bab ii bismillah

47
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1. Konsep Tuberkulosis a. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Tuberkulosis menyerang paru tapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. (Depkes, 2004). Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono, 2008). b. Kuman Tuberkulosis Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat

Upload: andrian

Post on 31-Dec-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

asewrrr

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI

1. Konsep Tuberkulosis

a. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman

Tuberkulosis menyerang paru tapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.

(Depkes, 2004).

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui

udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah

yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.

(Widoyono, 2008).

b. Kuman Tuberkulosis

Kuman  ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pewarnan. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam

(BTA). Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam

jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

(Depkes, 2008)

Mycobacterium tuberculosis termasuk familie mycobactericiae yang

mempunyai beberapa genus, satu diantaranya adalah mycobacterium yang salah

satu spesiesnya adalah mycobacterium tuberculosis. Yang palig berbahaya bagi

manusia adalah tipe humanis ( Depkes, 2008 ).

c. Patofiologi

Penyakit tuberculosis menular melalui udara yang tercemar bakteri

tuberculosis yang dilepaskan saat penderita batuk. Bakteri dipindahkan melalui

jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka terkumpul dan mulai untuk

memperbanyak diri. Bakteri menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah

bening dan menginfeksi ke organ tubuh lainnya, seperti : ginjal, tulang, otak

(korteks serebri), saluran pencernaan, kelenjar getah bening dan area paru-paru

lainnya (lobus atas).

Sistem imun tubuh merespons dengan melakukan reaksi infalamsi. Masa

jaringan tubuh (granulomas) merupakan gumpalan bakteri yang masih hidup dan

yang sudah mati, dikelilingi makrofag yang membentuk dinding protektif,

gronumolos seperti keju, paru yang membengkak.

Saat mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru maka

tumbuh koloni bakteri yang globur (bulat). Melalui serangkain reaksi immunologis

bakteri ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding itu membuat

jaringan disekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri tuberculosis ini akan

menjadi jaringan parut dan bakteri tuberculosis ini akan menjadi dormant

(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat tuberculosis pada

pemerikasaan foto rontgen.

Pada orang dengan sistem imun yang baik bentuk ini akan tetapa dormant

sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh kurang,

bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah

banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang didalam paru-paru

yang menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi

sputum diperkirakan sedang mnegalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan posif

terinfeksi tuberculosis (sandina, 2011).

d. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis Paru

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif. Pada waktu

batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada

suhu kamar selama beberapa jam (Depkes RI, 2008).

Seseorang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran

pernapasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk kedalam tubuh manusia melalui

pernapasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar diparu bagian tubuh

lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau

penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

Daya penularan dari seorang penderita di tentukan oleh banyaknya kuman

yang dikeluarkan dari paru-parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan

dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif

(tidak terlihat kuman) maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

Kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet

dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2009).

Jumlah bakteri semakin banyak jumlah bakteri yang terhirup, maka

semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengidap penyakit tuberculosis.

Tingkat keaktifan kuman (virulensi) semakin tinggi maka semakin cepat

berkembang biak didalam tubuh. Selain itu semakin cepat pula masa inkubasinya

(Depkes,2008)

Kelompok yang rentan tertular tuberculosis ( Depkes, 2008)

1) Orang dengan malnutrisi (kurang gizi)

2) Tinggal di daerah padat penduduk dan lingkungan kumuh

3) Rumah tanpa ventilasi yang memadai

4) Orang dengan HIV/AIDS, diabetes, ginjal kronis, penyakit paru silikosis

5) Perokok

6) Buruh pabrik

7) Kontak dengan orang terinfeksi tuberculosis aktif dan tak diobati.

e. Gejala

1) Tuberculosis paru

a) Batuk

Gejala ini paling banyak dijumpai dan sering ditemukan. Batuk terjadi

karena adanya iritasi pada bronchus untuk membuang produk-produk

radang keluar. Batuk terjadi setelah penyakit berkembang dalam jaringan

paru-paru setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan

bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian

setelah timbul peradagan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Batuk

yang terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih perlu

diwaspadai penderita tersangka Tuberkulosis.

b) Demam

Demam biasanya subfibril menyerupai demam influenza. Keadaan ini

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan berat ringannya infeksi kuman

tuberkulosis yang masuk. Panas badan dapat mencapai 400-410 C.

c) Sesak Napas

Pada penyakit yang masih ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak

napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya

sudah meliputi setengah bagian paru.

d) Nyeri Dada

Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah

sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

e) Malaise (badan lemah)

Gejala malaise yang sering ditemukan  berupa anaroksia, penurunan berat

badan, sakit kepala, nyeri otot dan keringat malam. Jika menderita gejala

diatas  batuk yang tidak sembuh-sembuh selama 3 minggu, demam,

berkeringat dingin dimalam hari serta cepat lelah dan diperkuat dengan

riwayat kontak dengan seseorang penderita tuberkulosis. Sebaiknya cepat

memeriksakkan diri ke unit pelayanan kesehatan dan perlu dilakukan

pemeriksaan sputum secara mikroskopik langsung. Pada kondisi kronis

Tuberkulosis mempunyai gejala batuk darah disertai sakit di dada.

2) Tuberculosis ekstra paru

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk

pada meningitis tuberculosis, pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada

limfadenitis tuberculosis kelenjar dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada

spondilitis tuberculosis tulang belakang dan lainya (sandina,2011).

f. Penegakkan diagnosis.

Batuk lebih dari 3 minggu  setelah dicurigai kontak dengan penderita 

Tuberkulosis dapat diduga sebagai Tuberkulosis. Dengan pemeriksaan yang

sistematis, intensif dan berulang kali serta  berdasarkan pengertian pada perjalanan

penyakit tuberkulosis  maka penderita tuberkulosis akan lebih mudah ditegakkan.

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pemeriksaan

yaitu: Gejala klinis, pemeriksaan fisik, tes tuberkulin, radiology dan pemeriksaan

sputum  (Depkes RI, 2004 ).

1) Pemeriksaan Fisik.

Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat tergantung dari

derajat berat ringannya penyakit, tidak jarang keadaan umum penderita baik

sekali dan tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik. Pada penderita yang

sudah parah biasanya keluhan buruk, kurus sekali dan dapat dijumpai kelainan

pada pemeriksaan fisik paru. Pada pemeriksaan fisik harus kita perhatikan

kelainan yang sering dijumpai, pertama adalah pembesaran kelenjar dileher,

kedua kita perhatikan tempat predileksi Tuberkulosis yaitu daerah apek dan

segmen apical lobus bawah yang kira-kira letaknya dipertengahan punggung

(Depkes RI, 2003).

2) Tes Tuberkulin.

Tes kulit dapat mengidentifikasi seseorang yang telah terinfeksi pada

suatu saat oleh Mycobacterium tuberculosis, namun tidak dapat membedakan

antara penyakit yang sedang berlangsung dengan keadaan pasca infeksi.   Suatu

hasil tes yang positif tidak selalu diikuti dengan penyakit, demikian juga dengan

hasil tes negatif tidak selalu menyingkirkan Tuberculosis. Tes tuberkulin ini

mungkin hanya berguna dalam menentukan diagnosis daripada penderita yang

dahaknya negatif (terutama anak-anak yang mempunyai kontak dengan

seseorang penderita Tuberkulosis yang menular) ( Suparman dan Waspadji,

2003 ).

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara mantoux (Penyuntikan intra kutan)

dengan spuit tuberkulin 1 cc, pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah

penyuntikan. Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan ulang ( Suparman dan

Waspadji, 2003 ).

3) Pemeriksaan Radiologi.

Pada saat ini pemeriksaan radiology dada merupakan cara yang praktis

untuk mendiagnosis tuberculosis pada penderita suspek dengan hasil

pemerikasaan sputum negatif. Untuk mendiagnosis pasti tuberculosis

berdasarkan pada pemeriksaan radiologis, hasilnya harus dibaca oleh dokter

yang telah berpengalaman (Depkes RI, 2003).

4) Pemeriksaan Sputum.

Pemeriksaan sputum secara mikroskopik merupakan pemeriksaan yang

paling     sederhana, mudah, dan dapat dilaksanakan di puskesmas dengan

pemeriksaan yang sangat spesifik dan cukup sensitif. Tetapi tidak mudah

mendapatkan sputum terutama penderita yang tidak batuk produktif (Depkes,

2003)

Mycobacterium tuberkulosis berbentuk batang mempunyai sifat yaitu

tahan      terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol oleh karena itu

disebut basil tahan asam (BTA). Untuk mengurangi kesulitan menemukan BTA,

maka kualitas dan kuantitas sputum harus baik. (Depkes, 2003).

Sputum yang baik harus berjumlah 3-5 ml, kental, berwarna kuning

kehijau-hijauan dan bukan ludah. Sputum dikumpulkan dalam 2 hari berurutan

yaitu sputum sewaktu, pagi, sewaktu. Pada hari pertama waktu penderita datang

dengan keluhan suspek tuberkulosis, penderita mengumpulkan sputum sebagai

spesimen pertama berupa sputum sewaktu. Kemudian penderita diberi pot

sputum yang diisi pada esok harinya setelah bangun tidur sebagai spesimen

kedua berupa dahak pagi. Kemudian hari kedua saat menyerahkan sputum pagi,

penderita mengumpulkan sputum sebagai spesimen ketiga berupa sputum

sewaktu (Depkes, 2003).

g. Penemuan Pasien Tuberkulosis

1) Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,

penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan

langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan Tuberkulosis.

Penemuan dan penyembuhan pasien Tuberkulosis menular secara bermakna

akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat Tuberkulosis, penularan

Tuberkulosis di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan

penularan Tuberkulosis yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan pasien Tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan

promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan

kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas

kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan

tersangka pasien Tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien

Tuberkulosis, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang

menunjukan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari

rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

2) Penemuan Pasien Tuberkulosis Pada Anak

Diagnosis Tuberkulosis pada anak sulit sehingga sering terjadi

misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak

batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya

sulit, maka diagnosis Tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan

menggunakan sistem skor yang dilakukan dokter dengan parameter : kontak

Tuberkulosis, uji tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab

jelas, batuk, pembesaran kelenjar limpe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan

tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto thoraks. (Depkes RI, 2008 )

h. Klasifikasi Penyakit

Klasifikasi Tuberkulosis (Depkes, 2008)

1) Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru-paru. Tuberkulosis paru

dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :

a) Tuberkulosis paru BTA positif.

(1) Sekurang-kurangnya dua dari tiga pemeriksaan dahak memberikan hasil

yang positif

(2) Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto

rontgen dada meenunjukan tuberculosis aktif

b) Tuberkulosis paru BTA negatif.

Pemeriksaan dahak negatif tetapi foto rontgen dada menunjukan

tuberculosis aktif. Dapat juga hasil pemeriksaan dahak meragukan yaitu

jumlah kuman yang ditemukan belum memenuhi syarat positif.

2) Tuberkulosis ekstra paru

Adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain paru-paru. Misalnya

selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening (kelenjar), tulang,

persedian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing.

i.Faktor- faktor prediposisi timbulnya tuberculosis ( Depkes, 2008 )

1) Daya tahan tubuh atau sistem imun

Daya tahan tubuh terhadap penyakit tuberculosis terutama ditentukan oleh

sistem imunitas seluler. Setiap faktor yang mempengaruhinya secara negatif

akan meningkatkan kerentanan terhadap tuberculosis, seperti AIDS, pemakaian

kortikosteroid sistemik jangka lama, diabetes mellitus, kurang gizi dan

sebagainya.

2) Pernah terkena tuberculosis

Seseorang yang mempunyai bekas penyakit tubercolosis, bila belum pernah

menerima pengobatan spesifik lengkap kemungkinan menderita tuberculosis

jauh lebih besar dibandingkan dengan orang normal.

3) Bentuk tubuh

Seseorang yang tinggi dan kurus kemungkinannya mendapat tuberculosis lebih

besar bila dibandingkan dengan mereka yang tidak kurus.

j.Komplikasi pada penderita tuberkulosis

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

1) Hemoptitis berat ( perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya saluran

nafas.

2) Kolaps (pingsan) dari lobus akibat retraksi bronchial (tertariknya cabang

tenggorok)

3) Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif pada paru)

4) Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura)

5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan

sebagainya.

6) Insufisiensi kardio pulmoner ( cardin pulmonary insufficiency) Yaitu jantung

tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan oleh paru. Penderita yang

mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit (Depkes RI,

2004 ).

2. Konsep status gizi

a. Definisi status gizi

Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh

keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut

dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan atau

panjang badan, lingkar kepala, limgkar lengan dan panjang tungkai (Supariasa,

2003).

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variabel tertentu atau dapat dikatakan bahwa status gizi merupakan indikator baik-

buruknya penyediaan makanan sehari-hari (Irianto, 2007).

b. Penilaian status gizi

Penilaian status gizi menggunakan dua metode penilaian yaitu, metode

secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat

dibagi menjadi empat penilaian, yaitu penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan

biofisika. Penilaian status gizi tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga yaitu survei

konsumsi makanan, statistik vital, dan factor ekologi (Supariasa, 2003).

1) Pemeriksaan langsung

Untuk mengetahui status gizi seseorang, dapat dilakukan pemeriksaan

langsung yang meliputi antara lain (Wati dan Proverawati, 2010).

a) Antropometri

Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan cara mengukur tinggi badan,

berat badan, lingkar lengan atas, tebal lemak tubuh (triceps, biceps,

subscapula dan suprailliaca). Pengukuran antropometri bertujuan mengetahui

status gizi berdasarkan satu ukuran menurut ukuran lainnya, misalnya berat

badan dan tinggi badan menurut umur (BB & TB/U), berat badan menurut

tinggi badan (BB/TB), lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U), lingkar

lengan atas menurut tinggi badan (LLA/TB). Berikut ini adalah antropometri

sebagai indikator status gizi (Supariasa, 2003).

(1) Berat badan terhadap umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan

yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya

nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi

(Supariasa dkk., 2003).

(2) Tinggi badan terhadap umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring

dengan pertambahan umur (Supariasa dkk., 2003).

(3) Berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam

keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan

pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. indeks BB

terhadap TB pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan

yang tidak baik, kemiskinan, pemberian makanan tambahan sebelum

pada waktunya dan akibat tidak sehat yang cukup lama (Supariasa, 2003)

(4) Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U)

Lingkar lengan atas merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status

gizi karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit

diperoleh dengan harga yang lebih murah. (Supariasa, 2003).

b) Biokimia

Pemeriksaan laboratorium (biokimia), dilakukan melalui pemeriksaan

spesimen jaringan tubuh (darah, urine, tinja, hati dan otot) yang diuji secara

laboratoris terutama untuk mengetahui kadar hemoglobin, feritin, glukosa dan

kolestrol. Pemeriksaan biokimia bertujuan mengetahui kekurangan status gizi

spesifik.

c) Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai

status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang

terjadi dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan

epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ

yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa, 2004).

Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid

clinical surverys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-

tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping

itu untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan

pemeriksaan fisik yaitu tanda dan gejala dan riwayat penyakit (Supariasa,

2003).

d) Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi

dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat

perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi

tertentu seperti kejadian buta senja epidemic (epidemic of night blindness).

Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.

2) Pemeriksaan tidak langsung antara lain :

a) Survei konsumsi makanan

Metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah

dan jenis gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat

memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,

keluarga dan indivindu.

b) Statistik vital

Pengukuran dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti

angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat

penyebab tertentu yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya

dipertimbangkan sebagai bagian dari indicator tidak langsung pengukuran

status gizi masyarakat.

c) Faktor ekologi

Masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan

lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari

keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa, 2006 )

c. Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi

Faktor yang mempengaruhi status gizi menurut Aritonang dan Priharsiwi

( 2006 ) antara lain :

1) Faktor secara langsung

a) Konsumsi makanan yang buruk

b) Penyakit infeksi

2) Faktor tidak langsung

a) Akses mendapatkan makanan yang kurang

b) Perawatan dan pola asuh yang kurang

c) Pelayanan kesehatan

d) Lingkungan buruk atau tidak mendukung kesehatan

d. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model penilaian status gizi.

Tujuan pengukuran sangat diperhatikan dalam memilih metode, seperti tujuan

ingin melihat fisik seseorang. Maka metode yang digunakan adalah antropemetri.

Pengukuran antropometri merupakan cara yang paling sering digunakan karena

memiliki beberapa kelebihan (Jahari, 2002), yaitu:

1) Alat mudah diperoleh

2) Pengukuran mudah dilakukan

3) Biaya murah

4) Hasil pengukuran mudah disimpulkan

5) Dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah

6) Dapat mendeteksi riwayat gizi masa lalu

Namun pengukuran anthropometri juga memiliki kelemahan (Jahari, 2002), yaitu:

1) Kurang sensitif

2) Faktor luar (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) tidak dapat

dikendalikan

3) Kesalahan pengukuran akan mempengaruhi akurasi kesimpulan

4) Kesalahan-kesalahan antara lain pengukuran, perubahan hasil pengukuran baik

fisik maupun komposisi jaringan, analisis dan asaumsi salah.

3. Pengobatan tuberkulosis

a. Tujuan pengobatan

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosa).

b. Akivitas obat :

1) Aktivitas bakteresid

Obat bersifat membunuh kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih

aktif). Diukur dari kecepatan membunuh atau melenyapkan kuman sehingga

pada pembiakan aka didapatkan hasil negatif dalam 2 bulan permulaan

pengobatan.

2) Aktivitas bakteriostatik / sterilisasi

Obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat

(metabolismenya kurang aktif). Aktifitas sterelisasi di undur dari angka

kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.

(Soeparman dan sarwono, 1999).

c. Jenis, sifat dan dosis OAT

1) Obat primer (obat anti tuberculosis tingkat satu)

a) Isoniasid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakteresid, dapat membunuh 90% populasi

dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap

kuman dalam keadaan metabolisme aktif, yaitu pada saat kuman sedang

berkembang. Dosis harian yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB, sedangkan

untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/kg BB.

b) Rifampisin (R)

Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang persisten (dormant)

yang tidak dapat dibunuh oleh isonasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan

sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.

c) Pirazinamid (Z)

Bersifat bakteresid, dapat membunuh kuman yang berada didalam sel

dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB,

sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan

dosis 35 mg/kg BB.

d) Streptomisin (Z)

Bersifat bakteresid, dengan dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB,

sedangkan pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis

yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari,

sedangkan untuk umur 60 tahun lebih dosisnya 0,50 gr/hari.

e) Ethambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB

sedangkan untuk pengobatan untuk intermiten 3 kali seminggu digunakan

dosis 30 mg/kg BB.

Tabel 2.1. jenis, sifat dan dosis OAT

Jenis OAT Sifat Dosis (mg/kg)

Harian 3x seminggu

Isoniazid (H)

Rifampicin (R)

Pirazinamid (Z)

Streptomisin (Z)

Ethambutol (E)

Bakterisid

Bakterisid

Bakterisid

Bakterisid

Bakteriostatik

5 (4-6) 10 (8-12)

10 (8-12) 10 (8-12)

25 (20-30) 35 (30-40)

15 (12-18) 15 (12-18)

15 (15-20) 30 (20-35)

Sumber : Depkes RI (2008)

2) Obat sekunder (Anti Tubercolusis Acid)

Diantaranya adalah kanamisin, PAS (Para Amina Salictylic Acid, tiasetason,

etionamid, protionamid, sikloserin, viomisin, kapreomisin, amikosin,

oflokasin, siproflokasin, norfloksasin, klofazimn (soeparman dan sarwono w,

1990).

Menurut Depkes RI (2008), paduan OAT disediakan dalam bentuk paket

kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita

dalam masa pengobatan. Kombipak terdiri dari 3 kategori, yaitu :

a) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z),

dan etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan

(2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri

isoniazid (H), dan rifampisin (R), diberikan 3 kali dalam seminggu selama

4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru tuberculosis

paru BTA positif, tuberculosis paru BTA negative rontgen positif yang

sakit berat, dan tuberculosis ekstra berat.

b) Kategori 2 (2HRZE/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan

Isoniazid (H), rifampisin (R), pirasinamid (Z), etambutol (E), dan suntikan

streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H),

rifampisin (R), pirasinamid (Z), dan etambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang

diberikan 3 kali seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin

diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk

penderita kambuh (relaps), gagal (failure) dan penderita dengan

pengobatan setelah lalai (after default).

c) Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama 2 bulan

((2HR), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan

yang diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan pada

penderita baru tuberculosis BTA negative dan rontgen positif sakit ringan

serta penderita ekstra paru ringan.

d) OAT Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif

dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan

kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat

sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan.

d. Prinsip pengobatan

Menurut Depkes RI (2008), pengobatan penderita baru BTApositif dengan

kategori pengobatan dan diberikan dalam 2 tahap, yaitu :

1) Tahanp awal (intensif)

Diberikan selama 2 bulan dengan tujuan :

a) Mencegah keluhan dan mencegah efek samping lebih lanjut

b) Mencegah timbulnya resistensi obat

Pada tahap ini penderita harus menelan obat setiap hari. Biasanya penderita

menular menjadi tidak tertular dalam waktu 2 minggu dan BTA positif menjadi

BTA positif menjadi BTA negatif (converse) dalam 2 bulan. Pengawasan ketat

pada tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya dan kekebalan

obat.

2) Tahap lanjutan

Diberikan selama 4 bulan dengan memberikan 2 macam obat yang ditelan 3

kali seminnggu dengan tujuan :

a) Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi)

b) Mencegah kekambuhan ( relaps).

e. Tipe penderita

Menurut Depkes RI (2008), berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi

menjadi beberapa tipe, yaitu :

1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kambuh (Relaps) adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau

kultur).

3) Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat

dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki

register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6) Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok

ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA

positif setelah selesai pengobatan ulangan.

f. Efek samping obat dan penatalaksanaannya

Menurut Depkes RI (2008), penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Tabel 2.2 efek samping ringan OAT

Efek samping Penyebab Penatalaksanaan

Tidak ada nafsu

makan, mual, sakit

perut.

Rifampisin Semua OAT diminum malam sebelum

tidur.

Nyeri sendi Piransinamid Beri aspirin

Kesemutan s/d rasa

terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoxin) 100mg per

hari

Warna kemerehan

pada air seni

Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi perlu

penjelasan kepada penderita.

Tabel 2.3 efek samping berat OAT

Efek samping Penyebab penatalaksanaan

Gatal dan

kemerahan di kulit

Semua jenis OAT Ikuti pentunjuk penatalaksaan

dibawah

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti

etambutol

Gangguan

keseimbangan

Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti

etambutol.

Ikterus tanpa

penyebab lain

Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT sampai

ikterus menghilang.

Bingung dan

muntah-muntah

(permulaan ikterus

Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT, segera

lakukan tes fungsi hati.

karena obat )

Gangguan

penglihatan

Etambutol Hentikan etambutol

Purpura dan

renjatan (syok)

Rifampisin Hentikan rifampisin

Sumber : Depkes RI, 2008

g. Evaluasi pengobatan

1) Klinis

Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan penderita seperti batuk-

batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah dan berat badan

bertambah.

2) Bakteriologis

Pemeriksaan sputum dilakukan setelah tahap intensif (2 bulan). Apabila

sputum BTA masih positif maka diberikan tahap sisipan selama 1 bulan.

Selanjutnya diperiksa lagi setelah selesai sebelum akhir periode dan setelah

selesai pengobatan.

3) Radiologis

Evaluasi radiologi diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Karena

perubahan gambar radiologi tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi

foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.

h. Hasil pengobatan

Menurut Depkes RI (2008) adalah :

1) Sembuh

Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan

ulang dahak (follow-up) hasilnya negative pada akhir periode dan pada saat

pemeriksaan follow-up sebulan sebelumnya.

2) Pengobatan lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengakap tetapi tidak

memenuhi persyaratan sembuh ataupun gagal.

3) Meninggal

Penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

4) Pindah

Penderita yang pengobatannya pindah ke unit yang lain maka hasil

pengobatannya tidak diketahui.

5) Putus obat (defaulat)

Penderita yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum

masa pengobatannya selesai.

6) Gagal

Hasil pemeriksaan dahak yang positif atau kembali menjadi positif pada bulan

ke lima atau lebih selama pengobatan.

4. Konsep Kepatuhan berobat

a. Pengertian pengobatan

Kepatuhan merupakan tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan

dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain (Sarfino, 2003) di

kutip oleh (Smet B. 2003).

Kepatuhan adalah sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan

yang diberikan oleh petugas kesehatan. Penderita yang patuh berobat adalah

penderita yang menyelesaikan penbgobatan secara teratur dan lengakap tanpa

terputus selama 6 bulan sampai 9 bulan (Depkes RI, 2008).

b. Tingkat kepatuhan pengobatan

Kepatuhan penderita menurut Depkes RI (2008) dibedakan menjadi :

1) Kepatuhan penuh

Penderita berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan dan patuh

menelan obat secara teratur sesuai petunjuk.

2) Tidak patuh

Penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.

Kriteria kepatuhan pengobatan tuberculosis paru menurut Depkes RI (2008)

adalah :

1) Minum obat sesuai petunjuk

Obat yang diminum sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oelh petugas

kesehatan meliputi dosis, jumlah, jenis dan waktu minum obat.

2) Jadwal mengambil obat

Pengambilan obat tidak boleh terlambat

c. Faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan berobat menurut Depkes RI (2008)

adalah :

1) Keadaan social ekonomi

Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat makin buruk pula gizi dan

hygiene lingkungan yang akan menyebabkan mudah terkena penyakit,

mempersulit penyembuhan dan memudahkan terjadinya kekambuhan.

2) Kesadaran

Karena pengobatan tuberculosis memerlukan waktu yang lama (minimal 6

bulan) penderita akan merasakan bosan dan penderita kadang-kadang juga

merasa sudah tidak sakit lagi sehingga menghentikan pengobatan.

3) Pengetahuan

Makin rendah pengetahuan penderita tentang penyakit tuberculosis maka

semakin besar pula kemungkinan penderita sebagai media penularan.

Pengetahuan tentang penyakit ini akan membantu penderita dalam mencegah

terjadinya penularan.

d. Cara mengetahui ketidakpatuhan

1) Menjelaskan tujuan

Pertanyaan dan kontrak tertulis dapat meningkatkan kepatuhan

2) Mengembangkan perilaku sehat dan mempertahankannya

Perilaku sehat dapat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh karena itu perlu

dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya mengubah perilaku, tetapi

juga mempertahankan perubahan tersebut.

3) Dukungan social

Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi kecemasan karena penyakit

tertentu, dapat mengurangi ketidakpatuhan dan menjadi kelompok pendukung

untuk mencapai kepatuhan.

4) Dukungan professional kesehatan

Dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan dengan cara menyampaikan

antuisias mereka terhadap tindakan tertentu dari penderita dan secara terus

menerus memberikan penghargaan yang positif bagi penderita yang telah

mampu beradaptasi dengan program pengobatannya

5) Meningkatkan interaksi petugas kesehatan dengan penderita

Berguna untuk memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh

informasi. Penderita membutuhkan penjelasan kondisinya saat ini, apa

penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

B. Kerangka Teori

Tuberkulosis Status Gizi

Penularan Tuberkulosis :- Sumber infeksi- Jumlah kuman- Keatifan kuman- Daya tahan tubuh

Kepatuhan pengobatan

Penilaian status gizi- Pemeriksaan langsung- Pemeriksaan tidak langsung

Faktor predoposisi tuberkulosis

- Daya tahan tubuh

- Pernah terkena tuberkulosis

- Bentuk tubuh

Faktor yang mempengaruhi status gizi :

- Faktor secara langsung

- Faktor tidak langsung

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan obat :- Keadaan sosisal ekonomi- Kesadaran- pengetahuan

Tingkat kepatuhan :- Kepatuhan penuh- Tidak patuh

Pengobatan Tubekulosisi

Gambar 2.1 Kerangka teori

Modifikasi dari Depkes RI (2004), Supariasa (2003), Aritonang dan priharsi (2006)

C. Kerangka konsep

Independent Varibel Dependent Variabel

Variabel luar

Hasil Pengobatan :- Sembuh- Pengobatan Lengkap- Meninggal- Pindah- Putus Obat- Gagal

Faktor yang mempengaruhi status gizi :

- Faktor langsung

- Faktor tidak langsung

Kepatuhan pengobatan TB paru :

- Kepatuhan penuh

- Tidak patuh

Status Gizi

Keterangan :

: di teliti

: tidak diteliti

Gambar 2.2 kerangka konsep

Modifikasi dari Depkes RI (2004), Supariasa (2003), Aritonang dan priharsi (2006)