sejarah Perjuangn kesetaraan perempuan, dalam
http://sherlyretnosari10.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perjuangan-kesetaraan-dan.html, di muat
tanggal 11 Desember 2011, di baca 18 mei 2017 58
Pengenalan Konsep HDI Melalui pengukuran tiga aspek yakni usa Harapan hidup (life
expectation), angka Kematian bayi (infan Mortality Rate), dan kecukupan pangan (food security).
Factor kesetaraan gender selalu dilibatkan dalam mengevaluasi pembangunan nasional—artinya
kesetaraan (lima puluh/lima puluh) antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapa hidup,
pendidikan, ekonomi (jumlah pendapatan), kesetaraan dalam partisipasi politik, dan sector-sektor
lain. Bdk. Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda; Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender
(Edisi Revisi), (Jakarta, Haritage Foundation: 2014), 6-7, 49-50
44
peranan perempuan dalam pembangunan dan pembinaan bangsa sehingga
kedudukan, peranan, kemampuan, kemandirian dan ketahanan mental spritual
perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Kesadaran akan kesetaraan laki-laki dan perempuan mengalami
perekmbangan yang signifikan dengan dibentuknya Rencana Undang-Undang
Keadilan dan kesetaraan Gender (RUU KKG—walaupun belum disahkan sampai
sekarang) 2014, salah satu point penting dalam RUU KKG pasal 12 berbunyi
“dalam perkawinan setiap orang berhak: “atas peran yang sama sebagai orang tua
dalam urusan yang berhubungaan dengan anak”59
.
Secara perorangan keadaran kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan
telah menggema di Asia—di India Misalnya, pada tahun 1930 Mahatma Gandi
telah menulis dan memuat tulisan-tulisanya diberbagai media cetak nasional
tentang perempuan dan ketidak adilan gender—kemudian tulisan-tulisanya
dibukukan menjadi sebuah buku dengan judul Kaum Perempuan Dan Ketidakadilan
Sosial, di Indonesia, Ir. Soekarno menulis tentang pengaruh besar perempuan
dalam pemerdekaan Indonesia dengan bukunya yang berjudul “Sarinah”. Jauh
sebelum itu, pada tahun 1880-an-1900-an kita kenal sosok R.A. Kartini yang
memperjuangkan peningkatan kedudukan perempuan Jawa di dalam keluarga dan
lingkungan masyarakat.
R.A. Kartini Dan Kesadaran Diri Akan Kesetaraan
Pada umumnya budaya tradisional daerah-daerah di Indonesia menganut garis
keturunan patriakal (kecuali Sumatra Barat yang mengikuti garis keturunan
59
Megawangi, 161
45
Matrilinial). Dalam budaya pariakal, perempuan berada pada posisi sub-ordinat
atau sebagai second class. Sebagai pribadi “kedua” perempuan dianggap hanya
sebagai pelengkap bahkan pembantu para bagi laki-laki, sehingga hak-haknya
tidak sama seperti hak saudaranya laki-laki. Dari situasi seperti ini, Jauh
sebelum kesadaran akan kesetaraan perempuan dengan laki-laki (emansipasi) di
kancah global dan nasional, gerakan perjuangan kesetaraan perempuan ini telah
terjadi melalui kesadaran diri R.A Kartini.
Dalam karakter seorang Kartini lahir sebuah kesadaran akan kerinduan dan
keinginan untuk diperlakukan sama seperti saudara laki-laki dan teman-temanya
perempuan yang berkewarganegaan Belanda. Hal ini nyata dalam tindakan (yang
diceritakan dalam sejarah) dan isi surat-surat yang dituliskan pada tahun 1900-
1904 yang ditujukan kepada temanya, Nona Zeehandelar, adiknya, nyonya
Abendanon, Nyonya Ovink-Soer, Tuan Prof. Anton dan Nyonya, dll.
Berkaitan dengan kesadaran diri tersebut, Blenky, dkk membedakan tahapan
kesadaran diri perspektif perempuan60
, yakni;
1. Kebisuan atau kepatuhan buta (silence atau blind obidience), dalam
tahapan ini perempuan, seakan-akan berkarakter pasif, reaktif dan tunduk
pada figure yang menurutnya memiliki otoritas, kekuasaan dan
dominasi—hal ini diterima dan mematuhi sebagai sebuah kebenaran,
walaupun pribadi yang difigurkan ini tidak menjelaskan mengapa sesuatu
itu dianggap benar karena legitimasi budaya. Pada tahap ini perempuan
belum memiliki kekuatan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan
60
Mary Field Belenky, dkk, Women’s ways of Knowing; the Development of Self, Voice, And
Mind, (New York, basic Books: 1986),23-152; bdk. Tita Marlita, Kartini, “ Perkembangan
Pemikiran Seorang Pejuang Perempuan”, Dalam Sita Van Bemmelan, dkk, Penyunting, Benih
Bertumbuh; Kumpulan Karangan Untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, (Yokyakarta, yayasan Galang:
2000), 538-542.
46
argument dan belum mampu belajar dari pengalaman. Selain mas kecil
yang belum mengerti apa-apa, masa kebisuan Kartini terjadi ketika
Ayahnya melarangnya untuk melanjutkan sekolah, karena harus
mematuhi tradisi pingitan sebagaimana tradisi Jawa terhadap anak-anak
remaja Perempuan.
2. Pengetahuan yang diterima (received knowledge), pada tahap ini
perempuan mulai memiliki kesadaran diri atas kemampuannya untuk
belajar dan mengelolah pengetahuan melalui pengalaman dan bahasa atau
tutur kata dari orang lain serta kesadaran atas kekuatan suara dan pikiran
(Voice and mind) yang disampaikan lewat teman-temanya. Pada tahapan
ini bahasa merupakan kunci utama dalam pengembangan pengetahuan.
Walaupun demikian perempuan masih menganggap pribadi yang
difigurkan sebagai sumber kebenaran tanp menyadari bahwa figure itu
sering merekonstrusi sesuatu menjadi sebuah kebenaran. Perempuan
sebagai received knowledge mengaktualisasikan diri lewat hubungan
dengan orang lain dan harapan-harapan masyarakat sebagaimana
digariskan dalam budaya yang berlaku, misalnya, perempuan diharapkan
menjadi pendengar setia dan penurut, pekerja yang telaten. Dengan kata
lain, pada tahapan ini perempuan menjadi pribadi yang tidak berkarakter
egosentris melainkan lebih mengutamakan atau mementingkain orang
lain.
3. Pengetahuan subjektif (subjective knowledge yang juga disebut
subjectivist woman); pada tahapan ini perempuan memiliki beberapa
kemampuan yakni, mampu mengamati dan menganalisa setiap kejadian
47
dan perubahan baik terhadap dirinya maupun lingkungan sekitar.
Perempuan mulai mendengar dan mempercayai suara yang keluar dari
dalam diri sendiri dan mampu membandingkan pengalaman sendiri
dengan pengalaman orang lain, pendapat sendiri dengan pendapat figure
yang dominan, mengembangkan persepsi pribadi tentang dunia. Dari
beberapa kemampuan ini, perempuan mengalami perubahan dari pribadi
yang statis menjadi pribadi yang menjadi sehingga bahasanya yang
sebelumnya membisu berubah menjadi sebuah pemberontakan dan
keberanian yang tidak terkendali, mulai memperlihatkan otoritas diri,
otonomi diri dan berani melupakan persepsi kebenaran sebagaimana
dituturkan oleh orang-orang yang difigurkan, karena menurutnya
kebenaran adalah suatu yang yang pribadi, sesuatu yang dialami, bukan
sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang dirasakan, bukan sesuatu yang
dikonstuksikan.
4. Pengetahuan prosedural (procedural knowledge), model ini memiliki dua
kategori karakter yang bertentangan
a. Separate epistemology yang juga disebut separate knower—
perempuan yang cenderung objektif, impersonal, kritis, dan curiga,
artinya bahwa setiap orang bisa saja salah atau benar sehingga selalu
membangun jarak dengan orang lain
b. Connected epistemology atau sering disebut Connected Knower
adalah perempuan yang selalu memahami kebenaran dari pengalaman
dan belajar memahami pandngan orang lain serta memposisikan diri
sebagai pribadi yang mudah berempati dengan orang lain
48
5. Pengetahuan yang terkonstruksi (constructed knowledge). Artinya adanya
kesadaran seorang perempuan bahwa segala kebenaran dan pengetahuan
adalah konstuksi sehingga ia keluar dari system dan kerangka berpikir
yang telah ditentukan oleh pribadi yang difigurkan melalui konstruksi
budaya dan berusaha menemukan jati diri dan membentuk kerangka
berpikir yang baru. Karena mencapai pengetahan yang konstruktif, maka
perempuan selalu mencoba merangkai dan merekonstuksi pengetuan yang
diperoleh secara intuisi dengan apa yang dipelajari dari orang lain.
Adanya kesadaran bahwa kepribadianya dikendalikan oleh harapan-
harapan orang lain dan harapan social, krena itu selalu ada pengauan akan
status quo dan selalu mencoba selalu mencoba menampung kebutuhan
dengan latar belakang budaya yang ditentukan oleh laki-laki dengan
pertimbangan bahwa perubahan tidak datang dengan mudah.
Menganalisa sejarah perjuangan Kartini terutama dalam surat-suratnya yang
ditujukan kepada sahabat-sahabatnya (tahun 1879-1904), ia menceritakan
kedudukan perempuan Jawa (termasuk dirinya sendiri) dalam sebuah keluarga
yang masih menganut budaya feodal dan garis keturunan patriakal. Bila
dihubungkan dengan teori Belenky dkk. tentang tahapan kesadaran diri
perempuan, maka bisa dikatakan bahwa kelima tahapan ini pernah dialami oleh
Kartini walaupun tidak berurutan.
Semasa kecil atau sebelum sekolah, Kartini berada pada posisi silent Knower
karena belum mengerti dan belum memahami “dirinya sendiri dan perilaku
“budaya” terhadap dirinya, sehingga selalu tunduk dan mengikuti “ungkapan”
figure” yakni ayahnya dan orang yang lebih tua disekitarnya. Namun setelah
49
masuk sekolah, bergaul dengan orang-orang Belanda Ny. Ovink-Soer bersama
suaminya dan betemu dengan pandita Ramabai61
sangat mempengaruhi intelektual
Kartini, selain kedua orang tersebut, Stella Zehandelaar, Ny. Abendanon, dll.
Kartini mengamati dan menyimpan segala informasi yang yang bersifat verbal
maupun non-verbal sehingga ada sikap ingin keluar dari keterbelengguan budaya
dan ingin memperoleh kebebasan dan perlakuan sebagaimana perempuan Barat
dan saudara-saudaranya laki-laki. Masa sekolah telah menjadikan Kartini sebagai
received knower. Setelah belajar banyak dari pengalaman Pandita Ramabai,
mendengar cerita dan kerinduan temannya Letzy yang ingin meneruskan
pendidikannya di Belanda, kini Kartini berani mengkritik adat istiadat dan Agama
yang membelenggunyan sekaligus adanya sebuah kesadaran bahwa pendidikan
merupakan jalan untuk memperbaiki dan mengangkat kedudukan perempua.62
Suratnya kepada Ny. Abendanon (Agustus 1900)63
yang menyatakan betapa
sakitnya saat dia merenungkan perbedaan nasib antara dirinya dengan Letzy yang
akan sekolah ke Belanda, sementara dia akan menjadi Raden Ayu.64
Pada tahap
ini Kartini menjadi seorang perempuan yang Subjective Knower.
Selain teman-teman belandanya dan Pandita Ramabai, Ayah Kartini adalah
figure sekaligus pribadi utama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
Kartini—melawan arus tradisi dengana menyekolahkan anak-anak perempuanya
61
Pandita Ramabai adalah seorang wanita India yang berhasil keluar dari lilitan tradisi India
yang dilegitimasi dengan ajaran Agama Hindu. Sebelumnya Ramabai adalah seorang Hindu
kemudian menjadi Kristen dan terlibat dalam pendirian sekolah untuk perempuan , anak-anak
yatim dan perumahan para janda. Jayawardana yang dikutip Tita Marlita, 543. 62
Hal ini bisa dibaca dalam suratnya kepada Nelly Van Kol Agustus 1901 (R. A. Kartini,
Habis Gelap Terbitlah Terang, 77) 63
R.A Katini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 40-42 64
Sebelumnya Kartini tidak memahami artinya menjadi Reden Ayu, tetapi setelah dia
mengamati para raden Ayu disekitarnya, dia tersadar bahwa menjadi Raden Ayu adalah menjadi
seorang perempuan yang harus menikah, seorang yang dimiliki oleh seorang laki-laki yang tidak
dikenalnya atau tidak memiliki latar belakang cinta (saling jatuh cinta)
50
di sekolah orang-orang Belanda serta menyediakan buku-buku bacaan yang
berbahasa Belanda. Di sisi lain Ayah Kartini berusaha melawan arus budaya,
karena dia berpendidikan Barat dan berwawasan liberal, namun, di saat anaknya
menginjak umur remaja, maka dia memutuskan Kartini untuk tidak sekolah—
harus mengikuti tradisi sebagaimana anak perempuan lain menjalaninya yakni
masa pingitan. Pada tahap ini Kartini memberontak dan menolaknya, namun dia
tidak berdaya karena tekanan pribadi yang difigurkan yang juga berada dalam
sebuah tekanan budaya—sampai pada situasi ini Kartini menyerah dan menerima
dengan bersikap membisu.
Semasa menjalani pingitan, Ayah Kartini menyediakan buku-buku bacaan
bagi; salah satu buku yang berkesan bagi Kartini adalah Novel yang berjudul
Hilda Van Suylenburg yang mengisahkan seorang ibu yang mengasuh anaknya
sendiri (tanpa suami) ditengah kecaman masyarakat di sekitarnya. Buku ini juga
menekankan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.65
Setelah masa
pingitan selesai di jalani, Kartini dan kedua adiknya melibatkan diri pada aktivitas
social, pembangunan, dan pengembangan pendidikan bagi kaum perempuan.
Sementara berada pada keadaan kebisuan karena dalam situasi pingitan,
Kartini terdorong untuk memahami lebih mendalam dan merenungkan praktek
budaya, misalnya budaya sopan santun yang sangat kaku66
serta mengkritiknya.67
65
Marlita, 548 66
Suratnya kepada Stella taggal 18 Agustus 1899 yang menceritakan bagaimana adik-adiknya
merangkak bila melewatinya, begitu juga jika mereka menyampaikan sesuatu dengan orang yang
lebih tua dengan bahasa Jawa yang lebih tinggi dan tidak boleh lupa menyembah bila selesai
berkata-kata. begitu juga jika Kartini melewati kakak-kakaknya, Dia dituntut merangkak walaupun
tidak dilakukannya (R.A. Karitni, Terj. Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang, (Jakarta,
Balai Pustaka: Cet. Ke 27 2009), 28 67
Selain mengkritik sopan santun, Kartini juga mengkritik budaya kebangsawanan yang
disampaikan kepada Nn Zeehandelaar 18 Agustus 1899 yang mengatakan “ bagi saya hanya dua
macam kebangsawanan; bangsawan pikiran dan kebangsawanan budi. Tiada yang lebih gila dan
bodoh pada pemandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunanya itu.
51
Pada sikap ini, Kartini berada tahap subjective knower. Selanjutnya Kartini
menjadi connectet knower membangun sikap berempati terhadap orang lain—hal
ini terjadi setelah adik laki-lakinya lahir, dia menceritakan kepada Ny Abendanon
bagaimana selalu menjaga dan mengurus adiknya dengan sabar dan penuh dengan
kelemah lembutan tanpa keluh kesah. Sehingga dia berkata bahwa “bukankah Ni
juga pernah sekecil dan selemah adiknya? Dan tidakkah ibunya dulu bersusah
payah untuknya?68
Dari kondisi ini, Kartini belajar untuk menerima dan
menghargai orang lain walaupun mereka berbeda, kehadiran adik kecilnya yang
sakit-sakitan telah mengajarinya arti dan pengorbanan seorang ibu. Kesadaran ini
mendorongnya mengembangkan pikiran tentang peranan seorang ibu sebagai
seorang pengasuh anak69
Kartini sampai pada tahap yang lebih tinggi yakni konstruktivis di saat
dilamar oleh Bupati Rembang yang berstatus duda menurut adat Jawa.70
Walaupun bagi Kartini lamaran ini merupakan “kemalangan” baginya, karena
akan menghambat mimpi dan perjuanganya dalam mengangkat kedudukan
perempuansekaligus perlawananya menentang poligami, namun berpikir bahwa
pernikahan harus dijalani oleh setiap perempuan yang berasal dari stratifikasi
sosial seperti dirinya, kedua adalah menjadi seorang istri seorang bupati
memungkinkan “suaminya” kelak menjadi seorang teman kerja yang setara dan
memiliki pemikiran maju berkaitan tentang pendidikan bagi kaum perempuan.
Dimanakah gerangan lebih jasanya, orang yang bergelar graf atau baro-- Dua dari gelar
kebangsawanan dari benua Eropa yakni Graf dan Baron? Tiada terselami oleh pikiranku yang
picik ini (R.A. Kartini, Habis Gelap, Terbitlah Terang, 27-28) 68
Surat-Surat Kepada Ny.R.m. Abendanon-Mandr dan Suaminya, Terj. Sulastin Sutrisno,
(Jakarta, Djambatan:1989) 69
Lebih jelasnya bisa dibaca dalam suratnya kepada Ny. Oving Soer tahun 1900 70
Konsep adat Jawa, seseorang disebut duda bila seorang laki-laki berpisah dengan istri,
karena isteri utamanya yang sekelas dengan dia telah meninggal—walaupun sebenarnya masih
memiliki tiga orang istri yang lain, namun dari stratifikasi social yang lebih rendah.
52
Hidup di bawah tekanan yang sangat berat—budaya feodal dan patriakal
tidak membuat Kartini menyerah, namun melalui para sahabat-sahabatnya dan
orang yang ada disekitarnya dia mendapat ispirasi dan kekuatan baru untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan yang harus disetarakan dengan para laki-
laki—perjuangan Kartini berkaitan dengan kesadaran dirinya sebagai perempuan
yakni; pertama, kerinduan agar setiap perempuan mampu berdiri sendiri dan
berpemikiran maju; kedua, agar setiap perempuan memiliki hak yang setara
dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan; ketiga, penghapusan diskrimansi
terhadap perempuan; keempat, pernikahan yang tidak diinginkan; dan kelima,
penghapusan poligami.
Semangat Kartini terus menggema dalam jiwa-jiwa perempuan Indonesia,
sehingga pada tahun 1955 diadakanlah kongres perempuan pertama se-Indonesia
yang membahas kedudukan perempuan dalam pembangunan bangsa. Salah satu
pemateri dalam kongres ini mengatakan;
“Tanah kita tiada akan selamat, kalau hanya seperdoea bangsa Indonesia yang
mendapat kemadjoean dan mendapat perhatian, sedangkan yang seperdoea lagi,di
tinggalkan dalam djoerang kebodohan…tiada sadja perkara kemadjoean bagi
kedoea belah pihak mesti diperhatikan dengan soengoeh-soenggoeh, tetapi lebih
lagi perkara kewajiban masing-masing dalam perkara yang lain. Sesoengoehnja
perasa‟an laki-laki dan perempoean boekan sadja pekerdja‟an atau oesaha jang
meminta hak, tetapi sebagian karena hendak melakoekan kewadjiban kita”71
.
Kesadaran seperti di atas terus berkembang sampai jiwa sanubari perempuan dan
laki-laki di setiap pelosok Indonesia, sehingga kedudukan perempuan dalam
keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pemerintahan dan non pemerintahan
disetarakan dengan laki-laki, perlakukan subordinasi dan kelas kedua terhadap
perempuan pelan-pelan terhapuskan.
71
Sitti Soendari,” Kewadjiban dan Djita-Djita Poetri Indonesia”, dalam Monique Susman,
Kongres Perempuan Pertama, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia/KITLV: 2007), 57
53
Teori-Teori Feminis
A. Feminisme Marxis dan Sosialis
Penekanan Feminis Sosialis adalah aspek gender dan ekonomi dalam
penindasan atas kaum perempuan. Perempuan tertindas oleh modal yang tidak
memberi upah bagi kerja domestik mereka, dan suami yang memperlakukan
mereka sebagai pelayan. Sebagai pekerja di wilayah domestik, perempuan
diberi nilai pada saat mereka memiliki anak dan menjad tenaga kerja di rumah
seperti menyiapkan makanan dan menjaga pekerja laki-laki tetap bahagia
melalui dukungan emosional dan seks72
.
Hubungan perempuan dan laki-laki adalah paradigma dari keseluruhan
hubungan kekuasaan. Pradigma itu terus berlaku untuk menilai keseimbangan
kekuatan antara laki-laki dan perempuan baik disekitar sektor domestik
maupun disektor publik. Kelemahan pendekatan ini terletak pada
kecenderungannya untuk memusatkan perhatian pada pembedaan karekteristik
antara perempuan dan laki-laki. Hal ini berbahaya karena sangat bersifat
deterministik dan dapat menciptakan suatu pandangan bahwa pembedaan ini
bersifat permanen sehingga tidak ada peluang untuk mengubah pola hubungan
gender yang selama ini ada.73
Zillah Einstein dan Heidi Hartman sebagai tokoh intelektual feminis
sosialis mendorong sebuah gerakan untuk membebaskan para perempuan
melalui perubahan struktur patriarki dan penghapusan kapitalis. Perubahan
struktur patriarki dan penghapusan kapitalis bertujuan agar kesetaraan gender
72
Ben Agger, 225-227 73
Rian Nugroho, Gender dan stretegi pengarus-utamanya di Indonesia. (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar:2011), 69
54
dapat terwujud 74
. Beberapa konsep dasar pemikiran feminis sosialis yaitu
berdasarkan konsep patriarki, kelas, gender, dan reproduksi. Feminisme
sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu penyadaran agar perempuan
sadar bahwa mereka merupakan kelas yang dirugikan dengan cara
membangkitkan emosi para perempuan agar mereka mengubah keadaannya
sebagai kelompok tertindas. Proses penyadaran ini menjadi inti feminisme
sosialis. Menurut mereka, banyak para perempuan yang tidak sadar bahwa
mereka adalah kelompok yang tertindas.
Kajian teoritis feminis sosialis dikembangkan di sekitar tiga tujuan
yakni, 1). mencapai suatu kritik terhadap penindasan patriarki dan kapitalisme
yang khas dan saling berhubungan dari sudut pandang pengalaman perempuan;
2). Mengembangkan metode-metode yang eksplisit dan memadai untuk
melakukan analisa berdasarkan pengertian materialism historis yang diperluas;
3). Menggabungkan pengertian akan signifikansi ide-ide ke dalam analisi
materialis atas penentuan urusan-urusan manusia75
. Feminis sosialis
menekankan aspek gender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum
perempuan. Perempuan dapat dilihat sebagai penghuni kelas ekonomi dalam
pandangan Marx dan “kelas seks”, sebagaimana disebut oleh Shulamith
Firestone. Artinya, perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi
kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas
74
Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasi, (Yokyakarta, Kreasi
Wacana: Cet. Ke 10, 2016), 225 75
George Ritzer, 809
55
kerja domestik mereka.76
Dalam feminis sosialis perempuan tereksploitasi dan
tertindas oleh dua hal yaitu sistem patriarkhi dan kapitalis77
.
Ketika Karl Marx dan Frederich Engels mengformulsikan teori dan
ideologi sosial, maka terseliplah pemikiran tentang keprihatinan atas ketidak
adilan gender yang tidak hanya disebabkan oleh budaya patrikhi, tetapi juga
berkaitan dengan kepemilikan akses pada hal-hal yang bernilai ekonomi dalam
sebuah keluarga. Marx dan Engel mengasumsikan kaum perempuan
kedudukanya identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalisme di
Barat78
. Relasi kelas dan eksploitasi Teori Marx dan Enges mengkritik tradisi
kepemilikan pribadi dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang
melegitimasikan perempuan (istri) sebagai milik pribadi laki-laki (suami).
Kepemilikan seperti ini dalam sebuah keluarga dianggap sebagai penindasan
terhadap perempuan sebagai istri. Relasi kelas dan eksploitasi ekonomi satu
kelas oleh kelas yang lain adalah karakteristik sentral dari struktur sosail—ciri
ini sangat menentukan hakekat relasi gender79
.
Menurut Feminis sosialis, keluarga dipandang sebagai basis penindasan,
sebagai akibat dari kebutuhan kapital, yakni perempuan menjadi buruh
domestik di dalam rumah. Perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi
kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas
kerja domestik mereka.80
Karena itu, untuk membebaskan perempuan dari
76
Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia, Pembangunan ( Jakarta: Lembaga Penunjang
Pembangunan Nasional, 1982), 91 77
Bdk. Stevi Jakson and Jackie Jones, Ed. Contemporary Feminist Theories, (Washington
Square, New York, New York University Press: 1998), 14-18 78
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamanya di Indonesia, (Yokyakarta,
Pustaka Pelajar: 2008), 69 79
Silvia Walby, Teorisasi Patirakhi, (Yokyakarta, Jalasutra: 1990),5 80
Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia, Pembangunan (Jakarta: Lembaga Penunjang
Pembangunan Nasional, 1982), 91
56
penindasan ini, perlu suatu perubahan sistem ekonomi kapitalis dengan sistem
sosialis artinya pembentukan sebuah masyarakat yang egaliter tanpa adanya
kelas-kelas. Untuk mewujudkan masyarakat sosial tersebut harus dimulai dari
keluarga, di mana para istri terlebih dahulu dibebaskan dari kepemilikan suami
dan menjadi dirinya sendiri sebagai pribadi otonom/mandiri—lagikanya adalah
saat terjadi egaliter dalam sebuah keluarga secara otomatis akan tercipta suatu
kehidupan masyarakat yang sosialis.81
Feminis Sosialis beranggapan bahwa perubahan sosial akan menciptakan
lingkungan sosial yang kondusif bagi perempuan untuk menciptakan
kesetaraan dan kedilan gender sesuai dengan yang dikehendaki. Diktum Marx
yang diterjemahkan TB. Botomarre kemudian dikutip Ratna Megawangi; “ It s
the not consciousness of men that determines their exixtence, but on the
contrary, their socil existence determinis their conciusness” (artinya bukan
kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya,
eksistensi sosial yang menentukan kesadadaran mereka)82
Terjadi suatu perbedaan pendapat Feminisme sosial dengan dictum Marx.
Menurut dictum Marx keadilan sosial dapat diciptakan melalui perubahan
lingkungan sosial yang akan mempengaruhi individu yang kemudian dibawa
dalam keluarga, sementara Feminisme sosial berpendapat bahwa individu yang
telah terbentuk dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi lingkungan
sosialnya. Namun kalau kita mengambil jalan tengah dari perdebatan ini, baik
individu maupun lingkungan sosial saling mmpengaruhi, apa yang telah
81
, bdk. Riant Nugroho, 69-70 82
Megawangi, 141-142
57
dimiliki oleh individu akan dibawa dalam sebuah kelompok sosial, sebaliknya
kelompok sosial akan mempengaruhi perilaku individu.
Teori Marxis menganalisa pola relasi antara laki-laki dan
perempuan yang dianalogikan dengan perkembangan masyarakat modern
industri kapitalis, sebagaimana dikutip Megawangi, Fredrick Engels dalam
bukunya Origins of the Family, Private property and the stete mengatakaan
bahwa pada masyarakat awal, yaitu masyarakat yang masih berburu dan
berpindah-pindah memiliki pola relasi sosial yang lebih egaliter, hal ini
disebabkan karena belum adanya kesadaran pentingnya kepemilikan pribadi.
Harta milik menjadi beban karena pola hidup berburu dan berpindah-pindah.
Pada masa ini, selain bekerja sebagai pengasuh anak, perempuan mempunyai
kekuasaan sehingga dia menjadi tuan di rumah. Perkembangan masyarakat
selanjutnya adalah menjadi masyarakat yang agraris—bercocok tanam,
sehingga komunitas mulai menetap, sehingga mulai ada kesaadaran pentingnya
kepemilikan pribadi (tanah, alat-alat produksi pangan), selanjutnya hasil
produksi semakin meningkat dan cadangan pangan komunal berkelimpahan
selanjutnya hasil produksi pertanian tersebut menjadi alat jual beli sehingga
hasil jual beli hasil dan alat produksi, cadangan makanan menjadi harta milik
laki-laki (suami). Hal ini terjadi karena wilyah perempuan di rumah,
sementara sektor di luar rumah adalah wilayah laki-laki (suami), karena itu
segala sesuatu yang berasal dari luar rumah adalah milik suami, selanjut
keinginan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dan peternakan, maka
58
keluarga membutuhkan tenaga kerja—menurut Engel hal ini menjadi cikal
bakal lahirnya sebuah perbudakan.83
Berbeda dengan Marx dan Engel, Backofen yang dikutip oleh Ir.
Soekarno menjelaskan bahwa pada saat pola hidup masyarakat berburu dan
berpindah-pindah, selanjutnya menuju suatu fase pertanian, masyarakat
menganut matriakat, karena pada saat itu, terjadinya pernikahan antara
segerombolan laki-laki dengan segerombolan perempuan yang disebut dengan
kawin gerombolan, sehingga mereka tidak mengetahui siapa bapak dari anak
yang lahir tersebut. Kemudian perubahan sosial (evolusi sosial) dengan
perlahan-lahan terjadi, mulai lahir system pernikahan monogamy, sejak saat itu
“kepemilikan pribadi” mulai terjadi dan istri menjadi milik seorang suami dan
mulai saat inilah lahir system patriakhi84
.
Namun proses menuju ke monogami tersebut, maka ada suatu zaman di
mana bila seorang perempuan mau menikah, maka terlebih dahulu dia bergaul
dengan banyak laki-laki (menjadi perempuan sundal)—berbeda dengan
persundalan yang kita kenal sekarang, perempuan yang masih remaja dewasa
mesti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum resmi menikah
dengan satu orang laki-laki. Menurut Agama Babylonia, dahulu seorang
gadis mau menikah, terlebih dahulu pergi ke kuil Mylita dan disitu dia harus
mengorbankan kegadisannya kepada beberapa laki-laki, hal yang hampir sama
dilakukan di Cyprus, Tyrus,, Sydonia, di Mesir dilaksanakan pada perayaan
dewi Isis. Menurut Engels bahwa adat atau kebiasaan seperti ini telah
dilakukan hampir semua bangsa Asia di antara Laut tengah dan sungai
83
Megawangi, 142 84
Ir. Soekarno, Sarinah; Kewajiban Wanit Dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta,
Yayasan Bung Karno:2014), 100
59
Gangga. Sebelum seseorang diperistri, terlebih dahulu memberi persembahan
kepada dewa-dewa melalui persundalannya dengan memuaskan nafsu banyak
laki-laki, bila hal itu bisa diwujudkan maka perempuan yang mampu memberi
kepuasan tersebut akan menjadi istri dan miliki seorang laki-laki yang merasa
puas atas pelayanan calon istri85
. Sejak saat itu perempuan menjadi milik
suami.
Terlepas dari diskusi di atas, yang jelas bahwa setelah terjadinya
kepemilikan suami atas perempuan, terjadilah perubahan sistem matriakhi ke
patriakhi, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan (istri) di wilayah domestik
menjadi tidak bernilai karena tidak menghasilkan “materi/uang” sementara
suami memiliki penghasilan dari hasil dari pertanian dan peternakan, di mana
hal itu di dapat di luar rumah. Karena itu laki-laki berusaha meningkatkan
perekonomian keluarga dengan mengadakan budak-budak, memaksimalkan
peran serta istri dan anak dan pewaris-pewaris harta bendanya, sejak kesadaran
seperti ini lahir, maka sejak saat itu juga terjadi eksploitasi tenaga kerja yang
berkembang dalam struktur-struktur dominasi.86
Menurut Engel, hal seperti
ini menjadi cikal bakal lahirnya ideologi patriakhi dalam sebuah keluarga
sekaligus menjadi kekalahan historis dunia jenis kelamin perempuan87
. Suami
yang disebut kepala rumah tangga yang memiliki harta menafkahi istri dan
anak-anaknya, selanjutnya terciptalah sebuah keluarg kecil dan pernikahan
yang monogami—dan dalam hal ini istri menjadi milik suami.
Dominasi laki-laki terhadap perempuan semakin kuat setelah terjadi
industrialisasi di mana ada pemisahan antar rumah dan publik. Publik menjadi
85
Soekarno 101 86
Bdk. Ritzer, 813, Riant Nugroho, 70-71 87
Silvi Walby, 103; bnk. Ir. Soekarno, 137
60
wilayah laki-laki untuk mencari nafkah dan menghidupi anggota keluarganya
dalam bentuk materi atau uang sedangkan perempuan yang wilayahnya di
rumah dan melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan rumah tidak
mendapatkan bayaran berupa materi. Sehinggga dalam kondisi seperti ini,
menurut Engel posisi dan kekuasaan laki-laki dalam keluarga semakin kuat,
sementara posisi istri dan anak-anak semakin lemah dan ketergantungan
kepada suami. Dalam kondisi sepeti ini istri menjadi kepala pembantu (the
head servant) atau bahkan menjadi budak seperti ungkapan Engels; “…The
wife be come head servand, excluded from all participation in social
production. The individual family is founded in the open or concealed domestik
slavery of wife (…istri menjadi kepala pembantu, tidak diikut sertakan dalam
partisipasi produksi, keluarga nuklir didirikan atas perbudakan domestik dari
istri, yang sifatnya terbuka atau tertutup). Engel mengatakan demikain untuk
mengelaborasikan pendapat Marx tentang konsep slavery dalam keluarga.
Menurut Marx, asal muasal terjadinya beban ganda (devition of labor) atau
perbedaan peran disebuah masyarakat didasarkan pada perbedaan umur dan
jenis kelamin. Perbedaan ini menciptakan bentuk kepemilikan seorang oleh
orang lain, karena itu menurut Marx bahwa perbudakan terhadap istri dan
anak-anak merupakan bentuk pertama dari kepemilikan pribadi88
.
Perbedaan peran dalam keluarga dalam masyarakat kapitalis dianggap
telah menciptakan berbagai pekerjaan yang membuat seseorang teralienasi.
Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan dianggap pekerjaan
yang menyebabkan dia teralienasi karena terpisah atau bahkan terasingkan dari
88
Bdk. Silvia Walby, 103
61
dunia luar, sementara pekerjaan rumah tersebut merupakan pekerjaan yang
tidak kreatif dan produktif (tidak menghasilkan uang). Karena itu Dalla Costa
menyebut pekerjaan rumah sebagai pekerjaan yang kecil, tidak berarti dan
teralienasi89
Selain teori di atas, Marx merumuskan teori lain yang disebut materialis
determinism. Argumen dalam teori ini mengungkapkan bahwa budaya dan
masyarakat berakar dari ekonomi, basis kehidupan masyarakat berdasarkan
pola relasi ekonomi/material yang selalu menimbulkaan konflik. Basis
ekonomi ini juga berlaku dalam kehidupan keluarga. Menurut Engels suami
merupakan cerminan dari kaum borjuis, sementara istri sebagai proletar yang
selalu ditindas. Pola relasi ekonomi ini ikut mempengaruhi budaya dan
agama, pengaruh ini disebut superstruktural. Sehingga warna agama dan
budaya pada masyarakat yang berpola relasi materialistik akan konsisten
dengan pola relasi paternalistik dan hierarki, bahkan adanya pembenaran akan
pola tersebut dari daya dan agama misalnya Kolose 3:18 “hai istri-istri,
tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”
Menurut Marx, perlu adanya pengahapusan pengaruh agama dari
kehidupan sosial, implikasinya terhadap feminis sosial adalah keiginan
mengubah segala pemahaman agama yang bias gender—pengaruh struktural
(budaya dan agama) seperti ini harus diubah, karena budaya dan agama
semata-mata superstruktural yang bisa diubah sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan yang bersangkutan. Karena itu, kalau selama ini agama digunakan
sebagai alat untuk mendiskriminasi perempuan, maka sebaliknya feminis juga
89
Megawangi 144
62
bisa menggunakan agama sebagai dasar untuk membebaskan diri dari belenggu
patriakhi dan kapitalisme90
.
Dalam konsep materilisme Marx dan Engels menjelaskan bahwa
kepemilikan materi berpengaruh besar dalam perolehan kekuasaan seseorang
atas orang lain (terutama dalam keluarga). Laki-laki melakukan pekerjaan di
luar rumah untuk mencari nafkah berupa materi, sementara perempuan (istri)
melakukan pekerjaan domestik, di mana pekerjaan ini tidak mengahasilkan
uang (materi), karena itu istri tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga—
kekuasaan berada di tangan pribadi yang memiliki akses ekonomi atau hal-hal
yang dianggap bernilai “materi”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Zeretsky
sebagaimana dikutip oleh Megawangi;
“Women`s work in the home and the maternal role aredevaluedbecouse they are
outside the sphere of monetary exchange and unmeandsurable in monetary terms,
and love, thought supposedly valued, is valued only within a devalued ang
powerless realm”
“ Pekerjaan wanita dalam rumah dan peran keibuan tidak dinilai karena semuanya
itu ada di luar pasar moneter dan tidak dapat diukur dengan uang. Dan cinta,
walaupun dianggap penting, dinilai hanya dalam konteks wilayah yang tidak
bernilai dan lemah. Oleh karena itu, wanita dianggap inferior, sebagai budak
yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga, karena
kekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga dan pencari
nafkah91
”
Standar yang digunakan untuk menilai sesuatu berharga dan produktif
adalah materi, karena itu, menurut Engels, untuk membebaskan perempuan
dari “perbudakan dan penindasan keluarga”, perempuan harus keluar dari
sektor domestik dan masuk ke sektor publik sehingga bisa menghasilkan
materi, dengan demikian jika perempuan memiliki akses ekonomi dalam
90
Nugroho, 73-74 91
Megawangi, 145
63
keluarga maka perempuan memiliki nilai tawar-menawar yang lebih kuat
dalam relasinya dengan laki-laki.
Berdasarkan teori Engels tersebut, maka feminis sosialis menilai bahwa
keluarga merupakan cikal bakal lahirnya kapitalisme dan ideology patriaki
yang menyebabkan perempuan tereksploitasi dan berada pada posisi subordinat
karena itu perlu penghapusan institusi keluarga—sebagai gantinya perlu
menciptakan keluarga yang kolektif sehingga segala bentuk pekerjaan rumah
tangga dikerjakan dengan kolektif, termasuk pengasuhan anak.
Misi Perjuangan gender dari kelompok feminis sosialis adalah
terciptanya masyarakat tanpa kelas, egaliter atau tanpa hierarki horizontal
dengan mengadopsi teori Marx yakni teori tentang penyadaran pada kelompok
tertindas dan konsep dialektis Hegel yang mengacu pada Marx bahwa
kapitalisme terdiri dari konflik-konflik kelas yang akhirnya akan membuat
sistem tersebut runtuh, sehinga tercipta masyarakat yang egaliter.
Feminis sosial melakukan penyadaran ini agar para perempuan sadar
bahwa mereka sedang tertindas, tidak diuntungkan sehingga rasa emosinya
bangkit dan secara kelompok diharapkan dapat mengadakan konflik langsung
dengan kelompok dominan (laki-laki) dengan asumsi bahwa semakin tinggi
entitas konflik, diharapkan semakin besar peluang untuk meruntuhkan ideology
patriakhi. Asumsi ini diadopsi dari konsep dialektis92
Perjuangan Feminis sosial mendapat banyak sorotan, mengingat
sebagian yang terdoktrinisasi mengubah sistem patriakhi ke matriakhi—
menjadi penguasa di keluarga, menindas dan mensubordinat laki-laki (suami),
92
Riant Nugroho, 75
64
beberapa kritikan yang muncul adalah misalnya Mahartma Gandhi dalam
bukunya yang berjudul “Perempuan dan ketidakadilan Sosial” mengatakan
bahwa ada banyak perempuan keluar rumah untuk bekerja agar dapurnya
berasap, tetapi kemudian meninggalkan dapur yang telah berasap.93
Kemudian
backhofen yang dikutip Soekarno dalam bukunya yang berjudul “Sarinah;
Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia” mengemukakan
bahwa tidak selamanya dalam budaya yang patriakhi perempuan tertindas, dan
dalam budaya matriakhi tidak selamanya perempuan selalu dimuliakan, Ray
Strachey dan Henriette Rolland Holst mengemukakan bahwa dalam sistem
matriakhi kadang-kadang perempuan diperbudak, ditindas oleh perempuan,
karena itu, Soekarno mengemukakan agar tidak ada yang bermimpi
menghancurkan sistem patriakhi dan nature keluarga, karena sama saja dengan
menghidupkan bangkai atau mengubah arah perputaran jarum Jam.94
B. Femisnis Poskolonial; Perempuan Sebagai Subaltern
- Poskolonial—sebuah konsep
Dalam memahami arti poskolonialisme, Ania Loomba terlebih
dahulu mendeskripsikan arti kolonialisme. Kolonialisme bersasal dari kata
Colonia (Romawi), semula berarti tanah pertanian atau pemukiman,
kumpulan, perkampungan, masyarakat perantauan. Hal ini mengacu pada
orang Romawi yang bermukim di negeri lain tetapi masih mempertahankan
93
Mahatma Gandhi, Perempuan dan Ketidak Adilan Sosial, Terj. Siti Farida, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar: 2011) 94
Ir. Soekarno, Sarinah; Sarinah; Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia
(Jakarta, Yayasan Bung Karno; 2014), 94-96
65
kewarganegaraan mereka. Karena itu dalam Oxford English Dictionari
mendeskripsikan sebagai;
Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru, sekumpulan orang yang
bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang
tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk
seperti itu, terdiri dari para pemukim asali dan para keturunan mereka dan
pengganti-penggantinya, selagi hubungan dengan negara asal masih
dipertahankan.95
Sebenarnya defenisi hanya menyebutkan para pemukim di tempat
dimana koloni-koloni dibentuk. Karena itu “kolonialisme” tidak
mengandung implikasi adanya penaklukan. Tetapi pemaknaan “kolonial”
dalam bentuk dominasi muncul sesudah adalanya hegemoni, sekaligus
eksploitasi salah satu negara terhadap daerah yang lain96
. Dengan demikian
Kolonialisme menyangkut berbagai masalah, berkaitan dengan penaklukan
dan penguasaan atas tanah dan benda rakyat yang lain97
. Sehingga dalam
penaklukan ini ada dominasi yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap
negara yang lain yang lebih lemah98
.
Yusak Setyawan mengutip Segovia99
menjelaskan bahwa
memahami arti poskolonil, perlu dibagi dalam dua kategori, pertama;
kategori yang menunjukan arti historis-politik. Artinya periode waktu
setelah pemisahan diri koloni secara formal dari pemerintahan negara
jajahan. Konsep kemandirian adalah suatu hal yang cukup ambigu. Untuk
bekas jajahan dapat mencapai kemerdekaan politik formal tetapi tetap
95
Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Yokyakarta, Narasi:2016), 1-2 96
Nyoman Kutha Ratna, Poskolonialisme Indonesia; Relefansi Sastra (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar; 2007), 20 97
Looba, 3 98
Nyoman Kutha Ratna, 20 99
Yusak B. Setyawan, Buku Ajar; Postkolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective
(Salatiga, Fakultas Teologi UKSW; 2014), 1
66
berada dalam sebuah dominasi atau kekuasaan negara lain yang lebih maju
dalam bentuk yang berbeda. Kedua, kategori sosio-psikologi artinya suatu
referensi dalam membentuk pola pikir baik secara invidu maupun secara
kolektif tentang fenomena imperial atau kolonial secara menyeluruh
sehingga lahir suatu “rasa penyadaran”. Konsep penyadaran mendorong
terjadinya sikap oposisi terhadap hegemoni kolonialisme dan imperialisme.
Dari dua kategori tersebut, Segovia mendefenisikan studi Poskolonial dari
perspektif imperial dan kolonial sebagai berikut100
;
1. Studi imperial dan kolonialisme lebih fokus pada yang berhubungan
dengan pusat atau metropolitan dengan yang pinggiran (periphery)
2. Studi imperialisme dan dominasi menimbulkan suatu oposisi dan
perlawanan; tidak terbatas pada suatu wacana tetapi pada sikap anti
imperialisme dan kolonialisme
3. Studi tentang periode imperialisme dan kolonialisme yang melahirkan
sub pemikiran tentang pre-imperialisme dan pre-kolonialisme;
imperialisme dan kolonialisme; post-imperialisme dan post-
kolonialisme; neo-imperialisme dan neo-kolonialisme
Aschroft, Griffith, dan Tiffin, meganggap istilah poskolonial
dipopularkan dengan segala ambiguitas dan kompleksitas berbagai pengalaman
kultural yang diimplikasikannya. Namun satu catatan yang perlu diperhatikan
sebenarnya kajian poskolonial bermula dari fakta historis kolonialisme Eropa,
dan bermacam efek material yang terjadi karena fenomena tersebut101
.
Argument tersebut lebih berkembang dalam tulisan Aschroft dkk. dengan judul
100
Setyawan, 2 101
Aschroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (eds). The Post-Colonial Studies Reader. (New York,
Routledge:1995), 2
67
The Empire Writes Back di mana penulis menggunakan istilah poskolonial
untuk merujuk pada seluruh budaya yang dipengaruhi oleh proses imperial
sejak masa kolonisasi sampai setelah sebuah bangsa diakui sebagai bangsa yang
merdeka102
.
Sebenarnya wacana poskolonial lahir untuk menggugat konstruksi
kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok terpinggirkan (phery-phery),
seperti halnya mengenai oposisi biner yang telah membagi dunia dalam dua
kategori—ada kategori yang diistimewakan (kelompok utama dan ada
kelompok subordinat). Dari situasi ini poskolonial lahir untuk menolak dan
melawan pengkategorian dalam subjek dalam oposisi biner. Dengan merujuk
pada konsep subjek dalam teori kekuasaan dan pengetahuan Foucault.
- Perempuan Sebagai Subaltern.
Kalau feminis sosial bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa
kelas, egaliter atau tanpa hierarki horizontal, karena adanya dominasi laki-
laki dan perempuan, sehingga perempuan dianggap sebagai kepala pelayan,
bahkan dianggap sebagai budak dalam keluarga. Latar belakang budaya
lahirnya feminism sosialis adalah budaya Eropa dan Amerika. Namun beda
halnya dengan Feminisme Poskolonial yang lahir, pertama, karena ketidak
puasan atas analisa feminis liberal yang mengeneralisasi konsep
feminismnya antara budaya Eropa dengan budaya dunia ketiga, sekaligus
102
Aschroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (2002). The Empire Writes Back: Theory and
Practice in Post- Colonial literatures.. (London and New York, Routledge: 2002), 194
68
karena dalam perjuangan feminis liberal menggunakan situasi perempuan
dunia ketiga sebagai iklan untuk pengobatan perempuan dunia pertama.103
Gayatri Cakravorty Spivak adalah salah seorang pemikir feminis
poskolonial asal India (dunia ketiga) namun berlatar belakang pendidikan
Amerika. Walaupun Spivak seorang yang berlatar belakang pendidikan
Barat, numun ia sangat membatasi diri terhadap pengggunaan analisa teori-
teori feminis Barat yang membahas tentang penindasan perempuan secara
global, karena menurutnya para perempuan Barat sudah berada pada posisi
yang mapan dan berpendidikan tinggi, sekaligus kebutuhan, pergumulan
dan situasi perempuan Barat dan perempuan dunia ketiga sangat berbeda.
Dalam kajian poskolonial, Spivak mencoba memasukan variabel jenis
kelamin sebagai objek kajiannya untuk melihat hubungan yang tidak setara
antara laki-laki dan perempuan (dunia ketiga) yang kemudian dianalogikan
dalam hubungan oposisi biner.
Spivak menggunakan istilah subaltern untuk menunjuk pihak-pihak
atau kelompok yang mengalami penindasan dari kelompok lain yang
berkuasa. Dengan memberikan penggambaran mengenai posisi Barat dan
Timur yang dianalogikan melalui hubungan laki-laki dan perempuan. Secara
implisit, hubungan diantara keduanya memiliki eksistensi yang sama dengan
hubungan antara Barat dan Timur. Perempuan diposisikan sebagai pribadi
yang lemah, terbelakang, bodoh, dan dikuasai. Perempuan diposisikan
sebagai kelompok subaltern, yaitu pihak yang mengalami penindasan dari
103
Leela Gandhi, Teori Poskolonial; Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, (Yogyakarta,
Qalam:1998), 110
69
kelompok lain yang lebih berkuasa, sementara laki-laki adalah sebaliknya,
kuat, maju, cerdas, dan menguasai perempuan. 104
Dengan mengaplikasikan teori Derida, Spivak melakukan
dekonstruksi pada studi poskolonial dalam rangka meruntuhkan kekuasaan
wacana pusat dan membuka ruang bagi tuntutan masyarakat yang
termarjinalkan. Dekonstruksi yang dilakukan bukanlah sekedar praktek
pembongkaran kesalahan saja, melainkan sebagai upaya koreksi tentang
proses terjadinya kebenaran-kebanaran dalam sebuah konstuksi sosial
politik,105
terutama konstruksi politik Barat terhadap Timur (dunia ketiga).
Trinth yang dikutip Gandhi mengungkapkan bahwa “perempuan Pribumi”
dunia ketiga menderita akibat adanya orang Barat, lapisan lintas budaya,
perempuan dapat menyamarkan ideology separatisme yang tidak
menyenangkan. Dengan keras Trinh mengungkapkan bahwa “kemanapun
ia pergi, „perempuan pribumi‟ diperlakukan untuk menetapkan perbedaan
yang muncul dari referen utama feminism Barat: “kemanapun kita pergi,
kita menjadi seperti kebun binatang” 106
Dalam teori feminisme poskolonial,
reprentasi perempuan dunia ketiga secara umum adalah;
“Bodoh, miskin, terbelakang, terikat adat, jinak, berorientasi keluarga, selalu
menjadi korban, yang mendorong dan meninggalkan swarepresentasi
perempuan Barat yang yang modern, terdidik, yang mandiri, sehat jasmani
dan seksualitas, serta kebebasan untuk menentukan keputusan mereka
sendiri…pengertian Said akan wacana kolonial sebagai hak budaya yang
menunjukan „Si Lain‟ yang tunduk”107
104
Ann Brooks, Postfeminisme dan Cultural studies: sebuah Pengantar paling
Konntepomporer, ( yogyakarta, Jalasutra: 2011), 53-55 105
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, (ed), Hermeneutika Poskolonial; Soal Identitas,
(Yogyakarta, Kanisisus: 2004), 113; bdk. Ann Brooks, 164. 106
Leela Gandhi, 110. 107
Leela Gandhi, 111
70
Gambaran tersebut menggambarkan begitu rendahnya kedudukan
perempuan, selain kaum kolonialis, dalam budaya lokal dunia ketiga, laki-
laki adalah kelompok yang diutamakan dan memiliki kekuasaan, sementara
perempuan adalah kelompok subordinat dan yang tunduk dalam dominasi
dan kekuasaan hegemoni laki-laki (suami).108
Kekuasaan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut situasi
strategis kompleks dalam masyarakat, karena itu menurut Foucault
kekuasaan mesti dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar
seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis, berfungsi dalam
dan terhadap setiap relasi sosial, ekonomi, keluarga,dan seksualitas, karena
itu dalam kekuasaan subjek menjadi konsep kekuasaan relasional sebagai
suatu fungsi jaringan relasi antar subjek. Dengan merujuk pada pengertian
subjek menurut Foucault, subjek dapat memiliki dua arti, yaitu tunduk pada
pengendalian dan ketergantungan pada orang lain, dan kukuh pada
identitasnya sendiri dengan kesadaran dan pengetahuan diri. Kedua arti
tersebut menunjukkan bentuk kuasa atas yang ditundukkan dan yang
menundukkan. Foucault berpandangan bahwa subjek diproduksi melalui
wacana. Subjek dapat membentuk pengetahuan yang diproduksi oleh wacana.
Subjek dapat menjadi objek melalui jalinan kuasa, karena itu subjek dilihat
sebagai individu yang superior, sedangkan objek sebaliknya berada dalam posisi
yang ditaklukkan oleh subjek.109
108
Abdi I Mughis Mudhoffir, Teori Kekuasaan Michel Foucault : Tantangan bagi Sosiologi
Politik, E Jornal Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Vol.18, No 1 (2013), 78 109
Afri Wita, Ejournal Humaniora, Vol. 25, No. 1 Februari 2013, 59; bdk. Pierre Boudieu, 60-
76
71
Menurut Spivak para pemikir kolonial memposisikan kelompok
subaltern yang terpinggirkan ini sebagai sebuah bentuk yang seragam,
mereka hanya dilabeli sebagai “masyarakat terjajah” atau “pribumi” tanpa
melihat etnis, gender, pendidikan, dan lain-lain. Dalam analisisnya
poskolonial memasukan variabel perempuan, karena perempuan sudah dapat
dikelompokan sebagai subaltern terutama dalam masyarakat berstruktur
patriakhi terutama pada dunia ketiga. Ia memperjuangkan membebasan
melalui penggalian kesadaran historis yang semestinya menjadi kesadaran
yang tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah lokal yang tidak hanya
terbatas pengalaman kultural perempuan sebagai subjek, melainkan sampai
pada pengalaman yang merefleksikan pola kekuasaan dan dominasi
ekonomi global, relasi struktur negara dan rakyat, dan pembatasan sosio
politik perempuan110
. Pemikiran poskolonial menempatkan masalah
perempuan dalam dominasi laki-laki atas kekuasaan hegemoni laki-laki—
hal inilah yang dimaksud dengan kolonisasi111
.
Dalam tulisanya yanag berjudul “Can The Subaltern Speak?” Spivak
menjelaskan dengan lugas bahwa terdapat suatu “kekerasan epistemis”
menimpa subaltern India. Karena itu ada berbagai upaya yang dilakukan
dari luar terutama kolonial atas dasar keprihatinan untuk memampukan
mereka berbicara dan membebaskan diri dari kondisi subaltern, terutama
praktek sati (pengorbanan diri para janda yang membakar diri di api unggun
suaminya). Keprihatinan yang dilakukan oleh kolonial Inggris ini dibentuk
110
Titiek Kartika, Perempuan Lokal VS Tambang Pasir Besi Global, (Jakarta, Yayasan
Pustaka Obor; 2014), 111 111
Stevi Jackson Dan Jackie Jones (Ed.), Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer,
(Yokyakarta, Jalasutra: 2009), 182-188
72
dalam berbagai undang-undang penolakan praktek sati, namun menurut
spivak dalam proses pembuatan undang-undang tersebut kolonial tidak
melibatkan para perempuan-perempuan India yang kemudian akan menjadi
sati-sati berikutnya dan sebagai subjek112
. Hal ini mengebiri intelektual
perempuan atau adanya sikap merendahkan martabat perempuan India yang
tidak mampu untuk berbicara, sehiagga tidak ada ruang bagi sati sebagai
subjek subaltern berdasarkan seks untuk berbicara dan membebaskan diri.
Dengan demikian, perempuan berada pada posisi terjajah dari kolonial,
mengingat adanya penjajahan intelektual Barat untuk berbicara atas nama
kondisi subaltern dari pada membiarkan mereka berbicara atas nama diri
sendiri113
. Karena itu spivak menegaskan bahwa dengan memperoleh
kembali identitas kultural kolektif ternyata membuat subaltern akan kembali
pada posisi subordinat dalam masyarakat.114
Selain sebagai terjajah dari kolonial, perempuan India juga hidup
dalam budaya patriakha dengan legalitas atau perintah dari Agama Hindu
(atau dalam hal ini bisa dikatakan bahwa agama dan budaya menyatu atau
tidak bisa dipisahkan).
Spivak menampilkan sosok janda yang hidup dalam budaya patraiakat
yang dikonstruksi bukan hanya oleh sosial, tetapi lebih pada perintah
Agama untuk melakukan pengorbanan atmaghata (buduh diri) sebagai
pertanda kesetiaan dan cinta. Dalam ajaran Hindu kuno, hal ini dianggap
112
Gayatri Cakravorty Spivak “Can The Subaltern Speak?” dalam, Patrick Williams dan Laura
Chrisman, (Ed), Colonial Discourse and Poscolonial Theory, (Hemel Hempstead, Harverster
Wheatsheaf:1993), 66 113
Spivak, 80 114
Sutrisno, 114
73
sebagai tatvajnana (kebenaran pengetahuan).115
Sebuah artikel yang disalin
ulang oleh Ania Loomba dengan judul “Nasib Janda-Janda Hindu yang
dikisahkan oleh seorang Janda”, di tulis pada tahun 1889 yang mengisahkan
nasib seorang janda setelah kematian suaminya;
“ tidak satupun keluarganya mau menyentuh dia uuntuk menanggalkan
perhiasan-perhiasan dari tubuhnya…tugas ini diberikan kepada tiga
perempuan dari kasta rambut…setan-setan betina ini boleh dikata menyerbu
janda ini dan merenggutkan semua perhiasan dari hidungnya, telinga, dst.
Dalam serbuan itu, tulang-tulang lembut dari hidung dan telinga kadang-
kadang dipatahkan. Kadang-kadang…untaian-untaian rambut ikut
tercabut…pada saat-saat seperti itu kesengsaraan datang menimpa
perempuan malang itu dari semua jurusan…tidak ada yang lain nasib kita
kecuali menderita dari lahir sampai mati. Ketika suami-suami kita masih
hidup, kita adalah budak-budak merka; ketika mereka mati, nasib kita
bahkan lebih buruk…ribuan janda mati setelah suami mereka mati. Tetapi
lebih banyak lagi harus menderita nasib lebih buruk sepanjang hidup mereka
seandainya mereka tetap hidup. Pernah, seorang janda yang masih saudara
saya mati di hadapan saya. Dia sakit sebelum suaminya meninggal. Ketika
sumainya meninggal, dia sudah sedemikian lemah, sehingga dia tidak bisa
diseret ke api unggun suaminya. Tubuhnya demam panas. Kemudian ibu
mertuanya menyeretnya dari tempt tidur kelantai dan memerintahkan
pelayan untuk menyiramkan ember demi ember air dingin ke tubuhnya.
Setelah kira-kira delapan jam dia meningggal. Tetapi tidak seorangpun
menengok bagaimana keadaanya saat dia mati kedinginan. Namun setelah
dia mati, mereka mulai memuji-mujinya, mengatakan bahwa dia mati karena
cintanya kepada suaminya…jika semua cerita (seperti itu) dikumpulkan akan
menjadi sebuah buku besar. Pemerintah melarang adat sati, tetapi beberapa
perempua yang mungkin akan mengalami kematian yang kejam tetapi
singkat ketika suami mereka meninggal kini harus menghadapi kematian
lambat yang menyakitkan.”116
Cerita seperti inilah yng dimaksud oleh Spivak akan melahirkan sati-
sati baru, karena itu Spivak menggunakan teori Derida tentang rekonstruksi
bagaimana proses kebenaran itu terjadi, menurut Spivak bahwa
pengorbanan diri janda merupakan tradisi kuno Hindu menjadi undang-
undang, ideologi dan ritual takhayul yang perlu didefenisikan ulang—
sebenarnya hal ini sebagai hadiah dari kesetiaan dan hal itu adalah pilihan.
115
Spivak, 93-94 116
Ania Looba, Kolonialisme/Pascakoloniaisme, (Yogyakarata, Narasi :2016)349-350
74
budaya sati (bunuh diri) bukanlah ritual pengorbanan diri sebagai lambang
cinta dan kesetiaan, melainkan sebuah kejahatan117
.
Dalam hal ini, poskolonial, perempuan tidak hanya mengalami
penindasan dari satu pihak, tetapi dari tiga pihak, pertama, perempuan
dikondisikan pada suatu akibat kolonialisme, peran kolonial Inggris dalam
melarang Sati menempatkan masalah perempuan dalam sebuah bentuk
kolonialisasi kedua adalah kedudukan perempuan yang subordinat dalam
budaya patriakhi—perempuan sebagai kelas subordinat dalam sebuah
keuarga dan masyarakat dan ketiga, adalah perempuan ditindas oleh
kaumnya sendiri, orang tua terhadap anak dan menantunya—hal ini terjadi
atas konstruksi sosial dan bahkan perintah agama.
Karena itu Perempuan dipandang mengalami triple kolonialisasi
karena keberadaanya sebagai subjek yang dikuasai dan diskriminasi,
dialami sebagai subjek perempuan. Perempuan sering digambarkan sebagai
pribadi yang tertindas, objek kekerasan seksual, sekaligus dianggap sebagai
kelas yang dipinggirkan, dimarjinalisasikan, dilecehkan, bahkan dengan
atribut-atribut lain yang terkesan menggenaskan. Sebuah konstruk identitas
yang diproduksi untuk “perempuan dunia ketiga”, sebagai korban budaya
patriarkhi yang diperlakukan tidak sama dengan laki-laki baik di bidang
pendidikan (tidak didukung atau bahkan tidak disetujui oleh keluarga/orang
tua atas konstruksi sosial untuk mengenyam berpendidikan), dituntut untuk
117
Spivak, 97
75
selalu mematuhi atau terikat tradisi domestik, dan selalu menjadi korban
kekerasan (verbal dan nonverbal).118
Karena itu feminis poskoloNias berjuang membebaskan perempuan
dari subaltern tersebut dengan rekonstruksi ulang teks-teks (wacana) baik
yang berupa budaya, teks keagamaan dan pembebasan dari kolonisasi Barat
dan feminis Liberal yang menjadikan perempuan dunia ketiga sebagai iklan
perjuangan feminis Barat. Dalam rekonstruksi tersebut, perempuan harus
dilibatkan dalam menentukan nasibnya sendiri—tentu hal ini disertai
sumber daya manusia sebagaimana Mahatma Gandhi menyebut bahwa
perlunya perempuan-perempuan India mengenyam pendidikan (sekolah
tidak harus belajar bahasa Ingris), dan Kartini yang memperjuangkan
perempuan Indonesia sebagai bagian dari dunia ketiga untuk memiliki hak
yang sama dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan sehingga mereka
bisa sederajat dengan saudaranya laki-laki dan mereka memiliki
kemandirian di bidang ekonomi.
Dari uraian di atas secara singkat bisa diuraikan bahwa secara umum
konstruksi sosial melahirkan berbagai ketidakadilan gender sehingga adanya
istilah-istilah Marginalisasi, Subordinasi, Stereotype, beban ganda, bekerasan,
relasi gender dan memposisikan perempuan pada kelas subordinat. Konstruksi
sosial ini sebenarnya memiliki hubungan erat dengan keluarga, di mana setiap
pribadi mula-mula dibentuk dalam sebuah komunitas terkecil dari sebah
masyarakat, yakni keluarga, dan apa yang dibentuk dalam sebuah keluarga akan
dibawa dalam komunitas, walaupun komunitas juga memiliki andil untuk
118
Chandra Talpade Mohanty.. “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial
Discourses”. Boundary 2, Vol. 3 (1984) 333—358
76
mempengaruhi individu, sehingga dalam kontek ini terjadi proses “saling”
mempengaruhi.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang terdiri dari dua orang dewasa
yang memiliki jenis kelamin yang berbeda memiliki kesepakatan seksual serta
menjaga hubungan tersebut secara sosial dan memiliki satu atau lebih anak
kandung atau adopsi dan memiliki kedekatan hubungan emosional (terdiri dari
ayah, ibu dan anak) yang memiliki fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih,
perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi. Agar fungsi
berjalan dengan efektif, maka perlu adanya pembagian kerja sehingga terciptalah
sebuah keseimbangan, jika tidak maka akan tercipta disfungsional. Dalam
menjalani fungsi ini, tidak terlepas dari konflik-konflik.
Dari konflik-konflik tersebut lahir suatu kesadaran akan perlunya
kesetaraan gender, kesetaraan antara laki-laki dalam perempuan diberbagai lini
kehidupan. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pisau analisa teori feminis
sosialis dan Marxisme serta feminism poskolonial, yang mana ketiga-tiganya
melandasi teorinya dengan teori Marx dan Engels, tetapi dengan konteks yang
sangat berbeda.
Teori feminis sosialis dan marxisme lahir dari konteks dunia eropa dan
Amerika dimana kapitalisme menjadi system perekonomian daerah tersebut,
sehingga lahir sebuah kesadaran diri dari pemikir feminis yang memahami bahwa
perempuan menjadi kelas subordinat dalam keluarga karena kapitalisme dan
budaya patriakhi, karena itu untuk membebaskan perempuan dari perbudakan
perlu penghapusan kapitalisme, kepemilikian pribadi, kelas dan bahkan keluarga.
77
Sementara feminisme poskolonial yang lebih fokus pada nasib perempuan
dunia ketiga memahami bahwa nasib kedudukan perempuan yang subordinat
diakibatkan oleh kolonialisme, budaya patriakhi dan perintah agama. Perempuan
tidak hanya dijajah oleh kelas laki-laki dan penjajah, tetapi juga oleh perempuan
terhadap perempuan di dalam keluarga.