bab ii dasar teori - · pdf filemencemari sungai 7. polusi suara dan ... catatan-catatan lama,...
TRANSCRIPT
5
BAB II
DASAR TEORI
2.1 KEGIATAN PERTAMBANGAN
2.1.1 Pertambangan Batubara
Gambar 2.1Open Pit Mining dan Batubara [en.wikipedia.org]
Ciri khusus industri pertambangan batubara adalah :
1. Nonrenewable yaitu tidak terbarukan dan tidak tergantikan, hal ini dapat menimbulkan
kompleksitas akibat kelangkaan dan meningkatnya kebutuhan akan sumber batubara
tersebut, sehingga memerlukan inventarisasi dan penggunaan yang tepat.
2. Keberadaan industri pertambangan bergantung pada dimana ditemukannya batubara.
3. Industri pertambangan merupakan industri yang padat modal, padat teknologi dan
padat waktu, yang dalam operasinya membutuhkan sinergi dari berbagai disiplin ilmu
dan teknologi.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan pertambangan disuatu daerah akan memberikan dampak
terhadap lingkungannya, baik dampak positif maupun negatif. Dampak positif dari industri
pertambangan antara lain :
1. Menambah pendapatan dan devisa negara
2. Dapat meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat daerah
sekitarnya
3. Membuka kesempatan kerja
4. Memberi kesempatan alih teknologi
5. Berperan sebagai pusat pengembangan wilayah
6
Disamping dampak positif di atas, industri pertambangan dapat pula mengakibatkan
dampak negatif, antara lain :
1. Mengubah morfologi dan fisiologi daerah tersebut (tata guna lahan)
2. Berpeluang merusak lingkungan
3. Kesuburan tanah dapat berkurang/hilang
4. Mengurangi vegetasi, sehingga dapat menimbulkan kegundulan hutan, longsor dan
erosi
5. Flora dan fauna rusak, sehingga ekologi juga rusak
6. Mencemari sungai
7. Polusi suara dan udara (debu dan kebisingan)
8. Dapat menimbulkan kesenjangan social, ekonomi dan budaya di wilayah setempat
Adapun resiko dalam industri pertambangan antara lain bahwa dalam mengekstrak bahan
dari batuan induknya harus dilakukan kegiatan eksavasi, sehingga dapat merubah lapisan
tanah muka bumi.
7
2.1.2 Proses Pertambangan Batubara
Berikut ini adalah diagram proses penambangan secara garis besar.
Diagram 2.1 Kegiatan Penambangan Batubara
8
2.1.2.1 Studi Awal (Prospeksi)
Ada 2 (dua) hal yang dilakukan dalam studi awal ini, yaitu studi pustaka dan survei
pendahuluan ke lokasi yang menjadi area penambangan. Dalam studi pustaka, yang
dilakukan yaitu :
1. Melakukan studi terhadap data dan peta-peta yang sudah ada (dari survei-survei
terdahulu), catatan-catatan lama, laporan-laporan temuan dan lain-lain, lalu
menentukan lokasi yang akan disurvei.
2. Setelah pemilihan lokasi, langkah berikutnya adalah menentukan batasan luas daerah
kerja.
Sedangkan dalam survei pendahuluan akan dilakukan dengan melakukan hal-hal sebagai
berikut :
1. Melakukan peninjauan secara langsung ke lapangan untuk mencari singkapan/outcrop.
2. Pengambilan contoh batuan dan batubara.
2.1.2.2 Eksplorasi
2.1.2.2.1 PemetaanTopografi
Jika di suatu wilayah sudah terdapat peta dengan skala yang diperlukan dalam kegiatan
penambangan batubara, maka dapat langsung melakukan survei geology dan kegiatan
penambangan selanjutnya. Akan tetapi jika belum terdapat peta topografi, maka perlu
dilakukan pemetaan topografi terlebih dahulu untuk daerah tersebut. Pemetaan topografi
dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya yaitu metode terrestrial dan
ekstraterestrial.
Pemetaan topografi metode terrestrial dilakukan dengan mengukur langsung kelapangan
dengan menggunakan alat ukur sudut dan jarak (theodolit, EDM, atau ETS). Sedangkan
pemetaan ektraterestris dapat dilakukan melalui udara (airborne mapping), fotogrametri
atau LIDAR. Untuk ilustrasinya dapat dilihat pada diagram berikut.
9
Diagram 2.2 Pemetaan Topografi
Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemetaan topografi dengan metode terestris. Untuk
pemetaan topografi dengan menggunakan teknologi fotogrametri dan LIDAR akan
dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Peta topografi yang diperoleh dari berbagai
macam metode pemetaan tersebut akan digunakan untuk sebagai peta dasar dalam kegiatan
penambangan batubara selanjutnya.
a) Peralatan yang Digunakan
Peralatan yang digunakan dalam pemetaan topografi ini antara lain alat ukur sudut dan
jarak (theodolite, EDM, ETS), tinggi(Waterpass, automatic levelling) dan alat-alat
pendukung lainnya. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk pengolahan data antara
lain perangkat keras(Perangkat komputer seperti CPU, Monitor, Printer, dll) dan perangkat
lunak(CAD, Surfer, MapInfo, MS-Office, dll).
b) Pelaksanaan Pekerjaan Lapangan
Persiapan
Persiapan ini ditujukan untuk mengetahui kondisi daerah yang akan disurvei, sistem
koordinat peta yang ada yang akan digunakan sebagai acuan dan titik-titik acuan yang
akan digunakan untuk jalur pengukuran kerangka. Jalur pengukuran serta lokasi titik-titik
kerangka harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah dan teliti
digunakan untuk pengikatan titik-titik bor. Demikian pula dalam penempatan titik-titik
kerangka tersebut harus memperhatikan agar titik-titik tersebut terhindar dari kerusakan
akibat rintisan jalur transportasi mesin bor. Dari kegiatan survei lapangan persiapan ini,
akan diperoleh gambaran untuk memastikan lokasi pemasangan titik-titik kerangka/
kontrol, metode pengukuran yang akan diterapkan, penjadwalan waktu dan pengaturan
personil dan strategi pengukuran. Perlu dicatat bahwa pengukuran titik-titik kerangka
acuan untuk penentuan koordinat planimetri (X,Y) dilakukan dengan cara traverse
(polygon) menggunakan ETS atau GPS differensial dan untuk tinggi (Z) dilakukan dengan
10
cara sipat datar (leveling) menggunakan alat automatic leveling atau dengan menggunakan
metode penentuan beda tinggi lainnya.
Penentuan Batas dan Orientasi Daerah Survei
Daerah yang akan menjadi area survei dan pemetaan harus ditentukan batas-batasnya
berdasarkan koordinat dan batas lapangan yang ada yang telah ditentukan oleh pemilik
pertambangan batubara.
Penentuan Titik Ikat
Untuk memudahkan dalam pencocokan peta yang dihasilkan dengan peta topografi yang
telah ada, maka diperlukan penentuan titik ikat yang sudah diketahui sistem proyeksi dan
koordinatnya sebagai ikatan awal dalam pengukuran topografi. Hal ini bertujuan agar peta
topografi yang dihasilkan memiliki proyeksi dan sistem yang sama dengan peta topografi
yang ada.
Pemasangan Patok Titik Kerangka Dasar dan Patok Titik Bor
Patok Titik Kerangka Utama dipersiapkan di lapangan dari beton dengan ukuran (10 x 10
x 100) cm3
dan dibagian tengah diberi tulangan besi beton diameter 10 mm, lihat Gambar
3. Saat pemasangan, bagian yang tampak dipermukaan 25 cm, sedangkan yang tertanam
75 cm. Pemasangan pilar pada tanah keras harus terjamin cukup kuat/ tidak mudah
berubah/ miring, bila dianggap perlu pada bagian atas sekitar permukaan tanah diberi
penguatan adukan semen dan batu. Setelah kering dicat dengan warna yang kontras dan
diberi notasi sehingga memudahkan untuk mencarinya. Diatas besi beton yang muncul +/-
0.5 cm diberi tanda silang untuk posisi titik. Contoh cara penomoran sebagai berikut :
Gambar 2.2 Konstruksi Pilar Beton Titik Kerangka Utama [Antang, 2007]
11
Penempatan titik kerangka utama berada di luar batas penambangan agar tidak akan
terganggu oleh kegiatan penambangan. Titik-titik kerangka utaZma ini akan digunakan
untuk pengikatan titik bor, pengukuran progress saat penambangan dan reklamasi area
pertambangan pasca penambangan. Oleh sebab itu penempatan titik-titik kerangka utama
ini harus sedemikian rupa sehingga terbebas dari gangguan aktivitas penambangan
maupun oleh kegiatan di luar itu. Terkait dengan keperluan pengikatan titik bor, titik-titik
kerangka utama akan menjadi acuan/ pengikatan jalur kerangka cabang pada kedua
ujungnya. Jarak antar dua jalur kerangka cabang berkisar antara 100 meter, oleh sebab itu
diupayakan agar pada setiap ujung jalur kerangka cabang ditempati titik kerangka utama.
Patok Kerangka Utama dicat dengan warna kuning dengan penomoran warna hitam.
Patok Titik Kerangka Cabang dapat dibuat dari kayu (4 x 5 x 60) cm atau batang kayu
atau paralon seukuran yang diisi dengan adukan semen dan pasir dan diberi paku di bagian
tengah atas sebagai tanda posisi titik. Ditanam sedalam 45 cm agar cukup stabil. Sistem
penomoran titik kerangka cabang adalah sbb : Blx-yyy, dimana x kode blok 1 s/d 6, yyy
nomor urut. Jalur pengukuran titik kerangka cabang diupayakan mendekati titik-titik bor
dengan pola seperti terlihat pada Gambar 1 sehingga pengukuran posisi titik bor dapat
dilakukan dengan sekali bidik (single shot) atau maksimum dengan satu titik bantu. Titik-
titik kerangka cabang ini kemungkinan akan hilang saat eksploitasi/ aktivitas
penambangan. Patok ini dicat berwarna merah dengan penomoran putih.
Patok Titik Bor dipasang sesuai dengan pertimbangan tertentu kaitannya dengan informasi
yang diinginkan untuk perhitungan cadangan. Patok titik bor berbentuk silinder dengan
diameter 7,5 cm panjang 75 cm, dibagian tengah diisi dengan campuran semen dan pasir.
Pada pemasangannya yang tampak dipermukaan 25 cm, sedangkan yang tertanam 50 cm,
dicat dengan warna putih dan dengan penomoran hitam untuk memudahkan dalam
mencarinya.
Apabila oleh sebab jadwal pemboran, pengukuran koordinat titik bor dapat mendahului
pengeboran atau dilakukan setelah pemboran dilakukan. Pada kasus apabila pemboran
pada suatu titik bor belum dilakukan maka pengukuran pengikatan koordinat titik
dilakukan pada posisi patok sementara yang telah ditentukan oleh team geologi.
Pengukuran final dilakukan kemudian apabila sudah dilakukan pemboran. Bila pemboran
12
telah dilakukan sebelumnya, maka pengukuran pengikatan koordinat final dapat dilakukan
secara langsung.
Pengukuran Poligon Kerangka Dasar
Pengukuran poligon meliputi pengukuran kerangka dasar utama dan kerangka dasar
cabang. Kerangka dasar utama merupakan kerangka peta dan terdiri dari titik-titik kontrol
kerangka dasar dengan selang tertentu. Titik kontrol kerangka dasar utama tersebut dipakai
sebagai ikatan awal dan akhir setiap pengukuran lintasan detil topografi. Pada tahap
eksplorasi, titik-titik kerangka utama nantinya akan digunakan sebagai titik-titik ikat
polygon cabang seperti yang tampak pada. Pengukuran titik kerangka utama dilakukan
setelah kondisi patok sudah stabil (kering). Metoda pengukuran untuk posisi X,Y yang
diterapkan antara lain traverse dengan menggunakan Electronic Total Station (ETS) atau
dengan menggunakan GPS differensial dan untuk penentuan tinggi H adalah waterpas
(spirit levelling) dengan alat automatic levelling.
Sedangkan kerangka dasar cabang digunakan untuk pengikatan titik detil topografi (jika
area survei relatif luas) dan digunakan sebagai kerangka dasar untuk mengikatkan titik
pada saat memetakan lokasi titik bor. Pengukuran dan hitungan titik kerangka cabang
dilakukan sebagai berikut :
- Metoda yang digunakan untuk penentuan koordinat planimetri (X,Y) dan ketinggian
(Z) dari titik kerangka cabang adalah sama dengan metoda yang digunakan untuk
penentuan titik kerangka utama.
- Koordinat X,Y dengan traverse dan ketinggian Z dengan sipat datar (spirit levelling).
- Sebagai titik acuan traverse cabang dan sipat datar cabang digunakan koordinat
(X,Y,Z) titik kerangka utama.
Pemilihan lokasi titik-titik tertentu kerangka cabang harus dipersiapkan sedemikian rupa
hingga pengikatan koordinat titik bor sementara atau final dapat dilakukan dengan sekali
bidik dari titik-titik tersebut atau maksimal dengan satu titik bantuan.
Gambar berikut menggambarkan kerangka dasar utama dan kerangka dasar cabang.
13
Gambar 2.3 Kerangka Dasar Utama dan Kerangka Dasar Cabang
Pengukuran Detil Topografi
Untuk memperoleh gambaran sebenarnya dari permukaan bumi, maka perlu dilakukan
pengukuran detil topografi. Pengukuran ini dilakukan dengan cara membuat lintasan
pengukuran detil (kerangka dasar cabang) yang terikat pada titik-titik kontrol kerangka
dasar utama. Selain itu, juga akan dilakukan pengukuran posisi batubara yang terpotong
lintasan detil dan identifikasi lokasi-lokasi detil seperti :tanah urug/timbunan, tanah asli,
batas galian tambang, jalan tambang, dan objek-objek lain yang dianggap perlu. Kerapatan
data pengukuran detil merupakan hal yang sangat penting, karena sangat berpengaruh
terhadap penarikan garis kontur.
Pemasangan Bench Mark
Pemasangan patok Benchmark dilakukan dengan tujuan apabila suatu saat nanti dilakukan
lagi pengukuran di daerah ini (seperti lokasi bor, perluasan pengukuran topografi di daerah
sekitarnya, mapping progress dan lain-lain), maka pengukuran dapat mengacu pada patok-
patok benchmark yang telah dipasang. Dengan demikian sistem proyeksinya akan sama
dengan peta yang dibuat sekarang.
c) Pemrosesan Data Topografi dan Hasil Pekerjaan
Data hasil pengukuran dari lapangan masih merupakan data mentah (raw data) yang perlu
diproses untuk mendapatkan nilai posisi (X, Y, Z) dari suatu titik. Pemrosesan data
dilakukan terhadap data hasil pengukuran poligon maupun detil topografi. Hasil dari
proses keseluruhan survei dan pemetaan topografi yaitu suatu peta topografi yang
selanjutnya akan digunakan untuk kegiatan penambangan selanjutnya.
14
2.1.2.2.2 Survei Geologi
a) Peralatan yang Digunakan
Peralatan yang dipergunakan selama pengukuran dan pemrosesan data lapangan dalam
survei Geologi antara lain kompas Geologi, Kompas Suunto, Klinometer, palu Geologi,
Handheld GPS Receiver, meteran, alat gali dan plastik contoh. Sedangkan untuk
pengolahan data hasil survei Geologi sama seperti yang digunakan dalam pengolahan data
hasil survei dan pemetaan topografi.
b) Pelaksanaan Pekerjaan Lapangan
Persiapan
Persiapan merupakan pekerjaan awal yang sangat menentukan untuk dapat terlaksananya
pekerjaan lapangan dengan lancer dan memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun yang perlu dipersiapkan antara lain :
1. Persiapan peralatan yang diperlukan dalam pemetaan topografi.
2. Penyelesaian administrasi.
3. Pengumpulan informasi yang berkaitan dengan daerah yang akan disurvei.
4. Pengumpulan data koordinat titik ikat.
5. Pembuatan rencana survei dan strategi pelaksanaan survei.
6. Penyediaan sarana dan prasarana penunjang
7. Pemberangkatan tim survei.
Survei Geologi
Survei Geologi merupakan suatu kegiatan pendataan informasi-informasi geologi
permukaan dan menghasilkan suatu bentuk laporan berupa peta geologi yang dapat
memberikan gambaran mengenai penyebaran dan susunan batuan (lapisan batuan), serta
memuat informasi gejala-gejala struktur geologi yang mungkin mempengaruhi pola
penyebaran batuan pada daerah tersebut. Selain pemetaan informasi geologi, pada kegiatan
ini juga sekaligus memetakan tanda-tanda mineralisasi yang berupa alterasi mineral.
Tingkat ketelitian dan nilai dari suatu peta geologi sangat tergantung pada informasi-
informasi pengamatan lapangan dan skala pengerjaan peta. Skala peta tersebut mewakili
intensitas dan kerapatan data singkapan yang diperoleh. Tingkat ketelitian peta geologi ini
juga dipengaruhi oleh tahapan eksplorasi yang dilakukan. Pada tahap eksplorasi awal,
skala peta 1 : 25.000 mungkin sudah cukup memadai, namun pada tahap prospeksi s/d
penemuan, skala peta geologi sebaiknya 1 : 10.000 s/d 1 : 2.500.
15
Namun dalam tahapan eksplorasi lanjut s/d detail, pengamatan singkapan dapat diperluas
dengan menggunakan metode-metode lain seperti uji sumur, uji parit, maupun bor tangan.
Sedangkan penentuan posisi dilakukan dengan menggunakan alat ukur permukaan seperti
pemetaan dengan plane tabel atau dengan theodolite.
Penentuan Titik Ikat
Dengan menentukan titik ikat yang sudah diketahui sistem proyeksi dan koordinatnya (titik
ikat yang digunakan dalam pemetaan topografi), maka dengan mengikatkan ke titik ikat
tersebut, koordinat data geologi yang dihasilkan akan dapat disesuaikan dengan topografi
yang dibuat. Titik ikat yang dipakai adalah patok-patok pengukuran topografi terdekat, hal
ini dilakukan apabila surveior telah melakukan pengukuran topografi. Akan tetapi, jika
belum dilakukan pengukuran topografi, maka geologist akan memasang tanda dan diukur
posisinya (X,Y,Z) oleh surveior. Dengan demikian, koordinat data geologi akan terikat dan
terkoreksi terhadap koordinat data pengukuran topografi.
Pengambilan Contoh Batubara
Pengambilan sample batubara dari singkapan/outcrop dilakukan secara komposit dengan
metode channel sampling untuk batubara yang tebalnya >1.
c) Pemrosesan Data Survei Geologi dan Hasil Pekerjaan
Data mentah yang diperoleh dari survei Geologi perlu dihitung dan diproses untuk dapat
diperoleh nilai posisi (X,Y,Z) dan tebal sekwen batubara. Seluruh data geologi yang
ditemukan di lapangan khususnya singkapan batubara, diplotkan dan diinterpretasikan dan
dikorelasikan antar satu singkapan dengan singkapan lainnya dengan berdasarkan atas
karakteristik fisik singkapan batubara yang dijumpai. Hasil korelasi ini digunakan untuk
menentukan posisi titik-titik pemboran yang akan dilakukan.
2.1.2.2.3 Pemboran
Salah satu keputusan penting di dalam kegiatan eksplorasi adalah menentukan kapan
kegiatan pemboran dimulai dan diakhiri. Pelaksanaan pemboran sangat penting dilakukan
untuk mengetahui gambaran dan zona singkapan sebaik mungkin. Jika gambaran geologi
permukaan dan singkapan secara menyeluruh, maka kegiatan pemboran dapat dihentikan.
Dalam tahap ini akan diperoleh :
1. Formasi/lapisan batubara, antara lain :
16
- Ketebalan batubara (thickness)
- Arah jurus lapisan batubara (strike)
- Kemiringan batubara (dip)
Gambar 2.4 Kemiringan Lapisan Batubara [Berau Coal, 2009]
2. Kualitas batubara/komposisi lapisan batubara, antara lain :
- Batubara (cal/gram)
- Pasir
- Belerang
- lumpur
3. Stripping Ratio
Merupakan perbandingan antara batubara dan overburden (BB/OB). Jika nilai BB/OB
antara 1 : 3 sampai 1 : 7 , maka batubara tersebut layak untuk ditambang. Akan tetapi,
tergantung dari kualitas batubara tersebut. Bahkan perbandingannya bisa mencapai 1 : 20
pun masih layak untuk ditambang jika memungkinkan.
Gambar 2.5 Contoh Desain Lokasi Titik Bor Untuk mengetahui arah seam
17
2.1.2.3 Mine Design dan Studi Kelayakan
Setelah hasil dari proses eksplorasi didapat, maka pembuatan laporan eksplorasi sangat
penting. Karena dari laporan ini akan diketahui gambaran mengenai wilayah penambangan
dan kemudian digunakan untuk kegiatan pertambangan selanjutnya.
Pada tahap ini dibuat rencana produksi, rencana kemajuan tambang, metode penambangan,
perencanaan peralatan dan rencana investasi tambang. Dengan melakukan analisis
ekonomi berdasarkan model, biaya produksi penjualan dan pemasaran maka dapatlah
diketahui apakah cadangan bahan galian yang bersangkutan dapat ditambang dengan
menguntungkan atau tidak.
Pekerjaan-pekerjaan untuk membuat lubang-lubang bukaan kearah dan di dalam endapan
batu bara yang sudah pasti ada sebagai persiapan untuk penambangan dan pengangkutan
endapan bijih tersebut.
Gambar 2. 6Arah Seam yang Layak dan Tidak Layak untuk Ditambang
2.1.2.4 Eksploitasi
Dalam tahap ini, yang dilakukan adalah pengambilan batu bara dari sumbernya, dalam hal
ini di atas permukaan bumi (open pit mining). Selanjutnya adalah melakukan pengolahan
dan pemurnian terhadap batu bara yang diperoleh dengan terlebih dahulu mengangkutnya
ke tempat penimbunan (stock pile). Pemurnian dilakukan untuk meningkatkan
kadar/kualitas batu bara, dengan tujuan untuk meningkatkan persyaratan industry,
18
teknologi pengolahan lanjut dan/atau meningkatkan harga jual dari komoditi tambang
tersebut.
Gambar 2.7 Stock pile batubara di tepi sungai sedang dimuat batubara [Berau
Coal, 2009]
Ketika kegiatan eksploitasi batubara dilakukan, juga akan dilakukan mapping progress(
untuk mengetahui volume hasil kegiatan penambangan batubara yang sudah dilakukan).
Hasil dari mapping progress ini akan dibuat laporan kegiatan penambangan batubara,
sehingga dapat dilakukan proses analisis selanjutnya untuk pengambilan keputusan apakah
kegiatan penambangan batubara akan tetap dilanjutkan atau dihentikan.
Mapping progres ini dilakukan dengan menggunakan alat total stasion (ETS) atau dengan
menggunakan alat pemetaan terrestrial lainnya. Adapun titik kontrol yang digunakan yaitu
titik kontrol terdekat yang sudah tersedia atau menggunakan titik kontrol yang digunakan
untuk kegiatan pemetaan topografi daerah pertambangan batubara.
Adapun untuk memperoleh volume hasil dari kegiatan penambangan batubara dalam
kurun waktu tertentu adalah volume penambangan sebelumnya dikurangi dengan volume
penambangan pada hari berikutnya.
2.1.2.5 Pengangkutan dan Penjualan Batubara
Setelah tahap eksploitasi selesai, batubara yang didapat kemudian diangkut ke stok pile
dimana batubara tersebut di kumpulkan. Setelah siap untuk dijual, maka batubara tersebut
di angkut ke selling point. Pengangkutan batubara ini mengikuti jalur yang telah
19
ditentukan pada pemetaan jalur transportasi yang dianggap paling efisien dari waktu, biaya
dan tenaga. Dibawah ini adalah beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk
pengangkutan batubara.
Gambar 2.8 Alat Transportasi dalam Kegiatan Tambang Batubara [http://pro.corbis.com]
2.1.2.6 Penutupan Tambang (Reklamasi)
Dalam Kepmen PE No. 1211.K/008/M.PE/95 yang dimaksud Reklamasi
Ruang lingkup reklamasi antara lain :
adalah kegiatan
yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan
peruntukkannya. Kebijakan mengenai reklamasi daerah pertambangan diatur dalam
undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan menteri (Lampiran).
Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya
Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk
pemanfaatan selanjutnya.
Sasaran Reklamasi yaitu untuk terciptanya lahan bekas tambang yang kondisinya aman,
stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali seusai dengan
peruntukannya.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melakukan reklamasi di wilayah bekas
penambangan batubara, antara lain revegetasi atau menjadikannya sebagai area yang
bernilai ekonomis dengan tetap memperhatikan keseimbangan alamnya.
20
2.2 LIDAR
2.2.1 Umum
Pada tahun 1980-an, beberapa negara seperti Kanada, Amerika Serikat, Swedia dan
Australia mencoba mengembangkan metode optik dalam pengukuran data topografi
permukaan bumi dan kedalaman. Metode tersebut memanfaatkan sinar laser dan prinsip-
prinsip optik untuk melakukan pengukuran. Dalam menjalankan operasinya, perangkat
optik tersebut diangkut oleh suatu wahana terbang berupa pesawat terbang atau helikopter.
Teknologi tersebut dinamakan Airborne Laser Scanner (ALS) yang kemudian diberi nama
LIDAR (Light Detection and Ranging). Bila radar menggunakan emisi gelombang radio,
maka LIDAR menggunakan emisi gelombang cahaya. Jadi LIDAR merupakan sistem
penginderaan jauh aktif yang menggunakan sinar laser untuk menghasilkan informasi
ketinggian dari suatu objek.
2.2.2 Prinsip Kerja LIDAR
Pada wahana yang dipilih (misal helikopter) dipasang laser scanner, GPS, dan INS.
Berdasarkan skala produk yang diinginkan dan luas cakupan, maka dapat ditentukan jalur
terbang. Pada jalur terbang yang telah ditentukan tersebut laser scanner melakukan
penyiaman (scanning) dengan memancarkan sinar laser kepada target lalu sinar tersebut
dipantulkan kembali ke sensor. Waktu perjalanan sinar saat dipancarkan dan diterima
kembali diperlukan sebagai variabel penentu perhitungan jarak dari benda ke sensor. Pada
saat laser scanner melakukan penyiaman sepanjang jalur terbang, pada setiap interval
waktu tertentu direkam posisinya menggunakan GPS dan orientasinya menggunakan INS.
Proses ini dilakukan sampai jalur terbang yang direncanakan dapat disiam.
Gambar 2. 9 Prinsip Kerja LIDAR Secara Umum [www.fugro.com, 2008]
21
Resolusi jarak pengukuran sangat tergantung dari resolusi pengukuran waktu tempuh yang
sangat tergantung dari keakuratan jam yang ada pada sensor. Jarak maksimum yang dapat
diukur tergantung dari waktu maksimum yang dapat diukur dan energy dari sinar laser.
Jarak tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
R =
Dimana : R = jarak antara laser dan objek dipermukaan tanah
TL
c = kecepatan cahaya
= jumlah waktu yang dibutuhkan sinar laser dari awal di pancarkan sampai kembali ke
sensor lagi
Gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan tidak hanya berupa gelombang garis lurus,
namun juga dapat berbentuk gelombang continyu (continuous wave ranging). Gelombang
kontinyu digunakan untuk mengukur jarak antara transmitter dan reflector. Pengukuran ini
diaplikasikan jika terjadi perbedaan fasa antara gelombang yang dipancarkan dan yang
diterima, waktu tempuh sinyal dapat ditulis dengan rumus :
TL
Dimana : n = jumlah dari gelombang penuh yang dihasilkan
= nT +
T = waktu tempuh untuk satu gelombang
= beda fasa
2.2.3 Komponen LIDAR
Sensor Laser Scanner
Sensor LIDAR berfungsi untuk memancarkan gelombang/ sinar laser ke objek dan
merekam kembali gelombang pantulannya setelah mengenai objek yang kemudian
digunakan untuk penentu jarak dari benda ke sensor. Berikut ini adalah contoh sensor
Laser Scanner.
Gambar 2.10 Laser Scanner
22
Pada umumnya gelombang yang dipancarkan oleh sensor terdiri atas dua bagian, yaitu
gelombang hijau dan sinar inframerah.
1. Sinar inframerah berfungsi untuk mengukur data topografi daratan atau permukaan
bumi,
2. Gelombang hijau berfungsi untuk mengukur data kedalaman atau batimetri.
Kekuatan sensor LIDAR sangat erat kaitannya dengan kekuatan sinar laser yang
dihasilkan tiap detiknya. Semua bagian dari sensor LIDAR tersebut sangat mempengaruhi
kualitas data yang dihasilkan. Karakteristik sensor LIDAR secara umum dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Karaketeristik Sensor LIDAR [Istarno, 2007]
Parameter Besaran Min dan
Max
Besaran umumnya
Panjang gelombang
(nm)
810-1500 1000-1200
Sudut scan (derajat) 14-75 20-40
Rate Pulse (KHz) 50 – 200 50 – 200
Tinggi terbang (m) 20-6100 200-300 (helicopter)
500-1000(pesawat terbang)
Lebar swath (m) 0.25 h-1.5 h 0.3 h-0.7 h
GPS frequensi (Hz) 1-10 1-2
IMU frequensi (Hz) 40-200 50
Diameter tapak kaki
(m)
0.05-2 0.25-1
Spasi antar garis scan
(m)
0.1-10 0.5-2
Spasi antar titik (m) 0.06-10 0.3-1
Akurasi jarak (cm) 2-30 5-15
Akurasi ketinggian
(cm)
10-60 15-20
23
IMU
Untuk mendapat hasil pengukuran yang optimal dengan tingkat kesalahan seminimum
mungkin, maka pada wahana pesawat diberi perlengkapan tambahan untuk dapat merekam
posisi pesawat saat melakukan penyiaman area. IMU akan menggunakan akselerasi
(menggunakan accelerometer) dan rotasi (menggunakan gyroscopes) dari pesawat
(sensor). IMU akan menghasilkan nilai dari 3 sumbu utama, yaitu sumbu X (roll),
Y(pitch), dan Z (yaw atau heading). Sistem IMU ini nantinya akan memberikan atau
menentukan orientasi 3D setiap pusat proyeksi LIDAR.
Gambar 2.12 Inertial Measuring Unit [Bobby, 2008]
GPS (Global Positioning System)
GPS merupakan sistem penentuan posisi secara 3D yang berguna untuk menentukan posisi
pusat proyeksi setiap citra LIDAR yang dapat dilakukan secara differensial. Penentuan
posisi secara differensial dapat digunakan untuk penentuan posisi objek-objek yang diam
maupun bergerak. Syarat penentuan posisi secara differensial adalah :
- Memerlukan minimal 2 buah receiver, satu ditempatkan pada titik yang telah diketahui
koordinatnya dan satunya lagi ditempatkan pada titik yang akan ditentukan posisinya.
- Posisi titik ditentukan relatif terhadap monitor station.
Gambar 2.13 Global Positioning Sistem (Differensial) [Karvak, 2009]
IMU
24
Data GPS yang telah dihasilkan kemudian diolah secara post processing dan kemudian
digabungkan dengan data IMU sehingga diperoleh koordinat yang terdefinisi secara
geografis. GPS dipasang pada wahana pesawat dan di ground.
2.2.4 Prosedur Pelaksanaan Pengambilan Data LIDAR
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum pengambilan data LIDAR, antara lain :
penentuan atau survei pendahuluan terhadap daerah proyek dan penyediaan titik kontrol.
1. Survei Pendahuluan
Koordinat-koordinat batas dari area proyek terlebih dahulu harus diketahui, hal tersebut
merupakan permasalahan yang sangat penting untuk penyediaan titik kontrol dan
pengaturan jalur terbang ketika melakukan misi pengambilan data. Tipe dari area proyek
harus disurvei terlebih dahulu, hal tersebut dilakukan untuk memperhitungkan vegetasi,
pohon, bangunan dan hal-hal lainnya yang berpengaruh terhadap pengambilan data.
2. Titik Kontrol Tanah
Pelaksanaan titik kontrol tanah terdiri dari : base stasiun, kontrol kalibrasi dan kontrol area
proyek. Semua titik kontrol tersebut harus mengacu ke suatu jaring titik kontrol geodesi
yang berguna untuk konsistensi dan pemeriksaan kesalahan yang diakibatkan oleh sistem
LIDAR.
• Base Station (Stasiun Titik Kontrol)
Stasiun titik kontrol harus terletak pada jarak 30 sampai 40 km dari area proyek. Penentuan
tersebut sangat penting mengingat jarak antara area proyek dengan base stasion sangat
berpengaruh terhadap akurasi vertikal dan horizontal. Akurasi vertikal dan horizontal dari
titik kontrol harus sesuai dengan yang telah ditetapkan, sehingga akurasi dari hasil akhir
akan dapat terpenuhi. Untuk memenuhi kriteria jarak yang diinginkan, maka base stasion
harus diletakkan berdekatan dengan tempat pesawat pada saat akan melakukan take-off dan
landing.
• Kontrol Kalibrasi Sistem LIDAR
Dalam rangka untuk meyakinkan bahwa sistem LIDAR bekerja dengan baik, sejumlah
titik kalibrasi harus didirikan dekat dengan area proyek. Pesawat akan melakukan take-off
25
dan akan terbang di sekitar bandara, tujuannya adalah untuk melakukan kalibrasi dari
sistem yang digunakan. Biasanya titik kalibrasi tersebut didirikan di bandara dimana
pesawat mulai melakukan misi pengambilan data.
• Kontrol Area Proyek
Kontrol area proyek digunakan untuk melakukan pengujian terhadap akurasi dari sistem
yang digunakan dan produk akhir yang dihasilkan. Jumlah titik kontrol yang dibutuhkan
sangat tergantung dari jenis proyek yang akan dilakukan dan harus mempertimbangkan
vegetasi dan tipe topografi daerah proyek.
Serangkaian titik kontrol geodesi yang terletak di lokasi kalibrasi bandara dan sepanjang
area proyek merupakan syarat yang harus dipenuhi guna mendapatkan nilai kontrol
kualitas yang lengkap. Untuk mendeteksi dan menghilangkan kesalahan dari bias yaitu
melakukan cek data secara keseluruhan dengan mendirikan serangkaian titik kontrol pada
area bandara. Serangkaian titik kontrol tersebut juga harus diletakkan di sepanjang lokasi
proyek.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam
perencanaan pengambilan data LIDAR dan foto udara. berikut ini ilustrasi yang
menggambarkan beberapa parameter yang harus direncanakan untuk pengambilan data
LIDAR.
Gambar 2.14 Parameter dalam Perencanaan Pengambilan Data LIDAR
26
Tabel 2.2 Perhitungan dalam Perencanaan Pengambilan Data LIDAR
Input Output Rumus
Field of View (θ)
Tinggi Terbang (H)
Sidelap (sl)
Kecepatan Pesawat (V)
Jumlah titik/Scan (N)
Panjang area proyek
(P)
Lebar Swath (S) 2H tan θ
Jumlah jalur penyiaman(ns)
Interval antar jalur penyiaman (Ji)
S – (sl% x S)
Total panjang garis scan
P x ns
Estimasi waktu penyiaman
Setelah semua sistem telah disusun dan garis penerbangan dibuat, selanjutnya operator
akan memonitor perkembangan dari pengumpulan data dan memastikan bahwa data telah
dikirim kembali ke sensor. Operator akan mengetahui apakah sistem tersebut bekerja
dengan baik atau tidak antara lain dengan melakukan cek terhadap sinar laser yang
dipancarkan (apakah laser bekerja dengan baik atau tidak), komponen IMU dan GPS
(apakah data yang dihasilkan oleh IMU dan GPS konsisten). Secara umum garis
penerbangan sebelum dan sesudah penerbangan disusun sedemikian rupa sehingga bisa
memenuhi sidelap sebanyak 30% [Jumadi, 2008].
2.2.5 Data LIDAR
Kepadatan data suatu data LIDAR merupakan parameter penting dalam pengukuran
LIDAR. Kepadatan sebuah data tergantung dari data yang diinginkan.
Gambar 2.15 Kepadatan Data LIDAR
Scan) Garis Jumlahx Time (Turn
Pesawat) (Kecepatan
(Total) Scan Garis Panjang+
27
Kepadatannya tergantung pada :
• Ketinggian pesawat
• Kecepatan pesawat
• Frequensi scan
• Pola penyiaman
• Kekuatan pulsa
Geometri tanah dan reflektivitas dari objek yang dipantulkan
Jika banyaknya titik yang dihasilkan dalam satu kali scan (ilustrasi pada gambar 2.14)
adalah N, lebar swath adalah S dan kecepatan pesawat adalah V, maka dapat ditentukan :
Spasi antar titik
Data LIDAR pada umumnya berisi informasi tentang :
return number
nilai X, Y, Z
arah sudut scan
ketinggian
waktu GPS
jarak sinar laser
Gambar 2.16 Point Cloud yang Dihasilkan LIDAR [www.sbgmaps.com, 2009]
28
Intensity Image DSM
Contours DTM
Gambar 2.17 Contoh Data LIDAR [ Suprabari Mapanindo Mineral, 2009 ]
Format data LIDAR pada umumnya adalah ASCII dan LAS. Dari berbagai format data
LIDAR tersebut, pengolahan data dapat dilakukan dengan menggunakan software seperti
TERRA SOLID (mengolah data dari DSM ke DTM), dll. Berikut ini adalah contoh data
LIDAR yang telah diolah.
2.2.5.1 Pola Penyiaman LIDAR
1. Pola zig zag
Pada pola ini sebuah kaca osilasi akan mengarahkan sinyal laser sepanjang swath. Dengan
menggunakan galvanometer maka pola ini dapat dibuat lebih seragam. Data titik-titik akan
terus menerus dihasilkan dari dua arah penyiaman.
Gambar 2.18 Pola Zig-Zag [Lohani, 1996]
2. Pola garis paralel
Sebuah kaca mengarahkan sinyal laser sepanjang garis paralel di sepanjang daerah swath.
Data titik dihasilkan dari hasil penyiaman satu arah. Keuntungannya adalah penyebaran
titik-titik pada tanah akan lebih seragam.
29
Gambar 2.19 Pola Paralel[Lohani, 1996]
3. Pola ellips
Pola ellips dihasilkan melalui kaca nutasi yang berotasi sepanjang sumbunya. Permukaan
dari kaca akan berinklinasi pada sumbu rotasi sehingga titik-titik yang dihasilkan akan
berbentuk pola ellips.
Gambar 2.20 Pola Ellips[Lohani, 1996]
2.2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Sinar Laser LIDAR
a. Di darat
- Komposisi dasar permukaan topografi. Kemampuan penetrasi juga tergantung pada
komposisi dari permukaan topografi daerah survei. Vegetasi atau objek-objek di atas
permukaan topografi akan mempengaruhi reflektifitas dan mengurangi kemampuan
penetrasi.
- Kondisi cuaca di daerah survei seperti kabut, asap, dan hujan dapat mempengaruhi
kemampuan pentrasi sinar laser. Jika di daerah survei terdapat kabut atau asap yang
sangat tebal, hal ini akan mengurangi kemampuan penetrasi sinar laser. Selain itu,
kondisi cuaca yang ekstrim(badai, angin topan) akan membuat rencana penerbangan
menjadi terganggu.
- Background noise. Untuk menghilangkan atau mengurangi efek sinyal pantulan
matahari, maka sistem ini harus dilengkapi oleh fiber optis.
- Sedangkan faktor-faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap pengukuran di
darat dan di air adalah kemampuan dari sistem LIDAR tersebut, seperti :
30
- Besarnya sudut penjejak
- Panjang gelombang sinar laser
- Karakteristik receiver yang digunakan
- Banyaknya gelombang sinar laser yang dipancarkan
- Tinggi terbang pesawat
b. Di air
1. Turbiditas
Suatu energy sinar yang melalui air intensitasnya akan dipengaruhi dua proses, yaitu :
a. Penyerapan dan konversi kebentuk energi lain
b. Penghamburan energy ke segala arah
Akibat adanya kedua komponen ini akan mengurangi intensitas berbanding lurus dengan
jarak/kedalaman yang telah ditempuh. Pengurangan intensitas yang diakibatkan oleh kedua
proses di atas disebut dengan turbiditas.
Turbiditas mempunyai nilai besar pada area perairan dimana dasar suspense padat,
klorofil, dan material organic tak terurai yang memiliki konsentrasi tinggi. Dapat
disimpulkan bahwa perairan yang jernih akan memiliki kemampuan penetrasi energy laser
yang lebih baik.
2. Komposisi Dasar Perairan
Kemampuan penetrasi juga tergantung kepada komposisi dasar perairan daerah survei.
Vegetasi dasar laut akan mempengaruhi reflektifitas dasar perairan dan mengurangi
kemampuan penetrasi kedalaman.
3. Kondisi Udara
Kondisi cuaca di daerah survei seperti kabut, asap dan hujan dapat mempengaruhi
kemampuan penetrasi sinar laser. Pada pengukuran kedalaman, pengaruh angin yang
terlalu kencang dan pasang surut yang terlalu tinggi juga menyebabkan adanya pergerakan
massa air atau arus yang membawa sedimen dasar perairan kedalam kolom air dan
menyebabkan berkurangnya kejernihan air. Angin juga dapat menimbulkan busa pada
permukaan air, yang menyebabkan berkurangnya kemampuan penetrasi kedalaman. Selain
itu, gelombang laut juga menyebabkan bertambahnya kesalahan penentuan tinggi pesawat
dan efek pembelokan arah sudut pancar (beam).
31
2.2.6 Georeferensi Data LIDAR
2.2.6.1 Umum
Sebelum melakukan pengolahan data LIDAR, hal pertama yang harus dilakukan adalah
menentukan kerangka referensi dari data LIDAR tersebut. Besaran-besaran yang harus
ditentukan atau diukur untuk menentukan georeferensi dari data LIDAR, yaitu :
1) Pengukuran jarak laser yang diperoleh dengan menggunakan waktu tempuh dari
masing-masing pulsa laser.
2) Sudut penyiaman
3) Akselerasi pesawat
4) Roll, pitch, dan yaw
5) Penentuan koordinat antenna GPS
Sistem LIDAR terdiri atas tiga sensor utama, yaitu laser scanner, IMU, dan GPS. Ketiga
frequensi tersebut bekerja pada frequensi masing-masing. Hal pertama yang harus
diperhatikan adalah mengetahui berbagai macam sistem koordinat yang terlibat dan
hubungannya antar sistem koordinat tersebut.
2.2.6.2 Sistem referensi LIDAR
1) Sistem referensi instrument
Sistem ini berada pada pusat kaca dari instrument. Dimana sumbu Z berada sepanjang
sinar laser yang berada pada pusat atau tengah-tengah dari area swath. Sumbu X searah
dengan hidung pesawat dan sumbu Y dapat ditentukan sesuai dengan prinsip tangan kanan.
2) Sistem referensi penyiaman
Garis merah mengindikasikan pulsa laser dengan sumbu Z menjadi arah dari perjalanan
sinar laser. Sumbu X dan Y searah atau sama dengan sumbu X dan Y instrument. Sumbu Z
akan sangat bergantung terhadap besarnya sudut scan.
3) Sistem referensi INS
INS merupakan gambaran dari keadaan gravitasi local dan sumbu utara sebenarnya ketika
pesawat mengalami pergerakan. INS bekerja dengan cara melakukan deteksi terhadap
rotasi dari bumi dan gravitasi. Sistem referensi INS terdiri dari koordinat X, Y, Z yang
32
didefinisikan oleh roll, pitch, dan yaw. INS nantinya akan menghasilkan nilai dari roll,
pitch, dan yaw tersebut.
4) Sistem referensi earth tangential (ET)
Sistem ini bersumber dari sistem koordinat antena GPS. Sumbu X dinyatakan sebagai arah
dari sumbu utara yang sebenarnya, dan sumbu Z berada pada sepanjang pusat masa bumi.
Sistem referensi ET berhubungan dengan INS yang direalisasikan melalui roll, pitch dan
yaw yang menghasilkan koordinat X,Y, dan Z berurutan sepanjang waktu pengambilan.
ET juga dihubungkan dengan sistem instrument yang dinyatakan oleh vector GPS. ET juga
dihubungkan dengan WGS 84 yang dinyatakan oleh lokasi dari antenna GPS pada setiap
pengambilan data. Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan sistem referensi earth
tangensial.
Gambar 2.21 Earth Tangensial Referensi [Lohani, 1996]
2.2.7 Proses Pengolahan Data LIDAR
Untuk pengolahan data mentah (raw data) dilakukan oleh vendor masing-masing. Adapun
produk yang dihasilkan data LIDAR dalam format LAS dan ASCII, yang digunakan untuk
pengolahan data selanjutnya yaitu DEM, DSM, dan kontur. Prinsip dasar dari pengolahan
data LIDAR dapat dilihat pada diagram dan penjelasan di bawah ini.
33
Diagram 2.3 Prinsip Pengolahan Data LIDAR
Dari diagram di atas dapat disimpulkan bahwa setelah data mentah dari IMU, GPS, dan
jarak laser diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan data secara
post-processing. Ada dua kegiatan yang dilakukan selama post-processing, yaitu :
1) Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mendownload data carrier fasa GPS
yang dihasilkan oleh base station dan receiver yang ada pada pesawat. Data ini
kemudian diolah dengan menggunakan software GPS postprocessing yang akan
menghitung solusi akurasi kinematik sepanjang lintasan pesawat. Data carrier fasa
tersebut dijadikan sebagai inputan dalam pengolahan GPS secara post processing.
Hasil dari pengolahan data tersebut adalah nilai dari akurasi kinematik sepanjang jalur
penerbangan. Nilai akurasi kinematik sepanjang jalur penerbangan tersebut kemudian
digabungkan dengan data IMU sehingga posisi dan solusi orientasi pesawat yang
lengkap sepanjang jalur penerbangan dapat diperoleh. Pengolahan data selanjutnya
adalah dengan menggabungkan hasil pengolahan data IMU dan GPS tersebut dengan
data jarak dari masing-masing sinar laser yang dihasilkan. Dengan menggunakan
algoritma tertentu, maka posisi dan orientasi dari masing-masing sinar laser dapat
diperoleh. Hasil akhirnya adalah posisi X, Y, Z dari masing-masing objek yang
dipantulkan oleh sinar laser.
34
Gambar 2.22 Posisi Sinar Laser [Burtch, 2002]
Secara teoritis, untuk mendapatkan koordinat titik objek dipermukaan bumi bisa dilakukan
proses perhitungannya sebagai berikut (diasumsikan orientasinya sempurna) :
1) Jika sudut pancar gelombang terhadap garis tegak lurus adalah αi dan jarak antar laser
dengan objek (i) adalah Di, maka dengan prinsip trigonometri dapat ditentukan jarak
vertikal antara sensor dengan tanah Vi
V
, yaitu :
i = Di cos α
2) Jika koordinat sensor (Xs, Ys, Hs) diketahui, maka dapat ditentukan elevasi dari objek
(i), yaitu :
i
Elevi = Hs - V
3) Tentukan jarak horizontal antara titik i dengan garis tegak lurus dengan tanah dengan
menggunakan persamaan trigonometri.
i
Hi = Di sin α
4) Jika diasumsikan bahwa pesawat bergerak sepanjang sumbu-Y dan sudut pancarnya
bergerak kearah kanan, maka koordinat-Y akan sama dengan koordinat sensor.
Sehingga nilai koordinat X
i
i
Xi = Xsr + H
akan menjadi :
5) Koordinat dari objek i adalah : i
Xi, Yi dan Elevi
35
Koordinat yang dihasilkan telah bergeoreferensi. Secara matematis, proses perhitungannya
dapat dilakukan dengan menggunakan software yang ada pada sistem pengolahan data.
[Jumadi, 2008]
2. Kedua dari post-processing adalah membuang data yang tidak relevan yang
dikumpulkan selama pengambilan data. Data yang tidak relevan dibuang dengan cara
menghitung anomali yang disebabkan oleh kesalahan sistem waktu, kondisi atmosfer,
bias GPS, dan kesalahan lainnya yang disebabkan kondisi topografi permukaan bumi.
Proses pemisahan data yang tidak relevan bisa dilakukan secara otomatis dan bisa
membuang 90 persen dari data yang tidak relevan tersebut. Tetapi, masih ada data lain
yang tidak bisa dipisahkan secara otomatis sehingga harus dilakukan secara manual.
2.2.8 Pengklasifikasian Data LIDAR
Pengklasifikasian data LIDAR dilakukan secara otomatis menggunakan software Terra
Solid. Dalam proses ini, data akan digolongkan dalam koordinat titik tanah (topografi)
untuk last return dan koordinat titik-titik yang berada di atasnya (DSM) untuk 1st, 2nd
, dst.
Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan kemampuan LIDAR dalam
mengklasifikasikan antara informasi topografi dan informasi yang ada di atasnya (pohon
dan lain-lain).
Gambar 2.23 Klasifikasi Data LIDAR [Optech, 2007]
36
2.2.9 Proses Georeferensi Data LIDAR
Proses georeferensi adalah suatu proses atau tahapan untuk mendefinisikan koordinat pusat
proyeksi sinar laser sehingga terdefinisi ke suatu sistem koordinat. Vektor dari jarak yang
ditembakkan dengan sudut penyiaman η didefinisikan terhadap kerangka referensi dari
instrument laser. Jarak yang dihasilkan laser tersebut kemudian ditransformasikan ke pusat
bumi yang direalisasikan melalui sistem WGS 84. Proses tersebut dihasilkan melalui
berbagai macam tahapan rotasi dan transformasi.
Tahapan yang dilakukan dalam proses georeferensi adalah :
1) Jarak yang dihasilkan oleh sistem penyiaman direpresentasikan pada vektor [0,0,Z]
2) Lakukan proses rotasi vektor jarak tersebut pada sistem referensi instrument dengan
menggunakan sudut scan (η).
3) Rotasikan vektor tersebut terhadap sistem referensi INS yang bersumber pada
instrument dengan menggunakan sudut bias INS (αo, βo, γo
4) Langkah selanjutnya adalah melakukan rotasi vektor tersebut ke sistem ET dengan
menggunakan roll, pitch, dan yaw (α, β, γ). Pada tahap ini vektor berada pada sistem
ET dengan asal sumber vektornya pada antenna GPS.
). Selanjutnya vektor ini
diterjemahkan oleh vektor GPS (dx, dy, dz) yang terdapat pada sistem INS.
5) Rotasikan vektor tersebut ke sistem kartesian WGS 84 dengan menggunakan lintang
dan bujur ( yang diukur oleh GPS.
6) Vektor tersebut kemudian diterjemahkan pada sistem WGS 84 dengan menggunakan
koordinat kartesian dari antenna GPS ( .
7) Koordinat titik-titik objek laser sekarang telah mengacu kepada koordinat kartesian
dalam WGS 84 dan dapat dirubah ke sistem koordinat ellipsoid lainnya. [Jumadi,
2004]
Jika Rx(θ) adalah rotasi pada sumbu X dengan sudut θ,T(V) adalah vektor v, dan [X’]
adalah vektor final pada sistem WGS 84. φ dan λ adalah lintang dan bujur dari antena
GPS, maka tahapan georeferensinya adalah sebagai berikut :
37
Gambar 2.24 Sistem Referensi LIDAR [Lohani, 1996]
Hasil akhir dari data LIDAR adalah koordinat-koordinat X, Y, dan Z yang telah terdefinisi
pada suatu sistem referensi. Data tersebut kemudian diolah lagi untuk membentuk suatu
DEM atau bentuk-bentuk detail lainnya. Salah satu aplikasi dari DEM yang dihasilkan
oleh data LIDAR tersebut adalah sebagai informasi awal untuk kegiatan penambangan
batubara selanjutnya.[ Jumadi, 2004]
2.2.10 Aplikasi LIDAR
Data LIDAR yang telah diolah dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti :
1) pemodelan banjir
2) pemodelan kota 3D
3) kehutanan
4) perencanaan tower transmisi
5) pengembangan kawasan real estat
6) survei konstruksi
7) survei eksplorasi minyak dan gas
8) pemetaan bathimetri dan lain sebagainya.
2.3 Fotogrametri
2.3.1 Definisi Fotogrametri
Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai “suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk
memperoleh informasi yang terpercaya tentang objek fisik dan lingkungan melalui proses
38
perekaman, pengukuran, dan interpretasi gambaran fotografik dan pola radiasi tenaga
elektromagnetik yang terekam” (Paul R.Wolf, 1993). Adapun produk dari fotogrametri
berupa, peta garis, peta foto, dan peta mosaik. Foto udara adalah foto yang diambil dari
udara dengan menggunakan kamera udara.
Gambar 2.25 Kegiatan Pemotretan Udara dan Foto Udara
2.3.2 Pemotretan Udara
Pemetaan fotogrametris menggunakan foto udara sebagai sumber data utamanya. Kualitas
peta atau informasi yang dihasilkan sangat tergantung dari kualitas metrik maupun kualitas
gambar (pictorial quality) sumber data tersebut. Pengadaan foto udara biasanya bertitik
tolak dari tujuan peruntukannya. Untuk keperluan studi penjajakan (feasibility study)
misalnya, informasi yang diperlukan tidak perlu akurat, tapi keragaman informasinya yang
lebih diutamakan. Sebaliknya, bila informasi atau peta yang dibutuhkan pada tahap
pembuatan rancangan detail (detail design) atau konstruksi, maka yang diutamakan adalah
ketelitian geometriknya. Untuk mendapatkan foto udara sesuai dengan spesifikasi yang
dibutuhkan, oleh karenanya, suatu misi pemotretan udara membutuhkan suatu perencanaan
yang baik.
2.3.2.1 Komponen Pemotretan Udara
Secara teknis, misi pemotretan memperhitungkan penggunaan :
1) Pesawat, sistem navigasi
2) Kamera/sensor
Jenis kamera :
39
a) Kamera format kecil 35 mm x 24 mm atau 60 mm x 60 mm.
b) Kamera metric WA 23 cm x 23 cm dengan f = 152 mm. atau SWA 23 cm x 23 cm
dengan f = 88 mm.
c) Film/media
d) Panchromatic Black & White, paling banyak digunakan untuk aplikasi pemetaan,
diantara jenis film yang paling murah.
e) True color, untuk interpretasi pengenalan unsur dengan cirri warna natural.
f) False color atau
g) Infrared, banyak digunakan untuk managemen sumber daya alam terutama untuk
pengenalan unsur-unsur alam yang mempunyai kandungan air.
3) Inertial Measuring Unit (IMU), IMU akan menghasilkan nilai dari 3 sumbu utama,
yaitu sumbu X (roll), Y(pitch), dan Z (yaw atau heading). Sistem IMU ini nantinya
akan memberikan atau menentukan orientasi 3D setiap pusat proyeksi foto udara.
4) Global Positioning Sistem (GPS), akan menentukan posisi (X,Y,Z) dari setiap pusat
proyeksi foto udara yang dilakukan secara differential. GPS dipasang pada wahana
pesawat dan di ground (base stasion).
2.3.2.2 Perencanaan Pemotretan Udara
Perencanaan pemotretan merupakan pertimbangan utama, maka misi pemotretan harus
direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan secara seksama sesuai dengan rencana
penerbangan. Pada umumnya rencana penerbangan terdiri dari dua hal :
1) Peta jalur terbang yang menggambarkan daerah yang harus dipotret,
2) Spesifikasi yang merupakan pedoman untuk melaksanakan pemotretan, termasuk
permintaan khusus yang menyangkut kamera dan film, skala, tinggi terbang, tampalan
samping dan depan, toleransi kesendengan dan crab. Suatu rencana penerbangan yang
menghasilkan spesifikasi optimum bagi sebuah proyek hanya dapat dibuat setelah
mempertimbangkan secara seksama semua variable yang mempengaruhi pemotretan
dari udara.
3) Disamping itu, jangka waktu yang baik untuk pemotretan bagi banyak daerah sering
terbatas oleh cuaca dan kondisi yang baik dan tutupan lahan yang berkaitan dengan
musim.
40
Ketentuan teknis utama dalam pemotretan udara :
1) Skala foto,
Skala foto udara secara umum merupakan perbandingan antara panjang focus kamera
dengan tinggi terbang pesawat terhadap bidang rata-rata tanah. Atau merupakan jarak
antara dua titik foto dengan jaraknya ditanah.
2) Overlap/sidelap,
Hubungan antar foto udara dimungkinkan dengan adanya pertampalan. Pertampalan foto
ke arah strip dinamakan forward overlap (overlap), sedangkan pertampalan foto antar dua
strip disebut sebagai side overlap (sidelap). Untuk memungkinkan pengamatan
stereoskopik (3D) maka overlap biasanya direncanakan antara 60% s/d 70%, sedangkan
sidelap antara 15% s/d 25%.
3) Arah terbang.
Hasil dari suatu misi pemotretan yang telah direncakan dengan overlap, sidelap dan arah
strip/run tertentu, dalam prakteknya dapat saja menyimpang. Penyimpangan orientasi
kamera terhadap arah tertentu mengakibatkan apa yang disebut sebagai crab. Hal ini
timbul oleh karena angin samping yang menyebabkan arah badan pesawat (heading) tidak
sama dengan arah jelajah (course). Crab dapat dihindari dengan mengatur orientasi
kamrea saat pemotretan. Drif terjadi bila heading dan course dari pesawat menyimpang
dari rencana strip/jalur. Awal dari jalur arahnya benar namun kamudian setelah beberapa
foto pesawat mulai berbelo. Hal ini pun dapat terjadi karena angin samping.
Gambar 2.26 Overlap dan Sidelap pada Fotogrametri [Bobby, 2008]
over lap
sidelap
run 1
run 2
41
Disamping factor teknis yang berkaitan dengan pemrosesan datanya, factor lapangan juga
harus diperhitungkan, meliputi :
a. Lokasi pemotretan terhadap lapangan terbang terdekat.
b. Kondisi topografi,
c. Kondisi cuaca : angin, awna, turbulensi,
d. Halangan-halangan (obstacle),
e. Jalur penerbangan sipil,
f. Daerah larangan.
Pada pemotretan udara, kamera dapat dilengkapi dengan GPS dan IMU. Elemen orientasi
foto yakni koordinat titik pusat proyeksi yang diukur dengan GPS dan kemiringan kamera
yang direkam oleh IMU dapat digunakan sebagai parameter tambahan perataan blok
berkas. Dengan parameter tambahan tersebut maka sensitifitas terhadap kemungkinan
adanya blunder pada pengamatan dapat dihindari serta ketelitian dapat ditingkatkan.
2.3.2.3 Pengukuran Titik Kontrol
Perencanaan misi pemotretan dapat dilakukan sekaligus dengan perencanaan penempatan
titik kontrol dan mengestimasi komponen-komponen biaya dan waktu dengan
menggunakan bantuan blok model. Kontrol fotogrametri pada umumnya diklasifikasikan
atas kontrol mendatar dan kontrol tegak. Pengklasifikasian secara terpisah kontrol
mendatar dan kontrol tegak terutama berdasarkan atas perbedaan datum rujukan mendatar
dan tegak.
Survei lapangan untuk kontrol fotogrametri pada umumnya terdiri dari dua tahap. Tahap
pertama terdiri atas pengadaan jaringan kontrol dasar di dalam daerah kerja. Kontrol dasar
ini terdiri dari tugas kontrol mendatar dan tanda kedudukan bagi kontrol tegak yang
berfungsi sebagai kerangka kerja rujukan survei kontrol foto berikutnya. Tahap kedua
meliputi pengadaan posisi keruangan objek bagi kontrol foto dengan jalan melakukan
survei yang bermula dari jaringan kontrol dasar. Titik-titik kontrol merupakan titik-titik
gambar sebenarnya yang tampak pada foto yang digunakan untuk pelaksanaan kontrol
fotogrametri. Ketelitian survei kontrol dasar pada umumnya lebih tinggi dari pada survei
kontrol foto berikutnya.
42
Jika kontrol foto diadakan untuk menentukan orientasi model stereo, jumlah absolute
minimum titik kontrol yang diperlukan pada setiap model stereo yaitu tiga titik kontrol
mendatar dan empat titik kontrol tegak pada setiap model stereo.
Yang dapat diestimasi lainnya :
1) line km = untuk menghitung jam terbang yang diperlukan,
2) jumlah model untuk AT dan plotting,
3) jumlah titik kontrol yang diperlukan, dan
4) panjang jalur pengukuran polygon/ traverse & levelling (bila cara ini yang digunakan).
Premark
Dalam proses triangulasi diperlukan sejumlah titik kontrol tanah yang diketahui koordinat
tanahnya. Titik-titik kontrol tersebut harus dapat terlihat dengan jelas pada foto/ model.
Untuk memperjelas keberadaan titik kontrol tersebut digunakan tanda lapangan atau
premark yang dipasang pada titik-titik kontrol tanah tersebut.
Tergantung dari jenis permukaan tanahnya, premark dapat dibuat dari bahan plastik, kain
atau cat sedemikian rupa agar kontras terhadap latar belakangnya. Bentuknya dapat berupa
tanda silang dengan tiga atau empat lengan dengan ukuran yang disesuaikan dengan skala
foto, d = 30 s/d 50 µ pada skala foto.
Gambar 2.27 Pola pemotretan dan Premark [Bobby,2004]
5d
d
d
43
2.3.3 Prinsip Pengolahan Data Foto Udara
Diagram 2.4 Struktur Proses pembuatan peta foto dan peta garis[ Bobby, 2008]
Orthofoto digital dapat diperoleh melalui 2 cara :
1) Cara analog
Pada cara analog, hasil orthofoto awal adalah dalam bentuk film. Untuk dikonversi
menjadi orthofoto digital dilakukan melalui proses penyiaman. Sedangkan pada proses
orthofoto digital, hasil orthofoto sudah langsung dalam format digital (raster/pixel)
2) Cara digital / analitik
a. Sumber data yang dibutuhkan untuk memperoleh Orthofoto Digital melalui Rektifikasi
Diferensial (digital)
b. Foto udara (tunggal) dalam format raster/ digital sebagai sumber data (koordinat dari
fiducial mark)
44
c. Digital Elevation Model (DEM/ DTM) dari daerah yang bersangkutan yang diperlukan
untuk mengoreksi efek pergeseran relief.
d. Parameter Orientasi Foto (ϕ,ω,κ,Xo,Yo,Zo)
2.3.3.1 Triangulasi Udara
Dalam proses restitusi foto, baik foto tunggal maupun stereo diperlukan sejumlah titik
kontrol. Dalam penurunan peta topografi misalnya, untuk setiap model diperlukan
minimum dua titik kontrol planimetrik (X,Y) dan 3 titik kontrol tinggi (Z). Namun secara
praktis diperlukan 3 titik planimetrik dan 4 titik tinggi. Untuk pemetaan daerah luas yang
terdiri dari banyak model, maka secara total akan dibutuhkan titik kontrol yang cukup
banyak. Untuk ini diupayakan suatu teknik penentuan titik tanpa harus kelapangan kecuali
untuk sejumlah titik yang memang diperlukan yang dikenal dengan triangulasi udara yakni
suatu metode perbanyakan titik kontrol secara fotogrametri.
2.3.3.2 Restitusi Foto
Permukaan tanah merupakan objek fisik 3 dimensi bila dipotret dari udara akan
menghasilkan foto/gambar 2 dimensi. Restitusi dapat diartikan pengembalian sesuatu yang
hilang atau rekonstruksi model 3 dimensi dari pasangan foto 2 dimensi.
Resitusi Foto Stereo
Restitusi foto stereo merupakan proses pengembalian unsur permukaan hasil rekaman foto
dalam 2 dimensi menjadi model fiktif/semu permukaan 3 dimensi. Model fiktif ini
kemudian digunakan sebagai panduan penurunan peta. Pembentukan model 3 dimensi dari
pasangan foto dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :
1. orientasi dalam (inner orientation)
Orientasi dalam merupakan rekonstruksi berkas sinar dari foto udara seperti pada saat foto
tersebut diambil oleh kamera. Berkas sinar yang berpasangan tersebut disimulasikan
dengan memproyeksikan pasangan foto positfnya menggunakan proyektor. Proyektor yang
digunakan diset sesuai dengan karakteristik kamera yang dipakai dalam pemotretan.
45
2. orientasi relatif (relatif orientation)
Dua berkas sinar yang sepadan/berpasangan dari proyektor kiri dan kanan dipertemukan
melalui orientasi relatif. Bila minimal 5 pasang sinar dapat dipertemukan, maka seluruh
pasangan sinar dari kedua berkas akan saling berpotongan membentuk model 3 dimensi
fiktif. Hasil model 3 dimensi yang terbentuk masih mempunyai kedudukan relatif dengan
sistem koordinat sebarang. Oleh sebab itu, proses ini disebut sebagai orientasi relatif.
3. orientasi absolute (absolute orientation)
Dalam orientasi absolute, model 3 dimensi relatif yang masih dalam sistem koordinat
instrument ditransformasikan ke dalam sistem definitf. Pada tahap ini diperlukan minimal
3 titik kontrol model yang ditentukan sebelumnya.
Restitusi Foto Tunggal
Secara umum, setiap foto udara tidak pernah dapat dipotret secara tegak sempurna serta
diketahui ketinggian secara pasti. Dengan restitusi foto tunggal, pembuatan peta planimetri
(X,Y) untuk daerah yang relatif datar dapat dilakukan. Pada restitusi foto tunggal proses
yang dilakukan adalah mengoreksi kemiringan foto dan penyesuaian skala.
2.3.3.3 Ortofoto
Koreksi foto untuk terrain yang berundulasi atau bergunung oleh karena adanya pergeseran
relief tidak dapat dilakukan melalui cara merektifikasi baik dengan menggunakan alat
rectifier atau secara digital berdasarkan hubungan proyektif. Pemberian koreksi untuk foto
jenis terrain ini hanya dapat dikoreksi dengan memperhitungkan koreksi skala dan posisi
pada setiap bagian gambar yakni pixel berdasarkan ketinggian titik tersebut. Pada cara
analog, ketinggian titik dari setiap pixel diwakili oleh ketinggian titik profil yang dipandu
berdasarkan model 3 dimensi. Sebagaimana pada proses restitusi foto stereo untuk
penurunan peta garis, model 3 dimensi yang digunakan pada proses ortofoto untuk
mendapatkan profil juga dilakukan melalui proses yang serupa.
Perkembangan teknologi komputer saat ini penurunan ortofoto dilakukan secara digital.
Foto udara dikonversi kedalam format raster dengan peyiaman. Setiap pixel dikoreksi
berdasarkan hubungan kolinieritas antara titik foto, titik pusat proyeksi dan titik di tanah.
Disini diperlukan model permukaan digital dari terrain yang berkaitan. Sedang alat yang
46
dibutuhkan pada metode digital seluruhnya berbasis komputer yakni komputer grafis,
scanner, array plotter resolusi tinggi dan perangkat lunak ortofoto.
2.3.3.4 Mosaik
Mosaik adalah gabungan dua foto atau lebih yang mempunyai pertampalan menjadi citra
yang kontinyu dari suatu daerah. Penggabungan dilakukan dengan mengambil bagian dari
foto yang yang bertampalan dan menyatukannya dengan memperhatikan kesesuaian detail
pada bagian sambungannya. Mosaik dapat digunakan sebagai peta penggantim khususnya
untuk mendapatkan informasi plainemtris objek yang dapat dikenal berdasarkan
kenampakan piktorialnya seperti apa adanya. Untuk kelompok pengguna tertentu,
informasi dari mosaik dapat lebih mudah difahami serta diinterpretasikan. Namun
demikian, hanya mosaik yang disusun dari foto yang sudah direktifikasi/koreksi saja yang
dapat memberikan informasi planimetrik yang benar. Mosaik dapat digunakan untuk
berbagai macam aplikasi diantaranya untuk studi kelayakan, perencanaan, inventarisasi
sumber daya alam, studi lingkungan, pembebasan tanah dan masih banyak lagi.
Mosaik dapat diklasifikasikan menjadi : tak terkontrol, terkontrol dan semi terkontrol.
Mosaik terkontrol, disusun dari foto yang tidak direktifikasikan dan tidak digunakan titik
kontrol. Skala di satu area terhadap area lainnya kemungkinan tidak sama dan adanya
distorsi yang kemungkinan disebabkan oleh kemiringan foto, perbedaan tinggi terbang satu
foto dengan lainnya, dan pergeseran relief. Namun demikian, bila yang diutamakan adalah
kualitas citranya maka mosaik jenis ini masih banyak dimanfaatkan.
Jenis Mosaik
Mosaik terkontrol, merupakan jenis mosik yang paling teliti oleh karena disusun dari foto-
foto yang telah direktifikasi atau ortofoto. Dalam penyusunannya pun digunakan sejumlah
titik kontrol. Kesalahan-kesalahan akibat oleh kemiringan foto, perbedaan tinggi terbang
satu foto dengan lainnya, dan pergeseran relief secara maksimal telah dieliminir. Mosaik
terkontrol biasanya menjadi bahan untuk pembuatan peta foto.
Mosaik semi terkontrol, adalah antara kedua jenis diatas, dapat disusun dari foto yang
sudah direktifikasi namun tanpa kontrol atau sebaliknya. Dengan demikian,
ketelitiannyapun tidak sebaik jenis terkontrol namun biaya pembuatannya relatif lebih
47
rendah. Untuk aplikasi yang tidak terlalu menuntut ketelitian yang tinggi masih dapat
digunakan.
2.3.3.5 Interpretasi Foto Udara
Dalam Manual of Remote Sensing, Collwell, 1983, interpretasi merupakan bagian dari
inderaja (remote sensing) yang mendefinisikan sebagai pengukuran atau akuisisi informasi
dari suatu objek atau fenomena menggunakan alat perekam tanpa adanya kontak secara
fisik dengan obyek atau fenomena yang sedang dipelajari. Untuk melakukan interpretasi
foto udara, maka diperlukan kunci interpretasiuntuk mempermudah pelaksanaannya.
Adapun kunci interpretasi tersebut adalah warna, bentuk, ukuran, bayangan, tinggi, derajat
kehalusan, pola, tempat, keterkaitan, dll.