bab ii fuo

Upload: yudi-agustinus

Post on 19-Jul-2015

342 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Pasien umumnya datang kepada klinisi dengan keluhan demam (suhu lebih tinggi dari 38.3C). Sebagian besar kondisi demam terdiagnosis atas dasar gejalagejala klinis yang tampak serta pemeriksaan fisik yang terfokus. Biasanya pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan darah lengkap atau kultur urine dilakukan untuk membuat diagnosis definitif. Namun, ketika demam terus berlangsung maka investigasi diagnostik yang lebih ekstensif akan dilakukan oleh seorang klinisi.1 Fever of unknown origin (FUO) dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana suhu lebih tinggi dari 38.3C (101F), yang berlangsung lebih dari 3 minggu tanpa adanya penegakan diagnosis meskipun telah dilakukan investigasi seksama selama di rawat-inap pada orang dewasa. Empat kategori etiologi potensial dari fever of unknown origin adalah klasik, nosokomial, defisiensi imun dan human immunodeficiency virus (HIV).1,2 Pada sebagian besar kasus, penyakit ini ditandai oleh adanya presentasi abnormal dari beberapa penyakit umum seperti tuberkulosis, endokarditis dan infeksi HIV. Pada orang dewasa, infeksi dan kanker (25-40% kasus) serta gangguan autoimun (10-20% kasus) menjadi penyebab utama sedangkan pada anak-anak 3050% kasus disebabkan oleh infeksi, 5-10% oleh kanker dan 10-20% oleh gangguan autoimun.2,3 Beberapa pemeriksaan diagnostik terbaru seperti serologi dan kultur virus, memiliki peran penting dalam mengevaluasi penyakit ini. Namun apabila berbagai evaluasi estensif telah dilakukan tanpa memberikan hasil maka tes-tes yang lebih invasif seperti punksi lumbal maupun biopsi sumsum tulang, hepar serta kelenjar getah bening, dapat dipertimbangkan sesuai dengan kecurigaan klnis yang ditemukan.1

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patogenesis Demam Pirogen Pirogen dimaksudkan sebagai berbagai macam substansi yang menyebabkan demam. Pirogen eksogen berasal dari luar pasien seperti produk mikrobial, toksin mikrobial atau mikroorganisme utuh. Contoh klasik dari pirogen eksogen ini adalah lipopolisakarida (endotoksin) yang diproduksi oleh semua bakeri Gram negatif. Produk pirogenik organisme Gram positif meliputi enterotoksin dari Staphylococcus aureus dan toksin streptococcal group A dan B, yang dikenal dengan superantigen. Endotoksin merupakan molekul yang sangat pirogenik pada manusia: ketika diinjeksikan secara IV, dosis 23 ng/kgBB menyebabkan demam, leukositosis, protein fase akut dan gejala-gejala umum malaise. 4 Sitokin pirogenik Beberapa sitokin mampu menyebabkan demam (sitokin pirogenik), termasuk diantaranya IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), ciliary neurotropic factor (CNTF) dan interferon (IFN). Sitokin pirogenik lainnya juga mungkin ada. Tiap sitokin dikodekan oleh gen yang terpisah dan menyebabkan demam pada manusia. Ketika diinjeksikan pada manusia, IL-1 dan TNF menimbulka demam pada dosis rendah (10100 ng/kgBB); sebaliknya, untuk IL -6, dosis 110 g/kg dibutuhkan supaya timbul demam. Spektrum luas produk bacterial dan jamur menginduksi sintesis dan pelepasan sitokin pirogenik. Namun, demam juga dapat berupa manifestasi suatu penyakit tanpa adanya infeksi mikroba seperti pada proses peradangan, trauma maupun nekrosis jaringan dimana produksi IL-1, TNF dan/atau IL-6, baik secara individual maupun kombinasimemacu hipothalamus untuk meningkatkan set point hingga level demam. 4

2

Elevasi Hypothalamic Set Point oleh Sitokin Selama demam, level prostaglandin E2 (PGE2) meningkat dalam jaringan hipotalamik dan ventrikel serebral ketiga. Konsenterasi PGE2 tertinggi pada organ vaskuler circumventricular (organum vasculosum dari lamina terminalis)jaringan pembesaran kapiler yang mengelilingi pusat regulatoris hipotalamik. Penghancuran organ-organ ini menurunkan kemampuan pirogen untuk menyebabkan demam. Dari penelitian ditunjukkan bahwa baik pirogen eksogen maupun endogen berinteraksi dengan epitelium kapiler-kapiler ini dan interaksi ini merupakan langkah pertama mengawali demam. Kunci kejadian demam ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Seperti telah disebutkan sebelumnya, beberapa tipe sel dapat memproduksi sitokin pirogenik. Sitokin pirogenik seperti IL-1, IL-6 dan TNF dilepaskan dari sel dan memasuki sirkulasi sistemik. Meskipun efek sistemik dari sitokin yang bersirkulasi ini berujung pada demam melalui induksi sintesis dari PGE2, namun juga mampu menginduksi PGE2 dalam jaringan perifer. Peningkatan PGE2 perifer berperan pada timbulnya mialgia non-spesifik dan artralgia yang sering ditemukan dengan demam. Diperkirakan bahwa beberapa PGE2 sistemik lolos dari destruksi oleh paru-paru dan memperoleh akses ke hipotalamus melalui karotis internal. Namun, elevasi dari PGE2 dalam otak yang memulai proses peningkatan hypothalamic set point untuk suhu basal.

Tabel 2.1 Kronologi kejadian yang dibutuhkan untuk induksi demam.

3

AMP, adenosine 5'-monophosphate; IFN, interferon; IL, interleukin; PGE2, prostaglandin E2; TNF, tumor necrosis factor. PGE2 memiliki 4 reseptor dan masing-masing memberikan sinyal pada sel dengan cara berbeda. Dari keempat reseptor, reseptor yang ketiga (EP-3) penting untuk demam; ketika gen untuk reseptor ini pada tikus percobaan, tidak ada demam yang mengikuti setelah injeksi IL-1 atau endotoksin. Delesi gen reseptor PGE2 lainnya menyebabkan demam tetap ada. PGE2 bukanlah neurotransmiter meskipun penting untuk demam. Justru pelepasan PGE2 dari endotelium hipotalamik sisi otak merangsang reseptor PGE2 pada sel glial dan stimulasi nini berujung pada pelepasan cepat dari neurotransmiter cyclic adenosine 5'-monophosphate (cyclic AMP). Berdasarkan gambar diatas, pelepasan cyclic AMP dari sel glial mengaktivasi akhiran neuronal dari pusat termoregulatoris yang menyebar ke area sekitar. Peningkatan cyclic AMP diperkirakan berperan pada perubahan dalam hypothalamic set point baik secara langsung maupun tidak langsung (dengan menginduksi pelepasan neurotransmiter). Reseptor khusus untuk produk mikrobial ditemukan pada endotelium hipotalamik. Reseptor-reseptor ini dikenal dengan Tolllike receptors dan serupa dalam beberapa hal dengan reseptor IL-1. Aktivasi langsung dari Toll-like receptors juga berujung pada produksi PGE2 production dan demam. 4

4

Produksi Sitokin dalam Sistem Saraf Pusat Beberapa penyakit viral memproduksi infeksi aktif dalam otak. Glial dan sel neuronal mensintesis IL-1, TNF dan IL-6. CNTF juga disintesis oleh sel neural dan neuronal. Dari penelitian didapatkan bahwa produksi sitokin oleh sistem saraf pusat dapat meningkatkan set point hipotalamik, mem-bypass organ circumventricular yang terlibat dalam demam akibat sitokin yang bersirkulasi. Sitokin sistem saraf pusat mungkin berperan pada hiperpireksia di perdarahan , trauma maupun infeksi sistem saraf pusat. 4 2.2 Fever of Unknown Origin (FUO) Fever of Unknown Origin (FUO) didefinisikan oleh Petersdorf dan Beeson pada tahun 1961 sebagai 1). Suhu tubuh > 38,3C pada banyak kesempatan; 2). Durasi demam > 3 minggu; dan 3). Kegagalan dalam menegakkan diagnosis. Kriteria diatas sudah ada lebih dari 30 tahun & Durack dan Street mengajukan sistem klasifikasi baru untuk FUO, yaitu: 41) Classic FUO: Adanya 3 kali rawat jalan atau rawat inap selama 3 hari di rumah

sakit tanpa ditegakkan penyebabnya, atau dilakukannya investigasi selama 1 minggu secara rawat jalan.2) Nosocomial FUO: suhu badan >= 38,3C pada pasien yang sedang menjalani

terapi akut dan infeksi tersebut tidak bergejala atau sedang dalam masa inkubasi saat pasien masuk rumah sakit. Investigasi untuk mencari penyebab selama 3 hari, termasuk kultur inkubasi paling sedikit 2 hari, merupakan kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis ini.3) Neutropenic FUO: didefinisikan sebagai adanya suhu tubuh >=38,3 C pada

pasien dengan jumlah neutrofil = 38,3C lebih dari 4 minggu

untuk pasien rawat jalan atau >3 hari untuk pasien yang dirawat dengan infeksi

5

HIV. Diagnosis ini ditegakkan jika pemeriksaan yang sesuai dilakukan lebih dari 3 hari tidak didapatkan penyebab lainnya. Tabel 2.2 Kategori Fever of Unknown Origin (FUO)

2.2.1 Penyebab Classic FUO Tabel 2.3 FUO Klasik pada orang dewasa Authors (Year n) Year No. Infectio Neoplas Noninfectio Miscellane Undiagnos of s of of y s ns (%) ms (%) us ory Diseases (%) Petersdorf 1952 100 36 and Beeson (1961) Larson and ne (1982) 1970 105 30 31 16a 11a 12 1957 19 19a 19a 7 ous Causes ed Causes (%) Inflammat (%)

Publicatio Stud Case

Feathersto 1980

6

Authors (Year n)

Year No. Infectio Neoplas Noninfectio Miscellane Undiagnos of s of of y s ns (%) ms (%) us ory Diseases (%) ous Causes ed Causes (%) Inflammat (%)

Publicatio Stud Case

Knockaert 1980 199 22.5 and Vanneste (1992) de Kleijn 1992 167 26 et (1997, Part I) al. 1994 1989

7

23a

21.5a

25.5

12.5

24

8

30

Sumber: Modifikasi dari de Kleijn et al., 1997 (Part I).

7

2.2.2 Penegakkan Diagnosis

Tabel 2.4 Pendekatan Pada Pasien dengan FUO Klasik Jika didapatkan suhu tubuh yang bermakna, pengukuran sebaiknya menggunakan termometer elektronik dan dilakukan dengan supervisi, juga pemantauan urine dan observasi suhu tubuh harus dilakukan. Apus darah tebal harus dilakukan untuk mencari adanya Plasmodium; apus darah tipis untuk menilai spesies dari plasmodium, dan juga bisa untuk identifikasi Babesia, Trypanosoma, Leishmania, Rickettsia, dan Borrelia. Pemeriksaan histologis terhadap jaringan

8

yang diambil saat dilakukan operasi yang mungkin berkaitan dengan penyebab febris. Foto rontgen yang relevan sebaiknya dilakukan, begitu juga dengan tes laboratorium terhadap serum pasien secepat mungkin dan untuk mengevaluasi adanya kenaikan titer antibodi jika dilakukan pemeriksaan serologis berikutnya. 4 Febrile agglutinins merupakan istilah yang digunakan laboratorium tentang pemeriksaan serologis terhadap salmonellosis, brucellosis, dan penyakit rickettsial. Sampel darah multipel (tidak kurang dari tiga dan jarang melebihi enam, termasuk sampel untuk kultur anaerob) harus diperiksa minimal 2 minggu untuk memastikan bahwa kelompok organismee HACEK yang mungkin ada mempunyai waktu yang cukup untuk berproliferasi. Media kultur darah harus terdapat L-cysteine atau pyridocal untuk membantu nutrisi saat isolasi terhadap mikroorganismee. Begitu juga dengan kultur urin yang sebaiknya dilakukan untuk mengidentifikasi adanya mikobakterium, jamur, dan CMV. Pada keadaan demam berulang, CSF juga sebaiknya diperiksa terhadap adanya herpesvirus, ataupun mikroba lainnya. Dalam pencarian etiologi FUO, ESR (Erythrocyte sedimentation rate) harus dievaluasi. Adanya peningkatan ESR disertai anemia kronik sering dihubungkan dengan giant-scell arteritis atau polymyalgia rheumatica (penyebab umum FUO pada pasien diatas 50 tahun). C-reactive protein (CRP) sebaiknya diperiksa karena merupakan indikator spesifik terhadap respon metabolik terhadap inflamasi pada fase akut. ANA (antinuclear antibody), antineutrophil sytoplasmic antibody, faktor reumatoid, dan krioglobulin serum harus dinilai untuk menegakkan penyakit vaskuler kolagen lainnya dan vaskulitis. PPD (purified protein derivative) diperiksa untuk menskrining pasien tuberkulosis dengan FUO klasik. Secara bersamaan, dilakukan juga control test seperti mumps skin test antigen (Aventis-Pasteur, Swiftwater, PA). Oleh karena, tes kulit PPD dan control test dengan hasil negatif terdapat pada tuberkulosis milier, sarkoidosis, penyakit hodgkin, malnutrisi, atau AIDS. 4 Prosedur nonivasif yang bisa dilakukan seperti pencitraan dengan kontrar pada GIT bagian atas diteruskan sampai ke usus kecil, dan kolonoskopi untuk menilai ileum terminalis dan caecum. Kolonoskopi sangat diindikasi pada pasien usia lanjut. Rontgen thrax harus selalu dinilai ulang jika ada gejala baru yang

9

timbul. Kultur dan sitologi sputum harus dilakukan. Jika ada gejala sistem pulmonal, sebaiknya dilakukan bronkoskopi. CT scan resolusi tinggi pada dada dan perut juga sebaiknya dilakukan. Jika mencurigai adanya lesi di spinal dan paraspinal, MRI sangat dianjurkan. MRI lebih baik dari CT dalam menilai abses intraabdominal dan diseksi aorta. Arteriography bisa dilakukan pada pasien yang dicurigai vaskulitis nekrotik sistemik. Ultrasonografi pada abdomen berguna untuk menilai traktus hepatobiliaris, ginjal, lien, dan pelvis. Ekokardigrafi untuk meilai endokarditis bakterialis, perikarditis, endokarditis trombotik nonbakteri, dan myxoma atrium. Transesofageal ekokardiografi lebih sensitif lagi untuk lesi-lesi diatas. Biopsi hepar dan sumsum tulang sebaiknya dipikirkan pada demam yang semakin berkepanjangan. Hepatitis granulomatosa pernah ditegakkan diagnosis dengan biopsi hepar, bahkan ketika enzim hati normal dan tidak ada keadaan yang menimbulkan kecurigaan pada penyakit hepar. Semua spesimen biosi harus dikultur untuk mencari bakteri, mikobakterium, dan jamur. Laparatomi eksplorasi dilakukan pada kegagalan semua prosedur diagnostik, tetapi tindakan ini sudah digantikan oleh pencitraan dan teknik biopsiguided. Biopsi per laparaskopi lebih nonivansif dengan lesi minimal. 4

2.2.3 Penatalaksanaan Yang dibahas disini adalah keadaan FUO klasik, sedangkan tipe lainnya diterapi berdasarkan kemungkinan penyakit yang bisa menimbulkan demam tersebut dengan menilai keuntungan dan kerugian untuk dilakukan pengobatan secara empiris. Yang perlu diingat pada penanganan FUO klasik adalah tetap dilakukan observasi dan prosedur diagnostik, dengan menghindari terapi empiris. Akan tetapi, tanda vital yang tidak stabil atau neutropenia merupan indikasi dilakukannya terapi empiris dengan menggunakan fluoroquinolon dikombinasi dengan piperacillin.

10

Jika belum ditemukan penyebab yang mendasari FUO setelah observasi lebih dari 6 bulan, prognosisnya adalah baik; akan tetapi, keadaan demam ini membuat pasien tidak nyaman. Pada keadaan diatas, diberikan terapi simtomatik dengan OAINS, dan glukokortikod merupakan pilihan terakhir. Kesabaran, simpati, ketetapan hari, dan fleksibilitas intelektual adalah yang dibutuhkan oleh klinis dalam menghadapi FUO.4

BAB III KESIMPULAN Fever of unknown origin (FUO) merupakan suatu keadaan dimana suhu lebih tinggi dari 38.3C (101F), yang berlangsung lebih dari 3 minggu tanpa adanya penegakan diagnosis meskipun telah dilakukan investigasi seksama selama di rawat-inap pada orang dewasa. Empat kategori etiologi potensial dari fever of unknown origin adalah klasik, nosokomial, defisiensi imun dan human immunodeficiency virus (HIV). Pemeriksaan awal yang dilakukan seperti pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi hati, rasio sedimentasi eritrosit, urinalisis

11

serta kultur standar dapat membantu memformulasikan diagnosis banding dan pemeriksaan berikutnya. Temuan sederhana ketika pemeriksaan awal mampu membimbing klinisi kearah salah satu subgrup utama penyakit ini. Maka dari itu, pentingnya dilakukan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang adekuat dalam menentukan diagnosis supaya penanganan yang tepat dan dini dapat dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA1. Roth AR, Basello GM. Approach to the Adult Patient with Fever of

Unknown Origin, Am Fam Physician. 2003; 68: 2223-2229.2. Chan-Tack KM. Fever of Unknown Origin. March 29, 2011. Retrieved

August 5, 2011 from http://emedicine.medscape.com/article/217675medication.3. Ergonul O, Willke A, Azap A, et al. Fever of Unknown Origin: Limitations

and Opportunities, J Infect. 2005; 50: 1-5.

12

4. Dinarello CA, Povat R, Fever and Hyperthermia, In: Harrisons Principles

of Internal Medicine, Volume I, 17th edition, Fauci AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SL, ed. New York: McGraw Hill, 2008: 117-20.

13