bab ii dasar teori - perpustakaan digital...
TRANSCRIPT
6
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Solar Cell
Solar cell adalah suatu elemen aktif yang mengubah cahaya matahari menjadi
energi listrik. Pada umumnya solar cell memiliki ketebalan 0.3 mm yang berupa
irisan bahan semi konduktor dengan kutub (+) positif dan kutub (-) negatif.
Apabila cahaya jatuh pada kedua kutub tersebut, maka akan terjadi beda tegangan
yang menghasilkan energi listrik yang berarus DC. Prinsip dasar pembuatan solar
cell merupakan proses photovoltaic (efek yang dapat mengubah langsung cahaya
matahari menjadi energi listrik, prinsip ini ditemukan oleh Bacquerel
berkebangsaan Perancis pada tahun 1839).
(http://www.panelsurya.com, Panel Surya Pembangkit Tenaga Surya, 2010)
Gambar 2.1 Solar Cell Sensor Cahaya Matahari. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
2.1.1 Prinsip Kerja Solar Cell
Apabila sinar matahari mengenai solar cell, foton-foton cahaya akan
menekan sambungan antara semikonduktor tipe p dan tipe n, sehingga elektron-
elektron solar cell mendapat tambahan energi dan terjadilah pasangan-pasangan
elektron bebas dan hole. Pasangan elektron dan hole tersebut terkumpul pada dua
kutub yang berbeda sehingga terdapat beda potensial antara kedua kutub.
Jika solar cell tersebut dihubungkan dengan beban luar, maka akan terjadi aliran
dari p ke n melalui beban. Efisiensi solar cell berkisar 10 – 15 %, pada temperatur
kerja 40° C. Tegangan solar cell berkisar 0.5 – 1 volt per cell, dengan daya 1
Watt.
7
Gambar 2.2 Solar Cell Dalam Keseimbangan (Tanpa Iluminasi).
Gambar 2.3 Solar Cell Pada Saat Mendapat Iluminasi.
2.1.2 Proses Konversi
Berdasarkan prinsip kerja solar cell di atas, proses konversi cahaya
matahari menjadi energi listrik dihasilkan karena adanya bahan material berupa
semikonduktor yang menyusun solar cell. Lebih tepatnya semikonduktor itu
tersusun dari dua jenis yaitu jenis n dan jenis p.
(http://www.panelsurya.com, Panel Surya Pembangkit Tenaga Surya, 2010)
Semikonduktor jenis n merupakan semikonduktor yang memiliki
kelebihan elektron, sehingga kelebihan muatan negatif, (n = negatif). Sedangkan
semikonduktor jenis p memiliki kelebihan hole, sehingga disebut dengan p ( p =
positif) karena kelebihan muatan positif. Caranya, dengan menambahkan unsur
lain ke dalam semikonduktor, maka kita dapat mengontrol jenis semikonduktor
tersebut, sebagaimana diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.4 Ilustrasi Semikonduktor Pada Solar Cell. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Pada solar cell dibuatkan dua jenis semikonduktor. Hal ini dimaksudkan
untuk meningkatkan konduktifitas atau tingkat kemampuan daya hantar listrik dan
sambungan p
n
8
panas semikonduktor alami (disebut dengan semikonduktor intrinsik). Elektron
maupun hole memiliki jumlah yang sama. Jika terjadi kelebihan elektron atau hole
dapat meningkatkan daya hantar listrik maupun panas dari sebuah semikoduktor.
Semikonduktor intrinsik yang dimaksud ialah silikon (Si). Semikonduktor
jenis p, biasanya dibuat dengan menambahkan unsur boron (B), aluminum (Al),
gallium (Ga) atau Indium (In) ke dalam Si. Unsur-unsur tambahan ini akan
menambah jumlah hole. Sedangkan semikonduktor jenis n dibuat dengan
menambahkan nitrogen (N), fosfor (P) atau arsen (As) ke dalam Si. Dari sini,
tambahan elektron dapat diperoleh. Sedangkan, Si intrinsik sendiri tidak
mengandung unsur tambahan. Usaha menambahkan unsur tambahan ini disebut
dengan doping yang jumlahnya tidak lebih dari 1 % dibandingkan dengan berat Si
yang hendak di-doping.
(http://www.panelsurya.com, Panel Surya Pembangkit Tenaga Surya, 2010)
Dua jenis semikonduktor n dan p ini jika disatukan akan membentuk
sambungan p-n atau dioda p-n (istilah lain menyebutnya dengan sambungan
metalurgi / metallurgical junction) yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Proses 1: semikonduktor belum disambung
Gambar 2.5 Semikonduktor Jenis n(Elektron) Yang Belum Disambung. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Gambar 2.6 Semikonduktor Jenis p (Proton) Yang Belum Disambung. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
9
Proses 2: Sesaat setelah dua jenis semikonduktor disambung.
Dapat dilihat, terjadi perpindahan elektron-elektron dari semikonduktor n
menuju semikonduktor p, dan perpindahan hole dari semikonduktor p menuju
semikonduktor n. Perpindahan elektron maupun hole ini hanya sampai pada
jarak tertentu dari batas sambungan awal.
Gambar 2.7 Semikonduktor Setelah Disambung. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Proses 3: Elektron dari semikonduktor n bersatu dengan hole pada semikonduktor
p yang mengakibatkan jumlah hole pada semikonduktor p akan berkurang.
Daerah ini akhirnya berubah menjadi lebih bermuatan positif.
Pada saat yang sama. hole dari semikonduktor p bersatu dengan elektron yang ada
pada semikonduktor n yang mengakibatkan jumlah elektron di daerah ini
berkurang. Daerah ini akhirnya lebih bermuatan positif.
Gambar 2.8 Daerah Deplesi (Depletion Region). Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Daerah negatif dan positif ini disebut dengan daerah deplesi (depletion
region) ditandai dengan huruf W. Elektron maupun hole yang ada pada daerah
deplesi disebut dengan pembawa muatan minoritas (minority charge carriers)
karena keberadaannya di jenis semikonduktor yang berbeda.
Dikarenakan adanya perbedaan muatan positif dan negatif di daerah deplesi, maka
timbul dengan sendirinya medan listrik internal E dari sisi positif ke sisi negatif,
yang mencoba menarik kembali hole ke semikonduktor p dan elektron ke
10
semikonduktor n. Medan listrik ini cenderung berlawanan dengan perpindahan
hole maupun elektron pada awal terjadinya daerah deplesi (nomor 1 di atas).
Gambar 2.9 Keseimbangan Semikonduktor p Dan n. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Proses 5: adanya medan listrik mengakibatkan sambungan pn berada pada titik
setimbang, yakni saat di mana jumlah hole yang berpindah dari semikonduktor p
ke n dikompensasi dengan jumlah hole yang tertarik kembali kearah
semikonduktor p akibat medan listrik E. Begitu pula dengan jumlah elektron yang
berpindah dari smikonduktor n ke p, dikompensasi dengan mengalirnya kembali
elektron ke semikonduktor n akibat tarikan medan listrik E. Dengan kata lain,
medan listrik E mencegah seluruh elektron dan hole berpindah dari
semikonduktor yang satu ke semiikonduktor yang lain. Pada sambungan p-n
inilah proses konversi cahaya matahari menjadi listrik terjadi.
Untuk keperluan solar cell, semikonduktor n berada pada lapisan atas
sambungan p yang menghadap kearah datangnya cahaya matahari, dan dibuat jauh
lebih tipis dari semikonduktor p, sehingga cahaya matahari yang jatuh ke
permukaan solar cell dapat terus terserap dan masuk ke daerah deplesi dan
semikonduktor p.
Gambar 2.10 Proses Penyerapan Cahaya Matahari Pada Solar Cell. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
11
Ketika sambungan semikonduktor ini terkena cahaya matahari, maka
elektron mendapat energi dari cahaya matahari untuk melepaskan dirinya dari
semikonduktor n, daerah deplesi maupun semikonduktor. Terlepasnya elektron ini
meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron yang disebut
dengan fotogenerasi elektron-hole (electron-hole photogeneration) yakni,
terbentuknya pasangan elektron dan hole akibat cahaya matahari.
Gambar 2.11 Proses Fotogenerasi Pada Solar Cell. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Cahaya matahari dengan panjang gelombang (dilambangkan dengan
simbol “lambda” pada gambar atas ) yang berbeda, membuat fotogenerasi pada
sambungan pn berada pada bagian sambungan pn yang berbeda pula.
Spektrum merah dari cahaya matahari yang memiliki panjang gelombang
lebih panjang, mampu menembus daerah deplesi hingga terserap di
semikonduktor p yang akhirnya menghasilkan proses fotogenerasi di sana.
Spektrum biru dengan panjang gelombang yang jauh lebih pendek hanya terserap
di daerah semikonduktor n.
(http://www.panelsurya.com, Panel Surya Pembangkit Tenaga Surya, 2010)
Selanjutnya, dikarenakan pada sambungan pn terdapat medan listrik E,
elektron hasil fotogenerasi tertarik ke arah semikonduktor n, begitu pula dengan
hole yang tertarik ke arah semikonduktor p.
Apabila rangkaian kabel dihubungkan ke dua bagian semikonduktor, maka
elektron akan mengalir melalui kabel. Jika sebuah lampu kecil dihubungkan ke
12
kabel, lampu tersebut menyala dikarenakan mendapat arus listrik, dimana arus
listrik ini timbul akibat pergerakan elektron.
Gambar 2.12 Proses Konversi Energi Matahari Menjadi Listrik. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Pada umumnya, untuk memperkenalkan cara kerja solar cell secara umum,
ilustrasi di atas menjelaskan segalanya tentang proses konversi cahaya matahari
menjadi energi listrik.
2.1.2.1 Efek Perubahan Intensitas Cahaya
Apabila energi cahaya yang diterima solar cell berkurang atau
intensitasnya melemah, maka besar tegangan dan arus listrik yang dihasilkan juga
akan menurun.
Grafik 2.1. Efek Perubahan Intensitas Sumber : Strong, Steven J, The Solar Electric House, p.58, 2000
13
2.1.2.2 Efek Perubahan Temperatur Pada Solar Cell
Solar cell akan beroperasi secara maksimum jika temperatur sel tetap
normal (pada 250 C), kenaikan temperatur lebih tinggi dari temperatur normal
pada solar cell tegangan Voc akan melemah.
Grafik 2.2. Efek Perubahan Temperatur Sumber: Strong, Steven J, The Solar Electric House, p.58, 2000
Pengoperasian solar cell agar didapatkan nilai yang maksimum juga tergantung
pada faktor-faktor antara lain
1. Orientasi dari rangkaian modul surya ke arah matahari secara optimum adalah
penting agar panel dapat menghasilkan energi maximum. Sebagai guidline: untuk
lokasi yang terletak di belahan Utara latitude, maka panel sebaiknya
diorientasikan ke Selatan.
2. Tilt Angle (sudut orientasi Matahari) Mempertahankan sinar matahari jatuh ke
sebuah permukaan modul surya secara tegak lurus akan mendapatkan energi
maximum ± 1000 W/m².
2.1.2.3 Proses Energi Listrik
Sebuah solar cell dalam menghasilkan energi listrik (energi sinar matahari
menjadi photon) tidak tergantung pada besaran luas bidang Silikon, dan secara
konstan akan menghasilkan energi berkisar ± 0.5 volt — max. 600 mV pada 2
amp, dengan kekuatan radiasi solar matahari 1000 W/m² = ”1 Sun” akan
menghasilkan arus listrik (I) sekitar 30 mA/cm² per solar cell. Pada grafik I-V
14
Curve dibawah yang menggambarkan keadaan sebuah solar cell beroperasi
secara normal. Solar cell akan menghasilkan energi maximum jika nilai Vm dan
Im juga maximum. Sedangkan Isc adalah arus listrik maximum pada nilai volt =
nol; Isc berbanding langsung dengan tersedianya sinar matahari. Voc adalah volt
maximum pada nilai arus nol; Voc naik secara logaritma dengan peningkatan sinar
matahari, karakter ini yang memungkinkan solar cell untuk mengisi accu.
(http://www.panelsurya.com, Panel Surya Pembangkit Tenaga Surya, 2010)
Grafik 2.3.Kurva I-V.
Sumber: Strong, Steven J, The Solar Electric House, p.58, 2000
2.1.3 Perhitungan
2.1.3.1 Efisiensi konversi energi
Tegangan yang dibangkitkan tergantung pada luas solar cell yang
digunakan. Jika dihitung, efisiensi konversi energi adalah sebagai berikut:
Efisiensi =
............................. (2.1)
Keterangan :V= tegangan yang dibangkitkan
I = arus solar cell
P = rapat daya matahari yang jatuh pada solar cell
a = luas solar cell
Rumus konversi energi di atas dapat ditulis sebagai berikut:
15
Efisiensi = Fi.Is.Vo ........................................ (2.2) P.a
Keterangan :
Fi = faktor isi
Is = arus hubung singkat
Vo = tegangan tanpa beban
P = rapat daya matahari yang jatuh pada solar cell
a = luas solar cell
2.1.3.2 Perhitungan Kapasitas Daya Modul Solar Cell
Kapasitas daya modul solar cell dapat diperhitungkan dengan memperhatikan
beberapa faktor, yaitu kebutuhan energi sistem yang disyaratkan, insolasi
matahari, dan faktor penyesuaian (adjustment factor). Faktor penyesuaian pada
kebanyakan instalasi PLTS adalah 1,1 (Mark Hankins, 1991 Small Solar Electric
System for Africa page 68).
Kapasitas daya modul surya yang dihasilkan dengan menghitung:
1. Penentuan kebutuhan Pada sistem hybrid yang dirancang, solar cell
mensuplai sebesar 30% dari energi keseluruhan. Besar energi beban yang
akan disuplai oleh solar cell (EA) adalah sebesar:
EA = 30% x EB (beban rumah tangga)………………..(2.3)
2. Asumsi rugi-rugi (losses) pada sistem dianggap sebesar 15%, karena
keseluruhan komponen sistem yang digunakan masih baru (Mark Hankins,
1991: 68). Total energi sistem (ET) yang disyaratkan adalah sebesar:
ET = EA + rugi-rugi system
= EA + (15% x EA) ……………………….(2.4)
16
3. Kapasitas modul solar cell merupakan perhitungan dari beberapa faktor
yaitu kebutuhan energi sistem yang disyaratkan, insolasi matahari sebesar
3,91 (sumber BMG, BPPT), dan faktor penyesuaian yaitu 1,1 (Liem Ek
Bien, 2008: 43).
Kapasitas Daya Modul Surya
=
…………(2.5)
2.2 Charger control
2.2.1 Prinsip kerja
Pada waktu solar cell mendapatkan energi dari cahaya matahari di siang
hari, rangkaian charger controller ini otomatis bekerja dan mengisi ( charge )
accu dan menjaga tegangan accu agar tetap stabil .
Contoh: Bila kita menggunakan accu 12V, maka rangkaian ini akan
menjaga agar tegangan charger 12 10% , tegangan charger yang dibutuhkan
antara 13,2 - 13,4 Volt. dan bila sudah mencapai tegangan tersebut, rangkaian ini
otomatis akan menghentikan proses pengisian accu tersebut. Sebaliknya apabila
tegangan accu turun / drop hingga 11 Volt , maka controller akan memutus
tegangan sehingga accu tidak sampai habis. Secara keseluruhan Fungsi dari
Controller ini yaitu dapat menjaga agar accu tidak kelebihan ( over charger ) dan
kehabisan tegangan ( under charger ) dengan begitu maka umur dari accu akan
bertambah lama.
2.2.2 Fungsi
Charge regulator ini memiliki dua fungsi yaitu:
1. Sebagai charging mode: Mengisi accu (kapan accu diisi, menjaga
pengisian kalau accu penuh).
2. Sebagai Operation mode: Penggunaan accu ke beban (pelayanan accu
ke beban diputus kalau accu sudah mulai 'kosong')
(http://www.panelsurya.com, charger controller, 2010)
17
2.2.2.1 Sebagai charging mode
Dalam charging mode, umumnya Accu diisi dengan metoda three stage
charging:
a) Fase bulk: accu akan di-charge sesuai dengan tegangan setup (bulk -
antara 14.4 - 14.6 Volt) dan arus diambil secara maksimum dari solar cell.
Pada saat accu sudah pada tegangan setup (bulk) dimulailah fase
absorption.
b) Fase absorption: pada fase ini, tegangan accu akan dijaga sesuai dengan
tegangan bulk, sampai solar charge controller timer (umumnya satu jam)
tercapai, arus yang dialirkan menurun sampai tercapai kapasitas dari accu.
c) Fase flloat: accu akan dijaga pada tegangan float setting (umumnya 13.4 -
13.7 Volt). Beban yang terhubung ke accu dapat menggunakan arus
maksimun dari solar cell pada stage ini.
Gambar 2.13 Fase Absorption Pada Charging Mode. Sumber: www.panelsurya.com, 2010
Untuk solar charge controller yang dilengkapi dengan sensor temperatur
baterai. Tegangan charging disesuaikan dengan temperatur dari accu. Dengan
sensor ini didapatkan optimun dari charging dan juga optimun dari usia accu.
Apabila solar charge controller tidak memiliki sensor temperatur accu
maka tegangan charging perlu diatur, disesuaikan dengan temperatur lingkungan
dan jenis accu.
18
2.2.2.2 Sebagai operation mode
Pada mode ini, accu akan melayani beban. Apabila ada over-discharge
atau over-load, maka accu akan dilepaskan dari beban. Hal ini berguna untuk
mencegah kerusakan dari accu.
2.3 Accu
Accu atau Storage Battery adalah sebuah sel atau elemen sekunder dan
merupakan sumber arus listrik searah yang dapat mengubah energi kimia menjadi
energy listrik. Accu termasuk elemen elektrokimia yang dapat mempengaruhi zat
pereaksinya, sehingga disebut elemen sekunder.
Kutub positif accu menggunakan lempeng oksida dan kutub negatifnya
menggunakan lempeng timbal sedangkan larutan elektrolitnya adalah larutan
asamsulfat.
Ketika accu dipakai, terjadi reaksi kimia yang mengakibatkan endapan
pada anode (reduksi) dan katode (oksidasi). Akibatnya, dalam waktu tertentu
antara anode dan katode tidak ada beda potensial, artinya accu menjadi kosong.
Supaya accu dapat dipakai lagi, harus diisi dengan cara mengalirkan arus listrik ke
arah yang berlawanan dengan arus listrik yang dikeluarkan Accu itu.
Ketika accu diisi akan terjadi pengumpulan muatan listrik. Pengumpulan
jumlah muatan listrik dinyatakan dalam ampere hour disebut tenaga accu. Pada
kenyataannya, pemakaian accu tidak dapat mengeluarkan seluruh energi yang
tersimpan aki itu. Oleh karenanya, accu mempunyai rendemen atau efisiensi.
Waktu pengisian adalah 12 sampai 16 jam. Dengan arus pengisian yang
lebih tinggi dan metode pengisian multi-stage, waktu pengisian dapat berkurang
sampai dengan 10 jam atau kurang.
2.3.1 Pengisian
Pengisian multi-stage, terdiri dari 3 stage/ tahap: constant-current charge,
topping charge dan float charge. Selama constant-current charge, Accu diisi
sampai 70 persen dalam waktu 5 jam; sisanya 30 persen adalah pengisian pelan-
pelan dalam topping charge. Topping charge butuh sekitar 5 jam yang lain dan ini
19
sangat penting untuk menjaga Accu tetap baik. Jika pola pengisian Accu tidak
lengkap sesuai dengan kedua stage diatas, maka accu akan kehilangan
kemampuan untuk menerima full charge dan kinerja accu akan berkurang. Tahap
ketiga adalah float charge, kompensasi self-discharge setelah accu terisi penuh.
Accu terdiri dari beberapa sel. Accu 12 Volt, terdiri dari 6 sel. Batas
tegangan satu sel umumnya mulai dari 2.30V sampai 2.45V. Jadi accu 12 Volt,
tegangan sebenarnya adalah antara 13.8 V - 14.7 Volt. Kondisi accu tergantung
dari suhu. Suhu tinggi menyebabkan Accu cepat rusak. Pada saat charging accu
pada suhu ruangan melebihi 30 derajat celcius, tegangan yang direkomendasikan
adalah 2.35V/sel. Pada saat charging, dan suhu ruangan tetap dibawah 30 derajat
Celcius, tegangan charger untuk masing-masing sel disarankan 2.40 sampai
2.45Volt.
Tegangan float charge yang direkomendasikan dari kebanyakan accu lead
acid adalah di antara 2.25 sampai 2.30V/sel. Kompromi yang baik adalah 2.27V.
Float charge yang optimal bergeser tergantung dari suhu. Pada suhu tinggi
dibutuhkan tegangan lebih kecil dan suhu lebih rendah dibutuhkan tegangan lebih
tinggi. Charger dengan suhu yang fluktuatif harus dilengkapi dengan sensor suhu
untuk mengoptimalkan float voltage.
Accu memerlukan periodik discharge, untuk memperpanjang umur.
Penerapan sekali dalam sebulan, dimana discharge dilakukan hanya berkisar 10
persen dari total kapasitas. Full discharge sebagai bagian dari pemeliharaan rutin
tidak direkomendasikan karena akan mengurangi siklus hidup accu.
Accu memiliki tegangan puncak bervariasi pada suhu yang bervariasi
saat pengisian ulang dan float charge. Menerapkan kompensasi suhu pada
charger untuk menyesuaikan suhu ekstrim memperpanjang umur Accu hingga 15
persen.
2.3.2 Discharging battre
Kapasitas Accu sebesar 100 Ampere hour, artinya arus accu akan habis
dalam satu jam, bila beban menggunakan 100 Ampere.
20
Level discharge accu yang direkomendasikan adalah sampai dengan
tegangan 1.75 Volt per sel. Accu akan rusak apabila tegangan per sel lebih kecil
dari 1.75 Volt (atau 10.5 Volt untuk accu 12 Volt).
Masa accu dihitung dalam jumlah cycle. Satu cycle adalah satu kali
penggunaan dan pengisian. Depth of discharge (jumlah pemakaian ampere accu),
mempengaruhi jumlah cycle accu. Pada suhu 25 derajat Celcius:
a) 150 - 200 cycle dengan 100 persen depth of discharge (full discharge).
b) 400 - 500 cycle dengan 50 persen depth of discharge (partial discharge).
c) 1000 atau lebih dengan 30 persen depth of discharge (shallow discharge).
2.3.3 Kapasitas Accu
Satuan energi (dalam Wh) dikonversikan menjadi Ah yang sesuai dengan
satuan kapasitas accu sebagai berikut:
Ah =
…………………………………(2.6)
Hari otonomi yang ditentukan adalah satu hari, jadi accu hanya
menyimpan energi dan menyalurkannya pada hari itu juga. Besarnya deep of
discharge (DOD) pada accu adalah 80% (Mark Hankins, 1991: 68). Kapasitas
accu yang dibutuhkan adalah:
Cb =
………………………………….(2.7)
2.4 Alat Optik
Cahaya memiliki peranan penting dalam proses penerimaan informasi
melalui mata yaitu proses melihat. Cahaya berasal dari sumber cahaya yang
bersifat alami seperti matahari dan bersifat yang buatan misalnya lampu senter,
lilin dan lain-lain. Cahaya merupakan gelombang elektromagnetik transversal
dengan panjang gelombang antara 400 mm sampai 600 mm.karena merupakan
gelombang elektromagnetik, cahaya tidak meemrlukan medium sebagai
21
perambatannya.
Sifat-sifat cahaya:
1. cahaya merambat lurus
2. cahaya dapat menembus benda bening
3. cahaya dapat dipantulkan.
4. cahya dapat dibiaskan (bila melalui dua medium yang
memiliki dua indeks bias yang berbeda.
5. cahaya monokromatis (cahaya putih) dapat diuraikan menjadi
beberapa cahaya berwarna.
6. cahaya memiliki energi.
7. cahaya dapat berbentuk gelombang.
8. cahaya dapat merambat tanpa medium perantara.
9. cahaya dipancarkan dalam bentuk radiasi.
2.4.1 Pemantulan Cahaya
Salah satu sifat dari gelombang adalah apabila melewati suatu medium atau penghalang, maka gelombang akan dipantulkan. Misalnya pemantulan pada cermin.
Gambar 2.14 Pemantulan Pada Benda Datar. Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
Berdasarkan jenis pemantulanya, pemantulan cahaya dibagi menjadi
pemantulan teratur dan pemantulan baur. Pemantulan teratur terjadi jika berkas
cahaya mengenai permukaan atau bidang pantul yang rata (misalnya permukaan
cermin datar), sehingga arah pantulnya sejajar. Pemantulan baur terjadi jika
berkas cahaya mengenai permukaan atau bidang pantul yang tidak rata (misal
permukaan logan kasar), sehingga arah pantulnya tersebar kesegala arah.
22
2.4.1.1 Hukum Pemantulan Cahaya
Mekanisme pemantulan yang terjadi dapat diselidiki dengan
menggunakan sebuah alat yang dinamakan cakra optik, dan berdasarkan hasil
pengukuran diperoleh hukum pematulan sebagai berikut:
1.Berkas sinar datang, sinar pantul, dan garis normal berada pada bidang
datar dan berpotongan di satu titik.
2.Sudut sinar datang sama dengan sudut sinar pantul.
Keterangan:
a) Garis normal merupakan garis yang tegak lurus bidang pantul.
b) Sudut datang merupakan sudut antara sinar datang dan garis
normal
c) Sudut pantul merupakan sudut antara sinar pantul dan garis
normal.
2.4.1.2 Pemantulan pada Cermin
Cermin merupakan sebuah bidang licin yang dapat memantulkan seluruh
cahaya yang jatuh pada bidangnya. Secara garis besar, cermin dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu: cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung.
Karakteristik pemantulan oleh ketiga jenis cermin ini bervariatif.
Ada dua jenis bayangan yang terbentuk dari pemantulan, yaitu: bayangan nyata
dan bayangn maya. Bayangan nyata merupakan bayangan yang terbentuk dari
perpotongan garis cahaya-cahaya pantul. Bayangan nyata dapat ditangkap oleh
layar. Sedangkan bayangan maya tidak dapat ditakap oleh layar tetapi bayanagn
dapat ditangakap oleh cermin.yang dibentuk dari perpanjangan cahaya pantul di
belakang cermin.
1. Pemantulan cahaya pada cermin datar
Cermin datar merupakan cermin yang permukaan pantulnya berupa
bidang datar. Cahaya yang jatuh atau mengenai cermin datar akan
dipantulkan kembali dan memenuhi hukum pemantulan. Bila sebuah
benda diletakan di depan cermin datar, maka adanya pemantulan
23
cahaya menyebabkan bayangan pada cermin datar, dan bayangan
benda terletak berpotongan perpanjangan sinar-sinar pantulnya.
Sifat bayangan yang dihasilkan adalah: maya, tegak, sama besar
Gambar 2.15 Pemantulan Dengan dua cermin. Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
Bila pada kasus khusus, jika terdapat dua buah cermin disusun
sedemikkian rupa sehingga membentuk sudut tetentu, maka
banyaknya bayangan yang terbentuk adalah:
n =
– 1 ............................. (2.8)
Keterangan :
n= banyaknya bayangan yang terbentuk
= sudut apit antara dua cermin.
2. Pemantulan pada cermin cekung
Tidak semua pemukaan cermin berupa bidang datar. Ada juga cermin
yang permukaannya melengkung, seperti cermin cekung dan cermin
cembung. Cermin cekung merupakan cermin yang permukaannya
melengkung ke arah dalam. contoh yang hampir mirip dengan cermin
cekung, yaitu pada permukaan sendok.
Pada cermin cekung terdapat beberapa titik penting, yaitu titik fokus
(F), titik pusat kelengkungan (C), dan titik pusat optik (A). Pada
cermin cekung, jarak antara titik pusat optic terhadap titik pusat
kelengkungan dinamakan jari-jari kelengkungan (R), dan nilainya
positif. Panjang jari-jari kelengkungan cermin cekung adalah 2 kali
24
panjang jarak fokus.
Pembentukan bayangan pada cermin cekung dapat digambarkan oleh
tiga sinar istimewa. Yaitu:
3. Sinar 1: Sinar yang datang sejajar dengan sumbu utama cermin
dipantulkan melalui titik fokus.
Gambar 2.16 Sinar Istimewa I Cermin Cekung.
Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
4. Sinar 2: Sinar yang datang melalui titik titik fokus dipantulkan
sejajar dengan sumbu cermin.
Gambar 2.17 Sinar istimewa II Pada Cermin Cekung. Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
5. Sinar 3: Sinar yang datang melalui tiitk pusat kelengkungan
cermin dipantulkan kembali sepanjang jalan yang sama pada saat
datang.
Gambar 2.18 Sinar Istimewa III Pada Cermin Cekung. Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
3.Pemantulan pada cermin cembung
Cermin yang permukaannya melengkung terdiri dari cermin
25
cekung dan cermin cembung. Pada cermin cembung terdapat
beberapa titik penting yang mirip dengan pada cermin cekung, yaitu
titik fokus (F), titik pusat kelengkungan (C), dan titik pusat optik (A).
Pada cermin cembung, jarak antara titik pusat optik terhadap titik
pusat kelengkungan dinamakan jari-jari kelengkungan (R) dan
nilainya negatif. Panjang jari-jari kelengkungan cermin cekung adalah
2 kali panjang jarak fokus.
Sebagaimana halnya pada cermin cekung, pembentukan bayangan
pada cermin cembung juga dapat digambarkan oleh tiga sinar
istimewa. Ketiga sinar istimewa tersebut antara lain:
1. Sinar 1: Sinar yang sejajar sumbu utama cermin dipantulkan
seolah-olah keluar dari titik fokus internal.
Gambar 2.19 Sinar Istimewa I Pada Cermin Cembung. Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
2. Sinar 2: Sinar yang datang menuju titik fokus internal akan
dipantulkan sejajar sumbu utama.
Gambar 2.20 Sinar Istimewa II Pada Cermin Cembung. Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
3. Sinar 3: Sinar yang datang menuju titik pusat kelengkungan
internal cermin dipantulkan seolah-olah keluar dari titik pusat
kelengkungan internal cermin.
26
Gambar 2.21 Sinar Istimewa III Pada Cermin Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com, 2012
Persaman pada cermin cekung maupun pada cermin cembung, hubungan
jarak benda (s), jarak bayangan (s’), jari-jari kelengkungan cermin (R), dan jarak
fokus(f) dinyatakanoleh persamaan:
=
…………..(2.9)
Keterangan:
= jarak benda ke cermin (m)
= jarak bayangan ke cermin (m)
f = jarak fokus cermin
karena diketahui bahwa panjang jari-jari kelengkungan adalah dua kali jarak
fokusnya, R= 2f, atau f = R sehingga persamaan di atas dapat dituliskan:
=
.................... (2.10)
Keterangan:
= jarak benda ke cermin (m)
= jarak bayangan ke cermin (m)
R = jari-jari kelengkunagn cermin (m)
Dalam menggunakan persamaan pada cermin cekung maupun cermin cembung,
ad a sejumlah aturan-aturan tanda berikut:
27
1. Untuk cermin cekung, f dan R bertanda positif (+)
2. Untuk cermin cembung, f dan R bertanda negatif (-)
3. Jarak benda (s) bertanda positif untuk benda nyata (di depan cermin) dan
bertanda negative untuk benda maya (di belakang cermin).
4. Jarak bayangan (s’) bertanda positif untuk bayangan nyata (di depan
cermin) dan bertanda negatif untuk bayangan maya (di belakang cermin).
Pembesaran bayangan pada cermin dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan:
M = │
│=│ │ ..................... (2.11)
Tanda harga mutlak (| |) menyatakan harga M selalu positif.
2.4.2 Pembiasan Cahaya
Pembiasan cahaya merupakan pembelokan gelombang cahaya yang
disebabkan adanya perubahan kelajuan gelombang cahaya ketika cahaya
merambat melalui dua zat yang indeks biasnya berbeda. Dengan demikian,
pembiasan cahya ini sangat ditentukan oleh indeks bias bahannya.
a. Indeks bias medium
Indeks bias suatu zat merupakan perbandingan cepat rambat cahaya pada
udara dengan cepat rambat cahaya pada medium lain. Semakin besar indeks bias
suatu benda, semakin besar cahaya dibelokan oleh zat tersebut. Dalam spectrum
cahaya tampak, panjang gelombang cahaya beragam dari gelombang merah
dengan panjang gelombang merah yang ternpanjang sampai panjang gelombang
ungu yang terpendek.
28
Tabel 2.1 Indeks Bias Beberapa Zat.
Nama zat N Nama zat N
Udara (0°c, 76
cmHg)
1,00029 Gliserin 1,48
Hydrogen (0°c,
76 cmHg)
1,00013 Balsam kanada 1,53
Karbondioksida 1.00045 Karbondisulfida 1,62
Air 1,33 Kaca kuarsa 1,45
Etanol 1,36 Kaca korona 1,53
Benzene 1,50 Kaca flinta 1,58 Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com
2.4.1.3 Hukum Pembiasan Cahaya
Sinar datang dari udara dibiaskan dalam kaca mendekati garis normal.
Demikian pula ketika sinar keluar dari kaca menuju udara, sinar dibiaskan
kembali. Bila besar sudut datangnya sinar diubah-ubah, maka besar sudut
sinar bias pun akan berubah.
“Perbandingan proyeksi sinar datang dan sinar bias ternyata merupakan
bilangan yang tetap”. Orang pertama yang menemukan bahwa terdapat
perbandingan yang tetap antara proyeksi sinar datang dengan proyeksi sinar
bias adalah seorang ilmuwan Belanda yang bernama Willebrord Snell. Oleh
karena itu, pernyataan tersebut dinamakan hukum Snell, atau lebih dikenal
dengan hukum Snellius.
Gambar 2.22 Hukum Snellius
Sumber: fisikamemangasyik.wordpress.com
Hukum Snellius atau hukum pembiasan menyatakan bahwa:
1. Sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang
datar dan ketiganya berpotongan di satu titik.
29
2. Apabila sinar melalui dua medium yang berbeda, maka hubungan sinar
datang, sinar bias, dan indeks bias medium dinyatakan oleh
persamaan:
=
.................... (2.12)
2.5 Fotometri
Fotometri adalah ilmu yang mempelajari pengukuran besaran-besaran
cahaya, meliputi aspek-aspek psikofisis energi radiasi yang dapat terlihat oleh
mata manusia. Besaran-besaran fotometri yang umum antara lain:
1. Fluks luminus
Fluks luminus atau fluks cahaya (Φ) adalah laju aliran energi cahaya, atau
energi radiasi yang telah dibebani dengan respon sensitivitas mata manusia per
satuan waktu. Fluks luminus memiliki satuan lumen (lm). Pada panjang
gelombang 555 nm, 1 watt daya radiasi suatu sumber cahaya setara nilainya
dengan fluks luminus sebesar 683 lumen.
Fluks luminus umumnya disebut juga keluaran cahaya, yaitu besaran yang
menyatakan kuantitas daya cahaya yang dihasilkan oleh suatu sumber cahaya.
2. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya atau intensitas luminus (I) adalah fluks luminus per satuan
sudut ruang (ω, dalam steradian) dalam arah tertentu. Intensitas cahaya
memiliki satuan candela (cd), atau setara dengan lumen/steradian.
I =
(cd) ...........................(2.13)
Sudut ruang (ω, dalam steradian) adalah sudut yang dibentuk oleh suatu bidang
pada permukaan bola, ditinjau dari titik pusat bola. Besarnya sudut ruang
tergantung dari luas bidang (A) dan radius (r) bola tersebut, yaitu:
30
…………………..(2.14)
Suatu bola penuh memiliki sudut ruang sebesar 4π (= 4πr2/r2) steradian,
sehingga suatu sumber cahaya berbentuk titik yang memancarkan cahaya
secara merata ke segala arah, akan memiliki intensitas cahaya sebesar Φ/(4π)
candela, dengan Φ adalah fluks luminus yang dipancarkan sumber cahaya
tersebut.
Umumnya sumber cahaya memiliki intensitas cahaya yang berbeda jika dilihat
dari sudut ruang yang berbeda. Meskipun demikian, intensitas cahaya selalu
bernilai tetap untuk sudut ruang yang sama.
33. Iluminansi
Luminansi atau tingkat pencahayaan (E) adalah fluks luminus yang datang
pada suatu permukaan per satuan luas (A, dalam m2) permukaan yang
menerima cahaya tersebut. Iluminansi memiliki satuan lux (lx) atau setara
dengan lumen/m2.
E=
(Lux) ……………….(2.15)
Iluminansi adalah besaran fotometri yang paling mudah diukur, yaitu dengan
menggunakan alat fotometer/luxmeter yang terdiri dari suatu sensor dioda yang
peka cahaya, dihubungkan dengan meter pembacaan setelah terlebih dahulu
dibobotkan menurut kurva sensitivitas mata manusia.
ω =
(rad)
31
Gambar 2.23 Hubungan Antara Iluminansi Dan Jarak (http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)
Dari Gambar 2.23 terlihat bahwa sebuah sumber titik memancarkan cahaya
dengan intensitas I cd pada arah sudut ruang ω. Sebuah bidang penerima pada
jarak r1 dari sumber tersebut menerima fluks luminus sebesar Φ lumen per
satuan luas bidang A1. Demikian juga sebuah bidang penerima pada jarak r2
dari sumber tersebut menerima menerima fluks luminus sebesar Φ lumen per
satuan luas bidang A2.
Hubungan matematis antara iluminansi, intensitas cahaya, dan jarak adalah:
………………………..(2.16)
Menurut persamaan 2.6, A = ωr2, sedangkan I = Φ/ω menurut persamaan 2.14 Maka:
E₁=
₁ =
₁ .....……………....(2.17)
dan
E₂=
₂ =
₂
E₁= ₁
dan
E₂= ₂
32
sehingga, perbandingan antara E1 dan E2 adalah
..…..…………..(2.18)
Persamaan 2,17 ini dikenal sebagai Hukum Kuadrat Terbalik (Inverse
Square Law) untuk cahaya. Hukum Kuadrat Terbalik hanya berlaku untuk sumber
cahaya yang berbentuk titik, atau pada jarak minimal 5 kali dimensi terbesar dari
suatu sumber cahaya. Pada jarak kurang dari 5 kali dimensi terbesar sumber,
pendekatan sumber titik tidak lagi dapat digunakan, dan untuk itu pendekatan
sumber garis atau sumber bidang harus digunakan.
Gambar 2.24 Iluminansi Pada Bidang Yang Tidak Tegak Lurus Arah Datangnya Cahaya (http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)
Pada Gambar 2.24, titik P terletak pada suatu bidang yang normalnya
(N) membentuk sudut sebesar α terhadap arah datangnya cahaya. Misalkan
bidang di mana titik P berada kini diputar sebesar sudut α sehingga menjadi
tegak lurus arah datangnya cahaya, maka iluminansi di titik P mula-mula (EP)
memiliki hubungan dengan iluminansi di titik P setelah bidangnya diputar (EP’)
sebagai berikut
…………………..(2.19)
Persamaan 2.11 disebut Hukum Cosinus Lambert. Tetapi persamaan
2.9 mengisyaratkan bahwa EP’ = Iθ/r2, dengan Iθ adalah intensitas cahaya dari
sumber (θ adalah sudut arah datangnya cahaya terhadap normal dari sumber)
dan r adalah jarak titik P ke sumber cahaya. Maka:
₁
₂ = (r₂/ r₁)²
EP = EP’ cos α
33
..…………………(2.20)
Persamaan 2.19 adalah gabungan dari Hukum Kuadrat Terbalik untuk cahaya
dengan Hukum Cosinus Lambert. Persamaan ini juga hanya berlaku untuk
pendekatan sumber titik.
4. Luminansi
Luminansi (L) adalah intensitas cahaya dari suatu permukaan dalam arah
tertentu (Iθ, dalam cd) per satuan luas proyeksi permukaan tersebut jika dilihat
dari arah yang dimaksud (Aθ, dalam m2). Luminansi memiliki satuan cd/m2.
…………………..(2.21)
Gambar 2.25 Luminansi Dari Suatu Bidang. (http://fisbang.tf.itb.ac.id, 2008)
Misalkan suatu bidang dengan luas penampang A diamati pada sudut θ dari
normal bidang. Maka luas proyeksi bidang tersebut ialah Aθ = A cos θ, yaitu
luas permukaan yang tampak oleh mata. Jika permukaan bidang tersebut
bersifat difus atau memantulkan cahaya secara merata ke segala arah, maka
luminansinya bernilai tetap walaupun diamati dari berbagai arah.
5. Faktor absorbsi
Sebagian dari cahaya yang mengenai sesuatu permukaan akan diserap oleh
permukaan itu. Bagian yang diserap ini menimbulkan panas pada permukaan
EP = Iθ/r2 COS α
L =
(cd/m²)
34
tersebut. Permukaan yang gelap dan buram menyerap banyak cahaya. Bagian
fluks cahaya yang diserap oleh suatu permukaan ditentukan oleh faktor
absorbsi (a) permukaan itu :
a =
……………...(2.22)
6. Faktor refleksi
Jumlah cahaya yang dipantulkan tidak saja ditentukan oleh mengkilatnya
suatu permukaan, tetapi juga ditentukan oleh sifat-sifat bahan permukaan
tersebut. Permukaan difus kadang-kadang dapat memantulkan lebih banyak
cahaya daripada suatu permukaan yang mengkilat. Bagian fluks cahaya yang
dipantulkan ditentukan oleh faktor refleksi (r) suatu permukaan :
r =
…………………... (2.23)
7. Faktor transmisi
Bahan-bahan tembus cahaya, seperti berbagai jenis kaca seluloida dan sebagainya, akan memantulkan atau menyerap sebagian saja dari cahaya yang mengenainya. Sebagian besar dari cahaya tersebut dapat menembus bahan tersebut bagian fluks cahaya yang dapat menembus, ditentukan oleh faktor transmisi (t) suatu bahan :
t =
………………………(2.24)
Dari persamaan 2.14, 2.15, 2.16 digabungkan dan didapatkan rumus untuk mencari seberapa besar nilai absorsbsi yang di serap, yang dapat dianalisa dengan rumus sebagai berikut :
a + r + t = 1 ..………………..(2.25)
8. Eksitansi luminus
Eksitansi luminus (M) adalah rasio antara fluks luminus yang dipantulkan (Φρ,
dalam lumen) atau yang ditransmisikan oleh suatu permukaan (Φτ, dalam
lumen) terhadap luas permukaan (A, dalam m2) yang menerima cahaya
tersebut. Eksitansi luminus memiliki satuan lumen/m2
35
.………………(2.26)
9. Efikasi
Efikasi atau efisiensi luminus (η) adalah rasio antara fluks luminus yang
dihasilkan suatu sumber cahaya listrik (Φ, dalam lumen) terhadap daya listrik
yang digunakan sebagai masukan (P, dalam Watt). Efikasi memiliki satuan
lumen/Watt.
....……….….(2.27)
2.5.1 Tingkat Pencahayaan
a. Tingkat Cahaya Rata-Rata (Erata-rata).
Tingkat pencahayaan pada suatu ruangan pada umumnya diartikan
sebagai tingkat pencahayaan pada bidang kerja. Bidang kerja di sini yaitu
bidang horisontal imajiner yang terletak 0,75 meter di atas lantai pada
seluruh ruangan. Tingkat pencahayaan rata-rata Erata-rata (lux), dapat
dihitung dengan persamaan:
Erata-rata =
(lux) ................. (2.28)
Keterangan:
Ftotal = fluks luminous total dari semua lampu yang menerangi
bidang kerja (lumen)
A = luas bidang kerja (m²)
Kp = koefisien penggunaan
Kd = koefisien depresiasi (penyusutan)
b. Koefiseien penggunaan(Kp)
sebagian dari cahaya yang dipancarkaan oleh lampu diserap oleh
armatur, sebagian sebagian dipancarkan ke arah atas dan sebagian lagi
dipancarkan ke arah bawah. Faktor penggunaan didefinisikan sebagai
perbandingan antara fliks luminous yang sampai di bidang kerja terhadap
Efikasi =
(Lumen/Watt)
36
keluaran cahaya yang dipancarkan oleh semua lampu.
Besarnya koefisien pengguna dipengaruhi oleh beberapa faktor di bawah
ini:
1. Distribusi dari cahaya armatur.
2. Perbandingan antara keluaran cahaya dari armatur dengan keluaran
cahaya dari lampu di dalam armatur.
3. Reflektansi cahaya dari langit-langit, dinding dan lantai,
4. Pemasangan armatur apakah menempel atau digantung pada langit-
langit.
5. Dimensi ruangan.
Besarnya koefisien pengguna untuk sebuah armatur, bisa diberikan
dalam bentuk tabel yang dikeluarkan oleh pabrik pembuat armatur yang
berdasarkan hasil pengujian dari instansi terkait.
Setiap pabrik atau instansi diharuskan untuk memberikan tabel Kp,
karena tanpa adanya tabel, perancangan pencahayan tidak dapat
dilakukan dengan baik.
c. Koefisien depresi
Koefisien depresi bisa disebut juga keofisien rugi-rugi cahaya atau
koeefisien pemeliharaan, disefinisikan sebagai pembandingan antara
tingkat pencahyaan setelah jangka waktu tertentu dari instalasi
pencahyaan digunakan terhadap tingkat pencahyaan pada waktu instalasi
baru.
Besarnya koefisiensi depresiasi dipengaruhi oleh:
1. Kebersihan dari lampu dan armatur.
2. Kebersihan dari permuakaan-permukaan ruangan.
3. Penurunan keluaran cahaya lampu selama waktu penggunaan.
4. Penurunan keluaran cahaya lampu karena penurunan tegangan
listrik.
Besarnya koefisien depresiasi biasanya ditentukan berdasarkan estimasi.
Untuk ruangan dan armatur dengan pemeliharaan yang baik pada
umumnya koefisien depresiasi diambil sebesar 0,8.
37
d. Jumlah armatur yang diperluakan untuk mendapatkan tingkat
pencahayaan tertentu. Untuk menghitung jumlah armatur,
terlebih dahulu dihitung jumlah fluks luminus total yang
diperlukan untuk mendapatkan tingkat pncahayaan yang
direncanakan dengan menggunakan persamaan:
Ftotal =
(lumen) ...................... (2.29)
Kemudian untuk menghitung jumlah armatur yaitu:
Jumlah Armatur =
.......... (2.30)
Sementara itu untuk mengetahui jumlah armatur perlu juga
diketahui fluks cahaya yang juga berarti jumlah lampu maka
dipergunakan rumus:
Fluks perarmatur =
Jumlah armatur perlampu fluks perlampu.....................(2.31)
e. Tingkat pencahayaan oleh komponen cahaya langsung.
Tingkat pencahyaan oleh komponen cahaya langsung pada
suatu titik pada bidang kerja dari sebuah sumber cahaya yang
dapat dianggap sebagai sumber cahaya titik, dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut:
Ep =
(lux) ...................... (2.32)
Keterangan:
I = intensitas cahaya pada sudut
H = tinggi armatur di atas bidang kerja (meter)
38
Gambar 2.26 Titik Penerima Komponen Langsung Dari Sumber Cahaya Titik.
Sumber: SNI 04-0202-1987
Jika terdapat beberapa armatur, maka tingkat pencahayaan tersebut merupakan
penjumlahan dari tingkat pencahayaan yang diakibatkan oleh masing-masing
armatur dan dinyatakan sebagai berikut :
Etotal = Ep1 + Ep2 + Ep3 + ……… ................... (2.33)
Adapun tabel tingkat pencahayaan minimum dan redensi warna yang di
rekomendasikan untuk berbagai ruangan.
2.5.2 Sistem Pencahayaan
Di bawah ini merupakan pengelompokan sistem pencahayaan:
a. Sistem pencahayaan merata.
Sistem pencahayaan ini merupakan tingkatan pecahayaan yang merata di
seluruh ruangan, sistem ini digunakan jika tugas visual dilakukan di seluruh
tempat dalam ruangan dan memerlukan tingkat pencahayaan yang sama.
Tingkat pencahayaan ini dapat diperoleh dengan memasang armatur secara
merata langsung atau diseluruh langit-langit.
b. Sistem pencahayaan setempat
Sistem ini merupakan tingkat pencahayaan yang tidak merata pada tempat
yang diperlukan. Jika tugas visual memerlukan tingkat pencahayaan yang
lebih tinggi, diberikakn cahaya yang lebih banyak dibandingkan dengan
sekitarnya.
Hal ini dapat diperoleh dengan mengkonsentrasikan penempatan armatur di
atas tempat tersebut.
39
c. Sistem pencahayaan gabungan antara merata dan setempat.
Sistem ini didapatkan dengan menambah sistem pencahayaan setempat pada
sistem pencahayaan merata dengan armatur yang dipasang berdekatan
dengan tugas visual.
Sistem pencahayan gabungan ini dianjurkan untuk digunakan pada:
1. Tugas visual yang memerlukan tingkat pencahayaan yang tinggi.
2. Memperliahatkan bentuk dan tekstur yang memerlukan cahaya datang
dari arah tertentu.
3. Pencahayaan merata terhalang, sehingga tidak sampai pada tempat yang
terhalang tersebut.
4. Tingkat pencahayaan yang lebih tinggi diperlukan untuk orang tua atau
yang kadar kemampuan penglihatannya sudah berkurang.
2.5.3 Kebutuhan Daya
Daya listrik yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat pencahayaan rata-
rata tertentu pada bidang kerja dapat dihitung mulai dengan persamaan 2.27 yang
digunakan untuk menghitung armatur. Di bawah ini merupakan perhitungan
jumlah lampu yang dibutuhkan.:
NLampu = NArmatur x n ..................................... (2.34)
Daya yang dibutuhkan untuk semua armatur dapat dihitung dengan persamaan :
WTotal = NLampu x W1 .................................... (2.35)
Keterangan :
W1 = daya setiap lampu termasuk Balast (Watt),
Dengan membagi daya total dengan luas bidang kerja, didapatkan kepadatan
daya (Watt/m²) yang dibutuhkan untuk sistem pencahayaan tersebut.
Kepadatan daya ini kemudian dapat dibandingkan dengan kepadatan daya
maksimum yang direkomendasikan dalam usaha konservasi energi, misalnya
untuk ruangan kantor 15 Watt/m² .
40
2.5.4 Distribusi Luminasi
Distribusi luminansi didalam medan penglihatan harus diperhatikan
sebagai pelengkap keberadaan nilai tingkat pencahayaan di dalam ruangan. Hal
penting yang harus diperhatikan pada distribusi luminansi adalah sebagai berikut :
a. Rentang luminasi permukaan langit-langit dan dinding.
b. Distribusi luminansi bidang kerja.
c. Nilai maksimum luminansi armatur (untuk menghindari kesilauan).
d. Skala luminansi untuk pencahayaan interior dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
Gambar 2.27 Skala Luminansi Untuk Pencahayaan Interior.
Sumber: SNI 04-0202-1987
1. Luminasi permukaan dinding
Luminansi permukaan dinding tergantung pada luminansi
obyek dan tingkat pencahayaan merata di dalam ruangan. Untuk tingkat
pencahayaan ruangan antara 500 ~ 2000 lux, maka luminansi dinding yang
optimum adalah 100 kandela/m².
Ada 2 (dua) cara pendekatan untuk mencapai nilai optimum ini,
yaitu :
a. Nilai reflektansi permukaan dinding ditentukan, tingkat
pencahayaan vertikal dihitung,
b. Tingkat pencahayaan vertikal diambil sebagai titik awal dan
reflektansi yang diperlukan dihitung. Nilai tipikal reflektansi
41
dinding yang dibutuhkan untuk mencapai luminansi dinding
yang optimum adalah antara 0,5 dan 0,8 untuk tingkat
pencahayaan rata-rata 500 lux, dan antara 0,4 dan 0,6 untuk
1000 lux.
2. Luminansi permukaan langit-langit
Luminansi langit-langit adalah fungsi dari iluminansi armatur,
seperti yang ditunjukkan pada grafik gambar.
Dari grafik ini terlihat jika luminansi armatur kurang dari 120 kandela/m²
maka langit-langit harus lebih terang dari pada terang armatur. Nilai untuk
iluminansi langit-langit tidak dapat dicapai dengan hanya menggunakan
armatur yang dipasang masuk ke dalam langit-langit sedemikian hingga
langit-langit akan diterangi hampir melulu dari cahaya yang direfleksikan
dari lantai.
Grafik 2.28 Luminansi Langit-Langit Terhadap Iluminansi Armatur.
Sumber: SNI 04-0202-1987
2.5.4.1 Distribusi Iluminansi Bidang Kerja.
Untuk memperbaiki kinerja penglihatan pada bidang kerja maka
iluminansi sekeliling sebuah bidang kerja harus lebih rendah dari
iluminansi bidang kerjanya, tetapi tidak kurang dari sepertiganya. Kinerja
penglihatan dapat diperbaiki jika ada tambahan kontras warna.
2.5.5 Kualitas Warna Cahaya
Kualitas warna suatu lampu memiliki dua karakteristik yang
sifatnya berbeda, yaitu:
a. Tampak warna yang dinyatakan dalam temperatur warna.
b. Renderansi warna yang dapat mempengaruhi penampilan
500
400
100
Kandela/m²
Kandela/m²
42
objek yang diberikan cahaya sebuah lampu.
Sumber cahaya mempunyai tampak warna yang sama dapat
mempunyai rederansi warna yang berbeda.
2.5.6 Tampak Warna
Sumber cahaya putih dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok
menurut tampak warnanya: Tabel 2.2 Sumber Cahaya Putih
Temperatur warna K
(Kelvin)
Tampak warna
>5300 Dingin
3300 ~ 5300 Sedang
< 3300 Hangat Sumber: SNI 04-0202-1987
Pemilihan warna lampu bergantung pada tingakat pencahayaan
yang diperlukan agar diperoleh pencahayaan yang nyaman. Berdasarkan
pengalaman secara umum, semakin tinggi tingkat pencahayaan yang diperlukan
semakin sejuk warna tampak yang dipilih sehingga tercipta pencahayaan yang
nyaman.
Kesan umum yang berhubungan dengan tingkat pencahayaan yang bermacam-
macam dan tampak warna yang berbeda pada lampu dapat dilihat pada tabel di
bawah ini: Tabel 2.3 Tingkat Pencahayaan Dan Tampak Warna Pada Lampu.
Tingkat
pencahayaan (lux)
Tampak warna lampu
Hangat Sedang Dingin
500 Nyaman Netral Dingin
500~1000 - - -
1000 ~ 2000 Stimulasi Nyaman Netral
2000 ~ 3000 - - -
µ 3000 Tidak alami Stimulsi Nyaman Sumber: SNI 04-0202-198
43
2.5.7 Renderasi warna
Disamping mengetahui tampak warna suatu lampu, diperlukan juga indeks
yang menyatakan apakah warna obyek tampak alami apabila diberi cahaya lampu.
Nilai maksimum secara teoritis dari indeks senderasi suatu warna adalah 100.
Sedangkan untuk aplikasi pada kehidupan sehari-hari, rederasi warna
dikelompokan berdasarkan tabel di bawah ini:
Tabel 2.4 Contoh Harga Ra Dan Temperatur Warna Untuk Beberapa Jenis Lampu.
Kelompok Rederasi
Warna
Rentang indeks
Rederasi Warna (Ra)
Tampak Warna
1 Ra > 85 Dingin
Sedang
Hangat
2 70 < Ra < 85 Dingin
Hangat
Sedang
3 40< Ra < 70
4 Ra < 40 Sumber: SNI 04-0202-1987
Tabel 2.5 Pengelompokan Renderasi Warna
Lampu Temperatur Warna (K) Ra
Fluoresen standar
White 4200 60
Cool daylight 6200 70
Fluoresen super
Warm white 3500 85
Cool white 4000 85
Cool daylight 6500 85
Merkuri tekanan tinggi 4100 50
Natrium tekanan tinggi 1950 25
Halida metal 4300 65 Sumber: SNI 04-0202-1987
44
2.6 Lampu
2.6.1 Spektrum Cahaya Lampu
Dua hal yang harus diperhatikan ketika memilih lampu, yaitu
tampak warna yang dinyatakan dalam temperatur warna dan efek warna
yang dinyatakan dalam indeks rederasi warna. Temperatur warna yang
tampak warnanya dingin memiliki suhu sebesar 5300 kelvin. Sedangkan
suhu temperatur 3300 ~ 5300 kelvin tampak warnanya sedang dan ketika
temperatur warna berada pada posisi dibawah 3300 kelvin memiliki
tampak warna yang hangat.
Indeks renderasi warna dinyatakan dengan angka 0 sampai dengan
100, dimana angka 100 menyatakan warna benda yang dilihat akan sesuai
dengan warna aslinya. Misal: pada lampu pijar dan lampu halogen
mempunyai indeks renderasi warna mendekati 100.
(SNI No. 04-1704-1989)
2.6.2 Efisiensi Lampu
Efisensi lampu atau yang sering juga disebut efikasi luminus,
menunjukan efisisensi lampu dari pengalihan energi listrik ke cahaya dan
dinyatakan dalam lumen per Watt (lumen/Watt).
Banyaknya cahaya yang dihasilkan oleh suatu lampu disebut fluks
luminus dengan satuan lumen. Efikasi luminus lampu bertambah dengan
bertambahnya daya lampu.
Untuk menentukan efisiensi lampu juga harus memperhatikan rugi-
rugi balast (daya lampu ditambah rugi-rugi ballast).
2.6.3 Umur Lampu dan Depresiasi
Ada beberapa cara untuk menentukan umur lampu, antara lain
yaitu:
a. Umur individual teknik
b. Umur rata-rata.
c. Umur minimum.
45
d. Umur rata-rata pengenal.
Selain bebrapa hal di atas, Keekonomisan lampu berdasarkan fluks
luminus dan umur teknik juga perlu dipertimbangkan. Yaitu banyaknya
jam menyala pada kombinasi antara depresiasi/ pengurangan fluks luminus
lampu dan kegagalan lampu.
Umur lampu juga bisa dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
temperatur ruang perubahan tegangan listrik, banyaknya pemutusan dan
penyambungan pada sakelar, dan jenis juga dipengaruhi oleh komponen
bantunya seperti ballast, starter dan kapasitor.
2.6.4 Jenis Lampu
a) Lampu Pijar
Lampu pijar menghasilkan cahaya dengan pemanasan listrik pada
filamennya yang bertempertur tinggi. Temperatur ini memberikan radiasi
dalam daerah tampak dari spektrum radiasi yang dhasilkan. Komponen
utama lampu pijar terdiri dari :
1) Filament
Semakin tinggi temperatur filamen semakin besar juga energi
yang jatuh pada spektrum radiasi tampak dan semakin besar pula
efikasi dari lampu. Pada saat ini filament yang digunakan adalah
tungsten.
2) Bola lampu
Filament suatu lampu pijar ditutup rapat dengan selubung gelas
yang dinamakan bola lampu. Bentuk bola (bentuk A), jamur
(bentuk E), bentuk lilin dan lustre dengan bola lampu bening,
susu atau buram dan dengan warna merah, hijau, biru atau
kuning. (lihat SNI No. 04-1704-1989 ).
3) Gas pengisi
Penguapan filamen dikurang dengan diisinya bola lampu dengan
gas inert. Gas ini pada umumnya dipakai adalah nitrogen dan
argon.
4) Kaki lampu
46
Untuk pemakaian umum, tersedia dua jenis yaitu : kaki lampu
berulir dan kaki lampu bayonet, yang diindentifikasikan dengan
huruf E (edison) dan B (Bayonet), selanjutnya diikuti dengan
angka yang menyatakan diameter kaki lampu dalam milimeter
(E27, E14 dan lain-lain). Bahan kaki lampu dari alumunium atau
kuningan.
Gambar 2.29 Lampu Pijar Beserta Bagiannya.
Sumber: astudioarchitect.com/2011/11/mengenal-jenis-jenis-lampupijar.html
5) Jenis lampu pijar khusus.
a. Lampu reflektor.
Lampu pijar yang memiliki reflektor terbuat dari metal tipis pada
permukaan dalam dari bola lampu memberikan arah intensitas
cahaya yang dipilih.( reflektor bagian dalam tidak boleh rusak
atau terkontaminasi)
Lampu ini memiliki dua jenis yaitu:
1) Lampu pressed glass yaitu lampu yang kokoh dan gelas
tahan panas. Pada bagian depan gelas mempunyai
beberapa jenis pancaran cahaya seprti spot, flood, wide
flood. Pemasangan lampu ini dapat dipasang secara
langsung sebagai pemasangan instalasi luar, tahan
terhadap cuaca.
2) Lampu blown bulb yaitu lampu yang menyerupai Lampu
pressed glass, hanya saja dalam pemasangannya hanya
bisa dipasang di dalam ruangan.
b. Lampu halogen
47
Lampu halogen merupakan lampu pijar biasa yang memiliki
filament bertemperatur tinggi dan dapat menyebabkan partikel
tungsten menguap serta berkondensasi pada dinding bola
lampu yang selanjutnya mengakibatkan penghitaman. Lampu
halogen berisi gas halogen (iodine, chlorine, chromine) yang
dapat mencegah penghitaman pada lampu.
Gambar 2.30 Lampu Halogen. Sumber: astudioarchitect.com/2011/11/mengenal-jenis-jenis-lampu-pijarhtm
c. Lampu pelepasan gas
Lampu ini memiliki cara keja yang berbeda dengan lampu
pijar. Lampu ini bekerja berdasarkan adanya pelepasan elektron
secara terus menerus di dalam uap yang diionisasi. Terkadang
dikombinasika dengan dengan fosfor yang berpendar.
Pada umunya lampu ini tidak dapat bekerja tanpa ballast
sebagai pembatas arus pada sirkit lampu.
Lampu pelepasan gas mempunyai tekanan gas tinggi atau
tekanan gas rendah. Gas yang sering dipaai adalah merkuri atau
natrium. Salah satu contoh lampu pelepasan gas tekanan rendah
dan memakai merkuri adalah lampu fluoresen tabung atau
lampu TL (tube lamp).
d. Lampu LED
merupakan singkatan dari Light Emitting Diode atau dioda cahaya.
Suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik
yang tidak koheren, ketika diberi tegangan maju. Gejala ini termasuk
bentuk elektro luminesensi. Warna yang dihasilkan bergantung pada
bahan semikonduktor yang dipakai, dan bisa juga ultraviolet dekat
atau inframerah dekat. Lampu LED memiliki beberapa keunggulan
48
dari lampu konvensional yang sebelumnya sering digunakan seperti
neon, bohlam dan lainnya. Oleh karena itu, lampu LED biasa disebut
sebagai lampu masa depan, dan mulai digunakan dari sekarang.
Beberapa Keuntungan yang didapat apabila menggunakan lampu LED:
1) Dengan menggunakan lampu LED kita bisa menghemat tagihan listrik.
Sebabnya, lampu pijar hanya bisa mengubah sekitar 8 % dari konsumsi
listrik yang digunakan menjadi cahaya. Bandingkan dengan lampu LED yang
bisa mengubah dua kali lipatnya yaitu sekitar 15-25% .
2) LED menghasilkan panas lebih sedikit. Dengan begitu selain hemat
konsumsi listrik dari lampu, juga hemat untuk konsumsi lsitrik pendingin.
3) Panas yang dihasilkan lampu yang sering kita gunakan selain tidak nyaman
untuk mata, juga bisa merubah warna dekorasi rumah. Apabila menggunakan
Lampu LED hal tersebut bisa dihindari karena kualitas dari pencahayaan
lampu dan manajemen panas LED lebih baik.
4) Lampu LED bebas dari bahaya merkuri jadi sangat aman digunakan di mana
saja.
5) Lampu LED jauh lebih tahan lama, 60 kali dari lampu pijar, dan 10 kali dari
lampu neon.
6) Lampu LED memiliki desain yang elegan, bahkan bisa memperindah interior
di ruangan.
Jenis lampu LED:
1) LED Luxeon atau High Power LED.
LED luxeon Merupakan LED khusus dengan teknologi chip LED
terbaru dan terefisien. Di bawah ini merupakan gambar dari LED
Luxeon .
49
Gambar 2.31Lampu Luxeon. Sumber: astudioarchitect.com/2011/11/mengenal-jenis-jenis-lampu-pijar.html
LED ini memiliki chip LED yang luas sehingga mampu mencapai
daya yang tinggi dan dapat menghasilkan sinar yang sangat terang.
Aplikasi LED ini adalah flood lighting, wall washer, backdrop lighting,
dan lain-lain. Tabel 2.6 Lampu luxeon.
Sumber: astudioarchitect.com/2011/11/mengenal-jenis-jenis-lampu-pijar.html
2) LED Super Fluks
LED super fluks dapat dilihat berdasarkan gambar di bawah ini:
Gambar 2.32 LED Super Lux.
Sumber: astudioarchitect.com/2011/11/mengenal-jenis-jenis-lampu-pijar.html
LED Superflux 3 mm dan 5 mm memiliki karakteristik sinar yang
50
terang (arus forward = 150mA, dibandingkan LED 5 mm biasa hanya
5mA). Memiliki focusing lens agar cahaya LED dapat terlihat jelas meski
pada siang hari. Sangat sesuai untuk penggunaan yang membutuhkan
kekuatan akibat goncangan karena memiliki 4 kaki, lebih rigid dibanding
LED 2 kaki lainnya.
3) LED SMD ukuran 5050
Di bawah ini merupakan salah satu contoh gambar dari LED SMD
dengan ukuran 5050.
Gambar 2.33 LED SMD. Sumber: astudioarchitect.com/2011/11/mengenal-jenis-jenis-lampu-pijar.html
LED smd ukuran 5050 (sekitar 6x6 mm) dengan isi 3 chip LED, memiliki
anoda dan katoda yang terpisah untuk masing-masing chip LED. Led ini memiliki
variasi warna yaitu: super white, merah, hijau, biru , kuning,, dan RGB.
2.6.5 Armatur
Armatur adalah rumah lampu yang digunakan untuk mengendalikan dan
mendistribusikan cahaya yang dipancarkan oleh lampu yang dipasang di
dalamnya, dilengkapi dengan peralatan untuk melindungi lampu dan peralatan
pengendalian listrik
2.6.6 Cara Pemilihan Armatur
Untuk memilih armatur yang akan digunakan, perlu dipertimbangakan
faktor-fator yang berhubungan dengan pencahayaan di bawah ini:
a. Distribusi intensitas cahaya.
b. Efisiensi cahaya.
c. Koefisien pengguna.
d. Perlindungan terhadap kejutan listrik.
e. Ketahanan terhadap masuknya air dan debu.
51
f. Ketahanan terhadap timbulnya ledakan dan kebakaran.
g. Kebisingan yang ditimbulkan.
2.6.7 Distribusi intensitas cahaya
Data distribusi intensitas cahaya pada umumnya dinyatakan dalam suatu
diagram polar yang berupa kurva-kurva yang memberikan hubungan antara
besarnya intensitas terhadap arah dari intensitas tersebut. Untuk armatur yang
memancarkan distribusi cahaya simetris hanya diperlukan diagram polar dari
suatu bidang vertikal yang memotong armatur melalui sumbu armatur.
Untuk sumbu armatur yang tidak simetris, misalnya armatur lampu
fluoresen (TL), paling sedikit diperluakan dua diagram polar, masing-masing pada
bidang vertikal yang terletak memanjang melalui sumbu armatur dan bidang
vertical yang tegak lurus pada sumbu tersebut. Seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.34 Diagram Polar Untuk Armatur Pada Bidang Vertikal. Sumber: SNI 04-0202-1987
2.6.8 Klasifikasi armatur
a. Klasifikasi berdasarkan arah dari distribusi cahaya.
Berdasrkan distribusi intensitas cahayanya, armatur dapat dikelompokan
menurut prosentase dari jumlah cahaya yang dipancarkan ke arah atas dan
ke arah bawah bidang horizontal yang melewati titik tengah armatur
adalah sebagai berikut:
52
Tabel 2.8 Klasifikasi Armatur Berdasarkan Arah Dari Distribusi Cahaya.
Kelas Armatur Jumlah Cahaya
Ke arah atas (%) Ke arah bawah (%)
Langsung 0 ~10 90 ~ 100
Semi langsung 10 ~ 40 60 ~ 90
Difus 40 ~ 60 40 ~ 60
Langsung-tidak
langsung
40 ~ 60
40 ~ 60
Semi tidak
langsung
60 ~ 90 10 ~ 40
Tidak langsung 90 ~ 100 0 ~ 10 Sumber: SNI 04-0202-1987
b. Klasifikasi berdasarkan proteksi terhadap debu dan air.
Kemampuan klasifikasi berdasarkan SNI 04-0202-1987
dinyatakan dengan IP ditambah dua angka.angka pertama menyatakan
perlindungan terhadap debu dan angka kedua terhadap air. Contoh: IP 55
menyatakan armatur dilindungi terhadap debu dan semburan air(lihat lampiran
1.2).
c. Klasifikasi berdasarkan proteksi terhadap kejutan listrik Tabel 2.8 Klasifikasi Menurut C.E.E Terhadap Jenis Proteksi Listrik.
Catatan : CEE = International Commission for Comformity Certification of Electrical
Equipment.
Kelas
Armatur
Pengaman Listrik
0 Armatur dengan insulasi fungsional, tanpa pentanahan,
I Paling tidak mempunyai insulasi fungsional, terminal
untuk pembumian
II Mempunyai insulasi rangkap, tanpa pentanahan.
III Armatur yang direncanakan untuk jaringan listrik
tegangan rendah. Sumber: SNI 04-0202-1987
53
d. Klasifikasi berdasarkan cara pemasangan
Berdasarkan cara pemasangan, armatur dapat dikelompokan menjadi:
1. Armatur yang dipasang masuk ke dalam langit-langit.
2. Armatur yang dipasang menempel pada langit-langit.
3. Armatur yang digantung pada langit-langit.
4. Armatur yang dipasang pada dinding
2.6.9 Efisiensi Cahaya Armatur
Jumlah cahaya yang dipantulkan atau dipancarkan oleh armatur akan
selalu lebih kecil dari pada jumlah cahaya yang dipancarkan oleh lampu di dalam
armatur tersebut. Perbandingan antara kedua jumlah cahaya ini disebut efisiensi
cahaya dari armatur.
Besarnya efisiensi cahaya dipengaruhi oleh penyerapan cahaya yang
terjadi dalam armatur. Misalnnya oleh penutup armatur untuk meneruskan cahaya
yang terlalu buram dan oleh permukaan dalam armatur (reflektor yang kurang
merefleksi cahaya).
2.7 Pengujian, Pengoperasian dan Pemeliharaan Pencahayaan
2.7.1 Pengujian
Pengujian sistem pencahayaan dimaksudkan untuk mengetahui dan
menilai kondisi suatu sistem pencahayaan. Apakah pencahayaan tersebut masih
sudah memenuhi standar ataukah belum sesuai ketentuan pencahayaan yang
berlaku.
Pengujian itu dimaksudkan untuk memeriksa:
a. Tingkat pencahayaan (lux).
b. Indeks kesilauan.
Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya, tingkat pencahayaan dari
sebuah sumber cahaya buatan dipengaruhi oleh banyak faktor. Antara lain: posisi
pemasangan, umur lampu, pemeliharaan, dan tegangan listrik. Begitu juga dengan
tingkat kesilauaan dipengaruhi oleh pemasangan dan penggunaan armatur,
penempatan lampu, posisi pengamat terhadap sumber cahaya dan kontras serta
luminasi.
54
2.7.1.1 Pengujian Tingkat Pencahayaan
Tingkat pencahayaan dihitung menggunakan persamaan 9 dengan
menggunakann lux-meter, tingkat pencahayaan untuk bidang kerja diukur secara
horizontal 75 cm di atas permukaan lantai, sedangkan untuk suatu luasan tertentu,
tingkat pencahayaan diperoleh dengan mengambil nilai rata-rata dari beberapa
titik pengukuran.
Tingkat pencahayaan yang diperlukan harus disesuaikan dengan jenis
kegiatan yang dilakukan. Tingkat pencahayaan yang digunakan tidak boleh lebih
kecil dari nilai yang telah ditetapkan.
Perlu diperhatikan pula bahwa cahaya yang dipancarkan oleh sumber
cahaya, tidak semua sampai pada bidang kerja. Karena sebagian cahaya
dipantulkan dan diserap oleh dinding, lantai dan peralatan lain dalam ruangan
tersebut. Fluks luminus cahaya yang dipancarkan akan menurun dari waktu ke
waktu karena faktor kebersihan armatur dan lampu, umur dan pengaruh turunnya
tegangan listrik.
2.7.1.2 Pengujian Tingkat Kesilauan
Silau dapat mengakibatkan terganggunya kemampuan penglihatan dan
juga dapat menyebabkan keletihan, perasaan tidak nyaman serta dapat pula
menurunkan semangat kerja. Silau biasanya berasal dari sumber cahaya, seperti
matahari, cahaya lampu maupun refleksi dari objek yang mengkilat.
Faktor yang mempengaruhi silau adalah luminasi, besarnya sumber
cahaya, posisi pengamat terhadap sumber cahaya, letak sumber cahaya yang
terdapat di depan sudut penglihatan dan kontras antara permukaan terang dan
gelap.
Silau yang langsung disebabkan oleh sumber cahaya buatan dapat
dihindari dengan memakai armatur yang dilengkapi kisi-kisi, juga memperhatikan
pemasangan lampu yang tidak melintang dengan pengamat.
Sampai pada saat ini standar atau ketentuan indeks kesilauan belum diterapkan,
sehingga untuk maksud pengujian belum dianjurkan.
Semua lampu yang berasal pada sudut pandang 45° ~ 50° akan
55
menimbulkan silau. Cara untuk menghindari kesilauan tersebut, luminasi pada
lampu harus dikurangi.
2.7.2 Pengoperasian
Pada pengoperasian instalasi sistem pencahayaan dalam suatu bangunan,
maka perencanaan penempatan alat kendali perlu mendapatkan perhatian.
Sehingga tata cahaya dapat dikendalikan dengan baik.
2.7.3 Penurunan Kerja Armatur
Kinerja armatur berangsur-angsur menurun dengan bertambahnya waktu.
Hal ini disebabkan oleh :
a). akumulasi debu atau kotoran lain pada permukaan refraktor maupun reflektor,
dan
b). perubahan warna pada kedua permukaan tersebut akibat bertambahnya umur,
karena radiasi cahaya lampu atau korosi.
Pada umumnya untuk menentukan jadwal pemeliharaan, faktor biaya,
kesesuaian waktu pelaksanaan dan efisiensi sistem pencahayaan menjadi faktor-
faktor yang harus diperhitungkan. Pada umumnya pembersihan dilakukan
minimal setahun sekali (meskipun untuk tempat-tempat tertentu hal ini tidak
cukup). Lebih baik apabila waktu pembersihan ini dilakukan bersamaan waktunya
dengan waktu penggantian lampu.
Gambar 2.35 Zona Pandang Kritis. Sumber: SNI 04-0202-1987
56