bab ii dasar teori ii.1. material baja. kekuatan dan daktilitas dari material adalah dua...
TRANSCRIPT
11
BAB II
DASAR TEORI
II.1. Material Baja.
Baja merupakan material campuran (alloy) dengan komponen utama berupa besi (Fe)
beserta sejumlah karbon dan sebagian kecil senyawa lainnya. Berbagai variasi
properti baja tersebut (kekuatan dan daktilitas) ditentukan oleh komposisi kimiawi
dari sejumlah komponen pembentuknya[15].
Karbon merupakan komponen pendukung yang penting selain besi. Senyawa ini
sangat signifikan dalam memberikan kontribusi peningkatan nilai kekuatan
(strength) namun cenderung menurunkan sifat daktilitas (ductility)[15]. Sejumlah
komponen lain yang ikut berkontribusi dalam pembentukan senyawa baja adalah
mangan, tembaga, nikel, krom, molybdenum dan silikon. Berdasarkan kadar
komponen kimiawi tersebut maka ketetapan ASTM A.6 secara umum
menjadikannya sebagai dasar terhadap pengklasifikasian material baja dalam 5 jenis,
yaitu :
1. Carbon Steel dengan tegangan leleh berkisar antara 33 s/d 36 ksi (228 dan 248
MPa), yaitu kategori baja yang beberapa klasifikasinya berdasarkan pada
persentase karbon. Carbon Steel terbagi menjadi empat, yaitu : low carbon
(kurang dari 0,15%), mild carbon (0,15-0,29%), medium carbon (0,3-0,59%)
dan high carbon (0,6-1,7%). Tipe yang umum digunakan untuk jenis ini adalah
grade A36 dan Fe37, dengan tegangan leleh nominal fy=250 MPa.
2. High strength steel dengan tegangan leleh berkisar antara 42 dan 50 ksi (290
dan 345 MPa). Contoh kategori ini adalah baja A588.
3. High Strength Low-Alloy Steel, baja ini mempunyai tegangan leleh berkisar 40-
65 ksi (278-448 MPa) termasuk pada tipe A242, A441, A572, A588 dan Fe52.
4. Quenched and Tempered carbon steel, dengan tegangan leleh berkisar antara
50 dan 60 ksi (345 dan 414 MPa) yang termasuk tipe ini adalah A537.
5. Alloy Steel, baja jenis ini mempunyai tegangan leleh berkisar 90-100 ksi (621-
689 MPa), termasuk jenis ini tipe A514 dan A517.
12
Pengetahuan mengenai data properti material merupakan persyaratan utama untuk
analisis dari sejumlah sistem struktur. Parameter kekuatan dan daktilitas dari material
adalah dua karakteristik yang sangat dibutuhkan oleh para disainer. Properti material
sering dideskripsikan dalam bentuk hubungan tegangan regangan yang merupakan
karakteristik dari sejumlah baja struktural.
Dari Gambar II.1 terlihat 4 zona perilaku yaitu : zona elastik, zona plastik, zona
strain hardening dan zona sepanjang peristiwa terjadinya necking serta diakhiri
dengan kegagalan (failure). Keterangan berikut merupakan penjelasan dari Gambar
II.1 dibawah :
Dalam zona awal regangan, tegangan dan regangan bersifat proporsional,
kemiringan linier yang ada merupakan modulus young (E) yang disebut juga
sebagai modulus elastisitas. Daerah ini dinamakan sebagai zona elastik, zona ini
berakhir dengan ditandai tercapainya kelelehan material (fy).
Setelah awal kelelehan terjadi zona berbentuk garis datar (flat plateau), pada
zona ini setiap peningkatan nilai regangan yang terjadi tidak ada peningkatan
tegangan yang mengiringinya. Daerah ini disebut sebagai zona plato plastik.
Saat zona plato plastik berakhir, strain hardening mulai terjadi dan secara
bertahap meningkatkan nilai tegangan sampai mencapai ultimit (fu). Setelah itu
tegangan cenderung menurun dengan bertambahnya regangan sebagai indikasi
masuknya daerah necking yang akan diakhiri dengan kegagalan fraktur.
Gambar II.1 Kurva tegangan-regangan material baja[23]
Stress
Plateau Plastic
Strain Hardening Zone
Failure
Strain (ε) Elastic
fy
fu
Necking Zone
εy εs εu εr
13
Bahan baja yang dinilai baik dalam kontribusinya terhadap perilaku struktur terutama
dalam memikul beban gempa (siklik) yaitu yang memiliki daerah strain hardening
dan daerah necking yang panjang. Sifat ini menyebabkan baja akan berperilaku
daktail sehingga secara struktural akan berperan besar dalam proses redistribusi
tegangan saat terjadinya plastifikasi.
II.2. Struktur Rangka Baja Eksentrik (SRBE).
Struktur Rangka Baja Eksentrik (SRBE) atau Eccentric Brace Frame (EBF) seperti
pada Gambar II.2 diperkenalkan pertama kali tahun 70-an, yang kemudian dipelajari
lebih lanjut perilakunya akibat berbagai beban siklik oleh Popov. SRBE ini memiliki
daktilitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Concentric Braced Frame
(CBF).
Tingginya nilai daktilitas ini disebabkan karena adanya bagian elemen dari balok
(yang disebut link) yang akan dijadikan sebagai lokasi penyerapan energi jika terjadi
gaya inersia akibat adanya beban gempa. Serapan energi (disipasi) tersebut dilakukan
lewat mekanisme plastifikasi atau pelelehan profil link. Kelelehan tersebut
mekanismenya dapat diatur berupa leleh kegagalan lentur ataupun kegagalan geser
yang ditentukan oleh seberapa panjang elemen link itu adanya.
Dalam konsep umum disain SRBE elemen link sudah ditetapkan sebagai bagian yang
akan rusak sedangkan elemen lain diharapkan tetap berada dalam kondisi elastik.
Dengan konsep demikian stabilitas struktur secara keseluruhan dapat dipertahankan
dalam kondisi gempa kuat yang terburuk sehingga konsekuensinya keselamatan jiwa
dari penghuni bangunan dapat diselamatkan (kriteria kinerja collapse prevention
pada performance base design concept).
14
Gambar II.2 Struktur rangka baja eksentrik (SRBE)
II.3. Konsep Perencanaan Link.
Klasifikasi link pada SRBE secara umum dapat digolongkan sebagai link momen
atau link geser, tergantung panjang elemen link tersebut. Berdasarkan kajian yang
telah dilakukan Popov dan Ghobarah[8], perilaku link geser terbukti memberikan
tingkat penyerapan energi yang lebih tinggi daripada link momen, karena mekanisme
kelelehan geser yang dimiliki link geser memiliki kapasitas daktilitas yang tinggi.
Link adalah elemen yang berperilaku sebagai balok pendek yang pada kedua sisinya
bekerja gaya geser dengan arah yang berlawanan serta momen yang diakibatkan oleh
gaya geser tersebut. Karena gaya geser yang bekerja berlawanan arah, momen yang
bekerja pada ujung-ujung elemen link mempunyai besar dan arah yang sama seperti
terlihat pada Gambar II.3.
Gambar II.3 Gaya-gaya yang bekerja pada link
Link
Link
M+
M+
V+
V-
15
Perilaku yang penting dari link adalah diharapkannya aksi inelastik terjadi dalam
tahap awal, dengan demikian peraturan[2] memberikan jaminan bahwa stabilitas
inelastik dapat terjadi dalam elemen link. Batas lebar dan ketebalan elemen link
ditetapkan dalam peraturan tabel I-8-1[2]. Berdasarkan riset terbaru tentang tekuk
lokal pada link (Okazaki, Arce, Ryu and Engelhardt-2004, Richards, Uang, Okazaki
and Engelhardt-2004)[4] batas lebar dan tebal pelat sayap untuk link dengan panjang
1.6Mp/Vp atau kurang dapat di perlonggar dari yf
E3.0 menjadi yf
E38.0 . Batas
ini berpadanan dengan λp pada tabel B4.1 pada peraturan[2].
Sebagai aturan tambahan, perkuatan pada link dengan pelat ganda pada pelat badan
tidak diizinkan karena tidak berpartisipasi secara penuh dalam membentuk
mekanisme deformasi inelastik. Disamping itu penetrasi pelat badan pada link juga
tidak diizinkan karena mempunyai efek merugikan dalam perilaku inelastik link.
Klasifikasi link berdasarkan perbedaan panjang maka uraiannya adalah sebagai
berikut[8] :
a. Link geser murni, e ≤ 1.6 Mp/Vp
Kelelehan pada link jenis ini didominasi oleh geser.
b. Link dominan geser, 1.6 Mp/Vp ≤ e ≤ 2.6 Mp/Vp
Kelelehan pada link jenis ini merupakan kombinasi antara geser dan lentur
c. Link dominan lentur 2.6 Mp/Vp < e ≤ 5 Mp/Vp
Kelelehan pada link jenis ini merupakan kombinasi antara geser dan lentur
d. Link lentur murni e ≥ 5 Mp/Vp
Kelelehan pada link jenis ini didominasi oleh lentur
Sesuai dengan fungsinya sebagai sekering yang mendisipasikan energi lewat
mekanisme sendi plastik (fully plastic hinge mechanism) maka link tidak boleh
mengalami tekuk elastik dan tekuk inelastik (partially plastic buckling) sebelum
kapasitas rotasi sendi plastik yang disyaratkan dalam peraturan tercapai. Oleh karena
itu dalam pemilihan penampang link yang akan dipakai sesuai dengan modulus
elastisitas (E) dan mutu baja yang dipakai (fy) telah ditetapkan batasan kelangsingan
16
yang harus dipenuhi sesuai dengan peraturan[1,2,3] yang berlaku. Setelah terpenuhinya
syarat kelangsingan suatu profil link yang dipilih dalam disain maka tahapan
selanjutnya yang harus di perhitungkan adalah syarat panjang tekuk elastik dan
inelastik dari link.
Pengecekan kapasitas geser plastis pada link dilakukan sesuai dengan rumus (II.1.a)
dan (II.1.b) :
wyp Af6.0V ⋅⋅= ................................................................................................ (II.1.a)
dimana :
( ) wwfww htt2htA ⋅=⋅−⋅= ........................................................................... (II.1.b)
dengan :
Aw = Luas efektif pelat badan
tw = Tebal pelat badan
tf = Tebal pelat sayap
h = Tinggi profil
Perumusan diatas berlaku langsung apabila nilai efek dari gaya aksial berfaktor (Pu)
yang terjadi pada elemen link dalam kondisi Pu ≤ 0.15 Py, sedangkan apabila kondisi
yang terpenuhi adalah Pu > 0.15 Py maka persyaratan tambahan yang harus dipenuhi
sesuai dengan ketentuan pada peraturan yang berlaku[2].
Tahapan selanjutnya adalah penentuan apakah link termasuk jenis link geser atau
link lentur. Panjang link yang disyaratkan (eall) untuk memenuhi kriteria sebagai link
geser adalah sesuai dengan rumus (II.2.) berikut :
P
Pall V
M6.1e ⋅= ...................................................................................................... (II.2.)
Dengan demikian apabila eada < eall berarti link bisa dimasukkan dalam kriteria
berperilaku sebagai link pendek. Dalam kriteria sebagai link pendek/geser maka
dalam pengembangan kapasitas rotasinya yang paling menentukan adalah
tercapainya kegagalan geser terlebih dahulu sebelum keruntuhan terjadi. Kegagalan
geser ditandai dengan terjadinya tekuk pelat badan atau fraktur pada pelat badan
17
sebelum rotasi maksimum yang disyaratkan tercapai ketika terjadinya proses disipasi
energi.
Sedangkan apabila yang terpenuhi persyaratan link panjang seperti rumus (II.3.)
yaitu eada > eall maka dalam pengembangan kapasitas rotasinya yang paling
menentukan adalah tercapainya kegagalan lentur terlebih dahulu sebelum keruntuhan
terjadi. Kegagalan lentur ditandai dengan terjadinya tekuk lokal pelat sayap atau
fraktur las pada pelat sayap sebelum rotasi maksimum yang disyaratkan tercapai
sewaktu terjadinya proses disipasi energi.
P
Pall V
M6.2e ⋅= ...................................................................................................... (II.3.)
Dalam persyaratan disain selanjutnya yang harus dipenuhi oleh sebuah link adalah
permasalahan sudut rotasi. Definisi dari sudut rotasi link adalah sudut inelastik
diantara link dan balok diluar link ketika total drift (simpangan) tingkat sama dengan
simpangan tingkat disain. Sudut rotasi ini tidak boleh melebihi nilai-nilai berikut[2] :
0.08 radian untuk link dengan panjang 1.6MP/VP atau kurang.
0.02 radian untuk link dengan panjang 2.6MP/VP atau lebih.
Nilai bisa ditentukan dengan interpolasi linier diantara nilia-nilai diatas untuk
link dengan panjang diantara 1.6MP/VP dan 2.6MP/VP.
Rotasi link ini dapat diperkirakan dengan asumsi bahwa bentang SRBE akan
berdeformasi dalam bentuk mekanisme rigid-plastic yang diilustrasikan seperti pada
Gambar II.4. sampai Gambar II.6. dibawah untuk berbagai variasi SRBE. Dalam
gambar tersebut sudut rotasi link di simbolkan dengan γp. Sudut rotasi link ini
berhubungan dengan sudut simpangan tingkat yang dinotasikan dengan θp, dengan
menggunakan hubungan seperti yang terlihat pada gambar dibawah. Sudut plastis
simpangan tingkat selanjutnya dapat dihitung dalam bentuk besaran simpangan
tingkat plastis, Δp yang dibagi dengan tinggi tingkat h. Secara matematis formulasi
sudut rotasi link dapat disusun dalam bentuk[2]:
heL
eL p
pp ⋅
Δ⋅=θ=γ (untuk 1 link gambar II.4. dan II.5.) ..................................... (II.4.)
18
he2L
e2L p
pp ⋅⋅
Δ⋅=θ
⋅=γ (untuk 2 link/gambar II.6.) ................................................ (II.5.)
Gambar II.4. SRBE tipe Split K Brace[2] Gambar II.5. SRBE tipe D Brace[2]
Gambar II.6. SRBE tipe V Brace[2]
Dimana :
L = Lebar bentang
h = Tinggi tingkat
Δp= Simpangan (drift) tingkat plastis
θp = Sudut simpangan tingkat plastis (radian)
γp = Sudut rotasi plastis link.
Detailing elemen link yang tidak kalah pentingnya adalah pengaku badan link.
Detailing yang tepat dan badan link yang kaku dapat menjamin stabilitas, daktilitas
dan perilaku yang bisa diprediksi dibawah beban siklik. Pengaku setinggi badan
penuh diperlukan pada sisi-sisi ujung link agar bisa mentransfer gaya geser sebaik
mungkin tanpa terjadi tekuk badan[2].
19
Untuk link yang berperilaku sebagai link geser/pendek, jarak maximum pengaku
badan bagian tengah sangat tergantung pada besaran sudut rotasi link, semakin besar
sudut rotasi link maka akan semakin rapat pengakunya. Pengaku badan bagian
tengah pada link geser ini berfungsi untuk memperlambat terjadinya tekuk geser
inelastik pada badan[2].
Sedangkan untuk link yang berperilaku sebagai link lentur/panjang, pengaku badan
bagian tengah berfungsi untuk membatasi penurunan kekuatan yang disebabkan
tekuk lokal pelat sayap (flange local buckling) dan tekuk lateral torsi[2].
Pada kedua jenis link diatas pengaku badan link bagian tengah dipersyaratkan ada
pada kedua sisi badannya khusus untuk link dengan tinggi h=635 mm atau lebih.
Sedangkan untuk link yang lebih pendek dari 635 mm pengaku badan tadi hanya
dibutuhkan pada satu sisi saja[2].
Persyaratan yang penting untuk pengaku badan link adalah semua pengaku tersebut
dipersyaratkan untuk dilas fillet (sudut) ke badan dan sayap link. Pengaku tadi perlu
diperhatikan detailnya secara lebih seksama untuk menghindari pengelasan dalam
area-k dari link. Dari riset-riset yang dipublikasikan belakangan ini cenderung
mengindikasikan las pengaku badan yang diperpanjang sampai ke area-k dapat
menyebabkan fraktur badan dan akan mereduksi kapasitas rotasi plastis dari link[2].
Secara detail menurut peraturan perencanaan pengaku badan link adalah sebagai
berikut[2] :
a. Di titik pertemuan dengan batang bresing atau di sisi-sisi ujung link dipasang
pengaku link setinggi badan dan mempunyai lebar total tidak kurang dari (bf –
2tw) serta ketebalan yang tidak kurang dari nilai terbesar 0.75tw atau 3/8 inch
(10mm), dengan bf dan tw adalah lebar pelat sayap dan tebal pelat badan link.
b. Selain itu pada link juga dibutuhkan pengaku badan antara (link intermediate
stiffener) dengan ketentuan sebagai berikut :
20
Tabel II.1 Klasifikasi jarak pengaku badan[2]
No Panjang Link Jenis Link Rotasi Jarak Pengaku
Maximum
1 P
P
VM6.1e ≤ Geser murni
0.08 30.tw - d/5
< 0.02 52.tw - d/5
2 P
P
P
P
VM
6.2eVM
6.1 ≤< Dominan geser 1 dan 3 dipenuhi
3 P
P
P
P
VM
5eVM
6.2 ≤< Dominan lentur 0.02 1.5 bf dari tiap ujung link
4 P
P
VM
5e > Lentur murni Tidak memerlukan
pengaku antara
Sebagai ilustrasi untuk memperjelas bentuk dan posisi link stiffener dapat
dilihat pada Gambar II.7 seperti dibawah ini :
Gambar II.7 Tipe detail intermediate stiffener dan bresing[2]
II.4. Konsep Perencanaan Sambungan Link.
Beberapa persyaratan dalam perencanaan sambungan link pada struktur SRBE
adalah sebagai berikut :
Sambungan harus mampu memikul sudut rotasi link maximum yang
didasarkan pada panjang link.
Kuat sambungan minimal lebih besar daripada kuat geser nominal Vn dari link.
21
Sambungan dapat memenuhi kedua persyaratan diatas dengan menyediakan
bukti hasil pengujian yang memenuhi prosedur dalam peraturan. Bukti tersebut
dapat diambil dari sumber-sumber berikut :
a. Pengujian yang tercantum pada literatur penelitian atau dokumentasi
pengujian untuk proyek penelitian yang sesuai.
b. Pengujian yang dilakukan secara spesifik dan memiliki besaran berupa
dimensi profil, kekuatan material, konfigurasi sambungan dan proses
pemasangan yang representatif.
Untuk memenuhi persyaratan link harus mampu memikul sudut rotasi maksimum
secara tidak langsung berarti seluruh elemen sambungan link harus didisain dalam
kondisi lebih kuat dari link, terutama bisa mengakomodasi link dalam kondisi ultimit
atau strain hardening.
Dengan demikian baik untuk link lentur yang kekuatannya ditentukan oleh MP
maupun untuk link geser yang kekuatannya ditentukan oleh VP, maka kedua
parameter tersebut harus dikalikan dengan Ry dan faktor perkuatan lebih atau
overstrength (Ov) untuk penentuan besaran gaya dalam mendisain elemen-elemen
sambungan tersebut. Jika link yang didisain adalah link geser yang ditentukan oleh
VP, maka formulasi dalam menentukan besar momen (Mep) dan geser (Vep) yang
bekerja pada sambungan adalah sebagai berikut :
2eVR
OM adaPyvep
⋅⋅⋅= ..................................................................................... (II.6.)
Pyvep VROV ⋅⋅= ................................................................................................ (II.7.)
Dari besaran gaya Mep dan Vep itulah kekuatan baut-baut sambungan dan pelat ujung
yang ada harus didisain, serta perhitungan disain yang dilakukan bisa menggunakan
formulasi umum baik LRFD maupun ASD yang sesuai dengan spesifikasi AISC
(Specification for Structural Steel Building) edisi1999 atau 2005.
22
II.5. Sambungan Baut Dengan Pelat ujung.
Sambungan dengan menggunakan baut merupakan sambungan semi rigid yang
berarti mampu memberikan tahanan terhadap momen selain geser tetapi tidak sekaku
sambungan las yang bisa di idealisasikan sebagai jepit. Pada sambungan semi rigid
putaran sudut masih bisa terjadi dalam taraf tertentu yang masih diijinkan[23]. Akan
tetapi untuk keperluan disain, besar momen yang dijadikan beban terhadap
sambungan tersebut tetap diperhitungkan secara penuh dengan alasan keamanan.
Berbagai variasi model konstruksi sambungan baut telah banyak ditetapkan dalam
berbagai peraturan baik dalam PPBBI, SNI maupun AISC. Sebagian besar baut
sebagai salah satu elemen sambungan dipergunakan bersamaan dengan profil-profil
bantu untuk menyatukan bagian yang akan disambungkan, seperti profil siku, tees
dan profil C (kanal). Selain dengan menggunakan profil-profil sebagai elemen bantu
penggabung, sambungan baut juga bisa dikombinasikan dengan las dan pelat baja
yang berfungsi sebagai elemen penyatu di ujung profil, sambungan seperti ini disebut
dengan Semi Rigid Bolted End Plate Connection.
Sambungan baut dengan pelat ujung ini dapat diklasifikasikan secara umum
berdasarkan ukuran dan bentuk pelat ujungnya ke dalam 2 jenis (Gambar II.8). Tipe I
yang disebut dengan Extended End Plate connection (EEP) dan tipe II disebut juga
dengan Flush End Plate connection (FEP)[24]. Pada tipe EEP sambungan ini dimensi
pelat ujungnya mempunyai tinggi yang lebih besar jika dibandingkan dengan profil
yang disambung, baik pada posisi atas, bawah ataupun kedua-duanya. Posisi ini
memungkinkan pemasangan baut pada elevasi yang lebih tinggi dari pelat sayap
profil, sehingga sebagai konsekuensinya lengan gaya dari momen tahanan yang ada
bisa lebih besar dari lengan gaya momen beban pada pelat sayap profil.
Sedangkan pada tipe FEP dimensi pelat ujungnya mempunyai tinggi yang sama besar
dengan profil yang akan disambung. Efek dari posisi ini baut hanya bisa dipasang
dalam posisi yang lebih rendah dari pelat sayap profil yang disambung, sehingga
23
sebagai konsekuensinya lengan gaya dari momen tahanan yang ada selalu lebih kecil
dari lengan momen beban pada pelat sayap profil.
Berdasarkan referensi dari beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan EEP
mempunyai kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan FEP, akibatnya secara
dimensi dan nilai ekonomis biasanya sambungan EEP akan menghasilkan dimensi
dan formasi baut yang lebih ekonomis serta ketebalan pelat ujung yang dibutuhkan
juga lebih tipis jika dibandingkan dengan FEP.
(a) (b)
Gambar II.8 Sambungan baut – pelat ujung : (a) FEP (b) EEP
II.6. Baut Mutu Tinggi.
Berdasarkan klasifikasi dari ASTM ada dua jenis baut yang biasa digunakan yaitu
baut mutu biasa (Ordinary Bolt/OB) dan baut mutu tinggi (High Strength Bolt/HSB).
Baut biasa diklasifikasikan sebagai A307 yang terbuat dari baja karbon kadar rendah
dan sering digunakan untuk struktur-struktur ringan dan sekunder. Sedangkan baut
mutu tinggi tipe A325 terbuat dari medium carbon steel dengan metode pembuatan
melalui pemanasan dan quenching-tempering. Tipe berikutnya adalah A490, baut ini
terbuat dari alloy carbon steel juga dengan metode pembuatan quenching-
tempering[15]. Baut A325 dan A490 biasa digunakan untuk semua jenis struktur[15].
24
Gambar II.9 Baut tipe A490 ∅ 25 mm
Baut Tipe Tumpu (Bearing Strength)
Pada baut tipe tumpu terjadinya slip dapat diizinkan sehingga baut menerima beban
geser dengan mekanisme tumpu pada pelat di lubang baut yang bersentuhan dengan
badan baut. Pengencangan pada baut tipe tumpu tetap diharuskan, namun tidak
dengan persyaratan minimum seperti untuk tipe friksi.
Adapun daya dukung baut tipe tumpu yang mengalami gaya tarik atau geser secara
terpisah dapat dihitung dengan rumus seperti yang ditetapkan dalam AISC-360-05[3]
adalah :
bnttnt AFR ⋅⋅φ= (Tarik) .................................................................................... (II.8.)
vbnvsnv mAFR ⋅⋅⋅φ= (Geser) ........................................................................... (II.9.)
Dengan parameter :
Rnt = Daya dukung tarik baut
Rnv = Daya dukung geser baut
Ab = Luas penampang tanpa ulir baut
Fnt = Kuat tarik nominal baut
Fnv = Kuat geser nominal baut
φ = 0.75 (LRFD)
mv =Jumlah bidang geser
25
Untuk baut tipe tumpu yang mengalami kombinasi gaya tarik dan geser dirumuskan
daya dukung tarik yang tersedia sebagai berikut :
bvnvs
ntnttnt Af
FF
F3.1R ⋅⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⋅φ
−⋅⋅φ= ................................................................ (II.10.a)
Dengan parameter :
fv = Gaya geser pada baut
b
vv A
Pf = .................................................................................................. (II.10.b)
Ab = Luas penampang tanpa ulir baut
Fnt = Kuat tarik nominal baut
Fnv = Kuat geser nominal baut
φs,t = 0.75 (LRFD)
Gaya Luar Yang Bekerja Pada Baut Sambungan Tipe Pelat ujung
Berdasarkan formulasi gaya-momen disain pada formasi baut dan pelat ujung yang
diperoleh dari perhitungan kapasitas Link (rumus II.6 dan II.7), maka penentuan
gaya disain yang bekerja pada 1 baut dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Cara rotasi sudut elastik :
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡⋅
⋅=∑=
n
1i
2bi
biepti
h
hM5.0P ......................................................................................... (II.11.)
Dengan parameter :
Pti= Gaya luar yang bekerja pada 1 baut
Mep= Momen disain untuk sambungan dari kapasitas link
hbi= Jarak layer/baris baut ke-i dari titik putar referensi
Cara distribusi tegangan elastik :
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⋅⋅
σ+σ⋅= iep
epbepati hb
25.0P ......................................................................... (II.12.)
26
Dengan parameter :
Pti= Gaya luar yang bekerja pada 1 baut
bep= Lebar pelat ujung
hi= Jarak antar layer baut
σepa= Tegangan elastik pada sisi atas layer baut ke-i
σepb= Tegangan elastik pada sisi bawah layer baut ke-i
II.7. Pelat Ujung (End Plate).
Sama dengan baut, gaya luar disain yang bekerja pada pelat ujung berasal dari
kapasitas link yang ada seperti telah dijelaskan sebelumnya yaitu Mep dan Vep.
Selanjutnya gaya-gaya inilah yang akan ditransformasikan dalam bentuk gaya tarik-
tekan sebagai elemen kopel yang langsung bekerja pada penampang pelat ujung.
Tebal Pelat ujung Berdasarkan AISC 1999
Kopel gaya tarik yang bekerja pada pelat sayap atas link ke pelat ujung
(Gambar.II.10) :
fw
eptf th
MP
−= ..................................................................................................... (II.13.)
Dengan parameter :
Ptf = Gaya tarik-tekan pada pelat sayap link yang bekerja pada pelat ujung
hw= Tinggi link
tf= Tebal pelat sayap
Gambar II.10 Skema lenturan pelat ujung tipe flush
Ptf
Lep pf
φb
Mdp
Ptf Sf
Point of inflection
Mep
Ptf
Ptf
hw
27
Adapun lengan momen efektif pada pelat ujung adalah :
2L
S epf = ......................................................................................................... (II.14.a.)
wbfep 707.025.0pL −φ⋅−= .......................................................................... (II.14.b.)
Untuk tipe Flush momen disain (Mdp) pelat ujung :
ftfdp SPM ⋅= ..................................................................................................... (II.15.)
Adapun momen kapasitas pelat ujung:
y
2epep
yepbpbn f4
tb9.0fZMM ⋅
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛ ⋅⋅=⋅φ=φ=φ ................................................ (II.16.)
Dengan Mdp = φMn maka :
y
2epep
dp f4
tb9.0M ⋅
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛ ⋅⋅= ............................................................................... (II.17.a.)
sehingga menghasilkan persamaan :
yep
dpep fb9.0
M4t
⋅⋅
⋅= ........................................................................................ (II.17.b.)
Kontrol Tumpuan Baut dan Geser Blok Pelat ujung
Kapasitas baut harus di cek ulang dengan perbandingan terhadap kapasitas tumpuan
baut pada pelat ujung, formulasinya adalah sebagai berikut :
uuctnep ftd4.2ftL2.1R ⋅⋅⋅≤⋅⋅⋅⋅φ= .............................................................. (II.18.)
Dengan parameter :
Lc = Jarak antar baut
t = Tebal pelat ujung
fu= Kuat tarik ultimit material pelat ujung
d = Diameter baut
28
Kegagalan pelat ujung tidak hanya bisa terjadi dalam pola sebagai kegagalan tunggal
tumpuan, akan tetapi kegagalan kolektif berupa kegagalan geser blok juga bisa
terjadi dan direkomendasikan untuk dilakukan pengecekan kekuatannya dengan
menggunakan rumus :
( ) ( )ntubsgvybcntubsnvybcnbc AfUAf6.0AfUAf6.0R ⋅⋅+⋅⋅⋅φ≤⋅⋅+⋅⋅⋅φ= (II.19.)
Dengan parameter :
Agv =Luas area kotor yang dikenai gaya geser (mm2)
Ant =Luas area netto yang dikenai gaya tarik (mm2)
Anv =Luas area netto yang dikenai gaya geser (mm2)
φc =0.75
Secara umum diharapkan baut pada link dapat berperilaku sebagai berikut :
- Sebagai transfer gaya desain sampai menghasilkan kegagalan link.
- Tetap dalam kondisi elastik sampai batas kapasitas rotasi maksimum.
II.8. Daktilitas Struktur.
Sebelum tahun 1960-an istilah daktilitas hanya dipergunakan untuk menggambarkan
karakteristik perilaku material, namun setelah kajian yang dilakukan Housner tentang
masalah gempa dan kajian masalah disain plastis oleh Baker konsep daktilitas
diperluas ke permasalahan struktural.
Penggunaan secara umum dalam disain tahanan gempa istilah daktilitas dipakai
untuk keperluan evaluasi tentang kinerja (performance) struktur. Hal ini di
indikasikan dengan jumlah energi gempa yang dapat di disipasikan melalui
deformasi plastis. Penggunaan konsep daktilitas ini memberikan kemungkinan untuk
mereduksi gaya gempa disain dan mengizinkan untuk menghasilkan sejumlah
kontrol terhadap kerusakan dalam struktur terutama dalam kasus gempa kuat.
Secara praktis dalam konsep disain plastik struktur, daktilitas didefinisikan sebagai
kemampuan struktur mengalami deformasi setelah leleh awal (initial yield) tanpa
mengalami reduksi kekuatan ultimit yang signifikan. Daktilitas struktur mengizinkan
29
kita untuk memprediksi kapasitas ultimit dari struktur yang merupakan kriteria
paling penting untuk mendisain struktur dibawah beban konvensional.
Beberapa klasifikasi daktilitas yang sering dipergunakan di dalam sejumlah literatur
seperti diilustrasikan dalam Gambar II.11 adalah[13] :
Daktilitas material (material ductility),
Merupakan karakteristik material dalam deformasi plastis untuk sejumlah tipe
beban yang berbeda serta mempertimbangkan hubungan antara tegangan dan
regangan. Daktilitas ini merupakan rasio antara regangan ultimit terhadap
regangan leleh pertama yang diformulasikan : y
um ε
ε=μ .
Daktilitas penampang (curvature ductility),
Mengacu kepada deformasi plastis dari penampang yang mempertimbangkan
interaksi diantara sejumlah bagian yang menyusun penampang itu. Hubungan
yang mesti dibentuk dalam penentuan nilainya merupakan keterkaitan antara
besaran momen dengan curvature. Daktilitas ini merupakan rasio antara
curvature ultimit terhadap curvature leleh pertama yang diformulasikan :
y
uc Φ
Φ=μ
Daktilitas elemen (rotation ductility),
Properti dari elemen yang dijadikan pertimbangan. Hubungan yang mesti
dibentuk dalam penentuan nilai daktilitasnya adalah keterkaitan besaran momen
terhadap rotasi elemennya. Daktilitas ini merupakan rasio antara rotasi ultimit
terhadap rotasi leleh pertama yang diformulasikan : y
ur θ
θ=μ
Daktilitas struktur (displacement ductility),
Mempertimbangkan perilaku secara keseluruhan dari struktur. Parameter
penentu nilai daktilitas ini ditentukan dari bentuk hubungan gaya geser
horizontal struktur terhadap besaran perpindahan atapnya (roof drift). Daktilitas
ini merupakan rasio antara perpindahan ultimit terhadap perpindahan leleh
pertama yang diformulasikan : y
us δ
δ=μ .
30
Daktilitas energi,
Mempertimbangkan tingkatan dari disipasi energi gempa. Daktilitas ini
merupakan rasio antara energi ultimit terhadap energi leleh pertama yang
diformulasikan : y
ue E
E=μ
Dari seluruh tipe daktilitas tersebut terdapat hubungan yang sangat erat yaitu,
daktilitas energi merupakan akumulasi dari daktilitas struktur dan elemen sedangkan
daktilitas elemen tergantung dari daktilitas penampang serta material. Ada sejumlah
perdebatan dalam pendefinisian diatas, hal ini berkenaan dengan kenyataan
bahwasanya definisi tersebut akurat dalam arti secara kuantitatif hanya untuk kasus
yang ideal dari perilaku bersifat linier elasto perfecly plastic yang monotonik.
Penggunaannya akan menghasilkan dualisme dan keragu-raguan dalam kasus aktual
dimana perilaku struktur berbeda sacara signifikan dari yang di idealisasikan.
Nilai yang sangat penting dalam disain gempa adalah pembatasan daktilitas (ductility
limit). Batasan tersebut tidak memerlukan kemungkinan terbesar dari dissipasi
energi, tetapi diharapkan mesti adanya perubahan yang signifikan dari perilaku
struktur pada nilai daktilitas yang lebih besar dari daktilitas batasnya. Dua tipe batas
daktilitas dapat didefinisikan sebagai berikut[13] :
Daktilitas tersedia (available ductility), dihasilkan dari perilaku struktur yang
mencakup perhitungan properti material, tipe penampang, beban gravitasi,
degradasi kekakuan dan berkenaan dengan simpangan plastis.
Daktilitas diperlukan (required ductility), dihasilkan dari aksi gempa yang
seluruh faktornya dipengaruhi oleh aksi yang mempertimbangkan : besaran dan
tipe pergerakan tanah, pengaruh tanah, perioda natural dari struktur vs perioda
pergerakan tanah, jumlah siklus yang dominan dan lain sebagainya.
31
Gambar II.11 Jenis-jenis daktilitas[13]
Perilaku plastis struktur tergantung dari jumlah momen yang di redistribusikan.
Pencapaian beban runtuh yang diprediksikan berhubungan dengan posisi dari sendi
plastis, dimana penampang mencapai momen plastis penuh serta rotasi plastis dan
sendi plastis lainnya dapat terbentuk dimanapun. Oleh karena itu perilaku sendi
plastis yang baik mensyaratkan jumlah tertentu dari daktilitas, sebagai tambahan
untuk persyaratan kekuatannya. Kapasitas rotasi plastis merupakan pengukuran
daktilitas yang lebih rasional.
Persyaratan untuk analisis plastis dari struktur statis tak tentu adalah rotasi besar
yang mungkin tanpa adanya perubahan yang signifikan dari momen tahanan. Tetapi
teori rotasi plastis yang besar tidak bisa dicapai karena sejumlah efek sekunder yang
terjadi. Pembatasan terhadap rotasi plastis biasanya diperoleh dari ketidakstabilan
(instabilitas) lentur–torsional, tekuk lokal dan fraktur getas dari elemen. Berkenaan
dengan reduksi dari rotasi plastis ini pengelompokan perilaku penampang yang
dipergunakan dalam praktek disain adalah[13] :
Material (axial) Ductility y
um ε
ε=μ
y
uc Φ
Φ=μ
y
ur θ
θ=μ
y
us δ
δ=μ
Cross-section (curvature) Ductility
Member (rotation) Ductility
Structural (displacement) Ductility
∅y ∅u ∅
Mp
M
εy εu ε
fy
σ
θy θu θ
Mp
M
δy δu δ
Fu
F
Fy
32
Kelas 1 (Plastic Section), penampang ini memiliki karakteristik berupa
kemampuan untuk membentuk sendi plastis dengan kapasitas rotasi yang besar.
Kelas 2 (Compact Section), penampang ini mampu untuk menyediakan
kekuatan lentur plastis maximumnya, tetapi mempunyai batasan kapasitas
rotasi yang berkenaan dengan sejumlah efek tekuk lokal.
Kelas 3 (Semi Compact Section), penampang ini memiliki kemampuan
mencapai kapasitas momen lentur saat leleh pertama tanpa mencapai momen
plastis.
Kelas 4 (Slender Section), penampang tidak mampu mengembangkan tahanan
lentur total berkenaan dengan terjadinya secara prematur tekuk lokal dalam
bagian yang mengalami tekan (compression).
Hanya dua kelas diatas yang memiliki daktilitas cukup untuk menjamin terjadinya
redistribusi plastis dari momen. Klasifikasi di atas terbatas pada tingkatan
penampang saja dan memiliki sejumlah kekurangan. Klasifikasi lain yang lebih
efektif dalam tingkatan elemen diusulkan oleh Mazzolani dan Piluso (1993) sebagai
berikut[13] :
Kelas HD (High Ductility), berkenaan dengan penampang yang dalam disain
persyaratan dimensi dan pendetailannya mampu memberikan jaminan
terbentuknya rotasi plastis yang besar.
Kelas MD (Medium Ductility), berkenaan dengan penampang yang dalam
disain persyaratan dimensi dan pendetailannya mampu memberikan jaminan
terbentuknya rotasi plastis yang moderat.
Kelas LD (Low Ductility), penampang dalam disain persyaratan dimensinya
berkenaan dengan aturan yang umum sehingga menjamin hanya rotasi plastis
yang rendah.
33
II.9. Energi Histeretik.
Hal terpenting pada baja yang dikenai pembebanan siklik-inelastik adalah
kemampuannya untuk mendisipasikan energi histeretik. Energi ini diperlukan untuk
perpanjangan dan perpendekan plastis dari spesimen baja dan dapat dihitung sebagai
hasil kali dari gaya plastis dan perpindahan plastis (usaha pada daerah plastis). Tidak
seperti energi kinetik atau energi regangan, energi histeretik ini terdisipasi dan tidak
dapat dikembalikan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar II.12a, dibawah
penambahan beban yang diikuti oleh pengurangan beban secara berurutan, energi
histeretik, Eh dapat diekspresikan sebagai :
( )ymaxyh PE δ−δ⋅= .......................................................................................... (II.20.)
Yaitu, daerah yang diarsir pada Gambar II.12b untuk pembebanan siklik penuh,
energi histeretik adalah luas daerah yang dibatasi oleh kurva beban-perpindahan,
sebagaimana diperlihatkan pada gambar tersebut. Pada pengulangan beban siklik,
energi yang terdisipasi pada tiap siklusnya dijumlahkan untuk mendapatkan total
energi disipasi. Jumlah komulatif energi disipasi ini merupakan hal terpenting yang
memungkinkan struktur baja tetap bertahan pada kondisi pembebanan yang
merusakkan, seperti diakibatkan oleh gempa.
Gambar II.12 Energi histersis baja struktur : (a) Siklik sebagian (b) Siklik penuh
P
δ
P P
δ
Eh
δy δmax
+Py
P
δ
δ(i+1)- δ(i)
Eh
δy δmax
δ(i+1)- δ(i)
-δmax
(a) (b)
34
II.10. Link Dengan Sambungan Baut-Pelat Ujung Tipe Flush (Replaceable
Link).
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai latar belakang eksperimen
tentang replaceable link (Baut-Pelat ujung tipe Flush), maka secara ringkas dapat
disimpulkan mengenai ide tersebut sebagai berikut :
Replaceable link dapat menyerap energi gempa secara efektif, tanpa merusak
komponen struktur lain.
Link yang rusak dapat dengan mudah diganti, salah satunya dengan
menggunakan sambungan baut.
Sambungan las bisa diganti, akan tetapi mutu material akan terganggu sebagai
akibat dari pemanasan.
Kinerja sambungan baut dilaporkan kurang kaku.
Kelemahan 2 sambungan baut diupayakan diatasi dengan:
1. Memperkuat pelat ujung, sedemikian sehingga dengan beban yang dipikul
baut tidak akan merusak pelat.
2. Memperkuat baut yaitu dengan meningkatkan mutu dan diameter.
Beberapa kajian eksperimental telah dilakukan untuk mengamati kelayakan maupun
kinerja dari replaceable link. Pengujian dalam program-program eksperimental
tersebut umumnya dilakukan pada benda uji berupa sub assembly, yaitu bagian
elemen struktur tertentu dari struktur secara keseluruhan yang ingin diamati
perilakunya. Pengujian-pengujian ini umumnya menitik beratkan pengamatannya
pada perilaku baut dan pelat ujung ketika memikul beban, baik monotonik maupun
siklik. Selain itu, perilaku histeretik dan mekanisme kegagalan link juga dikaji.
Ghobarah dan Ramadhan (1994) melakukan eksperimen sambungan link-kolom
dengan menggunakan baut dan pelat ujung tipe extended[20]. Variasi parameter yang
diuji dalam eksperimen tersebut adalah ukuran baut, ketebalan pelat dan pengaruh
pengaku pada pelat ujung. Benda uji dimodelkan sebagai link pada SRBE tipe D,
sementara itu pembebanan yang diberikan adalah beban siklik.
35
Dari hasil pengujiaannya, ghobarah dan ramadhan mengambil beberapa kesimpulan
yaitu :
1. Link dengan sambungan kaku memiliki gaya ultimit yang lebih tinggi dan
dapat menyerap energi lebih banyak daripada link dengan sambungan
fleksibel.
2. Sambungan baut-pelat ujung tipe extended sebaiknya direncanakan untuk
selalu berperilaku elastis, bahkan untuk beban deformasi inelastik link yang
sangat besar.
Stratan dan Dubina (2002) melakukan eksperimen serupa namun untuk jenis
sambungan baut-pelat ujung tipe flush[26]. Link dengan sambungan ini tujuannya
untuk digunakan pada SRBE tipe split K. Variasi parameter untuk pengujian ini
adalah panjang link, sementara tebal pelat, diameter dan jumlah baut untuk seluruh
spesimen adalah seragam. Pengujian dilakukan dengan beban monotonik dan siklik.
Kesimpulan yang diambil dari hasil pengujian ini adalah :
1. Link pendek memiliki kinerja yang baik dibanding link panjang. Hal ini
ditunjukkan dengan perilaku histeretik dan penyerapan energi yang stabil tanpa
terjadinya pinching.
2. Dalam pengamatan, link panjang memiliki kelemahan sebagai berikut :
Kekuatan yang lebih rendah bila dibandingkan link pendek.
Perilaku pinching yang memicu degradasi kekakuan dan kekuatan pada
siklus dengan amplitudo yang sama.
Kegagalan berupa degradasi kekuatan secara bertahap akibat penggerusan
ulir pada baut.
Aulia Mirza (2006) melakukan eksperimen terhadap link geser dalam bentuk sub
assembly dengan ukuran WF 200x100x5.5x8 L=500 cm, specimen yang dibuat
sebanyak 2 unit dengan ketebalan pelat ujung yang sama 20 mm namun dengan
variasi 2 buah ukuran baut yaitu ∅20 mm dan ∅22 mm mutu A325. Link ini di
desain untuk keperluan sebuah ruko tiga lantai dengan bresing tipe split K. Loading
history yang diberlakukan merupakan tipe kontrol perpindahan sampai spesimen
36
mengalami kegagalan. Adapun kesimpulan yang diambil dari hasil pengujian ini
adalah :
1. Gaya aksial tarik memiliki pengaruh negatif terhadap replaceable link.
Keberadaan gaya aksial tarik menambah gaya yang harus dipikul baut yang
mengakibatkan penurunan kapasitas sambungan.
2. Kelelehan pertama kali (first yield) pada replaceable link terjadi pada pelat
badan specimen yang berdekatan dengan sambungan. Deformasi dari pelat
ujung dan perpanjangan baut saat memikul gaya tarik akibat momen ikut
mempengaruhi kelelehan tersebut.
3. Kinerja pelat ujung tipe flush dipengaruhi oleh kekuatan baut. Perpanjangan
baut dapat menambah beban ultimit yang harus dipikul oleh pelat, yang dapat
menyebabkan kelelehan pelat ujung.
4. Luas penampang baut yang lebih besar mampu memberikan kekuatan dan
kekakuan elastik sambungan yang lebih tinggi sehingga memungkinkan
penyerapan energi yang lebih tinggi pada replaceable link.
II.11. Kriteria Kelelehan
Kriteria kelelehan bisa ditentukan dalam kondisi tegangan uniaxial maupun
multiaxial. Untuk kasus tegangan uniaxial terjadinya leleh pertama diketahui pada
saat material mulai berdeformasi plastis. Akan tetapi jika tegangan pada suatu titik
bukan berupa tegangan uniaxial, tetapi terdiri dari beberapa komponen tegangan
yang berbeda arahnya, maka suatu kriteria leleh diperlukan untuk menentukan
kombinasi tegangan yang menyebabkan terjadinya kondisi kombinasi maksimum
sehingga menyebabkan terjadinya leleh. Kriteria tersebut dinamakan kriteria leleh.
Kriteria Von Misses
Pada penelitian ini digunakan kriteria leleh Von Misses karena merupakan kriteria
yang lebih cocok untuk analisis plastis material baja. Tegangan geser yang
mengakibatkan terjadinya leleh pada pelat badan ditentukan oleh besarnya tegangan
geser oktahedral (octahedral shear stress) yaitu :
37
k32J
32
2oct ⋅=⋅=τ ...................................................................................... (II.21.)
0kJ)J(f 222 =−=
Atau ditulis dalam bentuk tegangan utama dengan J2 merupakan invarian ke dua dari
deviatoric stress tensor :
( ) ( ) ( )[ ]213
232
2212 6
1J σ−σ+σ−σ+σ−σ⋅= , sehingga :
( ) ( ) ( ) 2213
232
221 k6 ⋅=σ−σ+σ−σ+σ−σ .................................................. (II.22.a.)
Dalam kondisi uniaxial leleh terjadi dalam kondisi σ1=σy dan σ2 = σ3=0, sehingga :
3k yσ= ............................................................................................................ (II.22.b.)
Sedangkan untuk kondisi tegangan biaxial yang di tunjukkan oleh perpotongan
lingkaran dari silinder dengan koordinat bidang σ3=0, maka : 2y21
22
21 2222 σ⋅=σσ⋅−σ⋅+σ⋅ atau 2
y2122
21 σ=σσ−σ+σ
Sehingga :
2122
21y σσ−σ+σ=σ ................................................................................... (II.22.c.)
Adapun nilai-nilai σ1, σ2, σ3 merupakan tegangan-tegangan utama yang besarannya
dari data strain gauge dapat ditentukan seperti yang akan dibahas berikut.
Regangan dan Tegangan Strain Gauge
Dari hasil pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan strain gauge uniaxial
dan rosette akan diperoleh data-data berupa regangan yang berpadanan dengan arah
strain gauge tersebut. Perhitungan data rosette yang dilakukan didasarkan pada
konsep transformasi arah regangan yang terjadi terhadap referensi dalam arah rotasi
tertentu dari suatu titik yang ditinjau. Adapun perumusan dalam kondisi elastik
berdasarkan teori elastisitas adalah sebagai berikut :
θθγ+θε+θε=ε sincossincos xy2
y2
x'x ......................................................... (II.23.)
38
Karena rosette mempunyai elemen pengukur regangan dalam tiga arah dengan sudut
tertentu, maka rumus II.23 bisa disusun dalam bentuk formulasi matrix sebagai
berikut :
⎪⎭
⎪⎬
⎫
⎪⎩
⎪⎨
⎧
εεε
=⎪⎭
⎪⎬
⎫
⎪⎩
⎪⎨
⎧
γεε
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
θθθθθθθθθθθθ
C
B
A
xy
y
x
CCC2
C2
BBB2
B2
AAA2
A2
sincossincossincossincossincossincos
⎪⎭
⎪⎬
⎫
⎪⎩
⎪⎨
⎧
εεε
⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢
⎣
⎡
θθθθθθθθθθθθ
=⎪⎭
⎪⎬
⎫
⎪⎩
⎪⎨
⎧
γεε
−
C
B
A1
CCC2
C2
BBB2
B2
AAA2
A2
xy
y
x
sincossincossincossincossincossincos
....................................... (II.24.)
Dari regangan aksial dan geser dalam arah x dan y dapat diperoleh regangan utama
yang dirumuskan :
( ) ( )22
2xy
2yyxxyyxx
1
γ+ε−ε+
ε+ε=ε ............................................................ (II.25.a.)
( ) ( )22
2xy
2yyxxyyxx
2
γ+ε−ε−
ε+ε=ε ........................................................... (II.25.b.)
yyxx
xy2tanε−ε
γ=φ ........................................................................................... (II.25.c.)
Dengan demikian maka tegangan utama dapat dicari, tegangan utama inilah yang
akan dipergunakan dalam perumusan tegangan Von Misses.
( )2121 1E
υε+ευ−
=σ ..................................................................................... (II.26.a.)
( )1222 1E
υε+ευ−
=σ ..................................................................................... (II.26.b.)
39