bab ii fix

54
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Penyakit 1. Pengertian Cedera kepala merupakan proses di mana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace dan Borley, 2006). Doenges (2000) menambahkan bahwa, cedera kepala adalah cedera terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kontosio gegar serebri, kontosio memar laserasi, dan perdarahan serebral subarachnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak. Kontusio Serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya bergantung pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusio otak terjadi akibat laserasi pembuluh darah kecil dan biasanya dimulai pada permukaan korteks, kadang- kadang menyebar ke lapisan otak yang paling dalam 7

Upload: damas-cahya-a

Post on 16-Apr-2017

187 views

Category:

Health & Medicine


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab ii fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian

Cedera kepala merupakan proses di mana terjadi trauma langsung

atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak

dan otak (Grace dan Borley, 2006). Doenges (2000) menambahkan bahwa,

cedera kepala adalah cedera terbuka dan tertutup yang terjadi karena,

fraktur tengkorak, kontosio gegar serebri, kontosio memar laserasi, dan

perdarahan serebral subarachnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang

otak.

Kontusio Serebral adalah cedera fokal yang derajat keparahannya

bergantung pada ukuran dan luasnya cedera jaringan otak. Kontusio otak

terjadi akibat laserasi pembuluh darah kecil dan biasanya dimulai pada

permukaan korteks, kadang-kadang menyebar ke lapisan otak yang paling

dalam (Morton, 2011). Menurut Smeltzer dan Bare (2002) kontusio

serebral merupakan cedera kepala berat, di mana otak mengalami memar,

dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode

tidak sadarkan diri. Sedangkan menurut (Hardman, 2002) Kontusio serebri

adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul

maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan

7

Page 2: Bab ii fix

8

kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler

pembuluh darah otak.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

Kontusio Serebri adalah cedera kepala berat di mana terdapat memar pada

otak yang disebabkan oleh trauma dan mengakibatkan kerusakan parenkim

otak dengan kemungkinan terdapat daerah hemoragi di sekitar kapiler

pembuluh darah otak.

2. Etiologi

Menurut Morton (2011) penyebab dari cedera kepala meliputi

cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, coup-countre coup, dan

cedera rotasional.

a. Cedera akselerasi terjadi jika obyek bergerak menghantam kepala yang

tidak bergerak (misalnya alat pemukul yang menghantam kepala atau

peluru yang ditembakkan ke kepala).

b. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek

diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala

membentur kaca depan mobil. Cedera akselerasi-deselerasi sering kali

terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode

kekerasan.

c. Cedera coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur, yang

menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat

mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala

Page 3: Bab ii fix

9

yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera

translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak yang

berlawanan.

d. Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak

berputar dalam rongga tengkorak yang mengakibatkan peregangan atau

robeknya neuron dalam substansi alba serta robeknya pembuluh darah

yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

3. Patofisiologi dengan Pathways

a. Patofisiologi

Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, hal ini menyebabkan

memar di otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan

terjadi kemampuan autoregulasi cerebral yang kurang atau tidak ada

pada area cedera dan konsekuensinya meliputi hyperemia. Peningkatan/

kenaikan salah satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat

membesar karena tidak ada aliran cairan otak dan sirkulasi pada otak,

sehingga lesi yang terjadi menggeser dan mendorong jaringan otak.

Bila tekanan terus menerus meningkat akibatnya tekanan pada ruang

cranium terus meningkat. Saat aliran darah dalam otak menurun

terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehingga terjadi masalah

perubahan perfusi serebral (Price, 2005).

Sebagai akibat dari cedera kepala atau otak menyebabkan

gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien terutama glukosa.

Page 4: Bab ii fix

10

Otak tidak menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu

yang bermakna. Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah yang terus

menerus untuk memperoleh makanan. Kekurangan oksigen dapat

terjadi karena berkurangnya oksigen darah akibat aliran darah dalam

otak menurun. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan metabolisme

jaringan otak yang menyebabkan edema, efek yang terjadi adalah

tekanan intrakranial meninggi (Smeltzer dan Bare, 2002).

Pada kontusio serebri yang berat akan terjadi penimbunan asam

laktat dan penambahan asam laktat, hal ini terjadi karena metabolisme

anaerob dari glukosa akibat hipoksia atau kerusakan akibat trauma. Bila

otak mengalami hipoksia, metabolisme glukosa anaerob akan terjadi

dan pada proses ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah, hal ini

terjadi agar kebutuhan oksigen otak terpenuhi.

Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, bila terjadi

kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar maka akan

mengakibatkan gangguan fungsi. Sedangkan bahan bakar utama otak

adalah glukosa. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh

kebutuhan glukosa tubuh. Bila kadar glukosa dengan plasma turun

sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral,

sedangkan bila kadar glukosa kurang dari 20% maka akan timbul koma.

Dalam keadaan normal, cerebral blood flow (CBF) yaitu 60-70

ml/menit/100gram jaringan otak, yang berarti 20% dari cardiac output.

Pembuluh darah arterioal akan berkontraksi bila tekanan menurun,

Page 5: Bab ii fix

11

sedangkan pengaruh saraf simpatis pada pembuluh darah arteri tidak

begitu besar. Sedangkan konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam

darah sangat mempengaruhi aliran darah. Bila O2 rendah maka aliran

darah bertambah secara nyata karena terjadi vasodilatasi, sebaliknya

bila terjadi penurunan CO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan

konstriksi arteri kecil. Penambahan jumlah darah dalam intrakranial

yang kemudian menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan

intrakranial.

Edema otak disebabkan karena adanya penumpukan cairan yang

berlebihan pada jaringan otak. Edema otak mengakibatkan peningkatan

tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan

pada batang otak (Batticaca, 2008).

Page 6: Bab ii fix

12

b. Pathways

Gambar 1. Pathway

Page 7: Bab ii fix

13

4. Manifestasi Klinik

Tanda gejala cedera kepala menurut Smeltzer dan Bare (2002)

meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba

defisit neurologik, perubahan tanda vital. Mungkin gangguan penglihatan

dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo,

gangguan pergerakan, kejang. Karena cedera SSP sendiri tidak

menyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan

cedera multisystem.

Ditambahkan oleh Corwin (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala

adalah :

a. Pada hematoma kesadaran mungkin hilang segera atau bertahap seiring

dengan membesarnya hematoma atau edema interstisium.

b. Pola pernapasan dapat secara progresif menjadi abnormal.

c. Respon pupil mungkin lenyap atau secara progresif memburuk.

d. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan

peningkatan tekanan intrakranium.

e. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranium.

f. Perubahan perilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan

gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

Beberapa tanda dan gejala yang dapat terlihat pada kontusio serebri

menurut Ariani (2012) adalah sebagai berikut :

a. Perdarahan kecil/ptechie jaringan otak

b. Edema serebri

Page 8: Bab ii fix

14

c. TIK meningkat

d. Gangguan neurologis fokal

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinik kontusio serebri

adalah :

a. Pasien terbaring kehilangan gerakan

b. Denyut nadi lemah

c. Pernapasan dangkal

d. Kulit dingin dan pucat

e. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari

f. Pasien dapat diusahakan untuk bangun tetapi segera masuk kembali ke

dalam keadaan tidak sadar

g. Tekanan darah dan suhu subnormal

5. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Grace dan Borley (2006) pemeriksaan penunjang pada cedera

kepala adalah :

a. Rontgen tengkorak : AP, lateral, dan posisi Towne.

b. CT scan/ MRI : menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus,

edema/serebral.

Sedangkan menurut Nurarif dan Kusuma (2013) pemeriksaan penunjang

pada cedera kepala meliputi :

a. Foto polos tengkorak

Page 9: Bab ii fix

15

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran

struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema).

b. Angiografi serebral

Menunjukkan kelainan serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat

edema, perdarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan

menentukan kelainan serebral vaskuler.

c. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Sama dengan CT-Scan dengan/tanpa kontras. Menggunakan medan

magnet kuat dan frekuensi radio, bila bercampur frekuensi radio yang

dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang

berguna dalam mendiagnosa tumor infark dan kelainan pada pembuluh

darah.

d. CT-Scan

Indikasi CT-Scan nyeri kepala atau muntah-muntah, penurunan

kesadaran, adanya lateralisasi, bradikardi (nadi <60x/menit), fraktur

impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, tidak ada perubahan

selama 3 hari perawatan dan luka tembus akibat benda tajam atau

peluru.

e. EEG (Electroensefalogram)

Untuk mendeteksi atau memperlihatkan keberadaan atau

berkembangnya gelombang patologis. EEG mengukur aktifitas listrik

lapisan superfisial korteks serebri melalui elektroda yang dipasang di

luar tengkorak pasien.

Page 10: Bab ii fix

16

f. ENG (Electroinstagmogram)

Merupakan pemeriksaan elektrofisiologis vestibularis yang dapat

digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.

g. Pungsi lumbal, CSS

Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.

h. GDA (Gas Darah Arteri)

Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan

meningkatkan TIK.

i. Kimia/Elektrolit darah

Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK/

perubahan mental.

6. Diagnosa Banding

Diagonsa banding menurut Ariani (2012) adalah sebagai berikut :

a. Stroke

b. Tumor otak

c. Transient Ischaemic Attack

7. Terapi

Terapi untuk pasien dengan cedera kepala menurut Setiawan dan Maulida

(2010) adalah sebagai berikut :

a. Penatalaksanaan Tekanan Tinggi Intrakranial

Page 11: Bab ii fix

17

1) Hiperventilasi terkontrol dengan tekanan pCO2, 27-30, dimana

terjadi vasokonstriksi, sehingga aliran darah ke otak akan

berkurang.

2) Terapi diuretik (hiperosmolar) : Manitol 20 % dosis 0,25-1

gram/kgbb (200cc-150cc-150cc-150cc selang 6 jam), manitol atau

cairan osmotik lain mempunyai efek vasokonstriksi pembuluh

darah piameter dan arteri basiler, sehingga akan mengurangi

Cerebral Blood Flow. Pemberian manitol jangan melebihi 3 hari

dan hindari drip kontinyu. Efek samping berupa rebound

peningkatan tekanan intra kranial pada disfungsi sawar darah otak,

overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal.

3) Terapi barbiturat : diberikan pada pasien dengan peningkatan

tekanan intra kranial yang refrakter tanpa cedera difus, autoregulasi

baik dan fungsi kardiovaskuler adekuat, diberikan dengan dosis 10

mg/kgbb selama 1 atau 2 jam. Mekanisme kerja barbiturat yaitu

menekan metabolisme serebral, menurunkan aliran darah ke otak,

menurunkan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler.

4) Steroid, pemberian steroid masih kontroversi, karena tidak

direkomendasikan menurunkan tekanan intra kranial.

5) Posisi tidur 30o, dengan kepala dan dada pada satu bidang, untuk

menjaga venous return. Hindari fleksi atau laterofleksi, supaya

vena leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi

lancar.

Page 12: Bab ii fix

18

6) Mengukur dan menjaga suhu tubuh normal < 37,5o C

7) Mengatasi kejang

8) Mengatasi rasa nyeri

9) Hindari keadaan yang dapat meningkatkan tekanan intra kranial,

seperti, batuk, mengejan, penghisapan lendir yang berlebih.

b. Keseimbangan Cairan dan elektrolit

1) Dapat digunakan NaCl 0,9% atau RL.

2) Batasi pemberian cairan 1500-2000 cc sehari (mencegah

pertambahan edema serebri).

c. Nutrisi

Cedera otak terjadi peningkatan kadar epinefrin yang merangsang

hipermetabolisme sehingga menyebabkan katabolisme protein. Hari

pertama dan kedua sebaiknya pasien dipuasakan, hari ke tiga dan

keempat pemberian cairan parenteral, pemberian nutrisi lewat sonde

2000-3000 kalori/hari.

d. Kejang

Saat kejang dilakukan pemberian diazepam 10 mg melalui Intravena

line. Dilanjutkan fenitoin 200 mg per oral, selanjutnya diberikan

fenitoin 3x10 mg/hari. Pemberian fenitoin profilaksis pada cedera

kepala berat dengan risiko kejang tinggi, efektif menurunkan risiko

kejang pasca trauma awal (dalam waktu 7 hari setelah trauma).

Fenitoin profilaksis diberikan dengan dosis 3-4 x 10 mg/hari selama 7

hari.

Page 13: Bab ii fix

19

e. Infeksi

Diberikan antibiotika profilaksis bila ada risiko tinggi infeksi,

misalnya fraktur terbuka dan luka.

f. Demam

Diberikan antipiretika dan dicari kemungkinan penyebabnya.

g. Gastrointestinal

Sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastrointestinal lain, 10-40%

akan terjadi perdarahan.

h. Gelisah

Cari penyebab gelisah (kesulitan bernapas, kandung kencing penuh,

nyeri karena patah tulang, sakit kepala, dan lain-lain).

8. Komplikasi

Komplikasi cedera kepala menurut Grace dan Borley (2006) adalah

sebagai berikut :

a. Perdarahan ekstradural

Robekan pada arteri meningea media. Hematoma di antara tengkorak

dan dura. Seringkali terdapat ‘interval lucid’ sebelum terbukti tanda-

tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) (penurunan nadi,

peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil ipsilateral, paresis atau

paralisis kontralateral).

Page 14: Bab ii fix

20

b. Perdarahan subdural akut

Robekan pada vena-vena di antara araknoid dan durameter. Biasanya

terjadi pada orang lanjut usia. Terdapat perburukan neurologis yang

progresif.

c. Hematoma subdural kronis

Robekan pada vena yang menyebabkan hematoma subdural yang akan

membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS. Seringkali yang

menjadi penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan kebingungan,

sakit kepala, hemiplegia.

d. Perdarahan intraserebral

Perdarahan ke dalam substansi otak yang menyebabkan kerusakan

ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah cedera sekunder dengan

memastikan oksigenasi dan nutrisi yang adekuat.

Menurut Setiawan dan Maulida (2010) komplikasi cedera kepala adalah :

a. Postconcussion Syndrome: sekitar 40 % pasien cedera otak

mengeluhkan nyeri kepala, dizziness, kelelahan, insomnia atau

hipersomnia, pandangan kabur, tinnitus, gangguan konsentrasi. Gejala

post traumatik ini paling banyak terjadi pada pasien dengan riwayat

gejala psikiatri sebelum terjadi cedera.

b. Post-Traumatic Seizure/Epilepsy : bisa terjadi segera (immediate)

dalam 24 jam, atau dini (early) dalam minggu pertama atau lambat

(late) setelah minggu pertama. Insiden bangkitan (seizure) setelah

trauma kranioserebral bervariasi 2,5% - 40%. Pada cedera otak berat

Page 15: Bab ii fix

21

mempunyai peluang yang lebih besar untuk berkembang terjadinya

bangkitan. Beberapa faktor risiko adalah keadaan sebagai berikut :

fraktur tengkorak yang impresi, trauma penetrasi, perdarahan

intrakranial, penurunan kesadaran yang lama (>24jam)/koma dan

kejang.

c. Gangguan Fungsi Kognitif : beberapa pasien dengan cedera otak berat

menunjukkan perubahan kognitif setelah pulih sadar dari koma yang

lama. Perubahan yang biasa terjadi adalah agitasi dan gangguan

orientasi serta gangguan memori, atensi, konsentrasi, gangguan bahasa

dan gangguan kepribadian.

d. Post-Traumatic Movement Disorder: gangguan gerak merupakan

sekuele yang jarang dijumpai pada cedera otak. Gangguannya biasanya

berupa intention tremor dan resting tremor.

B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap pertama dari proses keperawatan di mana

data dikumpulkan (Doenges, 2000). Pengkajian data klien, baik subyektif

atau obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan

cedera kepala :

a. Identitas pasien berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin,

golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan,

Page 16: Bab ii fix

22

pekerjaan, alamat, nomor rekam medik, diagnosa medis, tanggal

masuk rumah sakit.

b. Identitas Penanggung Jawab yaitu nama, umur, jenis kelamin, agama,

suku, alamat, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat, hubungan dengan

pasien.

c. Keluhan utama, sering menjadi alasan klien untuk meminta

pertolongan kesehatan tergantung seberapa jauh dampak dari trauma

kepala disertai penurunan kesadaran.

d. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat Kesehatan Sekarang

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari

kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke

kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran

menurun (GCS< 8), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala,

lemah, luka di kepala, perdarahan dari hidung dan telinga. Perlu

ditanyakan kepada keluarga mengenai obat-obatan adiktif dan

penggunaan alkohol.

2) Riwayat Kesehatan Dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat

hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus,

penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan,

aspirin, obat-obatan adiktif, dan konsumsi alkohol berlebih.

Page 17: Bab ii fix

23

3) Riwayat Kesehatan Keluarga

Mengkaji adanya anggota keluarga yang menderita hipertensi dan

diabetes melitus.

Menurut Barrett, Gretton & Quins (2006), pengkajian kritis pada cedera

kepala adalah :

a. Pengkajian primer :

1) A (Airway)

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran jalan napas.

Meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas yang dapat

disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula

atau maksila, fraktur laring atau trakea. Dalam hal ini dapat

dilakukan chin lift atau jaw thrust. Selama memeriksa dan

memperbaiki jalan napas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh

dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.

2) B (Breathing)

Jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.

Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas mutlak untuk

pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh.

Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari paru, dinding

dada dan diafragma.

3) C (Circulation)

Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus

dianggap disebabkan oleh hipovolemia, 3 observasi yang dalam

Page 18: Bab ii fix

24

hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan

hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.

4) D (Disability)

Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran,

ukuran dan reaksi pupil.

5) E (Exposure)

Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pasien

terpapar atau kontak dengan bahan berbahaya. Pemeriksaan

dilakukan secara sistematik dari kepala sampai kaki.

b. Pengkajian sekunder

SAMPLE Assesment :

S : Symptoms, keluhan utama pasien.

A : Allergies, ada/tidaknya riwayat alergi.

M : Medications, terapi terakhir yang diberikan pada pasien, dan

apakah terapi tersebut mengurangi permasalahan pasien atau

tidak.

P : Past medical history, riwayat medis sebelum pasien di rawat.

L : Last oral intake, terakhir kali pasien makan dan minum dan jenis

makanan dan minuman yang baru saja dimakan atau diminum.

E : Event prociding incident, peristiwa yang mengawali terjadinya

serangan atau penyakit pasien saat ini.

c. Pengkajian Persistem (Talbot dan Meyers, 1997)

1) Sistem Pernapasan

Page 19: Bab ii fix

25

a) Inspeksi

Simetrisitas ekspansi dada, gerakan dada dalam hubungannya

dengan frekuensi, irama, kedalaman, panjangnya dan

amplitudo, kaji penggunaan otot tambahan.

b) Palpasi

Adakah nyeri, massa, bengkak, pulsasi, krepitasi.

c) Perkusi

Perhatikan intensitas, nada, kualitas dan lamanya bunyi dan

vibrasi yang keluar.

d) Auskultasi

Evaluasi bunyi nafas untuk frekuensi, kualitas, tipe dan adanya

bunyi tambahan.

2) Sistem neurosensori

a) Fungsi serebri

Evaluasi penampilan umum dan perilaku pasien, nilai status

mental, kemampuan kognitif, stabilitas emosi, pertahankan

keterampilan komunikasi pasien baik ekspresif dan represif.

b) Saraf kranial

- Nervus I : olfaktori

Tutup satu lubang hidung, minta pasien mencium bau yang

dikenal.

Page 20: Bab ii fix

26

- Nervus II : optik

Tutup satu mata, melihat ke depan, identifikasi pada saat

jari pemeriksa didekatkan dalam jarak penglihatan perifer

pasien.

- Nervus III, IV, VI : okulomotor, troklear, abdusen

Enam batas pokok dari pandangan, ukuran dan bentuk

pupil, respon pupil, akomodasi, pembukaan kelopak mata.

- Nervus V : trigeminal

Sensori : mata tertutup, sentuh dahi, rahang dan pipi dengan

kasa, sebuah peniti tajam.

Motor : dengan gigi pasien mencengkeram, palpasi otot

masester dan otot temporal.

- Nervus VII : fasial

Sensori : pada anterior lidah letakkan gula, cuka, garam

dalam waktu bersamaan.

Motor : minta pasien menaikkan alis, mengerutkan dahi,

menggembungkan pipi, tersenyum, menutup mata.

- Nervus VIII : akustik

Tes webber (garpu tala), suara bisikan.

- Nervus IX, X : glosofaring, vagus

Minta pasien mengatakan ah, tes refleks muntah dan

menelan.

Page 21: Bab ii fix

27

- Nervus XI : asesori spinal

Minta pasien meninggikan bahu melawan tahanan.

- Nervus XII : hipoglosal

Minta pasiem menjulurkan lidah.

3) Sistem kardiovaskuler

a) Inspeksi

Dilihat adanya perubahan warna pada tubuh, tentukan tekanan

vena sentral (CVP), warna kuku jari, periksa adanya ictus

cordis, inspeksi adanya edema.

b) Palpasi

Adanya nyeri tekan, adanya edema perifer, palpasi nadi

bandingkan dengan yang lainnya.

c) Perkusi

Perkusi batas jantung, batas jantung kanan tidak dapat

diperkusi, batas jantung kiri diperkusi secara berurutan dari

interkosta kelima, keempat, ketiga mengindentifikasi

perubahan kepekakan.

d) Auskultasi

Penggunaan bel stetoskop, auskultasi arteri karotid, aukultasi 5

daerah jantung dengan diagfragma, evaluasi.

4) Sistem gastrointestinal

a) Inspeksi

Page 22: Bab ii fix

28

Warna kulit, dari samping evaluasi garis bentuk abdomen, lihat

gerakan abdomen.

b) Auskultasi

Dengarkan intensitas bising usus menggunakan diafragma

stetoskop, auskultasi bunyi vakular dengan bel stetoskop

normalnya tidak terdengar.

c) Perkusi

Perkusi keempat kuadran, tarik ke garis midaksila kiri, perkusi

dibawah torak kepekaan ginjal akan terperkusi, perkusi daerah

epigastrik kiri terhadap gelembung udara.

d) Palpasi

Gunakan palpasi ringan rasakan adanya spasme otot, area nyeri

tekan, massa dan krepitasi subkutan. Palpasi dalam untuk

meraba massa dan organ abdomen.

5) Sistem Genitourinaria

a) Monitor kateter

Perlu dikaji ukuran dan type DC yang dipakai serta

pengeluaran urin (warna, jumlah, bau).

b) Sekresi Uretral/Vaginal

Perlu dikaji pengeluaran dari pasien seperti darah, nanah atau

cairan lain seperti menstruasi pada pasien wanita dan

dideskripsikan.

Page 23: Bab ii fix

29

6) Sistem Integumen

Pada sistem ini dilakukan pengkajian inspeksi dan palpasi,

meliputi kebersihan kulit, warna kulit abnormal yaitu eritema. Hal

ini mengindikasikan peningkatan temperatur kulit karena inflamasi

(proses vaskularisasi jaringan). Adanya lesi dan ruam. Munculnya

ruam kulit mengindikasikan di bagian yang tertindih dan terbaring

lama dan kurang mendapatkan udara dari luar sehinggan kondisi

lembab.

7) Sistem Muskuloskeletal

Pada pengkajian muskuloskeletal didapatkan fraktur pada

tulang tengkorak, berkurangnya kekuatan otot akibat defisit

neurologis. Adanya kelainan postur tubuh akibat trauma yang

terjadi, misalnya akibat kecelakaan lalu lintas.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada cedera kepala menurut Doenges

(2000) adalah :

a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler,

ekspansi paru yang tidak maksimal.

b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya edema

serebral, hematoma, dan perdarahan otak.

c. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.

Page 24: Bab ii fix

30

d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologis,

hemiparesis, hemiplegi, postur tubuh abnormal.

e. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

perubahan kemampuan mencerna nutrisi, mual muntah.

f. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan lunak, luka

terbuka, tindakan invasif.

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan pada pasien cedera kepala menurut Doenges

(2000) adalah :

a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,

ekspansi paru yang tidak maksimal.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola napas

kembali efektif.

Kriteria Hasil :

1) Pola napas kembali efektif

2) Frekuensi 18-24 kali/menit

3) Irama teratur

4) Bunyi napas normal

5) Tidak ada pernapasan cuping hidung

6) Pergerakan dada simetris

7) Tidak ada retraksi dinding dada

8) Tanda-tanda vital dalam batas normal

Page 25: Bab ii fix

31

Intervensi :

1) Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat

ketidakteraturan pernapasan.

Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi

pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan

lokasi/ luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea

dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.

2) Angkat kepala tempat tidur sesuai indikasi

Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan

menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat

jalan napas.

3) Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika

pasien sadar

Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.

4) Lakukan penghisapan lendir dengan ekstra hati-hati, jangan lebih

dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari secret.

Rasional : Penghisapan pada trakea yang lebih dalam harus

dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat

menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan

vasokontriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar

pada perfusi serebral.

Page 26: Bab ii fix

32

5) Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya

suara-suara tambahan yang tidak normal.

Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti

atelektasis, kongesti atau obstruksi jalan napas yang

membahayakan oksigenasi serebral.

6) Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi

Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan

peningkatan TIK fase akut namun tindakan ini seringkali berguna

pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan

jalan napas dan menurunkan risiko atelektasis/komplikasi paru

lainnya.

7) Berikan oksigen

Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan

membantu dalam pencegahan hipoksia.

b. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya edema

serebral, hematoma, dan perdarahan otak.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat

kesadaran dapat diperbaiki, mempunyai perfusi jaringan yang

adekuat.

Kriteria Hasil :

1) Tingkat kesadaran normal

2) Tanda-tanda vital dalam batas normal

3) Tidak ada peningkatan TIK

Page 27: Bab ii fix

33

Intervensi :

1) Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai

standar GCS

Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran

dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan

lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

2) Catat adanya hipertensi sistolik dan tekanan nadi yang semakin

berat

Rasional : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah

otak yang konstan pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik.

Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi

serebral lokal atau menyebar.

3) Catat adanya bradikardia, takikardia atau bentuk disritmia lainnya

Rasional : perubahan pada ritme dan disritmia dapat timbul yang

mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada

pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.

4) Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kanan dan kiri,

reaksi terhadap cahaya.

Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III)

dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.

Ukuran/kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan

simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan

Page 28: Bab ii fix

34

fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan

okulomotor (III).

5) Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi napas, suhu.

Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan

TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya

peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran.

6) Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti

lingkungan yang tenang.

Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi

fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan

atau menurunkan TIK.

7) Bantu pasien untuk menghindari/ membatasi batuk, muntah,

mengejan.

Rasional : Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrathorak

dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.

8) Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan

dan tingkah laku yang tidak sesuai lainnya.

Rasional : Petunjuk nonverbal ini mengindikasikan adanya

peningkatan TIK atau menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak

dapat mengungkapkan keluhannya secara verbal.

Page 29: Bab ii fix

35

9) Tinggikan kepala pasien 15-45 derajat

Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga

akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya

peningkatan TIK.

10) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Rasional : Menurunkan hipoksemia yang mana dapat

meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang

meningkatkan TIK.

11) Berikan obat sesuai indikasi : Manitol 4 x 100cc IV.

Rasional : Manitol digunakan untuk menurunkan air dari sel otak,

menurunkan oedem otak dan TIK. Sedatif digunakan untuk

mengendalikan kegelisahan, agitasi.

c. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri

berkurang.

Kriteria Hasil :

1) Mampu mengontrol nyeri

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang

3) Mampu mengenali nyeri (skala, frekuensi, tanda-tanda nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

Page 30: Bab ii fix

36

Intervensi :

1) Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya (dengan skala 0 – 10),

karakteristiknya (misal: berat, berdenyut, konstan), lokasinya,

lamanya, faktor yang memperburuk atau meredakan.

Rasional : Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus

dijelaskan oleh pasien. Identifikasi nyeri dan faktor yang

berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk

memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan

dari terapi yang diberikan.

2) Observasi tanda-tanda nyeri non verbal, seperti ekspresi wajah,

posisi tubuh, gelisah, menangis/meringis, menarik diri, diaphoresis,

perubahan frekuensi jantung/ pernapasan, tekanan darah.

Rasional : Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak langsung

yang dialami.

3) Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera jika

nyeri itu muncul.

Rasional : Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan

dapat menurunkan beratnya serangan.

4) Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan yang tenang.

Rasional : menurunkan stimulasi yang berlebihan.

5) Ajarkan teknik relaksasi.

Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa

kontrol dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

Page 31: Bab ii fix

37

6) Berikan obat sesuai indikasi: analgetik.

Rasional : Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/ nyeri otot

atau untuk menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat.

d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan defisit neurologis,

hemiparesis, hemiplegi, postur tubuh abnormal

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan mobilitas

fisik pasien meningkat.

Kriteria Hasil :

1) Mempertahankan fungsi optimal

2) Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi tubuh

3) Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan

dilakukannya kembali aktivitas

4) Mempertahankan integritas kulit

Intervensi :

1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada

kerusakan yang terjadi

Rasional : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara

fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan

dilakukan

2) Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi

antara waktu perubahan posisi tersebut

Page 32: Bab ii fix

38

Rasional : Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran

terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh

bagian tubuh.

3) Berikan bantuan untuk melakukan latihan rentang gerak

Rasional : mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi

normal ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis.

4) Instruksikan/bantu pasien dengan program latihan dan penggunaan

alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat

diri sendiri sesuai kemampuan.

Rasional : proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai

trauma kepala dan pemulihan secara fisik merupakan bagian yang

amat penting dari suatu program pemulihan tersebut.

5) Berikan perawatan kulit dengan cermat

Rasional : meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan

menurunkan risiko terjadinya ekskorisasi kulit.

e. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

perubahan kemampuan mencerna nutrisi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien

tidak mengalami malnutrisi.

Kriteria Hasil :

1) Mendemonstrasikan pemeliharaan/kemajuan peningkatan berat

badan sesuai tujuan

Page 33: Bab ii fix

39

2) Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium

dalam rentang normal

Intervensi :

1) Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan

mengatasi sekresi.

Rasional : faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan

sehingga pasien harus terlindungi dari aspirasi.

2) Timbang berat badan sesuai indikasi.

Rasional : Mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah

pemberian nutrisi.

3) Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering

dengan teratur.

Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien

terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama

pasien saat makan.

4) Konsultasi dengan ahli gizi.

Rasional : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi

kebutuhan kalori/ nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran

tubuh, keadaan penyakit sekarang (trauma, penyakit jantung/

masalah metabolisme).

Page 34: Bab ii fix

40

f. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan lunak, luka

terbuka, tindakan invasif

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan risiko

infeksi dapat terkontrol, tidak terjadi infeksi.

Kriteria Hasil :

1) Klien terbebas dari tanda dan gejala infeksi

2) Jumlah leukosit dalam batas normal

3) Menunjukkan perilaku hidup sehat

4) Vital sign dalam batas normal

Intervensi :

1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci

tangan yang baik.

Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi

nosokomial.

2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang

terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya

inflamasi.

Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan

untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap

komplikasi selanjutnya.

3) Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam menggigil,

diaforesis dan perubahan fungsi mental.

Page 35: Bab ii fix

41

Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang

selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.

4) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah

pengunjung yang mengalami infeksi saluran napas bagian atas.

Rasional : Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman

penyebab infeksi.

5) Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang

mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan

pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi.

4. Implementasi Keperawatan

Tahap implementasi adalah tahap melakukan rencana tindakan

yang telah dibuat untuk klien. Adapun kegiatan yang terdapat pada tahap

implementasi meliputi pengkajian ulang, memperbaharui data dasar,

meninjau dan merevisi rencana asuhan keperawatan yang telah dibuat dan

melaksanakan rencana asuhan keperawatan yang telah dibuat, dan

melaksanakan intervensi keperawatan yang telah direncanakan (Deswani,

2009).

5. Evaluasi Keperawatan

Menurut Deswani (2009) evaluasi adalah tahap akhir dari proses

keperawatan. Pada tahap evaluasi ini, kegiatan yang dilakukan adalah

Page 36: Bab ii fix

42

mengkaji respon klien setelah dilakukan intervensi keperawatan,

membandingkan respon klien dengan kriteria hasil, memodifikasi asuhan

keperawatan sesuai dengan hasil evaluasi, dan mengkaji ulang asuhan

keperawatan yang telah diberikan. Evaluasi dibagi menjadi 4 tahap yaitu :

a. S (Subyektif) adalah hasil pemeriksaan terakhir yang dikeluhkan oleh

pasien biasanya data ini berhubungan dengan kriteria hasil.

b. O (Obyektif) adalah hasil pemeriksaan terakhir yang dilakukan oleh

perawat biasanya data ini juga berhubungan dengan kriteria hasil.

c. A (Analisa) adalah penjelasan tentang masalah kebutuhan pasien sudah

terpenuhi atau tidak.

d. P (Planing) adalah menjelaskan tentang rencana tindak lanjut yang

akan dilakukan terhadap pasien.