bab ii biomekanika

39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomekanika Kerja Dalam bidang industri semua pekerja, karyawan atau operator harus memiliki kekuatan yang besar khususnya otot karena dalam dunia industri yang dibutuhkan bukan hanya operator atau karyawan yang memiliki keahlian khusus tapi kekuatan otot juga sangat penting karena dalam dunia industry pekerja atau karyawan, dimanapun dapat mengalami kelelahan atau fatigue. Untuk menghindari kelelahan atau fatigue diperlukan pengetahuan yang menyangkut kekuatan tubuh manusia khususnya otot (Biomekanika), ini sangat diperlukan oleh pekerja atau karyawan untuk menganalisis kesehatan dan keselamatan kerja pekerja atau karyawan dalam sistem kerja tertentu. Dalam praktikum yang saya jalani saya melakukan pengukuran kekuatan otot untuk mengetahui apakah dengan mengangkat beban atau barang keselamatan pekerja sudah aman atau tidak aman untuk dilakukan pengangkatan barang. Biomekanika dan cara kerja adalah pengaturan sikap tubuh dalam bekerja. Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula dalam melakukan

Upload: rio-widarobi

Post on 05-Dec-2014

230 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Biomekanika

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biomekanika Kerja

Dalam bidang industri semua pekerja, karyawan atau operator harus memiliki

kekuatan yang besar khususnya otot karena dalam dunia industri yang dibutuhkan

bukan hanya operator atau karyawan yang memiliki keahlian khusus tapi kekuatan

otot juga sangat penting karena dalam dunia industry pekerja atau karyawan,

dimanapun dapat mengalami kelelahan atau fatigue. Untuk menghindari kelelahan

atau fatigue diperlukan pengetahuan yang menyangkut kekuatan tubuh manusia

khususnya otot (Biomekanika), ini sangat diperlukan oleh pekerja atau karyawan

untuk menganalisis kesehatan dan keselamatan kerja pekerja atau karyawan dalam

sistem kerja tertentu. Dalam praktikum yang saya jalani saya melakukan pengukuran

kekuatan otot untuk mengetahui apakah dengan mengangkat beban atau barang

keselamatan pekerja sudah aman atau tidak aman untuk dilakukan pengangkatan

barang. Biomekanika dan cara kerja adalah pengaturan sikap tubuh dalam bekerja.

Sikap kerja yang berbeda akan menghasilkan kekuatan yang berbeda pula dalam

melakukan tugas. Dalam hal ini penelitian biomekanika mengukur kekuatan dan

ketahanan fisik manusia dalam melakukan pekerjaan tertentu, dengan sikap kerja

tertentu. Tujuannya untuk mendapatkan cara kerja yang lebih baik, dimana

kekuatan/ketahanan fisik maksimum dan kemungkinan cidera minimum.

Biomekanika sebagai penggunaan kaidah fisika dan konsep teknik dalam

menjelaskan pergerakan tubuh manusia dalam aktivitas kesehariannya. Definisi ini

sekurangnya menjelaskan bahwa biomekanika bersifat multi disiplin ilmu yang

memanfaatkan keilmuan fisika, faal tubuh dan perilaku manusia (behavioral

sciense). Banyak gangguan pada manusia yang disebabkan oleh aktivitas (pekerjaan,

olahraga, dst.) dapat diinterprestasikan dan dicarikan solusinya dengan menggunakan

Page 2: Bab II Biomekanika

II-2

pendekatan biomekanika (Frankel & Nordin (1980) dikutip oleh Chaffin (1999).

Pengetahuan tentang biomekanika sangat diperlukan untuk mengetahui mekanisme

terjadinya kecelakaan kerja, yang pada akhirnya dapat dilakukan pendekatan yang

efektif dan ilmiah untuk membantu manusia bekerja dengan aman. Biomekanika yang

lebih banyak membahas kajian kapasitas fisik manusia serta performansinya dalam

sistem kerjanya disebut Biomekanika Kerja (Occuptional Biomechanics).

Biomekanika kerja dapat diartikan sebagai: “Keilmuan yang mempelajari interaksi

fisik antara pekerja dengan peralatan, mesin, dan material sehingga dicapai

performansi yang optimal dari pekerja dan meminimilisasi resiko terjadinya

gangguan musculoskeletal” (Chaffin (1999).

(elib.unikom.ac.id, diakses pada 25-03-2013, 16:01)

2.2 Konsep Biomekanika

Biomekanika diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :

1. General Biomechanic

General Biomechanic adalah bagian dari Biomekanika yang berbicara

mengenai hukum–hukum dan konsep – konsep dasar yang mempengaruhi tubuh

organik manusia baik dalam posisi diam maupun bergerak. Dibagi menjadi 2,

yaitu:

a. Biostatics adalah bagian dari biomekanika umum yang hanya menganalisis

tubuh pada posisi diam atau bergerak pada garis lurus dengan kecepatan

seragam (uniform).

b. Biodinamic adalah bagian dari biomekanik umum yang berkaitan dengan

gambaran gerakan – gerakan tubuh tanpa mempertim-bangkan gaya yang

terjadi (kinematik) dan gerakan yang disebabkan gaya yang bekerja dalam

tubuh (kinetik) (Tayyari,1997).

2. Occupational Biomechanic.

Didefinisikan sebagai bagian dari biomekanik terapan yang mempelajari

interaksi fisik antara pekerja dengan mesin, material dan peralatan dengan tujuan

Page 3: Bab II Biomekanika

II-3

untuk meminimumkan keluhan pada sistem kerangka otot agar produktifitas

kerja dapat meningkat. Setelah melihat klasifikasi diatas maka dalam praktikum

kita ini dapat kita kategorikan dalam Biomekanik Occupational Biomechanic.

Untuk lebih jelasnya disini akan kita bahas tentang anatomi tubuh yang menjadi

dasar perhitungan dan penganalisaan biomekanik. Dalam biomekanik ini banyak

melibatkan bagian bagian tubuh yang berkolaborasi untuk menghasilkan gerak

yang akan dilakukan oleh organ tubuh yakni kolaborasi antara Tulang, Jaringan

penghubung (Connective Tissue) dan otot.

(apk.lab.uii.ac.id, diakses pada 25-03-201, 16:02)

Biomekanika dapat diterapkan pada [CHA91]: perancangan kembali pekerjaan

yang sudah ada, mengevaluasi pekerjaan, penanganan material secara manual,

pembebanan statis dan penentuan sistem waktu. Prinsip-prinsip biomekanika dalam

pengangkatan beban [CHA91]:

1) Sesuaikan berat dengan kemapanan pekerja dengan mempertimbangkan frekuensi

pemindahan.

2) Manfaatkan dua atau lebih pekerja untuk memindahkan barang yang berat.

3) Ubahlah aktivitas jika mungkin sehingga lebih mudah, ringan dan tidak

berbahaya.

4) Minimasi jarak horizontal gerakan antara tempat mulai dan berakhir pada

pemindahan barang.

5) Material terletak tidak lebih tinggi dari bahu.

6) Kurangi frekuensi pemindahan.

7) Berikan waktu istirahat.

8) Berlakukan rotasi kerja terhadap pekerjaan yang sedikit membutuhkan tenaga.

9) Rancang kontainer agar mempunyai pegangan yang dapat dipegang dekat dengan

tubuh.

10)Benda yang berat ditempatkan setinggi lutut agar dalam pemindahan tidak

menimbulkan cidera punggung.

Page 4: Bab II Biomekanika

II-4

2.3 Work-Related Musculoskeletal Disorder

Secara Istilah Musculoskeletal Disorder (MSD) itu sendiri merujuk kepada

kondisi yang melibatkan saraf, tendon, otot, dan struktur penyokong tubuh. MSD atau

cedera otot akibat bekerja merupakan suatu istilah yang ditujukan pada gangguan

terhadap jaringan tubuh atau kondisi yang disebut diatas, yang diakibatkan oleh

aktivitas atau paparan terkait pekerjaan. Sebagai contoh adalah postur dan gerakan

tubuh yang buruk, berulang, dipaksakan (overuse) dan terakumulasi. Selain faktor

diatas, MSD dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan seperti vibrasi, suhu rendah,

dan lain-lain. Sebagian dari pakar ergonomi istilah MSD biasa digunakan untuk

gangguan yang diakibatkan oleh karakteristik pekerjaan yang buruk, sedangkan

Cummulative Trauma Disorder (CTD) merupakan istilah yang digunakan dikalangan

medis bila gangguan jaringan otot (Musculoskeletal Disorder) telah menjadi suatu

penyakit. Pengetahuan tentang potensi MSD diperlukan untuk menciptakan sistem

kerja yang aman, nyaman, dan tetap sehat bagi penggunanya. Dibawah ini adalah

macam-macam karakterisitk dari cidera otot akibat bekerja:

1. Proses mekanik dan fisiologis.

2. Berhubungan dengan intensitas kerja dan durasi pekerjaan.

3. Akibat akan dirasakan dalam jangka waktu yang lama.

4. Lokasi gejala sulit diidentifikasi dan tidak spesifik.

5. Proses pemulihan memakan waktu yang lama.

6. Jarang dilaporkan.

7. Disebabkan oleh faktor yang beragam (Multifaktor).

Secara umum, analisis terhadap pekerjan (task analysis) dan pengamatan terhadap

gejala lebih berarti dibandingkan pengamatan secara fisik, hal ini disebabkan karena

cedera otot akibat bekerja merupakan akumulasi dari berbagai micro trauma yang

disebabkan pemaksaan posisi tubuh yang berlangsung dalam jangka waktu yang

lama. Hubungan antara paparan yang berupa faktor kerja fisik dengan perkembangan

penyakit tertentu dapat dipengaruhi juga oleh faktor psiko-sosial. Oleh karena itu

Page 5: Bab II Biomekanika

II-5

dalam menyelidiki faktor resiko yang menjadi penyebab munculnya MSD, faktor ini

juga mendapat perhatian.

2.3.1 Macam-macam Faktor Penyebab Cedera

Berdasarkan studi yang dilakukan secara klinik, biomekanika, fisiologi, dan

Epidemiologi didapatkan kesimpulan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan

terjadinya cedera otot akibat bekerja (Armstrong dan Chaffin, 1979), yaitu:

1. Faktor Pribadi (Personal Factors)

Kondisi dari seseorang yang dapat menyebabkan terjadiya musculoskeletal

disorder.

2. Faktor Pekerjaan (Work Factors)

Berdasarkan karakteristik pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam

interaksinya dengan sistem kerja. Pada situasi kerja di industri akan sangat

sulit menggeneralisasi terjadinya MSD bila memakai acuan faktor pribadi.

Berdasarkan penelitian telah terbukti bahwa tinjauan secara biomekanik serta

data statistik menunjukkan bahwa faktor pekerjaan berkontribusi pada

terjadinya cedera otot akibat bekerja.

Berikut ini faktor-faktor pekerjaan yang bisa menyebabkan terjadinya cedera

pada otot atau jaringan tubuh:

a. Pekerjaan Statis (Statis Exertions): pekerjaan yang menuntut seseorang tetap

pada posisinya, perubahan posisi dalam bekerja akan menyebabkan

pekerjaan terhenti.

b. Repetisi: pengulangan gerakan kerja dengan pola yang sama. Hal ini bisa

terlihat pada dimana frekuensi pekerjaan yang harus dikerjakan tinggi,

sehingga pekerjaan harus terus-menerus bekerja agar dapat menyesuaikan

diri dengan sistem.

c. Postur tubuh: posisi dari operator yang memerlukan energi berlebih

sehingga bisa menyebabkan kerusakan jaringan atau persendian.

Page 6: Bab II Biomekanika

II-6

d. Pekerjaan yang memaksakan tenaga (Forceful Exertions): beban yang berat

atau tahanan dari benda kerja yang dihadapi pekerja dapat menyebabkan

terjadinya cedera pada otot akibat bekerja.

e. Stress mekanik (Mechanical Stresses): terjadinya kontak dari anggota badan

dengan objek pekerjaan.

f. Getaran (vibrasi): timbulnya getaran-getaran di area kerja yang mengganggu

konsentrasi pekerja dalam bekerja.

g. Temperatur ekstrim: temperatur yang dingin menyebabkan berkurangnya

daya kerja sensor tubuh, aliran darah, kekuatan otot, dan keseimbangan.

Sedangkan temperatur yang panas atau lebih tinggi dari suhu normal dapat

menyebabkan pekerja merasa lelah.

Pada umumnya keluhan otot skletal juga bisa di dukung oleh faktor usia

dimana keluhan skeletal mulai dapat dirasakan pada usia kerja, yaitu 25 - 65 tahun.

Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan

terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada

umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehinggaresiko

terjadinya keluhan otot meningkat. Selain itu juga lama bekerja pun sangat

berpengaruh dimana jika seorang pekerja melakukan pekerjaan yang dibidanginya

bertahun-tahun dilakukan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadinya

keluhan yang sangat fatal dibanding dengan pekerja yang baru pertama kali

membidanginya. Jenis cedera tersebut diatas sering berkembang pelan-pelan

sehingga tidak dilaporkan sebagai cedera yang ditimbulkan oleh pekerjaan pada

berbagai status. Diakui oleh para spesialis medis pada ortopedi dan kesehatan

kerja, bahwa bagaimanapun, penggunaan tangan yang abnormal mempercepat

cedera ini dan beberapa mempercayai bahwa pola spesifik dari aktivitas manual

adalah faktor utama penyebab cedera.

Page 7: Bab II Biomekanika

II-7

2.4 Metode – Metode Analisis Postur Kerja

2.4.1 Metode RULA

Rapid Upper Limb Assessment (RULA) adalah sebuah metode untuk menilai

postur, gaya dan gerakan suatu aktivitas kerja yang berkaitan dengan penggunaan

anggota tubuh bagian atas (upper limb). Metode ini dikembangkan untuk

menyelidiki resiko kelainan yang akan dialami oleh seorang pekerja dalam

melakukan aktivitas kerja yang memanfaatkan anggota tubuh bagian atas (upper

limb). Metode ini menggunakan diagram postur tubuh dan tiga tabel penilaian

untuk memberikan evaluasi terhadap faktor resiko yang akan dialami oleh pekerja.

Faktor-faktor resiko yang diselidiki dalam metode ini adalah yang telah

dideskripsikan oleh McPhee sebagai faktor bebaneksternal (external load factors),

yaitu :

1. Jumlah gerakan

2. Kerja otot statis

3. Gaya/kekuatan

4. Penentuan postur kerja oleh peralatan

5. Waktu kerja tanpa istirahat

Setiap individu pekerja pasti mempunyai perbedaan-perbedaan, yaitu postur

kerja, kecepatan gerakan, akurasi gerakan, frekuensi dan lamanya delay, umur dan

pengalaman, dan faktor sosial. Oleh sebab itu, RULA didesain untuk membahas

faktor-faktor resiko di atas terutama pada 4 faktor eksternal pertama. Adapun tujuan

dari metode ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai metode yang dapat dengan cepat mengurangi resiko cidera pada

pekerja, khususnya yang berkaitan dengan tubuh bagian atas.

2. Mengidentifikasi bagian tubuh yang mengalami kelelahan dan kemungkinan

terbesar mengalami cidera.

3. Memberikan hasil analisis dan perbaikan

Page 8: Bab II Biomekanika

II-8

Prosedur dalam pengembangan metode RULA meliputi tiga tahap, yaitu:

1. Pengembangan metode untuk merekam postur kerja

Untuk menghasilkan sebuah metode kerja yang cepat untuk digunakan, tubuh

dibagi dalam segmen-segmen yang membentuk dua kelompok atau grup yaitu grup

A dan B. Grup A meliputi bagian lengan atas dan bawah, serta pergelangan tangan.

Sementara grup B meliputi leher, punggung, dan kaki. Hal ini untuk memastikan

bahwa seluruh postur tubuh terekam, sehingga segala kejanggalan atau batasan

postur oleh kaki, punggung atau leher yang mungkin saja mempengaruhi postur

anggota tubuh bagian atas dapat tercakup dalam penilaian.

a. Grup A

1) Lengan bagian atas

Jangkauan gerakan untuk lengan bagian atas (upper arm) dinilai dan

diberi skor berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Tichauer, Chaffin,

Herberts et al, Schuldt et al, dan Harms-Ringdahl & Schuldt. Skornya sebagai

berikut :

a) 1 untuk ekstensi 20° dan fleksi 20°

b) 2 untuk ekstensi lebih dari 20° atau fleksi antara 20-45°

c) 3 untuk fleksi antara 45-90°

d) 4 untuk fleksi lebih dari 90°

Jika bahu terangkat, skor dari postur di atas ditambahkan 1. Jika lengan

bagian atas abduksi maka skor postur juga ditambahkan 1. Sedangkan bila

operator bersandar atau berat lengan disangga atau diberi penyangga, skor

postur di atas dikurangkan 1.

Gambar 2.1 Standar RULA untuk postur lengan bagian atas

Page 9: Bab II Biomekanika

II-9

2) Lengan bagian bawah

Jangkauan untuk lengan bagian bawah (lower arm) dikembangkan

berdasarkan penelitian Grandjean dan Tichauer. Skornya sebagai berikut:

a) 1 untuk fleksi 60-100°

b) 2 untuk fleksi kurang dari 60° atau lebih dari 100°

Jika lengan bagian bawah bekerja melewati garis tengah (midline) tubuh

atau berada di luar sisi tubuh, maka skor postur di atas ditambahkan 1.

Gambar 2.2 Standar RULA untuk postur lengan bagian bawah

3) Pergelangan tangan

Panduan untuk pergelangan tangan (wrist) yang diterbitkan oleh Health

and Safety Executive digunakan untuk menghasilkan skor postur berikut:

a) 1 jika pada posisi netral

b) 2 untuk fleksi dan ekstensi 0-15°

c) 3 untuk fleksi dan ekstensi lebih dari 15°

Jika pergelangan tangan dalam gerakan ulnar maupun radial, maka skor

postur ditambahkan 1.

Gambar 2.3 Standar RULA untuk postur pergelangan tangan

Page 10: Bab II Biomekanika

II-10

Pronasi dan supinasi pergelangan tangan ditentukan menyertai postur

netral. Skornya sebagai berikut :

a) 1 jika pergelangan tangan berputar dalam jangkauan tengah

b) 2 jika pergelangan tangan berputar dekat atau pada akhir jangkauan

b. Grup B

1) Leher

Jangkauan postur untuk leher (neck) didasarkan pada studi yang

dilakukan oleh Chaffin dan Kilbom et al. Skor dan jangkauannya sebagai

berikut:

a) 1 untuk fleksi 0-10°

b) 2 untuk fleksi 10-20°

c) 3 untuk fleksi lebih dari 20°

d) 4 bila dalam posisi ekstensi

Jika leher berputar, skor postur ditambahkan 1. Jika leher bergerak ke

samping, skor postur ditambahkan 1.

Gambar 2.4 Standar RULA untuk postur leher

2) Jangkauan gerakan punggung (trunk) dikembangkan dari Drury,

Grandjean dan Grandjean et al. Skor posturnya sebagai berikut :

a) 1 jika duduk dan tersangga baik dengan sudut antara pinggul dan

punggung 90° atau lebih.

b) 2 untuk fleksi 0-20°

Page 11: Bab II Biomekanika

II-11

c) 3 untuk fleksi 20-60°

d) 4 untuk fleksi lebih dari 60°

Jika punggung memuntir, maka skor postur ditambahkan 1. Jika

punggung melentur ke samping, maka skor postur ditambahkan 1.

Gambar 2.5 Standar RULA untuk postur punggung

3) Skor postur kaki (legs) ditentukan sebagai berikut :

a) 1 jika kaki dan telapak kaki tersangga dengan baik ketika duduk

dengan berat yang seimbang.

b) 1 jika berdiri dengan berat tubuh terdistribusi secara merata pada

kedua kaki, dengan ruang untuk mengganti posisi.

c) 2 jika kaki dan telapak kaki tidak tersangga atau berat tidak merata

seimbang.

2. Pengembangan sistem skor untuk pengelompokan bagian tubuh.

Sebuah skor tunggal dibutuhkan dari Grup A dan B yang dapat mewakili

tingkat pembebanan postur dari sistem muskuloskeletal kaitannya dengan

kombinasi postur bagian tubuh. Rekaman video yang dihasilkan dari postur Grup A

yang meliputi lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan putaran

pergelangan tangan diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur.

Kemudian skor tersebut dimasukkan dalam tabel A untuk memperoleh skor

A.Rekaman video yang dihasilkan dari postur Grup B yaitu leher, punggung dan

kaki diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur. Kemudian skor

tersebut dimasukkan ke dalam tabel B untuk memperoleh skor B. Sistem penilaian

Page 12: Bab II Biomekanika

II-12

dilanjutkan dengan melibatkan otot (mucle) dan tenaga (force) yang digunakan.

Skor yang melibatkan penggunaan otot dikembangkan berdasarkan penelitian

Drury, yaitu tambahkan (+) 1 jika postur statis (dipertahankan dalam waktu 1

menit) atau penggunaan postur tersebut berulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit.

Skor untuk penggunaan tenaga (beban) dikembangkan berdasarkan penelitian

Putz-Anderson dan Stevenson dan Baida, yaitu sebagai berikut:

a) Jika pembebanan sesekali atau tenaga kurang dari 2 Kg dan ditahan maka

skor tidak ditambah.

b) Tambahkan (+) 1 jika beban sesekali antara 2 – 10 Kg.

c) Tambahkan (+) 2 jika beban 2 – 10 Kg bersifat statis atau berulang-ulang

atau beban sesekali namun lebih dari 10 Kg.

d) Tambahkan (+) 3 jika beban (tenaga) lebih dari 10 Kg dialami secara statis

atau berulang dan atau jika pembebanan seberapapun besarnya dialami

dengan sentakan cepat.

Skor penggunaan otot (muscle) dan skor tenaga (force) pada Grup tubuh

bagian A dan B diukur dan dicatat dalam kotak-kotak yang tersedia kemudian

ditambahkan dengan skor yang berasal dari tabel A dan B seperti pada lembar skor

berikut :

Gambar 2.6 Diagram penilaian RULA

Page 13: Bab II Biomekanika

II-13

Hasil penjumlahan skor penggunaan otot (muscle) dan tenaga (force) dengan

Skor Postur A menghasilkan Skor C. Sedangkan penjumlahan dengan Skor Postur

B menghasilkan Skor D.

3. Pengembangan Grand Score dan Action List

Tahap ini bertujuan untuk menggabungkan Skor C dan Skor D menjadi suatu

grand score tunggal yang dapat memberikan panduan terhadap prioritas

penyelidikan / investigasi berikutnya. Tiap kemungkinan kombinasi Skor C dan

Skor D telah diberikan peringkat, yang disebut grand score dari 1-7 berdasarkan

estimasi resiko cidera yang berkaitan dengan pembebanan musculoskeletal.

Berdasarkan grand score dari Tabel C, tindakan yang akan dilakukan dapat

dibedakan menjadi 4 action level berikut :

a. Action Level 1

Skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur dapat diterima selama tidak dijaga

atau berulang untuk waktu yang lama.

b. Action Level 2

Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh dibutuhkan dan

mungkin saja perubahan diperlukan.

c. Action Level 3

Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan

segera.

d. Action Level 4

Skor 7 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan sesegera

mungkin (mendesak).

Page 14: Bab II Biomekanika

ActionLevel Nilai Tingkat kepentingan Perbaikan

12

3

4

1 atau 23 atau 4

5 atau 6

7

- Tidak Perlu Perbaikan- Diperlukan perbaikan- Implementasi dari perbaikan- Dilakukan perbaikan- Implementasi dan perbaikan dilaksanakan

secepatnya- Dilakukan perbaikan- Implementasikan dan perbaikan mendesak

untuk dilaksanakan

II-14

Tabel 2.1 Action Level

Aplikasi Metode RULA adalah sebagai berikut:

1. Alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh

risiko pekerja untuk terpengaruh oleh faktor-faktor penyebab cedera,yaitu:

a. Postur

b. Kontraksi otot statis

c. Gerakan repetitive

d. Gaya

2. Menentukan prioritas pekerjaan berdasarkan faktor risiko cedera. Hal ini

dilakukan dengan membandingkan nilai tugas-tugas yang berbeda yang

dievaluasi menggunakan RULA.

3. Menemukan tindakan yang paling efektif untuk pekerjaan yang memiliki

risiko relatif tinggi. Analisis dapat menentukan kontribusi tiap faktor terhadap

suatu pekerjaan secara keseluruhan dengan cara melalui nilai tiap faktor

risiko.

4. Menemukan sejauh mana penngaruh suatu modifikasi atas pekerjaan.

Perbaikan secara kuantitatif dapat diukur dengan cara membandingkan

penilaian sebelum dan sesudah modifikasi diterapkan.

Page 15: Bab II Biomekanika

II-15

Gambar 2.7 RULA Employee Assesment Worksheet

2.4.2 Metode REBA

Sebuah metode dalam bidang ergonomi yang digunakan secara cepat untuk

menilai postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang

pekerja luka-luka yang dialami di tempat kerja dikenal sebagai Musculoskeletal

Disorder (MSDS). MSDS juga didefinisikan sebagai gangguan dan penyakit pada

otot yang telah terbukti atau dihipotesa yang disebabkan dengan pekerjaan. REBA

merupakan suatu metode penelitian untuk penilaian tubuh dengan cepat secara

keseluruhan. Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penilaian

postur punggung, leher, kaki, dan lengan tangan dan pergelangan tangan. Setiap

pergerakan diberi dengan skor yang telah ditetapkan. REBA dikembangkan sebagai

suatu metode untuk menilai postur kerja yang merupakan faktor resiko (risk factor).

Metode ini didesain untuk menilai pekerja dan mengetahui Musculoskeletalyang

kemungkinan dapat menimbulkan gangguan pada anggota tubuh.

Page 16: Bab II Biomekanika

II-16

Dalam usaha untuk penilaian 4 (empat) faktor beban eksternal, jumlah

gerakan, kerja otot statis, tenaga/ kekuatan, dan postur, REBA dikembangkan

untuk:

1. Memberikan sebuah metode penyaringan suatu populasi kerja yang beresiko

menyebabkan gangguan pada anggota tubuh,

2. Mengidentifikasi usaha otot yang berhubungan dengan postur kerja,

penggunaan tenaga dan kerja yang berulang-ulang yang dapat menimbulkan

kelelahan (fatigue) otot,

3. Memberikan hasil yang dapat digabungkan dengan sebuah metode penilaian

ergonomi, yaitu fisik, mental, lingkungan dan faktor organisasi.

melalui tahapan–tahapan sebagai berikut (Hignett dan McAtamney, 2000) :

a. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher,

punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci

dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini

dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail

(valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data

akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.

b. Penentuan sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah didapatkan

hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan

besar sudut dari masing – masing segmen tubuh yang meliputi punggung

(batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan

kaki. Pada metode REBA segmen – segmen tubuh tersebut dibagi

menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung

(batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas,

lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh

pada masing–masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan

skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B

untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing–masing tabel.

Page 17: Bab II Biomekanika

II-17

Langkah-langkah yang diperlukan dalam menerapkan metode REBA, antara lain:

1) Mengambil data gambar posisi tubuh ketika bekerja.

2) Menentukan bagian-bagian tubuh yang akan diamati, antara lain batang tubuh,

pergelangan tangan, leher, kaki, lengan atas, dan lengan bawah.

3) Penentuan nilai untuk masing-masing postur tubuh dan penentuan

activityscore.

4) Penjumlahan nilai dari masing-masing kategori untuk memperoleh nilai

REBA.

5) Penentuan level resiko dan pengambilan keputusan untuk perbaikan.

6) Membuat desain metode, fasilitas dan lingkungan kerja.

7) Implementasi dan evaluasi desain metode, fasilitas, dan lingkungan kerja.

8) Penilaian ulang dengan menggunakan metode REBA untuk desain baru yang

telah diimplementasikan.

9) Evaluasi perbandingan nilai REBA untuk kondisi sebelum dan setelah

implementasi desain perbaikan.

Keuntungan dari metode REBA, antara lain:

1. Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berdasarkan posisi tubuh dengan

cepat.

2. Menganalisa faktor-faktor resiko yang ada dalam melakukan pekerjaan.

3. Metode ini cukup peka untuk menganalisa pekerjaan dan beban kerja

berdasarkan posisi tubuh ketika bekerja.

4. Teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu yang

kemudian diberi kode-kode secara individual berdasarkan bidang-bidang

geraknya untuk kemudian diberikan nilai.

Page 18: Bab II Biomekanika

II-18

Gambar 2.8 REBA Employee Assesment Worksheet

2.4.3 Metode Owas

Ovako Work Posture Analysis System (OWAS) dimulai pada tahun tujuh

puluhan di perusahaan Ovako Oy Finlandia (sekarang Fundia Wire). Metode ini

dikembangkan oleh Karhu dan kawan-kawannya di Laboratorium Kesehatan Buruh

Finlandia (Institute of Occupational Health). Lembaga ini mengkaji tentang

pengaruh sikap kerja terhadap gangguan kesehatan seperti sakit pada punggung,

leher, bahu, kaki, lengan, dan rematik. Penelitian tersebut memfokuskan hubungan

antara postur kerja dengan berat beban. Metode ini sesuai dengan penelitian tentang

sikap kerja yang mencakup pergerakan tubuh secara keseluruhan (Darmawan dan

Hermawati, 2004). Metode OWAS juga sesuai dengan penelitian yang

mengidentifikasi sikap kerja dinamis yang berbahaya ketika para pekerja sedang

melakukan pekerjaan (Coutney Dkk, 1998). Sehingga dapat dikatakan bahwa

Page 19: Bab II Biomekanika

II-19

metode OWAS ini berguna untuk memperbaiki kondisi pekerja dalam bekerja,

sehingga perfomance kerja dapat ditingkatkan terus . Hasil yang diperoleh dari

metode OWAS digunakan untuk merancang metode perbaikan kerja guna

meningkatkan produktifitas. Metode ini dapat diterapkan pada suatu area :

1. Pembangunan stasiun kerja atau sebuah metode kerja, untuk mengurangi

beban gangguan otot (musculoskeletal) agar lebih nyaman dan lebih produktif.

2. Pengukuran ergonomi untuk beban postur

3. Pelayanan kesehatan yang mengalami sakit dalam suatu pekerjaan Prosedur

OWAS dilakukan dengan melakukan observasi untuk mengambil data postur,

beban, fase kerja untuk kemudian dibuat kode berdasarkan data tersebut.

Evaluasi penilaian didasarkan pada skor dari tingkat bahaya postur kerja yang

ada dan selanjutnya dihubungkan dengan kategori tindakan yang harus

diambil.

Metode ini mengkodekan sikap (postur) kerja pada bagian punggung

(belakang), tangan, kaki, dan berat beban. Setiap postur tubuh tersebut terdiri dari 4

postur bagian belakang, 3 posturlengan, 7 postur kaki, sedangkan berat beban yang

dikerjakan juga dilakukan penilaian mengandung 3 skala poin. Klasifikasi sikap dan

kriteria OWAS tersebut digambarkan seperti gambar di bawah ini:

1. Bagian Belakang (Back)

Membungkuk : Penilaian sikap kerja diklasifikasikan membungkuk jika

terjadi sudut yang terbentuk pada punggung minimal sebesar 20° atau lebih. Begitu

pula sebaliknya jika perubahan sudut kurang dari 20°, maka dinilai tidak

membungkuk. Adapun posisi leher dan kaki tidak termasuk dalam penilaian batang

tubuh (punggung).Berikut ini gambar postur tubuh bagian belakang :

Page 20: Bab II Biomekanika

II-20

Gambar 2.9 Postur tubuh bagian belakang (Back)

2. Bagian Lengan (Arms)

Yang dimaksud sebagai lengan adalah dari lengan atas sampai tangan.

Penilaian terhadap posisi lengan yang perlu diperhatikan adalah posisi tangan.

Gambar 2.10 Postur tubuh bagian lengan (Arms)

3. Bagian Kaki (Legs)

Berikut sikap :

1) Duduk, pada sikap ini adalah duduk dikursi dan semacamnya.

2) Berdiri bertumpu pada kedua kaki lurus adalah kedua kaki dalam posisi

lurus atau tidak bengkok dimana beban tubuh menumpu kedua kaki.

3) Berdiri bertumpu pada satu kaki lurus adalah beban tubuh bertumpu pada

satu kaki yang lurus (menggunakan saru pusat gravitasi lurus), dan satu

kaki yang lain dalam keadaan menggantung (tidak menyentuh lantai).

Page 21: Bab II Biomekanika

II-21

Dalam hal ini kaki yang menggantung untuk menyeimbangkan tubuh dan

bila jari kaki yang menyentuh lantai termasuk sikap ini.

4) Berdiri bertumpu pada kedua kaki dengan lutut ditekuk Pada sikap ini

adalah keadaan

5) postur setengah duduk yang yelah umum diketahui yaitu keadaan lutut

ditekuk dan beban tubuh bertumpu pada kedua kaki.

6) Berdiri bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk Pada sikap ini

dalam keadaan ini berat tubuh bertumpu pada satu kaki dengan lutut

ditekuk (menggunakan pusat gravitasi pada satu kaki dengan lutut

ditekuk).

7) Berlutut pada satu atau kedua lutut, pada sikap ini dalam keadaan satu

atau kedua lutut menempel pada lantai.

8) Berjalan, pada sikap ini adalah gerakan kaki yang dilakukan termasuk

gerakan ke depan, belakang, menyamping, dan naik turun tangga.

Gambar 2.11 Postur tubuh bagian kaki (Legs)

Page 22: Bab II Biomekanika

Beban Skor

<10 kg (kurang dari 10 kilogram) 1

<20 kg (lebih dari 10 kilogram dan kurang dari 20 kilogram) 2

>20 kg (lebih dari 20 kilogram) 3

II-22

4. Beban (Load)

Dalam hal ini yang membedakan adalah berat beban yang diterima dalam

satuan kilogram (Kg). Berat beban yang diangkat lebih kecil atau sama

dengan 10 kg lebih besar dari 10 Kg dan lebih kecil atau sama dengan 20 Kg,

lebih besar dari 20 Kg.

Tabel 2.2Skor Berat Beban (Load)

Hasil dari analisa sikap kerja OWAS terdiri dari empat level skala sikap

kerja yang berbahaya bagi para pekerja. Berikut ini merupakan kategori

tindakan kerja OWAS secara keseluruhan, berdasarkan kombinasi klasifikasi

sikap dari punggung, lengan, kaki, dan beban berat :

a. Kategori 1 : Pada sikap ini tidak menimbulkan masalah pada sistem

musculoskeletal dan tidak diperlukan perbaikan.

b. Kategori 2 : Pada sikap ini berbahaya pada sistem musculoskeletal (sikap

kerja mengakibatkan pengaruh ketegangan yang signifikan) dan perlu

dilakukan perbaikan di masa yang akan datang.

c. Kategori 3: Pada sikap ini berbahaya bagi sistem musculoskeletal (sikap

kerja mengakibatkan pengaruh ketegangan yang sangat signifikan) dan

perlu perbaikan sesegera mungkin.

d. Kategori 4: Pada sikap ini berbahaya bagi sistem musculoskeletal (sikap

ini mengakibatkan resiko yang jelas) dan perlu perbaikan secara langsung

atau saat itu juga. Berikut merupakan contoh tabel untuk menganalisa

pergerakan :

Page 23: Bab II Biomekanika

II-23

Tabel 2.3 Kategori Tindakan Kerja OWAS

Tabel di atas menjelaskan mengenai klasifikasi postur-postur kerja ke

dalam kategori tindakan. Sebagai contoh postur kerja dengan kode 2352,

maka postur kerja ini merupakan postur kerja dengan kategori tindakan

dengan derajat perbaikan level 4, yaitu pada sikap ini berbahaya bagi sistem

musculoskeletal (sikap kerja ini mengakibatkan resiko yang jelas). Perlu

perbaikan secara langsung/saat ini.

(http://id.scribd.com, diakses pada 25-03-2013, 16:10)

2.4.4 Metode Niosh

Pada tahun 1981, Nasional Institute for Occupational Safety and Health

(NIOSH) mengidentifikasi adanya problem back injuries yang dipublikasikan

dalam The Work Practises Guide for Manual Lifting (Henry, et al, 1993). Metode

ini untuk mengetahui gaya yang terjadi di punggung (L5S1). Ada 2 metode dalam

NIOSH yaitu:

1. Action Limit (AL) dan Maximum Permissible Limit (MPL)

Rekomendasi NIOSH didasarkan pada perbaikan atas persamaan NIOSH

yang dikeluarkan pada tahun 1981. Persamaan terdahulu dibagi menjadi dua level

batas pembebanan :

Page 24: Bab II Biomekanika

II-24

a. Action Limit (AL), yaitu yang memuat batas pembebanan untuk sebagian

besar individu.

b. Maximum Permissible Limit (MPL), yaitu yang memuat batas pembebanan

maksimum dimana di atas limit tersebut makin banyak individu akan

mengalami kecelakaan.

2. RWL (Recommended Weigh Limit).

RWL merupakan persamaan pembebasan yang direkomendasikan oleh

NIOSH (National Institude Ochupational Safety and Health) pada tahun 1991 di

Amerika Serikat. RWL adalah batas beban yang dapat dipindahkan oleh pekerja

industri dalam jangka waktu tertentu (tidak lebih dari 8 jam) tanpa menimbulkan

resiko terjadinya cedera tulang belakang. Persamaan NIOSH berlaku pada keadaan

(Waters, et al: 1994):

1. Beban yang diberikan adalah beban statis, tidak ada penambahan, ataupun

pengurangan beban di tengah-tengah pekerjaan.

2. Beban diangkat dengan kedua tangan.

3. Pengangkatan atau penurunan beban dilakukan dalam jangka waktu maximal

8 jam.

4. Pengangkatan atau penurunan beban tidak boleh dilakukan saat duduk /

berlutut.

5. Tempat kerja tidak sempit.

Persamaan untuk menentukan beban yang direkomendasikan untuk diangkat

seorang pekerja dalam kondisi tertentu menurut NIOSH adalah sebagai berikut

(Waters, et al: 1994):

RWL = LC x HM x VM x DM x AM x FM x CM

LC : (Lifting Constanta) konstanta pembebanan = 23 kg

HM : (Horizontal Multiplier) faktor pengali horizontal = 25/H

VM : (Vertical Multiplier) faktor pengali vertical = 1-0,003[V-75]

Page 25: Bab II Biomekanika

II-25

DM : (Distance Multiplier) faktor pengali perpindahan = 0,82+4,5/D

AM : (Asymmetric Multiplier) faktor pengali asimetrik = 1-0,0032A(°)

FM : (Frequency Multiplier) faktor pengali frekuensi

CM : (Coupling Multiplier) faktor pengali kompling (handle)

Catatan:

H : Jarak horizontal posisi tangan yang memegang beban dengan titik pusat tubuh

V : Jarak vertikal posisi tangan yang memegang beban terhadap lantai

D : Jarak perpindahan secara vertical antara tempat asal sanpai tujuan

A : Sudut simetri putaran yang dibentuk antara tangan dan kaki

Perhitungan Lifting Index, untuk mengetahui index pengangkatan yang

tidak mengandung resiko cidera tulang belakang. Lifting indeks merupakan

perbandingan antara berat beban (load target dengan RWL). Lifting index (Li)

merupakan nilai relatif dari tingkat tegangan fisik dalam suatu kegiatan

pengangkatan manual nilai estimasi tingkat tegangan fisik tersebut dinyatakan

sebagai hasil bagi antara nilai beban angkatan dengan nilai RWL, dengan

persamaan:

LI = L/ RWL

Dimana:

LI : Lifting Index

L : Berat Beban

RWL :Recommended Weight Limit

Interpretasi dari nilai LI:

1) LI dapat digunakan untuk memprioritaskan perancangan ulang secara

ergonomis dengan cara mengurutkan pekerjaan berdasarkan besaran LI dan

dapat digunakan untuk mengestimasi besaran relatif dari tekanan fisik suatu

tugas.

2) Tugas-tugas dengan nilai LI > 1.0 mengakibatkan peningkatan risiko cidera

punggung bawah (akibat pengangkatan) pada sebagian pekerja.

Page 26: Bab II Biomekanika

II-26

3) RWL dapat digunakan untuk merekomendasikan berat beban yang akan

membuat pekerjaan menjadi lebih aman.

Semua elemen kerja yang telah terhitung LI-nya, diklasifikasi dalam tiga

bagian, yaitu:

1) LI < 1 : Low Stressful Task. Pekerja relatif aman

2) LI ≤ 1 :Moderate Stressful Task. Mempunyai resiko nyeri pinggang

(low back pain)

3) LI ≥ 3 : High Stressful Task. Mempunyai resiko cidera pinggang

(low back injury)

Standart metode RWL adalah LI ≤ 1, maka aktivitas tersebut tidak

mengandung resikocidera tulang belakang sedangkan jika LI >1, maka aktivitas

tersebut mengandung resiko cidera tulang belakang. Kelemahan metode ini adalah

postur kerja tidak diperhatikan secara detail hanya gaya dan beban yang dianalisa,

untuk penggunaan tenaga otot (statis/repetitif) dan postur leher belum dianalisa.