bab ii dosis respon
DESCRIPTION
bhttjTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dosis Respond an Indeks Terapi
Dosis dan respon pasien berhubungan erat dengan potensi relatif
farmakologis dan efikasi maksimal obat dalam kaitannya dengan efak terapefik
yang di harapkan. Adapun respon dosis sangat dipengaruhi oleh :
1. Dosis yang di berikan.
2. Penurunan / kenaikkan tekanan darah.
3. Kondisi jantung.
4. Tingkat metabolisme dan ekskresi.
Respon obat masing – masing individu berbeda – beda. Respon
idiosinkratik biasanya disebabakan oleh perbedaana genetic pada metabolism
obat / mekanisme -mekanisme munologik, termasuk rasa alergi. Empat
mekanisme umum yang mempengaruhi kemampuan merespon suatu obat :
1. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor
2. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen.
3. Perubahan dalam jumlah / fungsi reseptor – reseptor.
4. Perubahan – perubahan dalam komponen respondastal dari seseptor.
( Katzung Bertram , 2001 )
Hubungan dosis obat – persen responsif :
Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi dipelukan
satu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif
(dalam 10%) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis) maka akan diperoleh
kurva distribusi normal
Hubungan antara dosis obat dengan respon penderita:
- Potensi obat : Potensi suatu obat dipengaruhi oleh absorbsi, distribusi,
biontransformasi, metabolisme, ekskresi. Kemampuan bergabung dengan reseptor
dan sistem efektor. Atau ukuran dosis obat yang diperlukan untuk menghasilkan
respons.
- Efikasi maksimal : Efek maks obat dinyatakan sebagai efikasi (kemanjuran)
maksimal / disebut saja dengan efikasi. Efikasi tergantung pada kemampuan obat
tersebut untuk menimbulkan efeknya setelah berinteraksi dengan reseptor. Efikasi
dapat dibatasi timbulnya efek yang tidak diinginkan, sehingga dosis harus
dibatasi. Yang berarti bahwa efek maksimal tidak tercapai. Tiap obat mempunyai
efikasi yang berbeda. Misalnya : Morphin, mampu menghilangkan semua
intensitas nyeri, sedangkan aspirin hanyan menghilangkan nyeri ringan sampai
sedang saja.
(Sulistina, ed IV, 1994)
Untuk menyatakan toksisitas akut sesuatu obat, umumnya dipakai ukuran
LD50 (medium lethal dose 50) yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari
sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif
(dosis terapi) yang umum digunakan sebagai ukuran ialah ED 50 (median
effective dose), yaitu dosis yang memberikan efek tertentu pada 50% dari
sekelompok binatang percobaan.
LD50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi
(bertingkat) kepada sekelompok binatang pecobaan.LD50 ditentukan dengan
memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok
binatang percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka
waktu tertentu (misalnya 24 jam) sebagian biantang percobaan ada yang mati, dan
persentase ini diterakan dalam grafik yang menyatakan hubungan dosis (pada
absis) dan persentase binatang yang mati (pada ordinat)
LD secara variable menyatakan bahwa dosis ini akan membunuh binatang-
banatang dengan sensitivitasnya rata-rata hamper sama. LD 50 merupakan suatu
hasil dari pengujian (assay) dan bukanlah pengukuran kuantitatif. LD 50 bukanlah
merupakan nilai mutlak, dan akan bervariasi dari satu laboratorium ke
laboratorium lain, dan malahan pada laboratorium yang sama akan berbeda
hasilnya setiap kali dilakukan percobaan.
Oleh karena itu kondisi-kondisi pada percobaan pengujian harus dicatat,
demikian pula spesies dan strain binatang yang digunakan harus sama pada setiap
kali dilakukan percobaan. Demikian pula cara pemberian, konsentrasi zat
penambah untuk melarutkan obat atau untuk membuat dalam bentuk variable atau
bubuk dan besarnya volume yang diberikan harus seteliti mungkin dan dicatat.
Diet, suhu lingkungan dan lain-lain variable tidak selalu dapat dikontrol dengan
baik. Oleh karena itu suatu standar yang berhubungan dikontrol dengan baik.
Dengan pemberian obat ini harus diteliti sebagai pembanding.
(James Olson,2000)
Indeks terapeutik
Indeks terapeutik adalah suatu ukuran keamanan obat karena nilai yamg
besar menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas / lebar di antara dosis –
dosis yang efektif dan dosis yang foksik.
Indeks terapeutik ditentinova dengan mengukur frekuensi respon yang diinginkan
dan respon toksik pada berbagai dosis obat.
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan tolensitas
dengan dosis yang menghasilkan suatu respon yang efektif.
( Mary J.Myceh, 2001)
Indeks terapi adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif atau
menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada penggunaan biasa.
Diperkirakan sebagai rasio LD50 (Dosis Lethal pada 50% kosis) terhadap ED50
(Dosis efektif pada 50% kasus). Karena efek berbeda mungkin perlu dosis
berbeda.
Istilah LD50 sering dalam toksikologi yaitu dosis yang akan membunuh 50% dari
populasi experimental. Misal : untuk obat impromine, dosis oral 625 mg/kg diberi
pada 100 tikus akan mematikan 50 diantaranya.
(dr. Jan Tambayong.2003)
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa
menimbulkan efek toksik pada seorang pun pasien, oleh karena itu
Suatu ukuran obat, obat yang memiliki indeks terapi tinggi lebih aman
dari pada obat yang memiliki indek terapi lebih rendah
TD50 : Dosis yang toksik pada toksik 50% hewan yang menerima dosis
tersebut, kematiaan merupakan toksisitas terakhir.
(Jonet.L. Stringer MD.Ph)
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika
dosis yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan
didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis
mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti obat antipiretik
atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas
(range) temperature badan dan tekanan darah dapat diukur.
Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas
indivdu yang sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk
mendapatkan efek yang sama kemungkina dibitihkan dosis yang berbeda pada
individu yang berbeda. Variasi individu dalam sensitifitas secara khusus
mempunyai efek “semua atau tak satupun” sama.
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada
individu sebagai suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal.
Jika frekuensi kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada
dosis pemberian) diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva
sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-separuh
kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range dosis meliputi hubungan
dosis-frekuensi memcerminkan variasi sensitivitas pada individi terhadap suatu
obat.
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subyek manusia
dapat ditemukan karena terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu
yang berbeda. Untuk menentukan variasi biologis, pengukauran telah membawa
pada suatu sampel yang representative dan didapatkan rata-ratanya. Ini akan
memungkinkan dosis terapi akan menjadi sesuai pada kebanyakan pasien.
(Lullmann, 2000)
Indeks teraupetik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai
yang besar menunjukkan bahwa terdapa suatu batas yang luas / lebar diantara
dosis-dosis yang toksik.
- Penentuan indeks teraupetik
Indeks teraupetik ditentukan dengan mengukur frekuensi respon yang diinginkan
dan respon toksik pada berbagai dosis obat.
- Aspek kuantitatif eliminasi obat melalui ginjal
- Rasio efektif : Penurunan konsentrasi obat dalam plasma dari darah
arteri ke vena ginjal
- Kecepatan ekskresi : Eliminasi dari suatu obat biasanya mengikuti
kinetik firstorder dan konsentrasi obat dalam plasma turun secara
exponensia menurut waktu. Ini biasa digunakan untuk menentukan waktu
paruh obat.
- Volume distribusi dan waktu paruh obat
Waktu paruh suatu obat berbanding terbalik dengan bersihan dan secara
langsung proporsional terhadap volume distribusi.
- Keadaan klinis yang meningkatkan waktu paruh obat penting untuk dapat
menduga para penderita yang mana memungkinkan waktu paruh obat akan
memanjang.
(Mary J. Mycek, dkk. 2001)
2.2 Propofol
Propofol adalah obat anestesi intravena yang paling sering digunakan saat
ini. Dimulai pada tahun 1970-an dihasilkan dari substitusi derivate phenol dengan
materi hipnotik yang kemudian menghasilkan 2,6-diisopropofol. Uji klinik yang
pertama kali dilakukan, dilaporkan oleh Kay dan Rolly tahun 1977, memberikan
konfirmasi penggunaan propofol sebagai obat induksi anestesi. Propofol tidak
larut dalam air dan pada awalnya tersedia dengan nama Cremophor EL (BASF
A.G.) Dikarenakan oleh reaksi anafilaktik yang berkaitan dengan Cremophor EL
pada formulasi awal propofol, obat ini tersedia dalam bentuk emulsi. Propofol
digunakan untuk induksi dan rumatan anestesi, demikian pula untuk sedasi baik di
dalam maupun di luar kamar operasi.
A. Farmakologi
Efek pada Susunan Saraf Pusat
Sifat utama propofol adalah hipnotik. Mekanisme kerjanya masih belum jelas
sepenuhnya, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa sebagian besar kinerja
hipnosis propofol adalah dengan potensiasi γ-aminobutiric acid (GABA)-induced
chloride current, dengan berikatan pada subunit β dari reseptor GABAA. Subunit
β1 (M286), β2 (M286), β3 (M286) pada domain transmembran merupakan area
kritis aksi hipnotik propofol. Melalui mekanisme pada reseptor GABAA di
hippocampus, propofol menghambat pelepasan acethylcholine pada hippocampus
dan kortek prefrontal. Aksi ini sangat penting untuk efek sedasi propofol.
Propofol disebutkan juga menghambat reseptor glutamate subtype N-methyl-D-
aspartate (NMDA) melalui mekanisme modulasi sodium channel. Propofol juga
mendepresi neuron kornu posterior medulla spinalis melalui reseptor GABAA dan
glysine.
Propofol memiliki dua efek samping yang menarik yaitu efek antiemetik dan
adanya sense of well-being setelah pemberian propofol. Efek antiemetic ini
disebabkan oleh penurunan kadar serotonin pada area postrema yang
kemungkinan dikarenakan kerja propofol pada reseptor GABA.
Onset hipnosis propofol sangat cepat (one arm-brain circulation) setelah
pemberian dengan dosis 2,5 mg/kg, dengan efek puncak terlihat setelah 90 -i 100
detik. Median dosis efektif (ED50) propofol untuk hilangnya kesadaran adalah 1 –
1,5 mg/kg setelah pemberian bolus. Durasi hipnosis tergantung pada dosis (dose
dependent) kira-kira 5 – 10 menit setelah pemberian 2 – 2,5 mg/kg. Usia
mempengaruhi dosis induksi, dimana dosis tertinggi adalah pada usia lebih muda
dari 2 tahun (ED95 pada 2,88 mg/kg) dan menurun dengan bertambahnya usia.
Efek pertambahan usia pada penurunan konsentrasi propofol yang dibutuhkan
untuk terjadinya penurunan kesadaran ditunjukkan pada Gambar 10-4.
Beberapa penelitian menyebutkan propofol dapat digunakan untuk penanganan
kejang epilepsy dengan dosis 2 mk/kg. Demikian pula propofol dapat digunakan
dalam pengobatan chronic refractory headache dengan pemberian 20 – 30 mg
setiap 3 – 4 menit (maksimal 400 mg).
Propofol dapat menurunkan tekanan intracranial (TIK) pada pasien dengan TIK
normal maupun meningkat. Pada pasien dengan TIK normal terjadi penurunan
TIK (30 %) yang berhubungan dengan penurunan sedikit tekanan perfusi serebral
(10 %). Pemberian fentanyl dosis rendah bersama dengan propofol dosis
suplemen mencegah kenaikan TIK pada intubasi endotrakeal. Pada pasien dengan
peningkatan TIK, penurunan TIK (50 %) berkaitan dengan penurunan yang
bermakna pada tekanan perfusi serebral.
Efek pada Sistem Respiratorik
Periode apnea terjadi setelah pemberian propofol dengan dosis induksi, durasi dan
insidensinya tergantung dari dosis pemberian, kecepatan induksi dan pemberian
premedikasi. Dosis induksi propofol menyebabkan 25 – 30 % insiden apnea.
Durasi apnea bias lebih dari 30 detik, dimana kejadian ini bias disebabkan
pemberian opioid, baik sebagai premedikasi maupun pemberian sebalum induksi.
Onset apnea terlihat dari penurunan volume tidal dan takipnea.
Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik.
Efek pada Sistem Kardiovaskuler
Efek kardiovaskular propofol telah dievaluasi baik pada saat induksi maupun
rumatan (Tabel 10-2). Efek yang paling bermakna adalah penurunan tekanan
darah arterial selama induksi anestesi. Pada pasien dengan tanpa gangguan
kardiovaskuler, induksi dengan dosis 2 – 2,5 mg/kg menyebabkan penurunan
tekanan darah sistolik sebesar 25 – 40 %. Perubahan yang sama terlihat pada
tekanan darah rata-rata dan tekana diastolik. Penurunan tekanan arterial berkaitan
dengan penurunan kardiak output/kardiak index (≈ 15 %), stroke volume index (≈
20 %) dan tahanan vaskuler sistemik ( 15 – 25 %). Index kerja ventrikel kiri juga
berkurang ((≈ 30 %). Pada pasien dengan kelainan katup, tekanan arteri pulmonal
dan tekanan kapiler pulmonal juga berkurang, dan hal ini disebutkan karena
adanya penurunan preload dan afterload. Penurunan tekanan sistemik setelah
induksi propofol dapat disebabkan oleh vasodilatasi dan kemungkinan juga oleh
depresi miokard.
Mekanisme lain yang diperkirakan dapat menyebabkan penurunan kardiak output
adalah aksi propofol pada sympathetic drive jantung. Propofol dengan konsentrasi
tinggi (10 µg/mL) mengurangi efek inotropik dari stimulasi α- bukan β-
adrenoreseptor dan meningkatkan efek lusitropik (relaksasi) dari stimulasi β.
Secara klinis, efek depresi miokardial dan vasodilatasi kelihatannya tergantung
pada dosis dan konsentrasi plasma.
Frekuensi denyut jantung tidak mengalami perubahan yang signifikan setelah
pemberian propofol dosis induksi. Diperkirakan propofol mereset atau
menghambat baroreflek, mengurangi respon takikardi pada hipotensi. Propofol
menurunkan tonus parasimpatis jantung sesuai dengan derajat sedasi yang timbul.
Pada pemeliharaan anestesi dengan propofol denyut jantung dapat meningkat,
menurun atau tidak berubah. Pemberian infus propofol menunjukkan penurunan
signifikan pada aliran darah miokard dan konsumsi oksigen, suatu hal yang dapat
menjaga rasio suplai dan kebutuhan oksigen miokard secara umum. Propofol
mengurangi disfungsi mekanik, menurunkan cedera jaringan, memperbaiki aliran
koroner dan menurunkan metabolic dearrangement.
Efek lain
Propofol, seperti thiopental, tidak mempotensiasi blok neuromuscular yang
disebabkan oleh obat blok neuromuscular depolarisasi dan non-depolarisasi.
Propofol tidak memicu hiperpireksi maligna dan mungkin merupakan pilihan
pada pasien dengan kondisi tersebut.
Pada pasien dengan multipel alergi, propofol harus digunakan dengan berhati-hati.
Propofol juga memiliki efek antiemetic yang bermakna pada dosis rendah
(subhipnotik). Propofol digunakan untuk mengatasi rasa mual post operasi dengan
dosis bolus 10 mg.
DAFTAR PUSTAKA
Stringer L, Jonet. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Untuk Mahasiswa, Jakarta
ECG.
Katzug, R-Bertram G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 3, Jakarta:
EGC.
Lullmann, Heinz, dkk., 2000, Color Atlas of Pharmacology 2nd edition, New
York; Thieme Stuttgart
Maycek, Mary J.,2001, Farmakologi Ulasan Bergambar edisi 2 , Jakarta : Widya
Medika.
Olson, James, 2000, Belajar Mudah Farmakologi, Jakarta : ECG
Tjay, Tan Hoan, 2007, Obat-Obat Penting, Jakarta ; PT. Elex Media Komputindo.
Anonim. 2011. http://rosaria-anestesi.blogspot.com/2011/04/propofol.html.
Propofol. Diakses pada tanggal 15 maret 2013.